You are on page 1of 19

MAKALAH STUDI KASUS FARMAKOTERAPI TERAPAN

GAGAL JANTUNG
(CASE BASED LEARNING)

Oleh:
Kelompok 7
Dewi Kusumaningrum P. 162211101068
Deny Rohliana 162211101084
Leriana Alyyu 162211101095
Elita Marta 162211101116
Radita Surya 162211101120

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


BAGIAN FARMASI KLINIK DAN KOMUNITAS
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
2017
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Jantung merupakan salah satu organ vital dalam tubuh manusia yang terletak
dalam mediastinum di antara kedua paru-paru. Jantung memiliki fungsi utama sebagai
pemompa darah. Jantung merupakan salah satu organ yang tidak pernah beristirahat.
Dalam keadaan fisiologis, pembentukan rangsang irama denyut jantung berawal dari
nodus sinoatrial (nodus SA) dan menyebar ke serat otot lainnya sehingga menimbulkan
kontraksi jantung. Jika rangsang irama ini mengalami gangguan dalam pembentukan dan
penghantarannya, maka dapat terjadi gangguan pada kinerja jantung.
Gangguan pada sistem kardiovaskular merupakan masalah kesehatan utama yang
dialami masyarakat pada umumnya. Pada zaman modern ini angka kejadian penyakit
jantung semakin meningkat. Menurut data WHO 2013, 17,3 juta orang meninggal akibat
gangguan kardiovaskular pada tahun 2008 dan lebih dari 23 juta orang akan meninggal
setiap tahun dengan gangguan kadiovaskular (WHO, 2013). Lebih dari 80% kematian
akibat gangguan kardiovaskular terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan
menengah (Yancy, 2013).
Penyakit jantung dan pembuluh darah merupakan masalah kesehatan masyarakat
dan merupakan penyebab kematian tertinggi di Indonesia (Depkes RI, 2009), maka perlu
dilakukan pengendalian penyakit jantung dan pembuluh darah secara berkesinambungan.
Gagal jantung merupakan kondisi akhir dari penyakit jantung dan pembuluh darah kronis
seperti hipertensi, diabetes mellitus, aritmia, infark miokard dan lain-lain. Hal inidapat
menyebabkan polifarmasi yang akan meningkatkan risiko masalah terkait obat Drug
Related Problems (DRPs). Pentingnya kombinasi obat dalam penatalaksanaan terapi
gagal jantung serta masalah terkait obat DRP yang diakibatkan dapat disimpulkan bahwa
penggunaan kombinasi obat perlu dimonitoring dan diwaspadai. Hal ini yang
melatarbelakangi perlunya diadakan studi penggunaan kombinasi obat pada pasien gagal
jantung.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana masalah terkait obat Drug Related Problems (DRPs) yang ditimbulkan
pada pengobatan yang diterima oleh pasien Tn. SW, usia 59 tahun masuk RS tanggal 2
Desember dengan keluhan sesak nafas dirasakan sudah sejak 4 hari yang lalu, terjadi
pembengkakan sudah sejak 1 minggu yang lalu, bengkak terjadi pada tangan dan kaki
kanan maupun kiri serta pada daerah kemaluan. Pasien tidur dengan 4 bantal karena jika
posisi tidur terlalu rendah pasien merasakan sesak nafas. Pasien memiliki riwayat
diabetes dan hipertensi tetapi tidak terkontrol. Pasien didiagnosis decomp cordis, udema,
hipertensi dan DM.

1.3 Tujuan
Agar mahasiswa mampu mengidentifikasi, menganalisis, dan memberikan
rekomendasi untuk mencegah dan mengatasi DRP baik yang aktual maupun yang
potensial terjadipada kasus Tn. SW menggunakan metode SOAP.
BAB 2.ISI

2.1 Definisi
Gagal jantung adalah sindrom klinis yang disebabkan oleh ketidak mampuan
jantung untuk memompa darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
tubuh. Gagal jantung dapat terjadi akibat ketidak mampuan ventrikel untuk mengisi darah
(fase diastole) masuk ke jantung dan memompanya (fase sistole) keluar jantung dengan
kapasitas yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Gangguan pada
kasus gagal jantung sering dipengaruhi oleh gangguan pada perikardium, katub
jantung,dan miokardium (Dipiro, 2008).
Jantung terdiri dari empat ruangan yaitu atrium kanan dan atrium kiri yang
dipisahkan oleh septum intratrial, serambi kanan dan serambi kiri yang dipisahkan oleh
septum intraventrikuler. Gagal jantung dapat terjadi pada salah satu bagian jantung
misalnya jantung bagian kiri ataupun jantung bagian kanan, dan juga bisa terjadi pada
kedua-duanya. Gagal jantung kiri atau gagal jantung ventrikel kiri terjadi karena adanya
gangguan pemompaan darah oleh ventrikel kiri sehingga curah jantung kiri menurun
dengan akibat tekanan akhir diastolik dalam ventrikel kiri dan volume akhir diastolik
dalam ventrikel kiri meningkat. Sedangkan gagal jantung kanan karena gangguan atau
hambatan pada daya pompa ventrikel kanan sehingga isi sekuncup ventrikel kanan
menurun tanpa didahului oleh adanya gagal jantung kiri. Bila gangguan jantung kiri dan
jantung kanan terjadi bersamaan. Dalam keadaan gagal jantung kongestif, curah jantung
menurun sedemikian rupa sehingga terjadi bendungan sistemik bersama dengan
bendungan paru.Tabel 2.1 berikut adalah klasifikasi gagal jantung .
Tabel 2.1 Klasifikasi Gagal Jantung

2.2 Etiologi Gagal Jantung


Gagal jantung dapat terjadi akibat gangguan pada kontraksi jantung fungsi sistolik
atau fungsi diastolik. Gangguan fungsi kontraksi jantung (fungsi sistolik) bisa disebabkan
pengurangan massa otot atau infark miokard, dilatasi kardiomiopati, hipertrofi ventrikel,
tekanan yang berlebihan akibat hipertensi sistemik atau pulmonal, volume pengisian
darah yang berlebihan. Sedangkan gangguan fungsi diastolik akibat pembatasan
pengisian ventrikel adalah terjadi peningkatan kekakuan ventrikel, hipertropi
kardiomiopati, penyakit miokardial, iskemik miokardial, dan penyakit perikardial.
Penyakit arteri koroner adalah penyebab umum dari gagal jantung sistolik yang
terhitung hampir dari 70% kasus gagal jantung. Infark miokard menyebabkan penurunan
massa otot sebagai konsekunsi dari kematian sel-sel miokard. Tingkat dimana kontraksi
jantung terganggu tergantung pada ukuran seberapa terjadi kematian sel-sel infark. Dalam
upaya untuk mempertahankan curah jantung, sel-sel miokard yang masih aktif (hidup)
mengalami beberapa adaptasi fungsi (malfungsi), sehingga berpotensi terjadi sindrom
gagal jantung yang berlanjut pada cidera jantung. Iskemia dan infark miokard juga
mempengaruhi sifat diastolik jantung dengan meningkatkan kekakuan ventrikel dan
memperlambat relaksasi ventrikel. Dengan demikian, infark miokard sering
menyebabkan disfungsi sistolik dan diastolik (Dipiro, 2008).
2.3 Patofisiologi
Sindrom gagal jantung disebabkan oleh beberapa komponen antara lain:
1. Ketidakmampuan miokard untuk berkontraksi dengan sempurna mengakibatkan
stroke volume dan cardiac output menurun.
2. Beban sistolik yang berlebihan diluar kemampuan ventrikel (systolic overload)
menyebabkan hambatan pada pengosongan ventrikel sehingga menurunkan curah
ventrikel.
3. Preload yang berlebihan dan melampaui kapasitas ventrikel (diastolic overload)
akan menyebabkan volume dan tekanan pada akhir diastolik dalam ventrikel
meninggi.
4. Beban kebutuhan metabolik meningkat melebihi kemampuan daya kerja jantung
dimana jantung sudah bekerja maksimal, maka akan terjadi keadaan gagal jantung
walaupun curah jantung sudah cukup tinggi tetapi tidak mampu untuk memenuhi
kebutuhan sirkulasi tubuh.
5. Hambatan pada pengisian ventrikel karena gangguan aliran masuk ke dalam
ventrikel atau pada aliran balik venous return akan menyebabkan pengeluaran atau
output ventrikel berkurang dan curah jantung menurun.

Gagal jantung kanan maupun kiri dapat disebabkan oleh beban kerja (tekananatau
volume) yang berlebihan dan atau gangguan otot jantung itu sendiri. Beban volume atau
preload disebabkan karena kelainan ventrikel memompa darah lebih banyak semenit
sedangkan beban tekanan atau afterload disebabkan oleh kelainan yang meningkatkan
tahanan terhadap pengaliran darah keluar jantung. Kelainan atau gangguan fungsi
miokard dapat disebabkan oleh menurunnya kontraktilitas dan oleh hilangnya jaringan
kontraktil (infarkmiokard). Dalam menghadapi beban lebih, jantung menjawab
(berkompensasi) seperti bila jantung menghadapi latihan fisik. Akan tetapi bila beban
lebih yang dihadapi berkelanjutan maka mekanisme kompensasi akan melampaui batas
dan ini menimbulkan keadaan yang merugikan. Manifestasi klinis gagal jantung adalah
manifestasi mekanisme kompensasi akibat gangguan pada jantung.
2.4 Manifestasi Klinis
Gejala yang dirasakan pasien bervariasi, mulai dari asimptomatis (tak bergejala)
hingga cardiogenik shock. Gejala utama yang timbul adalah sesak nafas dan kelelahan
yang dapat menyebabkan intoleransi terhadap aktivitas fisik. Gejala pulmonari termasuk
diantaranya orthopnea, parozysmal nocturnal dyspnea, tachypnea dan batuk. Tingginya
produksi cairan menyebabkan kongesti pulmonari dan udem perifer. Gejala nonspesifik
yang dapat timbul diantaranya termasuk nocturia, hemotypsis, sakit pada bagian
abdominal, anoreksia, mual, kembung, ascites, dan perubahan status mental. Manifestasi
klinis gagal jantung dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut.

Tabel 2.2 Manifestasi Klinis Gagal Jantung

Sumber: Imaligy, E.U. (2014)

Akan tetapi, terutama pada usia 80 tahun ke atas dapat ditemukan atypical
symptomatology,yaitu simptom tidak khas, sehingga gagal jantung pada orang tua sering
over atau underdiagnosed. Pemeriksaan fisik pada orang tua dapat nonspesifik atau tidak
khas. Tanda klasik gagal jantung antara lain ronkhi paru, peningkatan tekanan vena
jugularis, refluks abdominojugularis, gallop S3 dan pittng edema ekstremitas bawah.
Tetapi ronkhi paru pada orang tua dapat menjadi tanda penyakit paru kronis, pneumonia
atau atelektasis. Edema perifer dapat disebabkan oleh insufisiensi vena, penyakit ginjal
atau obat seperti penghambat kanal kalsium. Pasien usia tua dapat memiliki pemeriksaan
fisik normal. Pernafasan Cheyne Stokes dapat menjadi satu-satunya tanda dugaan
adanya gagal jantung. Tabel 2.3 berikut mencantumkan maniestasi gagal jantung pada
orang tua.

Tabel 2.3 Manifestasi atipikal gagal jantung pada orang tua


Keluhan sistemik nonspesifik
Malaise
Letih
Penurunan aktivitas fisik
Simptom Neurologi
Bingung
Iritabilitas
Gangguan tidur
Gangguan Gastrointestinal
Rasa tidak nyaman pada perut
Anoreksia
Mual
Diare

2.5 Terapi
2.5.1 Tata Laksana Non-Farmakologi
Manajemen Perawatan Mandiri
Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran dalam keberhasilan pengobatan
gagal jantung dan dapat memberi dampak bermakna pada perbaikan gejala gagal jantung,
kapasitas fungsional, kualitas hidup, morbiditas dan prognosis. Manajemen perawatan
mandiri dapat didefnisikan sebagai tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menjaga
stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat memperburuk kondisi dan mendeteksi
gejala awal perburukan gagal jantung.

2.5.2 Tata Laksana Farmakologi


Tujuan Tata Laksana Gagal Jantung
Tujuan diagnosis dan terapi gagal jantung yaitu untuk mengurangi morbiditas dan
mortalitas. Tindakan preventif dan pencegahan perburukan penyakit jantung tetap
merupakan bagian penting dalam tatalaksana penyakit jantung. Sangatlah penting untuk
mendeteksi dan mempertimbangkan pengobatan terhadap kormorbid kardiovaskular dan
non kardiovaskular yang sering dijumpai.
1. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (ACEI)
Kecuali kontraindikasi, ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal jantung
simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %.ACEI memperbaiki fungsi ventrikel
dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung,
dan meningkatkan angka kelangsungan hidup (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti
A).ACEI kadang-kadang menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia,hipotensi
simtomatik, batuk dan angioedema (jarang), oleh sebab itu ACEI hanya diberikan pada
pasien dengan fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium normal.
2. Beta Blocker (BB)
Kecuali kontraindikasi, penyekat harus diberikan pada semua pasien gagal
jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %. Penyekat memperbaiki
fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung, dan meningkatkan kelangsungan hidup.
3. Angiotensin Receptor Blockers (ARB)
Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan
fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah diberikan ACEI
dan Beta Blocker dosis optimal, kecuali juga mendapat antagonis aldosteron. Terapi
dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi angka
perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung ARB direkomedasikan sebagai
alternatifpada pasien intoleran ACEI. Pada pasien ini, ARB mengurangi angka kematian
karena penyebab kardiovaskular.
4. Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau
gejala kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukit B).Tujuan dari pemberian diuretik
adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang serendah
mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhanpasien, untuk menghindari dehidrasi atau
reistensi.
Cara pemberian diuretik pada gagal jantung:
Pada saat inisiasi pemberian diuretik periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit
Dianjurkan untuk memberikan diuretik pada saat perut kosong
Sebagain besar pasien mendapat terapi diuretik loop dibandingkan tiazid karena
efisiensi diuresis dan natriuresis lebih tinggi pada diuretik loop. Kombinasi keduanya
dapat diberikan untuk mengatasi keadaan edema yang resisten
5. Antagonis Aldosteron
Kecuali kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecilharus
dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi 35 % dangagal jantung
simtomatik berat (kelas fungsional III - IV NYHA) tanpahiperkalemia dan gangguan
fungsi ginjal berat. Antagonis aldosteronmengurangi perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung danmeningkatkan kelangsungan hidup.
6. Hydralazine dan Isosorbide Dinitrate (H-ISDN)
Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %,kombinasi H-
ISDN digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleranterhadap ACEI dan ARB (kelas
rekomendasi IIa, tingkatan bukti B).
7. Digoksin
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan untuk
memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti penyekat beta) lebih
diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik, fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %
dengan irama sinus, digoksin dapatmengurangi gejala, menurunkan angka perawatan
rumah sakit karenaperburukan gagal jantung,tetapi tidak mempunyai efek
terhadapangkakelangsungan hidup (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti B).

Algoritma terapi pada gagal jantung Stage A dan B


Algoritma terapi pada gagal jantung Stage C
Algoritma pengobatan gagal jantung akut secara umum berdasarkan presentasi klinis

2.6 SOAP
I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Tn. SW
Ruang : VII A
Umur : 59tahun
Tanggal MRS : 2Desember
Tanggal KRS :-
Diagnosa : Decomp Cordis, Udema, Hipertensi, Diabetes Mellitus

II. SUBYEKTIF (Saat MRS)


2.1. Keluhan Utama
Pasien sesak nafas dirasakan sudah sejak 4 hari yang lalu, terjadi pembengkakan
sudah sejak 1 minggu yang lalu, bengkak terjadi pada tangan dan kaki kanan maupun
kiri serta daerah kemaluan.
2.2. Keluhan Tambahan
Pasien tidur dengan 4 bantal karena jika posisi tidur terlalu rendah pasien merasakan
sesak nafas.
2.3. Riwayat Penyakit Dahulu
Diabetes dan Hipertensi (tidak terkontrol)
2.4. Riwayat Pengobatan
-
2.5. Riwayat Penyakit Keluarga
-
2.6. Alergi Obat
-
III.OBYEKTIF (Saat MRS)
3.1. Tanda Vital
Nilai Tanggal
Parameter
Normal 2 3 4
160
Tekanan Darah 150 150
120/80 /10
(mmHg) /90 /90
0
HR 60-100 96 82 78

RR 14-20 29 27 24
36, 36,
Suhu Tubuh (0 C) 36,5-37,5 oC 37
3 5
Udema - ++ +- +-

Sesak nafas - ++ +- +-

3.2. Hasil Pemeriksaan Laboratorium


Nilai Tanggal
Parameter Keterangan
Normal 2 3
Na 135-144 meq/L 136,1 137
K 3,6-4,8 meq/L 4,74 3,98
Cl 97-106 meq/L 103 102,2
Penurunan konsentrasi serum albumin 1 g/dL
menurunkan konsentrasi total serum kalsium
Ca 8,8-10,4 mg/dL 2,34 2,18 lebih kurang 0,8 mEq/dL. Hipokalsemia
dapat diakibatkan oleh penggunaan
furosemide.
Kreatinin 0,6 1,3 mg/dL 1,1
BUN 9-20 mg/dL 25
Urea 15-40 mg/dL 53
Asam Urat 3,6-8,5 mg/dl 8,5
SGOT 5-35 U/L 44 Manifestasi gagal jantung
SGPT 5-35 U/L 48
Albumin 3,5-5,0 g/dL 3,4
Hemoglobin 13-18 g/dL 12,4
Leukosit 3,2-10 x 103/mm3 7,6
GD Acak <200 mg/dL 391
4.3. Pembahasan
1. Ringer laktat diberikan pada pasien CHF dengan udema untuk mencegah syok
hipovolemi dan mengganti cairan yang hilang karena dehidrasi, tetapi kemudian
dihentikan karena pasien tidak menunjukkan tanda-tanda adanya dehidrasi. Hipokalsemia
yang dialami pasien lebih menjadi perhatian khusus, sehingga mengenai kasus Tn.SW
tersebut perlu diberikan suplemen tambahan yaitu Calcium Lactate i.v 500mg sekali
sehari dan tidak melebihi 0,5 sampai 2 mL/menit. Dosis bisa ditingkatkan hingga
maksimal 1200mg/hari. Setelah pasien tidak mengalami hipokalsemia maka sediaan bisa
diganti menjadi per oral dengan dosis 500 sampai 2000 mg, 2 sampai 4 kali sehari untuk
mempertahankan kadar kalsium dalam darah. Pemberian vitamin D tambahan juga bisa
dilakukan untuk membantu meningkatkan penyerapan kalsium di saluran cerna.
Ringer laktat juga memiliki interaksi obat dengan ceftriaxone yaitu dapat meningkatkan
efek toksik ceftriaxone. Ceftriaxone akan mengikat kalsium dalam RL membentuk
endapan yang tidak larut.
2. D5 awalnya diberikan dengan indikasi untuk mengganti cairan dan kalori serta sebagai
pelarut untuk pemberian obat melalui infus IV drip. Akan tetapi, D5 mengandung glukosa
yang tidak tepat untuk pasien diabetes mellitus, karena pemberian D5 ini tidak
meningkatkan outcome klinik pasien karena dapat meningkatkan resiko terjadinya
hiperglikemik . Selain itu dextrose (D5) dapat menimbulkan gejala akut kekurangan
tiamin (Vitamin B1). Dengan demikian penggunaan D5 pada pasien ini kurang tepat dan
penghentian dari D5 ini sudah tepat.
3. Lasix diindikasikan untuk menangani udema yang disebabkan oleh gagal jantung.
Menurut catatan ACC/AHA 2005, Pada pasien gagal jantung disarankan pemberian
furosmid intravena melalui infus secara kontinyu (Continuous I.V. infusion) dengan
rekomndasi dosis 40 mg IV,kemudian 10-40 mg/jam infus.
4. Ceftriaxon sebagai pengobatan infeksi saluran intra-abdominal dan kemih, penyakit
radang panggul (PID), sepsis bakteri kurang tepat karena pasien tidak menunjukkan
adanya tanda-tanda infeksi, dan memiliki interaksi obat dengan kalsium sehingga
direkomendasikan untuk dihentikan.
5. Ranitidin merupakan golongan H2-Blocker yang diberikan dengan indikasi pencegahan
terhadap efek samping penggunaan Spirola sudah tepat, tetapi sediaan yang diberikan
secara injeksi dengan dosis 25mg x 2 ampul kurang efisien bila diberikan pada pasien,
sehingga disarankan untuk mengganti sediaan injeksi menjadi sediaan oral 75mg sehari
dan diminum 30-60 menit sebelum makan atau minum, dosis maksimum adalah 150 mg
sehari dan tidak boleh digunakan lebih dari 14 hari.
6. Alinamin F digunakan sebagai pencegahan dan pengobatan kekurangan Vitamin B1 dan
Vitamin B2 karena gagal jantung sudah tepat. Penambahan alinamin F untuk memenuhi
kebutuhan vitamin B1 dan B2 pada jaringan otot jantung, dimana pada pasien gagal
jantung mengalami pengurangan fungsi kontraksi dan pengurangan massa otot jantung.
Mnurut DIH, Vitamin B1 harus diberikan pada pasien gagal jantung sebelum solusi
glukosa parenteral untuk mencegah pengendapan pada gagal jantung.
7. Dalam uji CIBIS-II, Bisoprolol (beta-1 selective beta-blocker) sebagai terapi terbukti
dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien gagal jantung dengan tingkat
keparahan sedang (NYHA Kelas III-IV). Meskipun berdasarkan algoritma terapi gagal
jantung ACEI lebih dipilih sebagai first line therapy tetapi pada kasus Tn.SW mengalami
perbaikan kondisi dari pengobatan yang diberikan, sehingga Bisoprolol tetap menjadi
terapi utama untuk gagal jantung pasien. Adapun interaksi obat dengan Insulin tetapi
resiko terjadinya hipokalemia masih lebih kecil dibandingkan keuntungannya sehingga
terapi tetap dilanjutkan dan mengawasi kadar gula pasien apabila terjadi penurunan
drastis maka Bisoprolol dihentikan dan diganti dengan ACEI yaitu Kaptopril.
Pada pasien Tn.SW, mendapat bisoprolol 2,5mg x 1. Dosis ini masih dapat ditingkatkan
sampai menjadi 20 mg/hari secara bertahap untuk mencapai outcome klinik yang baik
dan dapat dilakukan monitoring terhadap tanda-tanda dan gejala CHF.
8. Spironolakton(antagonis aldosteron) digunakan sebagai kombinasi dalam terapi gagal
jantung sedang hingga berat dengan ACEI dan beta blocker. Menurut DIH, spironolacton
dapat digunakan untuk menangani udeme pada kasus gagal jantung kongestif. Pada gagal
jantung kongstif dapat dikombinasi dengan obat golongan loop diurtik. Dosis yang
disarankan pada pasin gagal jantung kongestif adalah spironolacton12,5-25 mg/hari,
dangan dosis harian maksimum 50mg/hari. Pemeliharaan dosis spironolacton serendah
mingkin (25 mg/hari) terbukti mampu mengurangi gejala dan mortalitas pasien gagal
jantung. Dosis yang digunakan adalah 25 mg x 2. Spironolakton dapat meningkatkan
kadar BUN sehingga monitoring fungsi ginjal perlu dilakukan.
9. Penggunaan Allopurinol pada pasien yang mendapat terapi furosemide (Lasix) tidak tepat
karena terjadi interaksi obat dimana furosemide dapat meningkatkan efek toksisitas
Allopurinol dalam darah. Pada pasien Tn.SW tidak ada tanda-tanda mengalami
hiperurisemia yang diindikasikan oleh gout sehingga penggunaan Allopurinol sebaiknya
dihentikan.
10. Glimepirid merupakan obat antidiabetes golongan sulfonilurea untuk diabetes mellitus
tipe 2 dengan mekanisme meningkatkan sekresi insulin dalam tubuh. Dosis yang
digunakan untuk pasien lansia 0,5-1 mg sekali sehari dan sebaiknya diminum sebelum
makan. Pengobatan diabetes mellitus untuk pasien ini tetap dilanjutkan karena tidak
ditemukan adverse drug reaction (ADR), tetapi pemantauan terhadap kadar gula darah
terus dilakukan untuk mencegah terjadinya hipoglikemia.
11. KSR terbukti pada uji RALES, pemberian suplemen kalium dihentikan bila pasien
mendapatkan terapi spironolakton kecuali pasien telah mengalami hipokalemia.
12. Actrapid merupakan larutan insulin dengan mekanisme kerja Short acting insulin dengan
onset 30 - 60 menit dan akan mencapai puncaknya pada 2-4 jam. Durasi kerja insulin ini
antara 6 8 jam. Insulin merupakan pengobatan yang cukup aman dan efektif untuk
pasien di rumah sakit.
13.
BAB 3 PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Terapi yang dilakukan sudah sesuai adapun diberikan suplemen tambahan yaitu
Calcium Lactate i.v 500mg sekali sehari dan tidak melebihi 0,5 sampai 2 mL/menit.
Pemberian vitamin D tambahan juga bisa dilakukan untuk membantu meningkatkan
penyerapan kalsium di saluran cerna. Pemberian sefriakson dan allupurinol dihentikan.

3.2 Saran
Ketika ditemukan adanya adverse drug reaction (ADR) sebaiknya dikonsultasikan
kembali dengan dokter yang merawat.
DAFTAR PUSTAKA

American Pharmacist Association. 2011. Drug Information Handbook A Comprehensive


Resource for all Clinicians and Healthcare Proffesionals. Lexicomp. USA.
BNF. 2009. British National Formulary 58. BMJ Group. Germany.
Dipiro, J.T., etal. 2008.Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach,Seventh Edition.
Mc-Graw Hill. USA.
Imaligy, E.U.2014. Gagal Jantung pada Geriatri.CDK-212.Vol. 41.No. 1. Bandung.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2015. Pedoman
TatalaksanaGagal Jantung. Indonesian Heart Association. Indonesia.

You might also like