You are on page 1of 17

HUBUNGAN TINGKAT DEMAM DENGAN HASIL PEMERIKSAAN

HEMATOLOGI PADA PENDERITA DEMAM TIFOID

Syamsul Arifin1 Edi Hartoyo2 Dwi Srihandayani3


1. Lecturer of Histology Departement Medical Faculty Lambung Mangkurat University
2. Lecturer of Pediatric Departement Medical Faculty Lambung Mangkurat University
3. Student of Medical Faculty Lambung Mangkurat University

ABSTRACT

Typhoid fever is a systemic infection caused by the bacterium Salmonella typhi. The
bacterium can produce endotoxins affecting hematological examination results and stimulate
fever in patients with typhoid fever. This study aims to determine the correlation between
fever and hematological examination results in patients with typhoid fever. This study was a
retrospective descriptive analytical approach. The samples were from medical record of the
patiens with typhoid fever during Januari December 2009 which is 135 medical record. The
medical record that suitable to inclusi criteria were 31. The result from this studi were
subfebris typhoid fever patiens 68%, normal hemoglobin rate 77%, normal leukocyte count
65%, and normal thrombocyte count 71%. The analysis done with chi square and fisher.
Analysis results are the rate of fever with hemoglobin p = 1.000, the rate of fever with
leukocyte concentration p = 1.000 and the rate of fever with thrombocyte concentration p =
0.677. From the test we could conclude that there is no relationship between fever with
hematological examination results in patients with typhoid fever.

Key words: typhoid fever, fever, hemoglobin, leukocyte, thrombocyte.

ABSTRAK

Demam tifoid merupakan suatu infeksi sistemik yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella typhi. Bakteri ini dapat menghasilkan endotoksin yang mempengaruhi hasil
pemeriksaan hematologis dan merangsang demam pada penderita demam tifoid. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat demam dengan hasil pemeriksaan hematologi
pada penderita demam tifoid. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan
pendekatan retrospektif. Data penelitian berasal dari rekam medis penderita demam tifoid
yang dirawat di ruang rawat inap SMF kesehatan anak periode Januari Desember 2009 yang
berjumlah 135. Data yang memenuhi kriteria inklusi penelitian sebanyak 31. Pada penelitian
didapatkan penderita demam tifoid subfebris 68%, kadar hemoglobin normal 77%, kadar
leukosit normal 65%, dan kadar trombosit normal 71%. Analisa dilakukan dengan uji chi
square dan fisher. Hasil analisa tingkat demam dengan kadar hemoglobin p = 1.000, tingkat
demam dengan kadar leukosit p = 1.000 dan tingkat demam dengan kadar trombosit p =
0.677. Berdasarkan hasil uji tersebut disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan tingkat
demam dengan hasil pemeriksaan hematologi pada penderita demam tifoid.

Kata-kata kunci : demam tifoid, demam, hemoglobin, leukosit, trombosit.


PENDAHULUAN

Demam tifoid merupakan salah satu penyebab kematian utama di dunia dengan angka

kematian sebesar 12,6 juta kasus dan diperkirakan terjadi 600.000 kematian tiap tahunnya.

Hampir 80% dari kasus tersebut terjadi di Asia (Abro, dkk., 2009). Kejadian demam tifoid di

Indonesia sekitar 1100 kasus per 100.000 penduduk per tahunnya dengan angka kematian 3,1-

10,4% (Nasrudin, dkk.,2007). Menurut Departemen Kesehatan RI penyakit ini menduduki

urutan kedua sebagai penyebab kematian pada kelompok umur 5-14 tahun di daerah

perkotaan. Prevalensi penyakit ini di Kalimantan Selatan masih cukup tinggi yaitu sebesar

1,95% (Balitbangkes.2008).

Demam tifoid biasanya menyerang anak-anak dan dewasa muda dengan kisaran umur

5-34 tahun (Simanjuntak. dkk., 2007). Angka kesakitan demam tifoid tertinggi terjadi pada

umur 5-19 tahun dengan manifestasi klinis ringan (Hadinegoro, 1999 ; Musnelina dkk.,2004).

Bakteri penyebab demam tifoid adalah Salmonella enterica serotipe typhi yang

merupakan basil gram negatif. Penularan bakteri ini terjadi secara fecal oral melalui makanan

yang terkontaminasi dan mengalami masa inkubasi dalam tubuh penderita selama 7-14 hari

(Musnelina dkk.,2004; Abro, dkk., 2009; Parry, dkk., 2002). Selama masa inkubasi tersebut

mungkin akan ditemukan gejala prodormal yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri

kepala, pusing dan tidak bersemangat. Kemudian menyusul gejala klinis seperti demam,

gangguan pencernaan, dan gangguan kesadaran (FK UI, 2005).

Salmonella typhi (S. typhi) mempunyai beberapa macam antigen yaitu antigen O

(somatik, terdiri dari zat kompleks lipopolisakarida yang biasa disebut endotoksin), antigen H

(flagella), antigen Vi dan Outer Membrane Proteins (FK UI, 2005; Nasrudin, dkk.,2007).

Endotoksin dalam sirkulasi diduga menyebabkan demam dan gejala toksik pada demam tifoid

yang lama. Kehadiran endotoksin dapat merangsang produksi sitokin. Produksi sitokin inilah

yang dapat menyebabkan gejala-gejala sistemik. Gejala tersebut antara lain demam, muntah,
sakit kepala, anoreksia, diare, konstipasi. Demam merupakan gejala sistemik yang paling

sering muncul pada kasus demam tifoid (Nelson, 1999; Yaramis, dkk., 2001 ; Khan , dkk.,

1999; Bhutta, 2006; Neopane, dkk., 2006; Dimitrov, dkk., 2007).

Al-Sagair, et al (2009) telah meneliti bahwa endotoksin menginduksi perubahan dalam

sel sumsum tulang. Lipopolisakarida juga menyebabkan penurunan yang cukup signifikan

pada eritrosit, leukosit, trombosit, hemoglobin dan persen hematokrit. Dengan kondisi

tersebut maka layanan rawat inap di rumah sakit sangat dianjurkan pada penyakit demam

tifoid .

Salah satu rumah sakit terbesar di Kalimantan adalah RSUD Ulin Banjarmasin yang

merupakan rumah sakit rujukan di wilayah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.

Selain itu, RSUD Ulin merupakan rumah sakit pendidikan di Kalimantan Selatan. Dari uraian

di atas, diduga terdapat hubungan tingkat demam dengan hasil pemeriksaan hematologi pada

penderita demam tifoid. Penelitian mengenai hubungan tingkat demam dengan hasil

pemeriksaan hematologi sebelumnya belum pernah dilakukan di RSUD Ulin Banjarmasin

sehingga penelitian ini perlu untuk dilakukan.

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka permasalahan penelitian

yang akan di kaji adalah tentang hubungan tingkat demam dengan hasil pemeriksaan

hematologi pada penderita demam tifoid yang dirawat di SMF/Bagian Ilmu Kesehatan Anak

RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2009.

Untuk itu penelitian ini dirancang guna menilai suhu tubuh, kadar hemoglobin, jumlah

leukosit, jumlah trombosit dan menganalisis hubungan tingkat demam dengan hasil

pemeriksaan hematologi penderita demam tifoid yang yang dirawat di SMF/Bagian Ilmu

Kesehatan Anak RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2009.


METODA

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik dengan pendekatan retrospektif.

Populasi pada penelitian ini adalah pasien demam tifoid yang dirawat di Bagian Anak

RSUD Ulin Banjarmasin periode Januari sampai Desember 2009. Adapun sampel pada

penelitian ini diperoleh dengan teknik consecutive sampling dengan jumlah sampel minimal

30 (Gabriel, 2000), yaitu pasien demam tifoid yang dirawat di Bagian Anak RSUD Ulin

Banjarmasin periode Januari sampai Desember 2009 yang memenuhi kriteria inklusi sebagai

berikut:

1. Pasien dengan diagnosis keluar demam tifoid tanpa komplikasi dan penyakit penyerta.

2. Pasien yang diperiksa suhu tubuhnya secara periodik.

3. Pasien dengan hasil pemeriksaan hematologi (kadar hemoglobin, leukosit, dan trombosit).

Hasil pemeriksaan hematologi yang digunakan adalah hasil hematologi pertama kali yang

dilakukan dalam minggu pertama setelah pasien masuk rumah sakit.

4. Pasien dengan terapi kloramfenikol.

5. Pasien febris minimal 5 hari sebelum masuk rumah sakit.

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah rekam medik pasien yang memuat

data pemeriksaan suhu tubuh dan hasil hematologi (kadar hemoglobin, kadar leukosit, dan

kadar trombosit).

Adapun variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Variabel bebas yaitu tingkat demam

2. Variabel terikat yaitu prestasi hasil pemeriksaan hematologi (kadar hemoglobin,

kadar leukosit, dan kadar trombosit).


Definisi Operasional dari variabel-variabel tersebut adalah :

1. Demam (febris) suatu keadaan dimana terjadi kenaikan suhu diatas batas normal (Yaramis,

dkk., 2001 ). Suhu tubuh normal pada anak bervariasi antara 36,50C-37,40C. Tingkat

demam diklasifikasikan menjadi subfebris dan febris. Subferis jika suhu tubuh berkisar

37,5 0C-38,20C dan febris jika suhu tubuh 38,30C (18).

2. Pemeriksaan hematologi adalah pemeriksaan mengenai jaringan pembentuk darah.

Pemeriksaan hematologi antara lain:

a. Kadar hemoglobin adalah banyaknya hemoglobin dalam 1 dL darah. Kadar hemoglobin

diklasifikasikan menjadi normal dan abnormal.

Normal jika memenuhi kriteria sebagai berikut (Soldin, dkk., 2009).:

Laki-laki Perempuan

a) Newborn : 14,7 18,6 g/dL 12,7 18,3 g/dL

b) 6 bulan 2 tahun : 10,3 12,4 g/dL 10,4 12,4 g/dL

c) 2 6 tahun : 10,5 12,7 g/dL 10,7 12,7 g/dL

d) 6 12 tahun : 11,0 13,3 g/dL 10,9 13,3 g/dL

e) 12 18 tahun : 11,5 14,8 g/dL 11,2 13,6 g/dL

Kategori abnormal jika kurang atau lebih dari standard range normal.

b. Kadar leukosit adalah jumlah leukosit yang dapat diketahui melalui pemeriksaan darah

lengkap. Kadar leukosit diklasifikasikan menjadi normal dan abnormal.

Normal jika memenuhi kriteria sebagai berikut (Soldin, dkk., 2009):

Laki-laki Perempuan

a) Newborn : 6,6 13,3 x 103/L 8,0 14,3 x 103/L

b) 6 bulan 2 tahun : 6,2 14,5 x 103/L 6,4 15,0 x 103/L

c) 2 6 tahun : 5,3 11,5 x 103/L 5,3 11,5 x 103/L

d) 6 12 tahun : 4,4 10,5 x 103/L 4,7 10,3 x 103/L

e) 12 18 tahun : 4,5 10,0 x 103/L 4,8 10,1 x 103/L


Kategori abnormal jika kurang atau lebih dari standard range normal.

c. Kadar trombosit adalah jumlah trombosit yang dapat diketahui melalui pemeriksaan

darah lengkap. Kadar trombosit normal 150.000-400.000/L (Sacher, dkk.,2004).

Kategori abnormal jika kurang atau lebih dari standard range normal.

Pelaksanaan penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan rekam medik pasien demam

tifoid di bagian Anak RSUD Ulin Banjarmasin pada periode Januari Desember tahun 2009.

Hasil pengukuran suhu tubuh, kadar hemoglobin, kadar leukosit, dan kadar trombosit didata

dari rekam medik yang telah dikumpulkan. Semua data kemudian diklasifikasikan dan

dideskripsikan ke dalam tabel.

Setelah data dikumpulkan dan disajikan dalam bentuk tabel kemudian dilakukan

penilaian secara analitik dengan uji statistik chi square test dengan nilai P < 0,05. Uji

statistik chi square test dilakukan dengan cara komputerisasi menggunakan aplikasi

SPSS.

Penelitian ini dilakukan di bagian anak dan bagian rekam medik RSUD Ulin

Banjarmasin pada bulan Februari sampai Maret 2010.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui adanya hubungan tingkat demam dengan

hasil pemeriksaan hematologi pada penderita demam tifoid. Hasil pemeriksaan hematologi

yang diteliti adalah kadar hemoglobin, kadar leukosit dan kadar trombosit.

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin dengan

mencatat data yang terdapat di rekam medik penderita demam tifoid pada tahun 2009 yang

sesuai dengan kriteria inklusi. Rekam medik pasien demam tifoid sebanyak 135. Sedangkan

rekam medik yang memenuhi kriteria inklusi berjumlah 31 sampel penelitian.


Data distribusi kadar hemoglobin penderita demam tifoid dapat dilihat pada gambar 1:

Gambar 1. Distribusi kadar hemoglobin pada penderita demam tifoid di SMF/ bagian Ilmu
Kesehatan Anak RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2009.

Pada pemeriksaan kadar hemoglobin ditemukan 24 orang penderita (81%) demam tifoid

dengan kadar hemoglobin normal dan 7 orang penderita (19%) demam tifoid dengan kadar

hemoglobin abnormal, dimana pasien anemia sebanyak 3 orang dan pasien polisitemia 4

orang. Dari data tersebut diketahui bahwa kadar hemoglobin normal lebih banyak daripada

yang abnormal. Kejadian kadar hemoglobin abnormal memang jarang dijumpai. Menurut

Hosuglu penderita demam tifoid yang kadar hemoglobinnya abnormal hanya berkisar 17%

(Hosoglu, dkk., 2004).

Data distribusi kadar leukosit penderita demam tifoid berdasarkan hasil penelitian

disajikan pada gambar 2:

Gambar 2. Distribusi kadar leukosit pada penderita demam tifoid di SMF/ bagian Ilmu
Kesehatan Anak RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2009.

Pada pemeriksaan leukosit ditemukan 20 penderita (65%) demam tifoid dengan kadar

leukosit normal dan 11 penderita (35%) demam tifoid dengan kadar leukosit abnomal, dimana

pasien leukopenia sebanyak 3 orang dan leukositosis 8 orang. Dari data tersebut diketahui
bahwa penderita demam tifoid dengan kadar leukosit normal lebih banyak daripada penderita

demam tifoid dengan kadar leukosit abnormal. Abro et al (2009) telah melaporkan bahwa

pada penderita demam tifoid hanya 14,6% penderita saja yang kadar leukositnya abnormal.

Data distribusi kadar trombosit penderita demam tifoid disajikan pada gambar 3:

Gambar 3 . Distribusi kadar trombosit pada penderita demam tifoid di SMF/ bagian Ilmu
Kesehatan Anak RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2009.

Pada pemeriksaan trombosit ditemukan 22 penderita demam tifoid (71%) dengan kadar

trombosit normal dan 9 penderita (29%) demam tifoid dengan kadar trombosit abnomal,

dimana pasien trombositopenia sebanyak 5 orang dan trombositosis 4 orang. Dari data

tersebut diketahui bahwa penderita demam tifoid dengan kadar trombosit normal lebih banyak

daripada penderita demam tifoid dengan kadar trombosit abnormal. Abro et al (2009) telah

melaporkan bahwa hanya 30% penderita demam tifoid saja yang kadar trombositnya

abnormal.

Analisis deskriftif univariat hasil hematologi pada penderita demam tifoid yang

memiliki responden disajikan pada tabel 1:

Tabel 1. Analisis deskriptif univariat hasil pemeriksaan hematologi pada penderita demam
tifoid di SMF / bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Ulin Banjarmasin Tahun 2009.

Hemoglobin Leukosit Trombosit Jumlah Persen (%)


Tinggi Tinggi Tinggi 1 3,2
Normal Tinggi Tinggi 3 9.7
Tinggi Tinggi Normal 1 3,2
Normal Tinggi Normal 2 6,5
Rendah Tinggi Rendah 1 3,2
Normal Normal Tinggi 1 3,2
Tinggi Normal Normal 2 6,5
Normal Normal Normal 15 48,5
Rendah Normal Normal 1 3,2
Normal Normal Rendah 1 3,2
Normal Rendah Normal 1 3,2
Normal Rendah Rendah 1 3,2
Rendah Rendah Rendah 1 3,2
Jumlah 31 100

Dari tabel 1 terlihat bahwa secara deskriptif 48,5% hasil pemeriksaan hematologi pada

penderita demam tifoid adalah normal. Hal ini diperkirakan karena jumlah endotoksin yang

ada di dalam tubuh penderita masih sedikit atau belum mencapai batas toksik sehingga efek

dari endotoksin tersebut tidak terlihat. Endotoksin akan sangat berefek negatif jika jumlahnya

cukup banyak yaitu 100 g.

Dari hasil penelitian didapatkan data tingkat demam penderita demam tifoid seperti

tersaji pada gambar 4:

Gambar 4. Distribusi tingkat demam pada penderita demam tifoid di SMF/ bagian Ilmu
Kesehatan Anak RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2009.

Dari 51 rekam medis tersebut didapatkan penderita subfebris sebanyak 21 orang (68%)

dan penderita febris sebanyak 10 orang (32%). Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa

lebih banyak tingkat demam subfebris daripada febris. Hal ini diperkirakan karena pemberian

antipiretik sebelum pemeriksaan.


Tabel analisis deskriptif univariat tingkat demam dengan hasil pemeriksaan hematologi

pada penderita demam tifoid yang memiliki responden disajikan pada tabel 2:

Tabel 2. Analisis deskriptif univariat tingkat demam dengan hasil pemeriksaan hematologi
pada penderita demam tifoid di SMF / bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Ulin
Banjarmasin Tahun 2009

Tingkat Persen
Hemoglobin Leukosit Trombosit Jumlah
Demam (%)
Tinggi Tinggi Tinggi Febris - -
Tinggi Tinggi Tinggi Subfebris 1 3,2
Normal Tinggi Tinggi Febris 1 3,2
Normal Tinggi Tinggi Subfebris 2 6,5
Tinggi Tinggi Normal Febris - -
Tinggi Tinggi Normal Subfebris 1 3,2
Normal Tinggi Normal Febris 2 6,5
Normal Tinggi Normal Subfebris - -
Rendah Tinggi Rendah Febris - -
Rendah Tinggi Rendah Subfebris 1 3,2
Normal Normal Tinggi Febris - -
Normal Normal Tinggi Subfebris 1 3,2
Tinggi Normal Normal Febris 1 3,2
Tinggi Normal Normal Subfebris 1 3,2
Normal Normal Normal Febris 5 16,2
Normal Normal Normal Subfebris 10 32,3
Rendah Normal Normal Febris - -
Rendah Normal Normal Subfebris 1 3,2
Normal Normal Rendah Febris - -
Normal Normal Rendah Subfebris 1 3,2
Normal Rendah Normal Febris - -
Normal Rendah Normal Subfebris 1 3,2
Normal Rendah Rendah Febris - -
Normal Rendah Rendah Subfebris 1 3,2
Rendah Rendah Rendah Febris 1 3,2
Rendah Rendah Rendah Subfebris - -
Jumlah 31 100
Dari tabel 2 terlihat bahwa 32,3% hasil pemeriksaan hematologi pada penderita demam

tifoid dengan tingkat demam subfebris adalah normal. Dari hasil tersebut bisa diasumsikan

bahwa secara deskriptif terdapat hubungan tingkat demam dengan hasil hematologi, dimana

hasil hematologi pada pasien subfebris umumnya normal. Oleh sebab itu perlu dilakukan uji

statistik lebih lanjut.

Hubungan tingkat demam dengan kadar hemoglobin pada penderita demam tifoid

disajikan pada tabel 3:

Tabel 3. Hubungan tingkat demam dengan kadar hemoglobin pada penderita demam tifoid
di SMF / bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Ulin Banjarmasin Tahun 2009

Tingkat Kadar Hemoglobin


Jumlah
Demam Normal Abnormal
Subfebris 16 5 21
Febris 8 2 10
Jumlah 24 7 31

Tabel 3 di atas menunjukkan 16 penderita demam tifoid subfebris dengan kadar

hemoglobin normal, 5 penderita demam tifoid subfebris dengan kadar hemoglobin abnormal,

8 penderita demam tifoid febris dengan kadar hemoglobin normal, dan 2 penderita demam

tifoid febris dengan kadar hemoglobin abnormal. Data ini kemudian dianalisis dengan uji chi

square. Berdasarkan uji chi square diketahui bahwa terdapat nilai expected count yang kurang

dari 5 sebanyak 50%. Dengan demikian data tersebut tidak dapat diuji dengan uji chi-square.

Oleh sebab itu, maka digunakan uji fisher untuk menganalisis data tersebut. Berdasarkan hasil

uji fisher didapatkan bahwa nilai p = 1,000 (p > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak

terdapat hubungan tingkat demam dengan kadar hemoglobin pada penderita demam tifoid.

Hubungan tingkat demam dengan kadar leukosit pada penderita demam tifoid dapat

dilihat pada tabel 4:


Tabel 4. Hubungan tingkat demam dengan kadar leukosit pada penderita demam tifoid di
SMF / bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Ulin Banjarmasin Tahun 2009

Tingkat Kadar Leukosit


Jumlah
Demam Normal Abnormal
Subfebris 14 7 20
Febris 6 4 10
Jumlah 20 11 31

Tabel 4 di atas menunjukkan 14 penderita demam tifoid subfebris dengan kadar leukosit

normal, 7 penderita demam tifoid subfebris dengan kadar leukosit abnormal, 6 penderita

demam tifoid febris dengan kadar leukosit normal, dan 4 penderita demam tifoid febris

dengan kadar leukosit abnormal. Data ini kemudian dianalisis dengan uji chi square.

Berdasarkan uji chi square diketahui bahwa terdapat nilai expected count yang kurang dari 5

sebanyak 25%. Dengan demikian data tersebut tidak dapat diuji dengan uji chi-square. Oleh

sebab itu, maka digunakan uji fisher untuk menganalisis data tersebut. Berdasarkan hasil uji

fisher didapatkan bahwa nilai p = 1,000 (p > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat

hubungan tingkat demam dengan kadar leukosit pada penderita demam tifoid.

Hubungan tingkat demam dengan kadar trombosit pada penderita demam tifoid tersaji

pada tabel 5:

Tabel 5. Hubungan tingkat demam dengan kadar trombosit pada penderita demam tifoid di
SMF / bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Ulin Banjarmasin Tahun 2009

Tingkat Kadar Trombosit


Jumlah
Demam Normal Abnormal
Subfebris 14 7 21
Febris 8 2 10
Jumlah 22 9 31

Tabel 5 di atas menunjukkan 14 penderita demam tifoid subfebris dengan kadar

trombosit normal, 7 penderita demam tifoid subfebris dengan kadar trombosit abnormal, 8

penderita demam tifoid febris dengan kadar trombosit normal, dan 2 penderita demam tifoid

febris dengan kadar trombosit abnormal. Data ini kemudian dianalisis dengan uji chi square.
Berdasarkan uji chi square diketahui bahwa terdapat nilai expected count yang kurang dari 5

sebanyak 25%. Dengan demikian data tersebut tidak dapat diuji dengan uji chi-square. Oleh

sebab itu, maka digunakan uji fisher untuk menganalisis data tersebut. Berdasarkan hasil uji

fisher didapatkan bahwa nilai p = 0,677 (p > 0,05).Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat

hubungan tingkat demam dengan kadar trombosit pada penderita demam tifoid.

Hasil uji yang didapat pada penelitian ini tidak sesuai dengan hipotesis peneliti yaitu

terdapat hubungan tingkat demam dengan kadar hemoglobin, kadar leukosit dan kadar

trombosit pada penderita demam tifoid di SMF/Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Ulin

Banjarmasin Tahun 2009. Ketidaksesuaian ini dapat dipengaruhi oleh pengaturan suhu tubuh

yang setiap individu yang berbeda-beda. Pengaturan suhu tubuh tersebut dipengaruhi oleh

beberapa faktor antara lain (Port dan Bowne, 2007; El Radhi, dkk., 2009; Arthur G, 1997):

1. Dehidrasi

Pada dehidrasi terjadi vasokontriksi dan pengurangan produksi keringat sehingga

mengurangi proses pengeluaran panas. Hal ini mengakibatkan suhu tubuh meningkat.

2. Kecepatan metabolisme basal (BMR)

Kecepatan metabolisme basal tiap individu berbeda-beda. Hal ini memberi dampak

jumlah panas yang diproduksi tubuh menjadi berbeda pula.

3. Gangguan organ

Kerusakan organ seperti trauma atau keganasan pada hipotalamus, dapat menyebabkan

mekanisme regulasi suhu tubuh mengalami gangguan. Kelainan kulit berupa jumlah

kelenjar keringat yang sedikit juga dapat menyebabkan mekanisme pengaturan suhu

tubuh terganggu.

4. Rangsangan simpatis

Pada situasi penuh stress, bagian simpatis dari saraf otonom terstimulasi. Neuron-neuron

postganglionik melepaskan norephinephrin (NE) dan juga merangsang pelepasan hormon


ephinephrine dan norephinephrine oleh medulla adrenal sehingga meningkatkan

metabolisme rate dari sel tubuh. Hal ini dapat mempengaruhi produksi panas tubuh.

5. Hormon

Hormon testosteron dan tiroid dapat meningkatkan kecepatan metabolisme basal

sehingga dapat menyebabkan peningkatan produksi panas tubuh.

6. Lingkungan

Lingkungan dapat mempengaruhi suhu tubuh manusia. Suhu tubuh dapat mengalami

pertukaran dengan lingkungan, artinya panas tubuh dapat hilang atau berkurang akibat

lingkungan yang lebih dingin, begitu juga sebaliknya. Perpindahan suhu antara manusia

dan lingkungan terjadi sebagian besar melalui kulit.

Selain penjelasan tersebut di atas, tidak sesuainya hasil penelitian ini dengan hipotesis

peneliti diperkirakan karena tidak diketahuinya jumlah endotoksin yang ada di dalam tubuh

penderita demam tifoid. Variasi jumlah endotoksin di dalam tubuh penderita demam tifoid ini

menyebabkan hasil tingkat demam dan hematologi yang bervariasi. Selain itu sistem imun

penderita juga mempengaruhi hasil, di mana jika sistem imun penderita cukup baik maka

kemampuan tubuh untuk melawan invasi bakteri pun bisa lebih cepat dan baik sehingga hasil

pemeriksaan suhu tubuh dan hematologinya pun baik. Sistem imun tersebut juga dipengaruhi

beberapa faktor antara lain umur, lingkungan tempat tinggal dengan polusi industri, dan

paparan terus menerus terhadap bahan kimia seperti formaldehyde, benzol, aseton, dan lain-

lain (Eringiene, dkk., 2006).

Walaupun hasil penelitian ini menunjukkan hubungan yang tidak bermakna namun

penelitian ini sendiri memiliki makna bahwa jika penderita demam tifoid suhu tubuh tidak

terlalu tinggi belum tentu hasil pemeriksaan hematologinya normal saja. Masih perlu

diwaspadainya penurunan ataupun peningkatan hasil hematologi pada penderita demam tifoid
PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat ditarik simpulan bahwa:

1. Tidak terdapat hubungan tingkat demam dengan kadar hemoglobin pada penderita

demam tifoid di SMF/Bagian ilmu kesehatan anak RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2009.

2. Tidak terdapat hubungan tingkat demam dengan kadar leukosit pada penderita demam

tifoid di SMF/Bagian ilmu kesehatan anak RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2009.

3. Tidak terdapat hubungan tingkat demam dengan kadar trombosit pada penderita demam

tifoid di SMF/Bagian ilmu kesehatan anak RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2009.

B. Saran

Beberapa saran yang dapat peneliti sampaikan, yaitu:

1. Perlu diperhatikannya faktor-faktor lain yang mempengaruhi demam seperti dehidrasi,

Basal Metabolik Rate, gangguan organ, rangsangan simpatis, hormon, dan lingkungan.

2. Perlu dilakukan pemeriksaan hematologi awal dan akhir sehingga proses perjalanan

penyakit dapat diketahui.

DAFTAR PUSTAKA

Arthur C. Guyton, John E. Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Jakarta: EGC, 1997.

Abro AH, Abdou AMS, Gangwani JL, Younis NJ, Hussaini HS. Hematological and
biochemical changes in typhoid fever. Pak J Med Sci 2009; 25(2): 166-171.

Al-Sagair OA, El-Daly ES, Mousa AA. Influence of bacterial endotoxin on bone marrow and
blood components. Medical Journal of Islamic World Academy of Sciences 2009; 17(1):
23-26.

Bhutta ZA. Current concept in the diagnosis and treatment of typhoid fever. BMJ 2006; 333:
78-82.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI, 2008.

Dimitrov T, Udo EE, Albaksami O, Al-Shehab S, Kilani A, Shehab M et al. Clinical and
microbiological investigations of typhoid fever in an infectious disease hospital in
Kuwait. Journal of Medical Microbiology 2007; 56: 538-544.

El-Radhi AS, Carroll J, Klein N. Clinical Manual of Fever in Children. USA: Springer, 2009.

Eringiene EM, Kazbariene B, Milasiene V, Characiejus D, Kemekliene R. Compensatory


functions of suppressed immune system of the organism in experimental and clinical
oncology: the impact of natural antibodies to endotoxin (review of new conception and its
metodological aspects). Acta medica lituanica 2006; 13(2): 63-76.

FK UI. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 2. Jakarta: FK UI, 2005.

Gabriel AS. Metodologi Penelitian dan Studi Kasus. Jakarta: Citramedia, 2000.

Hadinegoro SR. Masalah multidrug resintance pada demam tifoid anak. CDK 1999; 124: 5-8.

Hosoglu S, Aldemir M, Akalin S, Geyik MF, Tacyildiz IH, Loeb M. Risk factors for enteric
perforation in patients with typhoid fever. Am J Epidemiol 2004; 160: 46-50.

FK UI. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 2. Jakarta: FK UI, 2005.

Khan M, Coovadia YM, Connolly C,Sturm AW. Influence of sex on clinical features,
laboratory findings, and complications of typhoid fever. Am J Trop 1999; 61(1): 41-46.

Musnelina L, Afdhal AF, Gani A, Andayani P. Pola pemberian antibiotika pengobatan


demam tifoid anak di rumah sakit Fatmawati Jakarta tahun 2001-2002. Makara 2004;
8(1): 27-31.

Nelson. Ilmu kesehatan anak volume 2 edisi 15. Jakarta: EGC, 1999.

Neopane A, Poundel B, Pradhan B, Dhakal R, Karki DB. Enteric fever: diagnosis value of
clinical features. Kathmandu University Medical Journal 2006; 4(3): 307-315.

Nasrudin, Hadi U, Vitanata, Erwin AT, Bramantono, Suharto, dkk. Penyakit infeksi di
Indonesia. Surabaya: Airlangga University Press, 2007.

Parry CM, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. Typhoid fever. N Engl J Med 2002;
347(22): 1770-1782.

Porth CM dan Bowne PS. Essentials of Pathophysiology: Concepts of Altered Health States
Second Edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins, 2007.
Sacher RA, McPherson RA. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta: EGC,
2004.

Simanjuntak CH, Hoffman SL, Punjabi NH, Edman DC, Hasibuan MA, Sumarno W et al.
Epidemiologi demam tifoid di duatu daerah pedesaan di Paseh, Jawa Barat. CDK 2007;
6: 16-18.

Soldin SJ, Brugnara C, Hicks JM. Pediatric Reference Range 3rd Edition. Washington, DC:
AACC Press, 2009

Yaramis A, Yildirim I, Katar S, Ozbek MN, Yalcin I, Tas MA, et al. Clinical and laboratory
presentation of typhoid fever. International Pediatrics; 2001: 16(4): 227-231.

You might also like