You are on page 1of 21

I.

PENDAHULUAN

Sindrom Ovarium Polikistik (SOPK) merupakan kumpulan gejala


akibat gangguan endokrin metabolik yang meliputi gangguan siklus
menstruasi, hiperandrogenisme dan ovarium polikistik. SOPK menjadi
gangguan endokrin tersering pada wanita dengan prevalensi tertinggi pada
usia reproduksi. Angka prevalensi bergantung pula dari kriteria diagnostik
yang digunakan. Berdasarkan European Society of Human Reproduction and
Embriology / American Society for Reproductive Medicine ditemukan
prevalensi SOPK sebanyak 15-20%.Sedangkan angka insiden SOPK sebanyak
5-10% di belahan dunia.1-3

SOPK merupakan faktor penyebab utama infertilitas pada wanita.Sindrom


polikistik ovarium disebut juga Stein-Laventhal Syndrome setelah pertama kali
ditemukan oleh Stein dan Laventhal. Mereka menggambarkan kelainan
tersebut sebagai Sindrom Polikistik Ovarium, dengan gangguan reproduksi
sistemik, metabolik, dan gangguan psikologi. SOPK utamanya ditandai
dengan keadaan anovulasi dan hiperandrogenisme. Gambaran klinis ataupun
tingkat keparahan SOPK ditemukan bervariasi pada satu wanita dengan
wanita lainnya1-3

Penyebab dari SOPK hingga saat ini tidak diketahui secara pasti. Berbagai
sumber menjelaskan bahwa SOPK terjadi akibat interaksi kompleks antara
faktor genetik dan lingkungan. Dengan berkembangnya teknologi, fokus
penelitian untuk mencari penyebab terus berubah, dari faktor ovarium, aksis
hipotalamus-pituitari, hingga aktivitas insulin. Resistensi insulin diyakini
sebagai principal underlying etiologic factor. Hal ini juga dibuktikan dengan
tingginya angka kejadian resistensi insulin pada penderita SOPK. Selain itu,
SOPK berdampak lebih lanjut pada sistem endokrin, metabolik, dan
kardiovaskular. 2

1
II. TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI

Sindrom Ovarium Polikistik (SOPK) merupakan suatu gangguan


endokrin metabolik yang ditandai dengan ketidakseimbangan hormonal,
dengan manifestasi klinis berupa hiperandrogenisme dan berdampak pada
kesehatan wanita jangka pendek maupun jangka panjang.5

Berdasarkan kriteria NIH tahun 1990, SOPK didefinisikan sebagai disfungsi


ovulasi yang disertai dengan hiperandrogenisme secara klinis dan ataupun
biokimia, tanpa perlu mempertimbangkan gambaran ovarium pada
pemeriksaan ultrasonografi.6

2. EPIDEMIOLOGI

Studi epidemiologi menunjukkan bahwa 5%-10% wanita usia


reproduksi menderita SOPK. Berdasarkan studi analisa yang dilakukan
Vasanta Ramani dkk, ditemukan prevalensi SOPK sebanyak 6.39%, dengan
kelompok usia penderita SOPK 18-45 tahun. Dari 62 penderita SOPK, 41
penderita dengan rentang usia 18-28 tahun, 19 penderita dengan rentang usia
29-38 tahun, dan 2 penderita sisa terdapat pada rentang usia 39-45 tahun.
65.8% kasus SOPK lebih banyak ditemukan pada wanita yang telah menikah.1

3. ETIOLOGI

SOPK merupakan suatu gangguan endokrin, namun patofisiologi


terkait belum diketahui secara jelas. Kontribusi genetik dan lingkungan yang
dikombinasikan dengan adanya obesitas, disfungsi ovarium, dan hormonal
diduga berperan sebagai etiologi SOPK.4,8

Telah diketahui bahwa terdapat hubungan familial pada penderita SOPK.


Penelitian keluarga (familial studies) menunjukkan bahwa prevalensi SOPK
secara bermakna lebih tinggi pada anggota keluarga dibandingkan dengan

3
populasi umum. Meskipun demikian, hingga saat ini belum ditemukan pola
penurunan SOPK karena tidak adanya pola penurunan mendelian yang jelas
dan dasar genetik pada keadaan ini sangat rumit. 4

Resistensi insulin diyakini pula sebagai principal underlying etiologic factor.


Hal ini juga dibuktikan dengan tingginya angka kejadian resistensi insulin
pada penderita SOPK. 3

4. PATOFISIOLOGI

Anovulasi pada wanita dengan SOPK ditandai dengan sekresi


GnRH yang tidak tepat. Perubahan sekresi GnRH mengarahkan untuk
pengutamaan produksi Luteinizing Hormone (LH) dibanding Follicle-
Stimulating Hormone (FSH). Belum diketaui pasti penyebab terjadinya
disfungsi hipotalamus yang menjadi sebab utama dari SOPK, atau adanya
penyebab sekunder yang memperberat mekanisme umpan balik steroid yang
abnormal. Di sisi lain, serum LH meningkat, dan meningkatkan jumlah yang
androgem secara klinis pada 50% penderita wanita. Hal yang sama, rasio LH
dan FSH meningkat, yaitu melebihi dua kali lipat pada 60% pasien. 5,6

5
Gambar 1. Patofisiologi SOPK (Williams Gynaecology, 2008)

Gambar 2. Skema inisiasi dan mekanisme terjadinya SOPK


(Williams Gynaecology, 2008)

Resistensi Insulin

Wanita dengan SOPK menunjukkan resistensi insulin yang berat


dan kompensasi hiperinsulinemia dibanding wanita normal. Resistensi insulin
didefinisikan sebagai penurunan respon glukosa dengan pemberian sejumlah
insulin. Resistensi insulin dan hyperinsulinemia terjadi pada 50-75% penderita
SOPK. Penderita SOPK menunjukkan resistensi perifer yang serupa dengan
diabetes tipe 2. Resistensi insulin yang terjadi pada SOPK bersifat selektif,
artinya resisten pada beberapa jaringan (seperti pada jaringan otot), tetapi
sensitif pada jaringan lain (seperti adrenal dan ovarium). 5

Resistensi insulin dan hiperinsulinemia berperan terhadap terjadinya


hiperandrogenisme dan gangguan sekresi gonadotropin dengan cara:

1. Menurunkan kadar SHBG sehingga meningkatkan bioavaibilitas


testosteron.
2. Sebagai kofaktor stimulasi biosintesis androgen pada ovarium dan kelenjar
adrenal.

7
3. Meningkatkan potensi kerja LH sehingga bekerja secara sinergis untuk
meningkatkan produksi androgen.
4. Efek langsung pada hipotalamus dan kelenjar pituitary untuk mengatur
pelepasan gonadotropin (masih belum jelas mekanismenya).4

Selain itu, Resistensi insulin berkaitan dengan peningkatan berbagai gangguan


termasuk DM2, hipertensi, dyslipidemia, dan penyakit kardiovaskular. 5

Androgen

Baik insulin dan LH menstimulasi sel theca untuk memproduksi


androgen. Hasilnya, ovarium mensekresi testosterone dan androstenedione
dalam jumlah yang tinggi. Secara spesifik, peningkatan jumlah testosterone
terdapat pada 70-80% wanita dengan SOPK, dan 25-65% menunjukkan
peningkatan dari Dehidroepiandosterone Sulfat (DHEAS). Pada waktunya,
peningkatan androstenedione berkontribusi untuk meningkatkan estrogen
melalui konversi perifer dari androgen ke estrogen oleh aromatase. 5

Sex Hormone-Binding Globulin

Wanita dengan gejala SOPK memiliki Sex Hormone-Binding


Globulin (SHBG) yang rendah. Glikoprotein ini diproduksi di hati, dan
mengikat hampir seluruh dari steroid sex. Hanya sekitar 1% dari steroid
tersebut yang tidak berikatan dan bebas, serta memiliki bioavabilitas. Sintesis
SHBG ditekan oleh insulin, begitu juga androgen, kortikoid, progestin, dan
hormon pertumbuhan. Karena penekanan produksi SHBG tersebut, jumlah
pengikatan androgen di sirkulasi berkurang, dan lebih banyak sisanya tersedia
untuk berikatan pada reseptor end organ. Hal tersebut menjadi alasan bahwa
beberapa wanita dengan SOPK akan memiliki testosterone total normal,
namun dinilai hiperandrogenik secara klinis akibat peningkatan jumlah
testosterone bebas. 5,6

9
Anovulasi

Jumlah androgen penderita SOPK umumnya meningkat,


sedangkan jumlah progesterone ditemukan rendah akibat anovulasi.
Mekanisme tepat yang menyebabkan terjadinya anovulasi hingga saat ini
masih belum jelas, namun hipersekresi LH diketahui berakibat pada siklus
menstruasi yang tidak teratur. Anovulasi dapat menyebabkan resistensi insulin,
dengan ditemukannya jumlah berarti dari pasien anovulasi dengan SOPK akan
memulai kembali siklus ovulasinya ketika diterapi dengan metformin, obat
yang meningkatkan sensitasi insulin. Pada akhirnya, kesatuan folikel antral
besar akan mengalami anovulasi. Beberapa pasien dengan riwayat reseksi
ovarium, dan pasien dilakukan laparoskopi ovarium, ditemukan adanya
perbaikan siklus menstruasi yang signifikan. Satu penelitian menunjukkan
bahwa 67% dari pasien SOPK mangalami menstruasi yang regular setelah
operasi dibandingkan dengan 8% yang telah operasi lebih dahulu.5,6

5. TANDA DAN GEJALA

Manifestasi Klinis SOPK


Jangka Pendek
1. Menstruasi tidak teratur
2. Hirsutisme/ akne/ alopecia androgenic
3. Infertilitas
4. Obesitas
5. Gangguan metabolik
6. Kadar lipid yang abnormal/ intoleransi glukosa
Jangka Panjang
1. Diabetes mellitus
2. Penyakit serebrovaskular (CVD)
3. Karsinoma endometrium
Tabel 1. Gejala yang ditimbulkan pada SOPK.
Disfungsi menstruasi
Disfungsi menstruasi pada wanita SOPK dapat meliputi
oligomenore hingga amenore, selain itu dapat pula terjadi menometroragia
episodik disertai anemia. Paparan estrogen yang kronik menyebabkan
stimulasi mitogenik yang konstan pada endometrium. Ketidakstabilan

11
penebalan endometrium berakibat pada pola peluruhan endometrium yang
tidak menentu.5,6
Secara khusus, oligomenore (siklus menstruasi di bawah delapan
kali dalam setahun) atau amenore (tidak mengalami menstruasi dalam tiga
atau lebih bulan) pada SOPK dimulai dengan menarke. Bagaimanapun juga,
50% wanita pasca menarke memiliki siklus yang tidak teratur, dapat
berlangsung selama 2 tahun akibat imaturitas aksis hipotalamus-pituitari-
ovarium. 5,6

Hiperandrogenisme

- Hirsutisme
Lebih dari 80% wanita yang menunjukkan gejala hiperandrogenisme
menderita SOPK. Hirsutisme merupakan gambaran klinis umum dari
hiperandrogenisme yang tampak pada 70% penderita SOPK. Hirsutisme dapat
dinilai dengan menggunakan sistem penilaian modifikasi Ferriman-Gallwey.
Metode tersebut digunakan untuk mengevaluasi pertumbuhan rambut yang
terdapat pada tujuh tempat: bibir atas, pipi atau wajah, dada, punggung,
tangan, dan paha. Nilai 0 diberikan jika tidak terdapat pertumbuhan rambut,
dan nilai 4 untuk pertumbuhan rambut yang panjang. Jerawat dapat menjadi
suatu tanda adanya hiperandrogenisme, namun prevalensi jarang ditemukan
pada SOPK dan kurang spesifik dibandingkan dengan hirsutisme. 2,5

Gambar 3. Hirsutisme pada penderita SOPK

13
(Williams Gynaecology, 2008)

Gambar 4. Skoring wanita dengan hirsutisme dengan Ferriman-Gallwey scoring


(Williams Gynaecology, 2008)

- Akne
Akne vulgaris merupakan temuan klinis tersering yang ditemukan pada
remaja. Bagaimanapun juga, akne yang timbul secara persisten maupun onset
lambat perlu dicurigai adanya SOPK. 5,6

Gangguan Endokrin Lain

- Resistensi Insulin
Akantosis nigrikans ditandai dengan adanya penebalan kulit, berwarna
abu-abu kecoklatan yang tampak pada area fleksor seperti area belakang leher,
axilla, lipatan bawah mammae, pinggang, dan inguinal. Akantosis nigrikans
merupakan tanda dari resistensi insulin yang dapat ditemukan pada individu
dengan atau tanpa SOPK. Resistensi insulin menyebabkan hyperinsulinemia,
yang kemudian menstimulasi pertumbuhan keratinosit dan fibroblast kulit.

15
Akantosis nigrikans lebih sering ditemukan pada wanita SOPK disertai
obesitas (insiden 50%) dibandingkan dengan wanita SOPK dengan berat
badan yang normal (insiden 5-10%).5,7

Gambar 5. Akantosis nigrikans pada area belakang leher


(Williams Gynaecology, 2008)

- Toleransi Glukosa Terganggu dan Diabetes Mellitus Tipe 2

Wanita dengan SOPK memiliki risiko tinggi toleransi glukosa terganggu


dan DM tipe 2. Berdasarkan tes toleransi glukosa pada wanita obesitas dengan
SOPK, ditemukan prevalensi masing-masing sebanyak 30% dan 7%. 5,7

- Dislipidemia
Dislipidemia dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular pada
penderita SOPK secara independen melalui peningkatan jumlah kolesterol.
Berdasarkan kriteria National Cholesterol Education Program, prevalensi
dislipidemia pada SOPK sebanyak 70%. (Legro, 2001; Talbott 1998).5,7

Obesitas
Dibandingkan dengan kontrol usianya, penderita SOPK cenderung
mengalami obesitas, yang ditunjukkan dengan peningkatan indeks massa

17
tubuh (IMT) dan perbandingan rasio pinggang dan pinggul. Rasio tersebut
umumnya menunjukkan obesitas tipe sentral ataupun tipe android, yang
sekaligus merupakan faktor risiko independen terjadinya penyakit
kardiovaskular. Sehingga obesitas memiliki dampak sinergis pada SOPK dan
dapat memperburuk disfungsi ovulasi, hiperandrogenisme, dan tampilan
akantosis nigrikans. 5,7

Gambar 6. Obesitas
sentral menyerupai
bentuk apel dan pear
(Williams
Gynaecology, 2008)
Obstructive Sleep
Apneu

Obstructive Sleep Apneu cukup banyak ditemukan pada wanita penderita


SOPK. Hal tersebut berkaitan dengan obesitas sentral dan resistensi insulin.
Beberapa peneliti telah membuktikan bahwa OSA terjadi 30-40 kali lipat lebih
tinggi pada penderita SOPK dibandingkan dengan wanita dengan berat badan
normal. 5,7

Sindrom Metabolik dan Penyakit Kardiovaskular

Sindrom metabolik ditandai dengan adanya resistensi insulin, obesitas


sentral, dislipidemia aterogenik, dan hipertensi. Sindorm metabolik terkait
pula dengan risiko penyakit kardiovaskular (CVD) dan DM tipe 2. Prevalensi
sindrom metabolik pada wanita penderita SOPK yaitu sekitar 45%. 8

Neoplasia

19
Pada penderita SOPK ditemukan risiko tiga kali lipat terjadinya kanker
endometrium. Hiperplasia endometrium dan kanker endometrium merupakan
risiko jangka panjang dari anovulasi kronik, perubahan neoplastik pada
endometrium terbentuk akibat paparan estrogen kronik. 5,8

Infertilitas

Infertilitas berdampak pada 40% wanita dengan SOPK. SOPK merupakan


penyebab tersering dari anovulasi infertilitas. Sekitar 90-95% wanita
anovulasi dengan klinis menunjukkan infertilitas merupakan penderita SOPK.
Wanita dengan SOPK memiliki folikel primordial normal, dan folikel primer
maupun sekunder yang meningkat. Namun, akibat kekacauan pada faktor yang
terlibat pada pembentukan folikel normal, pertumbuhan folikel terhenti ketika
mencapai diameter 4-8mm. Dan sebab tidak terbentuknya suatu folikel yang
dominan, maka ovulasi tidak dapat terjadi.5

21
6. DIAGNOSIS

SOPK adalah sindrom klinis yang hingga saat ini belum ada
kriteria tunggal yang cukup untuk mendiagnosis penyakit ini. Saat ini, kriteria
diagnosis SOPK yang digunakan secara luas adalah Kriteria Rotterdam 2003.5

Kriteria Oligoovulasi atau anovulasi


Hiperandrogenisme, baik secara
klinis maupun biokimiawi
Gambaran ovarium polikistik pada
pemeriksaan ultrasonografi
Untuk mendiagnosis SOPK dibutuhkan minimal 2 dari 3 kriteria tersebut
dan tidak ditemukannya kelainan-kelainan endokrinologis lainnya, seperti
congenital adrenal hyperplasia (CAH), hiperprolaktinemia, kelainan
kelenjar tiroid, ataupun tumor yang menghasilkan hormone androgen.

Tabel 2. Kriteria Rotterdam 2003

Berdasarkan kriteria diagnosis tersebut, SOPK dapat dibagi menjadi 4 fenotip.


Fenotip tersering adalah klasik tipe I, sedangkan di RS. Cipto Mangunkusumo
Jakarta, fenotip tersering adalah SOPK normoandrogenik.4,8

Fenotip A HA PCO
Klasik Tipe I + + +
Klasik Tipe II + + -
SOPK berovulasi - + +
SOPK
+ - +
normoandrogenik

Tabel 3. Fenotip SOPK

Oligoovulasi atau anovulasi

Pemeriksaan awal perempuan dengan gejala ini adalah kadar FSH dan E2
serum untuk mengeksklusi hipogonadisme hipogonadotropik (gangguan
sentral) dan premature ovarian failure. SOPK termasuk pada kategori
anovulasi normogonadotropik normoestrogenik (Kelas 2 WHO). Meskipun
demikian, perlu diingat bahwa kadar LH serum pasien SOPK seringkali
meningkat.5,9

23
Hiperandrogenisme

- Hiperandrogenisme Klinis

Mencakup hirsutisme, akne, alopesia androgenic, dan tanda-tanda lain yang


tidak terbatas pada gejala yang disebutkan sebelumnya. Penilaian hirsutisme
dilakukan dengan menggunakan skor Ferriman-Galwey yang dimodifikasi
(mFG).5,7

- Hiperandrogenisme Biokimiawi

Tanda biokimiawi hiperandrogenisme adalah peningkatan kadar androgen di


sirkulasi. Androgen terpenting yang biasanya digunakan untuk diagnosis
adalah testosterone. Androgen lain yang meningkat mencakup
androstenedione, DHEA, dan DHEAS. Di antara androgen tersebut, yang
lebih sensitif untuk mendiagnosis hiperandrogenisme adalah testosterone
bebas ( free T) atau free androgen index (FAI). Metode yang dianjurkan adalah
dengan dialisis ekuibilirium, pemeriksaan free T dari SHBG dan total T, atau
presipitasi ammonium sulfat. Pemeriksaan langsung (direct assay) free T tidak
akurat. Pemeriksaan total T tidak sensitive untuk menilai kelebihan androgen
sebab sebagian T akan diubah menjadi DHT yang lebih poten.5

Untuk kepentingan klinis, biasanya hirsutisme sudah merupakan tanda


hiperandrogenisme yang jelas dan pemeriksaan testosterone biasanya tidak
dibutuhkan. Pemeriksaan testosteron bebas umumnya digunakan untuk
kepentingan penelitian klinis. 5,8

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Pemeriksaan Ultrasonografi

Pemeriksaan sonografi pelvis akan sangat mendukung untuk menegakkan


diagnose SOPK. Jumlah folikel dan volume ovarium penting dalam
pemeriksaan sonografi. Adam dkk menetapkan kriteria SOPK secara sonografi
adalah dengan adanya kista folikel >10 buah, dengan diameter 2-8 mm dengan
stroma yang tebal. Jonard dkk mengajukan kriteria SOPK secara sonografi
dengan adanya peningkatan luas ovarium (>5,5cm2) atau dengan volume

25
ocarium >11 ml dan/ atau adanya folikel 12 buah dengan diameter 2-9mm.
Kriteria yang diajukan oleh Jonard dkk ini memiliki spesifisitas 99% dan
senditivitas 75% untuk mendiagnosa SOPK secara sonografi.2,4,5

Gambar 7. Ultrasonografi ovarium penderita SOPK

- Pemeriksaan Hormonal

Pemeriksaan hormonal pada penderita SOPK memperlihatkan beberapa


kelainan endokrin. Beberapa hormon yang perlu diperiksa:

1. Nisbah Luteinizing Hormon/ Follicle Stimulating Hormone. ( SOPK 2,0)


2. 17-Hydroxyprogesterone. ( SOPK 200 ng/dl)
3. Testosteron. ( SOPK 150 ng/dl)
4. Dehydroepiandrosterone-Sulfat (DHEAS)
5. Kadar gula darah puasa/ rasio insulin
( < 7,0 resistensi insulin dewasa, <4,5 SOPK dengan obesitas dan
euglikemia) 2,4,5

8. PENATALAKSANAAN

Setelah SOPK didiagnosa dan penyebab hiperandrogenisme lainnya telah


disingkirkan, maka dapat dilakukan penatalaksanaan untuk SOPK. Tujuan
terapi SOPK antara lain:5,10,11

a. Mengatasi gejala dan tanda hiperandrogenisme.


b. Mengembalikan siklus haid menjadi normal.
c. Memperbaiki fertilitas

27
d. Mengatasi gangguan metabolism yang terjadi

Pendekatan terapi SOPK dewasa ini dilakukan dengan 3 macam cara:

I. Non farmakologi
II. Farmakologi
III. Operatif

Non Farmakologi10,11

1. Perubahan Gaya Hidup

Wanita dengan SOPK umumnya memiliki badan lebih gemuk


dibandingkan dengan wanita normalnya. Peningkatan berat badan yang
berlebihan meningkatkan risiko terjadinya SOPK dan memperberat gejala
klinis yang dipengaruhi oleh jumlah peningkatan jumlah androgen maupun
insulin.

Pengaturan gaya hidup (diet, olahraga, maupun intervensi prilaku) untuk


menurunkan berat badan, dan mencegah bertambahnya berat badan, atau
menjaga kesehatan tubuh merupakan terapi lini pertama pada SOPK. Hal
tersebut dijadikan langkah awal dalam penanganan penderita SOPK dengan
obesitas (IMT 25 kg/m2). Ditemukan jumlah yang bermakna dari sejumlah
kecil percobaan yang menggambarkan bahwa penurunan berat badan dengan
pengaturan gaya hidup dapat menurunkan jumlah lemak dinding perut,
hiperandrogenisme, dan resistensi insulin, serta dapat memperbaiki profil
lipid, ovulasi, siklus menstruasi, fertilitas, risiko DM2, CVD, dan kesehatan
psikologis penderita SOPK yang mengalami obesitas. Oleh sebab itu, pada
penderita SOPK dan penderita berat badan lebih, penurunan berat badan
sebanyak 5% telah menunjukkan hasil yang lebih baik.

Penurunan berat badan akan memberikan pengaruh kadar hormone dalam


sirkulasi. Suatu penelitian menerangkan pada 6 orang penderita SOPK yang
mengalami penurunan berat badan rata-rata sebesar 16.2 kg akan

29
menyebabkan penurunan kadar testosterone, dan 4 orang diantaranya terjadi
ovulasi.

Intervensi gizi yang dilakukan untuk menurunkan berat badan adalah


pengurangan jumlah kalori sebesar 500-1000 kkal/hari dengan komposisi
seimbang dan disertai peningkatan asupan serat. Komposisi makanan
seimbang yang dimaksud adalah 50% karbohidrat, 20% protein, dan 30%
lemak. Asupan lemak tersebut juga dibagi 10% lemak jenuh dan 10%
polyunsaturated, dan 10% lemak monosaturated.

Latihan olah raga bagi pasien mengikuti kaidah FITT (frequency, intensity,
time, type). Jenis (type) olah raga yang sebaiknya dilakukan adalah olahraga
dengan intensitas sedang, seperti jalan cepat, lari, berenang, bersepeda, dan
latihan senam aerobik. Durasi (time) latihan minimal selama 30 menit. Untuk
menurunkan berat badan, frekuensi olah raga yang dianjurkan adalah 3-5 kali/
minggu.

Farmakologi10,11

Stimulasi ovarium secara farmakologis atau bantuan fertilisasi sebaiknya


tidak diberikan pada wanita obesitas dengan IMT 35 kg/m2, kecuali
penurunan berat badan yang sesuai telah dilakukan, berdasarkan rekomendasi
Royal Australian and New Zealand College of Obstetricians and
Gynaecologist. Dengan pengaturan gaya hidup sebagai langkah awal
penanganan penderita SOPK yang mengalami obesitas, terapi awal infertilitas
dapat diberikan pada perawatan primer.

a. KlomifenSitrat
Klomifen sitrat merupakan modulator reseptor estrogen selektif
yang dapat bersifat estrogenik maupun antiestrogenik. Bekerja
menghambat reseptor estradiol berikatan di hipothalamus dan hipofisis,
memblokade umpan balik negatif.
Klomifen sitrat merupakan terapi pilihan untuk induksi ovulasi dan
mengembalikan fungsi fertilisasi. Pada keadaan hiperandrogenisme wanita

31
yang mengalami anovulasi, klomifen sitrat dilaporkan meningkatkan
frekuensi siklus ovulasi hingga 80% dengan rata-rata terjadi kehamilan
67%. Dosis yang diberikan 50 mg, satu kali pemberian perhari dengan
dosis maksimal perhari dapat ditingkatkan menjadi 200 mg. (9)Standar
pemberian 150 mg/hari, jika tidak terjadi ovulasi, maka terjadi resistensi
klomifen sitrat.

b. Kontrasepsi oral
Tujuan pemakaian obat ini adalah untuk menurunkan produksi
steroid ovarium dan produksi androgen adrenal, meningkatkan SHBG,
menormalkan rasio gonadotropin dan menurunkan konsentrasi total
testosterone dan androstenedione di dalam sirkulasi.
Mengembalikan siklus haid yang normal, sehingga dapat
mencegah terjadinya hiperplasia endometrium dan kanker endometrium.
Medroxyprogesteron asetat dapat dijadikan sebagai terapi untuk
menghilangkan gejala hirsutisme. Dosis 150 mg intramuskular setiap 6
minggu selama 3 bulan atau 20-40 mg perhari.

c. Antiandrogen
Fungsi kerja antiandrogen adalah untuk menurunkan produksi
testosterone maupun untuk mengurangi kerja dari testosteron. Beberapa
antiandrogen yang tersedia, diantaranya adalah cyproteron acetat,
flutamide, dan finastride.

d. GnRH agonis
GnRh sering digunakan sebagai langkah kedua penanganan ovulasi
SOPK dengan resistensi clomifene citrat, namun dapat meningkatkan
risiko kehamilan ganda dan sindrom stimulasi ovarium berlebihan.
Pemberiannya terapi tersebut dilakukan oleh perawatan spesialis.
Pemberian GnRh agonis akan memperbaiki denyut sekresi LH
sehingga luteinisasi premature dari folikel dapat dicegah dan dapat
memperbaiki rasio FSH/LH.

e. Metformin

33
Bertujuan untuk menekan aktivitas sitokrom P450C-17 ovarium,
yang akan menurunkan kadar androgen, LH dan hiperinsulinemia.
Diberikan dosis 500 mg, tiga kali pemberian perhari selama tiga puluh
hari.

Operatif10,11

Terapi pembedahan dilakukan pada kasus infertilitas akibat SOPK


yang tidak dapat mengalami ovulasi setelah pemberian terapi
medikamentosa.

Laparoscopic Ovarian Drilling (LOD)

ESHRE dan ASRM mempertimbangakn GnRh dan LOD menjadi


langkah kedua dalam penanganan SOPKuntuk menginduksi terjadinya
ovulasi. GnRh terapi noninvasif, dan merupakan terapi rujukan pada
wanita yang menolak terapi bedah. Sedangkan LOD merupakan terapi
rujukan ketika pasien memiliki indikasi lain untuk bedah, atau ketika
pasien tidak sanggup melakukan kontrol kunjungan selama terapi
GnRh.

LOD menggunakan laser elektrokauter untuk membuat empat hingga


sepuluh lubang pada permukaan dan stroma ovarium. Terapi ini
diindikasikan untuk menangani infertilitas pada SOPK yang resisten
dengan clomifene.

9. KOMPLIKASI JANGKA PANJANG SOPK 2,4,5,9

SOPK memiliki komplikasi jangka panjang baik pada sistem reproduksi


maupun kesehatan secara umumnya. Gangguan SOPK dapat diketahui pada
usia dini namun bersifat kronik sehingga komplikasi dari penyakit ini baru
dapat dijumpai setelah beberapa tahun.

a. Kanker Endometrium

35
Perempuan dengan SOPK memiliki faktor risiko untuk terjadinya kanker
endometrium. Hal ini dibuktikan dengan siklus anovulasi dimana terdapat
paparan dari estrogen yang terus menerus tanpa ada paparan progesterone di
endometrium. Hasil metanalisis dari 5 penelitian yang membandingkan
hubungan antara SOPK dengan kanker endometrium menunjukkan bahwa
risiko kanker endometrium meningkat hingga tiga kali pada penderita SOPK.

b. Sindrom Metabolik

Meskipun sejumlah besar populasi SOPK memiliki sindrom metabolic


(30-40% dari polpulasi), sebagian diantaranya tidak. Resistensi insulin juga
berkaitan dengan peningkatan progresif risiko dan terjadinya gangguan
kardiovaskular, meskipun masih terjadi perdebatan mengenai pernyataan
tersebut.

Pada pasien SOPK sendiri, secara keseluruhan terdapat kecenderungan


sebanyak 2 kali untuk terjadinya diabetes mellitus di kemudian hari, dan
peluang ini meningkat hingga 4 kali lipat pada perempuan SOPK dengan
obesitas. Bila terus berlangsung, maka risiko dapat meningkat hingga 7 kali
lipat.Pembentukan aterosklerosis dini cenderung terjadi pada pasien SOPK
dibandingkan non SOPK yang berakibat pada munculnya gangguan
kardiovaskular. Hal itu terkait dengan gangguan metabolik pada SOPK yang
sering dijumpai, yaitu dyslipidemia, resistensi insulin, diabetes, dan obesitas.

37
III. KESIMPULAN

Sindroma ovarium polikistik (SOPK) merupakan kelainan kompleks endokrin


dan metabolik yang ditandai dengan adanya oligoovulasi atau anovulasi kronik,
hiperandrogenisme dan ovarium polikistik.
SOPK menjadi gangguan endokrin tersering pada wanita dengan prevalensi
tertinggi pada usia reproduksi, serta menjadi penyebab terbanyak infertilitas
pada wanita.
Beberapa hal yang diduga menjadi etiologi SOPK antara lain, resistensi insulin,
kontribusi genetik dan lingkungan yang dikombinasikan dengan obesitas,
disfungsi ovarium, dan hormonal.
Tanda dan gejala SOPK meliputi gangguan jangka pendek seperti menstruasi
tidak teratur, hiperandrogenisme (hirsutisme/ akne/ alopesia androgenik),
infertilitas, obesitas, dan gangguan metabolik. Selain itu, SOPK dapat
menyebabkan gangguan jangka panjang sepertidiabetes mellitus tipe 2,
penyakit kardiovaskular, dan juga kanker endometrium.

Penatalaksanaan SOPK terdiri dari nonmedikamentosa (peruahan gaya hidup


seperti diet, olahraga, maupun kombinasi keduanya), medikamentosa(klomifen
sitrat, kontrasepsi oral, antiandrogen, metformin, dan GnRH analog) dan
operatif (Laparoscopic Ovarian Drilling (LOD)

39
IV. DAFTAR PUSTAKA

1. Santoro NF, Neal-Perry G, editors. Amenorrhea: A case-based clinical guide.


Humana Press: New York; 2010. Chapter 4, Polycystic ovary syndrome; P.45-51
2. Speroff L, Fritz AM, editors. Clinical gynecologic endocrinology and infertility.
Philladelphia, USA; 2011. Chapter 12, Chronic anovulation and the polycystic
ovary syndrome; P.495-565
3. Simon A, Chang WY, Decherney HA. Current diagnosis and treatment obstetrics
& gynecology. New York; 2013. Section VII, Reproductive endocrinology &
infertility; P. 879-910
4. Dunaif A, Chang R, Franks S, editors. Polycystic ovary syndrome current
controversies, from the cvary to the pancreas. Humana Press: New York; 2008
5. Schorge, Schaffer, Halvorson, Hoffman, Bradshaw, Cunningham. Williams
gynecology. Reproductive endocrinology, infertility, and menopause. The
McGraw-Hill Companies: China: 2008. Chapter 17, Polycystic ovarian
syndrome and hyperandrogenism; P. 779-805
6. Sirmans SM, Pate KA. Epidemiologi, diagnosis, and management of polycystic
ovary syndrome. Dovepress: Los Angeles; 2013
7. Pasquali R, Victorin ES, Yildiz OB, Duleba AJ, Hoeger K, Mason H, et al. PCOS
Forum: Research in polycystic ovary syndrome today and tommorow. NIH
Public Acces: Pennsylvania; 2011
8. Hayek S, Hbitar L, Hamdar SH, Mirza F, Daod G. Polycystic ovarian syndrome:
An updated overview. Frontier in Physiology: New York; 2106
9. Legro RS, Bates GW. Longterm management of Polycystic Ovarian Syndrome.
HHS Public Acces: Biringham; 2013
10. Teede P, Misso, Stuckey B. Assesment and management of polycystic ovary
syndrome: Summary of an evidence-based guidlines. MJA; 2011
11. Hadibroto, BR. Sindroma ovarium polikistik. FK Universitas Sumatera Utara;
2005

41

You might also like