You are on page 1of 21

KOLOSTOMI

A. KONSEP DASAR
1. Karsinoma Rektum
a. Pengertian
Karsinoma Rektum merupakan tumor ganas yang berupa massa
polipoid besar, yang tumbuh ke dalam lumen dan dapat dengan cepat
meluas ke sekitar usus sebagai cincin anular (Price and Wilson, 1994, hal
419).
Secara histologis, karsinoma rektum dan karsinoma yang menyerang
bagian kolon yang lain adalah adenokarsinoma (terdiri dari epitel
kelenjar) dan dapat mensekresi mukus.
b. Etilogi
Price dan Wilson (1994) mengemukakan bahwa etiologi karsinoma
rektum sama seperti kanker lainnya yang masih belum diketahui
penyebabnya.
Faktor predisposisi munculnya karsinoma rektum adalah poliposis
familial, defisiensi Imunologi, kolitis ulseratifa, granulomartosis dan
kolitis (Mansjoer, et al, 2000, hal 325)
Price dan Wilson (1994) mengemukakan bahwa faktor predisposisi
penting lainnya yang mungkin berkaitan adalah kebiasaan makan.
Masyarakat yang dietnya rendah selulosa tapi tinggi protein hewani dan
lemak, memiliki insiden yang cukup tinggi.
Burkitt (1971) yang dikutip oleh Price dan Wilson mengemukakan
bahwa diet rendah serat, tinggi karbohidrat refined, mengakibatkan
perubahan pada flora feces dan perubahan degradasi garam-garam
empedu atau hasil pemecahan protein dan lemak, dimana sebagian dari
zat-zat ini bersifat karsinogenik. Diet rendah serat juga menyebabkan
pemekatan zat yang berpotensi karsinogenik dalam feses yang bervolume
lebih kecil. Selain itu, masa transisi feses meningkat. Akibatnya kontak
zat yang berpotensi karsinogenik dengan mukosa usus bertambah lama.
c. Patofisiologi
Brunner dan Suddart (2002), menjelaskan patofisiologi terjadinya
karsinoma rektum sebagai berikut :

1
Polip jinak pada kolon atau rektum

menjadi ganas

menyusup serta merusak jaringan normal kolon

meluas ke dalam struktur sekitarnya

bermetastatis dan dapat terlepas dari tumor primer

menyebar ke bagian tubuh yang lain dengan cara :


1. Limfogen ke kelenjar parailiaka, mesenterium dan paraaorta
2. Hematogen terutama ke hati
3. Perkontinuitatum (menembus ke jaringan sekitar atau organ
sekitarnya) misalnya : ureter, buli-buli, uterus, vagina, atau prostat
dan dapat mengakibatkan peritonitis karsinomatosa.
d. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto sinar X
Pemeriksaan radiologis dengan barium enema dianjurkan sebagai
pemeriksaan rutin sebelum dilakukan pemeriksaan lain. Pada pemeriksaan
ini akan tampak filling defect biasanya sepanjang 5 6 cm berbentuk
anular atau apple core. Dinding usus tampak rigid dan gambaran mukosa
rusak.
2. Pemeriksaan antigen karsinoembrionik (CEA)
Pemeriksaan CEA dapat dilakukan, meskipun antigen CEA mungkin
bukan indikator yang dapat dipercaya dalam mendiagnosa kanker karena
tidak semua lesi menyekresi CEA.
3. Tes-tes Khusus
a. Proktosigmoidoskopi
Dilakukan pada setiap pasien yang dicurigai menderita karsinoma
usus besar. Jika tumor terletak di bawah, bisa terlihat langsung.
Karsinoma kolon di bagian proksimal sering berhubungan dengan
adanya polip pada daerah rektosigmoid.
b. Koloskopi
Diperiksa dengan alat yang sekaligus dapat digunakan untuk
biopsi tumor.

2
c. Sistoskopi
Indikasi sistoskopi adalah adanya gejala atau pemeriksaan yang
mencurigai invasi keganasan ke kandung kencing.
j. Diagnosis Banding
Menurut Sjamsuhidajat dan Wim de Jong (1998), diagnosis
banding karsinoma rektum adalah polip, proktitis, fisura anus hemmoroid,
dan karsinoma anus.

k. Komplikasi
Komplikasi karsinoma rektum menurut Schrock (1991) adalah: obstruksi
usus parsial atai lengkap, perforasi, perdarahan, dan penyebaran ke organ
lain.
l. Penatalaksanaan
Pengobatan terpilih adalah operasi. Pemilihan jenis operasi tergantung
stadium klinis, lokasi tumor, resktabilitas, dan keadaan umum pasien. Colok
dubur sangat penting untuk menentukan lokasi dan resktabilitas tumor.
Prinsip prosedur untuk karsinoma rektum menurut Mansjoer, et al, (2000)
adalah :
1. Low anterior resection / anterior resection. Insisi lewat abdomen. kolon
kiri atau sigmoid dibuat anastomosis dengan rektum (gambar 4).
2. Prosedur paliatif, dibuat stoma saja (gambar 5).
3. Reseksi abdomino perineal / amputasi rekti (Milles Procedure). Bagian
Distal sigmoid, rektosigmoid, dan rektum direseksi, kemudian dibuat end
kolostomi (gambar 6).
4. Pull through operation. Teknik ini sulit, bila tidak cermat dapat
menyebabkan komplikasi antara lain inkontinensia alvie.
5. Fulgurasi (elektrokogulasi) untuk tumor yang keluar dari anus dan
unresektabel.
Pengobatan medis untuk karsinoma kolorektal paling sering dalam bentuk
pendukung/terapi ajufan yang mencakup kemoterapi, radiasi dan atau
imunoterapi (Brunner & Suddart, 2002, hal 1128).

2. Kolostomi
a. Pengertian

3
Kolostomi merupakan kolokutaneostomi yang disebut juga anus
preternaturalis yang dibuat untuk sementara atau menetap (Sjamsuhidajat
dan Wim de Jong, 1998, hal 900).
Kolostomi adalah pembuatan lubang (stoma) pada kolon secara
bedah yang dapat berfungsi sebagai diversi sementara atau permanen
(Brunner & Suddart, 2002, hal 1127).
b. Indikasi
Indikasi kolostomi ialah dekompresi usus pada obstruksi, stoma
sementara untuk bedah reseksi usus pada radang atau perforasi, dan
sebagai anus setelah reseksi usus distal untuk melindungi anastomosis
distal.
c. Klasifikasi kolostomi
1) Berdasarkan sifat kolostomi
a) Kolostomi sementara
Dibuat misalnya pada penderita gawat perut dengan peritonitis
yang telah dilakukan reseksi sebagian kolon.
b) Kolostomi tetap
Dibuat pada reseksi rektoanal abdominoperineal menurut Quenu-
Milles berupa anus preternaturalis.
2) Klasifikasi berdasarkan tempat pembuatan stoma :
Stoma yang dibuat pada kolon (usus besar) disebut kolostomi, stoma
yang dibuat pada ileum (usus kecil) disebut ileostomi, dan pada
saluran kencing disebut ureterostomi.
d. Penyulit-penyulit yang terjadi setelah pembuatan kolostomi :
1) Nekrosis
Lapisan mukosa yang normal akan berwarna pink atau kemerahan,
lembab. Iskemia / nekrosis terjadi karena adanya hambatan aliran
darah ke lapisan mukosa.
2) Prolaps
Prolaps adalah mudahnya bagian usus keluar / memanjang dari ukuran
stoma yang sebenarnya. Penyebab terjadinya prolaps karena
konstruksi pembedahan, peningkatan tekanan intra abdomen, tidak
adekuatnya fiksasi bowel atau kurangnya fascia pada saat pemilihan
tempat / posisi stoma untuk menopang.
3) Parastomal hernia

4
Hal ini terjadi karena penempatan posisi stoma tidak tepat pada otot
rektus, insisi fascia terlalu besar dan infeksi post operasi pada
sambungan mukocutoaneus.
4) Obstruksi
Obstruksi bisa terjadi karena komplikasi pembedahan. Terbagi dalam
2 tipe :
a) Adynamic : kondisi dimana tidak adanya peristaltik. Tipe yang
paling sering adalah ileus paralitik. Faktor penyebab antara lain:
operasi abdominal, pengobatan narkotik, perlukaan
retroperitoneal, gangguan pada spinal, gangguan metabolik seperti
hypokalemia.
b) Dynamic obstruksi, karena kondisi patologi dan merupakan
kondisi darurat untuk pembedahan.
5) Mucocutaneus separation
Komplikasi awal yaitu rusaknya / terbukanya jahitan yang
menyatukan stoma pada permukaan abdomen.
6) Stenosis
Stenosis adalah proses menyempitnya lumen stoma dan biasanya
terjadi pada fascia atau pada kutaneus.
7) Retraksi
Retraksi disebabkan karena formasi jaringan scar, penambahan berat
badan.
B. ASUHAN KEPERAWATAN
Taylor, Lillis, dan Lemone (1989) yang dikutip oleh Gaffar (1999)
mengemukakan bahwa proses keperawatan adalah metode sistematik dimana
secara langsung perawat bersama klien secara bersama menentukan masalah
keperawatan sehingga membutuhkan asuhan keperawatan, membuat
perencanaan, dan rencana implementasi, serta mengevaluasi hasil asuhan
keperawatan.
Proses keperawatan memiliki lima tahapan yaitu pengkajian, diagnosa
keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi.

1. Pengkajian
Pengkajian merupakan dasar utama atau langkah awal dari proses
keperawatan secara keseluruhan yang terdiri dari tiga tahap yaitu

5
pengumpulan data, pengelompokkan atau pengorganisasian data serta
menganalisa dan merumuskan diagnosa keperawatan (Gaffar, 1999).
Pengkajian data dasar pada pasien dengan karsinoma adalah (Doenges,
et al,1999) :
a. Akitvitas/istirahat
Gejala : kelemahan dan atau keletihan, perubahan pada pola istirahat
dan jam kebiasaan tidur pada malam hari karena nyeri,
ansietas, berkeringat malam.
b. Sirkulasi
Gejala : palpitasi, nyeri dada pada pergerakan kerja
Tanda : perubahan pada TD
c. Integritas ego
Gejala : Faktor stress (keuangan, pekerjaan, perubahan peran) dan cara
mengatasi stress, masalah tentang perubahan dalam
penampilan, misalnya alopesia, pembedahan, kolostomi,
menyangkal diagnosis, perasaan tidak berdaya, putus asa, tidak
mampu, tidak bermakna, rasa bersalah, kehilangan kontrol,
depresi.
Tanda : menyangkal, menarik diri, marah, depresi.
d. Eliminasi
Gejala : perubahan pada pola defekasi, misal darah pada feses, nyeri
pada defekasi.
Tanda : perubahan pada bising usus, distensi abdomen.
e. Makanan / cairan
Gejala : kebiasaan diet buruk (misal diet rendah serat, tinggi lemak,
bahan pengawet), perubahan pada berat badan : penurunan
berat badan hebat, kaheksia, berkurangnya massa otot.
Tanda : perubahan pola kelembaban / turgor kulit, edema.
f. Neurosensori
Gejala : pusing, sinkope
g. Nyeri/kenyamanan
Gejala : derajat nyeri bervariasi, dari ketidaknyamanan ringan sampai
nyeri berat.
h. Keamanan

6
Gejala : pemajanan pada kimia toksik, karsinogen, pemajanan matahari
lama atau berlebihan.
Tanda : Demam, ruam kulit, ulserasi
i. Seksualitas
Gejala : masalah seksual, misal dampak pada hubungan, perubahan
pada tingkat kepuasan.
j. Interaksi Sosial
Gejala : ketidak adekuatan / kelemahan sistem pendukung
k. Penyuluhan / pembelajaran
Rencana pemulangan : bantuan dalam masalah diet, manajemen ostomi,
dan tambahan suplai mungkin dibutuhkan.
2. Diagnosa keperawatan
Menurut Gaffar (1999) diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang
menjelaskan status atau masalah kesehatan aktual atau potensial (berdasarkan
NANDA, kini diagnosa keperawatan potensial tidak dipakai lagi namun
diubah menjadi diagnosa keperawatan resiko tinggi).
Menurut Doenges (1999) diagnosa keperawatan pada klien dengan
kolostomi adalah :
a. Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
tidak adanya sfingter stoma, karakter/aliran feses dan flatus dari stoma.
b. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan adanya stoma, kehilangan
kontrol usus eliminasi, gangguan struktur tubuh.
c. Nyeri (akut) berhubungan dengan kerusakan kulit/jaringan (insisi/drein),
aktivitas proses penyakit (kanker, trauma).
d. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan invasi strukutur tubuh
(reseksi perineal), tertahannya sekresi drainase, gangguan sirkulasi,
edema : malnutrisi.
e. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan
yang berlabihan melalui jalur normal : diare, kehilangan melalui jalan
abnormal : selang drainase luka perianal, gangguan absorpsi cairan :
kehilangan fungsi kolon.
f. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan anoreksia lama/gangguan masukan saat praoperasi,
status hipermetabolik.

7
g. Gangguan pola tidur berhubungan dengan perlunya perawatan ostomi,
flatus berlebihan/feses ostomi, stress psikologik, takut kebocoran
kantong/cedera stoma.
h. Resiko tinggi terhadap konstipasi/diare berhubungan dengan penempatan
ostomi pada kolon sigmoid atau desenden, ketidakadekuatan masukan
diet/cairan.
i. Resiko tinggi terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan perubahan
struktur/fungsi tubuh ; reseksi radikal/prosedur pengobatan,
kerentanan/masalah fisiologis tentang respons dari orang terdekat,
gangguan pola respons seksual, kesulitan ereksi.
j. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar), mengenai kondisi, prognosis,
dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kuragnya pamajanan:
kesalahan interpretasi: kurang mengingat, tidak mengenal sumber
informasi.
3. Perencanaan
Setelah merumuskan diagnosa keperawatan maka perlu dibuat
perencanaan intervensi keperawatan dan aktivitas-aktivitas keperawatan
dengan tujuan untuk mengurangi, menghilangkan dan mencegah masalah
keperawatan klien (Gaffar, 1999).
Tahapan perencanaan keperawatan adalah penentuan prioritas diagnosa
keperawatan, penetapan sasaran dan tujuan, penetapan kriteria evaluasi dan
merumuskan intervensi keperawatan.
Intervensi dan kriteria hasil pada klien dengan kolostomi menurut
Doenges, et al (1999), adalah :
a. Diagnosa keparawatan I:
Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
tidak adanya sfingter stoma, karakter/aliran feses dan flatus dari stoma.
Tujuan : integritas kulit dapat dipertahankan.
Kriteria hasil : tidak ada tanda-tanda infeksi pada stoma dan area kulit
sekitar stoma, penyembuhan luka meningkat dan tepat
waktu.
Intervensi :
1.1 Perhatikan stoma/kulit peristomal, lihat adanya iritasi, lebam,
kemerahan, status jahitan.
Rasionalisasi :

8
Melihat proses penyembuhan/efektivitas dan evaluasi lebih lanjut.
1.2 Ganti kantong kolostomi setiap hari dan jika ada kebocoran atau
produksi feses.
Rasionalisasi :
Mencegah terjadinya iritasi/kerusakan jaringan sehubungan dengan
penarikan kantong.
1.3 Bersihkan ostomi kantong dengan rutin, gunakan cairan cuka untuk
membersihkan kantong kolostomi.
Rasionalisasi :
Penggantian kantung yang sering dan pencucian kantung dengan cuka
tidak hanya menghilangkan bakteri tetapi juga menghilangkan bau
kantung.
1.4 Bersihkan dengan air dan lap kering (atau menggunakan pengering
rambut pada situasi dingin).
Rasionalisasi :
Mempertahankan area tetap kering untuk mencegah trauma.
1.5 Ukur stoma secara teratur, contoh tiap penggantian alat untuk 6
minggu pertama, kemudian sebulan 6 kali.
Rasionalisasi :
Untuk mencocokkan stoma dengan kolostomi bag sehingga feses
tertampung sesuai aliran ke stoma dan kontak dengan kulit dicegah.
1.6 Pastikan pembuatan lubang stoma 1/8 lebih besar dari dasar stoma
Rasionalisasi :
Mencegah trauma pada jaringan stoma dan melindungi kulit
peristomal.
1.7 Gunakan kantung transparan, tahan bau dan mudah dikeluarkan
Rasionalisasi :
Kantung transparan selama 4-6 minggu pertama memudahkan
observasi pada stoma
1.8 Berikan plester tahan air disekitar akhir kantung bila diinginkan.
Rasionalisasi :
Diperlukan saat pengeluaran feses dalam bentuk cair banyak.
b. Diagnosa keperawatan II :
Gangguan citra tubuh berhubungan dengan adanya stoma, kehilangan
kontrol usus eliminasi, gangguan struktur tubuh.

9
Tujuan : klien dapat menerima kondisi diri sesuai dengan
situasi, menerima perubahan kedalam konsep diri tanpa
harga diri yang negatif.
Kriteria hasil : klien menujukkan penerimaan dengan melihat /menyentuh
stoma dan berpartisipasi dalam perawatan diri, klien
dapat menyatakan perasaan tentang stoma/penyakit;
mulai menerima situasi secara konstruktif.
Intervensi :
2.1 Kaji ulang alasan pembedah dan harapan yang akan datang
Rasionalisasi :
Klien dapat menerima dengan mudah bahwa ostomi dilakukan untuk
penyakit kronis atau lama.
2.2 Kaji kesiapan psikologis klien dalam menerima perubahan tubuh yang
terjadi.
Rasionalisasi :
Membantu dalam menentukan intervensi selanjutnya.
2.3 Jawab semua pertanyaan masalah kolostomi dengan fungsinya.
Rasionalisasi :
Membuat catatan dan menunjukkan minat/masalah pemberian
perawatan.
2.4 Dorong klien/orang terdekat untuk menyatakan perasaan, akui
kenormalan perasaan marah, depresi dan kedudukan karena
kehilangan.
Rasionalisasi :
Memberikan kesempatan untuk menerima keadaannya dan menyadari
bahwa perasaan yang dialami tidak biasa dan perasaan bersalah yang
dialami tidak bisa membantu.
2.5 Perhatikan perilaku menarik diri, peningkatan ketergantungan,
manipulasi atau tidak terlibat pada proses keperawatan.
Rasionalisasi :
Dugaan masalah pada penyesuaian diri yang memerlukan evaluasi
lanjut dan terapi lebih intensif.
2.6 Berikan kesempatan pada orang terdekat/klien untuk memandang dan
menyentuh stoma
Rasionalisasi :

10
Meskipun integritas stoma kedalam citra tubuh memerlukan waktu
berbulan-bulan atau tahunan, melihat stoma dapat membantu klien
dalam penerimaan diri.
2.7 Berikan kesempatan pada klien untuk menerima ostomi melalui
partisipasi dalam perawatan diri.
Rasionalisasi :
Kemandirian dalam perawatan memperbaiki harga diri.
c. Diagnosa keperawatan III :
Nyeri (akut) berhubungan dengan kerusakan kulit/jaringan (insisi/drein),
aktivitas proses penyakit (kanker, trauma).
Tujuan : nyeri berkurang/hilang
Kriteria evaluasi : klien menyatakan nyeri hilang/berkurang, klien
mampu tidur/istirahat tanpa teganggu, klien
menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi/
kenyamanan.
Intervensi :
3.1 Atur posisi klien senyaman mungkin, yakinkan klien bahwa
perubahan posisi tidak akan mencederai stoma.
Rasionalisasi :
Menurunkan ketegangan otot, meningkatkan relaksasi
3.2 Ajarkan tehnik relaksasi; nafas dalam
Rasionalisasi :
Membantu klien melakukan relaksasi dan memmfokuskan kembali
perhatian
3.3 Observasi terhadap adanya peningkatan keluhan nyeri dan gelisah
yang meningkat, anjurkan klien untuk segera melapor kepada petugas
bila nyeri muncul.

Rasionalisasi :
Intervensi dini terhadap munculnya nyeri dapat mencegah
meningkatnya intensitas nyeri.
3.4 Bantu klien dalam melakukan rentang gerak dan dorong ambulasi
dini, hindari posisi duduk lama.
Rasionalisai :

11
Menurunkan kekuatan otot/sendi, duduk lama dapat meningkatkan
tekanan perineal, menurunkan sirkulasi ke luka dan dapat
memperlambat penyembuhan.
3.5 Berikan obat analgetik sesuai indikasi
Rasionalisasi :
Menurunkan nyeri, meningkatkan kenyamanan.
d. Diagnosa keperawatan IV :
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan invasi strukutur tubuh
(reseksi perineal), tertahannya sekresi drainase, gangguan sirkulasi,
edema : malnutrisi.
Tujuan : meningkatkan penyembuhan luka tepat waktu dan
bebas infeksi.
Kriteria hasil : tidak terjadi komplikasi pada area operasi, tanda-tanda
vital dalam batas normal.
Intervensi :
4.1 Observasi luka, catat karakteristik drainase.

Rasionalisasi :
Mengawasi terhadap terjadinya perdarahan pascaoperasi yang biasa
terjadi selama 48 jam pertama.
4.2 Ganti balutan sesuai kebutuhan, gunakan tehnik aseptik
Rasionalisasi :
Menurunkan iritasi kulit dan potensial infeksi.
4.3 Dorong posisi miring dengan kepala lebih tinggi. Hindari duduk lama.
Rasionalisasi :
Meningkatkan drainase dari luka perianal/drain.
4.4 Kolaborasi untuk irigasi luka sesuai indikasi, gunakan cairan garam
faal.
Rasionalisasi :
Diperlukan untuk mengobati inflamasi/infeksi praoperasi atau
kontaminasi intraoperasi.
4.5 Kolaborasi untuk pemberian rendam duduk.
Rasionalisasi :
Meningkatkan kebersihan dan memudahkan penyembuhan.
e. Diagnosa keperawatan V :

12
Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan
yang berlebihan melalui jalur normal : diare, kehilangan melalui jalan
abnormal : selang drainase luka perianal, gangguan absorpsi cairan :
kehilangan fungsi kolon.
Tujuan : hidrasi tubuh adekuat.
Kriteria hasil : membran mukosa lembab, turgor kulit elastis
kembali dalam dua detik, pengisian kapiler dua
detik, balance cairan seimbang.
Intevensi :
5.1 Awasi masukan dan haluaran dengan cermat, ukur feses cair, timbang
berat badan tiap hari.
Rasionalisasi :
Memberikan indikator langsung keseimbangan cairan.
5.2 Awasi tanda vital, catat hipotensi postural, tachikardia, evaluasi turgor
kulit, pengisian kapiler dan membran mukosa.
Rasionalisasi :
Menunjukkan status hidrasi/kemungkinan kebutuhan untuk
peningkatan penggantian cairan.
5.3 Batasi masukan es batu selama periode intubasi gaster.
Rasionalisasi :
Es batu dapat merangsang sekresi lambung dan mencuci elektrolit
5.4 Awasi hasil laboratorium, misal hematokrit dan elektrolit.
Rasionalisasi :
Mendeteksi homeostasis atau ketidakseimbangan dan membantu
menentukan kebutuhan keseimbangan.
5.5 Berikan cairan IV dan elektrolit sesuai indikasi.

Rasionalisasi :
Dapat diperlukan untuk mempertahankan perfusi jaringan
adekuat/fungsi organ.
f. Diagnosa keperawatan VI :
Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan anoreksia lama/gangguan masukan saat praoperasi,
status hipermetabolik.
Tujuan : Nutrisi tubuh terpenuhi secara adekuat

13
Kriteria Hasil : Berat badan tidak menurun, tidak anoreksia,
menunjukkan peningkatan berat badan bertahap sesuai
tujuan dengan nilai laboratorium normal dan bebas
tanda malnutrisi.
Intervensi :
6.1 Pantau masukan makanan setiap hari
Rasionalisasi
Mengidentifikasi kekuatan / defisiensi nutrisi
6.2 Timbang berat badan setiap hari
Rasionalisasi :
Membantu dalam identifikasi malnutrisi protein, kalori, khususnya
bila berat badan dan pengukuran antropometrik kurang dari normal.
6.3 Tingkatkan diet dari cairan sampai makanan rendah residu bila
masukan oral dimulai.
Rasionalisasi :
Diet rendah sisa dipertahankan untuk memberikan waktu yang
adekuat untuk penyembuhan usus.
6.4 Identifikasi adanya mual / muntah yang dialami klien
Rasionalisasi :
Mual / muntah dapat memprovokasi terjadinya anoreksia
6.5 Anjurkan klien untuk mengurangi / menghindari bahan makanan yang
memproduksi gas (kol, bawang, kacang merah, mentimun, umbium)
Rasionalisasi :
Flatus sering dapat menjadi faktor penyebab kebocoran dari
banyaknya tekanan dalam kantung ostomi.
6.6 Berikan makanan enteral / parenteral bila diindikasikan
Rasionalisasi :
Pada kelemahan / tidak toleran pada masukan peroral, hiperalimentasi
digunakan untuk menambah kebutuhan komponen pada penyembuhan
dan mencegah status katabolisme.

6.7 Berikan antiemetik sesuai indikasi


Rasionalisasi :
Mengurangi terjadinya mual / muntah.
g. Diagnosa Keperawatan VIII :

14
Gangguan pola tidur berhubungan dengan perlunya perawatan ostomi,
stress psikologis, takut kebocoran kantong / cedera stoma.
Tujuan : Klien mampu beradaptasi terhadap gangguan pola tidur
Kriteria Hasil : Klien dapat tidur / istirahat di antara gangguan, klien
melaporkan peningkatan rasa sehat dan merasa dapat
istirahat, klien tidak menguap di siang hari.
Intervensi :
7.1 Jelaskan perlunya pengawasan fungsi usus dalam periode pasca
operasi awal.
Rasionalisasi :
Klien lebih dapat mentoleransi gangguan bila ia memahami alasan /
pentingnya perawatan.
7.2 Berikan sistem kantong adekuat, kosongkan kantong sebelum tidur,
bila perlu pada jadwal yang teratur
Rasionalisasi :
Pengosongan pada jadwal teratur meminimalkan kebocoran.
7.3 Jelaskan pada klien bahwa stoma tidak akan cedera bila tidur.
Rasionalisasi :
Klien akan mampu istirahat lebih baik bila merasa aman tentang
ostominya.
7.4 Catat masukan makanan / minuman mengandung kafein.
Rasionalisasi :
Kafein dapat memperlambat pasien untuk tidur dan mempengaruhi
tidur tahap REM.
7.5 Anjurkan klien untuk melaksanakan kebiasaan ritual sebelum tidur.
Rasionalisasi :
Meningkatkan relaksasi dan kesiapan untuk tidur.
7.6 Berikan analgesik sesuai indikasi.
Rasionalisasi :
Nyeri dapat mempengaruhi kemampuan klien untuk tidur
h. Diagnosa Keperawatan VIII :
Konstipasi/diare berhubungan dengan penempatan ostomi pada kolon
sigmoid atau desenden, ketidakadekuatan masukan diet / cairan
Tujuan : Pola eliminasi sesuai kebutuhan fisik dan gaya hidup
dengan ketepatan jumlah dan konsistensi

15
Kriteria Hasil : Klien dapat BAB lancar tanpa gangguan, konsistensi
feses lunak dan tidak cair, klien mengungkapkan
perasaannya tentang masalah defekasi.
Intervensi :
8.1 Pastikan kebiasaan defekasi klien dan gaya hidup sebelumnya.
Rasionalisasi :
Membantu dalam pembentukan jadwal irigasi efektif untuk klien
dengan kolostomi.
8.2 Kaji perlambatan awitan / tidak adanya keluaran, auskultasi bising
usus.
Rasionalisasi :
Ileus paralitik / adinamik pasca operasi biasanya membaik dalam 48
72 jam dan ileostomi harus mulai mengalir dalam 12 24 jam..
8.3 Tinjau ulang pola diet dan jumlah / tipe masukan cairan
Rasionalisasi :
Masukan adekuat dari serat dan makanan kasar memberikan bulk, dan
cairan adalah faktor penting dalam menentukan konsistensi feses.
8.4 Libatkan klien dalam perawatan ostomi secara bertahap
Rasionalisasi :
Rehabilitasi dapat mempermudah dengan mendorong pasien mandiri
dan terkontrol.
8.5 Kolaborasi dengan Perawat enterostomal tentang cara perawatan
stoma yang baik dan benar.
i. Diagnosa Keperawatan IX :
Resiko tinggi terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan perubahan
struktur / fungsi tubuh; reseksi radikal / prosedur pengobatan
Tujuan : Klien dapat memahami kondisi fisik terhadap masalah
seksual
Kriteria Hasil : Klien mengerti dengan keadaan dirinya sekarang, klien
dapat melakukan hubungan seksual sesuai kebutuhan.
Intervensi :
9.1 Tentukan hubungan seksual klien sebelum sakit dan atau setelah
dilakukan pembedahan dan apakah klien mengantisipasi masalah
berkenaan dengan adanya ostomi.
Rasionalisasi :

16
Mengidentifikasi harapan dan keinginan yang akan datang.
9.2 Tinjau ulang dengan klien / orang terdekat tentang fungsi seksual
dalam hubungannya dengan situasi masing-masing
Rasionalisasi :
Pemahaman fisiologi normal membantu klien / orang terdekat
memahami mekanisme kerusakan saraf dan perlu menggali metode
kepuasan pilihan.
9.3 Dorong dialog antara klien / orang terdekat.
Rasionalisasi :
Rasa jijik pada alat kolostomi dapat menurunkan perasaan kesadaran
diri dan rasa malu selama aktivitas seksual.
9.4 Anjurkan penggunaan rasa humor
Rasionalisasi :
Humor dapat membantu individu menerima situasi sulit lebih efektif
dan meningkatkan pengalaman seksual positif.
9.5 Diskusikan dengan klien / orang terdekat dalam memecahkan
masalah pilihan posisi untuk koitus.
Rasionalisasi :
Meminimalkan ketidaknyamanan alat dan fisik dapat meningkatkan
kepuasan.
9.6 Berikan informasi tentang keluarga berencana dengan tepat.
Rasionalisasi :
Kebingungan dapat terjadi, yang dapat menimbulkan ketidakinginan
untuk hamil.
j. Diagnosa Keperawatan X :
Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi, prognosis,
dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang pemajanan;
kesalahan interpretasi informasi; kurang mengingat.
Tujuan : Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi/proses
penyakit, tindakan dan prognosis
Kriteria Hasil : Dengan benar melakukan prosedur yang diperlukan,
mampu melakukan perubahan gaya hidup yang
diperlukan.
Intervensi :
10.1 Evaluasi kemampuan emosi dan fisik pasien

17
Rasionalisasi :
Faktor-faktor ini mempengaruhi kemampuan klien untuk menguasai
tugas-tugas dan keinginan untuk melakukan tanggung jawab
perawatan ostomi.
10.2 Atur kontrak waktu untuk pemberian pendidikan kesehatan tentang
cara perawatan ostomi di rumah
Rasionalisasi :
Dapat meningkatkan pengetahuan tentang cara perawatan ostomi di
rumah
10.3 Gunakan media tertulis / gambar saat memberikan pendidikan
kesehatan.
Rasionalisasi :
Memberikan referensi pasca pulang untuk mendukung klien
berupaya untuk mandiri dalam perawatan ostomi.
10.4 Libatkan orang terdekat dalam perawatan stoma, berikan waktu
untuk mendemonstrasikan kembali dan berikan umpan balik positif
untuk upaya-upaya tersebut
Rasionalisasi :
Meningkatkan penatalaksanaan positif dan menurunkan resiko
ketidaktepatan perawatan ostomi
10.5 Anjurkan peningkatan masukan cairan selama bulan cuaca hangat.

Rasionalisasi :
Kehilangan fungsi normal kolon untuk cadangan air dan elektrolit
dapat menimbulkan dehidrasi dan konstipasi.
10.6 Tekankan pentingnya mengunyah makanan dengan baik, masukan
cairan adekuat diikuti makanan
Rasionalisasi :
Menurunkan resiko obstruksi usus.
10.7 Diskusikan tentang kemungkinan gangguan tidur, anoreksia,
kehilangan minat pada aktivitas umum.
Rasionalisasi :

18
Depresi Di Rumah dapat terjadi, memerlukan kesabaran / dukungan
dan evaluasi terus-menerus.

4. Implementasi
Implementasi merupakan pelaksanaan perencanaan keperawatan oleh
perawat dan klien (Gaffar, 1999, hal 65). Beberapa petunjuk pada
implementasi adalah sebagai berikut :
a. Intervensi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi
b. Keterampilan interpersonal, intelektual, teknikal, dilakukan dengan
cermat dan efisien pada situasi yang tepat
c. Keamanan fisik dan psikologis dilindungi
d. Dokumentasi keperawatan berupa pencatatan dan pelaporan
Griffith dan Christensen (1986) yang dikutip oleh Gaffar (1999)
mengemukakan bahwa implementasi keperawatan terdiri dari tiga fase, yaitu :
pertama, persiapan meliputi pengetahuan tentang rencana, validasi rencana,
pengetahuan dan keterampilan mengimplementasikan rencana, persiapan
klien dan lingkungan, kedua, fase operasional merupakan puncak
implementasi dengan berorientasi pada tujuan. Implementasi dapat dilakukan
dengan intervensi independen atau mandiri, dependen atau tidak mandiri serta
interdependen atau sering disebut intervensi kolaborasi. Bersamaan dengan
ini, perawat tetap melakukan angoing assessment berupa pengumpulan data
yang berghubungan dengan reaksi klien termasuk reaksi fisik, psikologis,
sosial dan spiritual. Fase ketiga adalah fase terminasi, merupakan terminasi
perawat dengan klien setelah implementasi dilakukan, termasuk kesimpulan
akan semua implementasi yang telah dilakukan.
Setelah selesai implementasi, dilakukan dokumentasi yang meliputi
intervensi yang sudah dilakukan. Dokumentasi dapat dilakukan secara tertulis
pada catatan keperawatan dan proses keperawatan. Serta secara lisan pada
anggota tim kesehatan yang berkaitan untuk kelanjutan asuhan (Keliat, 1993,
hal 13).
5. Evaluasi
Keliat (1993) mengemukakan bahwa evaluasi adalah bagian terakhir dari
proses keperawatan, meliputi evaluasi semua tahap dalam proses keperawatan
(diagnosis, tujuan, intervensi).

19
Hal-hal yang dievaluasi adalah keakuratan, kelengkapan dan kualitas data,
teratasi atau tidaknya masalah klien, serta pencapaian tujuan serta ketepatan
intervensi keperawatan.

Evaluasi memuat tiga aspek :


a. Evaluasi sistem / struktur adalah peninjauan kembali beberapa faktor
seperti : fasilitas fisik, manajerial (staffing dan gaya kepemimpinan),
karakteristik pemberian askep : dasar teori.
b. Evaluasi proses pemberian asuhan keperawatan, evaluasi dilakukan
setelah mengimplementasikan rencana keperawatan, sesuai dengan
standar yang telah ada pada rencana dan dituliskan hasilnya.
c. Evaluasi hasil asuhan keperawatan : evaluasi dilakukan untuk melihat
sejauh mana tujuan yang ditetapkan sesuai kriteria waktu yang sudah
ditentukan.

DAFTAR PUSTAKA

20
Brunner & Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi VIII.

Volume 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Cameron. (1997). Terapi Bedah Mutakhir. Edisi IV. Jilid I. Jakarta : Binarupa

Aksara.

Djauzi, et al. (2003). Perawatan Paliatif dan bebas Nyeri Pada Penyakit Kanker.

Jakarta : YPI PRESS.

Doenges, et al. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi III. Jakarta : Penerbit

Buku Kedokteran EGC.

Gaffar. (1999). Pengantar Keperawatan Profesional. Jakarta : Penerbit Buku

Kedokteran EGC.

Keliat. (1998). Gangguan Koping, Citra Tubuh, dan Seksual Pada Klien Kanker.

Jakarta : penerbit Buku Kedokteran EGC.

Mansjoer, et al. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jilid 2. Jakarta :

Media Aesculapius.

Sjamsuhidajat & Wim de Jong. (1998). Buku Ajar Ilmu bedah. Jakarta : Penerbit

Buku Kedokteran EGC.

Sylvia & Wilson. (1994). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.

Edisi I. Buku 4. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

21

You might also like