You are on page 1of 23

Laporan Individu

05 Oktober 2012

HIV/AIDS
LAPORAN TUTORIAL

MODUL 2 IMUNODEFISIENSI
BLOK IMUNOLOGI

Disusun Oleh:
Nama : Andi Heri Isman
No. Stambuk : 11-777-001
Kelompok : 6 (Enam)
Pembimbing : dr. Maria Rosa Da lima

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU
2012
BAB I

PENDAHULUAN

I. Skenario
Seorang anak yang hasilnya menunjukan laki-laki umur 14 bulan telah
8 kali menderita infeksi virus untuk menyingkirkan pneumonia,
dilakukan pemeriksaan radiologi dan jamur dalam 14 bulan. Infeksi
tersebut akhirnya sembuh meskipun sangat lambat dan infeksi jamur
berespon baik terhadap anti jamur, paru, yang hasilnya menunjukan
adanya kelainan yaitu bayangan thymus tidak nampak
.

III. Kata sulit

1. Virus
2. Jamur
3. Infeksi
4. pneumonia

II. Kata kunci


1. Seorang anak laki-laki umur 14 bulan
2. Telah 8 kali menderita infeksi virus
3. Dilakukan pemeriksaan radiologi dan jamur dalam 14 bulan
4. Infeksi sembuh meskipun sangat lambat
5. Infeksi jamur berespon baik terhadap anti jamur
6. Kelainan bayangan thymus yang tidak nampak

III. Pertanyaan
1. Apa yang dimaksud dengan imunodefisiensi ?
2. Faktor apa saja yang menyebabkan imunodefisiensi ?
3. Bagaimana gambaran umum dari imunodefisiensi ?
4. Bagaiman respon imun terhadap virus dan jamur ?
5. Jenis iumnodefisiensi apa yang ada pada skenario?
6. Mengapa pada bayangan timus tidak nampak dipemeriksaan
radiologi?
7. Bagaimana kerja anti virus terhadap infeksi jamur ?
8. Bagaimana peran timus pada sistem pertahanan tubuh ?
9. Mengapa infeksi virus dan jamur terjadi berulang-ulang ?
10. Jenis-jenis penyakit apa yang ada pada skenario?

BAB II

PEMBAHASAN
A. Definisi Imunodefisiensi

Definisi imunodefisiensi adalah sekumpulan aneka penyakit


yang karena memiliki satu atau lebih ketidaknormalan sistem imun,
dimana kerentanan terhadap infeksi meningkat. (1,3,4)

B. Penyebab Imunodefisiensi

1. defek genetik
2. toksin, obat imunosupresan seperti kortikosteroid, dan siklosporin.
3. Penyakit nutrisi seperti malnutrisi (kwasiorkor), defisiensi vitamin dan
defisiensi mineral.
4. Kelainan kromosom seperti anomali digeorge yaitu terjadi delesi
kromosom 22 ( delesi 22q11 ), defisiensi IgA yang selektif ( trisomi 18 )
5. Penyakit infeksi seperti varizella, atau infeksi permanen ( HIV, dan
Rubella kongenital ).(1)

C. Imunodefisiensi Primer dan Sekunder

1. Imunodefisiensi Primer

Defisiensi primer atau kongenital merupakan defek genetic yang


meningkatkan kerentanan terhadap infeksi yang sering sudah
bermanifestasi pada bayi dan anak, tetapi kadang secara klinis baru
ditemukan pada usia lanjut.

2. Imunodefisiensi Sekunder

Defisiensi imun didapat atau sekunder timbul akibat malnutrisi , kanker


yang menyebar, pengobatan dengan imunosupresan, infeksi sel system
imun yang nampak jelas pada infeksi virus HIV, yang merupakan sebab
AIDS
D. Gambaran Umum Defisiensi Imun

Adanya defisiensi imun harus di curigai bila ditemukan tanda-tanda


klinis sebagai berikut :

1 Peningkatan kerentanan terhadap infeksi dan jenis infeksinya


tergantung dari komponen system imun yang defektif.
2 Penderita dengan defisiensi imun juga rentan terhadap jenis kanker
tertentu.
3 Defisiensi imun dapat terjadi akibat defek pematangan limfosit atau
aktivasi atau dalam mekanisme efektor imunitas nonspesifik dan
spesifik.
4 Yang merupakan paradox adalah bahwa imunodefisiensi tertentu
adalah bahwa imunodefisiensi tertentu berhubungan dengan
peningkatam insidensi autoimunitas. Mekanismenya tidak jelas, diduga
berhubungan dengan defiensi sel Tr.

HIV/AIDS

A. DEFINISI

HIV adalah retrovirus yang menginfeksi organ vital pada sistem imun

tubuh manusia, seperti sel T CD4 +, makrofag dan sel dendrit. Secara

angsung dan tidak langsung menghancurkan sel T CD4 +, yang sangat


diperlukan dalam sistem imun tubuh. HIV menekan sel T CD4+ sampai

mencapai jumlah < 200 sel T CD4+ / L darah. Hal ini menyebabkan

imunitas sel hilang, berlanjut pada kondisi yang kita kenal sebagai AIDS.

Sedangkan AIDS dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau

penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat

infeksi oleh HIV. AIDS merupakan tahap akhir dari HIV.(1,2,6)

B. EPIDEMIOLOGI

HIV merupakan pandemik dunia. Hampir setiap negara terdapat

infeksi HIV.1,3,7 HIV-2 lebih prevalen di banyak negara Afrika barat,

namun HIV-1 merupakan virus predominan di Afrika tengah dan timur,

dan bagian dunia lainnya. Menurut The Joint United Nations Program on

HIV/AIDS (2000), bahwa 36,1 juta orang telah terinfeksi HIV dan AIDS

pada akhir tahun 2000. Dari 36,1 juta kasus, 16,4 juta adalah

perempuan, dan 600.000 adalah anak-anak berusia kurang dari 15

tahun. Data terakhir menyebutkan bahwa sampai Januari 2006, UNAIDS

dan WHO memperkirakan AIDS telah membunuh 25 juta orang, sejak

pertama ditemukan, tanggal 5 Juni 1981. Data terakhir pada Desember

2004, jumlah ODHA di dunia mencapai estimasi 35,9-44,3 juta orang.

Penularan HIV/AIDS terjadi akibat melalui cairan tubuh yang

mengandung HIV, yaitu melalui hubungan seksual (baik homoseksual


maupun heteroseksual), jarum suntuk (pada penggunaan narkotika),

transfusi komponen darah, dan dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang

dilahirkannya. Oleh karena itu kelompok risiko tinggi terhadap HIV/AIDS

yaitu pada pengguna narkotika, PSK dan pelanggannya, serta

narapidana. (1,2,6)

Namun, infeksi HIV/AIDS saat ini juga telah mengenai semua

golongan masyarakat, baik kelompok risiko tinggi maupun masyarakat

umum. Beberapa bayi yang telah terbukti tertular HIV dari ibunya

menunjukkan tahap yang lebih lanjut dari tahap penularan heteroseksual.

Sejak 1985 sampai 1996 kasus AIDS masih sangat jarang ditemukan

di Indonesia. Sebagian besar ODHA pada masa itu berasal dari

kelompok homoseksual. Kemudian jumlah kasus baru HIV/AIDS

semakin meningkat, sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat

peningkatan tajam yang terutama disebabkan akibat penularan melalui

narkotika suntik. Sampai dengan akhir Maret 2005 tercatat 6789 kasus

AIDS yang dilaporkan. Pada tahun 2002, Departeman Kesehatan RI

memperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV adalah

berkisar 90.000 sampai 130.000 orang.

Survey Sentinel yang dilakukan di RS Ketergantungan Obat,

Jakarta, menunjukkan peningkatan kasus infeksi HIV pada pengguna

Narkotika yang sedang menjalani rehabilitas yaitu 15% pada tahun 1999,

meningkat cepat menjadi 40,8% pada tahun 2000, dan 47,9% pada tahun
2001. Bahkan sebuah survey telah dilakukan di sebuah kelurahan di

Jakarta Pusat yang dilakukan oleh Yayasan Pelita Ilmu menunjukkan

93% pengguna narkotika telah terinfeksi HIV.

Survey lain yang dilakukan pada tahun 1999-2000 pada beberapa

klinik KB, Puskesmas dan Rumah Sakit di Jakarta yang dipilih secara

acak menemukan bahwa 6 (1,12%) ibu hamil dari 537 ibu hamil yang

bersedia menjalani tes HIV, ternyata positif terinfeksi HIV. (1,2,6)

C. ETIOLOGI

Infeksi HIV disebabkan oleh Human Imuno-deficiency Virus dahulu

disebut Human T-cell Lymphotrophic Virus type-III (HTLV-III) atau

Lypmphadenopathy Virus (LAV). HIV termasuk golongan retrovirus

manusia sitopatik, dari famili lentivirus, yang memiliki materi genetik

berupa sepasang asam ribonukleat rantai tunggal yang identik dengan

suatu enzim yang disebut reverse transcriptase.1,5 HIV-1 dan HIV-2

adalah lentivirus sitopatik, dengan HIV-1 menjadi penyebab utama AIDS

di dunia.(1,7,9)

Virion HIV terdiri dari tiga bagian utama, yaitu envelope yang

merupakan lapisan luar, capsid yang meliputi isi virion dan yang ketiga

adalah core yang merupakan isi virion.


Envelope adalah lapisan lemak ganda yang terbentuk dari sel

penjamu dan mengandung protein penjamu. Pada lapisan ini tertanam

glikoprotein virus yang disebut gp41. Pada bagian luar protein ini terikat

gp120, molekul ini akan berikatan dengan reseptor CD4 pada saat

menginfeksi limfosit T4 dan sel lainnya yang mempunyai reseptor

tersebut. Capsid berbentuk iko-sahedral dan merupakan lapisan protein

yang dikenal sebagai p17. Pada bagian core terdapat sepasang RNA

tunggal, enzim-enzim seperti reverse transcriptase, endonuclease dan

protease serta protein-protein struktural terutama p24. (1,7,9)

D. PATOFISIOLOGI

Dalam tubuh ODHA, partikel virus bergabung dengan DNA sel


pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia
akan tetap terinfeksi.3 Perjalanan penyakit HIV dibagi dalam 3 fase, yang
meliputi fase akut, fase laten dan fase klinis (fase bergejala). (2,6)
Fase Akut

Fase ini terjadi setelah + 3 minggu infeksi awal. 50-70% penderita HIV

mempunyai gejala yang menyerupai mononucleosis akut. Masa ini

berhubungan dengan jumlah virus yang tinggi dalam darah. Dalam satu

minggu sampai tiga bulan akan terbentuk respon imun terhadap HIV. HIV

akan tersebar luas selama fase infeksi, terutama di dalam organ limfoid,

kemudian imunitas spesifik HIV yang terbentuk pada fase ini

berhubungan dengan penurunan jumlah virus HIV di dalam darah secara

tajam sampai mencapai jumlah virus yang relatif konstan. (2,6)

Proses ini terjadi berminggu-minggu sampai terjadi keseimbangan.

Imunitas spesifik tidak cukup untuk menurunkan replikasi virus

keseluruhan. Penyebaran HIV terjadi di dalam kelenjar getah bening

walaupun jumlah virus dalam plasma dan mRNA HIV tidak dapat

dideteksi dalam sel-sel molekuler darah tepi. Perubahan yang terjadi

berhubungan dengan respon imun spesifik terhadap HIV. Replikasi virus

HIV tidak dapat dihentikan. (2,6)

Gejala yang dapat terjadi adalah demam, lemas, nafsu makan turun,

sakit tenggorokan (nyeri saat menelan), batuk, nyeri persendian, diare,

pembengkakkan kelenjar getah bening, bercak kemerahan pada kulit

(makula / ruam). (2,6)


Seiring dengan semakin memburukknya kekebalan tubuh, Sindroma

HIV akut yang telah disebutkan diatas, akan semakin jelas pada pasien

ODHA.

Fase Laten

Setelah infeksi primer, terjadi penyebaran virus, kemudian berperan

imunitas spesifik HIV. Fase laten yang berjalan dalam hitungan tahun.

Selama masa ini semua pasien mengalami penurunan sistem imun yang

dapat dideteksi dengan penurunan CD4. (2,6)

Fase Klinis

Penurunan sistem imunologis secara progresif dapat menimbulkan

penyakit yang disebut AIDS, berupa gejala dan tand penyakit umum berat

dan lama, infeksi oportunistik atau neoplasma. Limfadenopati umum

progresif pada beberapa pasien sudah terjadi sejak tahap awal infeksi.

Hal ini disebabkan respon imun terhadap HIV yang berlebihan di dalam

kelenjar getah bening. Sarkoma Karposi dapat timbul sebelum terjadinya

imunosupresi berat.(2,6)

E. GEJALA KLINIS

Sindroma HIV akut adalah istilah untuk tahap awal infeksi HIV.

Gejalanya meliputi demam, lemas, nafsu makan turun, sakit tenggorokan


(nyeri saat menelan), batuk, nyeri persendian, diare, pembengkakkan

kelenjar getah bening, bercak kemerahan pada kulit (makula / ruam). 9

Lebih dari separuh orang terinfeksi HIV akan menunjukkan gejala

infeksi primer. Gejala infeksi primer digambarkan terdapat pada semua

populasi yang mempunyai resiko terkena infeksi laki-laki homoseksual,

lak-laki dan wanita heteroseksual, resipien organ dari donor yang

terinfeksi, pengguna narkotika melalui suntikan, resipien darah yang

terkontaminasi dan kecelakaan kerja pada pekerja-pekerja bidang

kesehatan. Sampai sekarang belum ada penelitian yang melaporkan

perbedaan gambaran klinis berdasarkan faktro risiko di atas. Pada 95%

kasus sekurang-kurangnya terdapat satu tanda klinis. Gejala klinis

infeksi primer timbul setelah beberapa hari terinfeksi dan berlangsung 2-6

minggu dengan rata-rata 2 minggu setelah terinfeksi. Infeksi primer HIV

dapat tidak bergejala maupun bergejala seperti penyakit flu sampai

dengan manifestasi neurologis.(1,6)

Infeksi primer HIV dapat terjadi segera setelah terinfeksi HIV dan

gejala klinik yang terjadi bervariasi baik lama berlangsungnya maupun

intensitasnya. Gejala klinik infeksi primer dapat dibagi menjadi gejala

umum, gejala mukokutan, gejala neurologis, gejala gastrointestinal, serta

manifestasi pembesaran kelenjar getah bening. Gejala umum berupa

demam, nyeri otot, nyeri sendi dan rasa lemah. Demam dengan rata-rata

suhu tubuh 38,6C dan beberapa mempunyai suhu tubuh lebih dari
39C. Gejala nyeri otot dan nyeri sendi kadang-kadang berhubungan

dengan demam. Gejala tersebut rata-rata berlangsung 16-23 hari.

Menetapnya gejala-gejala tersebut lebih dari 14 hari tampaknya

berhubungan dengan prognosis yang buruk. (2)

Gejala mukokutan dapat berupa ruam kulit pada lebih dari 60% kasus.

Erupsi kulit dapat berupa erimatus, makulopapular, vesicular, tidak gatal

dan biasanya simetris terdapat pada muka, badan dan kadang-kadang

anggota gerak tetapi jarang muncul erupsi yang menyeluruh.

Manifestasi gejala getah bening berupa pembengkakan kelenjar getah

bening yang biasanya tidak nyeri, dapat bersifat menyeluruh maupun

lokal. Gejala ini didapatkan pada 50% kasus. (1,3,8)

Gejala gastrointestinal berupa anoreksia, nausea, diare, dan jamur di

mulut serta esophagus. Gejala infeksi primer ini akan berlangsung

selama 2-6 minggu dan akan membaik dengan atau tanpa pengobatan.
itu
Setelah perjalanan penyakit menuju stadium tanpa gejala -yang pada

orang dewasa lamanya 5-10 tahun. Setelah masa tanpa gejala akan

timbul gejala-gejala pendahuluan seperti demam, pembesaran kelenjar

yang kemudian diikuti dengan infeksi oportunistik. Adanya infeksi

oportunistik menunjukkan perjalanan infeksi telah memasuki stadium

AIDS.(4,5,7)

F. DIAGNOSTIK
Pada dasarnya pendekatan diagnosis infeksi HIV dilakukan dngan

cara yang sama dengan penyakit lain melalui manifestasi klinik dan

pemeriksaan penunjang. Namun cara ini hanya dapat dilakukan bila

penderita sudah mempunyai gejala atau simtomatik. Pada keadaan tidak

bergejala atau asimtomatik perlu dilakukan pemeriksaan anti HIV.

Pemeriksaan anti HIV dilakukan bila terdapat perilaku yang beresiko

terutama hubungan seksual yang tidak aman atau pengguna narkoba

melalui suntik. Diagnosis infeksi HIV harus dilakukan dengan hati-hati

karena dapat menimbulkan dampak yang besar pada orang yang di

diagnosis.1

Adapun seorang dewasa dianggap menderita AIDS bila menunjukkan

tes HIV positif dengan strategi pemeriksaan yang sesuai, dan sekurang-

kurangnya didapatkan 2 gejala mayor dan 1 gejala minor. Dan gejala ini

bukan disebabkan oleh keadaan-keadaan lain yang tidak berkaitan

dengan infeksi HIV.(3,6)

G. PENATALAKSANAAN

Tujuan penatalaksanaan infeksi HIV adalah menekan jumlah virus HIV

dalam waktu yang lama dan maksimal, memperbaiki status imunologis,


menurunkan mortalitas dan morbiditas serta memperbaiki kualitas hidup.

Pengobatan HIV dapat dibagi dalam:

a. Pengobatan suportif

b. Pengobatan infeksi oportunistik

c. Pengobatan antiretroviral (ARV)

Tujuan pengobatan suportif adalah untuk meningkatkan keadaan

umum penderita. Pengobatan ini terdiri atas pemberian gizi yang sesuai,

obat sistemik serta vitamin. Disamping itu perlu diupayakan dukungan

psikososial agar penderita dapat melakukan aktifitas seperti semula.

Pengobatan suportif ini penting dan umumnya dapat dilaksanakan

dirumah atau layanan kesehatan sederhana. (1,6)

Pemberian ARV ditujukan untuk menekan kadar HIV RNA plasma

sampai dengan kadar yang tidak terdeteksi. Pemberian ARV

direkomendasikan untuk penderita dengan sindroma HIV akut akibat

infeksi primer HIV dan mereka yang mengalami serokonversi dalam

waktu 6 bulan serta semua penderita infeksi HIV yang menunjukkan

gejala. Obat ARV terdiri dari beberapa golongan seperti nucleoside

reverse transcriptase inhibitor, non-nucleotide reverse trancriptase

inhibitor, dan protease inhibitor. (2,6)

Mekanisme kerja golongan NRTI adalah dengan menghambat reverse

transcriptase HIV sehingga pertumbuhan rantai DNA dan replikasi

terhenti. Pada golongan NNRTI, mnghambat transkripsi RNA HIV


menjadi DNA, suatu langkah penting dalam proses replilkasi virus.

Sedangkan PI mempunyai mekanisme kerja menghambat protease HIV,

yang mencegah pematangan virus HIV infeksiosa. (1,7,9)

Ringkasan prinsip terapi pada infeksi HIV yang dikembangkan oleh Panel

NIH, CDC 1998:

1. Replikasi HIV yang berlangsung terus-menerus menyebabkan

sistem imun rusak, dan berkembang menjadi AIDS. Infeksi HIV selalu

merugikan, dan kesintasan jangka panjang sejati yang bebas dari

disfungsi sistem imun sangat jarang terjadi.

2. Kadar RNA HIV dalam plasma menunjukkan besarnya replikasi HIV,

dan berkaitan dengan laju destruksi Limfosit-T CD4 + menunjukkan

keparahan kerusakan sistem imun akibat HIV yang sudah terjadi.

Pada seorang yang terinfeksi HIV, perlu dilakukan pengukuran periodik

berkala untuk kadar RNA HIV plasma dan hitung sel CD4 + untuk

menentukkan risiko perkembangan penyakit serta mengetahui saat

yang tepat untuk memulai / memodifikasi regimen terapi ARV.

3. Karena laju perkembangan penyakit berbeda diantara orang-orang

yang terinfeksi HIV, maka keputusan tentang pengobatan harus

disesuaikan orang-per-orang berdasarkan tingkat risiko yang

ditunjukkan oleh kadar RNA HIV plasma dan kitung sel T CD4 +.

4. Pemakaian terapi ARV kombinasi yang poten untuk menekan

replikasi HIV dibawah kadar yang dapat dideteksi oleh pemeriksaan-


pemeriksaan RNA HIV plasma yang sensitif akan membatasi

kemungkinan munculnya varian-varian HIV resisten-ARV, yaitu faktor

utama yang membatasi kemampuan obat ARV menghambat replikasi

virus dan perkembangan penyakit. Karena itu, tujuan terapi

seyogyanya adalah penekanan replikasi HIV semaksimal yang dapat

dicapai.

5. Cara yang paling efektif untuk menekan replikasi HIV dalam jangka

lama adalah pemberian secara simultan kombinasi obat-obat anti-HIV

yang efektif, yang belum pernah diterima oleh pasien, dan tidak

memperlihatkan resisten-silang dengan obat ARV yang pernah

diterima pasien sebelumnya.

6. Setiap obat ARV yang digunakan dalam regiman terapi kombinasi

harus selalu dipakai sesuai jadwal dan dosis yang optimal.

7. Jumlah dan mekanisme kerja obat-obat ARV efektif yang tersedia

masih terbatas, karena telah terbukti adanya resistensi-silang diantara

obat-obat spesifik. Karena itu setiap perubahan dalam terapi ARV

meningkatkan pembatasan-pembatasan terapetik dimasa mendatang.

8. Perempuan harus mendapat terapi ARV yang optimal, tanpa

memandang status kehamilan

9. Prinsip terapi ARV yang sama juga berlaku pada anak, remaja dan

dewasa yang terinfeksi oleh HIV, walaupun terapi pada anak terinfeksi
HIV memerlukan pertimbangan farmakologik, virologik, dan imunologik

tersendiri.

10. Individu yang terdeteksi pada infeksi HIV orimer akut harus diterapi

dengan terapi ARV kombinasi untuk menekan replikasi virus sampai ke

kadar batas deteksi pemeriksaan-pemeriksaan RNA HIV plasma yang

sensitif.

11. Individu yang terinfeksi HIV, walaupun dengan kadar virus dibawah

batas yang dapat dideteksi, harus tetap dianggap menular. Dengan

demikian, para pasien ini harus diberi pertanyaan untuk menghindari

perilaku seksual dan penyalah-gunaan obat yang berkaitan dengan

penularan atau akuisisi HIV patogen menular lainnya. (4,9,10)

H. PENCEGAHAN

Ada beberapa jenis program yang terbukti sukses diterapkan di

beberapa negara, dan amat dianjurkan oleh WHO untuk dilaksanakan

secara sekaligus, yaitu :

A ). Pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja dan dewasa muda.

Diperlukan strategi penerapan di sekolah, akademi / Universitas dan

yang diluar sekolah.


B ). Program penyuluhan sebaya (peer group education) untuk

berbagai kelompok sasaran.

C ). Program kerjasama dengan media cetak dan elektronik.

Program ini sudah terbina dengan baik, sehingga tinggal melanjutkan

agar ada kesinambungan. Setiap momentum yang terkait dengan

HIV/AIDS perlu dimanfaatkan untuk mendorong partisipasi media

untuk mendukung kegiatan-kegiatan tersebut.

D ). Paket pencegahan komprehensif untuk pengguna narkotika,

termasuk program pengadaan jarum suntik steril.

E ). Program pendidikan agama.

Program ini tidak lepas dari pendidikan agama di sekolah dan di

rumah. Namun, beberapa hal mungkin dapat diperbaiki. Di antaranya,

strategi belajar-mengajar yang berpijak pada kehidupan sehari-hari,

termasuk penggunaan bahasa dan idiom-idiom yang disesuaikan

dengan peserta. Sebagai contoh, istilah khamr / alkohol kurang

dikenal dalam bahasa sehari-hari remaja. Demikian pula heroin,

kokain, dan LSD tidak begitu dikenal. Mereka lebih mengenal dengan

nama putauw, ekstasi, dan cimeng.

F ). Program layanan pengobatan infeksi menular seksual (IMS).

G ). Program promosi kondom dilokalisasi pelacuaran dan panti pijat.

H ). Pelatihan keterampilan hidup.


Sangat diperlukan oleh remaja agar mengenal potensi diri, tahu

memanfaatkan sistem informasi, mengenal kesempatan dan cara-cara

mengembangkan diri. Bila kehidupan ekonomi & pendidikan membaik,

niscaya penularan HIV/AIDS dapat ditekan.

I ). Program pengadaan tempat-tempat untuk tes HIV dan konseling.

Pengadaan tempat-tempat tes HIV dan konseling yang mudah dicapai

dan suasana akrab dengan klien akan membuat orang-orang yang

merasa mempunyai risiko tinggi beringan kaki mendatangi tempat-

tempat tes dan konseling HIV tersebut. Dengan konseling, diharapkan

ODHA menerapkan seks aman dan tidak menularkan HIV ke orang

lain.

J ). Dukungan untuk anak jalanan dan pengetasan prostitusi anak.

Untuk melaksanakan kegiatan ini diperlukan kepedulian dan partisipasi

aktif berbagai lapisan masyarkaat seperti LSM, ahli hukum, ahli ilmu

sosial, media massa, kepolisian, Departemen Sosial, Departemen

Kesehatan, dll.

K ). Integrasi program pencegahan dengan program pengobatan,

perawatan, dan dukungan untuk ODHA.

Merupakan syarat mutlak untuk keberhasilan program

penganggulangan HIV/AIDS. Bila kita melaksanakan program

pencegahan saja, hasilnya tidak akan sebaik bila dilakukan bersama


program pengobatan, layanan dan dukungan untuk ODHA.

Masyarakat yang mendapat penyuluhan saja, kemudian merasa ia

melihat tidak ada yang mau merawat ODHA, atau bila ia mengetahui

ada ODHA yang dipecat dari pekerjaannya, dan dikucilkan dari

keluarga dan masyarakat.

L) Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dengan

pemberian obat ARV.

Sudah cukup banyak program kegiatan penanggulangan HIV/AIDS

yang terbukti efektif dan mampu laksana, sudah diterapkan untuk

menekan kecepatan peningkatan prevalensi HIV/AIDS di Indonesia.

Namun, perbaikan masih harus dilakukan. Bukan hanya menyangkut

kualitas program, namun juga perluasan cakupan penerima program .


(2,6,8)

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Dari hasil yang ada, kelompok kami mendiagnosis yaitu penyakit
sindrom digeorge karena dari gejala-gejala diatas menunjukan bahwa
sindrom digeorge yang memenuhi dari kriteria-kriteria yang ada.

DAFTAR PUSTAKA

1. Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Siti Setiati. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam.Jilid I Ed.5. Jakarta: Pusat penerbitan FKUI. 2009.
(chapter 102 hal 653-655)

2. Siti Boedina Kresno. Imunologi. Ed.5. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI.


2010 (chapter 2, hal 159)

3. Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson. Patofisiologi. Ed.6. Jakarta: EGC;


2006. (chapter 5, hal 103-105)

4. W.A. Newman Dorland. Kamus Kedokteran Dorland. Ed.31. Jakarta: EGC;


2010. (chapter 34, 65 hal 155, 350)
5. Louis Lasagna, M.D. Kapita Selekta Kedokteran Klinik. Ed:Terbaru Jakarta:
Binarupa Aksara Publisher. 2009 (hal :187)

6. Karnen Garna Baratawidjaja. Imunologi Dasar. Ed.9. Jakarta: Pusat


Penerbitan FKUI 2010 (hal 369)

7. Prof.Dr.dr. Adhi Djuanda. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed.6. Jakarta:
Pusat Penerbitan FKUI. 1987 (hal 171-173)

8. Louis Lasagna, M.D. Kapita Selekta Kedokteran Klinik. Ed: I Jakarta:


Binarupa Aksara Publisher. 2009 (hal :187)

9. Prof.Dr.dr. Adhi Djuanda. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed.7. Jakarta:
Pusat Penerbitan FKUI. 1987 (hal 13-18)

10.Lasagna, M.D. Kapita Selekta Kedokteran Klinik. Ed: 2 Jakarta: Binarupa


Aksara Publisher. 20011 (hal :147)

You might also like