You are on page 1of 3

ANTIVIRUS UNTUK INFLUENZA

Pengobatan untuk infekksi antivirus pada saluran pernapasan termasuk influenza tipe A & B,
virus sinsitial pernapasan (RSV).

A. Amantadin dan Rimantadin


Amantadin & rimantadin memiliki mekanisme kerja yang sama. Efikasi keduanya terbatas hanya
pada influenza A saja.

Mekanisme kerja : Amanatadin dan rimantadin merupakan antivirus yang bekerja pada protein
M2 virus, suatu kanal ion transmembran yang diaktivasi oleh pH. Kanal M2 merupakan pintu
masuk ion ke virion selama proses uncoating. Hal ini menyebabkan destabilisasi ikatan protein
serta proses transport DNA virus ke nucleus. Selain itu, fluks kanal ion M2 mengatur pH
kompartemen intraseluler, terutama aparatus Golgi.

Resistensi : Influenza A yang resisten terhadap amantadin dan rimantidin belum merupakan
masalah klinik, meskipun beberapa isolate virus telah menunjukkan tingginya angka terjadinya
resistensi tersebut. Resistensi ini disebabkan perubahan satu asam amino dari matriks protein
M2, resistensi silang terjadi antara kedua obat.

Indikasi : Pencegahan dan terapi awal infeksi virus influenza A ( Amantadin juga diindikasi
untuk terapi penyakit Parkinson ).

Farmakokinetik : Kedua obat mudah diabsorbsi oral. Amantadin tersebar ke seluruh tubuh dab
mudah menembus ke SSP. Rimantadin tidak dapat melintasi sawar darah-otak sejumlah yang
sama. Amantadin tidak dimetabolisme secara luas. Dikeluarkan melalui urine dan dapat
menumpuk sampai batas toksik pada pasien gagal ginjal. Rimantadin dimetabolisme seluruhnya
oleh hati. Metabolit dan obat asli dikeluarkan oleh ginjal.

Dosis : Amantadin dan rimantadin tersedia dalam bentuk tablet dan sirup untuk penggunaan
oral. Amantadin diberikan dalam dosis 200 mg per hari ( 2 x 100 mg kapsul ). Rimantadin
diberikan dalam dosis 300 mg per hari ( 2 x sehari 150 mg tablet ). Dosis amantadin harus
diturunkan pada pasien dengan insufisiensi renal, namun rimantadin hanya perlu diturunkan pada
pasien dengan klirens kreatinin 10 ml/menit.

Efek samping : Efek samping SSP seperti kegelisahan, kesulitan berkonsentrasi, insomnia, hilang
nafsu makan. Rimantadin menyebabkan reaksi SSP lebih sedikit karena tidak banyak melintasi
sawar otak darah. Efek neurotoksik amantadin meningkat jika diberikan bersamaan dengan
antihistamin dan obat antikolinergik/psikotropik, terutama pada usia lamjut.
B. Inhibitor Neuraminidase ( Oseltamivir, Zanamivir )

Merupakan obat amtivirus dengan mekanisme kerja yang sam terhadap virus influenza A dan B.
Keduanya merupakan inhibitor neuraminidase; yaitu analog asam N-asetilneuraminat ( reseptor
permukaan sel virus influenza ), dan disain struktur keduanya didasarkan pada struktur

Mekanisme kerja : Asam N-asetilneuraminat merupakan komponen mukoprotein pada sekresi


respirasi, virus berikatan pada mucus, namun yang menyebabkan penetrasi virus ke permukaan
sel adalah aktivitas enzim neuraminidase. Hambatan terhadap neuraminidase mencegah
terjadinya infeksi. Neuraminidase juga untuk penglepasan virus yang optimaldari sel yang
terinfeksi, yang meningkatkan penyebaran virus dan intensitas infeksi. Hambatan neuraminidase
menurunkan kemungkinan berkembangnya influenza dan menurunkan tingkat keparahan, jika
penyakitnya berkembang.

Resistensi : Disebabkan adanya hambatan ikatan pada obat dan pada hambatan aktivitas enzim
neuraminidase. Dapat juga disebabkan oleh penurunan afinitas ikatan reseptor hemagglutinin
sehingga aktivitas neuraminidase tidak memiliki efek pada penglepasan virus pada sel yang
terinfeksi.

Indikasi : Terapi dan pencegahan infeksi virus influenza A dan B.

Dosis : Zanamivir diberikan per inhalasi dengan dosis 20 mg per hari ( 2 x 5 mg, setiap 12 jam )
selama 5 hari. Oseltamivir diberikan per oral dengan dosis 150 mg per hari ( 2 x 75 mg kapsul,
setiap 12 jam ) selama 15 hari. Terapi dengan zanamivir /oseltamivir dapat diberikan seawal
mungkin, dalam waktu 48 jam, setelah onset gejala.

Efek samping : Terapi zanamivir : gejala saluran nafas dan gejala saluran cerna., dapat
menimbulkan batuk, bronkospasme dan penurunan fungsi paru reversibel pada beberapa pasien.
Terapi oseltamivir : mual, muntah, nyeri abdomen , sakit kepala.

C. Ribavirin

Ribavirin merupakan analog sintetik guanosin, efektif terhadap virus RNA dan DNA.

Mekanisme kerja : Ribavirin merupakan analog guanosin yang cincin purinnya tidak lengkap.
Setelah mengalami fosforilasi intrasel , ribavirin trifosfat mengganggu tahap awal transkripsi
virus, seperti proses capping dan elongasi mRNA serta menghambat sintesis ribonukleoprotein.

Resistensi : Hingga saat ini belum ada catatan mengenai resistensi terhadap ribavirin, namun
pada percobaan diLaboratorium menggunakan sel, terdapat sel-sel yang tidak dapat mengubah
ribavirin menjadi bentuk aktifnya.

Spektrum aktivitas : Virus DNA dan RNA, khusunya orthomyxovirus ( influenza A dan B ), para
myxovirus ( cacar air, respiratory syncytialvirus (RSV) dan arenavirus ( Lassa, Junin,dll ).

Indikasi : Terapi infeksi RSV pada bayi dengan resiko tinggi. Ribavirin digunakan dalam
kombinasi dengan interferon-/ pegylated interferon untuk terapi infeksi hepatitis C.

Farmakokinetik : Ribavirin rfektif diberikan per oral dan intravena. Terakhir digunakan sebagai
aerosol untuk kondisi infeksivirus pernapasan tertemtu, seperti pengobatan infeksi RSV.
Penelitian distribusi obat pada primate menunjukkan retensi dalam semua jaringan otak. Obat
dan metabolitnya dikeluarkan dalam urine.

Dosis : Per oral dalam dosis 800-1200 mg per hari untuk terapi infeksi HCV/ dalam bentuk
aerosol ( larutan 20 mg/ml ).

Efek samping : Pada penggunaan oral / suntikan ribavirin termasuk anemia tergantung dosis pada
penderita demam Lassa. Peningkatan bilirubin juga telah dilaporkan Aerosol dapat lebih aman
meskipun fungsi pernapasan pada bayi dapat memburuk cepat setelah permulaan pengobatan
aerosol dan karena itu monitoring sangat perlu. Karena terdapat efek teratogenik pada hewan
percobaan, ribavirin dikontraindikasikan pada kehamilan.

(Zullies Ikawati, Penyakit Sistem Pernafasan dan Tatalaksana Terapi, Bursa Ilmu : 2010)

You might also like