Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
B. birokrasi publik
Max weber dalam bukunya die protestantische ethic und dergeist de kapitalismus
mengatakan bahwa mencari uang adalah pekerjaan yang berfaedah. Selain itu, bagi weber hasil
persaingan dari suatu kerja keras memang perlu dihargai . weber memang seorang sosiolog yang
handal , selain menulis tentang etika Kristen dia juga menulis tentang agama dicina dan di india.
Bagi weber , birokrasi adalah metode oprganisasi terbaik dengan spesialisasi tugas, walaupun
kemudian banyak pakar yang mengkritik kebijaksanaan memperhatikan keberadaan manusia itu
sendiri. Birokrasi tetap akan diperlukan dikantor-kantor pemerintahan , terutama dinegara-negara
berkembang yang harus dipacu dengan kedisiplilnan.
Ada 3 pengesahan wibawa :
- Legitimasi Karismatis
b - Legitimasi Tradisional
c - Legitimasi Rasional
Dalam buku Essay in Sociology, bahwa kekuasaanadalah kesempatan sesorang untuk
menyadarkan masyarakat akan kemauannya sendiri. Sekaligus menerapkan terhadap tindakan
perlawanan dari orang-orang atau pun golongan tertentu.
Banyak pakar yang menulis dan meneliti tentang birokrasi (bureaucracy) yaitu, bahwa fungsi
dari staf pegawai administrasi memiliki cara-cara yang spesifik agar lebih efektif dan efesien,
yaitu :
Kerja yang ketat pada peraturan (rule)
Tugas yang khusus (spesialisasi)
Kaku dan sederhana (zakelijik)
Penyeleggaran yang resmi (formal)
Pengaturan dari atas ke bawah (hirarki)
Berdasarkan logika (rasional)
Tersentralistis (otoritas)
Taat dan patuh (obedience)
Disiplin (dicipline)
Terstruktur (sistematis)
Tanpa pandang bulu ( impersonal)
Inilah prisip dasar dan karakteristik yang ideal dari birokratis yang pertama kali ditulis
Max Weber. Jadi kekuasaan dipegang oleh orang-orang yang berbeda di belakang meja karena
diatur secara legal dan formal oleh para birokrat.
Birokrasi hanya dapat berlaku dalam organisasi besar seperti organisasi pemerintahan,
karena pada suatu organisasi yang kecil diperlukan hubungan informal, sedangkan birokrasi
ditata secara formal untuk melahirkan tindakan rasional dalam organisasi.
Bagi negara yang perkembangannya lambat, percaya kepada hal-hal
mistik seperti dukun dan santet, keberadaan birokrasi tentu masih sangat diperlukan. Tetapi bagi
negara yang kehidupannya sudah moderat, kesadaran lingkungan tinggi serta membutuhkan
pendemokrasian lebih mapan menginginkan balance berupa kelonggaran birokrasi.
Pakar birokrasi bermula merumuskan pendapatnya karena
melihat masih banyaknya organisasi yang bekerja secara sembrono, tanpa pembagian tugas, tidak
ada aturan hukum, terlalu pandang bulu, memilih personalia, nepotisme, tradisional, primordial,
tidak logis mengambil keputusan, kurang bertanggung jawab, bebas dan kurang disiplin, serta
tidak sistematis dalam perumusan kebijakan. Bentuk paling ekstrem dari birokrasi tersebut
sudah barang tentu kekakuan sentralistis, para tenaga kerja diperlakukan sebagai robot yang
terikat pada aturan ruang dan waktu, sedangkan para pemikir di tingkat atas melulu hanya
mengandalkan logika tanpa perasaan, kendati seharusnya antara logika, etika, dan estetika saling
berdialektika. Karena itu diperlukan
balance untuk menyeimbangkan birokrasi itu sendiri, maksudnya, birokrasi tersebut
diselenggarakan dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagai berikut :
a. Tugas yang satu dengan lainnyadapat dikoordinasikan.
b. Terkadang perlu kebijaksanaan di luar peraturan yang telah berjalan.
c. Adanya kiat (seni cara) menyelenggarakan sesuatu yang mungkin berkonotasi rasa yang
irrasional.
d. Wewenang bawahan untuk memberi saran yang produktif.
e. Pembagian tugas lebih desentralistis demokratis.
C. Kebijakan Publik
Kebijakan (policy) hendaknya dibedakan dengan kebijaksanaan (wisdom) karena
kebijaksanaan merupakan pengejawantahan aturan yang sudah ditetapkan sesuai situasi dan
kondisi setempat oleh person pejabat yang berwenang. Sebagaimana telah diuraikan pada bab
awal tulisan ini, bahwa publik adalah masyarakat umum itu sendiri, yang selayaknya diurus,
diatur, dan dilayani oleh pemerintah sebagai administrator, tetapi juga sekaligus kadang-kadang
bertindak sebagai penguasa dalam pengaturan hukum tata negaranya.
Kebijakan publik adalah semacam jawaban terhadap suatu masalah
karena akan merupakan upaya memecahkan, mengurangi, dan mencegah suatu keburukan serta
sebaliknya menjadi pengajur, inovasi dan pemuka terjadinya kebaikan, dengan cara terbaik dan
tindakan terarah. Hal ini sangat penting untuk mengatasi kemunduran
penyelenggaraan administrasi publik, karena masyarakat umum bukan hanya menilai apa yang
dilaksanakan. Sebenarnya pemerintah bahkan dapat mengatur konflik untuk mencapai
konsensus, sehingga pada gilirannya pemerintah dapat mengambil muka dengan peranannya
sebagai penengah atau pelindung. Jadi kebijakan publik dapat menciptakan situasi dan dapat pula
diciptakan oleh situasi. Suatu masyarakat
ditandai dengan sejauhmana pemerintahnya melakukan penanganan terhadap masalah, solusi
terhadap kendala sekaligus dengan jalan keluarnya. Beberapa
orang pakar memberikan pengertian terhadap kebijakan publik antara lain sebagai berikut :
Menurut Thomas R. Dye, kebijakan publik adalah apa pun juga yang dipilih pemerintahan,
apakah mengerjakan sesuatu itu atau tidak mengerjakan ( mendiamkan) sesuatu itu.
Menurut RC. Chandler dan JC. Plano, kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis
berhubungan yang dibuat oleh lembaga atau pejabat pemerintah pada bidang-bidang yang
menyangkut tugas pemerintahan, seperti pertahanan keamanan, energi, kesehatan, pendidikan,
kesejahteraan masyarakat, kriminalitas, perkotaan.
Menurut Carl Friedrick, kebijaksanaaan pemerintah ini adalah suatu usulan tindakan oleh
sesorang, keluarga atau pemerintah pada suatu lingkungan politik tertentu, mengenai hambatan
dan peluang yang dapat diatasi, dimanfaatkan oleh suatu kebijaksanaan, dalam mencapai suatu
tujuan atau merealisasikan suatu maksud.
Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa pengetahuan tentang kebijakan publik adalah
pengetahuan tentang sebab-sebab, konsekuensi dan kinerja kebijakan dan program publik,
sedangkan pengetahuan dalam kebijaksanaan publik adalah proses menyediakan informasi dan
pengetahuan untuk para eksekutif, anggota legislatif, lembaga peradilan dan masyarakat umum
yang berguna dalam proses perumusan kebijakan serta yang dapat meningkatkan kinerja
kebijaksaan (Sofyan Effendi).
Analis kebijakan publik adalah aktivitas yang menghasilkan pengetahuan
tentang dan pengetahuan dalam proses pembuatan kebijakan. Membuat kebijaksanaan
pemerintah ini merupakan studi tentang proses pembuatan keputusan, karena bukankan
kebjaksanaan pemerintah itu merupakan keputusan dan pengambilan kebijaksanaan, yaitu
memilih dan menilai informasi yang ada untuk memecahkan maslah.
Miftah Thoha mengutip Harold
Laswell, bahwa ada beberapa tugas intelektual dalam persoalan tersebut, yaitu penjelasan tujun
penguraian kecendrungan, penganalisaan keadaan, proyeksi pengembangan masa depan dan
penelitian, penilaian dan penelitian, serta penilaian dan pemilihan kemungkinan.Beberapa model
yang dipergunakan dalam pembuatan public policy, yaitu :
1. Model Elit
Yaitu pembentukan public policy hanya berada pada sebagian kelompok orang-orang tertentu
yang sedang berkuasa. Karena itu mereka cenderung melakukan pengendalian dengan kontinyu,
dengan perubahan-perubahan hanya bersifat tambal sulam.
2. Model Kelompok
Terdapat beberapa kelompok kepentingan yang saling berebutan mencari posisi dominan.
Antarkelompok mengikat diri secara formal atau informal dan menjadi penghubung pemerintah
dan individu.
3. Model Kelembagaan
Adalah kelembagaan pemerintah. Yang masuk dalam lembaga-lembaga pemerintah eksekutif
(presiden, menteri-menteri dan departemennya), lembaga legislatif (parlemen), lembaga
yudikatif, pemerintah daerah. Model ini dikuasai oleh lembaga-lembaga tersebut, dan sudah
barang tentu lembaga tersebut adalah satu-satunya yang dapat memaksa serta melibatkan semua
pihak.
4. Model Proses
Merupakan rangkaian kegiatan politik mulai dari identifikasi masalah, perumusan usul,
pengesahan kebijaksanaan, pelaksanaan dan evaluasinya. Model ini akan memperhatikan
bermacam-macam jenis kegiatan pembuatan kebijaksanaan pemerintah.
5. Model Rasialisme
Untuk mencapai tujuan secara efisien, dengan demikian dalam model ini segala sesuatu
dirancang dengan tepat, untuk meningkatkan hasil bersihnya. Seperti kalkulasi semua
pengorbanan politik dan ekonomi.
6. Model Inkrimentalisme
Berpatokan pada kegiatan masa lalu, dengan sedikit perubahan. Dengan demikian hambatan
seperti waktu, biaya dan tenaga untuk memilih alternatif dapat dihilangkan. Model ini tidak
banyak bersusah payah, tidak banyak resiko, tidak ada konflik, kestabilan terpelihara, tetapi tidak
berkembang karena hanya menambah dan mengurangi yang sudah ada.
7. Model Sistem
Model ini memperlihatkan desakan-desakan lingkungan, antara lain berisi tuntutan, dukungan,
hambatan, tantangan, rintangan, gangguan, pujian, kebutuhan atau keperluan, yang
mempengaruhi public policy. Yang berisi keputusan-keputusan, peraturan-peraturan, tindakan-
tindakan, kebijaksanaan-kebijaksanaan dari pemerintah.
Berbagai model pembentukan public policy, pada kesempatan ini pemerintah sedikit
banyaknya juga mempertimbangkan sebagai berikut :
1) Memperhatikan Responsiveness
Yaitu perhatian utama terhadap tanggapan-tanggapan masyarakat. UU No. 5 Tahun 1974
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, diistilahkan dengan nyata dan bertanggung
jawab.
2) Memperhatikan Affectiveness
Yaitu pemberian utama terhadap pencapaian apa yang dikehendaki saja, demi suatu
tujuan politik atau ekonomi tertentu. UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintah
Daerah, maka ada istilah kepalanya dilepas tapi buntutnya dipegang.
Hal ini sejalan dengan kendali UU No. 5 Tahun 1974, yaitu :
1. Kepala daerah juga sekaligus merupakan kepala wilayah, berarti, yang bersangkutan selain
aparat daerah juga merupakan aparat pemeintah pusat.
2. Kepala daerah hanya dipilih oleh DPRD, tetapi dua calon menang atau kalah tetap diajukan dan
ditentukan oleh pemerintah pusat.
3. Kepala daerah hanya sekadar menyampaikan pidato pertanggungjawaban kepada DPRD tetapi
tidak bertanggungjawab dalam arti sepenuhnya.
Kesemuanya ini diharapkan agar tujuan utama (perhatian agar tetap effectiveness) pada
pembangunan ekonomi. Selanjutnya akan kita lihat contoh bagaimana penganalisaan dalam
kebijaksanaan publik, seperti keputusan pemerintah terhadap ketidakseimbangan produksi dan
konsumsi BBM di Indonesia.
Untuk mengantisipasi perekonomian Indonesia agar tidak menjadi negara pengimpor BBM
yang selama ini bagaimanapun masih tetap menjadi primadona ekspor, maka analisis
kebijaksanaan publik dapat berangkat dari gambar situasi masalah (problem situation) berikut di
bawah ini, sehingga selanjutnya akan terlihat keseluruhan masalah sampai pada substantif-
substantif dan formal problemnya
Diperlukan analisis kebijakan untuk menentukan penyebab utama masalah yang dibahas, dalam
hal ini ada dua kemungkinan yaitu :
Substantif Problem Pertama, yaitu kebijaksanaan menurunkan pemakaian BBM seperti menekan
pemakaian sampai dengan 84 juta ton BBM pertahun.
Substantif Problem Kedua, yaitu kebijaksanaan meningkatkan produksi BBM sampai dengan
125 juta ton pertahun.
Prof. Dr. B.J. Habibie dalam karangannya berjudul Sumber Daya Manusia (SDM) untuk
Pembangunan Nilai Tambah, mengupas kondisi SDM Indonesia dalam kaitannya dengan
pertumbuhan sektor industri. Namun demikian pesatnya laju pertumbuhan industri ini ternyata
tidak dikuti oleh pesatnya daya serap terhadap tenaga kerja. Sampai tahun 1989, ketika laju
pertumbuhan industri mencapai 9,1%, laju penyerapan tenaga kerja hanya 3,78%, sehingga pada
tahun 1990 sektor industri menyediakan kontribusi sebesar 10,14% dari total angkatan kerja.
Sementara itu hampir dalam kurun waktu bersamaan, pertumbuhan sektor pertanian terus
menurun, daya serap tenaganya tetap tinggi walaupun cenderung semakin menurun tersebut.
Dalam kurun waktu 1968 s.d. 1988 sektor pertanian menyerap 40% dari total tambahan tenaga
kerja. Ini berarti aliran tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri sangat kecil.
Apabila metaproblem ditentukan adalah menurunnya produktivitas SDM, kemudian substantif
problemnya adalah rendahnya tingkat pendidikan, kendati rendahnya tingkat pendidikan tersebut
berangkat dari kekurangan sarana pendidikan sebagai formal problem, maka masih dapat diteliti,
apakah terdapat kekeliruan penelitian dalam penetuan formal problem dan substantif problem,
daripada mencari jalan keluar (solusi) pemecahan yang salah terhadap masalah yang salah.
William Dunn memberikan beberapa fase tentang struktur pemecahan dalam analisis kebijakan,
yaitu :
Problem Situation adalah keadaan maslah yang ditemui sepintas lalu di lapangan. Misal,
habisnya persiapan bahan bakar di suatu negeri, menurunnya kemampuan tenaga kerja,
meningkatnya harga semen dan kertas yang sangat diperlukan dalam pembangunan.
Meta Problem adalah maslah global yang dilihat secara makro. Misal,
habisnya persediaan BBM dapat dilihat secara global sebagai karena tidak seimbangnya produksi
BBM dengan konsumsi BBM.
Substantive Problem adalah uraian maslah menjadi sub bagian yang merupakan pecahan
struktur persoalan yang lebih mikro. Misalnya setelah diketahui ketidakseimbangan produksi dan
konsumsi BBM, hal ini dapat dikaji disebabkan antara lain karena membengkaknya pemakaian
BBM.
Formal Problem adalah penyebab utama masalah, walaupun bukan satu-satunya faktor
utama yang harus ditanggulangi, tetapi tetap menjadi sumber formal masalah. Misal,
membengkaknya pemakaian BBM di suatu negeri dapat disebabkan oleh peningkatan
keberadaan transportasi, rendahnya pendidikan tenaga kerja
Disebakan oleh kekurangan sarana dan prasarana itu sendiri di bidang pendidikan tenaga
kerja.Selanjutnya beberapa peristilahan William dunn dapat dditerjemahkan antara lain sebagai
berikut:
Policy performance = Kinerja Kebijakan
Policy futures = Masa Depan Kebijakan
Policy action = Tindakan Kebijakan
policy outcomes = Hasil Kebijakan
forecasting = Ramalan Kebijakan
recommendation = Pernyataan Persetujuan
monitoring = Pemantauan
evaluation = Penilaian Baik Buruk
problem sensing = Pengertian Masalah
problem search = Pencarian Jatidiri Masalah
problem specification = Pengkhususan Masalah
Ilmu policy adalah studi tentang proses pembuatan keputusan atau proses memilih dan
mengevaluasi informasi yang tersedia dan bergayutan untuk memecahkan masalah-masalah
tertentu. Ilmu seperti ini adalah memusatkan pada lima tugas intelektual tersebut antara lain:
penjelasan tujuan-tujuan, penguraian dari kecenderungan-kecenderungan, penganalisaan
keadaan, proyeksi dari pengembangan masa depan, dan penelitian, evaluasi, dan penelitian,
evaluasi dan pemilihan alternatif. Perkembangan selanjutnya menyatakan bahwa semakin
kompleknya masalah-masalah public policy, lebih-lebih di tahun-tahun 1950-an telah
membawanya ke suatu tempat yang dipergunakan oleh otorita-otorita pemerintahan dan siapa
saja yang memilihnya berkonsultasi.
2. Policy adalah suatu peristiwa yang ditimbulkan oleh baik untuk mendamaikan claim dari
pihak-pihak ynag berkonflik, atau untuk menciptakan incentive bagi tindakan bersama
bagi pihak-pihak yang ikut menetapkan tujuan, tetapi mendapatkan perlakuan yang tidak
rasional dalam usaha bersama tersebut. Dengan demikian, jika ada pihak-pihak yang
konflik, usaha untuk mengatasinya antara lain dihasilkan suatu policy.
Gerald Caiden dengan beberapa revisi dan tambahan dari penulisan merumuskan bahwa ruang
lingkup studi public policy itu meliputi hal-hal berikut:
Suatu model dalam public policy merupakan penjelasan secara abstrak atau perwakilan dari
kehidupan politik. Model berusaha untuk memperjelas, menyederhanakan, dan memberikan
pengertian mengenai hal-hal yang sebenarnya dianggap penting bagi politik dan public policy.
Model-model dalam Prose Pembuatan Public Policy
Model menurut definisi adalah bentuk abstraksi dari suatu kenyataan. Adapun model-model ynag
dipergunakan dalam public policy yaitu: