You are on page 1of 12

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG

ASEAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM TATA NEGARA


DAN HUKUM INTERNASIONAL

(Studi Kasus: Putusan MK No. 33/PUU-IX/2011 tentang


Pengujian UU No. 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Piagam
Asean)

Oleh Kelompok 8:

Aisha Nadha Audina

Anis Istiqomah

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO

2016
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pilihan kebijakan hukum (legal policy) bahwa Indonesia adalah negara
hukum telah dianut sejak lama, meskipun telah berulang kali terjadi
penggantian konstitusi dan dengan rumusan yang berbeda-beda. 1 Indonesia
adalah negara hukum, sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) Perubahan
Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (untuk
selanjutnya disebut sebagai UUD 1945). Hal yang sangat pokok dalam sebuah
negara hukum adalah ketika negara melaksanakan kekuasaannya, negara
tunduk terhadap pengawasan hukum.2
Pasca reformasi, sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami berbagai
perubahan melalui adanya 4 (empat) tahap perubahan terhadap UUD 1945. 3
Salah satu materi pembahasan dalam perubahan UUD 1945 adalah penjaminan
hak konstitusional warga negara.4 Pembahasan mengenai hak konstitusional
warga negara ini kemudian menghadirkan Mahkamah Konstitusi sebagai
pengawal konstitusi (the guardian of the constitution) yang berwenang menguji
undang-undang terhadap UUD 1945. Bentuk uji materiil undang-undang secara
1 Dalam penjelasan UUD 1945 Sebelum Perubahan Negara Indonesia
berdasar atas hukum (rechstaat) tidak berdasar atas kekuasaan
belaka (machtsstaat); Dalam Ps. 1 ayat (1) Konstitusi RIS mengatur:
Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu
negara hukum yang demokrasi dan berbentuk federasi; Dalam Ps. 1
ayat (1) UUDS RI mengatur: Republik Indonesia yang merdeka dan
berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk
kesatuan; Dalam Ps. 1 ayat (3) Perubahan Ketiga UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur: Indonesia adalah negara
hukum.

2 Ahmad Syahrizal, 2006, Peradilan Konstitusi (Suatu Studi tentang


Adjudikasi Konstitusional Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa),
Jakarta: PT. Pradnya Paramita, hlm. 55.

3 Perubahan Tahap I (1999), Perubahan Tahap II (2000), Perubahan


Tahap III (2001), dan Perubahan Tahap IV (2002).
tidak langsung merupakan proses memeriksa, mengadili, dan memutus apakah
undang-undang yang diujikan bertentangan atau tidak terhadap UUD 1945.
Dalam keseluruhan pengaturan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk
menguji undang-undang tidak dijelaskan undang-undang seperti apa yang
masuk dalam lingkup pengujian oleh Mahkamah Konstitusi5 mengingat ada
beberapa contoh format undang-undang yang materi intinya tidak terdapat
dalam batang tubuh undang-undang itu sendiri, melainkan terdapat dalam
lampirannya. Misalnya, Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara dan undang-undang yang meratifikasi (mengesahkan)
perjanjian internasional.6 Adapun lampiran undang-undang ratifikasi, dalam hal
ini adalah perjanjian internasional, pada proses pembuatannya berkaitan
dengan kewenangan Presiden dalam membuat perjanjian internasional dengan
negara lain tertuang dalam Pasal 11 UUD 1945.
Dalam lingkup hukum tata negara, perjanjian internasional ini (traktat)
dikenal sebagai sumber hukum formil,7 sepanjang traktat atau perjanjian itu
menentukan segi hukum ketatanegaraan yang hidup bagi negara masing-

4 I Dewa Gede Palguna sebagai juru bicara F-PDIP menyampaikan bahwa


perlindungan hak konstitusional warga negara merupakan hal yang harus
mendapat perhatian dalam perubahan UUD 1945 dan pembentukan MK
bertujuan untuk menjamin konstitusionalitas kehidupan negara sekaligus
perlindungan hak konstitusional warga negara. Dikutip dari Mahkamah
Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945: Buku VI Kekuasaan Kehakiman, 2010, Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, hlm. 588.

5 Mahkamah Konstitusi juga pernah melakukan pengujian terhadap


Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) karena
Mahkamah berpendapat Perpu memiliki norma hukum yang kekuatan
mengikatnya sama dengan undang-undang maka terhadap norma
yang terdapat dalam Perpu tersebut Mahkamah dapat menguji apakah
bertentangan secara materiil dengan UUD 1945 melalui Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 tentang pengujian atas
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

6 Jimly Asshiddiqie, 2011, Perihal Undang-Undang, Jakarta: Rajawali Press,


PT.Raja Grafindo Persada, hlm. 135.
masing yang terikat di dalamnya, sekalipun ia termasuk dalam bidang Hukum
Internasional. Dalam praktik ratifikasi yang dilakukan oleh Indonesia, telah
terdapat pengaturan perjanjian internasional dalam hukum positif Indonesia
yaitu Pasal 11 Perubahan Ketiga UUD 1945 dan UU No. 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional. Secara keseluruhan, pengaturan yang ada
belum mampu menerangkan hubungan antara hukum internasional (dalam hal
ini perjanjian internasional) dengan hukum nasional. Hal ini sangat diperlukan
untuk menentukan kedudukan dan status hukum perjanjian internasional dalam
hukum nasional Indonesia serta undang-undang ratifikasi sebagai pengesahan
dari perjanjian internasional tersebut.
Ketiadaan penjelasan tersebut berimplikasi pada berbagai pertanyaan
mengenai konstruksi hukum terhadap kedudukan undang-undang ratifikasi
perjanjian internasional, yang pada pokoknya berisi dua pasal berisikan
pengesahan bahwa Indonesia mengikuti suatu perjanjian internasional serta
perjanjian internasional terkait sebagai lampirannya. Pertentangan yang terjadi
menimbulkan pertanyaan mengenai kedudukan undang-undang ratifikasi dalam
sistem hukum nasional dan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk
melakukan pengujian terhadap undang-undang ratifikasi tersebut.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka makalah mengenai
Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Asean Dalam Perspektif
Hukum Tata Negara Dan Hukum Internasional menguraikan sejumlah
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana analisis terhadap Putusan MK No. 33/PUU-IX/2011 tentang
Pengujian Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 Tentang Pengesahan
Charter of The Association of Southeast Asian Nations (Piagam ASEAN)
ditinjau dari kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan
pengujian dan kedudukan undang-undang yang meratifikasi perjanjian
internasional?

7 Jimly Asshidiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II,
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI,
hlm. 231.
2. Bagaimana analisis terhadap Putusan MK No. 33/PUU-IX/2011 tentang
Pengujian Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 Tentang Pengesahan
Charter of The Association of Southeast Asian Nations (Piagam ASEAN)
ditinjau dari Hukum Internasional?

C. Tujuan Penulisan Makalah


Adapun tujuan penyusunan makalah mengenai Analisis Putusan
Mahkamah Konstitusi Tentang Asean Dalam Perspektif Hukum Tata Negara
Dan Hukum Internasional ini adalah:
1. Mengetahui kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian
undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011 tentang pengujian undang-
undang atas Undang-undang Nomor 38 Tahun 2008 Tentang Pengesahan
Charter of The Association of Southeast Asian Nations (Piagam ASEAN)
dalam perspektif Hukum Tata Negara Indonesia.
2. Mengetahui kedudukan Putusan MK No. 33/PUU-IX/2011 tentang
Pengujian Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 Tentang Pengesahan
Charter of The Association of Southeast Asian Nations (Piagam ASEAN)
ditinjau dari Hukum Internasional.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kedudukan Hukum Undang-Undang Ratifikasi (Pengesahan) Perjanjian


Internasional dalam Tata Urutan Perundang-undangan (UU No. 12 Tahun 2011)
Dalam pelbagai pandangan yang merujuk pada sistem hukum positif di
dunia, tidak terdapat satu negara pun yang secara khusus mengatur tata urutan
urutan perundang-undangan,8 sebagaimana di Indonesia. Kondisi ini disebabkan:9
Secara hukum tidak ada larangan mengatur tata urutan peraturan
perundang-undangan, karena sistem hukum itu tidak hanya terbatas pada
sistem peraturan perundang-undangan, karena pengaturan itu juga dapat
dilihat dari sudut tujuan yang hendak diraih (doelmatigeheid). Kalaupun ada
pengaturan, hanya terbatas pada asas, atau dalam hal UUD terdapat
ungkapan the supreme law of the land.

Indonesia sendiri mengenal dan mengatur tata urutan peraturan perundang-


undangan dalam hukum nasionalnya. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 7
UU No. 12 Tahun 2011 mengenai jenis dan tata urutan peraturan perundang-
undangan,10 ditegaskan bahwa kedudukan hukum sebuah undang-undang berada
di bawah UUD 1945 dan Ketetapan MPR serta diatas Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah
8 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi (Jakarta: Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, 2000),
hlm. 130. Kalaupun ada pengaturan, hanya terbatas pada asas yang
menyebutkan misalnya Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
tingkatannya atau dalam hal UUD ada ungkapan the supreme law of
the land. Di Jerman dikenal tata urutan (hierarki) sumber hukum
(Gesetzesvorrang), yang urutannya UUD (Grundgesetz), perjanjian
internasional yang penting, UU yang dibuat oleh parlemen pusat,
Peraturan Pemerintah Pusat, Peraturan Menteri Federal, dan UUD
negara bagian. Sementara itu, di negara Finlandia, urutan sumber
hukumnya adalah Konstitusi, UU yang dibuat oleh Parlemen, dekrit
yang dibuat oleh Presiden, kabinet atau menteri, peraturan lainnya
yang dibuat oleh pejabat di bawah menteri. Lihat, R.M. Ananda B.
Kusuma, Keabsahan UUD 1945 Pasca Amandemen, Jurnal Konstitusi
Vol. 4 No. 1 (Maret 2007): 148- 155.

9 Ibid., hlm. 131.


Kabupaten/Kota. Dalam ketentuan ayat (2) juga di pasal yang sama disebutkan
bahwa kekuatan peraturan perundang-undangan sesuai dengan tata urutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Sebuah konsekuensi logis dari kedudukan
hukum undang-undang ini berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Bagir Manan
adalah peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah, dalam hal ini undang-
undang, harus bersumber dan berdasar dari suatu perundang-undangan yang lebih
tinggi, yaitu UUD 1945 dan/atau Ketetapan MPR; dan isi atau materi muatan
undang-undang ini tidak boleh menyimpangi atau bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.

B. Kewenangan MK Menguji UU Ratifikasi PI (Analisis Putusan MK No.


33/PUU-IX/2011 tentang Pengujian UU No. 38 Tahun 2008 tentang
Pengesahan Charter of The Association of Southeast Asian Nations Terhadap
UUD 1945)
Para Pemohon mengajukan permohonan pengujian undang-undang
berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 177/PAN.MK/2011
yang dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor 33/PUU-
IX/2011. Pada pokoknya para Pemohon menyatakan bagian materi/muatan
pasal/ayat dari UU No. 38 Tahun 2008 beserta lampirannya Piagam Asean sebagai
bagian yang tidak terpisahkan bertentangan dengan UUD 1945,11 yaitu ketentuan
Pasal 1 ayat 5 dan Pasal 2 ayat (2) huruf n Piagam Asean bertentaangan dengan
UUD 1945.12 Kedua Pasal dalam Piagam Asean ini merupakan konsepsi
penyatuan pasar di atas landasan neoliberalisme dengan cakupan yang sangat luas
meliputi seluruh isu ekonomi, investasi, perdagangan, keuangan, dan
perburuhan.13

10 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan, UU No. 12 Tahun 2011, LN No. 82
Tahun 2011, TLN No. 5234, Ps. 7 ayat (1).

11 Ibid., hlm. 28.

12 Charter of Southeast Asian Nations, dapat diunduh dari


http://www.asean.org/asean/asean-charter/asean-charter, pada 24
November 06.33 WIB.
Secara keseluruhan, dalam Putusan MK No. 33/PUU-IX/2011 ini terlihat
adanya perdebatan mengenai kewenangan MK menguji UU ratifikasi. Hal ini
dapat dilihat dari bagian IV, Penjelasan Pemerintah dan adanya pendapat berbeda
(dissenting opinion) dari dua Hakim Konstitusi, yaitu Hamdan Zoleva dan Maria
Farida Indrati, yang pada pokoknya adalah menyatakan bahwa MK tidak
berwenang menguji uu ratifikasi, sehingga permintaan tersebut harus ditolak.
Dalam pemaparan bab sebelumnya telah disebutkan bahwa pengaturan
kewenangan MK dalam melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD
diatur dalam Pasal 24C Perubahan Ketiga UUD 1945 yang menyatakan
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar. Berdasarkan ketentuan dalam pasal tersebut, produk hukum yang
diuji konstitusionalitasnya oleh MK adalah undang-undang terhadap UUD.
Namun, UUD 1945 tidak memberikan lingkup batasan pengertian undang-undang
secara tegas.14 Apabila dilihat dari penulisannya, kata undang-undang dalam
pasal tersebut adalah dengan huruf kecil. Penggunaan huruf kecil dalam kata
undang-undang ini menimbulkan pertanyaan apakah terdapat signifikansi
perbedaan akibat hukum dengan penggunaan huruf kapital pada penulisan kata
Undang-Undang, sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan UU No. 12
Tahun 2011.
Biasanya, penggunaan huruf kapital pada penulisan kata Undang-Undang
dipahami dalam arti nama atau sebutan kepada undang-undang yang sudah
tertentu. Sedangkan, penggunaan huruf kecil pada penulisan kata undang-
undang, memiliki maksud undang-undang dalam arti umum atau belum tertentu
dalam hal nomor dan judul undang-undangnya. Dengan kata lain dapat
disimpulkan bahwa undang-undang adalah genus, sedangkan Undang-
Undang adalah berkaitan dengan udang-undang dengan nomor dan nama
tertentu.15
Berangkat dari pemahaman tersebut juga, maka Undang-Undang dapat
dipahami sebagai produk hukum dalam arti luas yang ruang lingkupnya
13 Ringkasan Permohonan Putusan MK No. 33/PUU-IX/2011, hlm. 12.

14 Jimly Asshidiqie, 2010, Perihal Undang-Undang, Jakarta: PT Raja


Grafindo Persada, hlm. 21.
menyangkut materi dan bentuk tertentu16 yang berkaitan dengan undang-undang
dalam arti material (wet in materiele zin), yang melihat undang-undang dari segi
isi, materi, atau substansi yang diatur dan undang-undang dalam arti formal (wet
in formele zin) dilihat dari segi bentuk dan pembentukannya. Jimly Asshidiqie
mengemukakan, terhadap undang-undang dalam arti formal atau materil ini tidak
dilakukan pembedaan dalam hal pengujiannya, undang-undang dapat menjadi
objek kajian hukum tata negara dari segi formal ataupun materilnya sekaligus.
Berdasarkan pemaparan tentang kedudukan hukum UU. No. 38 Tahun 2008
tentang Pengesahan Piagam Asean dalam tata urutan perundang-undangan di
Indonesia dan kewenangan MK menguji undang-undang terhadap UUD di atas,
Penulis berpandangan bahwa untuk menjawab pertanyaan tentang berwenang atau
tidaknya MK menguji UU No. 38 Tahun 2008 ini perlu diperhatikan kembali
mengenai wewenang MK untuk melakukan pengujian konstitusional yang
diberikan oleh UUD 1945 serta produk hukum yang menjadi objek pengujiannya.
Sebagaimana telah diuraikan dalam ketentuan yang menjadi landasan
konstitusional wewenang MK melakukan pengujian konstitusional, bahwa yang
menjadi kewenangan pengujian oleh MK adalah undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar.
Pengertian kata undang-undang dalam Pasal 24C tersebut tidak terlepas
dari ketentuan lain dalam UUD yang menyebut undang-undang, yaitu ketentuan
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21 Perubahan Pertama UUD 1945, bahwa istilah
undang-undang mempunyai makna sebagai produk hukum yang disetujui
bersama oleh DPR dan Presiden. Ketentuan dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 12
Tahun 2011 juga memberikan pengertian Undang-Undang adalah Peraturan
Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan
persetujuan bersama Presiden.
Pembentukan undang-undang ini berkaitan erat dengan fungsi legislasi yang
dimiliki oleh DPR, yaitu fungsi untuk membentuk peraturan-peraturan berupa
norma hukum yang mengikat dan membatasi warga negara. 17 Bagir Manan
mengemukakan bahwa Persetujuan DPR dalam undang-undang yang

15 Ibid.

16 Ibid., hlm. 21-22.


mengesahkan perjanjian internasional termasuk dalam fungsi legislasi, karena
menciptakan hukum atau menyetujui suatu hukum yang berlaku lintas negara. 18
Dengan memperhatikan uraian pada bagian kedudukan hukum UU No. 38 Tahun
2008 pada sub bab sebelumnya, bahwa UU No. 38 Tahun 2008 termasuk dalam
produk hukum dengan bentuk Undang-Undang yang dibentuk oleh Presiden
dan membutuhkan persetujuan DPR sebagai salah satu bentuk pelaksanaan
fungsi legislasi yang dimiliki oleh DPR. UU No. 38 Tahun 2008 juga memiliki
Charter of The Association of Southeast Asian Nations (Piagam Asean) sebagai
lampirannya dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari undang-undang
tersebut. Apabila hal ini dikaitkan dengan kewenangan MK untuk melakukan
pengujian konstitusional yang diamanatkan oleh Pasal 24C UUD 1945, maka
Penulis berpendapat bahwa MK berwenang untuk melakukan pengujian terhadap
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, termasuk undang-undang
yang meratifikasi perjanjian internasional, dalam hal ini adalah UU No. 38 Tahun
2008.
Namun, pengujian konstitusionalitas yang membatalkan bagian/pasal
tertentu dari suatu uu ratifikasi tidak serta merta menjadi suatu penarikan diri
Indonesia terhadap suatu perjanjian internasional. Hal ini dikarenakan, mengingat
tata cara penarikan diri (withdrawal) dari sutu perjanjian internasional telah
ditentukan dalam perjanjian tersebut.
C.

17 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Op.
Cit., hlm. 34.

18 Bagir Manan, Akibat Hukum di Dalam Negeri Pengesahan Perjanjian


Internasional (Tinjauan Hukum Tatanegara), Makalah, Focus Group Discussion
Departemen Luar Negeri dan
Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 29 November 2008, hlm.
91.
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan oleh Penulis, maka

diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. a) Kedudukan hukum undang-undang yang meratifikasi perjanjian


internasional menurut tata urutan perundang-undangan di Indonesia berada
di bawah UUD 1945, Ketetapan MPR dan di atas Peraturan Pemerintah,
Peraturan presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota. Dalam Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 yang mengatur
hierarki perundang-undangan tidak dilakukan pembedaan terhadap
undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional dan undang-
undang lainnya dalam tata urutannya.
b) Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang untuk menguji
konstitusionalitas suatu undang-undang yang meratifikasi perjanjian
internasional. Hal ini didasari pada ketentuan Pasal 24C Perubahan Ketiga
UUD 1945 yang menjadi landasan konstitusional wewenang MK dalam
melakukan pengujian disebutkan bahwa yang menjadi kewenangan
pengujian oleh MK adalah undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar. Pengertian kata undang-undang dalam Pasal 24C tersebut tidak
terlepas dari ketentuan lain dalam UUD yang menyebut undang-undang,
yaitu ketentuan Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21 UUD 1945, bahwa
istilah undang-undang mempunyai makna sebagai produk hukum yang
disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. Hal ini juga sejalan dengan
pendapat MK dalam Putusan MK No. 33/PUU-IX/2011 yang menyatakan
bahwa MK berwenang menguji UU No. 38 Tahun 2008 tentang
Pengesahan Charter of The Association of Southeast Asian Nations karena
pengujian ini merupakan pengujian konstitusionalitas norma undang-
undang, sehingga MK berwenang untuk mengadilinya.
2.
Daftar Pustaka

You might also like