Professional Documents
Culture Documents
Jurnal Tipoid 2010 PDF
Jurnal Tipoid 2010 PDF
ABSTRACT
Typhoid fever is a systemic infection caused by the bacterium Salmonella typhi. The
bacterium can produce endotoxins affecting hematological examination results and stimulate
fever in patients with typhoid fever. This study aims to determine the correlation between
fever and hematological examination results in patients with typhoid fever. This study was a
retrospective descriptive analytical approach. The samples were from medical record of the
patiens with typhoid fever during Januari December 2009 which is 135 medical record. The
medical record that suitable to inclusi criteria were 31. The result from this studi were
subfebris typhoid fever patiens 68%, normal hemoglobin rate 77%, normal leukocyte count
65%, and normal thrombocyte count 71%. The analysis done with chi square and fisher.
Analysis results are the rate of fever with hemoglobin p = 1.000, the rate of fever with
leukocyte concentration p = 1.000 and the rate of fever with thrombocyte concentration p =
0.677. From the test we could conclude that there is no relationship between fever with
hematological examination results in patients with typhoid fever.
ABSTRAK
Demam tifoid merupakan suatu infeksi sistemik yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella typhi. Bakteri ini dapat menghasilkan endotoksin yang mempengaruhi hasil
pemeriksaan hematologis dan merangsang demam pada penderita demam tifoid. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat demam dengan hasil pemeriksaan hematologi
pada penderita demam tifoid. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan
pendekatan retrospektif. Data penelitian berasal dari rekam medis penderita demam tifoid
yang dirawat di ruang rawat inap SMF kesehatan anak periode Januari Desember 2009 yang
berjumlah 135. Data yang memenuhi kriteria inklusi penelitian sebanyak 31. Pada penelitian
didapatkan penderita demam tifoid subfebris 68%, kadar hemoglobin normal 77%, kadar
leukosit normal 65%, dan kadar trombosit normal 71%. Analisa dilakukan dengan uji chi
square dan fisher. Hasil analisa tingkat demam dengan kadar hemoglobin p = 1.000, tingkat
demam dengan kadar leukosit p = 1.000 dan tingkat demam dengan kadar trombosit p =
0.677. Berdasarkan hasil uji tersebut disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan tingkat
demam dengan hasil pemeriksaan hematologi pada penderita demam tifoid.
Demam tifoid merupakan salah satu penyebab kematian utama di dunia dengan angka
kematian sebesar 12,6 juta kasus dan diperkirakan terjadi 600.000 kematian tiap tahunnya.
Hampir 80% dari kasus tersebut terjadi di Asia (Abro, dkk., 2009). Kejadian demam tifoid di
Indonesia sekitar 1100 kasus per 100.000 penduduk per tahunnya dengan angka kematian 3,1-
urutan kedua sebagai penyebab kematian pada kelompok umur 5-14 tahun di daerah
perkotaan. Prevalensi penyakit ini di Kalimantan Selatan masih cukup tinggi yaitu sebesar
1,95% (Balitbangkes.2008).
Demam tifoid biasanya menyerang anak-anak dan dewasa muda dengan kisaran umur
5-34 tahun (Simanjuntak. dkk., 2007). Angka kesakitan demam tifoid tertinggi terjadi pada
umur 5-19 tahun dengan manifestasi klinis ringan (Hadinegoro, 1999 ; Musnelina dkk.,2004).
Bakteri penyebab demam tifoid adalah Salmonella enterica serotipe typhi yang
merupakan basil gram negatif. Penularan bakteri ini terjadi secara fecal oral melalui makanan
yang terkontaminasi dan mengalami masa inkubasi dalam tubuh penderita selama 7-14 hari
(Musnelina dkk.,2004; Abro, dkk., 2009; Parry, dkk., 2002). Selama masa inkubasi tersebut
mungkin akan ditemukan gejala prodormal yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri
kepala, pusing dan tidak bersemangat. Kemudian menyusul gejala klinis seperti demam,
Salmonella typhi (S. typhi) mempunyai beberapa macam antigen yaitu antigen O
(somatik, terdiri dari zat kompleks lipopolisakarida yang biasa disebut endotoksin), antigen H
(flagella), antigen Vi dan Outer Membrane Proteins (FK UI, 2005; Nasrudin, dkk.,2007).
Endotoksin dalam sirkulasi diduga menyebabkan demam dan gejala toksik pada demam tifoid
yang lama. Kehadiran endotoksin dapat merangsang produksi sitokin. Produksi sitokin inilah
yang dapat menyebabkan gejala-gejala sistemik. Gejala tersebut antara lain demam, muntah,
sakit kepala, anoreksia, diare, konstipasi. Demam merupakan gejala sistemik yang paling
sering muncul pada kasus demam tifoid (Nelson, 1999; Yaramis, dkk., 2001 ; Khan , dkk.,
sel sumsum tulang. Lipopolisakarida juga menyebabkan penurunan yang cukup signifikan
pada eritrosit, leukosit, trombosit, hemoglobin dan persen hematokrit. Dengan kondisi
tersebut maka layanan rawat inap di rumah sakit sangat dianjurkan pada penyakit demam
tifoid .
Salah satu rumah sakit terbesar di Kalimantan adalah RSUD Ulin Banjarmasin yang
merupakan rumah sakit rujukan di wilayah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.
Selain itu, RSUD Ulin merupakan rumah sakit pendidikan di Kalimantan Selatan. Dari uraian
di atas, diduga terdapat hubungan tingkat demam dengan hasil pemeriksaan hematologi pada
penderita demam tifoid. Penelitian mengenai hubungan tingkat demam dengan hasil
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka permasalahan penelitian
yang akan di kaji adalah tentang hubungan tingkat demam dengan hasil pemeriksaan
hematologi pada penderita demam tifoid yang dirawat di SMF/Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Untuk itu penelitian ini dirancang guna menilai suhu tubuh, kadar hemoglobin, jumlah
leukosit, jumlah trombosit dan menganalisis hubungan tingkat demam dengan hasil
pemeriksaan hematologi penderita demam tifoid yang yang dirawat di SMF/Bagian Ilmu
Populasi pada penelitian ini adalah pasien demam tifoid yang dirawat di Bagian Anak
RSUD Ulin Banjarmasin periode Januari sampai Desember 2009. Adapun sampel pada
penelitian ini diperoleh dengan teknik consecutive sampling dengan jumlah sampel minimal
30 (Gabriel, 2000), yaitu pasien demam tifoid yang dirawat di Bagian Anak RSUD Ulin
Banjarmasin periode Januari sampai Desember 2009 yang memenuhi kriteria inklusi sebagai
berikut:
1. Pasien dengan diagnosis keluar demam tifoid tanpa komplikasi dan penyakit penyerta.
3. Pasien dengan hasil pemeriksaan hematologi (kadar hemoglobin, leukosit, dan trombosit).
Hasil pemeriksaan hematologi yang digunakan adalah hasil hematologi pertama kali yang
Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah rekam medik pasien yang memuat
data pemeriksaan suhu tubuh dan hasil hematologi (kadar hemoglobin, kadar leukosit, dan
kadar trombosit).
1. Demam (febris) suatu keadaan dimana terjadi kenaikan suhu diatas batas normal (Yaramis,
dkk., 2001 ). Suhu tubuh normal pada anak bervariasi antara 36,50C-37,40C. Tingkat
demam diklasifikasikan menjadi subfebris dan febris. Subferis jika suhu tubuh berkisar
Laki-laki Perempuan
Kategori abnormal jika kurang atau lebih dari standard range normal.
b. Kadar leukosit adalah jumlah leukosit yang dapat diketahui melalui pemeriksaan darah
Laki-laki Perempuan
c. Kadar trombosit adalah jumlah trombosit yang dapat diketahui melalui pemeriksaan
Kategori abnormal jika kurang atau lebih dari standard range normal.
Pelaksanaan penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan rekam medik pasien demam
tifoid di bagian Anak RSUD Ulin Banjarmasin pada periode Januari Desember tahun 2009.
Hasil pengukuran suhu tubuh, kadar hemoglobin, kadar leukosit, dan kadar trombosit didata
dari rekam medik yang telah dikumpulkan. Semua data kemudian diklasifikasikan dan
Setelah data dikumpulkan dan disajikan dalam bentuk tabel kemudian dilakukan
penilaian secara analitik dengan uji statistik chi square test dengan nilai P < 0,05. Uji
statistik chi square test dilakukan dengan cara komputerisasi menggunakan aplikasi
SPSS.
Penelitian ini dilakukan di bagian anak dan bagian rekam medik RSUD Ulin
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui adanya hubungan tingkat demam dengan
hasil pemeriksaan hematologi pada penderita demam tifoid. Hasil pemeriksaan hematologi
yang diteliti adalah kadar hemoglobin, kadar leukosit dan kadar trombosit.
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin dengan
mencatat data yang terdapat di rekam medik penderita demam tifoid pada tahun 2009 yang
sesuai dengan kriteria inklusi. Rekam medik pasien demam tifoid sebanyak 135. Sedangkan
Gambar 1. Distribusi kadar hemoglobin pada penderita demam tifoid di SMF/ bagian Ilmu
Kesehatan Anak RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2009.
Pada pemeriksaan kadar hemoglobin ditemukan 24 orang penderita (81%) demam tifoid
dengan kadar hemoglobin normal dan 7 orang penderita (19%) demam tifoid dengan kadar
hemoglobin abnormal, dimana pasien anemia sebanyak 3 orang dan pasien polisitemia 4
orang. Dari data tersebut diketahui bahwa kadar hemoglobin normal lebih banyak daripada
yang abnormal. Kejadian kadar hemoglobin abnormal memang jarang dijumpai. Menurut
Hosuglu penderita demam tifoid yang kadar hemoglobinnya abnormal hanya berkisar 17%
Data distribusi kadar leukosit penderita demam tifoid berdasarkan hasil penelitian
Gambar 2. Distribusi kadar leukosit pada penderita demam tifoid di SMF/ bagian Ilmu
Kesehatan Anak RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2009.
Pada pemeriksaan leukosit ditemukan 20 penderita (65%) demam tifoid dengan kadar
leukosit normal dan 11 penderita (35%) demam tifoid dengan kadar leukosit abnomal, dimana
pasien leukopenia sebanyak 3 orang dan leukositosis 8 orang. Dari data tersebut diketahui
bahwa penderita demam tifoid dengan kadar leukosit normal lebih banyak daripada penderita
demam tifoid dengan kadar leukosit abnormal. Abro et al (2009) telah melaporkan bahwa
pada penderita demam tifoid hanya 14,6% penderita saja yang kadar leukositnya abnormal.
Data distribusi kadar trombosit penderita demam tifoid disajikan pada gambar 3:
Gambar 3 . Distribusi kadar trombosit pada penderita demam tifoid di SMF/ bagian Ilmu
Kesehatan Anak RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2009.
Pada pemeriksaan trombosit ditemukan 22 penderita demam tifoid (71%) dengan kadar
trombosit normal dan 9 penderita (29%) demam tifoid dengan kadar trombosit abnomal,
dimana pasien trombositopenia sebanyak 5 orang dan trombositosis 4 orang. Dari data
tersebut diketahui bahwa penderita demam tifoid dengan kadar trombosit normal lebih banyak
daripada penderita demam tifoid dengan kadar trombosit abnormal. Abro et al (2009) telah
melaporkan bahwa hanya 30% penderita demam tifoid saja yang kadar trombositnya
abnormal.
Analisis deskriftif univariat hasil hematologi pada penderita demam tifoid yang
Tabel 1. Analisis deskriptif univariat hasil pemeriksaan hematologi pada penderita demam
tifoid di SMF / bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Ulin Banjarmasin Tahun 2009.
Dari tabel 1 terlihat bahwa secara deskriptif 48,5% hasil pemeriksaan hematologi pada
penderita demam tifoid adalah normal. Hal ini diperkirakan karena jumlah endotoksin yang
ada di dalam tubuh penderita masih sedikit atau belum mencapai batas toksik sehingga efek
dari endotoksin tersebut tidak terlihat. Endotoksin akan sangat berefek negatif jika jumlahnya
Dari hasil penelitian didapatkan data tingkat demam penderita demam tifoid seperti
Gambar 4. Distribusi tingkat demam pada penderita demam tifoid di SMF/ bagian Ilmu
Kesehatan Anak RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2009.
Dari 51 rekam medis tersebut didapatkan penderita subfebris sebanyak 21 orang (68%)
dan penderita febris sebanyak 10 orang (32%). Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa
lebih banyak tingkat demam subfebris daripada febris. Hal ini diperkirakan karena pemberian
pada penderita demam tifoid yang memiliki responden disajikan pada tabel 2:
Tabel 2. Analisis deskriptif univariat tingkat demam dengan hasil pemeriksaan hematologi
pada penderita demam tifoid di SMF / bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Ulin
Banjarmasin Tahun 2009
Tingkat Persen
Hemoglobin Leukosit Trombosit Jumlah
Demam (%)
Tinggi Tinggi Tinggi Febris - -
Tinggi Tinggi Tinggi Subfebris 1 3,2
Normal Tinggi Tinggi Febris 1 3,2
Normal Tinggi Tinggi Subfebris 2 6,5
Tinggi Tinggi Normal Febris - -
Tinggi Tinggi Normal Subfebris 1 3,2
Normal Tinggi Normal Febris 2 6,5
Normal Tinggi Normal Subfebris - -
Rendah Tinggi Rendah Febris - -
Rendah Tinggi Rendah Subfebris 1 3,2
Normal Normal Tinggi Febris - -
Normal Normal Tinggi Subfebris 1 3,2
Tinggi Normal Normal Febris 1 3,2
Tinggi Normal Normal Subfebris 1 3,2
Normal Normal Normal Febris 5 16,2
Normal Normal Normal Subfebris 10 32,3
Rendah Normal Normal Febris - -
Rendah Normal Normal Subfebris 1 3,2
Normal Normal Rendah Febris - -
Normal Normal Rendah Subfebris 1 3,2
Normal Rendah Normal Febris - -
Normal Rendah Normal Subfebris 1 3,2
Normal Rendah Rendah Febris - -
Normal Rendah Rendah Subfebris 1 3,2
Rendah Rendah Rendah Febris 1 3,2
Rendah Rendah Rendah Subfebris - -
Jumlah 31 100
Dari tabel 2 terlihat bahwa 32,3% hasil pemeriksaan hematologi pada penderita demam
tifoid dengan tingkat demam subfebris adalah normal. Dari hasil tersebut bisa diasumsikan
bahwa secara deskriptif terdapat hubungan tingkat demam dengan hasil hematologi, dimana
hasil hematologi pada pasien subfebris umumnya normal. Oleh sebab itu perlu dilakukan uji
Hubungan tingkat demam dengan kadar hemoglobin pada penderita demam tifoid
Tabel 3. Hubungan tingkat demam dengan kadar hemoglobin pada penderita demam tifoid
di SMF / bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Ulin Banjarmasin Tahun 2009
hemoglobin normal, 5 penderita demam tifoid subfebris dengan kadar hemoglobin abnormal,
8 penderita demam tifoid febris dengan kadar hemoglobin normal, dan 2 penderita demam
tifoid febris dengan kadar hemoglobin abnormal. Data ini kemudian dianalisis dengan uji chi
square. Berdasarkan uji chi square diketahui bahwa terdapat nilai expected count yang kurang
dari 5 sebanyak 50%. Dengan demikian data tersebut tidak dapat diuji dengan uji chi-square.
Oleh sebab itu, maka digunakan uji fisher untuk menganalisis data tersebut. Berdasarkan hasil
uji fisher didapatkan bahwa nilai p = 1,000 (p > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak
terdapat hubungan tingkat demam dengan kadar hemoglobin pada penderita demam tifoid.
Hubungan tingkat demam dengan kadar leukosit pada penderita demam tifoid dapat
Tabel 4 di atas menunjukkan 14 penderita demam tifoid subfebris dengan kadar leukosit
normal, 7 penderita demam tifoid subfebris dengan kadar leukosit abnormal, 6 penderita
demam tifoid febris dengan kadar leukosit normal, dan 4 penderita demam tifoid febris
dengan kadar leukosit abnormal. Data ini kemudian dianalisis dengan uji chi square.
Berdasarkan uji chi square diketahui bahwa terdapat nilai expected count yang kurang dari 5
sebanyak 25%. Dengan demikian data tersebut tidak dapat diuji dengan uji chi-square. Oleh
sebab itu, maka digunakan uji fisher untuk menganalisis data tersebut. Berdasarkan hasil uji
fisher didapatkan bahwa nilai p = 1,000 (p > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan tingkat demam dengan kadar leukosit pada penderita demam tifoid.
Hubungan tingkat demam dengan kadar trombosit pada penderita demam tifoid tersaji
pada tabel 5:
Tabel 5. Hubungan tingkat demam dengan kadar trombosit pada penderita demam tifoid di
SMF / bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Ulin Banjarmasin Tahun 2009
trombosit normal, 7 penderita demam tifoid subfebris dengan kadar trombosit abnormal, 8
penderita demam tifoid febris dengan kadar trombosit normal, dan 2 penderita demam tifoid
febris dengan kadar trombosit abnormal. Data ini kemudian dianalisis dengan uji chi square.
Berdasarkan uji chi square diketahui bahwa terdapat nilai expected count yang kurang dari 5
sebanyak 25%. Dengan demikian data tersebut tidak dapat diuji dengan uji chi-square. Oleh
sebab itu, maka digunakan uji fisher untuk menganalisis data tersebut. Berdasarkan hasil uji
fisher didapatkan bahwa nilai p = 0,677 (p > 0,05).Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan tingkat demam dengan kadar trombosit pada penderita demam tifoid.
Hasil uji yang didapat pada penelitian ini tidak sesuai dengan hipotesis peneliti yaitu
terdapat hubungan tingkat demam dengan kadar hemoglobin, kadar leukosit dan kadar
trombosit pada penderita demam tifoid di SMF/Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Ulin
Banjarmasin Tahun 2009. Ketidaksesuaian ini dapat dipengaruhi oleh pengaturan suhu tubuh
yang setiap individu yang berbeda-beda. Pengaturan suhu tubuh tersebut dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain (Port dan Bowne, 2007; El Radhi, dkk., 2009; Arthur G, 1997):
1. Dehidrasi
mengurangi proses pengeluaran panas. Hal ini mengakibatkan suhu tubuh meningkat.
Kecepatan metabolisme basal tiap individu berbeda-beda. Hal ini memberi dampak
3. Gangguan organ
Kerusakan organ seperti trauma atau keganasan pada hipotalamus, dapat menyebabkan
mekanisme regulasi suhu tubuh mengalami gangguan. Kelainan kulit berupa jumlah
kelenjar keringat yang sedikit juga dapat menyebabkan mekanisme pengaturan suhu
tubuh terganggu.
4. Rangsangan simpatis
Pada situasi penuh stress, bagian simpatis dari saraf otonom terstimulasi. Neuron-neuron
metabolisme rate dari sel tubuh. Hal ini dapat mempengaruhi produksi panas tubuh.
5. Hormon
6. Lingkungan
Lingkungan dapat mempengaruhi suhu tubuh manusia. Suhu tubuh dapat mengalami
pertukaran dengan lingkungan, artinya panas tubuh dapat hilang atau berkurang akibat
lingkungan yang lebih dingin, begitu juga sebaliknya. Perpindahan suhu antara manusia
Selain penjelasan tersebut di atas, tidak sesuainya hasil penelitian ini dengan hipotesis
peneliti diperkirakan karena tidak diketahuinya jumlah endotoksin yang ada di dalam tubuh
penderita demam tifoid. Variasi jumlah endotoksin di dalam tubuh penderita demam tifoid ini
menyebabkan hasil tingkat demam dan hematologi yang bervariasi. Selain itu sistem imun
penderita juga mempengaruhi hasil, di mana jika sistem imun penderita cukup baik maka
kemampuan tubuh untuk melawan invasi bakteri pun bisa lebih cepat dan baik sehingga hasil
pemeriksaan suhu tubuh dan hematologinya pun baik. Sistem imun tersebut juga dipengaruhi
beberapa faktor antara lain umur, lingkungan tempat tinggal dengan polusi industri, dan
paparan terus menerus terhadap bahan kimia seperti formaldehyde, benzol, aseton, dan lain-
Walaupun hasil penelitian ini menunjukkan hubungan yang tidak bermakna namun
penelitian ini sendiri memiliki makna bahwa jika penderita demam tifoid suhu tubuh tidak
terlalu tinggi belum tentu hasil pemeriksaan hematologinya normal saja. Masih perlu
diwaspadainya penurunan ataupun peningkatan hasil hematologi pada penderita demam tifoid
PENUTUP
A. Simpulan
1. Tidak terdapat hubungan tingkat demam dengan kadar hemoglobin pada penderita
demam tifoid di SMF/Bagian ilmu kesehatan anak RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2009.
2. Tidak terdapat hubungan tingkat demam dengan kadar leukosit pada penderita demam
tifoid di SMF/Bagian ilmu kesehatan anak RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2009.
3. Tidak terdapat hubungan tingkat demam dengan kadar trombosit pada penderita demam
tifoid di SMF/Bagian ilmu kesehatan anak RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2009.
B. Saran
Basal Metabolik Rate, gangguan organ, rangsangan simpatis, hormon, dan lingkungan.
2. Perlu dilakukan pemeriksaan hematologi awal dan akhir sehingga proses perjalanan
DAFTAR PUSTAKA
Arthur C. Guyton, John E. Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Jakarta: EGC, 1997.
Abro AH, Abdou AMS, Gangwani JL, Younis NJ, Hussaini HS. Hematological and
biochemical changes in typhoid fever. Pak J Med Sci 2009; 25(2): 166-171.
Al-Sagair OA, El-Daly ES, Mousa AA. Influence of bacterial endotoxin on bone marrow and
blood components. Medical Journal of Islamic World Academy of Sciences 2009; 17(1):
23-26.
Bhutta ZA. Current concept in the diagnosis and treatment of typhoid fever. BMJ 2006; 333:
78-82.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI, 2008.
Dimitrov T, Udo EE, Albaksami O, Al-Shehab S, Kilani A, Shehab M et al. Clinical and
microbiological investigations of typhoid fever in an infectious disease hospital in
Kuwait. Journal of Medical Microbiology 2007; 56: 538-544.
El-Radhi AS, Carroll J, Klein N. Clinical Manual of Fever in Children. USA: Springer, 2009.
Gabriel AS. Metodologi Penelitian dan Studi Kasus. Jakarta: Citramedia, 2000.
Hadinegoro SR. Masalah multidrug resintance pada demam tifoid anak. CDK 1999; 124: 5-8.
Hosoglu S, Aldemir M, Akalin S, Geyik MF, Tacyildiz IH, Loeb M. Risk factors for enteric
perforation in patients with typhoid fever. Am J Epidemiol 2004; 160: 46-50.
Khan M, Coovadia YM, Connolly C,Sturm AW. Influence of sex on clinical features,
laboratory findings, and complications of typhoid fever. Am J Trop 1999; 61(1): 41-46.
Nelson. Ilmu kesehatan anak volume 2 edisi 15. Jakarta: EGC, 1999.
Neopane A, Poundel B, Pradhan B, Dhakal R, Karki DB. Enteric fever: diagnosis value of
clinical features. Kathmandu University Medical Journal 2006; 4(3): 307-315.
Nasrudin, Hadi U, Vitanata, Erwin AT, Bramantono, Suharto, dkk. Penyakit infeksi di
Indonesia. Surabaya: Airlangga University Press, 2007.
Parry CM, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. Typhoid fever. N Engl J Med 2002;
347(22): 1770-1782.
Porth CM dan Bowne PS. Essentials of Pathophysiology: Concepts of Altered Health States
Second Edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins, 2007.
Sacher RA, McPherson RA. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta: EGC,
2004.
Simanjuntak CH, Hoffman SL, Punjabi NH, Edman DC, Hasibuan MA, Sumarno W et al.
Epidemiologi demam tifoid di duatu daerah pedesaan di Paseh, Jawa Barat. CDK 2007;
6: 16-18.
Soldin SJ, Brugnara C, Hicks JM. Pediatric Reference Range 3rd Edition. Washington, DC:
AACC Press, 2009
Yaramis A, Yildirim I, Katar S, Ozbek MN, Yalcin I, Tas MA, et al. Clinical and laboratory
presentation of typhoid fever. International Pediatrics; 2001: 16(4): 227-231.