You are on page 1of 34

Kepada Malam 18

3 Agustus 2014 pukul 23:09

Rio menghilang. Setidaknya, untuk seorang Ify. Setelah kala itu ia menghabiskan malam
bersama Rio di lapangan futsal, pemuda itu tidak pernah ditemukan lagi sosoknya. Dia seperti
menghilang.

Tiga hari terlalu lama untuk Ify tidak dihubungi oleh Rio. Dulu, meskipun tidak ada jadwal
belajar, pemuda itu selalu menyempatkan untuk menghubungi Ify. SMS, telepon atau sekedar
menyapanya lewat media sosial. Tapi tiga hari setelah malam aneh itu, Rio benar-benar raib.
Tidak ada lagi pesan singkat yang kelewat singkat yang selalu membuat Ify tersipu.

Karena tidak tahan oleh rasa rindu yang menyesaki dadanya, Ify akhirnya menepikan semua ego
dan gengsinya. Dulu, Ify paling anti menghubungi Rio terlebih dahulu. Nanti, Rio berpikir
macam-macam tentang dirinya. Pemuda itu akan mengira bahwa Ify membutuhkannya. Padahal
kan... Ah, memang iya. Gadis itu mendesah kentara tepat ketika ponselnya ia tempelkan di
telinga.

Ada perasaan takut ketika Ify menanti teleponnya tersambung lantas diangkat oleh Rio. Takut
bahwa dirinya akan pingsan karena terlampau girang mendengar suara bariton khas Rio yang
terlalu disukai gendang telinganya. Namun, ada rasa takut yang lebih besar dari itu tentang Rio.
Sialnya, rasa takut itu justru menggantung di setiap inci benaknya.

"Maaf, nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi."

Ify kembali menjauhkan ponselnya dari telinga ketika mendengar suara wanita yang sudah
sangat dihapalnya. Padahal, yang diharapkannya adalah nada sambung tut...tut...tut... Kemudian
berganti dengan pekikan Rio. Gadis itu mengerutkan kening. Tidak aktif? Bagaimana bisa? Ify
sangat mengenal Rio. Dia tahu bahwa pemuda itu menjaga sekali agar ponselnya tidak mati.
Katanya, agar ia tidak ketinggalan berita penting yang hendak dikabarkan padanya. Rio memang
sok penting! Salah apa Ify sampai dirinya bisa jatuh cinta pada pemuda angkuh nan sombong
seperti Rio? Hih.

Atau jangan-jangan Rio mengganti nomornya? Tapi untuk apa? Dan mengapa tidak memberitahu
dirinya? Jahat sekali membuat Ify sebingung dan sekhawatir ini.

Tiba-tiba Ify mengacungkan telunjuknya. Dengan wajah sumringah, ia cari satu nama pada
kontak ponselnya. Setelah menemukan nama yang dicarinya, ia sentuh layar ponselnya pelan.
Lalu kembali ia tempelkan pada daun telinganya.

"Halo, Bi! Ini Ify. Rio ada?" tanya Ify sesaat setelah ia mendengar ucapan halo dari seorang
wanita yang ia kenal sebagai pembantu di rumah Rio. Bi Tuti namanya.

"Oh, lagi keluar ya? Emm ya udah deh! Bilangin aja kalau saya telepon. Tolong bilangin juga,
telepon balik saya. Makasih, Bi!"

Ck! Ify berdecak sebal. Ke mana sih Rio? Hari libur seperti ini kok suka sekali keluyuran. Mana
tidak mengajaknya lagi. Eh?

Ify menghembuskan napas berat. Ia menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa yang ada di sana. Lelah
hatinya menghubungi Rio juga berdampak pada raganya. Meskipun Bi Tuti berkata bahwa Rio
baik-baik saja, tapi kalau belum mendengar langsung dari mulut Rio sendiri, dirinya tidak akan
baik-baik saja.

Suara getaran ponsel yang teredam mengalihkan perhatian Ify. Gadis itu melirik ponselnya.
Sebuah pesan dari Gabriel. Oh. Ify mendesah kentara. Baru ingat bahwa hari ini ia, Gabriel,
Deva dan Ray akan bertemu dengan tim management untuk membicarakan nasib Nonius
selanjutnya. Apakah bubar atau ada pilihan lain yang lebih baik. Entahlah. Tapi Ify merasa, bubar
adalah jalan yang paling tepat. Karena tanpa Deva dan Ray, Nonius tidak akan ada apa-apanya.
Lagipula, ia sudah bisa merelakan kepergian Deva dan Ray. Semuanya karena Rio. Pemuda
itulah yang membuat Ify sadar bahwa persahabatan jauh lebih penting dari sekedar ambisi untuk
go internasional. Ah, lagi-lagi Rio. Ify menggertakan rahang tirusnya.
Ponsel Ify bergetar kembali. Menjerit-jerit meminta gadis itu segera berjingkat. Dengan malas,
Ify meraih tasnya. Lalu bergegas dari sana.

"Maa, Ify berangkat ya!" teriak Ify ketika dirinya sudah berada di teras rumah. Gadis itu
kemudian berjalan menuju mobil yang sudah menantinya di depan gerbang rumah.

***

Pertemuan Nonius dan management saat itu menghasilkan kesimpulan bahwa Nonius akan
dibubarkan. Namun sebelum itu, Nonius akan menggelar sebuah pertunjukan terakhir. Pada hari
itulah akan diumumkan bahwa Nonius resmi bubar. Ify, Gabriel, Deva dan Ray serta
management sepakat bahwa pertunjukan itu akan diadakan di Rose cafe, tempat di mana dulu
Nonius juga memperkenalkan diri di depan khalayak.

Dan karena pertunjukan terakhir Nonius itulah, Ify seakan lupa bahwa Rio tidak pernah
menghubunginya. Dan ia pun tidak pernah lagi mencoba menghubungi Rio. Semua perhatiannya
tersedot untuk persiapan pertunjukan. Berangkat pagi, pulang larut malam. Membuat Ify tidak
sadar bahwa dirinya lamat-lamat tengah melepaskan. Merelakan apa yang tidak pernah berhasil
ia genggam.

Maka sampai hari ini, hari di mana pertunjukan terakhir Nonius digelar, Rio benar-benar luput
dari perhatian Ify. Meskipun sebenarnya Ify tidak bisa menyangkal perasaan sakit yang kerap
menyiksa hatinya. Ia pun jadi teringat akan perasaannya yang dulu ketika ia memutuskan untuk
berhenti mencintai pemuda itu. Ia mengecap rasa yang kurang lebih sama. Namun kali ini, ia
sudah mulai terbiasa. Atau sebenarnya ia sedang melatih dirinya agar terbiasa.

"Maaf ya, Fy!" Deva menyentuh lengan Ify yang tak dibalut apa pun. Malam ini Ify terlihat
cantik dengan dress selutut tanpa lengan.
Ify menggapai lengan Deva yang menapaki lengannya. Bibir yang terpulas lipstik itu tersenyum
tipis. "Santai aja!"

Deva menarik sebuah kursi, kemudian duduk di sana. "Gue tahu ini berat buat kita semua. Maaf,
ya! Gue kelewat egois." tukas Deva. Pemuda itu menunduk dalam.

"Apa sih? Ga usah ngomong kayak gitu! Gue udah ikhlas kok lepasin lo sama Ray." Ify meremas
bahu Deva.

"Tap..." Ify membekap mulut Deva dengan telapak tangannya. "Diam! Atau kalau enggak, gue
bakalan berubah pikiran dan hancurin pertunjukan malam ini!" ucap Ify, berpura-pura
mengancam.

"Sial lo, Fy! Udah dandan cantik begini masih aja kayak preman terminal." ujar Deva setelah
berhasil menjauhkan telapak Ify dari mulutnya. Pemuda itu mengatupkan rahangnya.

Ify tergelak tertawa ketika melihat ekspresi sebal Deva. Akhirnya, ia bisa membalas kejahilan
Deva juga. Biasanya kan dirinya yang selalu jadi korban. Sekarang tahu kan rasanya dijahili.

"Betewe, Satrio tahu tentang ini?" tanya Deva tiba-tiba. Ia berkata dengan hati-hati.

Ify hampir tersedak mendengar pertanyaan Deva. Gadis itu memicingkan mata. Mencari-cari
sesuatu pada wajah pemuda di hadapannya itu. Ia mendesah pelan. Sama sekali tidak ditemukan
ekspresi tengil di sana yang menandakan dirinya sedang menggoda. Berarti memang Deva
menanyakan Rio bukan untuk membuatnya salah tingkah seperti biasanya.

"Tahu." ucap Ify pelan. Terlampau pelan.

"Lalu?" tanya Deva lagi.

"Tapi mungkin dia ga tahu soal acara ini." Ify menggigit bibir bagian dalam, menghela napas
panjang. "Gue udah ga pernah ketemu lagi sama dia."

"Serius?!!"

Ify mengangguk samar. Ia merunduk dan memainkan ujung dressnya.

"Lo kenapa sih sama dia? Ga jelas banget tahu!" tukas Deva.

"Jelas kok! Dia sayang sama gue. Dan anggap gue adiknya." Ify mengeluh tertahan. Tidak suka
juga membela Rio dengan hal yang sebenarnya tidak disukainya.

"Dan lo terima digituin?" tanya Deva sarkatis. Yang dijawab Ify dengan anggukan pelan.

"Aduh! Lo bodohnya kebangetan ih! Di mana-mana, hubungan kakak-adikan itu nyakitin tahu.
Ga ada yang berakhir bahagia."Ify memukul bahu Deva. Tuh kan! Deva menyebalkan lagi.
Bukannya mendukung dan mendoakan kelangsungan kisah cintanya yang norak dengan Rio, ini
malah mengatainya bodoh dan menakut-nakutinya tentang ending yang menyedihkan. Ih! Ify
mengulum bibirnya sebal. Bicara dengan Deva pasti berujung seperti ini.

"Kalian di sini ternyata." ujar Gabriel yang tiba-tiba menyembul ke dalam ruangan. Di
belakangnya, Ray mengekori. Mereka berdua berjalan menghampiri Ify dan Deva.

"Ga nyangka ya Nonius ujungnya begini." ujar Ray sarkatis. "Maaf, ya!"

"Gue udah bahas ini sama Deva tadi. Dan kita udah sepakat untuk ga ngomongin ini lagi. Oh,
ayolah! Kalian ga boleh menyia-nyiakan kepercayaan yang udah gue kasih." ujar Ify.

Ray menarik bibirnya untuk tersenyum. Pemuda itu kemudian menarik tubuh Ify untuk masuk ke
dalam dekapannya. "Thanks ya, Fy!" bisik Ray tepat di telinga Ify.

Gabriel dan Deva saling berpandangan. Lalu beberapa detik kemudian mereka turut memeluk
kedua sahabatnya. Bersatu dalam perasaan yang masing-masing tidak ingin kehilangan. Meski
kenyataan terpaksa harus membuat mereka terpisahkan.

***

Kau desah napas yang kuhela


Kau getar pertama yang kurasa
Kau kejora yang bersinar seorang diri di sana

Aku mengasihimu dengan hatiku


Aku mencintamu dengan jiwaku
Aku memujamu dengan seluruh ragaku

Bersamamu aku hidup


Bersamamu aku menjadi aku
Oh kasih, izinkan aku menyatu bersamamu

Dengan kamu aku ceria


Dengan kamu aku bahagia
Oh cinta, aku mau mau menyatu bersamamu.

Ify, Gabriel, Deva dan Ray membungkukan tubuhnya memberi hormat. Empat lagu telah mereka
selesaikan. Dan lagu terakhir yang mereka nyanyikan adalah lagu milik mereka sendiri yang
berjudul Menyatu Bersamamu. Tiga lagu sebelumnya, lancar dinyanyikan oleh Ify. Tapi untuk
lagu keempat, ia tidak kuasa untuk menahan laju air mata yang sejak awal telah membuat
pelihatnya berkaca-kaca. Karena lagu itu adalah bukti bahwa Nonius pernah berjuang sebegitu
keras hingga sekarang.

Keempat personil Nonius itu maju beberapa langkah. Kemudian duduk pada kursi-kursi tinggi
yang beberapa detik lalu dinaikan ke atas panggung. Mereka menatap ke depan. Mendapati
banyak sekali wajah-wajah yang terlihat penasaran. Beberapa orang mengarahkan kamera pada
mereka. Mengambil gambar dan mengabadikan momen yang terjadi di sana.

Deva berdeham pelan. Ia meraih mikrofon dari tangan Ify. Lantas mendekatkan mikrofon itu
pada mulutnya. Mencoba mengumpulkan sebanyak mungkin amunisi agar ia bisa melakukan
eksekusi. Ia melirik cemas pada seorang gadis yang duduk di baris paling depan. Keke, sang
pacar, mengangguk samar. Mencoba meyakinkan. Membuat Deva akhirnya bisa membuka
mulutnya yang sedari tadi terasa kaku dan pahit.

"S-selamat malam! Terimakasih kepada semuanya yang telah bersedia menghadiri acara malam
ini. Kami sungguh berbahagia melihat tempat ini penuh sekali oleh orang-orang yang mencintai
kami. Percayalah, kami pun juga mencintai kalian." Deva menghela napas berat. Memberi jeda
panjang sebelum melanjutkan ucapannya.

"Saya, mewakili Nonius dan managemen akan mengumumkan sebuah keputusan yang berkaitan
dengan karier Nonius di dunia musik Indonesia. Keputusan ini diambil karena kami merasa tidak
ada lagi jalan keluar yang lebih tepat selain ini. Bahwa kami: Deva, Ify, Gabriel dan Ray serta
managemen telah memutuskan untuk menghentikan perjalanan Nonius di kancah musik
Indonesia."

Napas-napas terhela berat, mata-mata yang terbeliak kaget, serta pekikan tak percaya memenuhi
setiap sudut ruang. Deva selaku pembicara hanya bisa menggigiti bibirnya. Menahan agar ia
tetap kuat untuk mengakhiri yang tak ingin ia akhiri.

Sementara Ify, Gabriel, dan Ray tak berkutik sedikit pun. Mereka menundukan kepala dalam-
dalam. Tidak mampu menatapi wajah-wajah sendu di hadapan mereka. Bahkan Ify sudah
menumpahkan tangisnya sejak Deva mulai merapal kalimat pertamanya.

"Setiap perjalanan akan memiliki akhir. Dan mungkin inilah saatnya kami untuk mengakhiri
perjalanan Nonius. Berat rasanya bagi kami untuk menerima semua ini. Tapi sudah seperti yang
saya bilang tadi, ini adalah jalan yang terbaik.

"Saya dan Ray harus pergi untuk melanjutkan studi. Gabriel dan Ify memang tidak akan pergi ke
mana-mana. Mereka akan melanjutkan kuliah di sini. Tapi kami sudah berjanji bahwa Nonius
adalah Deva, Ray, Ify dan Gabriel. Jadi, satu orang saja tidak ada, maka bukan lagi Nonius
namanya.

"Terimakasih kami ucapkan kepada semua pihak yang telah mendukung Nonius selama ini.
Guru-guru kami yang begitu percaya akan bakat kami yang tidak seberapa ini. Teman-teman
kami di sekolah yang menjadi penonton pertama Nonius. Pak Alvin yang begitu percaya bahwa
Nonius pantas masuk dapur rekaman. Manager serta pemilik Rose Cafe yang telah mengizinkan
kami untuk menghibur semua pengunjung di sini. Bagi kami, Rose Cafe sudah seperti rumah
sendiri. Rumah untuk Nonius. Media yang selalu menyoroti setiap perkembangan kami. Serta
semua penggemar yang begitu loyal dan setia mendukung kami. Terimakasih yang sebanyak-
banyaknya. Dan kami pun meminta maaf apabila ada yang tidak berkenan atas keputusan ini.
Sungguh, saya pribadi pun masih sulit untuk menerimanya." Deva mengeluh tertahan. Akhirnya,
tanggul air mata itu pun jebol juga. Bersama segala kesedihan yang merundunginya, ia
menangis. Turut bergabung dengan isakan-isakan menyedihkan yang sudah terlebih duku tercipta
di sana.

"Dan yang terakhir, kami semua pamit. Semoga suatu hari nanti kita bisa bertemu kembali.
Tanpa tangis seperti malam ini. Dan sebagai penutup acara malam ini, acara terakhir Nonius,
izinkan kami untuk membawakan sebuah lagu yang sering sekali kami nyanyikan. Lagu dari
Yana Julio, Selamanya Cinta." ujar Deva pada akhirnya. Ia kemudian berjingkat dari kursi dan
kembali ke tempat semula. Kembali bergumul dengan keyboardnya.

Gabriel dan Ray mengikuti gerakan Deva. Gabriel meraih gitar, sedangkan Ray kembalu duduk
di balik drum. Menyisakan Ify yang masih di sana. Tertunduk lesu. Menghadapi sebuah standing
mic.

Deva, Gabriel, dan Ray mulai memainkan alat musik masing-masing. Dan meski berat dan
rasanya sesak, Ify mendongakan kepala. Lalu hatinya mencelos ketika melihat wajah-wajah
sendu dengan titik-titik air mata menghiasinya. Ternyata saat itu bukan hanya dirinya yang
tersedu.

Dan walaupun tenggorokannya tercekat, Ify memaksakan diri untuk bernyanyi. Karena esok,
tidak akan bisa lagi dirinya bernyanyi bersama Nonius di hadapan orang-orang sebanyak ini.

"Di kala hati resah, seribu ragu datang memaksaku.


Rindu semakin menyerang.
Kalaulah aku dapat membaca pikiranmu.
Dengan sayap pengharapanku ingin terbang jauh."

Ify merasakan air matanya kian menderas. Seiring musik yang mengalun begitu mendayu.
"Biar awan pun gelisah, daun-daun jatuh berguguran.
Namun cintamu kasih terbit laksana bintang yang bersinar cerah menerangi jiwaku.

Andaikan ku dapat mengungkapkan perasaanku hingga membuat kau percaya.


Akan ku berikan seutuhnya rasa cintaku selamanya. Selamanya."

Karena lagu ini juga mengingatkannya pada sosok Rio yang teramat dirindukannya. Dari balik
lensa berair itu, Ify mencari-cari pemuda itu. Berharap bahwa terselip sosoknya di antara ratusan
orang yang memenuhi cafe yang telah disulap menjadi gedung berkabung.

"Biar awan pun gelisah, daun-daun jatuh berguguran.


Namun cintamu kasih terbit laksana bintang yang bersinar cerah menerangi jiwaku.

Andaikan ku dapat mengungkapkan perasaanku hingga membuat kau percaya.


Akan kuberikan seutuhnya rasa cintaku, rasa cinta yang tulus dari dasar lubuk hatiku.

Tuhan jalinkanlah cinta bersama selamanya."


Ify menghela napas panjang. Tidak mengerti mengapa langit turut masuk ke dalam lingkar
kesedihan malam itu. Di luar sana, langit menumpahkan tangisan alam. Membuat aura sendu
semakin kental dirasakan.

"Andaikan ku dapat mengungkapkan perasaanaku hingga membuat kau percaya.


Akan kuberikan seutuhnya rasa cintaku selamanya, selamanya."

Musik pun berhenti. Menandakan bahwa setelah ini, tak akan ada lagi ditemukan Nonius di
mana-mana. Nonius akhirnya hanya hisa dikenang.

Deva, Gabriel dan Ray turun dari panggung. Menghampiri media yang masih belum puas dengan
penjelasan Deva tadi. Setelah itu menyambangi para penggemar yang masih belum bisa
menerima kenyataan, bahwa idola mereka harus berhenti begitu saja. Sementara Ify tidak
beranjak ke mana-mana. Masih terduduk lesu di kursinya. Menunduk dalam untuk
menyembunyikan tangisnya. Tidak mau seluruh dunia tahu bahwa malam itu hatinya dipatahkan
berkali-kali lipat.

"Ka Ify, aku sayang Kakak. Aku sayang Nonius."

Ify terkesiap ketika mendengar seseorang bergumam di dekatnya. Ify mendongakan kepala.
Terkejut mendapati banyak sekali orang-orang yang mengerubunginya. Mereka terlihat
menangis. Matanya merah dan berair. Seluruh wajahnya basah oleh air mata. Tapi mereka
menatap Ify dengan yakin bahwa meskipun Nonius berakhir, tapi dunia ini belum.

"Aku juga sayang kalian." gumam Ify seraya sesenggukan. Gadis itu kemudian merengkuh
sebanyak tubuh yang bisa diraih oleh kedua tangannya. Dan tubuh-tubuh itu, baik yang
terengkuh atau tidak, balas memeluk Ify.

Malam itu, Ify belajar bagaimana melepas apa yang telah berhasil ia genggam. Sahabat dan
karier yang cukup cemerlang. Melepas Deva dan Ray memang tidak mudah. Tapi ia berhasil,
bukan? Karena Deva dan Ray berhak mendapatkan lebih dari apa yang ia dapat sekarang.

Namun malam itu juga, Tuhan masih ingin mengajari Ify bagaimana caranya melepas apa yang
tidak pernah menjadi miliknya. Merelakan apa yang tidak pernah diraihnya.

"Ify, ini ada titipan." Pak Daud, manager Rose Cafe menghampiri Ify. Menyerahkan sebuah
kotak beledu berwarna merah jambu.

"Dari siapa, Pak?" tanya Ify seraya meraih kotak beledu misterius itu.

"Pemilik Rose Cafe."

***

Hari ini adalah hari paling bersejarah bagi semua siswa kelas 12 yang ada di seantero negeri. Ify
mengetuk-ngetukan jarinya ke atas meja dengan gelisah. Harap-harap cemas menanti kabar
apakah dirinya lulus atau tidak.

"Aduh, Bu Vika lama banget ceramahnya. Cepat bagiin aja kenapa sih amplopnya?" gerutu Ify
dengan gusar.

"Berdoa, Fy!" bisik Sivia pelan.

Aduh! Tidak usah disuruh juga Ify sudah berdoa sejak tadi. Tidak lihat apa mulutnya terus
berkomat-kamit seperti Mbah dukun? Ify mendelik pada Sivia.

Sebuah amplop disodorkan pada Ify. Segera gadis itu meraihnya. Ia memejamkan mata. Berdoa
untuk yang terakhir kalinya. Lalu setelah mendengar intruksi Bu Vika, Ify membuka amplop itu
dengan grasa-grusu. Dan satu kata yang membuatnya melejit tak terkendali: LULUS.

"Aaaa gue lulus! Gue lulus!" teriak Ify kencang. Teman-teman sekelasnya pun turut bersorak
seraya mengucap syukur karena mendapatkan kabar gembira juga.

Ify menoleh ke arah Sivia. Kemudian ia menghambur memeluk gadis yang sedang menangis
saking bahagianya itu. "Aaa gue lulus, Vi!"

"Iya, Fy! Gue juga. Selamat untuk kita! Yeay!" ujar Sivia disela isakannya.

"Ify, nanti ke ruangan ibu, ya!" tukas Bu Vika sembari menyentuh pundak Ify.

Ify mengurai pelukannya dengan Sivia. "Baik, Bu!" gadis itu mengangguk mantap. Tersenyum
menghantar kepergian Bu Vika.

"Fy, lo lulus kan? Iya, kan?" Gabriel, Deva dan Ray tiba-tiba datang dan langsung menodong Ify
dengan pertanyaan itu. Karena Ify tidak kunjung menjawab, mereka mengguncang-guncang
tubuh Ify.

"Ya lulus lah! Hahaha!" ujar Ify dengan begitu bangga.

Gabriel, Deva dan Ray kemudian menghujani Ify dengan jitakan dan cubitan. Ify mengerang
kesakitan. Aduh, bukannya diberikan selamat malah disiksa macam anak tiri begini. Gadis itu
mengulum bibir. Hanya bisa pasrah dengan hadiah-hadiah. Biarkanlah! Karena setelah ini
hadiah-hadiah itu akan berkurang jumlahnya.

"Eh bentar!" Ify menepis lengan ketiga sahabatnya itu. Teringat sesuatu bahwa ia harus segera
menemui Bu Vika di ruangannya. "Gue pergi dulu ya! Lo balik duluan aja! Nanti malam jangan
lupa ke rumah gue ya! Kita party!" ucap Ify seraya menepuk pipi satu-persatu sahabatnya itu.
Lalu setelah itu, Ify melipir pergi.

Kaki-kaki mungilnya menyusuri lantai koridor dengan lincah. Riang wajahnya menyaksikan
banyak sekali kebahagiaan di sekitar. Membuat kebahagiaan di hatinya semakin membuncah.
Namun tiba-tiba hatinya mencelos ketika teringat pada seseorang yang sangat berjasa hingga ia
bisa lulus hari ini. Seseorang yang telah hampir sebulan menghilang darinya. Bagaimana
keadaan pemuda itu sekarang? Oh apakah dia juga lulus? Ah, tentu saja! Jangan pernah
mengkhawatirkan prestasi akademiknya! Yang harus Ify khawatirkan adalah apakah pemuda itu
masih ada? Untuknya? Ify mengatupkan bibirnya.

Ify mencelat kaget ketika kenop pintu yang hendak diraihnya telah terlebih dahulu diraih tangan
orang lain. Ify mendongak. Menatap si empunya tangan. Dan Ify hampir saja terjengkang ketika
mendapati bahwa pemilik tangan itu adalah...

"Rio?!" pekik Ify tak percaya. Pupil matanya membesar. Berusaha meyakinkan bahwa pemuda
yang ada di hadapannya benar-benar Rio. Dan ah, dia memang Rio. Rionya. Cassanovanya.
Mawarnya.

"Rio? Lo ke mana aja? Gue kangen!" ucap Ify riang. Matanya yang berbinat mengerjap beberapa
kali.

"Gue juga." gumam Rio pelan. Pemuda itu tersenyum tipis. Kemudian melengos masuk ke dalam
ruangan Bu Vika.

Sejenak Ify tertegun melihat sikap Rio yang meskipun manis tapi terkesan aneh. Tapi kemudian
ia mengangkat bahu. Sudahlah! Yang penting ia bisa bertemu lagi dengan Rio. Sudah cukup
untuk membuatnya tahu bahwa Rio tidak pergi ke mana-mana. Setidaknya untuk saat ini.

Ify menggerakan kakinya untuk memasuki ruangan yang sebelumnya juga telah Rio masuki.

"Selamat ya! Akhirnya kalian bisa menyelesaikan semuanya dengan baik!" ujar Bu Vika,
beberapa detik setelah Ify mengambil tempat duduk di samping Rio. Ify dan Rio menimpalinya
dengan anggukan pelan dan senyuman tipis.

"Jadi setelah ini kalian akan lanjut ke mana?" Bu Vika berhenti sejenak, kemudian menanyakan
suatu hal yang membuat Ify tersedak dan hampir terguling dari kursinya. "Oh iya, saya dengar
Satrio mau kuliah di negeri ya? Di mana?"

Kuliah? Di luar negeri? Rio? Ify menggeleng samar. Merasakan jantungnya bertalu begitu
kencang. Cemas berharap agar Rio menyangkal pernyataan yang diucapkan dengan nada
bertanya oleh Bu Vika. Karena kalau pemuda itu mengiyakan dan memperjelas ucapan Bu Vika,
maka ia tidak tahu akan bagaimana jadinya hati yang sudah sakit itu.

Dan satu kata yang membuat Ify hampir lupa bagaimana menghela napas terlontar dari mulut
Rio. Satu kata yang membuatnya sadar bahwa seharusnya ia tidak usah berjuang sebegini keras
untuk pemuda itu.

"Jerman."
Dor! Saat itu, Ify merasa sebuah peluru baru saja menancap tepat di ulu hatinya. Membuat
sekujur tubuhnya lemas dan tidak bisa melakukan apa-apa. Panca indranya pun kehilangan
fungsinya. Ia tidak bisa melihat apa yang ada di depannya. Semua berubah menjadi abu-abu.
Telinganya tidak bisa mendengar suara apa pun. Semua ucapan Bu Vika berdenging di
telinganya. Mengabur seiring rasa sakit yang kian melumpuhkan kerja seluruh sarafnya.

Dan rasa sakit yang tak terperikan itu membuat Ify kehilangan kesadaran. Ia keluar dari ruang Bu
vika tanpa sepatah pun kata. Berjalan tersaruk menyusuri lantai koridor. Tidak menyadari bahwa
pemuda yang tadi juga bersamanya di ruang Bu Vika menuntun dirinya hingga ke tempat parkir.
Ia meminta Ify masuk ke dalam mobil. Lantas membawanya pergi entah ke mana. Sementara Ify
masih bergelut dengan rasa sakit yang tak kunjung reda.

Rio membawa Ify ke rumahnya. Pemuda itu berjalan masuk terlebih dahulu. Sedangkan Ify yang
masih ditunggangi rasa sakit mengikutinya dari belakang. Masih belum menyadari bahwa orang
yang menculiknya ke sana adalah Rio.

Hingga akhirnya, kaki mungil Ify menginjak anak tangga menuju lantai dua rumah Rio. Kala
itulah Ify baru tersadar bahwa rasa sakitnya akan semakin menjadi kalau ia hanya bisa mengunci
rapat mulutnya. Dengan suara serak seperti kodok, Ify berucap. Sukses menghentikan langkah
Rio yang sudah sampai di tengah-tengah tangga.

"Kenapa lo ga pernah bilang dari dulu? Kenapa gue harus dengar ini semua dari orang lain?" Ify
mengepalkan tangannya kuat-kuat. Berusaha untuk bertahan dan tak lantas tumbang di sana.
Sayangnya, ia tidak cukup hebat untuk menahan matanya agar tidak menitikan air mata yang
sejak tadi hanya bisa menggenangi kelopaknya. Kini, seluruh wajahnya juga bisa merasakan
nelangsa, sama dengan hatinya. Sama dengan mawar yang juga tengah meraung-raung di dalam
sana.

Rio memutar tubuhnya. Ia menatap Ify dengan ekpresi datar, seperti tidak sadar bahwa dirinya
telah melakukan dosa besar.

"Dulu, sekarang atau nanti apa bedanya sih? Dari gue atau dari orang lain sama aja, kan?" tanya
Rio retoris.

Ify mendesah prustasi. Sampai kapan Rio akan begini? Sampai kapan pemuda itu tidak
menyadari bahwa Ify sungguh-sungguh mencintainya. Tidak ingin dia pergi. Tidak bertemu
hampir satu bulan saja membuatnya hampir gila, apalagi ditinggal bertahun-tahun. Jerman itu
jauh. Jengkal tangannya saja tidak cukup untuk menggapai letak negara itu pada peta yang
terpampang di kelasnya.

"Sama aja, kan? Gue tetap bakalan pergi." lanjut Rio.

Ify membalikkan tubuh lantas menjatuhkan dirinya pada anak tangga. Lalu menangis tersedu di
sana. Punggungnya bergerak naik-turun dengan tidak wajar. Semua kenyataan pahit yang
didapatnya akhir-akhir ini terlalu menyakitkan. Terlampau mengoyak hatinya.
"Deva pergi, Ray pergi, sekarang lo juga mau pergi? Kenapa ga semuanya aja yang pergi? Biarin
gue sendiri. Ga pa-pa. Tinggalin aja gue. Gue baik-baik aja kok." ujar Ify dengan tangis yang
kian deras mengalir membelah pipinya.

Rio bergerak menghampiri Ify. Ia kemudian duduk di sebelah gadis yang masih menangis itu.
Entah kapan dia akan berhenti menangis. Karena kalau ia tidak mau mengakhiri tangisnya juga,
maka selama itulah ia hanya akan diam saja.

Ify mendesah kentara, ketika merasakan bahwa dirinya sudah tidak mampu lagi menangis.
Mungkin air matanya telah habis? Oh, hanya seorang Rio yang bisa membuat cadangan air
matanya habis. Bahkan untuk Deva, Ray dan Nonius sekalipun, ia tidak pernah menangis
semenyedihkan ini. Bukan hanya matanya yanh menangis, tapi hati, jiwa dan seluruh raganya
turut menangis.

"Kenapa harus ke Jerman? Gue tahu lo jenius, tapi kenapa harus jauh-jauh ke Jerman? Kenapa
ga di sini aja? Di sini banyak kan Universitas yang bagus?" tanya Ify dengan sisa-sisa tangis
yang masih belum hilang dari sana.

"Karena memang seharusnya dari dulu gue ga di sini." tukas Rio.

"Maksud lo?" Ify melirik ke arah Rio. Pemuda itu nampak tengah menunduk dalam.

"Sejak orangtua gue meninggal, gue ga punya siapa-siapa lagi di sini. Mereka nitipin gue sama
Om Pieters, papanya Angelica, sampai umur gue dirasa cukup untuk melanjutkan semua
perusahaan Papa. Dan gue rasa, sekarang udah saatnya gue berbakti sama orangtua gue. Ada satu
bisnis yang bisa gue urus di sini, tapi perusahaan Papa yang di Jerman yang gue pilih. Di sana
ada Oma gue. Ada seseorang yang mencintai gue yang bisa gue jadikan alasan kenapa gue
tinggal di sana. Kalau ga ada Oma, gue ga tahu harus tinggal di mana. Gue ga tahu di belahan
dunia mana lagi ada orang yang bisa mencintai gue dengan sepenuh hati." Rio mengeluh
tertahan.

Ify menggeleng samar. Oh Rio! Lihatlah di sampingmu ada siapa! Ada seseorang yang kamu
pertanyakan keberadaannya. Seseorang yang mencintaimu bukan hanya dengan hatinya, tapi
juga jiwa, raga, napas dan seluruh debar jantungnya. Seseorang yang ingin sekali agar kamu
bersamanya selalu. Seseorang yang hanya bisa berharap dalam ratap.

"Gue ga tahu gue bakalan balik lagi ke sini atau enggak. Karena gue ga punya alasan untuk balik.
Sekarang, gue ga mau maksain lagi. Gue ikutin aja apa mau Tuhan. Gue pergi ke Jerman juga
karena Tuhan maunya gitu. Makanya dia ga kasih alasan buat gue tetap ada di sini." tukas Rio
dengan diakhiri desahan kentara.

"Tapi..." Rio meraih kedua pundak Ify. Ia paksa gadis itu menatap dirinya. Dengan segala
keangkuhan yang berhasil ia singkirkan, ia pun berbisik pelan. "Gue cinta sama lo, adik gue
tersayang!"

Blass. Ify akhirnya menjatuhkan tubuhnya pada dada Rio. Meraung-raung meminta pemuda itu
untuk tetap tinggal. Meskipun sialnya, ia sama sekali tidak bisa mengatakan bahwa ia begitu
mencintai Rio. Ia bisa menjadi alasan yang Rio cari. Ia bisa membuat Rio membayar segunung
hutang kasih sayang yang tidak ia dapatkan semasa kecil. Ia bisa. Semua bisa untuk dan karena
orang yang teramat dikasihinya.

Namun jeritan menyedihkan Ify itu tetap tidak bisa mencegah keinginan Tuhan. Rio tetap akan
pergi. Dengan atau tanpa kerelaan Ify.

***

Bersambung

Halooooo. Ini ngepostnya kemaleman :(. Wkwkw gapapa yak! Eh betewe, ini 2 atau 3 part lagi
keknya tamat. Wk. Muahhhhhhh

ILY [Oneshoot]
5 Agustus 2014 pukul 18:22

enjoy this, guys! hope you like thaaat!

Apa kalian pernah merasakan menjadi orang yang bodoh? Bodoh karena masih saja berharap pad
a apa yang tak seharusnya diharapkan. Bodoh karena masih menunggu, ketika yang kamu tunggu
justru sudah berlari menjauhi kamu. Dan bodoh karena kamu masih saja bertahan mencintainya,
bahkan ketika ia lebih terlihat seperti orang asing daripada orang yang kamu cintaidulu.

***

Kantin terlihat penuh. Nyaris tak ada celah untuk para siswa mondar-mandir. Semuanya harus pi
ntar-pintar bergerak kesana
kemari, merampingkan badan dan menjaga agar pesanan yang mereka bawa tidak tumpah
saking sesaknya. Meja-meja disana juga terlihat sudah terisi semua. Bahkan ada yang dipaksa dii
si melebihi kapasitas. Selama hampir dua tahun berada disini membuatku membiasakan diri deng
an keadaan kantin yang selalu penuh setiap harinya. Namun walaupun penuh, semuanya terlihat t
ertib. Tak pernah ada keributan sekecil apapun.

Ku edarkan mataku kearah sebelah kiri. Dipojok sana, sosoknya terlihat. Dengan gaya santai yan
g terlihat urakan, ia dan teman-temannya nampak asik memakan makanan mereka sembari sesek
ali berbicara satu sama lain. Sesekali juga, sosok itu tertawa ketika teman-temannya mungkin me
mbicarakan sesuatu yang lucu. Tawa yang jarang terlihat ketika Ia bersama orang lain.

Sosok itu, Orion Insaf Pramuditya. Bad boy sejati. Dia jarang berbicara dengan orang selain tem
an-teman dekatnya yang bisa dipastikan sama urakannya. Terlalu cuek dengan sekolah. Absensin
ya hampir mencapai angka 40 dan nyaris kena Drop Out andai aku tidak berbicara dengan wali k
elasnya.

Ya, dulu saat kenaikan kelas 11 dia hampir tidak naik. Absensinya terparah satu angkatan dan itu
membuatku takut. Aku takut kalau dia tidak naik dan akhirnya memutuskan pindah sekolah. Aku
masih tidak sanggup untuk tidak melihatnya walaupun pada kenyataannya aku hanya bisa meliha
tnya dari jauh.

Dengan segenap keberanian, aku pun nekat berbicara pada wali kelasnya bahkan beberapa guru
mata pelajaran yang sekiranya bisa membantuku. Sedikit memohon kepada mereka agar mereka
menaikkan Rio

begitu ia disapa. Awalnya para guru kaget akan aksi nekatku, tapi aku berhasil meyakinkan me
reka bahwa Rio sebenarnya adalah anak yang pintar. Kondisi keluarganya dan pergaulannya yan
g sekarang lah membuat dia menjadi anak yang urakan.

Setelah mengalami diskusi panjang yangjujur sajamelelahkan bagiku, guru-guru itu setuju u
ntuk menaikkan Rio dengan berbagai syarat yang aku sanggupi. Tak apalah, yang penting ia bisa
naik dan tidak jadi pindah, pikirku saat itu. Dan Voila! Disinilah dia sekarang. Masih menikmati
masa kelas 11-nya tanpa tau aku yang berjuang untuknya.

IFY! oh bagus. Itu teriakan Sivia yang berada sebangku dengan Rio. Tak usah heran. Pacar Siv
ia adalah teman baik Rio, jadi wajar kalau Sivia duduk satu meja dengan Rio. Aku melihat Sivia
memberikan isyarat agar aku menghampirinya disana. Aku menggeleng sembari melambaikan ta
ngan. Aku masih ingin bernapas dengan leluasa hari ini. Karena faktanya, berdiri didekat Rio da
n mencium feromonnya mampu menguras napasku, entah kenapa.

Terlihat Sivia melotot diujung sana, ia selalu seperti itu jika aku menolak untuk menghampirinya
. Jelas aku akan menolak. Dia hampir setiap saat berada didekat pacarnya dan bisa dipastikan pac
arnya akan selalu bersama Rio kalau disekolah. Dengan tak sabar, Sivia berjalan cepat mengham
piriku yang masih berdiri kaku karena melihat Rio mengusap peluh dikeningnya, OH TUHAN!

Masih belum sadar dari keterpanaanku. Tiba-tiba saja ada seseorang yang menarikku dengan kek
uatan supernya. Aku hapal sekali dengan kekuatan super dan tarikannya. Siapa lagi kalau bukan
Sivia yang menyebalkan.

Enggak usah tarik-tarik, bisa? Ucapku sembari terus menyeimbangi langkahnya.

ENGGAK! Kalau Loe enggak di tarik, pasti masih aja bengong disana ngeliatin Prince kodok L
oe tercintah!

Ganteng kayak gitu kok dibilang kodok sih, Vi? Mata Loe katarak atau gimana, sih? Wrong Q
uestion! Ya jelas aja Sivia enggak suka, kan dia udah punya pacar! STUPID IFY!

Kalo Gue bilang si Rio ganteng juga, Loe nanti punya saingan, Fy. Berhubung Gue kasian sama
Loe makanya Gue ogah mengakui kalo Rio tuh ganteng. Cerocos Sivia enggak jelas banget. Sue
r! Maksudnya ini anak apa sih?

Ngomong apaan sih, Vi? Kalo ngomong itu yang jelas, EYD yang sesuai, pemilihan katanya dil
iat-liat jangan asal jeplak begitu.

Loe kan tau gue ngomong enggak jelas kalau ngebahas Rio doang. Soalnya mulut Gue udah di s
etting enggak bisa ngomongin kebaikan dan segala hal yang bagus-bagus tentang dia baik yang f
akta maupun hoax.

Padahal Loe kan hampir setiap hari deket sama dia, Vi. Kok bisa gitu sih ngomongnya?
Duh Ify! Ya justru karena Gue setiap hari bareng sama dia dan Pacar Gue temen baiknya dia, G
ue jadi tau busuk-busuknya dia. Dan gue tau dia itu enggak ada baik-baiknya.

Husshh! Enggak boleh ngomong gitu! Semua orang pasti punya kebaikannya masing-masing.

Halah susah ngomong sama orang yang lagi jatuh cinta! Udah ayo ikut Gue duduk disana. Dan
akhirnya aku pun pasrah karena sekali lagi Sivia menarikku dengan kekuatan supernya.

Begitu sampai dimeja Rio dan kawan-kawannya, Sivia mendudukkan ku tepat di depan Rio. Sivi
a benar-benar tau bagaimana membuat sahabat cantiknya ini kesulitan bernapas.

Aku berusaha duduk senyaman mungkin. Menghilangkan sedikit demi sedikit rasa gugup yang
masih melingkupi. Tanganku--yang memegang sendokterlihat agak sedikit gemetar dan terasa
dingin. Shit! Semoga enggak ada yang sadar kalau berada didekat Rio seperti ini saja berhasil me
mbuat tubuhku merespon berlebihan. Tangan dingin dan sedikit gemetar, suhu tubuh naik, perut
menggelitik dan mukaku terasa panas! Oh adakah yang lebih buruk dari ini?

Makan kali, Fy. Kok malah bengong, sih? Ucapan Gabriel sedikit menyadarkanku dari khayala
n-khayalan liar tentang Rio-ku. HAH, RIO-KU? Abaikan kata-kata gilaku barusan.

Ya sabar, Gabby. Kan sebelum makan harus berdoa dulu, enggak langsung makan. Ucapku me
ngelak sementara Gabriel mendelik sesaat mendengarku menyebut namanya dengan panggilan m
enjijikkan itubegitu katanya.

Berdoa apaan! Jelas-jelas Loe barusan bengong, Ipot! Eh, atau lebih tepatnya Loe lagi mikirin s
omeone, yaaaa? Gabriel yang super rese itu menaik-turunkan alisnyamenggodaku. Ya, dia me
mang tau tentang perasaanku pada Rio. Hanya sekedar tau lebih tepatnya. Ia tidak tau berapa ban
yak hal yang aku lakukan diam-diam untuk sahabatnya itu. Ia juga tidak tau berapa banyak sakit
yang ku rasakan karena sahabatnya juga. Ia hanya tau, aku suka pada Rio. Sudah, sebatas itu dan
memang sepantasnya hanya segitu.
Aku memang bukan tipe orang yang dengan mudahnya mengeluarkan apa yang ada dihatiku. Ba
hkan ketika aku berusaha untuk berkata jujur, selalu saja seperti ada yang menahanku. Karena pa
da akhirnya, mereka bertanya bukan karena mereka peduli tapi hanya sekedar ingin tau dan unt
uk bahan gosipan baru tentunya!

Berisik, Gabby! Ucapku cepat kepada Gabriel. Ku lihat, Rio sekilas mengangkat kepalanya lal
u melihat ke arahku dan Gabriel. Sekilas tapi aku tau tau bahwa ia merasa terganggu dengan obro
lan kami berdua. Terlihat jelas dari ekspresi wajahnya. Sesederhana itulah ia membuatku sakit. H
anya dengan tampang tak acuhnya dan ia yang hampir tak pernah menyadari keberadaanku. Dia
mengikis pertahanan yang sudah susah payah ku bangun. How pathetic I am?

Dengan cepat ku habiskan makanan yang berada di piringku. Sesekali mencuri pandang ke arah
Rio yang sedari tadi memang sibuk dengan Hpnya. Pasti main COC! batinku menerka-nerka. Y
a memang saat iniyang aku taugenk Rio tengah kecanduan main COC. Menurut mereka, ma
in COC itu salah satu peluang bisnis. Awalnya aku tak percaya, tapi begitu Dayat mendapat 400 r
ibu dari game yang membuatnya selalu ketinggalan pelajaran itu mau tak mau aku percaya juga.
Ternyata game bisa mengunguntungkan juga, ya.

***

Kejadian itu dulu, dulu sekali. Dipenghujung semester pertama kelas 11. Sekarang, aku sudah ha
mpir lulus dan satu setengah tahun berhasil merubah segalanya. Bukan. Aku dan dia bukan sema
kin dekat, namun semakin jauh. Entah dari mana, ia bisa mengetahui kalau aku menyimpan rasa
kepadanya. Dan penolakan demi penolakan pun semakin kentara.

Misalnya saat aku dipaksa Sivia bergabung dengan dia dan pacarnya, Rio lebih memilih pergi da
ri pada harus berada didekatku. Atau jika aku dan dia terpaksa harus satu kelompok, dia pasti tak
akan pernah datang kerja kelompok. Dan rasa sakit yang ditimbulkan olehnya makin tidak tertah
an lagi.

Perlahan, akupun mulai menjauhinya juga. Entah dia peduli atau tidak. Sadar atau masa bodo. Se
tiap ajakan Sivia untuk bergabung selalu ku tolak. Dan masih banyak lagi hal yang ku lakukan ag
ar presentase pertemuanku dengannya bisa diminimalisir. Terlalu sakit ketika orang yang kau har
apkan, sama sekali tak menoleh ke arahmu.

Ku serahkan sebuah sobekan kertas kepada Sivia. 3 huruf yang meyakinkanku untuk melepaskan
nya. Tak lagi menyimpan rasa padanya. Tak lagi berharap muluk-muluk pada sosoknya. Tak lagi
menjadikannya objek fantasi liarku. Tak akan ada lagi Ify untuk Rio. Karena semuanya sudah ber
akhir disini.

ILY. Ify

***

Kertas yang Sivia berikan tadi masih Gue biarkan tergeletak di atas meja. Gue tau pasti darimana
kertas itu berasal. 3 huruf yang benar-benar bikin gue gondok setengah mati sama cewek itu. Gue
tau cewek itu suka sama Gue udah cukup lama. Tapi kalo Gue gasuka, mau diapain? Masa Gue h
arus pura-pura suka sama dia?

Lagian, Loe kira ini novel roman picisan yang beredar luas di pasaran? Ketika ada cewek yang ja
di secret admirer terus si cowok tau, cowok itu langsung jatuh cinta sama si cewek. Be realistis,
Bro! Hidup enggak selurus itu.

Dan lebih herannya lagi, kenapa sih cewek-cewek super ribet itu masih aja ngebaca novel-novel
kayak gitu? Terlalu enggak realistis menurut Gue. Pantes aja cewek-cewek itu suka ngarep ketin
ggian, bacaannya juga kayak gitu! Pasti cewek-cewek yang suka baca novel roman picisan itu tip
e cewek yang gampang banget di terbangin tinggi-tinggi terus dijatuhin sendiri sama harapan me
reka, poor her!

Gue mengambil kertas yang tadi dikasih Sivia. Isinya Cuma I L Y terus tertanda si pengirimnya.
Gue ngebolak-balik itu kertas tapi enggak ada tulisan lain selain tulisan itu.

Loe ngarep dia nulis apa lagi, Yo? Gabriel tiba-tiba sudah duduk disamping Gue. Gue menden
gus kasar. Rusuh deh kalo si Gabby udah dateng. Eh, kenapa Gue jadi manggil dia kayak si cewe
k itu?
Ya kan kali aja ada lagi. Biasanya cewek-cewek tuh abis nulis ILY disusul I Miss You, I need Y
ou, I want You, halah ketebak banget. Ucap gue sedikit gondok. Emang begitukan faktanya?

Emang Loe tau ILY itu artinya apa?

I Love You, lah. Apalagi? Emang itu ILY punya arti lain? Setau gue sih ya, kalo pacaran terus i
ly-ily-an biasanya artinya I love you, bahaya nih jadi ILY yang dikirim cewek itu ambigu? Ah ja
ngan-jangan artinya I like you? AH bukannya itu sama aja sama I love you? Eh apaan sih Gue ke
napa jadi gak jelas begini.

Sok tau banget Loe, kupret. ILY ini beda. NAHKAN! Ini cewek ambigu juga njir mikir apaans
ih gue. Pasti kepanjangannya I like you, yakin banget lah gue!

Paling mentok-mentok I Like You. Udah tau kalau itu. Ucap gue dengan percaya dirinya. Yaiy
alah, Seorang Rio gamungkin salah.

ILY = Im Leaving You, Yo. Im Leaving you? Heh jadi ceritanya itu cewek mau ninggalin Gu
e? Heh, Kok gue jadi enggak ikhlas ginisih?! Ada apaan sih sama otak Gue!

Hai kamu.

Kamu yang udah aku anggap sebagai seseorang yang spesial dikeseharian aku. Ini aku, dengan
segala kekurangan yang gapantas kamu banggain. Aku enggak tau kamu lagi ngapain sekarang.
Aku juga enggak tau kamu lagi sama siapa sekarang. Dan aku lebih enggak tau apa aku masih b
erhak mengenang kamu. Aku enggak tau...

Aku Cuma pengen kamu tau, aku capek jadi seseorang yang selalu ada buat kamu. Aku Cuma pe
ngen kamu tau, aku ingin rasa lebih yang kamu rasain ke dia, aku rasain juga.
Kamu taukan nunggu seseorang itu gimana rasanya? Sebenernya sih aku gaada keinginan untuk
terus-terusan nungguin kamu, tapi gak tau kenapa hati ini malah penuh duga kekamu. Enggak a
da jawaban malah luka yang datang.

Kamu taukan cemburu itu gimana rasanya? Bohong kalo aku sering bilang aku enggak cemburu
liat kamu sama dia. Ya aku cemburu, soalnya aku udah anggep kamu sebagaian dari hidup aku.

Hhhh, ternyata capek juga ya jadi orang yang selalu nunggu sesuatu yang jawabannya udah jel
as. Lebih sakit dari nunggu tanpa kepastian ternyata. Karena kalau dipikir-pikir, nunggu tanpa k
epastian itu masih bisa berakhir bahagia kan? Sementara aku? Nunggu hal yang udah jelas ban
get nyakitin jawabannya.

Tapi jangan khawatir. Setelah ini enggak akan ada lagi aku yang merhatiin kamu dari jauh. Aku
udah mau pensiun. Aku cukup tau diri karena tau kamu enggak akan nengok kearah aku wala
upun sekilas, kan?

Lagipula, aku rasa udah cukup jadi sandaran diam-diamnya kamu. Sekarang saatnya aku nemui
n sandaran aku sendiri. Hm.. akusih berharapnya kamu bakal kehilangan. Tapi kok kayaknya en
ggak mungkin ya? Yaiyalah mana mungkin kamu kehilangan seseorang yang bahkan enggak per
nah kamu sadari, iyakan?

Kamu mau tau kenapa aku bisa sekeras ini menunggu kamu padahal jelas-jelas kamu enggak p
ernah ngehirauin aku sedikitpun? Cause all of me, loves all of you, Yo.

From the girl who always love you.

Ify.

-END
SUMPAH GUE ENGGAK TAU KENAPA FACEBOOK SENYEBELIN INI MASALAH
SPACE!-__- huft. lamalama kesel juga udah diedit tp pas dicopy ke facebook tetep aja spacenya
error-_- maafkan dakuuu;(

sincerely!

@widyaaaakr

Kepada Malam 19
6 Agustus 2014 pukul 17:07

Hidup ini tidak adil! Mengapa selalu Ify yang tersakiti? Mengapa hanya Ify yang meraung-raung
menangis? Mengapa hanya gadis itu saja yang berjuang begitu keras meniti satu persatu pijakan
yang setiap saat bisa menjatuhkan? Dan oh kali ini Ify telah jatuh. Bahkan hingga palung
terdalam.

Satu-persatu segala yang dicintainya pergi. Deva, Ray, Nonius, dan sekarang Rio pun begitu.
Apa masih bisa semuanya dinilai adil ketika lamat-lamat pengisi hatinya dipaksa pergi? Lalu
akan bagaimana jadinya hati itu nanti, kalau semua penghuninya pergi? Bahkan Rio, yang
menguasai hampir seluruh hatinya itu pun akan pergi.

Ify melihat dirinya sendiri dalam cermin. Kedua matanya bengkak sebesar bola pingpong.
Rambutnya acak-acakan seperti baru saja disengat listrik. Bekas tangis semalam yang masih
belum hilang. Mungkin tidak akan pernah.

Harusnya, Rio melihat dirinya sekarang. Dia pasti akan tersenyum puas melihat satu lagi gadis
tersungkur karenanya. Bahkan hingga begitu kacau. Mungkin Cassanova memang begitu. Dia
buat semua orang jatuh hati, tanpa sekali pun membalas cinta-cinta yang ditujukan padanya. Cih.

Kalau tahu akan begini jadinya, mana mau ia mengejar Rio setengah mati. Kalau tahu durinya
akan sesakit ini, mana mau ia merawat mawar itu di hatinya. Sudah ia babat habis hingga ke
akar-akarnya sejak pertama kali ada. Kalau tahu akan begini ujungnya, ia akan berhenti sejak
pertama memutuskan untuk berjuang. Karena kalau semua itu terjadi, tidak kisah klasik ini tidak
akan pernah tercipta. Karena akhirnya ia pun tahu, satu-satunya hal yang tidak pantas untuk ia
perjuangkan adalah cintanya untuk Rio. Cinta? Mati saja sana! Rio pikir dia siapa merasa orang
paling penting di dunia? Dia kira Ify akan mati tanpanya? Tidak akan! Cibirnya dalam hati.

Rio bukan orang paling penting di dunia ini. Dan kalaupun dia pergi, Ify tidak akan sampai mati.
Namun Riolah pengisi hati Ify. Dan jikalau dia pergi, maka hatinya yang akan mati. Mati rasa
pada yang namanya cinta. Karena kepergian Rio sama halnya dengan mencabut segala perasaan
yang tertanam di sana.

Ify menjatuhkan tubuhnya ke lantai. Sebab ia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya
sekarang. Karena menangis pun, ia sudah tidak mampu.

Beberapa waktu berlalu, hingga akhirnya suara jeblakan pintu memecah keheningan yang
menyesaki ruangan serba biru itu. Mama nampak terkejut melihat pemandangan di sana. Ia
berlari menghampiri Ify yang terkulai di atas lantai dengan kepala bersandar pada tembok.

"Ify, kok belum siap-siap?" tanya Mama. Ia membungkuk dan menekuk lututnya di hadapan Ify.
Terperanjat mendapati wajah anak gadis satu-satunya itu yang begitu murung.

Ify melirik wanita itu sekilas. Kemudian kembali menatap dengan tatapan kosong ke depan. "Ify
ga akan pergi, Ma!" gumamnya pelan.

Mama mengerutkan kening. "Yakin? Ini kesempatan terakhir kamu untuk ketemu sama teman-
teman kamu lho."

Ify mendesah kasar. "Buat apa, Ma? Toh pada akhirnya aku juga ga akan ketemu mereka lagi."
ujarnya sarkatis.

"Jadi kamu mau nyerah karena udah tahu akhirnya kayak gimana? " tanya Mama retoris.

Ify terkesiap. Ia menatapi wajah Mama yang misterius, semisterius ucapannya baru saja. Ify
yakin, Mama bukan tanpa maksud berbicara seperti itu. "Maksud Mama?" Ify menghela napas
gusar. "Semuanya udah berakhir, Ma! Aku udah kalah. Mau apa lagi?"

"Beneran? Ga ada perpanjangan waktu gitu?" Mama menatap Ify dengan ekspresi tak tertebak.
"Ayolah sayang! Kamu masih punya waktu. Jangan sia-siain kesempatan yang udah dikasih
Tuhan! Kamu bisa membalikan keadaan." Mama tersenyum tipis. Mengusap kepala Ify. Lalu
berjingkat dari posisinya. Berjalan menuju pintu, hendak meninggalkan kamar itu.

Ify termenung sejenak. Tuhan memberikan kesempatan padanya untuk apa? Untuk menikmati
tetes-tetes perasaan menjijikan itu lagi? Ify menggeleng. Oh ternyata bukan. Ia tahu untuk apa
kesempatan itu Tuhan hadiahkan padanya.

Ify melirik jam dinding di kamarnya. Pukul 6.37. Kurang dari setengah jam lagi, acara itu akan
dimulai. Acara perayaan kelulusan angkatannya. Acara di mana ia bisa bertemu Rio dan
mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya. Dan mungkin saja pemuda itu akhirnya
mengurungkan niatnya untuk pergi ke Jerman. Ya, Tuhan memberikan kesempatan itu.

"Maaa, Ify siap-siap dulu! Mama nanti antar aku yaa!" teriak Ify dari dalam kamarnya. Lalu
setelah itu, ia bergegas ke kamar mandi. Membersihkan diri dan bersiap-siap untuk menghadiri
acara yang diadakan di salah satu ballroom hotek ternama di kotanya.
Rio pantas diperjuangkan. Cintanya patut diusahakan. Setidaknya untuk malam ini. Karena
barangkali setelah ini ia tidak akan berjuang dan berusaha sebegini keras lagi.

**

"Macetnya ga pengertian banget sih! Ga tahu apa ini lagi buru-buru." gerutu Ify seraya terus
melirik jam digital di ponselnya.

"Sabar, sayang!" tutur Mama lembut dari balik kemudi.

"Ga bisa Mama! Aduhhh!" keluh Ify dengan nada frustasi. Ingin rasanya ia meminjam baling-
baling bambu milik Doraemon atau permadani terbang Aladin, suapaya ia terbebas dari macet
yang sudah sangat keterluan ini. Hih.

Dan hampir satu jam kemudian, barulah Ify sampai di tempat yang ditujunya. Berbekal
kepercayaan diri dan motivasi dari Mama, Ify melangkah yakin masuk ke gedung itu. Satu orang
yang memenuhi otaknya, membuat Ify mengabaikan sapaan teman-temannya. Malam ini, ia ke
sana hanya untuk seorang Rio. Bukan yang lain. Maka hal pertama yang ia lakukan sejak
menginjakan kaki di sana adalah mencari keberadaan Rio.

Ify kemudian dihadang oleh Angelica. Gadis itu masih saja sama. Berpenampilan layaknya
seorang primadona. Berbalutkan gaun malam tanpa lengan serta rambut yang dibiarkan terurai,
gadis itu terlihat begitu cantik dan hidup. Sedangkan Ify sendiri, hanya mengenakan gaun
sederhana yang hanya dihiasi renda-renda di ujungnya, sepatu tanpa hak dan pulasan tipis bedak.
Oh tapi ia datang ke sana bukan untuk membanding-bandingkan penampilannya dengan
Angelica. Karena kalau begitu ia adalah orang paling dungu sedunia. Jelas sudah dirinya kalah
jauh.

"Rio mana ya?" tanya Ify, tidak ingin berbasa-basi. Meskipun wajah cantik dihadapannya sangat
ingin sekali dipujinya.

Angelica mengulum bibir. Terlihat sekali bahwa gadis itu tidak suka pada Ify. Apa lagi kalau
bukan karena kedekatannya dengan Rio.

"Kamu mau apa sih nyariin Rio? Kamu mau cegah dia pergi? Udah deh biarin aja dia pergi! Jadi
cewek kok maksa banget sih!" ucap Angelica ketus.

Kalau bukan karena ia sedang di tempat umum, dan kalau bukan karena ia merasa harus buru-
buru bertemu dengan Rio, sudah ia cabik-cabik mulut berlumurkan lipstik itu. Mulut kok seperti
semut hitam: pedas!

"Jangan coba-coba mencegah Rio untuk pergi ke Jerman sama aku! Karena aku tahu, kamu
adalah satu-satunya orang yang bisa menggagalkan kepergian Rio!" desis Angelica.
Ada keterkejutan yang tidak bisa disembunyikan Ify ketika ia mendengar bahwa Rio akan pergi
bersama Angelica. Bersama gadis yang bisa kapan saja menjadi kekasih Rio. Apalagi Angelica
adalah gadis yang hampir sempurna. Lelaki tolol mana yang tidak jatuh hati padanya. Tapi ia
tidak kalah kaget ketika gadis itu tidak cukup pintar dengan mengatakan bahwa hanya dirinyalah
yang bisa membuat Rio tetap tinggal. Bahwa ucapan Angelica itu justru melecut kepercayaan
dirinya. Sedikit berharap bahwa ucapan Angelica bermakna bahwa Rio mencintainya.

Ify kemudian menghambur memeluk Angelica. Membuat gadis cantik itu terperanjat dan hampir
terjengkang. Sekuat tenaga ia berusaha melepaskan diri dari rengkuhan Ify. Tapi tangan Ify
terlalu erat mendekap.

"Thanks ya Angelica!" gumam Ify kemudian melepaskan pelukannya. Lalu ia berjalan melintasi
Angelica ke suatu tempat di mana dari matanya ia melihat pemuda yang dicarinya. Meskipun
yang terlihat hanya sebatas punggung, ia begitu yakin bahwa itu adalah Rio. Karena menatapi
punggung Rio dengan begitu seksama membuatnya hapal betul bagaimana bentuk persis
punggung itu.

"Dasar cewek aneh!" cibir Angelica seraya membereskan rambutnya yang sedikit berantakan
karena insiden pelukan barusan.

Napas panjang ia hela dengan begitu seksama. Mengumpulkan udara sebanyak-banyaknya agar
cukup memenuhi kuota sehingga ia mampu melakukannya. Gadis itu bergerak dua langkah lagi,
hingga akhirnya ia berdiri tepat di samping Rio yang sedang menikmati langit malam di balkon
yang terhubung dengan ballroom hotel.

Rio menyadari bahwa dirinya sekarang sudah tidak lagi sendiri. Pemuda itu bergerak mundur.
"Kalau lo butuh tempat ini, biar gue yang ngalah." ujar pemuda itu dengan dingin. Ia kemudian
hendak memutar tubuhnya. Bergegas dari sana.

"Sebentar, Rio!" ucap Ify. Gadis itu berbalik. Mendapati Rio tengah menatapnya datar.

"Kalau lo cuma mau bilang gue jangan pergi, lo cuma buang-buang tenaga." tutur Rio tanpa
ekspresi.

Ify menggelengkan kepala samar. Bahkan di detik-detik seperti ini, Rio masih belum bisa
menghargai segala usaha Ify. Ternyata apa yang diucapkan Angelica hanya sekadar bualan. Ify
mendesah, rasa percaya dirinya tiba-tiba menghilang.

Dengan gemetar, Ify membuka mulutnya. Hendak memuntabkan segala yang telah ada dalam
benaknya. Tapi tiba-tiba saja, semuanya mengabur seketika. Tenggorokannya tercekat. Oh apa
yang harus ia katakan? Tanya Ify dalam hati. Merutuki dirinya sendiri yang selalu kehilangan
nyali ketika melihat sosok Rio.

Karena tidak tahu apa yang harus diucapkan, Ify akhirnya meluruhkan tubuhnya ke lantai. Ia
berlutut di sana. Merasa kerdil di hadapan Rio yang begitu angkuh berdiri.

"Tapi apa lagi yang harus gue bilang selain itu, Yo? Please! Jangan pergi!" ucap Ify dengan suara
bergetar. Seiring dengan air mata yang mulai meninggalkan pelupuknya. Lagi-lagi, entah untuk
yang keberapa kali, ia menangis untuk Rio.

Rio mendesah samar. Ia membungkuk meraih tubuh Ify. Membantunya berdiri. Lalu setelah itu
ia tohok mata Ify tajam. "Kasih gue alasan kenapa gue harus tetap tinggal!"

Ify menghela napas panjang. Kesempatan. Rio sedang memberinya kesempatan. Ify mengangguk
samar. Gadis itu mulai berorasi.

"Karena kalau lo pergi, ga akan ada lagi orang yang bikin gue lebih baik. Karena kalau lo pergi,
gue bakal kehilangan salah satu orang paling berharga di hidup gue. Karena kalau lo pergi, gue
ga tahu gimana jadinya gue tanpa lo." ucap Ify tanpa jeda.

Rio tersenyum miring. Berdecak samar. "Ternyata lo masih aja egois ya, Fy! Lo cuma mikirin
diri lo sendiri. Semua alasan lo gue tolak. Gue bakalan tetap pergi." tutur Rio kemudian melipir
melintasi Ify.

Ify mengatupkan rahang tirusnya. Bukan. Bukan begitu maksudnya. Ia merutuki dirinya sendiri
yang dengan bodohnya keliru menerjemahkan apa yang berjejalan di otaknya.

"Oh iya, sekarang gue tahu kenapa kita harus belajar matematika. Supaya kita belajar untuk
menghargai orang lain. Supaya kita ga egois. Supaya kita ga selalu memaksakan kehendak kita.
Karena ga semua yang kita mau, harus kita dapatin!" ucap Rio sebelum ia benar-benar
menghilang dari sana.

Tinggalah Ify di sana. Berteman kehancuran, berkawan kesakitan. Di kesempatan terakhirnya ia


bertemu dengan Rio, lagi-lagi ia melewatkan pemuda itu. Ia biarkan permuda itu pergi tanpa
pernah tahu perasaannya yang sesungguhnya. Ia lepaskan pemuda itu dengan rahasia yang selalu
gagal diungkapnya.

Karena Ify terlalu pengecut untuk hanya bisa memendamnya sendirian. Mengonggoknya dalam-
dalam. Hanya selalu bisa menunggu hingga akhirnya pemuda itu sendirilah yang
menerjemahkan.

Tapi ia sungguh-sungguh menyesal. Andai Tuhan mau memberikan satu lagi kesempatan, andai
Tuhan masih sudi memberikan perpanjangan waktu, ia berjanji tidak akan lagi melewatkannya.
Ia akan gunakan kesempatan dan waktu itu sebaik-baiknya. Ia akan utarakan semua yang selalu
ia sembunyikan. Kalaupun nanti pemuda itu tetap pergi, paling tidak ia sudah menuntaskan
segalanya.

Namun ternyata, apa mau Tuhan tidak bisa ditawar-tawar lagi.

***

Ify tidak bisa tidur. Berkali-kali ia mencoba untuk memejamkan mata, namun selalu saja pelihat
itu gagal dan terpaksa kembali ia buka. Bayang-bayang Rio lekat menghantui pikirannya. Susul-
menyusul bersama segala hal yang pernah dilakukannya bersama. Menonton bermain futsal,
belajar bersama, kebun binatang, rumahnya, rumah Rio, Yana Julio.

Ify hampir saja terjatuh dari tempat tidur ketika tak sengaja kakinya terlilit selimut saat ia hendak
melompat dan menuju meja belajar. Untung saja ia cukup seimbang untuk mempertahankan
tubuhnya. Segera ia membuka laci meja belajar yang paling bawah. Mengambil sesuatu dari
sana. Sekeping kaset Yana Julio ditemukannya. Benda tak bernyawa yang menjadi saksi betapa
besar rasa cintanya. Ia simpan benda itu di dadanya.
"Kalau Tuhan maunya gitu, oke!" gumam Ify. Gadis itu melirik jam dinding di kamarnya. Sudah
pukul 3, tapi ia masih belum mengantuk juga. Dan akhirnya Ify memutuskan bahwa malam itu ia
akan terus terjaga. Hingga pagi datang, dan ia akan kembali berjuang. Baginya, kesempatan itu
masih ada. Waktu itu belum benar-benar tiada.

Namun tanpa sadar, Ify jatuh tertidur dengan kepala tenggelam di atas meja. Benda itu masih di
sana. Digenggam begitu erat oleh lima jarinya.

Ify terlelap sampai waktu yang tidak diinginkannya. Empat jam terlalu lama. Terburu Ify
menyambar ponselnya. Tidak sempat mandi atau hanya sekedar membasuh muka. Ia bergegas
menuju garasi. Merengek pada Mama agar ia dibolehkan membawa mobil. Setelah bernegoisasi
dengan Mama, akhirnya Ify diizinkan untuk membawa mobil. Segera ia kendarai mobil itu
dengan kelajuan tercepat yang bisa dilakukannya.

Ify membuka pintu mobil dengan kasar ketika ia tiba di depan sebuah rumah yang lebih layak
disebut sebagai istana. Gadis itu berjinjit meraih bel yang terletak di sisi gerbang. Setelah
berkali-kali menekan bel, akhirnya gerbang terbuka. Seorang lelaki berseragam satpam
menyambutnya.

"Pak, Rionya ada?" tanya Ify tanpa basa-basi.

"Mas Rionya udah pergi ke bandara." ujar Pak Satpam yang nampak heran melihat setelan
pakaian Ify yang berupa piama bergambar beruang.

"Bandara?" ulang Ify. "Makasih ya, Pak!" lalu ia kembali ke mobilnya. Kali ini, tujuannya adalah
bandara. Ia sama sekali tidak boleh terlambat. Karena pagi ini adalah kesempatannya yang
terakhir. Benar-benar tidak ada lagi kompromi. Segera ia merangsek pergi. Membelah jalanan
kota di minggu pagi.

Cekitttttt. Ify menginjak pedal rem dalam-dalam ketika tiba-tiba seseorang entah dari mana
asalnya sudah berada di depan mobilnya. Gadis itu bernapas lega ketika tidak setitik pun
mobilnya menyentuh orang itu. Lalu ia terkesiap ketika mengetahui bahwa orang yang hampir
tertabrak olehnya adalah Gabriel.

"Gab!" seru Ify seraya membuka kaca jendela mobilnya.

"Elo, Fy! Sialan! Lo mau bunuh gue atau bikin gue jantungan?" gerutu Gabriel yang masih
terkaget-kaget dengan insiden barusan.
"Eh lo ikut gue, yuk! Temenin gue! Kalau gue sendiri, gue ga bisa nyetir cepat!" tukas Ify. Baru
saja mendapat ide cemerlang untuk mengajak Gabriel. Dia tahu sahabatnya itu pembalap yang
cukup bisa diandalkan.

"Ha? Ke mana?"

"Bandara." Ify keluar dari mobil. Kemudian mendorong Gabriel untuk mengisi tempatnya.
Sementata ia sendiri duduk di kursi penumpang bagian dalam.

"Mau ngapain?" tanya Gabriel yang sudah berada di balik kemudi.

"Ngelakuin apa yang seharusnya dari dulu gue lakuin! Cepetan deh! Keburu telat!"

Gabriel mengangkat bahu. Ia akhirnya memilih untuk menuruti perintah Ify. Daripada gadis itu
mengamuk seperti macan kelaparan.

"Ada hubungannya sama Satrio?" tanya Gabriel tiba-tiba. Membuat Ify yang sedari tadi gusar di
tempatnya terkeksiap.

"Satrio bakalan pergi hari ini. Ke Jerman. Haha." ujar Ify dengan diakhiri tawa miris. Gadis itu
sedang menertawakan dirinya sendiri yang begitu bodoh. Yang tidak pernah berani jujur tentang
perasaannya.

"Segitunya ya lo sama Satrio?" tanya Gabriel hati-hati.

"Oh please! Lo masih tanya kayak gitu juga? Gue suka sama dia bukan satu atau dua hari aja.
Tapi udah dua tahun. Kayak lo ke Shilla aja gimana." Ify mendesah putus asa menjawab
pertanyaan konyol Gabriel.

Gabriel menggertakan rahangnya. Ify sepertinya tidak bisa ditanyai macam-macam. Pemuda itu
kini memilih untuk fokus pada jalanan di hadapannya. Sementara Ify sendiri terlihat gelisah di
balik lilitan sabuk pengamannya. Menatap cemas dari balik jendela.

Hampir tiga puluh menit berlalu tanpa suara. Hingga akhirnya, mereka sampai di bandara. Ify
segera keluar dari mobil, sementara Gabriel menyimpan mobil ke tempat parkir.

Adrenalinnya terpacu ketika kedua kakinya meniti inci demi inci lantai bandara. Berkali-kali Ify
menyenggol orang-orang yang berpapasan dengannya. Ia terlalu sibuk mencari, sehingga tidak
fokus dengan jalan yang dilaluinya.

Ify memegangi dadanya yang sesak. Gadis itu mencoba menormalkan kembali napasnya. Lalu ia
lihat sekelilingnya. Semua nampak sibuk dengan urusan masing-masing. Lalu bagaimana dengan
Rio? Apakah dia juga sesibuk itu? Atau dia sudah duduk santai di dalam pesawat bersama
Angelica yang akan lekat menggamit tangannya? Kemungkinan terburuk itu terlintas di
pikirannya.
Tidak. Ify yakin Rio masih ada di sana. Masih menunggu. Menunggunya, entah untuk apa. Ify
mengangguk samar. Ia lanjutkan kembali pencariannya.

Namun saat itulah, saat Ify tak sengaja bertemu dengan Bi Tuti yang berurai air mata, saat itulah
ia tahu bahwa ia sudah terlambat. Bahwa kesempatan terakhirnya baru saja ia lewatkan begitu
saja.

"Mas Rio sudah pergi. Lima belas menit yang lalu."

Maka sempurnalah kesedihan Ify saat itu. Ratusan tetes air mata mengalir melewati pipinya.
Berjatuhan menggenangi lantai. Seiring dengan mawar-mawar di hatinya yang tercerabuti.
Menyisakan banyak duri yang tidak henti menghujami setiap jengkal tubuhnya. Ify menggigiti
jemarinya dengan gemetar. Mencoba mengalihkan rasa sakit. Meskipun ia tahu usahanya akan
gagal. Rasa sakit itu sudah tidak bisa dijelaskan dengan apa pun. Bukan hanya hatinya. Tapi
menjalar ke seluruh tubuhnya.

"Fy..." ucap Gabriel pelan. Entah sejak kapan pemuda itu di sana.

Ify menoleh lemah pada Gabriel. Sesenggukan ia berucap. "Rio udah pergi."

Gabriel nanar menatap Ify yang terlihat begitu hancur. Ia tak tahu harus berbuat apa. Belum
pernah melihat Ify sebegini merananya.

"Rio pergi, Gab! Rio pergi!" ucap Ify lagi. Kali ini dengan ekpresi yang lebih menyayat hati.

"Jangan nangis, Fy!" cicit Gabriel pelan.

"Apa? Jangan nangis? Gab, Rio pergi! Rio pergi dan dia ga pernah tahu soal perasaan gue. Dia
idola gue, mawar gue, belahan jiwa gue. Tapi dia ga pernah tahu. Dia ga tahu kalau gue sayang
sama dia dan gue ga mau kehilangan dia." Ify menjatuhkan tubuhnya. Menangis semakin
kencang di sana.

Gabriel menekuk lututnya. Mensejajarkan dirinya dengan Ify. Ia meraih bahu gadis itu. Meminta
gadis itu untuk menatapnya. "Lo percaya sama jodoh? Kalau lo berjodoh sama Satrio, lo bakalan
ketemu sama dia."

Ify menggelengkan kepala. "Tapi gimana kalau Tuhan cuma ngasih gue satu kesempatan untuk
ketemu jodoh gue? Dan gue malah melewatkan kesempatan itu. Gimana, Gab?" tanya Ify retoris.

Gabriel tergugu. Entah harus mengatakan apa lagi. Karena ia pun tak tahu bagaimana rasanya
melewatkan seseorang yang dicintainya begitu dalam. Karena ia pun tak tahu bagaimana rasanya
melepaskan bagian terpenting dari hidupnya. Karena ia pun tidak mengerti apa sesungguhnya itu
jodoh.

Ify menghambur ke dalam tubuh Gabriel. Ia lampiaskan semuanya di sana. Menangis, merintih,
menjerit. Hingga akhirnya gadis itu jatuh tak sadarkan diri di sana. Sebelum pingsan, Ify sempat
berucap. Pelan namun penuh kejujuran.

"Gue cinta sama Rio, Gab! Gue cinta sama dia kayak malam cinta sama gelap."

Setelah itu, Ify biarkan dirinya tak berdaya. Menunggu apa saja mau Tuhan terhadapnya. Ia tidak
ingin apa-apa. Karena menginginkan Rio pun sudah tidak ada gunanya. Pemuda itu telah pergi
dan tidak akan kembali. Mawar itu telah mati. Membiarkan hati itu kosong tanpa pengisi.

Karena ternyata melepaskan apa yang belum ada dalam genggaman lebih menyakitkan dari apa
yang pernah berhasil diraih.

***

bersambung. Eh atau mau tamat aja? Wkwk .-.

Kepada Malam 20
7 Agustus 2014 pukul 13:25

"Kepada malam tempatku berpulang.


Rumah tak beratap.
Gedung tak berpintu.

Kepada malam yang selalu ingin kubahagiakan.


Langit tanpa batas.
Bumi tanpa ujung.

Kepada malam yang begitu kukasihi.


Wujud dari sebuah ketulusan.
Bukti dari sebuah kejujuran.

Malam, aku mencintaimu.


Entah seperti apa, selama apa, dan sesederhana apa.
Barangkali lebih dari sekedar gelap yang mencintai malam.

Aku mencintaimu dengan satu alasan: karena Tuhan maunya gitu."

Ify merasa hatinya mencelos ketika membaca kalimat terakhir pada puisi tak bertuan itu. Puisi
yang ia temukan dalam kotak beledu merah jambu yang ia terima delapan tahun lalu. Dan selama
delapan tahun itulah dia tak pernah membukanya. Namun pagi ini, entah karena dorongan apa,
Ify membongkar kotak menggemaskan itu.

Karena Tuhan maunya gitu. Ify tahu sekali kalimat khas itu milik siapa. Tapi ia tidak ingin
menduga-duga. Takut semunya hanya harapan kosong belaka. Segera ia membaca kertas lain
yang ada di sana.
"Halo, Ify! Kalau lo udah baca puisi lebay itu, pasti lo bakalan tahu siapa penulisnya. Maaf ya,
gue ga bakat nulis. Tahu ga, gue nulis itu aja bisa berhari-hari. Ternyata, soal matematika lebih
gampang ke mana-mana.

Fy, maaf ya bikin lo nangis. Jujur gue pun ga mau pergi. Gue ga mau ninggalin lo, kehilangan lo.
Tapi gue harus.

Gue cinta sama lo. Cinta yang beda dari seorang kakak ke adiknya. Tapi gue ga tahu gimana
bilangnya ke elo. Gue ga terbiasa dengan gaya tembak-terima, jadian-putus, dan sebagainya.
Bagi gue, cinta ga semurah itu.

Andai lo juga punya perasaan yang sama kayak gue, lo cinta sama gue, mungkin gue akan
membatalkan kepergian gue. Andai lo mau jadi alasan gue untuk tetap tinggal. Andai aja ya, Fy!

Tapi gue ga akan nyesal sama perasaan gue sendiri, meskipun toh lo ga cinta sama gue. Gue
pergi dengan hati lapang, kok! Gue bawa semua kenangan yang pernah kita buat bareng-bareng.
Dan gue juga senang, ternyata lo bisa juga nangis buat gue. Hehe. Maafin ya!

Gue ga tahu gimana caranya mengakhiri tulisan ini. Rasanya gue pingin nulis terus. Biar gue ga
usah pergi. Hehe. Gue tutup pakai doa ya, biar afdol. Semoga gue bisa bisa balik lagi ke sana. Ga
peduli lo nunggu gue atau enggak. Semoga gue bisa ketemu lo lagi. Lo percaya jodoh? Lo
pernah denger kalau jodoh pasti bertemu? Gue berharap lo jodoh gue. Gue cinta sama lo, Fy!
Gue cinta sama lo karena Tuhan maunya gitu."

Tik. Setetes air mata jatuh pada kertas usang itu. Kertas yang berisi fakta yang begitu terlambat
diketahuinya. Delapan tahun bukan waktu yang sebentar. Terlalu lama untuk hidup dalam
ketidakpastian.

Rio mencintainya. Pemuda itu juga menyimpan mawar yang sama di hatinya. Dan tak jauh
berbeda dari Ify, mereka sama-sama pengecut untuk sekadar mengungkapkannya. Ify mengusap
matanya yang basah. Satu kali usapan telah berhasil meredakan aliran itu. Ia pun tak tahu
mengapa. Juga tak mengerti dengan hatinya. Ada sesuatau yang menggeliat dari sana. Berusaha
menyadarkan dirinya dari fantasi yang telah hampir satu darsa warsa memabukannya.

Gadis itu meraih ponselnya, menekan beberapa tombol, kemudian menempelkannya pada
telinga.

"Gab, aku bakalan datang ke acara reuni itu. Jemput ya! Awas jangan telat!" ujar Ify datar.
Terburu ia memasukkan kembali kertas-kertas itu ke dalam kotak beledu merah jambu. Lalu ia
masukkan juga sekeping kaset Yana Julio yang telah menemaninya begitu lama. Ia tatap benda-
benda itu nanar. Malam ini, ia akan berpisah dengan mereka.

***

"Itu apa, Fy?" Gabriel menunjuk kotak yang sedari tadi digenggam Ify.
"Kotak harta karun." ujar Ify singkat. Kemudian berjalan menarik tangan Gabriel untuk segera
masuk ke dalam gedung.

Wajah-wajah yang sedikit-banyak berubah menyambut mereka. Delapan tahun ternyata cukup
lama untuk membuat Ify pangling terhadap teman-teman semasa SMAnya. Ada Deva yang kini
tidak terlalu pecicilan. Ray dengan rambut gondrongnya. Goldi yang sekarang sukses menjadi
pengusaha muda. Riko yang berhasil masuk tim futsal nasional. Sivia yang sedang mengambil
gelar doktor di luar negeri. Dan mereka berlima sudah memiliki pendamping hidup. Ya, rata-rata
mereka yang datang ke sana membawa pasangannya. Mungkin hanya Ify dan Gabriel yang
datang tanpa adanya pasangan.

"Hai, Gab! Apa kabar?" sapa seorang wanita berparas cantik. Wanita itu lekat menggamit
seorang lelaki bule di sampingnya.

"Hai, Shill! Baik. Ini suami kamu?" tanya Gabriel hati-hati. Agak canggung bertanya seperti itu
pada mantan kekasihnya.

"Masih calon." ujar Shilla -wanita itu- tersipu malu. "Kenalin, Marcel!"

Gabriel dan Ify bergantian menyalami Marcel. Pemuda itu sungguh serasi dengan Shilla.
Kadang, Ify heran mengapa dulu Shilla mau menjadi pacar Gabriel. Gabriel kan tidak ganteng,
menyebalkan pula. Ify mengamati wajah sahabatnya itu dari samping.

"Kalian kapan nyusul? Dipikir-pikir kalian cocok juga." ujar Shilla dengan kikikan pelan.

Ify terbatuk pelan mendengar ucapan Shilla. Gadis itu menggeleng. "Kita sahabatan aja kok."
ujar Ify gelagapan.

Shilla mengerlingkan mata jahil pada Ify. Lantas melipir pergi bersama sang calon suami.
"Kayaknya ucapan Shilla perlu kita pertimbangkan deh, Fy! Ga mungkin kita menjomblo seumur
hidup." tukas Gabriel seraya mengerjapkan matanya beberapa kali. Membuat gadis iu merengek
dan memberikan pukulan-pukulan kecil pada tubuh Gabriel.

Gerakan tangan Ify tiba-tiba terhenti ketika ia menangkap sebuah siluet yang teramat di kenalnya
berdiri tak jauh dari tempatnya. Siluet itu menatap lurus ke arahnya. Tersenyum kemudian
bergerak mendekatinya.

Ify mendorong tubuh Gabriel agar segera menyingkir dari sana. Biarkan ia menyambut siluet itu
sendrian. Dengan napas tercekat, Ify menanti siluet itu sampai di hadapannya.

"Ha-lo!" seru Ify gugup. Gadis itu hampir saja jatuh pingsan ketika sosok tinggi tegap itu berdiri
tepat di hadapannya. Harum maskulin alami yang terkuar dari tubuh lelaki itu sempurna mengisi
seluruh rongga pernapasan. Wajah tampan yang terlihat begitu dewasa membuat Ify ingin sekali
menelannya bulat-bulat.
"Masih ingat aku?" tanya lelaki itu.

Ify menahan dirinya agar tidak melejit gembira ketika mendengar suara baritone yang sangat
dirindukannya itu. Dulu, suara itu lebih sering mengomelinya karena susah ketika diajari
matematika. Sekarang suara itu menyapanya begitu hangat.

"Satrio! Please! Aku kangen sama kamu." ujar Ify malu-malu. Gadis itu memainkan rambut
pirangnya yang dibiarkan terjuntai.

"Kamu udah baca surat di kotak itu?" tanya Rio.

Ify melirik kotak beledu merah jambu di tangannya. "Kenapa kamu ga pernah bilang kalau kamu
pemilik Rose Cafe?" Ify mengulum bibir.

Rio berdecak samar. "Bukan itu pointnya."

Ify mendesah kentara. "Oke, aku ngerti!" gadis itu tiba-tiba berubah murung. Tidak menyangka
bahwa delapan tahun penantiannya harus berakhir dengan cara seperti ini. Tapi tekadnya sudah
bulat. Semua kesakitan itu telah berhasil mengajarinya banyak hal. Termasuk soal cinta.

"Aku cinta sama kamu. Bahkan sebelum kamu tahu nama aku, aku udah cinta sama kamu. Kamu
benar, aku datang ke tim futsal untuk membuat pemain futsal jatuh cinta sama aku. Dan itu kami.
Tapi aku gagal." Ify menghela napas panjang. Mengumpulkan segudanh amunisi agar ia bisa
menuntaskan eksekusinya malam ini.

"Aku cinta sama kamu. Bahkan ketika kamu menghilang setahun lamanya, aku tetap cinta sama
kamu. Hingga akhirnya Tuhan mempertemukan kita lagi. Dan perasaan itu sama sekali ga
berubah.

"Tapi lagi-lagi kamu pergi. Kamu pergi tanpa tahu gimana perasaan aku. Kamu pergi ninggalin
aku bersama semua kebodohanku. Kamu pikir enak ditinggalin begitu aja? Kamu pikir hatiku
terbuat dari apa? Bahkan besi pun akan meleleh kalau dibakar oleh api yang kelewat panas." Ify
memegangi dadanya yang sesak. Tidak mudah memang mengatakan sebuah kejujuran yang telah
bertahun-tahun disembunyikan.

"Delapan tahun itu ga sebentar. Dan selama delapan tahun, yang aku lakuin cuma nungguin
kamu. Nungguin seseorang yang ga tahu akan kembali atau enggak."

"Tapi kamu baca surat itu, kan? Di sana aku bilang aku bakalan balik. Kita bakalan ketemu lagi."
ujar Rio.

"Aku baru baca ini tadi siang. Dan aku baru sadar, cinta bukan hanya sekedar perasaan. Cinta itu
kehormatan. Dan aku ga mau, cinta nyakitin aku lagi." Ify menyodorkan kotak beledu merah
jambu itu pada Rio. "Aku kembalikan, Yo! Lengkap sama semua perasaan aku buat kamu."

Rio meraih kotak itu dengan gemetar. "Jadi?"


"Aku cinta sama kamu. Perasaan itu ga berubah dari dulu."

"Tapi?"

"Tapi aku ga mau egois. Aku ga mau maksain lagi. Aku tunggu apa mau Tuhan. Terserah Dia
maunya apa."

"Aku juga cinta sama kamu." bisik Rio. "Jadi, kita melakukan hal yang sama dong! Nungguin
apa mau Tuhan setelah ini. Hihi. Lucu ya?" Rio terkekeh pelan.

Ify menarik ujung-ujung bibinya ka atas. Ikut terkekeh bersama pemuda yang masih saja bisa
membuat jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya.

"Mau ikut aku?" tanya Rio tiba-tiba.

"Ke mana?"

Rio membiarkan Ify larut dalam penasaran. Tahu-tahu dirinya sudah di bawa Rio ke lapangan
futsal. Salah satu tempat yang menyenangkan bagi Ify, ternyata bagi Rio juga.

"Main futsal lawan aku yuk! Berani?" tantang Rio. Pemuda itu menaik-turunkan kedua alisnya.

"Kamu pikir aku takut? Ayo!" ucap Ify lantang. Gadis itu kemudian melepas sepatu berhak tinggi
dari kakinya, melemparkannya ke tepi. Kemudian mulai berlari, menyongsong bola yang
bergulir ke arahnya. Saling berebut bola dengan Rio, berkejaran dan membuat gol sebanyak-
banyaknya.

Malam itu, semuanya memang belum selesai. Tapi paling tidak, hati Ify sudah bisa berdamai.
Pada cinta yang tidak selalu dianalogikan dengan hal yang indah-indah. Cinta selalu hadir dalam
wujud yang berbeda bagi setiap orang. Dan bagi Ify, cinta itu seperti mawar. Cantik dan
menguatkan. Ya, duri-duri yang selama ini menyiksanya justru membuat dirinya kuat.

Dan ia pun belajar bahwa semua yang terjadi padanya, entah baik atau buruk, semua karena
Tuhan maunya gitu.

***

*Malam*

Aku tahu, mawar dan duri itu satu paket. Tapi bukan berarti ketika aku mencintai mawar, duri-
duri itu berhak melumpuhkanku. Tentu saja tidak. Duri itu boleh menyiksaku. Boleh menorekan
luka separah apa pun di hatiku. Tapi iu karena dia hendak menguatkanku. Ya, cinta itu
menguatkan.

Mawar, kata orang jodoh pasti bertemu. Kita sudah bertemu berkali-kali. Berarti kita sudah
dijodohkan berkali-kali. Begitu ya?

Ah mawar, aku tidak mengerti konsep jodoh seperti apa. Yang jelas, aku mencintaimu.
Sesederhana itu.

***

*Mawar*

Akhirnya aku pulang, padamu. Terimakasih masih mau menerimaku. Tuhan tidak salah. Dia mau
aku mencintaimu, karena Dia tahu kamu yang terbaik untukku.

Malam, kau membuatku percaya bahwa cinta masih eksis di muka bumi ini. Cinta kamu, malam.
Satu-satunya.

Mari kita lihat bersama-sama apa mau Tuhan yang lain terhadap kita.

***

*Kunang-kunang*

Malam, ternyata aku patah hati. Melihatmu akhirnya menemukan mawar itu ternyata membuatku
sakit. Rasanya aku ingin bunuh diri saja. Apa rasanya sama seperti kau kehilangan mawar itu
dulu? Kalau iya, cintamu untuknya memang begitu besar. Sama seperti cintaku padamu.

Aku mencintaimu, malam! Walau aku hanya kunang-kunang menyedihkan yang terbang
mengarungi kehidupanmu. Aku tetap mencintaimu. Sampai Tuhan membalikkan keadaan,
membuatmu berbalik mencintaiku dan meninggalkan mawar itu. Atau sampai Tuhan mengubah
hatiku agar tidak lagi mencintaimu.

Aku mencintaimu, malam! Bahkan sejak kita sama-sama belum mengerti apa itu cinta. Sejak kita
masih mengenakan seragam putih biru, dan setelah itu kita selalu bersama. Kamu tidak pernah
tahu. Tentang aku, kunang-kunang yang selalu hadir dalam gelapmu.

***

Tamat!

Huaaaaa rasanya legaaa banget udah menamatkan cerbung ini. Ini cerbung pertama aku loh yg
tamat :(. Oh iya, makasih untk semua yang udah baca dan mengapresiasi cerbung alay nan lebay
ini. Maaf tidak sesuai harapan. Endingnya gantung gak sih? Bodo ahhh! Wkwk. Betewe, aku
mau bikin cerbung lagi. Ceritanya sama. Tapi sudut pandang berbeda. Mau Kepada Mawar atau
Kepada Kunang-kunang dulu? .-. Oh iya, klian ngerti ga sih siapa mawar, malam sama kunang-
kunang tuh? Kalau enggak, gagal deh. Huaaa. Oh iya, karna ini part terakhir, boleh dong tulis
quote yang paling kalian suka dari cerbung ini di kolom komen. Makasihhh.
Akhir kata, wassalam! Sampai jumpa di karyaku yang selanjutnyaaa!

You might also like