You are on page 1of 12

Gangguan skizoafektif dalam DSM-5

Malaspina D1, Owen MJ, Heckers S, Tandon R, Bustillo J, Schultz S, Barch DM,
Gaebel W, Gur RE, Tsuang M, Van Os J, Carpenter W.

ABSTRAK
Karakterisasi pasien dengan gejala psikotik dan mood baik secara bersamaan atau
pada poin yang berbeda selama perjalanan penyakit mereka selalu menjadi tantangan
nosologikal dan hal tersebut tercermin dalam reliabilitas yang lemah, stabilitas
diagnostik rendah, dan validitas dari Gangguan skizoafektif DSM-IV yang masih
dipertanyakan. Realitas klinis yang sering menyertai terjadinya episode psikosis dan
mood juga telah menimbulkan lebih banyak pemanfaatan terhadap kategori
diagnostik yang pada awalnya hanya ditujukan untuk yang jarang diperlukan. Dalam
Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental, edisi kelima, upaya dilakukan
untuk meningkatkan reliabilitas kondisi ini dengan menyediakan lebih banyak kriteria
spesifik dan konsep gangguan skizoafektif yang diangkat dari episode diagnosis
dalam DSM-IV pada perjalanan penyakit dalam DSM-5. Ketika gejala psikotik
terjadi secara eksklusif selama Episode Mood, DSM-5 menunjukkan bahwa diagnosis
gangguan tersebut sesuai dengan Gangguan Mood dengan Gambaran Psikotik, tetapi
ketika kondisi psikotik seperti itu melibatkan setidaknya dua minggu periode psikosis
tanpa gejala mood yang menonjol, diagnosis mungkin berupa Gangguan Skizoafektif
atau Skizofrenia. Dalam DSM-5, diagnosis gangguan Skizoafektif dapat dibuat hanya
jika episode gangguan mood penuh sebagian besar muncul pada lama total periode
aktif dan residual dari penyakit, dari onset gejala psikotik sampai diagnosis saat ini.
Dalam versi DSM sebelumnya batas antara gangguan skizofrenia dan skizoafektif
hanya didefinisikan secara kualitatif, yang mengarah ke reliabilitas yang lemah.
Perubahan ini akan memberikan pemisahan yang lebih jelas antara skizofrenia
dengan gejala mood dari gangguan skizoafektif dan juga akan cenderung mengurangi
tingkat diagnosis gangguan skizoafektif sambil meningkatkan stabilitas diagnosis
yang telah dibuat.

1
1. Perspektif sejarah
Diagnosis gangguan skizoafektif telah mengalami pergeseran konseptualisasi
dalam berbagai edisi Diagnostik dan Statistik Manual (DSM). Sampai edisi terbaru,
DSM-5, perspektif sejarah yang paling berpengaruh adalah dari Kraepelin (1920)
yang mengusulkan bahwa ada dikotomi antara diagnosa skizophrenia (dementia
praecox) dibandingkan dengan gangguan mood psikotik (gangguan jiwa manik-
depresi). Menurut perspektif dikotomis ini, avolisi, penurunan ekspresi emosional,
penurunan kognitif dan hasil buruk yang berhubungan dengan skizofrenia, sedangkan
psikosis terkait dengan depresi atau mania memiliki hasil yang lebih baik dan harapan
pemulihan antar episode. Pandangan dikotomis ini tidak mudah ditempatkan dengan
pengamatan bahwa porsi substansial dari kasus memenuhi kriteria pengalaman
Skizofrenia dari episode gangguan mood serta memiliki periode psikosis non afektif.
Edisi DSM sebelumnya menggunakan konsep gangguan skizoafektif untuk mencatat
realitas klinis dari tumpang tindihnya frekuensi psikosis afektif dan non-afektif pada
individu yang sama (Tabel 1).
Edisi DSM pertama (1952) memasukkan "reaksi skizofrenia, jenis skizoafektif"
dan DSM II (1968) membagi diagnosis ini menjadi "jenis skizoafektif, excited" dan
jenis skizoafektif, depresif" dalam bab Skizofrenia. Sebutan yang ditujukan untuk
kasus dengan pencampuran signifikan dari "gejala skizofrenia" dan "reaksi afektif,"
membedakan antara jenis "excited" dan "depresif" dari kasus berdasarkan
kegembiraan versus depresi. Konten dalam kasus mental ini didefinisikan sebagai
skizofrenia predominan, dengan perasaan gembira berkepanjangan atau depresi.
Kategori ini juga digunakan untuk kasus-kasus dengan keadaan afektif predominan
jika mereka juga menampilkan isi pikir seperti skizofrenia atau perilaku yang aneh.
Meskipun harapan berdasarkan keadaan psikotik afektif prodeminan pada
presentasinya, kasus ini diharapkan menjadi "dasar skizofrenia alami" dengan
pengamatan berkepanjangan selama sakit.

2
Pada DSM III (1980), istilah "gangguan skizoafektif" diperkenalkan meskipun
tidak ada kriteria diagnostik yang diusulkan. Seperti DSM versi sebelumnya, kategori
tersebut digunakan untuk contoh-contoh dimana dokter tidak mampu membuat
diagnosis banding dengan tingkat kepastian antara gangguan afektif dan gangguan
skizofreniform atau skizofrenia. Sebuah konsep lagi ditujukan untuk kebutuhan klinis
pada istilah diagnostik untuk banyak kasus psikotik yang tidak sesuai dengan salah
satu kriteria gangguan dalam dikotomi Kraepelinian baik untuk Schizophrenia
maupun gangguan bipolar. Ada ketidakpastian pada validitas dari kondisi tersebut
dalam DSM III. Para penulis mengakui bahwa, "penelitian lebih lanjut diperlukan
untuk menentukan apakah ada kebutuhan untuk kategori skizofrenia maupun
gangguan bipolar dan jika demikian, bagaimana harus mendefinisikannya dan apa
hubungannya dengan schizophrenia dan gangguan afektif". Pada keseluruhan DSM-
III, hal ini merupakan satu-satunya diagnosis tanpa kriteria operasional yang eksplisit
(Tandon, 2012).
Pada DSM III-R 1987, kriteria diagnostik untuk gangguan skizoafektif pertama
kali dioperasionalkan. Keempat kriteria diagnostik yang diperkenalkan dalam DSM
III-R dasarnya tetap tidak berubah sampai edisi yang ada saat ini, syaratnya adalah
(A) setidaknya satu periode psikosis (cukup berat untuk memenuhi kriteria A untuk
skizofrenia) DENGAN gejala afektif; (B) setidaknya satu periode psikosis,
setidaknya dua minggu, TANPA gejala afektif; (C) total durasi episode mood "tidak
singkat" dan (D) tidak ada "penyebab organik". Sementara prognosis "agak lebih
baik" dari gangguan skizoafektif, dibandingkan dengan skizofrenia, telah tercatat
sebagai validator potensial atau potensi validasi dalam DSM III-R, pemulihan antar
episode atau hasil yang baik tidak pernah dimasukkan sebagai kriteria diagnostik.
Gangguan skizoafektif ditentukan sebagai tipe bipolar, bagi mereka yang mengalami
sindrom manik saat ini atau sebelumnya, atau tipe depresif, bagi mereka yang tidak
mengalami sindrom manik saat ini atau sebelumnya.

3
DSM-IV (1994) melanjutkan diagnosis mengenai gangguan skizoafektif baik
sebagai Tipe Depresi atau Tipe Bipolar, tetapi memperluas Tipe Bipolar untuk
memasukkan Episode Campuran selain Episode Manik. Revisi teks DSM-IV-TR pada
tahun 2000 (Tabel 2) tidak mengubah definisi ini. Dengan hati-hati mencatat bahwa
gangguan skizoafektif "memenuhi kategori yang diperlukan dan hal penting dalam
sistem diagnostik, namun sayangnya hal tersebut tidak bekerja cukup baik," (DSM-
IV-TR Sourcebook).

Tabel 1. Diagnosis gangguan skizoafektif pada edisi DSM sebelumnya


Tahun Diagnosis gangguan skizoafektif
DSM I 1952 000-x27 reaksi skizofrenik, tipe skizoafektif (300.6)
DSM II 1968 295.73 Skizophrenia, tipe skizo-afektif, excited
295.74 Skizophrenia, tipe skizo-afektif, depresif
DSM III 1980 295.70 Gangguan Skizoafektif
Tidak ada kriteria diagnosis operasioanal
DSM III-R 1987 295.70 Gangguan skizoafektif
Tipe Bipolar
Tipe depresif
Memperkenalkan 4 kriteria diagnostic
DSM-IV 1994 Campuran tipe Bipolar tipe tambahan
Tidak ada kriteria diagnosis
DSM-IV-TR 2000 Tidak ada perubahan
a
Daftar tanggal hak cipta APA dan informasi untuk tiap edisi
Kriteria C untuk gangguan skizoafektif (yaitu, gejala mood yang hadir selama
"sebagian besar" dari durasi keseluruhan penyakit, yang merupakan durasi periode
aktif ataupun residual dari penyakit (DSM-IV, APA)) sangat kontroversial. Beberapa
dokter melihat beberapa sindrom afektif penuh dalam perjalanan penyakit sebagai
substansial, misalnya episode mood bipolar yang berlangsung selama 12 bulan dalam
10 tahun perjalanan penyakit yang dinyatakan didominasi oleh gejala psikotik tanpa
episode mood (hanya 10% dari total lamanya penyakit). Di sisi lain, 12 bulan dari
sindrom episode mood yang penuh di samping beberapa minggu psikosis tanpa
sindrom mood dalam durasi penyakit 18 bulan (67% dari total durasi penyakit),

4
sindrom episode mood tersebut memiliki nilai sangat penting oleh sebagian besar
dokter. Isu kontroversial lain bagi dokter adalah apakah beberapa gejala afektif
intermiten selama psikosis kronis kompatibel dengan diagnosis gangguan skizoafektif
(yaitu, hanya pembicaraan yang tertekan dan delusi yang besar), bahkan tanpa
terpenuhinya semua kriteria dari episode mood.
Ketidakpastian klinis dan nosologikal akibat kepatuhan terhadap dikotomi
Kraepelinian dihargai oleh semua penulis edisi DSM, yaitu banyak kasus dengan
psikosis kronis memiliki pencampuran yang signifikan dari gejala psikotik prominen
dan fitur afektif tetapi tidak jelas memenuhi kriteria untuk gangguan mood bipolar
atau untuk Skizofrenia. Di edisi sebelumnya, gangguan skizoafektif dimaksudkan
sebagai diagnosis terakhir, yaitu, ketika skizofrenia atau gangguan bipolar tidak dapat
didiagnosis dengan cukup pasti. Tanpa suatu titik temu apakah edisi DSM menyetujui
gagasan Kasanin ini, didefinisikan pada tahun 1933, dari gangguan skizoafektif
sebagai gangguan dengan outcome yang lebih baik. Konsep Kasanin untuk gangguan
skizoafektif dipandang lebih sesuai dengan konsep "buffee dlirante" serta "gangguan
psikotik akut dan transien", yang menggambarkan episode singkat atau berlangsung
sebentar terdiri dari fitur afektif dan psikotik, daripada kondisi psikotik kronis.
Namun, skala prognostik skizofrenia jika secara rutin gejala afektifnya di obati dapat
menjadi indikator prognosis yang baik.

2. Gangguan skizoafektif sebagai entitas penyakit tertentu


Validitas diagnosis dan utilitasnya dalam praktek klinis dan penelitian
tergantung pada reliabilitas. Skizofrenia dan gangguan mood dapat didiagnosis
dengan reliabilitas yang tinggi, tapi hanya reliabilitas diagnostik yang wajar dan
lemah untuk kasus-kasus yang memenuhi kriteria untuk skizofrenia yang memiliki
episode mood selain menunjukkan setidaknya dua minggu psikosis dalam ketiadaan
episode mood (Tandon dan Mayor, 2008). Seperti yang dijelaskan, kurangnya kriteria
khusus untuk total durasi sindrom mood dalam perjalanan psikosis merupakan
masalah dan mungkin menjadi faktor utama dalam lemahnya reliabilitas terhadap

5
diagnosis gangguan skizoafektif (Mayor et al., 2000). Nurnberger et al. (1994)
menemukan reliabilitas yang rendah untuk gangguan skizoafektif, bahkan ketika
wawancara diagnostik terstruktur dan prosedur estimasi telah dibuat sangat baik oleh
para ahli di bidangnya termasuk informasi dari informan keluarga dan catatan klinis
sebelumnya. Sebaliknya, prosedur ini, yang mempekerjakan Interview Diagnostik
untuk Studi Genetik atau Diagnostic Interview for Genetic Studies (DIGS),
menghasilkan reliabilitas yang sangat baik untuk semua kondisi psikotik lainnya
(0,73-0,95). Untuk gangguan skizoafektif, subtipe yang berbeda umumnya
dikelirukan oleh skizofrenia (Faraone et al., 1996). Dalam penelitian yang dilakukan
oleh kolaborasi NIMH Genetika Initiative, reliabilitas gangguan skizoafektif telah
ditingkatkan dengan menggunakan ambang batas eksplisit terhadap durasi relatif dari
gejala mood terhadap episode psikosis.

Tabel 2. kriteria DSM-IV-TR: gangguan skizoafektif (295.70)


A Sebuah periode yang tidak terputus dari perjalanan penyakit di mana, pada
beberapa waktu, terdapat episode depresi mayor, episode manik, atau
campuran episode secara bersamaan dengan gejala yang memenuhi Kriteria A
untuk Skizofrenia. Catatan: Episode depresi mayor harus mencakup Kriteria
A1: perasaan depresi.
B Selama periode penyakit yang sama, sudah ada delusi atau halusinasi selama
minimal 2 minggu tanpa adanya gejala mood yang menonjol.
C Gejala yang memenuhi kriteria untuk episode mood yang hadir untuk sebagian
besar dari total durasi periode aktif dan residual dari penyakit.
D Gangguan yang tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari suatu zat
(misalnya, penyalahgunaan obat, obat medis) atau kondisi medis umum.

Spesifikasi tipe:
Tipe bipolar: jika gangguan mencakup episode manik atau episode campuran
(atau manic atau episode campuran dan episode depresi mayor)
Tipe depresif: jika gangguan hanya mencakup episode depresi mayor
Keterbatasan lain dari gangguan skizoafektif DSM-IV adalah bahwa stabilitas
temporal tidak jelas. Schwartz et al menemukan bahwa stabilitas diagnosis antara dua
titik waktu (penilaian tindak lanjut 6 dan 24 bulan setelah penilaian awal pada saat

6
awal masuk ke fasilitas rawat inap psikiatri) adalah 92% untuk skizofrenia, 83%
untuk gangguan bipolar, 74% untuk depresi mayor, tetapi hanya 36% untuk SA
(Schwartz et al., 2000). Akhirnya, utilitas klinis tidak ditegakkan. Kategori diagnostik
sering digunakan tanpa kepatuhan terhadap kriteria. Ketika 59 pasien dengan
diagnosis keluarnya adalah gangguan skizoafektif yang kemudian dilakukan evaluasi
kembali, tidak satupun dari mereka yang ditemukan memenuhi kriteria DSM-IV
untuk gangguan skizoafektif (Vollmer-Larsen et al., 2006). Meskipun demikian,
diagnosis ini umumnya digunakan dalam praktek klinis dan secara umum dapat
dilihat sebagai diagnosis yang lebih ringan daripada Skizofrenia. Sebuah studi terkini
tentang gangguan psikotik dari sebuah Asuransi besar Swasta dan database Medicare
di AS (data tidak dipublikasikan dibuat tersedia untuk Psikosis Work-Group, 2009),
menemukan bahwa diagnosis gangguan skizoafektif DSM-IV digunakan untuk
sekitar sepertiga dari kasus dengan gangguan psikotik non afektif. Oleh karena itu,
diagnosis ini tidak dapat diandalkan dan sulit didefinisikan serta terlihat sangat
berlebian.

3. Di luar dikotomi Kraepelinian


Validitas yang mendefinisikan gangguan skizoafektif sebagai kategori yang
berbeda dari gangguan mood dan Skizofrenia telah dipertanyakan. Enam kelas
berbeda dari gangguan psikotik yang ditunjukkan didasarkan pada analisis cluster
laten (Kendler et al., 1998), termasuk skizofrenia, depresi mayor, gangguan
skizofreniform, bipolar-skizomania, skizodepresi dan hebephrenia. Juga terhadap
dikotomi Kraepelinian, sekolah Wernicke-Kleist-Leonhard mengusulkan tiga
kelompok utama sindrom psikotik, termasuk psikosis cycloid (phasic; outcome
menguntungkan), skizofrenia sistematis (phasic; outcome kurang menguntungkan)
dan skizofrenia sistematis (kronis; outcome buruk) (Jabs et al., 2002). Suatu
pendekatan yang mengasumsikan model penyakit medis, yang didefinisikan oleh
mekanisme dan respon obat, melankolia diidentifikasi lebih lanjut dan katatonia
sebagai kategori diagnostik berbeda (Fink dan Taylor, 2008).

7
Validitas gangguan skizoafektif telah diterima dengan baik (lihat Maier, 2006;
Potash, 2006; Cheniaux et al, 2008;. Malhi et al, 2008.). Masalah yang menonjol
dalam tinjauan ini adalah apakah ada perjalanan dan prognosis yang lebih baik pada
gangguan skizoafektif daripada pada skizofrenia (Harrow et al., 2000), dan outcome
yang lebih terganggu untuk gangguan skizoafektif dibandingkan dengan gangguan
bipolar (Strakowski et al., 1999). Tindak lanjut longitudinal 15 tahun dari kasus
gangguan skizoafektif (Jager et al., 2004) menunjukkan bahwa kasus tersebut
memiliki prognosis yang sama sebagaimana dengan gangguan afektif, meskipun
gambaran klinis pada saat pertama kali dirawat inap untuk gangguan skizoafektif
dibedakan dari skizofrenia dan gangguan mood. Pendekatan lain untuk validitas
gangguan skizoafektif melibatkan keluarga dan studi genetik. Studi keluarga
menunjukkan peningkatan risiko terjadinya gangguan skizoafektif pada riwayat
keluarga dengan gangguan bipolar dan skizofrenia, konsisten dengan gangguan
skizoafektif menjadi subtipe gangguan atau kondisi yang intermediate untuk kedua
kondisi tersebut (Laursen et al., 2005). Ada bukti yang kuat dari keluarga
(Lichtenstein et al, 2009.), kembar (Cardno et al., 2002) dan studi genetika molekuler
(International Schizophrenia Consortium et al, 2009;. Moskvina et al, 2009;.
Craddock et al, 2010; Konsorsium Schizophrenia Psychiatric Genome-Wide
Association Study (GWAS), 2011;. Visscher et al, 2012) menunjukkan tumpang
tindih genetik yang signifikan antara skizofrenia dan gangguan bipolar. Studi genetik
tidak mendukung pandangan bahwa skizofrenia, gangguan mood psikotik dan
gangguan skizoafektif adalah entitas etiologi yang berbeda, melainkan ada petunjuk
yang menyiratkan adanya kerentanan keturunan yang meningkatkan risiko untuk
semua sindrom ini. Beberapa jalur kerentanan mungkin khusus untuk skizofrenia,
selain untuk gangguan bipolar, namun mekanisme lain dan mekanisme gen mungkin
memberikan risiko skizofrenia campuran dan psikosis afektif (Hamshere et al, 2005;..
Craddock et al, 2010), tetapi tidak ada dukungan dari segi faktor genetika yang
menunjukkan bahwa ini adalah gangguan yang berbeda dengan etiologi dan

8
patogenesis yang juga berbeda. Studi laboratorium endophenotypes putatif, studi
pencitraan otak, dan studi post mortem memberikan sedikit kejelasan tambahan pada
validitas dari diagnosis gangguan skizoafektif, karena kebanyakan studi
menggabungkan subjek yang berbeda yaitu psikosis kronis dengan subyek sehat.
Dengan demikian, tidak ada biomarker yang valid atau tindakan laboratorium
yang muncul untuk membedakan antara psikosis afektif dan skizofrenia. Sebaliknya,
gagasan mendikotomikan antara dua jenis kondisi ini telah terbukti naif. Gagasan-
gagasan tersebut harus terus mengandalkan penyajian gejala dan tanda-tanda untuk
mengkategorikan penyakit kejiwaan saat ini dan gejala campuran "skizofrenia" dan
afektif yang merupakan fitur dari banyak, atau bahkan sebagian besar, kasus dengan
penyakit mental berat. Sebagaimana Pope dan Lipinski (1978) menduga dalam
beberapa dekade lalu, sebagian besar gejala menyajikan fenomenologi psikotik
memiliki sedikit validitas dalam menentukan diagnosis, prognosis, atau respon
pengobatan pada psikosis. Upaya terbaik dapat kami lakukan untuk menghandalkan
kategori fitur penyakit ke dalam psikosis afektif, skizofrenia dan gangguan
skizoafektif dan operasionalisasi lebih lanjut dari kriteria dalam DSM-5 dapat
berkontribusi untuk proses ini. Upaya tersebut bukan untuk menyangkal bahwa
mungkin ada utilitas klinis yang mampu mengklasifikasikan kasus psikosis kronis
sesuai dengan kontribusi relatif gejala afektif dan non afektif, tetapi hal tersebut tidak
menunjukkan bahwa pada akhirnya nuansa dan dimensi pendekatan yang lebih
banyak mungkin akan dibutuhkan.

4. Gangguan skizoafektif DSM-5


Salah satu opsi DSM-5 akan menghapus kategori gangguan skizoafektif dan
menambahkan gejala mood sebagai dimensi untuk gangguan skizofrenia dan
skizofreniform atau untuk menentukan kategori tunggal untuk gejala yang menyertai
psikosis dan mood. Opsi ini secara ekstensif diperdebatkan tetapi akhirnya dianggap
terlalu dini atau prematur karena tidak ada data yang memvalidasi secara klinis dan
teoritis untuk membenarkan konseptualisasi radikal tersebut. Selain itu, tampaknya

9
tidak ada cara praktis untuk memperkenalkan efek dimensi yang mencakup seluruh
perjalanan penyakit, yang akan menangkap konsep saat periode psikosis terkait dan
tidak terkait dengan episode mood. Sebaliknya, klasifikasi gangguan skizoafektif
DSM-5 (Tabel 3) bertujuan untuk memiliki reliabilitas yang lebih meningkat dan
memperkenalkan dimensi gejala untuk menyediakan data pada konseptualisasi
kondisi psikotik kronis di masa depan (lihat Barch et al., pada volume ini). Filosofi
untuk DSM-5 memungkinkan suatu pertimbangan yang tumpang tindih dari kedua
dikotomi dan model kesatuan. Hal tersebut mengantisipasi agar pertimbangan
menghasilkan data yang lebih baik untuk menentukan subkelompok yang memiliki
patofisiologi yang sama dan fenomenologi untuk kemajuan diagnostik di masa depan.
Pergeseran konseptual lain dan klarifikasi untuk pendekatan gangguan skizoafektif
DSM-5 dijelaskan di bawah.

Tabel 3. kriteria DSM-5


A Sebuah periode yang tidak terputus dari perjalanan penyakit di mana ada
episode mood mayor (depresi mayor atau manik) sesuai dengan Kriteria A
dari Skizofrenia.
Catatan: episode depresi mayor harus menyertakan Kriteria A1.
B Mood depresi. Delusi atau halusinasi selama 2 minggu atau lebih dimana
tidak ada episode mood mayor (depresi atau manik) selama durasi seumur
hidup penyakit.
C Gejala yang memenuhi kriteria untuk episode mood mayor yang hadir untuk
sebagian dari total durasi bagian aktif dan residual dari penyakit.
D Gangguan tidak disebabkan oleh efek dari zat atau kondisi medis lain.

Ketentuan:
Tipe bipolar: subtipe ini berlaku jika episode manik merupakan bagian dari
presentasi. Episode depresi mayor juga dapat terjadi.
Tipe depresi: subtipe ini berlaku jika hanya episode depresi mayor merupakan
bagian dari presentasi.
Dengan katatonia: specifier ini, berlaku untuk 295,70 (F25.1) gangguan
skizoafektif, dengan gejala depresi menonjol, dan 295,70 (F25.0)
gangguan skizoafektif, dengan gejala manik menonjol, dapat digunakan untuk
menentukan episode saat ini dengan setidaknya tiga hal berikut: katalepsi,

10
fleksibilitas lunak (waxy flexibility), stupor, agitasi, membisu (mutism),
negativisme, posturing, tingkah laku (mannerisms), stereotipe, meringis,
echolalia, dan echopraxia.

5. Gejala mood dalam DSM-5 yang memenuhi kriteria episode mood untuk
depresi, mania atau campuran
Dalam DSM-5, kriteria C untuk gangguan skizoafektif didefinisikan secara lebih
tegas daripada di edisi DSM manual sebelumnya. Gejala mood cukup untuk
memenuhi kriteria episode mood harus ada untuk setidaknya setengah dari total
durasi penyakit dari terjadinya psikosis pertama termasuk fase prodromal dan residual
yang memenuhi kriteria untuk gangguan skizoafektif. Gejala afektif yang tidak
memenuhi seluruh kriteria episode untuk setiap sindrom mood tidak akan
dimasukkan dalam komponen mood pada gangguan skizoafektif dalam DSM-5,
bahkan jika ini membutuhkan intervensi perubahan mood. Namun, dokter bisa
menghitung periode penyakit yang memerlukan pengobatan dengan obat antidepresan
dan/atau mood stabilizer (didefinisikan oleh kegagalan untuk menghentikan
pengobatan) terhadap periode dengan gejala mood yang menonjol. Gejala mood
ketika dilibatkan pada skizofrenia secara klinis signifikan, tetapi tidak memenuhi
kriteria C, diagnosis tambahan gangguan depresif yang tidak tergolongkan
(Depressive Disorder Not Otherwise Specified) atau atau gangguan bipolar yang
tidak tergolongkan (Bipolar Disorder Not Otherwise Specified) dapat diberikan.

6. Gangguan skizoafektif DSM-5 mempertimbangkan seluruh perjalanan penyakit


Dalam DSM-5, gangguan skizoafektif adalah diagnosis seumur hidup yang
dipertimbangkan sebagai waktu dari terjadinya psikosis hingga episode saat ini,
daripada hanya mendefinisikan satu episode dengan komorbid psikotik dan sindrom
mood. Perubahan ini mengakui evolusi frekuensi fenomenologi selama sakit.
Misalnya, keberhasilan pengobatan gangguan mood dapat mengakibatkan gambaran
klinis yang datang didominasi oleh gejala psikotik refrakter, menghasilkan gambaran
skizofrenia. Demikian juga kecemasan yang tidak diobati, stres berat atau

11
penyalahgunaan zat dapat menjadi pencetus memburuknya psikosis dan cedera otak
traumatis, post traumatic stress disorder (PTSD) atau demoralisasi yang mungkin
berhubungan dengan episode mood yang lebih banyak. Bukanlah hal yang
mengejutkan bahwa gambaran klinis dapat berubah dari waktu ke waktu, independen
dari kerentanan yang melekat. DSM-5 dapat mendukung strategi pengobatan yang
menangani domain spesifik gejala patologi yang hadir pada setiap pasien dan ini
mungkin lebih baik melibatkan delapan dimensi yang disarankan pada Bagian 3
daripada tingkatan diagnostik itu sendiri (lihat Barch et al., volume ini ).

7. Kesimpulan
Diagnosis gangguan skizoafektif masih kontroversial karena reliabilitasnya yang
lemah, stabilitas rendah, validitas lemah, dan aplikasinya yang berlebihan dalam
praktek. Namun, DSM-5 tetap dalam lingkup tradisi Kraepelin dan terus
membedakan gangguan mood dari spektrum skizofrenia dan mengakui utilitas klinis
dalam menjaga diagnosis penting bagi dokter untuk menangani dengan jalan
tengahnya. Perubahan sederhana yang diberlakukan dengan DSM-5 dapat
menghasilkan reliabilitas yang lebih baik, konsep perjalanan hidup dapat
meningkatkan stabilitas, dan penggunaan dimensi depresi dan mania dapat membantu
dokter menilai patologinya terlepas dari tingkatan diagnostik.

12

You might also like