You are on page 1of 37

BAB 1

PENDAHULUAN

Mata adalah salah satu organ yang memiliki sistem pelindung yang cukup
baik seperti rongga orbita, kelopak, dan jaringan retro bulbar. Selain itu
terdapatnya refleks memejam dan mengedip, tetapi mata masih sering
mendapatkan trauma dari dunia luar. Trauma dapat mengakibatkan kerusakan
pada bola mata, kelopak mata, saraf mata, dan rongga orbita. Kerusakan mata
akan dapat menimbulkan penyulit sehingga mengganggu fungsi penglihatan.
Trauma mata merupakan tindakan sengaja maupun tidak disengaja yang
dapat mengakibatkan perlukaan pada mata. Perlukaan yang ditimbulkan dapat
ringan, sedang, maupun berat. Pada mata dapat terjadi beberapa trauma terdiri dari
trauma tumpul, trauma tembus bola mata, trauma kimia, dan trauma radiasi.
Trauma kimia mata merupakan salah satu kegawatdaruratan mata yang
membutuhkan penatalaksanaan sesegera mungkin. Akibat buruk yang akan
ditimbulkan jika penatalaksanaan trauma terlambat adalah timbulnya berbagai
komplikasi yang salah satunya menyebabkan kebutaan bahkan kehilangan mata.
Lebih dari 800.000 kasus trauma mata yang berhubungan dengan pekerjaan
terjadi setiap tahunnya. Dibandingkan dengan wanita, laki-laki memiliki rasio
terkena trauma mata 4 kali lebih besar. Dari data WHO tahun 2008 trauma okular
berakibat kebutaan unilateral sebanyak 19 juta orang, 2,3 juta mengalami
penurunan visus bilateral, dan 1,6 juta mengalami kebutaan bilateral akibat cedera
mata. Sebagian besar (84%) merupakan trauma kimia. Rasio frekuensi bervariasi
trauma asam:basa antara 1:1 sampai 1:4. Secara international, 80% dari trauma
kimiawi dikarenakan oleh pajanan karena pekerjaan1.
Trauma kimia pada mata adalah trauma yang mengenai bola mata akibat
terpaparnya bahan kimia baik yang bersifat asam atau basa pada bola mata.
Trauma kimia diakibatkan oleh zat asam dengan pH < 7 ataupun zat basa pH > 7
yang dapat menyebabkan kerusakan struktur bola mata. Tingkat keparahan trauma
dikaitkan dengan jenis, volume, konsentrasi, durasi pajanan, dan derajat penetrasi
dari zat kimia tersebut. Trauma bahan kimia dapat terjadi pada kecelakaan dalam
laboratorium, industri, pekerjaan yang memakai bahan kimia, pekerjaan pertanian,

1
dan peperangan memakai bahan kimia serta paparan bahan kimia dari alat-alat
rumah tangga. Setiap trauma kimia pada mata memerlukan tindakan segera.
Irigasi daerah yang terkena trauma kimia merupakan tindakan yang harus segera
dilakukan24. Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan yang spesifik mengenai
trauma mata yang sering terjadi di lingkungan masyarakat, salah satunya adalah
trauma kimia.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Mata


Mata merupakan alat indra yang terdapat pada manusia. Secara konstan mata
menyesuaikan jumlah cahaya yang masuk, memusatkan perhatian pada objek
yang dekat dan jauh serta menghasilkan gambaran yang kontinu yang dengan
segera dihantarkan ke otak. Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal
24 mm. Bola mata di bagian depan kornea memiliki kelengkungan yang lebih
tajam, sehingga terdapat bentuk dengan 2 kelengkungan yang berbeda. Bola mata
dibungkus oleh 3 lapisan, yaitu sklera, jaringan uvea, dan retina.

Gambar 2.1 Anatomi mata tampak melintang2

Struktur lain dari bola mata terdiri dari3:


Sklera (bagian putih mata) : merupakan lapisan luar mata yang berwarna
putih dan relatif kuat. Merupakan jaringan ikat yang kenyal dan
memberikan bentuk pada mata.
Jaringan uvea: merupakan jaringan vaskular yang terdiri dari iris, badan
siliar, dan koroid. Jaringan uvea dan sklera dibatasi oleh ruang yang

3
potensial mudah dimasuki darah bila terjadi perdarahan pada ruda paksa
(perdarahan suprakoroid).
Retina: merupakan lapisan yang terletak paling dalam dan mempunyai
susunan lapis sebanyak 10 lapis yang merupakan lapisan membran
neurosensoris yang akan merubah sinar menjadi rangsangan pada saraf
optik dan diteruskan ke otak.
Konjungtiva : selaput tipis yang melapisi bagian dalam kelopak mata dan
bagian luar sklera.
Kornea : struktur transparan yang menyerupai kubah yang tembus
cahaya, merupakan pembungkus dari iris, pupil dan bilik anterior serta
membantu memfokuskan cahaya. Merupakan lapis jaringan yang
menutup bola mata depan dan secara histologis terdiri dari epitel,
membran bowman, stroma, membran descement, dan endotel.

Gambar 2.2 Histologi kornea4

Pupil : daerah hitam di tengah-tengah iris.


Iris : jaringan berwarna yang berbentuk cincin, menggantung di belakang
kornea dan di depan lensa. Iris memiliki kemampuan mengatur secara

4
otomatis masuknya cahaya ke dalam bola mata dengan cara merubah
ukuran pupil. Badan siliar merupakan susunan otot yang melingkar dan
mempunyai sistem ekskresi di belakang limbus.
Lensa : struktur cembung ganda yang tergantung diantara humor aqueus
dan vitreus; berfungsi membantu memfokuskan cahaya ke retina.
Saraf optikus : kumpulan jutaan serat saraf yang membawa pesan visuil
dari retina ke otak.
Humor aqueus : cairan jernih dan encer yang mengalir diantara lensa dan
kornea (mengisi segmen anterior mata), serta merupakan sumber makanan
bagi lensa dan kornea; dihasilkan oleh prosesus siliaris.
Humor vitreus : gel transparan yang terdapat di belakang lensa dan di
depan retina (mengisi segmen posterior mata).

Bola mata terbagi menjadi 2 bagian, masing-masing terisi oleh cairan:


1. Segmen anterior : mulai dari kornea sampai lensa, berisi humor aqueus yang
merupakan sumber energi bagi struktur mata di dalamnya. Segmen anterior
sendiri terbagi menjadi 2 bagian (bilik anterior : mulai dari kornea sampai iris,
dan bilik posterior : mulai dari iris sampai lensa). Dalam keadaan normal,
humor aqueus dihasilkan di bilik posterior, lalu melewati pupil masuk ke bilik
anterior kemudian keluar dari bola mata melalui saluran yang terletak ujung
iris.
2. Segmen posterior : mulai dari tepi lensa bagian belakang sampai ke retina,
berisi humor vitreus yang membantu menjaga bentuk bola mata.

Otot, Saraf, dan Pembuluh Darah Mata


Mata mempunyai otot, saraf serta pembuluh darah. Beberapa otot bekerja
sama menggerakkan mata. Setiap otot dirangsang oleh saraf kranial tertentu.
Tulang orbita yang melindungi mata juga mengandung berbagai saraf lainnya,
yaitu:
Saraf optikus membawa gelombang saraf yang dihasilkan di dalam retina
ke otak
Saraf lakrimalis merangsang pembentukan air mata oleh kelenjar air mata

5
Saraf lainnya menghantarkan sensasi ke bagian mata yang lain dan
merangsang otot pada tulang orbita.

Arteri oftalmika dan arteri retinalis menyalurkan darah ke mata kiri dan
mata kanan, sedangkan darah dari mata dibawa oleh vena oftalmika dan vena
retinalis. Pembuluh darah ini masuk dan keluar melalui mata bagian belakang3.

Gambar 2.3 Otot-otot penggerak bola mata2

2.2 Trauma Kimia Asam


2.2.1 Batasan
Trauma kimia asam pada mata merupakan salah satu keadaan kedaruratan
oftalmologi karena dapat menyebabkan cedera pada mata, baik ringan, berat,
bahkan sampai kehilangan penglihatan. Trauma kimia asam pada mata disebabkan
oleh paparan bahan kimia yang bersifat asam yang dapat merusak struktur bola
mata tersebut.Trauma kimia asam diakibatkan oleh zat asam dengan pH<7, dapat
menyebabkan kerusakan struktur bola mata. Tingkat keparahan trauma dikaitkan
dengan jenis, volume, konsentrasi, durasi pajanan, dan derajat penetrasi dari zat
kimia asam tersebut5.
Trauma kimia asam dapat terjadi pada kecelakaan di laboratorium, industri,
pekerjaan yang memakai bahan kimia asam, pekerjaan pertanian, dan peperangan
yang memakai bahan kimia asam serta paparan bahan kimia asam dari alat-alat
rumah tangga. Setiap trauma kimia asam pada mata memerlukan tindakan segera.
Irigasi daerah yang terkena trauma kimia asam merupakan tindakan yang harus
segera dilakukan6.

6
Trauma kimia asam bersifat lebih ringan dibandingkan dengan trauma kimia
basa karena cedera jaringan yang lebih fokus, selain itu epitel kornea dapat
memberikan perlindungan terhadap asam lemah. Pada saat terkena bahan asam
maka ion hidrogen akan merubah pH permukaan, sedangkan anion terkait
bereaksi dengan epitel dan sel stroma superfisial untuk mengendapkan dan
mendenaturasi protein permukaan. Protein yang di gumpalkan tersebut berfungsi
sebagai penghalang superfisial dan mencegah cedera intraokular. Asam kuat dapat
menembus dan menghasilkan pola cedera yang sebanding dengan sebuah luka
bakar basa, seperti kerusakan jaringan yang dalam pada mata yang mencapai pH
2,5 atau kurang7.

Gambar 2.4 Trauma kimia asam pada mata8

2.2.2 Etiologi
Trauma kimia asam biasanya disebabkan bahan-bahan yang tersemprot atau
terpercik pada wajah. Tabel 2.1 berikut merupakan contoh bahan kimia yang
bersifat asam:

Tabel 2.1 Bahan Penyebab Trauma Kimia Asam9

Komponen Aktif Sumber Utama Catatan


Asam sulfat (H2SO4) Pembersih industri, air accu Percampuran dengan air
mata menyebabkan cedera
panas, dapat disertai dengan
adanya benda asing atau
robekan jaringan

7
Asam sulfit (H2SO3) - Terbentuk dari Relatif lebih mudah
percampuran sulfur berpenetrasi dibandingkan
diokida (SO2) dengan air asam lainnya
mata
- Pengawet buah/sayuran
- Bahan pemutih
- Bahan pendingin

Asam hidrofluorik Bahan pemoles/pemutih Mudah berpenetrasi dan


(HF) kaca, pemisah mineral, menyebabkan trauma yang
alkilasi bensin, produksi parah
silicon
Asam klorida (HCL) Digunakan sebagai larutan Kerusakan berat bila
31-38% konsentrasi pekat dan
pajanan kronis
Asam cuka Cuka 4-10%, cuka biang Trauma ringan bila
(CH3COOH) 80%, asam asetat glasial konsentrasi <10%,
90% kerusakan meningkat bila
konsentrasi pekat
Chromik (Cr2O3) Industri pelapisan krom Pajanan yang kronis dapat
menyebabkan konjungtivitis
kronis dengan brown
discoloration

Trauma kimia asam yang paling parah disebabkan oleh asam hidrofluorik
karena berat molekulnya yang rendah dan ukurannya yang kecil, fluroride akan
menembus masuk ke stroma dan menyebabkan cedera kornea serta segmen
anterior. Asam sulfat merupakan penyebab trauma kimia mata tersering. Asam
sulfat bereaksi dengan air dan masuk ke dalam robekan pre kornea untuk
memproduksi panas yang mendestruksi epitel kornea serta konjungtiva. Salah satu
kejadian yang mengakibatkan luka bakar asam sulfat adalah ledakan accu mobil,
yang mungkin merupakan penyebab tersering dari luka bakar kimia pada mata10.

8
2.2.3 Klasifikasi
Trauma kimia asam dapat diklasifikasikan sesuai dengan derajat keparahan
yang ditimbulkan akibat bahan kimia penyebab trauma. Klasifikasi ini juga
bertujuan untuk penatalaksanaan yang sesuai dengan kerusakan yang muncul serta
indikasi penentuan prognosis. Klasifikasi ditetapkan berdasarkan tingkat
kejernihan kornea dan keparahan iskemik limbus. Selain itu klasifikasi ini juga
untuk menilai patensi dari pembuluh darah limbus (superficial dan profundus).
Klasifikasi tingkat keparahan akibat rudapaksa kimia berdasarkan M.J. Roper-
Hall:

Tabel 2.2 Klasifikasi Trauma Kimia11

Gradasi Kornea Konjungtiva Prognosis


I Erosi kornea Iskemia (-) Baik
II Keruh, detail iris jelas Iskemia < limbus Baik
III Kerusakan epitel total, stroma Iskemia 1/3 Kurang baik
keruh, detail iris kabur limbus
IV Keruh/putih, detail iris tak Iskemia > limbus Jelek
tampak

a b

9
c d
Gambar 2.5 Derajat keparahan trauma kimia berdasarkan Roper-Hall11
(a) Gradasi I; (b) Gradasi II; (c) Gradasi III; (d) Gradasi IV

2.2.4 Patofisiologi
Asam dipisahkan dalam dua mekanisme, yaitu ion hidrogen dan anion
dalam kornea. Molekul hidrogen merusak permukaan okular dengan mengubah
pH, sementara anion merusak dengan cara denaturasi protein, presipitasi, dan
koagulasi. Koagulasi protein umumnya mencegah penetrasi yang lebih lanjut dari
zat asam, dan menyebabkan tampilan ground glass dari stroma korneal yang
mengikuti trauma akibat asam. Sehingga trauma pada mata yang disebabkan oleh
zat kimia asam cenderung lebih ringan daripada trauma yang diakibatkan oleh zat
kimia basa5.
Asam hidrofluorida adalah satu pengecualian. Asam lemah ini secara cepat
melewati membran sel, seperti alkali. Ion fluorida dilepaskan ke dalam sel, dan
memungkinkan menghambat enzim glikolitikdan bergabung dengan kalsium dan
magnesium membentuk insoluble complexes. Nyeri lokal yang ekstrim bisa terjadi
sebagai hasil dari imobilisasi ion kalsium yang berujung pada stimulasi saraf
dengan pemindahan ion potassium. Fluorinosis akut bisa terjadi ketika ion
fluorida memasuki sistem sirkulasi, dan memberikan gambaran gejala pada
jantung, pernapasan, gastrointestinal, dan neurologi5.
Proses perjalanan penyakit pada trauma kimia ditandai oleh 2 fase, yaitu
fase kerusakan yang timbul setelah terpapar bahan kimia serta fase
penyembuhan.Kerusakan yang terjadi pada trauma kimia yang berat dapat diikuti
oleh hal-hal berikut:
a. Terjadi nekrosis pada epitel kornea dan konjungtiva disertai gangguan dan
oklusi pembuluh darah pada limbus
b. Hilangnya stem cell limbus dapat berdampak pada vaskularisasi dan
konjungtivalisasi permukaan kornea atau menyebabkan kerusakan
persisten pada epitel kornea dengan perforasi dan ulkus kornea bersih

10
c. Penetrasi yang dalam dari suatu zat kimia dapat menyebabkan kerusakan
dan presipitasi glikosaminoglikan dan opasifikasi kornea
d. Penetrasi zat kimia sampai ke kamera okuli anterior dapat menyebabkan
kerusakan iris dan lensa
e. Kerusakan epitel siliar dapat mengganggu sekresi askorbat yang
dibutuhkan untuk memproduksi kolagen dan memperbaiki kornea
f. Hipotoni dan phthisis bulbi sangat mungkin terjadi

Proses penyembuhan epitel kornea dan stroma diikuti oleh proses-proses berikut:
a. Terjadi penyembuhan jaringan epitelium berupa migrasi atau pergeseran
dari sel-sel epithelial yang berasal dari stem cell limbus
b. Kerusakan kolagen stroma akan difagositosis oleh keratosit sehingga
terjadi sintesis kolagen baru12.

Bahan kimia asam yang mengenai jaringan akan mengadakan denaturasi


dan presipitasi dengan jaringan protein di sekitarnya. Karena adanya daya buffer
dari jaringan terhadap bahan asam serta adanya presipitasi protein maka
kerusakannya cenderung terlokalisir. Bahan asam yang mengenai kornea juga
mengadakan presipitasi sehingga terjadi koagulasi, kadang-kadang seluruh epitel
kornea terlepas. Bahan asam tidak menyebabkan hilangnya bahan proteoglikan di
kornea. Bila trauma diakibatkan asam keras maka reaksinya mirip dengan trauma
basa13.

2.2.5 Anamnesis
Pada anamnesis pasien mengeluh adanya bahan kimia asam yang mengenai
mata disertai rasa nyeri sampai tidak bisa membuka mata, berair, kabur, dan silau.
Bahan asam yang mengenai mata bisa berupa cairan atau mata tersemprot gas
sehingga partikel-partikelnya masuk ke dalam mata. Rincian lengkap terjadinya
trauma dapat diperoleh lewat pertanyaan-pertanyaan berikut:
- Tanggal dan waktu terjadinya trauma
- Tempat kejadian
- Apakah kecelakaan kerja atau bukan

11
- Apakah ada unsur kesengajaan atau akibat orang lain/kelalaian
- Bagaimana terjadinya trauma (alat yang mengenai, arah trauma, kekuatan
trauma)
- Apakah memakai kacamata pelindung/ada kerusakan kacamata pengaman
- Bagaimana keadaan mata dan visus sebelum trauma
- Apakah ada korpus alienum intraokuler
- Pertolongan yang telah dilakukan sebelumnya
- Apakah trauma mengenai bagian tubuh lainnya
- Nama dan alamat saksi mata14

2.2.6 Gejala Klinis


Terdapat gejala klinis utama yang muncul pada trauma kimia yatu epifora,
blefarospasme, dan nyeri berat. Trauma akibat bahan yang bersifat asam biasanya
dapat segera terjadi penurunan visus akibat nekrosis superfisial kornea. Selain itu
dapat ditemukan gejala seperti kelopak mata bengkak, konjungtiva hiperemis,
kemosis, edem kornea, tes fluoresein +, sampai kekeruhan kornea yang hebat14.

2.2.7 Pemeriksaan
Pemeriksaan yang seksama sebaiknya ditunda sampai mata yang terkena zat
kimia asam sudah teririgasi dengan air dan pH permukaan bola mata sudah netral.
Obat anestesi topikal atau lokal sangat membantu agar pasien tenang, lebih
nyaman dan kooperatif sebelum dilakukan pemeriksaan. Setelah dilakukan irigasi,
pemeriksaan dilakukan dengan perhatian khusus untuk memeriksa kejernihan dan
keutuhan kornea, derajat iskemik limbus, tekanan intra ocular, konjungtivalisasi
pada kornea, neovaskularisasi, peradangan kronik dan defek epitel yang menetap
dan berulang3.

Tatalaksana trauma kimia mencakup :


a. Anastesi lokal
Obat anastesi lokal digunakan untuk menghilangkan nyeri pada mata, atau
saat akan melakukan pemeriksaan diagnostik tertentu seperti tonometer,
uji anel, pemeriksaan dengan goniolens, serta bedah pengeluaran benda

12
asing pada kornea atau konjungtiva. Obat anastesi local yang sering
dipakai adalah tetrakain 0,5%, kokain 2-5%.
Obat anastesi lokal dapat memberikan efek samping berupa:
- Memperlambat penyembuhan epitel kornea
- Memperberat proses kelainan kornea
- Dapat merusak epitel kornea
Kokain dapat memberikan efek samping berupa epitel kornea menjadi
ireguler, gelisah, demam, kejang, gangguan kardiovaskular.
b. Tes fluoresein
Merupakan tes untuk mengetahui terdapatnya kerusakan epitel kornea. Zat
warna fluoresein akan berubah berwarna hijau pada epitel kornea yang
defek. Alat/bahan yang dibutuhkan yaitu zat warna fluoresein 0,5 2 %
tetes mata atau kertas fluoresein, serta obat tetes anastetikum pantokain.
Teknik pemeriksaan awalnya mata ditetesi pantokain 1 tetes lalu zat warna
fluoresein diteteskan pada mata atau kertas fluoresein ditaruh pada forniks
inferior selama 20 detik. Zat warna diirigasi dengan larutan garam
fisiologik sampai bersih. Cari bagian pada kornea yang berwarna hijau.
Bila terdapat warna hijau pada kornea berarti terdapat defek pada epitel
kornea. Defek ini dapat dalam bentuk erosi kornea atau infiltrat yang
mengakibatkan kerusakan epitel. Zat warna yang menempel pada defek
epitel akan menghilang sesudah 30 menit
c. Pemeriksaan memakai lampu senter dan lup, lampu celah biomikroskop.
Lup merupakan alat untuk melihat benda menjadi lebih besar dibanding
ukuran normalnya. Lup mempunyai kekuatan 4-6 dioptri. Untuk melihat
benda dengan loupe yang berkekuatan 5,0 dioptri maka benda yang dilihat
harus terletak 20 cm (100/5) atau pada titik api lensa lup. Dengan jarak ini
mata tanpa akomodasi akan melihat benda lebih besar. Bila benda yang
dilihat disinari senter, maka benda yang dilihat akan lebih tegas. Hal ini
dipergunakan sebagai lampu celah biomikroskop karena cara kerjanya
hampir sama. Pemeriksaan dengan lup, lampu celah biomikroskop akan
lebih sempurna bila dilakukan di dalam kamar yang digelapkan.
d. Kertas pH meter atau lakmus untuk mengetahui jenis bahan kimia

13
Pemeriksaan pH bola mata dilakukan secra berkala. Irigasi pada mata
harus tetap dilakukan sampai tercapai pH normal.
e. Lid retractor / desmares untuk membantu membuka kelopak mata
f. Pemeriksaan oftalmoskopi/funduskopi direk dan indirek
g. Tonometri
Untuk mengetahui tekanan intraokular

2.2.8 Diagnosis
Diagnosis pada trauma mata dapat ditegakkan melalui anamnesis, gejala
klinis, dan hasil pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Namun hal ini
tidaklah mutlak dilakukan karena trauma kimia asam pada mata merupakan kasus
gawat darurat sehingga hanya diperlukan anamnesis singkat15

2.2.9 Diagnosis Banding


Beberapa penyakit yang menjadi diagnosis banding trauma kimia asam pada
mata antara lain konjungtivitis, konjungtivitis hemoragik akut, kerato
konjungtivitis sika, erosi kornea, abrasi kornea, dan ulkus kornea5.

2.2.10 Tata Laksana


Tata laksana trauma mata bergantung pada berat ringannya trauma ataupun
jenis trauma itu sendiri. Namun demikian ada empat tujuan utama dalam
mengatasi kasus trauma okular, yaitu memperbaiki penglihatan, mencegah
terjadinya infeksi, mempertahankan struktur dan anatomi mata, serta mencegah
sekuele jangka panjang. Tata laksana trauma kimia mencakup tata laksana secara
umum dan secara khusus12.

2.2.10.1 Tata Laksana Umum


a. Irigasi mata dan jaringan sekitar. Semua rudapaksa /trauma kimia
merupakan kasus emergensi/darurat, sebaiknya pertolongan pertama mulai
dilakukan pada tempat kejadian sesegera mungkin, dengan cara
mencuci/irigasi dengan air bersih (air mineral, air sumur, air PDAM)

14
sesering mungkin sebelum dirujuk ke rumah sakit terdekat. Berikan
anestesi lokal tetes mata diikuti irigasi dengan aquades steril, cairan
fisiologis (normal salin, ringer laktat) secara manual, memakai spuit 20 cc
disposable, atau secara drip / continuous irrigation dengan infusion set.
Irigasi selain ditujukan pada kornea mata, juga untuk fornik
superior/inferior, bila ada sisa bahan kimia dapat dibersihkan dengan lidi
kapas steril basah atau pinset. Irigasi minimal 1 liter untuk masing-masing
mata, untuk bahan kimia asam irigasi dilakukan selama jam
b. Double eversi pada kelopak mata dilakukan untuk memindahkan material
yang terdapat pada bola mata. Selain itu tindakan ini dapat menghindarkan
terjadinya perlengketan antara konjungtiva palpebral, konjungtiva bulbi,
dan konjungtiva forniks.
c. Debridemen pada daerah epitel kornea yang mengalami nekrotik sehingga
dapat terjadi re-epitelisasi pada kornea. Selanjutnya diberikan bebat
(perban) pada mata dan artificial tear (air mata buatan)

Gambar 2.6 Irigasi dan pembebatan pada mata16

2.2.10.2 Tata laksana khusus berdasarkan fase peristiwa


a. Fase kejadian (immediate)
Tujuan tindakan pada fase ini yaitu menghilangkan material bahan asam hingga
sebersih mungkin. Tindakan yang dilakukan antara lain:
- Irigasi (dengan cara sama seperti pada tata laksana umum)

15
- Diagnosis ditegakkan lewat anamnesis, gejala klinis, serta pemeriksaan
oftalmologis

b. Fase akut (sampai hari ke-7)


Tujuan tindakan pada fase ini adalah mencegah terjadinya penyulit. Prinsip terapi
dengan medikamentosa dan pembedahan. Medikamentosa ditujukan untuk
mempercepat proses reepitelisasi kornea, mengontrol tingkat peradangan,
mencegah infeksi sekunder, mencegah peningkatan tekanan bola mata,
suplemen/antioksidan.

Medikamentosa yang diberikan pada pasien trauma kimia asam antara lain:
a. Steroid
Bertujuan untuk mengurangi inflamasi dan infiltrasi neutrophil. Namun
pemberian steroid dapat menghambat penyembuhan stroma dengan
menurunkan sintesis kolagen dan menghambat migrasi fibroblast. Untuk itu
steroid hanya diberikan secara inisial dan di-tapering off setelah 7-10 hari.
Dexametason 0,1% tetes mata dan Prednisolon 0,1% tetes mata diberikan
setiap 2 jam. Bila perlu dapat diberikan Prednisolon IV 50-200 mg.
b. Sikloplegik
Untuk mengistirahatkan iris, mencegah iritis dan sinekia anterior. Atropin 1%
tetes mata atau Scopolamin 0,25% diberikan 2 kali sehari.
c. Asam askorbat (vitamin C)
Mengembalikan keadaan jaringan scorbutik dan meningkatkan penyembuhan
luka dengan membantu pembentukan kolagen matur oleh fibroblast kornea.
Natrium askorbat 10% topical diberikan setiap 2 jam. Untuk dosis sistemik
dapat diberikan sampai dosis 2 gram per hari.

d. Beta bloker/karbonik anhidrase inhibitor


Untuk menurunkan tekanan intraocular dan mengurangi resiko terjadinya
glaukoma sekunder. Diberikan secara oral Asetazolamid (Diamox) 500 mg.
e. Antibiotik

16
Diberikan untuk mencegah infeksi oleh kuman oportunis. Tetrasiklin efektif
untuk menghambat kolagenase, menghambat aktivitas neutrophil dan
mengurangi pembentukan ulkus. Dapat diberikan bersamaan antara topikal
dan sistemik.
f. Asam hyaluronik
Untuk membantu proses reepitelisasi kornea dan menstabilkan barrier
fisiologis. Asam sitrat menghambat aktivitas neutrophil dan mengurangi reson
inflamasi. Natrium sitrat 10% topical diberikan setiap 2 jam selama 10 hari.
Tujuannya untuk mengeliminasi fagosit fase kedua yang terjadi 7 hari setelah
trauma.

Tindakan pembedahan terbagi atas pembedahan segera dan pembedahan


lanjut. Tindakan pembedahan segera merupakan pembedahan yang sifatnya segera
dibutuhkan untuk revaskularisasi limbus, mengembalikan populasi sel limbus dan
mengembalikan kedudukan forniks. Prosedur berikut dapat digunakan untuk
pembedahan12:
a. Pengembangan kapsul Tenon dan penjahitan limbus bertujuan untuk
mengembalikan vaskularisasi limbus, juga mencegah perkembangan ulkus
kornea
b. Transplantasi stem sel limbus dari mata pasien yang sebelah (autograft)
atau dari donor (allograft) bertujuan untuk mengembalikan epitel kornea
menjadi normal
c. Graft membran amnion untuk membantu epitelisasi dan menekan fibrosis
Sedangkan penanganan bedah pada tahap lanjut dapat menggunakan metode
berikut:
a. Pemisahan bagian-bagian yang menyatu pada kasus conjungtival bands
dan simblefaron
b. Pemasangan graft membran mukosa atau konjungtiva
c. Koreksi apabila terdapat deformitas pada kelopak mata
d. Keratoplasti dapat ditunda sampai 6 bulan. Makin lama makin baik, hal ini
untuk memaksimalkan resolusi dari proses inflamasi

17
e. Keratoprosthesis bisa dilakukan pada kerusakan mata yang sangat berat
dikarenakan hasil dari graft konvensional sangat buruk

Tabel 2.3 Penatalaksanaan Fase II9

Tindakan Gradasi I Gradasi II Gradasi III Gradasi IV


A - Bandage lens Bandage lens Bandage lens
B Antibiotik + Kortikosteroid Dexamethasone/ Dexamethasone/
steroid tetes 4- tetes 6x Prednisolon Prednisolon tetes/
6x tetes/jam 30 menit
C Antibitok + Tetrasiklin salep Tetrasiklin salep Tetrasiklin salep
steroid tetes 4- 4x, Doxysiklin 4x, Doxysiklin 4x, Doxysiklin
6x 2x100mg 2x100mg 2x100mg
D - Timolol 0,5% tetes Timolol 0,5% Timolol 0,5%
2x tetes 2x tetes 2x
Asetazolamide Asetazolamide
2x500mg 2x500mg
E Sulfas atropin Sulfas atropin 1% Sulfas atropin Sulfas atropin 1%
1% tetes 2x tetes 2x 1% tetes 2x tetes 2x
Vitamin C Vitamin C 2000mg Vitamin C Vitamin C
4x500mg 2000mg 2000mg
F - - Nekrotomi + Nekrotomi + graft
graft konjungtiva
konjungtiva limbus
limbus

c. Fase pemulihan dini (early repair: hari ke-7 sampai dengan hari ke-21)
Tujuan tindakan pada fase ini yaitu membatasi tingkat penyulit. Masalah yang
dihadapi pada fase ini antara lain hambatan reepitelisasi kornea, gangguan fungsi
kelopak mata, hilangnya sel goblet, ulserasi stroma hingga perforasi kornea.
Prinsip dan tata laksana sama seperti fase sebelumnya, disesuikan dengan kondisi
pasien.

18
Tabel 2.4 Penatalaksanaan Fase III9

Tindakan Gradasi I Gradasi II Gradasi III Gradasi IV


A Reepitelialisas Reepitelialisasi Bandage lens Bandage lens
i sempurna sempurna
Bandage lens
diteruskan
B Antibiotik + Kortikosteroid Dexamethasone/ Dexamethasone/
steroid tetes tetes tapering Prednisolon tetes Prednisolon tetes
tapering off off tappoff/ stop, tappoff/ stop, ganti
ganti dengan: dengan:
NSAID tetes NSAID tetes
(Indometason/ (Indometason/
Diclofenax) 6x Diclofenax) 6x
C Antibiotik + Tetrasiklin Tetrasiklin salep Tetrasiklin salep 2x
steroid tetes salep 2x 2x Doxysiklin
tapering off Doxysiklin Doxysiklin 2x100mg
2x100mg 2x100mg
D - Peningkatan Peningkatan TIO Timolol 0,5% tetes
TIO (-) timolol (-) timolol stop 2x
stop Asetazolamid +
ion K diteruskan
E Uveitis (-) : Uveitis (-) : Sulfas atropin 1% Sulfas atropin 1%
sulfas atropin sulfas atropin tetes 3x tetes 3x
dihentikan dihentikan Vitamin C 2000 Vitamin C 2000
Vitamin C mg/hari mg/hari
2000 mg Retinoic acid Vitamin A dan E
salep 2x
F - - Jaringan nekrotik Jaringan nekrotik
(+) : eksisi (+) : eksisi
Fungsi kelopak Mukosa
(+) : tarsoaphy bibir/amnion (+) :

19
stem cell limbus /
sklera/ facial

d. Fase pemulihan akhir (late repair: setelah hari ke-21)


Tujuan tindakan pada fase ini adaah rehabilitasi fungsi penglihatan. Prinsipnya
mempercepat proses reepitelisasi kornea atau optimalisasi fungsi epitel
permukaan.

Tabel 2.5 Penatalaksanaan pada Fase IV9

Tindakan Gradasi I Gradasi II Gradasi III Gradasi IV


A Solcosery 3x Epiteliopati (+) : Epiteliopati (+) : Reepitelialisasi
Solcosery 4x Solcosery 4x (+) : bandage lens
Retinoic acid 1% diteruskan
1x malam
B - NSAID tetes4x NSAID tetes 4x NSAID tetes 4x
Medroxy Medroxy
progesteron 1% progesteron 1%
4x 4x
C - - - Tetrasiklin salep
4x
Doxyiklin
2x100mg
D - - - Peningkatan TIO
(-) : Timolol 0,5%
tappoff
Asetazolamid +

20
ion K dihentikan

E - - - Uveitis (-) : sulfas


atropine
dihentikan
Vitamin C 2000
mg/hari
Vitamin A dan E
F - - - Graft konjungtiva
limbus / terapetik
keratoplasti,
keratoprostesis
2.2.11 Komplikasi
Komplikasi segera6:
a. Glaukoma akut
Dapat terjadi 2-4 jam setelah trauma, hal ini karena adanya pelepasan
prostaglandin yang merangsang terjadinya uveitis
b. Ekspose kornea, perlunakan kornea

Komplikasi jangka panjang6:


a. Simblefaron
Merupakan kelainan dengan gejala gerak mata terganggu, diplopia,
lagoftalmus, sehingga kornea dan penglihatan terganggu. Dapat diatasi
dengan simblefarektomi.

Gambar 2.7 Simblefaron8

21
b. Sindrom mata kering (keratitis Sicca)
Sindrom mata kering diatasi dengan air mata buatan, lensa kontak
bandage, atau tarsorafi

Gambar 2.8 Keratitis sicca8

c. Katarak traumatika
Dapat diatasi dengan ekstraksi lensa

Gambar 2.9 Katarak traumatika8

d. Sikatrik kornea
Dapat diatasi dengan keratoplasti

Gambar 2.10 Sikatrik kornea8

22
e. Glaukoma sudut tertutup
Pasien mengeluhkan gejala khas yaitu tajam penglihatan menurun, mata
merah, nyeri pada mata yang mendapat serangan yang berlangsung
beberapa jam, melihat pelangi (halo) di sekitar lampu, mual, dan muntah.
Dapat diatasi dengan obat-obatan anti glaukoma untuk menurunkan
tekanan intraokuler serta tindakan bedah iridektomi perifer atau
trabekulektomi.

f. Entropion
Adalah kelopak mata yang terbalik atau membalik ke dalam tepi jaringan,
terutama tepi kelopak bawah. Entropion dapat terjadi akibat senilitas,
spasme, sikatriks. Dalam kasus trauma kimia asam entropion terjadi akibat
adanya spasme dan sikatriks.

2.2.12 Prognosis
Prognosis trauma kimia asam tergantung pada17:
a. Luas kerusakan permukaan epitel
b. Gangguan fungsi kelopak
c. Defek epitel yang persisten
d. Pertolongan pertama saat kejadian, semain cepat, semakin baik
prognosisnya
e. Jumlah dan tingkat kepekatan konsentrasi (pH) bahan kimia, semakin
banyak jumlah dan kepekatannya tinggi (pH semakin rendah) maka
kerusakannya semakin hebat
f. Lama kontak dengan bahan kimia asam
g. Toksisitas (kemampuan berpenetrasi) sesuai jenis asam yang terkena

2.3 Trauma Kimia Basa


2.3.1 Batasan
Trauma basa merupakan rudapaksa mata yang disebabkan oleh bahan
kimia basa. Trauma basa biasanya lebih berat daripada trauma asam, karena
bahan-bahan basa memiliki dua sifat yaitu hidrofilik dan lipolifik dimana dapat

23
secara cepat untuk penetrasi sel membran dan masuk ke bilik mata depan, bahkan
sampai retina. Trauma basa akan memberikan iritasi ringan pada mata apabila
dilihat dari luar. Namun, apabila dilihat pada bagian dalam mata, trauma basa ini
mengakibatkan suatu kegawatdaruratan. Basa akan menembus kornea, kamera
okuli anterior sampai retina dengan cepat, sehingga sering berakhir dengan
kebutaan. Pada trauma basa akan terjadi penghancuran jaringan kolagen kornea.
Bahan kimia basa bersifat koagulasi sel dan terjadi proses saponifikasi, disertai
dengan dehidrasi18.
Bahan alkali atau basa akan mengakibatkan pecah atau rusaknya sel
jaringan. Pada pH yang tinggi alkali akan mengakibatkan saponifikasi disertai
dengan disosiasi asam lemak membran sel. Akibat saponifikasi tersebut, maka
akan mempermudah penetrasi lebih lanjut. Gangguan penyembuhan epitel yang
berkelanjutan dengan ulkus kornea akan mengakibatkan terjadinya perforasi
kornea. Kolagenase ini mulai dibentuk 9 jam sesudah trauma dan puncaknya
terdapat pada hari ke 12-21. Biasanya ulkus pada kornea mulai terbentuk 2
minggu setelah trauma kimia. Pembentukan ulkus berhenti hanya bila terjadi
epitelisasi lengkap atau vaskularisasi telah menutup dataran depan kornea. Bila
alkali sudah masuk ke dalam bilik mata depan maka akan terjadi gangguan fungsi
badan siliar. Cairan mata susunannya akan berubah, yaitu jumlah kadar glukosa
dan askorbat yang berkurang, padahal kedua unsur ini memegang peranan penting
dalam pembentukan jaringan kornea3.

2.3.2 Etiologi
Beberapa bahan penyebab trauma kimia basa, antara lain5:
Produk pembersih dalam rumah tangga (amoniak)
Pupuk (amoniak)
Shampoo, sabun
Semen, tiner, lem, kapur gamping
Freon/bahan pendingin lemari es
Sodium hidroksida
Potassium hidroksida
Dll

24
2.3.3 Klasifikasi
Menurut klasifikasi Thoft, trauma basa dapat dibedakan dalam19:
1. Derajat 1: hiperemi konjungtiva, dan keratitis pungtata.
2. Derajat 2: hiperemi konjungtiva dan hilang epitel kornea.
3. Derajat 3: hiperemi disertai dengan nekrosis konjungtiva dan lepasnya
kornea.
4. Derajat 4: Konjungtiva perilimal nekrosis sebanyak 50%.

Gambar 2.11 Klasifikasi Trauma Kimia menurut Thoft20, (a) derajat 1, (b) derajat
2, (c) derajat 3, (d) derajat 4.

Pengelompokan trauma kimia juga bertujuan untuk penatalaksaan yang


sesuai dengan kerusakan yang muncul serta indikasi penentuan prognosis.
Klasifikasi ditetapkan berdasarkan tingkat kejernihan kornea dan keparahan
iskemik limbus3.

Menurut klasifikasi Hughes :


Ringan
1. Erosi kornea
2. Kornea agak keruh
3. Tidak terdapat iskemia dan nekrosis sklera ataupun konjungtiva

25
Sedang
1. Kornea keruh
2. Detail iris tak tampak
3. Terdapat nekrosis dan iskemi ringan pada konjungtiva dan sklera
Berat
1. Pupil tidak tampak
2. Konjungtiva dan sklera kemosis hebat dan pucat (Blanching)

2.3.4 Patofisiologi
Bahan-bahan yang bersifat basa dibagi menjadi ion hidroksil dan
kationnya dalam bola mata. Ion hidroksil menyebabkan terjadinya saponifikasi
asam lemak membran sel, sedangkan kationnya berinteraksi dengan kolagen dari
stroma dan glikosaminoglikan. Collagen hydration menyebabkan terjadinya
ketidaksempurnaan dan pemendekan benang-benang fibrin, yang mengarah ke
perubahan jalinan trabekula di bilik mata depan yang nantinya akan menyebabkan
terjadinya peningkatan tekanan intra okuli. Selain itu, adanya pelepasan mediator
inflamasi selama proses trauma yang merangsang pelepasan dari prostaglandin,
juga akan meningkatkan tekanan intra okuli5.
Interaksi ini juga dipengaruhi dari dalamnya penetrasi ke dalam kornea
dan segmen anterior dari bola mata. Proses perjalanan penyakit pada trauma kimia
ditandai oleh 2 fase, yaitu fase kerusakan yang timbul setelah terpapar bahan
kimia serta fase penyembuhan. Kerusakan yang terjadi pada trauma kimia yang
berat dapat diikuti oleh hal-hal sebagai berikut:
Nekrosis pada epitel kornea dan konjungtiva disertai gangguan dan oklusi
pembuluh darah pada limbus.
Hilangnya stem cell limbus yang akan berdampak pada vaskularisasi dan
konjungtivalisasi permukaan kornea atau menyebabkan kerusakan
persisten pada epitel kornea.

26
Penetrasi yang dalam dari suatu zat kimia dapat menyebabkan kerusakan
dan presipitasi glikosaminoglikan dan opasifikasi kornea.
Penetrasi zat kimia sampai ke kamera okuli anterior dapat menyebabkan
kerusakan iris dan lensa.
Kerusakan epitel siliar dapat mengganggu sekresi askorbat yang
dibutuhkan untuk memproduksi kolagen dan memperbaiki kornea.
Hipotoni dan phthisis bulbi sangat mungkin terjadi.

Sedangkan untuk proses penyembuhan epitel kornea dan stroma diikuti


oleh proses-proses berikut:
1. Terjadi penyembuhan jaringan epitelium berupa migrasi atau pergeseran dari
sel-sel epitelial yang berasal dari stem cell limbus
2. Kerusakan kolagen stroma akan difagositosis oleh keratosit terjadi sintesis
kolagen yang baru.

2.3.5 Anamnesis
Pada anamnesis sering sekali pasien menceritakan telah tersiram cairan
atau tersemprot gas pada mata atau partikel-partikelnya masuk ke dalam mata.
Perlu diketahui apa persisnya zat kimia dan bagaimana terjadinya trauma tersebut
(misalnya tersiram sekali atau akibat ledakan dengan kecepatan tinggi) serta
kapan terjadinya trauma tersebut2.
Perlu diketahui apakah terjadi penurunan visus setelah cedera atau saat
cedera terjadi. Onset dari penurunan visus apakah terjadi secara progresif atau
terjadi secara tiba tiba. Nyeri, lakrimasi, silau dan pandangan kabur merupakan
gambaran umum trauma. Dan harus dicurigai adanya benda asing intraokular
apabila terdapat riwayat salah satunya apabila trauma terjadi akibat ledakan21.

2.3.6 Gejala Klinis


Terdapat gejala klinis utama yang muncul pada trauma kimia yaitu,
epifora, blefarospasme, dan nyeri berat. Trauma akibat bahan yang bersifat asam
biasanya dapat segera terjadi penurunan penglihatan akibat nekrosis superfisial
kornea. Sedangkan pada trauma basa, kehilangan penglihatan sering

27
bermanifestasi beberapa hari sesudah kejadian. Namun sebenarnya kerusakan
yang terjadi pada trauma basa lebih berat dibanding trauma asam5.

2.3.7 Pemeriksaan
Pemeriksaan yang seksama sebaiknya ditunda sampai mata yang terkena
zat kimia sudah terigasi dengan air dan pH permukaan bola mata sudah netral. pH
permukaan mata diperiksa dengan meletakkan secarik kertas indikator di forniks.
Obat anestesi topikal atau lokal sangat membantu agar pasien tenang, lebih
nyaman dan kooperatif sebelum dilakukan pemeriksaan. Setelah dilakukan irigasi,
pemeriksaan dilakukan dengan perhatian khusus untuk memeriksa kejernihan dan
keutuhan kornea, derajat iskemik limbus, tekanan intra okular, konjungtivalisasi
pada kornea, neovaskularisasi, peradangan kronik dan defek epitel yang menetap
dan berulang2.
Pemeriksaan yang didapatkan umumnya, visus menurun, kelopak mata
bengkak kadang-kadang ada luka bakar, konjungtiva hiperemi, kemosis, karena
bahan kimia basa bisa terjadi iskemi dan nekrosis pada konjungtiva dan sklera,
tergantung dari berat ringannya keadaan. Kornea edema, tes fluoresin (+) hingga
kekeruhan kornea yang hebat21.
Selain itu juga bisa dilakukan pemeriksaan pH bola mata secara berkala
dengan kertas lakmus. Tujuan pemeriksaan kertas lakmus ini adalah untuk
mengetahui jenis bahan kimia dan sebagai media pemeriksaan evaluasi hasil
irigasi hingga pH normal, atau tidak. Pemeriksaan bagian anterior mata dengan
lup atau slit lamp bertujuan untuk mengetahui lokasi luka. Pemeriksaan
oftalmoskopi direk dan indirek juga dapat dilakukan. Pemeriksaan fluoresin tes
untuk mengetahui adanya defek pada kornea. Selain itu dapat pula dilakukan
pemeriksaan tonometri untuk mengetahui tekanan intraokular3

2.3.8 Diagnosis
Diagnosis pada trauma mata dapat ditegakkan melalui gejala klinis,
anamnesis dan pemeriksaan fisik dan penunjang. Namun hal ini tidaklah mutlak
dilakukan dikarenakan trauma kimia pada mata merupakan kasus gawat darurat
sehingga hanya diperlukan anamnesa singkat3.

28
2.3.9 Tata Laksana
Tatalaksana Emergensi
1. Irigasi
Semua luka bakar akibat bahan kimia harus diterapi sebagai kedaruratan
mata. Pembilasan dengan air bersih harus segera dilakukan di lokasi cedera
sebelum pasien dikirim. Bila mungkin irigasi dilakukan paling sedikit 60 menit
segera setelah trauma. Tidak hanya itu, semua benda asing yang tampak jelas juga
harus diirigasi. Di ruang gawat darurat, dilakukan anamnesis dan pemeriksaan
singkat sebelum permukaan mata, termasuk forniks konjungtiva, diirigasi dengan
cairan yang sangat banyak16.
Irigasi larutan normal saline minimal 1 liter untuk masing-masing mata
selama 1 jam hingga pH mata menjadi normal. Mungkin diperlukan spekulum
palpebra mata atau lid retractor untuk membantu membuka kelopak mata, dan
infiltrasi anastesik lokal untuk mengatasi blefarospasme. Karena basa (alkali)
cepat menembus jaringan mata dan akan terus menimbulkan kerusakan lama
setelah cedera berhenti, maka pada trauma basa hendaknya dilakukan irigasi lebih
lama, dan pemeriksaan pH secara berkala. Harus dipastikan nilai pH terletak
diantara 7,3 dan 7,7. Makin lama makin baik.Jika perlu dapat diberikan anastesi
topikal, larutan natrium bikarbonat 3%, antibiotik dan balutan untuk
mengoptimalkan terapi. Irigasi dalam waktu yang lama lebih baik menggunakan
irigasi dengan kontak lensa (lensa yang terhubung dengan sebuah kanul untuk
mengirigasi mata dengan aliran yang konstan16.

2. Double eversi pada kelopak mata


Dilakukan untuk memindahkan material yang terdapat pada bola mata.
Selain itu tindakan ini dapat menghindarkan terjadinya perlengketan antara
konjungtiva palpebra, konjungtiva bulbi, dan konjungtiva forniks21.

3. Debridemen
Analgesik dan anastesi topikal serta siklopegik hampir selalu diberikan.
Penggunaan aplikator berujung kapas yang dibasahi dan pinset ahli perhiasan

29
untuk mengeluarkan benda-benda berbentuk partikel dari forniks, yang terutama
terjadi pada cedera yang berhubungan dengan plaster bangunan dan semen.
Trauma kimia ringan (derajat 1 dan 2) dapat diterapi dengan pemberian obat-
obatan seperti steroid topikal, sikloplegik, dan antibiotik profilaksis selama 7 hari.
Sedangkan pada trauma kimia berat, pemberian obat-obatan bertujuan untuk
mengurangi inflamasi, membantu regenerasi epitel dan mencegah terjadinya ulkus
kornea.

4. Medikamentosa
Steroid
Bertujuan untuk mengurangi inflamasi dan infiltrasi neutofil. Namun
pemberian steroid dapat menghambat penyembuhan stroma dengan menurunkan
sintesis kolagen dan menghambat migrasi fibroblas. Untuk itu steroid hanya
diberikan secara inisial dan di tappering off setelah 7-10 hari. Dexametason 0,1%
ED dan Prednisolon 0,1% ED diberikan setiap 2 jam. Bila diperlukan dapat
diberikan Prednisolon IV 50-200 mg. Apabila telah terjadi glaukoma sekunder dan
uveitis berat (grade 3 dan 4), pengobatannya adalah dengan steroid topikal, obat-
obatan antiglaukoma, dan siklopegik selama 2 minggu pertama. Setelah 2 minggu,
pemakaian steroid harus hati-hati karena dapat menghambat reepitelisasi.

Sikloplegik
Jangka panjang (Atropin 2% ED atau Scopolamin 0,25% diberikan 1 tetes
2 kali sehari) untuk mengurangi spasme iris, dan mencegah perlekatan iris dengan
lensa (sinekia anterior).

Asam askorbat
Mengembalikan keadaan jaringan scorbutik dan meningkatkan penyembuhan
luka dengan membantu pembentukan kolagen matur oleh fibroblas kornea.
Natrium askorbat 10% topikal diberikan setiap 2 jam. Untuk dosis sitemik dapat

30
diberikan sampai dosis 2 gr. Tetes mata asam askorbat (vitamin C) dan sitrat
bermanfaat untuk luka bakar alkalis derajat sedang, tetapi efeknya hanya minimal
dalam mencegah perlunakan kornea dan kemungkinan perforasi akibat
berlanjutnya aktivitas kolagenase. Salah satu percobaan menyebutkan bahwa
penggunaan inhibitor kolagenase (asetilsistein) mungkin bermanfaat untuk
keadaan tersebut22.

Beta bloker/karbonik anhidrase inhibitor


Untuk menurunkan tekanan intra okular dan mengurangi resiko terjadinya
glaukoma sekunder. Diberikan secara oral asetazolamid (diamox) 500 mg.

Antibiotik
Profilaksis untuk mencegah infeksi oleh kuman oportunis. Tetrasiklin
efektif untuk menghambat kolagenase, menghambat aktifitas netrofil dan
mengurangi pembentukan ulkus. Dapat diberikan bersamaan antara topikal dan
sistemik (doksisiklin 100 mg).

EDTA
Diberikan bertujuan untuk mengikat basa. EDTA diberikan setelah 1
minggu setelah trauma alkali dengan tujuan untuk menetralisir kolaagenase yang
terbentuk pada hari ketujuh.

5. Parasentesa
Parasentesa dilakukan untuk menetralisir pH di bilik mata depan, dengan
memakai BSS untuk mengganti aquos humor yang terkontaminasi bahan kimia.

6. Pembedahan7
Pembedahan Segera: sifatnya segera dibutuhkan untuk revaskularisasi
limbus, mengembalikan populasi sel limbus dan mengembalikan kedudukan
forniks. Prosedur berikut dapat digunakan untuk pembedahan:

31
1. Pengembangan kapsul Tenon dan penjahitan limbus bertujuan untuk
mengembalikan vaskularisasi limbus juga mencegah perkembangan ulkus
kornea.
2. Transplantasi stem sel limbus dari mata pasien yang lain (autograft) atau
dar donor (allograft) bertujuan untuk mengembalikan epitel kornea
menjadi normal.
3. Graft membran amnion untuk membantu epitelisasi dan menekan fibrosis

Terapi Penyulit:
1. Keratitis sika diatasi dengan air mata buatan. Penggunaan tarsofari atau
bandage contact lens mungkin juga bermanfaat untuk penatalaksanaan
terapi kondisi tersebut.
2. Simblefaron diatasi dengan simblefarektomi
3. Katarak trauma diatasi dengan pengangkatan lensa
4. Sikatrik kornea diatasi dengan keratoplasti

2.3.10 Komplikasi7
Komplikasi dari trauma mata juga bergantung pada berat ringannya
trauma, dan jenis trauma yang terjadi. Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus
trauma basa pada mata antara lain:

Segera:
1. Kornea keruh, pembentukan jaringan parut, edema, neovaskuler
2. Glaukoma, luka bakar alkalis menyebabkan peningkatan tekanan
intraokular dengan segera karena terjadi kontraksi sklera dan kerusakan
anyaman trabekular Peningkatan tekanan sekunder (2-4 jam kemudian)
terjadi akibat pelepasan prostaglandin, yang berpotensi menimbulkan
uveitis berat, tetapi sulit dipantau melalui kornea yang opak.
3. Perlunakan kornea akibat perforasi akibat berlanjutnya aktivitas
kolagenase.

Jangka Panjang:

32
1. Simblefaron, adalah gejala gerak mata terganggu, diplopia, lagoftalmus,
sehingga kornea dan penglihatan terganggu. Trauma kimia sedang samapai
berat pada konjungtiva bulbi dan palpebra dapat menyebabkan simblefaron
(adhesi anatara palpebra dan konjungtiva bulbi).
2. Keratitis Sika (Sindroma mata kering).
3. Sikatrik Kornea.
4. Katarak traumatik, trauma basa pada permukaan mata sering menyebabkan
katarak. Komponen basa yang mengenai mata menyebabkan peningkatan
pHcairan akuos dan menurunkan kadar glukosa dan askorbat. Hal ini dapat
terjadi akut ataupun perlahan-lahan. Trauma kimia asam sukar masuk ke
bagian dalam mata maka jarang terjadi katarak traumatik.
5. Entropion dan ptisis bulbi.

2.3.11 Prognosis
Terdapat beberapa hal yang mempengaruhi prognosis kesembuhan akibat
trauma kimia. Pertolongan pertama saat kejadian menentukan prognosis trauma
kimia, semakin cepat, akan semakin baik prognosisnya. Kompetensi pembuluh
darah sklera dan konjungtiva terbukti juga memiliki nilai prognostik. Semakin
banyak jaringan epitel perilimbus serta pembuluh darah sklera dan konjungtiva
yang rusak, mengindikasikan prognosisnya yang semakin buruk. Selain itu,
prognosis trauma kimia pada mata sangat ditentukan oleh bahan penyebab trauma,
jumlah, dan tingkat kepekaan konsentrasi bahan kimia tersebut. Semakin banyak
jumlah dan kepekaannya yang tinggi, maka kerusakannya semakin hebat. Bentuk
paling berat pada trauma kimia ditunjukkan dengan gambaran cooked fish eye
dimana prognosisnya adalah yang paling buruk, dapat terjadi kebutaan23.

33
Gambar 2.12 Cooked fish eye8

BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Trauma kimia pada mata dapat berasal dari bahan yang bersifat asam
dengan pH < 7 dan bahan yang bersifat basa dengan pH > 7. Trauma basa
biasanya memberikan dampak yang lebih berat dari pada trauma asam, karena
bahan-bahan basa memiliki dua sifat yaitu hidrofilik dan lipolifik dimana dapat
masuk secara cepat untuk penetrasi sel membran dan masuk ke sudut mata depan,
bahkan sampai retina. Sementara trauma asam akan menimbulkan koagulasi
protein permukaan, dimana merupakan suatu barier pelindung sehingga zat asam
tidak penetrasi lebih dalam lagi. Gejala utama yang muncul pada trauma mata
adalah epifora, blefarospasme dan nyeri yang hebat. Trauma kimia merupakan

34
satu-satunya jenis trauma yang tidak memerlukan anamnesa dan pemeriksaan
yang lengkap.

Penatalaksanaan yang terpenting pada trauma kimia adalah irigasi mata


dengan segera samapai pH mata kembali normal dan diikuti dengan pemberian
obat terutama antibiotik, multivitamin, antiglaukoma, Selain itu dilakukan juga
upaya promotif dan preventif kepada pasien. Menurut data statistik 90% kasus
trauma dapat dicegah apabila dalam menjalankan suatu pekerjaan menggunakan
pelindung yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Micheal D.Wagonerr, MD. 2010. Chemical Injuries of the Eye: Current


Concepts in Pathophysiology and Therapy. ELSEVIER.
2. Maryono, Suparman. 2009. Penatalaksanaan Trauma Kimia pada Mata.
Bandung: CSS.
3. Ilyas, Sidarta. 2010. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
4. Victor, P Eroschenko. 2010. Atlas Histologi Defiore. Jakarta: EGC.
5. Randleman, JB Bansal. 2014. Ophtalmologic Approach to Chemical Burns.
AS: Medscape.
6. Supartoto, Agus. 2007. Trauma Mata dan Rekonstruksi. Dalam: Hartono,
Suhardjo. Ilmu Kesehatan Mata. Jogjakarta: FK UGM.

35
7. Belin MW, Catalano RA, Scott JL. Burns of the eye. In: Catalano RA, Belin
MW, editors. Ocular emergencies. Philadelphia: WB Saunders; 1992. p. 179
96.
8. Ilyas, Sidarta. 2008. Atlas Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
9. Wagoner MD. 1997. Chemical injuries of the eye: current concepts in
pathophysiology and therapy. Surv Ophthalmol. Vol 41(4):275313.
10. McCurly JP. 2009. Chemical Injuries, the conea: Scientific Condition
Foundation and Clinical Practice. Boston. Ed 2, pp 527-542.
11. Trudo, Edward W dan William Rimm. 2008. Chemical Injuries of the Eye.
Washington.
12. Kanski, JJ. 2000. Chemical Injuries. Clinical Ophthalmology Edisi Keenam.
Philadelphia: Elsevier Limited.
13. Gunawan, Wasidi. 2008. Kegawatdaruratan dalam Ilmu Penyakit Mata.
Dalam: Purnasidha, Henry Ed. Clinical Update: Emergency Cases. Jogjakarta:
Press Jogjakarta.
14. Asbury, Taylor, Sanitato James J. Trauma, dalam Vaughan Daniel G, Abury
Taylor, Eva Paul Riordan. 2007. Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal: 372-378.
15. Lang GK, Ocular Trauma, in Lang GK. 2000. Ophthalmology, A Short
Textbook. Tieme Stuttgart. New York.
16. Wagoner MD, Kenyon KR. 2008. Principle and Practice of Ophtalmology:
Clinical Practice. Philadelphia, WB Saunders. Vol. I, pp 234-245.
17. Gerhard K. Lang. 2006. Ophthalmology A Pocket Textbook Atlas 2nd. Stuttgart
New York.
18. Adeola Kosoko. BA, M3. 2009. Chemical Ocular Burns: A Case Review.
19. Nurwasis. 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi SMF Ilmu Penyakit Mata.
Surabaya: Rumah Sakit dr.Soetomo.
20. Dua, H. S., King, A.J., Joseph, A. 2001. New classification for ocular surface
burns. British Journal of Ophthalmology. Vol 85: 1379-1383.
21. Stephen J Morgan, Chemical burns of the eye: causes and management.
British Journal of Ophthalmology.

36
22. Vaughan DG, Taylor A, and Paul RE. 2000. Oftalmologi Umum. Jakarta:
Widya medika.
23. William G. Fernandez, MD, MPHa; Chemical, Thermal, and Biological
Ocular Exposures.
24. Arthur Lim Siew Ming and Ian J. Constable. 2005. Color Atlas of
Ophthalmology Third Edition. Washington.
25. American Academy of Ophthalmology. 2006. Ocular Trauma Epidemiology
and Prevention Ophthalmology, Basic and Clinical Science Course Section.
13: 121-134.

37

You might also like