You are on page 1of 25

BAB 2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Apotek


Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 51 tahun 2009
tentang Pekerjaan Kefarmasian dalam ketentuan umum, dijelaskan bahwa apotek
adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh
apoteker. Sementara berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1332/Menkes/SK/X/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 922/MENKES/PER/X/1993
tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, yang dimaksud dengan
apotek adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan
penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat.
Mendirikan dan menyelenggarakan apotek, harus ada seorang apoteker yang
telah mengucapkan sumpah jabatannya dan sudah diberikan Surat Izin
Apotek (SIA) oleh dinas kesehatan setempat.
Pekerjaan Kefarmasian menurut Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 51 tahun 2009 adalah pembuatan termasuk pengendalian
mutu sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan
pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas
resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat
dan obat tradisional. Sediaan Farmasi yang dimaksud adalah obat, bahan obat,
obat tradisional dan kosmetika. Pelayanan Kefarmasian juga merupakan
pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan
dengan Sediaan Farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan mutu kehidupan pasien.

2.2 Tugas dan Fungsi Apotek


Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009, apotek
mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut :
a. Sarana pelayanan farmasi tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh
apoteker.

4
5

b. Sarana pelayanan farmasi dalam melaksanakan pekerjaan


kefarmasian meliputi pengadaan, produksi, distribusi atau penyaluran,
dan pelayanan sediaan farmasi.
Apotek adalah tempat pelayanan resep (termasuk resep yang mengandung
narkotika dan psikotropika), selian itu juga melayani pembelian obat-obat tanpa
resep meliputi golongan obat-obat bebas, obat-obat bebas terbatas, serta obat-obat
keras yang dapat diserahkan kepada pasien tanpa resep dokter oleh apoteker
apabila termasuk dalam Obat Wajib Apotek (OWA). Apotek harus dapat
mendukung dan membantu terlaksananya usaha Pemerintah untuk menyediakan
obat-obat secara merata dengan harga yang dapat terjangkau oleh masyarakat,
terutama yang berpenghasilan rendah. Dalam rangka meningkatkan kemampuan
masyarakat untuk melakukan pengobatan sendiri terhadap penyakit ringan, maka
apoteker di apotek perlu memberikan informasi tentang penggunaan obat yang
tepat dan rasional.

2.3 Ketentuan Umum dan Peraturan Perundang-Undangan


Ketentuan umum yang tercantum pada Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kerfarmasian
Apotek adalah sebagai berikut :
a. Apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian
dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada
masyarakat.
b. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan
telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang
berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia
sebagai Apoteker.
c. Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan
kosmetika.
d. Perbekalan kesehatan adalah semua bahan selain obat dan peralatan
yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan.
e. Alat kesehatan adalah bahan, instrumen aparatus, mesin, implan yang
tidak mengandung obat yang digunakan untuk mencegah,
mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat
6

orang sakit serta memulihkan kesehatan pada manusia dan atau untuk
membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh.
f. Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan
kepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien
sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
g. Perlengkapan apotek adalah semua peralatan yang diperlukan untuk
melaksanakan kegiatan pelayanan kefarmasian di apotek.
h. Pelayanan kefarmasian (Pharmaceutical care) adalah bentuk pelayanan
dan tanggungjawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan
kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
i. Medication record adalah catatan pengobatan setiap akhir.
j. Medication error adalah kejadian yang merugikan pasien akibat
pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga kesehatan, yang
sebetulnya dapat dicegah.
k. Konseling adalah suatu proses komunikasi dua arah yang sistematik
antara apoteker dan pasien untuk mengidetifikasikan dan memecahkan
masalah yang berkaitan dengan obat dan pengobatan.
l. Pelayanan residensial (Home care) adalah pelayanan apoteker sebagai
care giver dalam pelayanan kefarmasian di rumah-rumah khususnya
untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan terapi kronis
lainnya.
Apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan masyarakat
yang diatur dalam :
a. Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
b. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 347/MenKes/SK/VlI/1990
Tentang Obat Wajib Apotik.
c. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1332/Menkes/SK/2002 tentang perubahan atas Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 922/Menkes/Per/X/1993
tentang ketentuan dan tata cara pemberian izin apotek.
d. Peraturan Pemerintah Nomor 51 tentang Pekerjaan Kefarmasian tahun
2009.
e. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di
apotek.
7

f. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1997


tentang Narkotika.
g. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2013
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika.
h. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika.
i. Peraturan Pemerintahan Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2010
tentang Prekursor.
j. Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor 40 Tahun 2013 tentang Pedoman Pengelolaan
Prekursor Farmasi dan Obat Mengandung Prekursor Farmasi.
k. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 919/MENKES/PER/X/1993
tentang Kriteri Obat Yang Dapat Diserahkan Tanpa Resep.
l. Peraturan Pemerintahan Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1980
tentang Peraturan Atas Peraturan Pemerintahan Nomor 26 Tahun
1965 Tentang Apotik.
m. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 919/menkes/per/x/1993 tentang
kriteria obat yang dapat diserahkan tanpa resep menteri kesehatan.
n. Undang-undang republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 tentang
Narkotika.
o. Undang-undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropik dll.
p. Peraturan Pemerintah Nomor 35 tentang Stadart Pelayanan
Kefarmasian di Apotek tahun 2014.
2.4 Perizinan Apotek
2.4.1Persyaratan Pendirian Apotek
Apotek baru dapat beroperasi setelah mendapat Surat Izin Apotek (SIA).
Surat Izin Apotek (SIA) adalah surat yang diberikan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia kepada apoteker atau apoteker yang bekerja sama
dengan pemilik sarana apotek untuk menyelenggarakan pelayanan apotek disuatu
tempat tertentu. Berdasarkan KMK No 1332/MENKES/SK/X/2002 tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek pada pasal 6, berisi tentang
persyaratan apotek sebagai berikut :
8

a. Untuk mendapatkan izin Apotik, Apoteker atau Apoteker yang bekerja


sama dengan pemilik sarana yang telah memenuhi persyaratan harus
siap dengan tempat, perlengkapan termasuk sediaan farmasi dan
perbekalan lainnya yang merupakan milik sendiri atau milik pihak lain.
b. Sarana Apotik dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan
pelayanan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi.
c. Apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi lainnya diluar
sediaan farmasi.
Persyaratan lainnya yang harus diperhatikan untuk mendirikan suatu apotek
adalah :
a. Lokasi dan tempat
Mempertimbangkan segi penyebaran dan pemerataan pelayanan
kesehatan, jumlah penduduk, dan kemampuan daya beli penduduk di
sekitar lokasi apotek, kesehatan lingkungan, keamanan dan mudah
dijangkau masyarakat dengan kendaraan. Jarak minimum antara apotek
yang satu dengan apotek lain kini tidak lagi dipersyaratkan (kepmenkes
RI, 2004). Sarana apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan
kegiatan pelayanan dan komoditi lainnya diluar sediaan farmasi
(Kepmenkes RI, 2002).

b. Bangunan dan kelengkapan


Bangunan apotek harus mempunyai luas dan memenuhi persyaratan
yang cukup, serta memenuhi persyaratan teknis sehingga dapat
menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi apotek serta
memelihara mutu perbekalan kesehatan di bidang farmasi. Bangunan
apotek sekurang-kurangnya harus memiliki :
1. Ruang peracikan dan penyerahan resep.
2. Ruangan administrasi dan kamar kerja apoteker.
3. WC
Pelayanan kepada pasien akan lebih meningkat apabila di apotek juga
terdapat :
1. Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien.
2. Tempat untuk mendisplai informasi bagi pasien, termasuk
penempatan brosur/materi informasi.
9

3. Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien yang dilengkapi


dengan meja kursi serta lemari untuk menyimpan catatan
medikasi pasien.
4. Keranjang sampang yang tersedia untuk staf maupun pasien
(Kepmenkes RI, 2002).
Perabotan apotek harus tertata rapi, lengkap dengan rak-rak
penyimpanan obat dan barang-barang lain tersusun dengan rapi,
terlindung dari debu, kelembaban dan cahaya yang berlebihan serta
diletakkan pada kondisi ruangan dengan temperatur yang telah
ditetapkan (Kepmenkes RI, 2004).
Selain itu kelengkapan bangunan calon apotek yang harus terpenuhi
adalah :
1. Sumber air yang harus memenuhi persyaratan kesehatan
(sumur/PAM/sumur pompa, dll.)
2. Penerangan harus cukup terang sehingga dapat menjamin
pelaksanaan tugas dan fungsi apotek.
3. Alat pemadam kebakaran yang berfungsi dengan baik dan
sekurang-kurangnya berjumlah dua buah.
4. Ventilasi dan sistem sanitasi yang memenuhi persyaratan
hygiene lainnya.
5. Papan nama apotek yang memuat nama apotek, nama Apoteker
Penanggungjawab Apotek (APA), nomor Surat Izin Apotek
(SIA), alamat apotek dan nomor telepon apotek (bila ada)
(Kepmenkes RI, 2002).
c. Perlengkapan apotek
Perlengkapan yang harus tersedia di apotek antara lain :
1. Alat pembuatan, pengolahan, dan peracikan, seperti
timbangan (gram dan miligram), mortar, dan gelas ukur.
2. Perlengkapan dan alat perbekalan farmasi seperti lemari/rak
obat, lemari pendingin, serta lemari untuk penyimpanan
narkotika dan psikotropika.
3. Wadah pengemas dan pembungkus seperti plastik pengemas dan
kertas perkamen, serta etiket.
4. Alat administrasi seperti blanko pesanan obat, blanko kartu
stok obat, blanko salinan resep, blanko faktur, blangko nota
10

penjualan, buku pencatatan narkotika, buku pesanan obat


narkotika, dan form laporan narkotika
5. Buku standar yang diwajibkan seperti Farmakope Indonesia
terbaru dan kumpulan peraturan perundang-undangan yang
berhubungan dengan apotek (Kepmenkes, 2002).

2.4.2 Sumber Daya Manusia di Apotek


Sesuai ketentuan perundangan yang berlaku, apotek harus dikelola oleh
seorang apoteker yang profesional. Dalam pengelolaan apotek, apoteker
senantiasa harus memiliki kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan
yang baik, mengambil keputusan tepat, kemampuan berkomunikasi antar profesi,
menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner, kemampuan
mengelola SDM secara efektif, selalu belajar sepanjang karier, dan membantu
memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengatahuan
(Kepmenkes RI, 2004).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
889/MENKES/PER/V/2011, tenaga kefarmasian adalah tenaga yang
melakukan pekerjaan kefarmasian yang terdiri atas apoteker dan tenaga teknis
kefarmasian. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai
apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker. Tenaga teknis
kefarmasian adalah tenaga yang membantu apoteker dalam menjalankan
pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi,
Analis Farmasi, dan Tenaga menengah Farmasi atau Asisten Apoteker.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No
1332/Menkes/SK/2002 tenaga kesehatan di apotek terdiri dari :
a. Apoteker Pengelola Apotek (APA)
Sarjana farmasi yang telah lulus dan telah mengucapkan sumpah
jabatan apoteker, mereka yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di
Indonesia sebagai apoteker dan telah diberi Surat Izin Apotek (SIA).
b. Apoteker Pendamping
11

Apoteker yang bekerja di apotik di samping Apoteker Pengelola Apotik


(APA) dan/atau menggantikannya pada jam-jam tertentu pada hari buka
Apotik.
c. Asisten Apoteker
Mereka yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
berhak melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai asisten apoteker.
Selain ketiga tenaga kesehatan diatas, tenaga lainnya yang dapat mendukung
kegiatan pelayanan di apotek antara lain :
a. Juru resep
b. Kasir
c. Pegawai tata usaha
Dalam melakukan Pelayanan Kefarmasian Apoteker harus memenuhi
kriteria:
a. Persyaratan administrasi
1) Memiliki ijazah dari institusi pendidikan farmasi yang terakreditasi
2) Memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA)
3) Memiliki sertifikat kompetensi yang masih berlaku
4) Memiliki Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA)
b. Menggunakan atribut praktik antara lain baju praktik, tanda pengenal.
c. Wajib mengikuti pendidikan berkelanjutan/Continuing Professional
Development (CPD) dan mampu memberikan pelatihan yang
berkesinambungan.
d. Apoteker harus mampu mengidentifikasi kebutuhan akan
pengembangan diri, baik melalui pelatihan, seminar, workshop,
pendidikan berkelanjutan atau mandiri.
e. Harus memahami dan melaksanakan serta patuh terhadap peraturan
perundang undangan, sumpah apoteker, standar profesi (standar
pendidikan, standar pelayanan, standar kompetensi dan kode etik) yang
berlaku (Permenkes RI, 2014).

2.4.3 Tata Cara Perizinan Apotek


Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1332/Menkes/SK/X/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 922/MENKES/PER/X/1993 tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, pada pasal 7 menjelaskan
mengenai tata cara perizinan apotek adalah sebagai berikut :
12

a. Permohonan Izin Apotik diajukan kepada Kepala Dinas Kesehatan


Kabupaten/Kota dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-1.
b. Dengan menggunakan Formulir APT-2 Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah
menerima permohonan dapat meminta bantuan teknis kepada Kepala
Balai POM untuk melakukan pemeriksaan setempat terhadap kesiapan
apotik untuk melakukan kegiatan.
c. Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM
selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah permintaan bantuan
teknis dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan hasil
pemeriksaan setempat dengan menggunakan contoh Formulir APT-3.
d. Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam point (b) dan (c)
tidak dilaksanakan, Apoteker Pemohon dapat membuat surat pernyataan
siap melakukan kegiatan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota setempat dengan tembusan kepada Kepala Dinas
Propinsi dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-4.
e. Dalam jangka waktu 12 (dua belas) hari kerja setelah diterima laporan
hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud point (c), atau pernyataan
dimaksud point (d) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat
mengeluarkan Surat Izin Apotik dengan menggunakan contoh Formulir
Model APT-5.
f. Dalam hal hasil pemeriksaan Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
atau Kepala Balai POM dimaksud point (c) masih belum memenuhi
syarat Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dalam waktu
12 (dua belas) hari kerja mengeluarkan Surat Penundaan dengan
menggunakan contoh Formulir Model APT-6.
g. Terhadap Surat Penundaan sebagaimana dimaksud dalam point (f),
Apoteker diberi kesempatan untuk melengkapi persyaratan yang belum
dipenuhi selambatlambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak
tanggal Surat Penundaan.
13

2.5 Tugas dan Tanggung jawab Apoteker


Apoteker memiliki kemampuan dalam melaksanakan kegiatan pelayanan
kefarmasian berasaskan pharmaceutical care di apotek. Standar pelayanan
kefarmasian di apotek telah diatur pada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Apotek.
Tujuan adanya standar pelayanan adalah melindungi masyarakat dari pelayanan
yang tidak profesional, melindungi profesi dari tuntutan masyarakat yang tidak
wajar, sebagai pedoman dalam pengawasan praktek apoteker, dan pembinaan serta
meningkatkan mutu pelayanan farmasi di apotek.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Apotek,
pelayanan kefarmasian meliputi :
a. Pelayanan Resep
1) Skrining Resep (apoteker melakukan skrining resep) meliputi :
a) Persyaratan Administratif :
Nama, SIP dan alamat dokter
Tanggal penulisan resep
Tanda tangan/paraf dokter penulis resep
Nama, alamat, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien
Nama obat, potensi, dosis, dan jumlah yang minta
Cara pemakaian yang jelas
Informasi lainnya
b) Kesesuaian farmasetik: bentuk sediaan, dosis, potensi,
stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian.
c) Pertimbangan klinis : adanya alergi, efek samping, interaksi,
kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain lain). Jika ada
keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada
dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan
dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan
persetujuan setelah pemberitahuan.
2) Penyiapan obat
a) Peracikan
Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur,
mengemas dan memberikan etiket pada wadah. Dalam
melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap
14

dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta


penulisan etiket yang benar.
b) E t i k e t
Etiket harus jelas dan dapat dibaca.
c) Kemasan Obat yang Diserahkan
Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang
cocok sehingga terjaga kualitasnya.
d) Penyerahan Obat
Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan
akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan
obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat
dan konseling kepada pasien.
e) Informasi Obat
Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan
mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini.
Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi: dosis,
efek farmakologi, cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat,
jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman
yang harus dihindari selama terapi.
f) Konseling
Apoteker harus memberikan konseling mengenai sediaan
farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya,
sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang
bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau
penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan
lainnya. Untuk penderita penyakit tertentu seperti kardiovaskular,
diabetes, TBC, asma, dan penyakit kronis lainnya apoteker
harus memberikan konseling secara berkelanjutan.
g) Monitoring Penggunaan Obat
Setelah penyerahan obat kepada pasien, Apoteker harus
melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk
pasien tertentu seperti kardiovaskular, diabetes, TBC, asma, dan
penyakit kronis lainnya.
b. Promosi dan Edukasi
Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, Apoteker harus memberikan
edukasi apabila masyarakat ingin mengobati diri sendiri (swamedikasi)
15

untuk penyakit ringan dengan memilihkan obat yang sesuai dan


apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi.
Apoteker ikut membantu diseminasi informasi, antara lain dengan
penyebaran leaflet/brosur, poster, penyuluhan, dan lain-lain.
c. Pelayanan Residensial (Home Care)
Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan
pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk
kelompok lanjut usia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis
lainnya. Untuk aktivitas ini Apoteker harus membuat catatan berupa
catatan pengobatan (medication record).
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004, sesuai ketentuan perundangan yang berlaku
apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang profesional. Dalam
pengelolaan apotek, apoteker senantiasa harus memiliki kemampuan:
a. Menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik
b. Mengambil keputusan yang tepat.
c. Mampu berkomunikasi antar profesi.
d. Menempatkan diri sebagai pemimpin dalam situasi
multidisipliner.
e. Kemampuan mengelola SDM secara efektif
f. Selalu belajar sepanjang karier.
g. Membantu memberikan pendidikan.
h. Memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan.
Dalam melakukan Pelayanan Kefarmasian seorang apoteker harus
menjalankan peran yaitu :

a. Pemberi layanan
Apoteker sebagai pemberi pelayanan harus berinteraksi dengan
pasien. Apoteker harus mengintegrasikan pelayanannya pada sistem
pelayanan kesehatan secara berkesinambungan.
b. Pengambil keputusan
Apoteker harus mempunyaikemampuan dalam mengambil keputusan
dengan menggunakan seluruh sumber daya yang ada secara efektif
dan efisien.
c. Komunikator
16

Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan pasien maupun


profesi kesehatan lainnya sehubungan dengan terapi pasien. Oleh
karena itu harus mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik.
d. Pemimpin
Apoteker diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi
pemimpin. Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian
mengambil keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan
mengkomunikasikan dan mengelola hasil keputusan.
e. Pengelola
Apoteker harus mampu mengelola sumber daya manusia, fisik,
anggaran dan informasi secara efektif. Apoteker harus mengikuti
kemajuan teknologi informasi dan bersedia berbagi informasi tentang
Obat dan hal-hal lain yang berhubungan dengan Obat.
f. Pembelajar seumur hidup
Apoteker harus terus meningkatkan pengetahuan, sikap dan
keterampilan profesi melalui pendidikan berkelanjutan (Continuing
Professional Development/ CPD)
g. Peneliti
Apoteker harus selalu menerapkan prinsip/kaidah ilmiah dalam
mengumpulkan informasi Sediaan Farmasi dan Pelayanan
Kefarmasian dan memanfaatkannya dalam pengembangan dan
pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian (Permenkes RI, 2014).

2.6 Evaluasi Mutu Pelayanan Kefarmasian di Apotek


Evaluasi mutu di Apotek dilakukan terhadap:
a. Mutu Manajerial
1) Metode Evaluasi
a) Audit
Audit merupakan usaha untuk menyempurnakan kualitas
pelayanan dengan pengukuran kinerja bagi yang memberikan
pelayanan dengan menentukan kinerja yang berkaitan dengan
standar yang dikehendaki. Oleh karena itu, audit merupakan alat
untuk menilai, mengevaluasi, menyempurnakan pelayanan
kefarmasian secara sistematis. Audit dilakukan oleh apoteker
17

berdasarkan hasil monitoring terhadap proses dan hasil


pengelolaan.
Contoh : audit Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai lainnya (stock opname); audit kesesuaian
SPO; audit keuangan (cash flow, neraca, laporan rugi laba).
b) Review
Review yaitu tinjauan/kajian terhadap pelaksanaan pelayanan
kefarmasian tanpa dibandingkan dengan standar. Review
dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil monitoring terhadap
pengelolaan Sediaan Farmasi dan seluruh sumber daya yang
digunakan.
Contoh : pengkajian terhadap Obat fast/slow moving dan
perbandingan harga Obat
c) Observasi Observasi dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil
monitoring terhadap seluruh proses pengelolaan Sediaan Farmasi.
Contoh : observasi terhadap penyimpanan obat, proses transaksi
dengan distributor, ketertiban dokumentasi.
2) Indikator Evaluasi Mutu
a) Kesesuaian proses terhadap standar
b) Efektifitas dan efisiensi
b. Mutu Pelayanan Farmasi Klinik
1) Metode Evaluasi Mutu
a) Audit
Audit dilakukan oleh apoteker berdasarkan hasil monitoring
terhadap proses dan hasil pelayanan farmasi klinik.
Contoh : audit penyerahan obat kepada pasien oleh apoteker dan
audit waktu pelayanan
b) Review
Review dilakukan oleh apoteker berdasarkan hasil monitoring
terhadap pelayanan farmasi klinik dan seluruh sumber daya yang
digunakan.
Contoh : review terhadap kejadian medication error
c) Survei
Survei yaitu pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner.
Survei dilakukan oleh apoteker berdasarkan hasil monitoring
terhadap mutu pelayanan dengan menggunakan angket/kuesioner
atau wawancara langsung
18

Contoh : tingkat kepuasan pasien


d) Observasi
Observasi yaitu pengamatan langsung aktivitas atau proses
dengan menggunakan cek list atau perekaman. Observasi
dilakukan oleh berdasarkan hasil monitoring terhadap seluruh
proses pelayanan farmasi klinik.
Contoh : observasi pelaksanaan SPO pelayanan
2) Indikator Evaluasi Mutu
Indikator yang digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan
adalah :
a) Pelayanan farmasi klinik diusahakan zero deffect dari medication
error.
b) Standar Prosedur Operasional (SPO) untuk menjamin mutu
pelayanan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
c) Lama waktu pelayanan resep antara 15-30 menit.
d) Keluaran pelayanan kefarmasian secara klinik berupa
kesembuhan penyakit pasien, pengurangan atau hilangnya gejala
penyakit, pencegahan terhadap penyakit atau gejala,
memperlambat perkembangan penyakit (Permenkes RI, 2014).

2.7 SIPA
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
889/Menkes/Per/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga
Kefarmasian, Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA) adalah surat izin yang diberikan
kepada apoteker untuk dapat melaksanakan praktik kefarmasian pada fasiitas
pelayanan kefarmasian. Untuk memperoleh SIPA, apoteker mengajukan
permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tempat pekerjaan
kefarmasian dilaksanakan dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum
dalam Formulir 6 terlampir.
Permohonan SIPA harus melampirkan :
a. Fotokopi STRA yang dilegalisir oleh KFN
b. Surat pernyataan mempunyai tempat praktik profesi atau surat
keterangan dari pimpinan fasilitas pelayanan kefarmasian atau dari
pimpinan fasilitas produksi atau distribusi/penyaluran.
c. Surat rekomendasi dari organisasi profesi.
19

d. Pas foto berwarna ukuran 4 x 6 sebanyak 2 (dua) lembar dan 3 x 4


sebanyak 2 (dua) lembar.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota harus menerbitkan SIPA paling
lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak surat permohonan diterima dan dinyatakan
lengkap dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantuk dalam formulir 7
atau formulir 8 terlampir (Permenkes RI, 2011).

2.8 Pengelolaan Apotek


2.8.1 Perbekalan farmasi dan alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
meliputi perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pemusnahan,
pengendalian, pencatatan dan pelaporan.
a. Perencanaan
Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai perlu diperhatikan pola
penyakit, pola konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat.
b. Pengadaan
Untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan
sediaan farmasi harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
c. Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis
spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera
dalam surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima.
d. Penyimpanan
1) Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik.
Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada
wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus
ditulis informasi yang jelas pada wadah baru. Wadah
20

sekurangkurangnya memuat nama obat, nomor batch dan tanggal


kadaluwarsa.
2) Semua Obat/bahan Obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai
sehingga terjamin keamanan dan stabilitasnya.
3) Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk
sediaan dan kelas terapi Obat serta disusun secara alfabetis.
4) Pengeluaran Obat memakai sistem FEFO (First Expire First Out)
dan FIFO (First In First Out)
e. Pemusnahan
1) Obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan jenis
dan bentuk sediaan. Pemusnahan obat kadaluwarsa atau rusak yang
mengandung narkotika atau psikotropika dilakukan oleh Apoteker
dan disaksikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pemusnahan
obat selain narkotika dan psikotropika dilakukan oleh apoteker dan
disaksikan oleh tenaga kefarmasian lain yang memiliki surat izin
praktik atau surat izin kerja. Pemusnahan dibuktikan dengan berita
acara pemusnahan menggunakan formulir 1 sebagaimana terlampir.
2) Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun
dapat dimusnahkan. Pemusnahan resep dilakukan oleh apoteker
disaksikan oleh sekurang-kurangnya petugas lain di apotek dengan
cara dibakar atau cara pemusnahan lain yang dibuktikan dengan
Berita Acara Pemusnahan Resep menggunakan formulir 2
sebagaimana terlampir dan selanjutnya dilaporkan kepada dinas
kesehatan Kabupaten/Kota.
f. Pengendalian
Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah
persediaan sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem
pesanan atau pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran. Hal ini
bertujuan untuk menghindari terjadinya kelebihan, kekurangan,
kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa, kehilangan serta pengembalian
pesanan. Pengendalian persediaan dilakukan menggunakan kartu stok
baik dengan cara manual atau elektronik. Kartu stok
sekurangkurangnya memuat nama Obat, tanggal kadaluwarsa, jumlah
pemasukan, jumlah pengeluaran dan sisa persediaan.
21

g. Pencatatan dan Pelaporan


Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai meliputi pengadaan
(surat pesanan, faktur), penyimpanan (kartu stock), penyerahan (nota
atau struk penjualan) dan pencatatan lainnya disesuaikan dengan
kebutuhan. Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan eksternal.
Pelaporan internal merupakan pelaporan yang digunakan untuk
kebutuhan manajemen Apotek, meliputi keuangan, barang dan laporan
lainnya. Pelaporan eksternal merupakan pelaporan yang dibuat untuk
memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan meliputi pelaporan narkotika (menggunakan Formulir 3
sebagaimana terlampir), psikotropika (menggunakan Formulir 4
sebagaimana terlampir) dan pelaporan lainnya (Permenkes RI, 2014).

2.8.2 Pengelolaan narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi


Pengelolaan narkotika, psikotropika, dan prekursor telah diatur dalam
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015 tentang
Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika,
dan Prekursor Farmasi. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman
atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang
dibedakan ke dalam golongangolongan sebagaimana terlampir dalam Undang-
Undang tentang Narkotika.
Psikotropika adalah zat/bahan baku atau obat, baik alamiah maupun
sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif
pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas
mental dan perilaku. Prekursor Farmasi adalah zat atau bahan pemula atau bahan
kimia yang dapat digunakan sebagai bahan baku/penolong untuk keperluan proses
produksi industri farmasi atau produk antara, produk ruahan,dan produk jadi yang
mengandung ephedrine, pseudoephedrine, norephedrine/phenylpropanolamine,
ergotamin, ergometrine, atau Potasium Permanganat.
22

Penyaluran narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi diatur pada :


Pasal 9
(1) Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya dapat
dilakukan berdasarkan:
a. surat pesanan; atau
b. Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) untuk
pesanan dari Puskesmas.
(2) Surat pesanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya dapat
berlaku untuk masing-masing Narkotika, Psikotropika, atau Prekursor
Farmasi.
(3) Surat pesanan Narkotika hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) jenis
Narkotika.
(4) Surat pesanan Psikotropika atau Prekursor Farmasi hanya dapat digunakan
untuk 1 (satu) atau beberapa jenis Psikotropika atau Prekursor Farmasi.
(5) Surat pesanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) harus
terpisah dari pesanan barang lain.
Pasal 14
(1) Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk
obat jadihanya dapat dilakukan oleh:
a. Industri Farmasi kepada PBF dan Instalasi Farmasi Pemerintah.
b. PBF kepada PBF lainnya, Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit,
Instalasi Farmasi Klinik, Instalasi Farmasi Pemerintah dan Lembaga
Ilmu Pengetahuan.
c. PBF milik Negara yang memiliki Izin Khusus Impor Narkotika
kepada Industri Farmasi, untuk penyaluran Narkotik.
d. Instalasi Farmasi Pemerintah Pusat kepada Instalasi Farmasi
Pemerintah Daerah, Instalasi Farmasi Rumah Sakit milik Pemerintah,
dan Instalasi Farmasi Tentara Nasional Indonesiaatau Kepolisian.
e. Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah kepada Instalasi Farmasi Rumah
Sakit milik Pemerintah Daerah, Instalasi Farmasi Klinik milik
Pemerintah Daerah, dan Puskesmas.
(2) Selain kepada PBF lainnya, Apotek, Rumah Sakit, Instalasi Farmasi
Pemerintah dan Lembaga Ilmu Pengetahuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, PBF dapat menyalurkan Prekursor Farmasi golongan obat
bebas terbatas kepada Toko Obat.
23

Penyerahan narkotika dan psikotropika diatur pada :


Pasal 18
(1) Penyerahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya dapat
dilakukan dalam bentuk obat jadi.
(2) Dalam hal Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
kepada pasien, harus dilaksanakan oleh Apoteker di fasilitas pelayanan
kefarmasian.
(3) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara
langsung sesuai dengan standar pelayanan kefarmasian.
(4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
penyerahan Prekursor Farmasi yang termasuk golongan obat bebas
terbatas di Toko Obat dilakukan oleh Tenaga Teknis Kefarmasian.
Pasal 19
(1) Penyerahan Narkotika dan/atau Psikotropika hanya dapat dilakukan oleh:
a. Apotek;
b. Puskesmas;
c. Instalasi Farmasi Rumah Sakit;
d. Instalasi Farmasi Klinik; dan
e. dokter.
(2) Apotek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya dapat
menyerahkan Narkotika dan/atau Psikotropika kepada:
a. Apotek lainnya;
b. Puskesmas;
c. Instalasi Farmasi Rumah Sakit;
d. Instalasi Farmasi Klinik;
e. dokter; dan
f. pasien.
(3) Penyerahan Narkotika dan/atau Psikotropika sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d hanya dapat dilakukan untuk
memenuhi kekurangan jumlah Narkotika dan/atau Psikotropika
berdasarkan resep yang telah diterima.
(4) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus berdasarkan surat
permintaan tertulis yang ditandatangani oleh Apoteker penanggung jawab
dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 5
terlampir.
24

(5) Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, dan Instalasi Farmasi
Klinik hanya dapat menyerahkan Narkotika dan/atau Psikotropika kepada
pasien berdasarkan resep dokter.
Pasal 20
(1) Penyerahan Narkotika dan Psikotropika oleh Apotek kepada Dokter
hanya dapat dilakukan dalam hal :
a. dokter menjalankan praktik perorangan dengan memberikan
Narkotika dan Psikotropika melalui suntikan; dan/atau
b. dokter menjalankan tugas atau praktik di daerah terpencil yang tidak
ada Apotek atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berdasarkan surat
permintaan tertulis yang ditandatangani oleh dokter yang menangani
pasien dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam
Formulir 6 terlampir.
Penyerahan prekursor farmasi diatur pada :
Pasal 22
(1) Penyerahan Prekursor Farmasi hanya dapat dilakukan oleh:
a. Apotek;
b. Puskesmas;
c. Instalasi Farmasi Rumah Sakit;
d. Instalasi Farmasi Klinik;
e. dokter; dan
f. Toko Obat.
(2) Apotek hanya dapat menyerahkan Prekursor Farmasi golongan obat keras
kepada:
a. Apotek lainnya;
b. Puskesmas;
c. Instalasi Farmasi Rumah Sakit;
d. Instalasi Farmasi Klinik;
e. dokter; dan
f. pasien.
(3) Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, dan Instalasi Farmasi
Klinikhanya dapat menyerahkan Prekursor Farmasi golongan obat
keraskepada pasien berdasarkan resep dokter.
(4) Penyerahan Prekursor Farmasi golongan obat keras sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d hanya dapat
25

dilakukan untuk memenuhi kekurangan jumlah Prekursor Farmasi


golongan obat kerasberdasarkan resep yang telah diterima.
(5) Penyerahan Prekursor Farmasi golongan obat bebas terbatas oleh Apotek
kepada Apotek lainnya, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit,
Instalasi Farmasi Klinik, dan Toko Obat hanya dapat dilakukan untuk
memenuhi kekurangan kebutuhan harian Prekursor Farmasi golongan obat
bebas terbatasyang diperlukan untuk pengobatan.
(6) Penyerahan Prekursor Farmasi oleh Apotek kepada dokter hanya dapat
dilakukan apabila diperlukan untuk menjalankan tugas/praktik di daerah
terpencil yang tidak ada Apotek atau sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 23
(1) Penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4), ayat (5), dan
ayat (6) harus berdasarkan surat permintaan tertulis yang ditandatangani
oleh Apoteker/Tenaga Teknis Kefarmasianpenanggung jawab atau dokter
yang menangani pasien dengan menggunakan contoh sebagaimana
tercantum dalam Formulir 7, Formulir 8, dan Formulir 9 terlampir.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penyerahan Prekursor Farmasi golongan obat bebas terbatas oleh Apotek
kepada Toko Obat, hanya dapat dilakukan berdasarkan surat permintaan
tertulis yang ditandatangani oleh Tenaga Teknis Kefarmasian dengan
menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 8 terlampir.
(3) Penyerahan Prekursor Farmasi golongan obat bebas terbatas kepada pasien
harus memperhatikan kerasionalan jumlah yang diserahkan sesuai
kebutuhan terapi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penyimpanan narkotika, psikotropika dan prekursor Farmasi diatur pada :
Pasal 25
(1) Tempat penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi
dapat berupa gudang, ruangan, atau lemari khusus.
(2) Tempat penyimpanan Narkotika dilarang digunakan untuk menyimpan
barang selain Narkotika.
(3) Tempat penyimpanan Psikotropika dilarang digunakan untuk menyimpan
barang selain Psikotropika.
26

(4) Tempat penyimpanan Prekursor Farmasi dalam bentuk bahan baku


dilarang digunakan untuk menyimpan barang selain Prekursor Farmasi
dalam bentuk bahan baku (Permenkes RI, 2015).

2.9 Informasi Umum Obat


2.9.1. Penggolongan Obat
Penggolongan obat dimaksudkan untuk peningkatan keamanan dan
ketepatan penggunaan serta pengamanan distribusinya. Penggolongan obat
menurut Permenkes No. 917/1993 adalah :
a. Obat Bebas

Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat
dibeli tanpa resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat
bebas adalah lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam.
Contoh : Parasetamol

b. Obat Bebas Terbatas

Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk


obat keras tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter,
dan disertai dengan tanda peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan
etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi
berwarna hitam.
Contoh : CTM
c. Obat Keras dan Psikotropika

Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek


dengan resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah
huruf K dalam lingkaran merah dengan garis tepi berwarna hitam.
Contoh : Asam Mefenamat
Obat psikotropika adalah obat keras baik alamiah maupun sintetis
bukan narkotik, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif
pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada
aktivitas mental dan perilaku.
Contoh : Diazepam, Phenobarbital
27

d. Obat Narkotika

Obat narkotika adalah obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
sampai menghilangkan rasa nyeri dan menimbulkan ketergantungan.
Contoh : Morfin, Petidin.

2.9.2. Informasi Kemasan, Etiket, dan Brosur


Sebelum menggunakan obat, bacalah sifat dan cara pemakaiannya pada
etiket, brosur atau kemasan obat agar penggunaannya tepat dan aman. Pada setiap
brosur atau kemasan obat selalu dicantumkan :
a. Nama obat
b. Komposisi
c. Indikasi
d. Informasi cara kerja obat
e. Aturan pakai
f. Peringatan (khusus untuk obat bebas terbatas)
g. Perhatian
h. Nama produsen
i. Nomor batch/lot
j. Nomor registrasi
Nomor registrasi dicantumkan sebagai tanda ijin edar absah yang
diberikan oleh pemerintah pada setiap kemasan obat.
k. Tanggal kadaluarsa.

2.9.3. Tanda peringatan


Tanda peringatan selalu tercantum pada kemasan obat bebas terbatas,
berupa empat persegi panjang berwarna hitam berukuran panjang 5 (lima)
centimeter, lebar 2 (dua) centimeter dan memuat pemberitahuan berwarna putih
sebagai berikut :
28

Gambar 2. 1 Tanda peringatan obat keras

2.9.4. Cara Pemilihan Obat


Untuk menetapkan jenis obat yang dibutuhkan perlu diperhatikan :
a. Gejala atau keluhan penyakit
b. Kondisi khusus misalnya hamil, menyusui, bayi, lanjut usia, diabetes
mellitus dan lain-lain.
c. Pengalaman alergi atau reaksi yang tidak diinginkan terhadap obat
tertentu.
d. Nama obat, zat berkhasiat, kegunaan, cara pemakaian, efek samping
dan interaksi obat yang dapat dibaca pada etiket atau brosur obat.
e. Pilihlah obat yang sesuai dengan gejala penyakit dan tidak ada interaksi
obat dengan obat yang sedang diminum.
f. Untuk pemilihan obat yang tepat dan informasi yang lengkap, tanyakan
kepada Apoteker (Depkes RI. 2006).

You might also like