Professional Documents
Culture Documents
Disusun Oleh
FAKULTAS FARMASI
2017
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan pada Tuhan Yang Maha Esa atas pertolongan dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan LaporanPraktek Kerja Profesi
Apoteker (PKPA) di Rumah Sakit Umum Persahabatan Jakarta Timur. PKPA ini
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelarApoteker di Universitas 17
Agustus 1945, agar setiap calon Apoteker mendapatkan pengetahuan dan gambaran
yang jelas mengenai peran apoteker di Rumah Sakit Ucapan terima kasih tak
terhingga disampaikan kepada Ibu Tri Kusumaeni, S.Si. M.Pharm,Apt. sebagai
pembimbing di Rumah Sakit Umum Persahabatan dan Ibu Jenny Pontoan,
M.Farm.,Apt. sebagai pembimbing di Universitas 17 Agustus 1945 yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan dukungan moril serta saran
selama pelaksanaan PKPA di Rumah Sakit Umum Persahabatan Periode September
Oktober 2016.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kami sampaikan kepada :
1. Bapak Dr. Hasan Rachmat, M.DEA., Apt selaku Dekan Farmasi
Universitas 17 Agustus 1945.
2. Ibu Okpri Meila, M.Farm., Apt Apt selaku Ketua Program Studi Profesi
Apoteker Universitas 17 Agustus 1945.
3. Seluruh pegawai Rumah Sakit Umum Persahabatan yang telah membantu
PKPA selama di rumah sakit.
4. Seluruh staf pengajar Program Profesi Apoteker Universitas 17 Agustus
1945.
5. Kedua Orang Tua tercinta, kakak, adik, serta keluarga atas doa, kesabaran,
bimbingan, dukungan moral, materi, serta kasih sayang.
6. Teman-teman Mahasiswa/i Apoteker angkatan XXXVI serta semua pihak
yang telah memberikan segala bantuan dalam penyusunan laporan PKPA
ini.
7. Seluruh pihak yang telah banyak membantu penyusun dalam penulisan
Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Departemen Farmasi Rumah
Sakit Umum Persahabatan. Kami menyadari bahwa laporan ini. masih
ii
jauh dari sempurna, oleh karena itu diperlukan kritik dan saran dari
pembaca yang membangun demi penyempurnaan laporan ini. Semoga
laporan ini dapat mem berikan manfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya
dunia kefarmasian.
Penyusun
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang disebabkan
oleh mikroorganisme (bakteri, jamur, parasit), tidak termasuk Mycobacterium
tuberculosis. Salah satu kelompok berisiko tinggi untuk pneumonia komunitas
adalah usia lanjut dengan usia 65 tahun atau lebih (American Lung Association,
2015). Usia lanjut dengan pneumonia komunitas memiliki derajat keparahan
penyakit yang tinggi, bahkan dapat mengakibatkan kematian (PDPI, 2014; American
Lung Association, 2015).
Kejadian pneumonia cukup tinggi di dunia, yaitu sekitar 15% - 20% . Pada
usia lanjut angka kejadian pneumonia mencapai 25 - 44 kasus per 1000 penduduk
setiap tahun. Insiden pneumonia komunitas akan semakin meningkat seiring dengan
pertambahan usia, dengan 81,2% kasus terjadi pada usia lanjut . Penderita
pneumonia komunitas usia lanjut memiliki kemungkinan lima kali lebih banyak
untuk rawat inap dibandingkan dengan penderita pneumonia komunitas usia dewasa.
Pneumonia merupakan penyebab kematian nomor lima pada usia lanjut.
Data dari The National Hospital Discharge Survey di amerika serikat
menunjukan bahwa diantara tahun 1990 hingga 2002 terdapat 21, 4 juta orang
berumur lebih dari 65 tahun dir awat di rumah sakit. 48% dirawat akibat penyakit
infeksi dan 46% dari penyakit infeksi tersebut penyebabnya adalah infeksi saluran
napas bawah (ISNB). Kematian yang diakibatkan oleh ISNB dilaporkan berjumlah
48%. Pneumonia dan influenza terdaftar sebagai urutan ke 6 dari penyebab utama
kematian, dan sekitar 70% kasus pneumonia di rumah sakit terjadi pada lansia. Rata-
rata kasus rawat inap akibat pneumonia adalah 23,1 per 1000 pada pria berusia 75-
84 tahun dan 13,3 pr 1000 pada perempuan berumur 75-84 tahun. Usia lanjut
merupakan risiko tinggi untuk pneumonia, hal ini juga tergantung pada keadaan
pejamu dan berdasarkan tempat mereka berada. Pada orang-orang yang tinggal di
rumah sendiri insidens pneumonia berkisar antara 25-44 per 1000 orang dan yang
1
tinggal di tempat perawatan 68-114 per 1000 orang. Di rumah sakit pneumonia usia
lanjut insidensnya tiga kali lebih besar daripada penderita usia muda. Pneumonia
komunitas adalah penyebab utama kesakitan dan kematian pada lansia. Studi
epidemiologi telah menunjukan insiden dari pneumonia meningkat bersamaan
dengan bertambahnya umur, dengan risiko enam kali lebih tinggi pada pasie dengan
usia 75 tahun dibandingkan dengan mereka yang berusia < 60 tahun. Rata-rata
angka kematian pada pasien dengan pneumonia komunitas yang membutuhkan
perawatan dirumah sakit adalah sekitar 6-15%. Sedangkan pasien yang memerlukan
perawatan di Intensive Care Unit (ICU) memiliki rata-rata angka kematian yang
berkisar antara 45-57% (Halter JB, 2009).
Di Indonesia, prevalensi kejadian pneumonia pada tahun 2013 sebesar 4,5%
(Kementerian Kesehatan RI, 2013). Selain itu, pneumonia merupakan salah satu dari
10 besar penyakit rawat inap di rumah sakit, dengan proporsi kasus 53,95% laki-laki
dan 46,05% perempuan. Pneumonia memiliki tingkat crude fatality rate (CFR) yang
tinggi, yaitu 7,6% (PDPI, 2014). Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2013, prevalensi pneumonia pada usia lanjut mencapai 15,5%
(Kementerian Kesehatan RI, 2013).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PNEUMONIA
Pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang disebabkan
oleh mikroorganisme (bakteri, jamur, parasit), tidak termasuk Mycobacterium
tuberculosis. Pneumonia dapat menjadi salah satu masalah kesehatan utama pada
geriatri. Proses penuaan sistem organ (di antaranya sistem respirasi, sistem imun,
sistem pencernaan) dan faktor komorbid banyak berperan pada peningkatan
frekuensi dan keparahan pneumonia pasien geriatri. Karakteristik dominan
pneumonia pada pasien geriatri adalah presentasi klinisnya yang khas, yaitu jatuh
dan bingung, sedangkan gejala klasik pneumonia sering tidak didapatkan. masuk
dalam lima besar penyebab kematian terkait infeksi. Angka kejadian tahunan
pneumonia pada pasien geriatri diperkirakan mencapai 2544 kasus per 1000
penduduk. Sejumlah faktor meningkatkan risiko infeksi pada pasien geriatri;
interaksi antara factor-faktor risiko berupa komorbiditas, imunitas yang melemah
dan faktor usia sangat kompleks.10 Perubahan anatomi fisiologi akibat proses
penuaan memberi konsekuensi penting terhadap cadangan fungsional paru,
kemampuan untuk mengatasi penurunan komplians paru dan peningkatan resistensi
saluran napas terhadap infeksi. Sekali mikroorganisme patogen berada di alveolus,
akan dilepaskan mediator pro inflamasi dan respons inflamasi terpicu sehingga
menimbulkan manifestasi klinis (CDK-212/ Vol. 40)
1. Etiologi Pneumonia
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu
bakteri, virus, jamur dan protozoa. Dari kepustakaan pneumonia komuniti yang
diderita oleh masyarakat luar negeri banyak disebabkan bakteri Gram positif,
Sedangkan pneumonia di rumah sakit banyak disebabkan bakteri Gram negatif
dan pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhir-akhir ini
laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang
3
ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri
Gram negative (PDPI, Pneumonia Komuniti).
2. Patofisiologi Pneumonia
Mekanisme patogenesis dalam penyakit pneumonia berawal dari
terhirupnya droplet bakteri. Aspirasi oropharingeal atau lambung dapat
menginfeksi pasien dengan penyakit neuromuscular, stroke atau kejang. Setelah
bakteri mencapai pohon trakeobronkial, pertahanan paru lokal menurun dan
menyebabkan infeksi. Kemudian clearance mukosiliar menjadi tertekan atau
terhambat dan epitel bronkial menjadi terluka dipicu oleh mediator inflamasi
dalam proses patogenik. Hal tersebut menyebabkan pengurangan kemotaksis
granulosit, leukopenia, disfungsi makrofag alveolar serta menjadikan produksi
antibodi berkurang (Koda Kimble).
Pertambahan usia, ditambah dengan faktor lingkungan, menyebabkan
perubahan anatomi fisiologi tubuh. Pada tingkat awal, mungkin merupakan
homeostasis normal, kemudian berkelanjutan dan mengarah pada reaksi adaptasi
yang merupakan proses homeostasis abnormal. Tahap paling akhir terjadi
kematian sel. Salah satu sistem organ yang mengalami perubahan anatomi
fisiologi adalah sistem pernapasan. Pasien geriatri lebih mudah terinfeksi
pneumonia karena adanya gangguan reeks muntah, melemahnya imunitas,
gangguan respons pengaturan suhu dan berbagai derajat kelainan
kardiopulmoner. Kelainan sistem saraf pusat dan refleks muntah juga turut
berperan mengakibatkan pneumonia aspirasi. Selain itu, kelainan
kardiopulmoner secara langsung mempengaruhi penurunan fungsi jantung dan
paru. Gangguan respons pengaturan suhu terkait proses penuaan meliputi
gangguan respons simpatoneural - vasomotor yang terjadi bersama gangguan
produksi panas tubuh dan gangguan persepsi suhu. Selain itu suhu basal tubuh
pada lanjut usia lebih rendah dibanding pada dewasa muda.Sistem imunitas
humoral tergantung pada keutuhan fungsi limfosit B. Pasien geriatri memiliki
banyak gangguan sistemik yang dapat mengganggu fungsi limfosit B sehingga
menurunkan produksi antibodi. Gangguan ini juga menjadi faktor predisposisi
infeksi mikroorganisme patogen yang merupakan penyebab umum pneumonia
4
bakterial. Sekali mikroorganisme patogen berada di alveolus, mediator proinl
amasi akan dilepaskan dan respons inl amasi terpicu sehingga menimbulkan
manifestasi klinis.
Ditinjau dari asal patogen, maka pneumonia dibagi menjadi tiga macam
yang berbeda penatalaksanaannya:
a. Community acquired pneumonia (CAP)
Merupakan pneumonia yang didapat di luar rumah sakit atau panti jompo.
Patogen umum yang biasa menginfeksi adalah Streptococcus pneumonia, H.
influenzae, bakteri atypical, virus influenza, respiratory syncytial virus
(RSV). Pada anak-anak patogen yang biasa dijumpai sedikit berbeda yaitu
adanya keterlibatan Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, di
samping bakteri pada pasien dewasa.
b. Nosokomial Pneumonia
Merupakan pneumonia yang didapat selama pasien di rawat di rumah sakit.
Patogen yang umum terlibat adalah bakteri nosokomial yang resisten
terhadap antibiotika yang beredar di rumah sakit. Biasanya adalah bakteri
enterik golongan gram negatif batang seperti E.coli, Klebsiella sp, Proteus
sp. Pada pasien yang sudah lebih dulu mendapat terapi cefalosporin generasi
ke-tiga, biasanya dijumpai bakteri enterik yang lebih bandel seperti
Citrobacter sp., Serratia sp., Enterobacter sp.. Pseudomonas aeruginosa
merupakan pathogen yang kurang umum dijumpai, namun sering dijumpai
pada pneumonia yang fulminan. Staphylococcus aureus khususnya yang
resisten terhadap methicilin seringkali dijumpai pada pasien yang dirawat
di ICU.
c. Pneumonia Aspirasi
Merupakan pneumonia yang diakibatkan aspirasi sekret oropharyngeal dan
cairan lambung. Pneumonia jenis ini biasa didapat pada pasien dengan status
mental terdepresi, maupun pasien dengan gangguan refleks menelan. Patogen
yang menginfeksi pada Community Acquired Aspiration Pneumoniae adalah
kombinasi dari flora mulut dan flora saluran napas atas, yakni meliputi
5
Streptococci anaerob. Sedangkan pada Nosocomial Aspiration Pneumoniae
bakteri yang lazim dijumpai campuran antara Gram negatif batang + S.
aureus + anaerob.
6
Gambar 1. Rekomendasi antibiotika untuk CAP (Dhar Raja, 2012)
B. TUMOR PARU
Lebih dari 90% tumor paru primer merupakan tumor ganas, dan sekitar 95%
tumor ganas ini termasuk karsinoma bronkogenik. Kanker paru adalah semua
penyakit keganasan di paru, mencakup keganasan yang berasal dari paru sendiri
(primer). Dalam pengertian klinik yang dimaksud dengan kanker paru primer
adalah tumor ganas yang berasal dari epitel bronkus (karsinoma bronkus =
bronchogenic carcinoma).
7
1. Etiologi Tumor
Kanker paru merupakan penyebab utama keganasan di dunia,
mencapai hingga 13 persen dari semua diagnosis kanker. Selain itu, kanker
paru juga menyebabkan 1/3 dari seluruh kematian akibat kanker pada laki-
laki. Di Amerika Serikat, diperkirakan terdapat sekitar 213.380 kasus baru
pada tahun 2007 dan 160.390 kematian akibat kanker paru. Berdasarkan data
WHO, kanker paru merupakan jenis kanker terbanyak pada laki-laki di
Indonesia, dan terbanyak kelima untuk semua jenis kanker pada perempuan
Kanker paru juga merupakan penyebab kematian akibat kanker terbanyak
pada laki-laki dan kedua pada perempuan.
Hasil penelitian berbasis rumah sakit dari 100 RS di Jakarta, kanker
paru merupakan kasus terbanyak pada laki-laki dan nomor 4 terbanyak pada
perempuan tapi merupakan penyebab kematian utama pada laki-laki dan
perempuan. Data hasil pemeriksaan di laboratorium Patalogi Anatomi RSUP
Persahabatan kanker paru merupakan lebih dari 50 persen kasus dari semua
jenis kanker yang didiagnosa. Data registrasi kanker Rumah Sakit Dharmais
tahun 2003-2007 menunjukkan bahwa kanker trakea, bronkus dan paru
merupakan keganasan terbanyak kedua pada pria (13,4%) setelah kanker
nasofaring (13,63%) dan merupakan penyebab kematian akibat kanker
terbanyak pada pria (28,94%).
Insidens kanker paru rendah pada usia di bawah 40 tahun, namun
meningkat sampai dengan usia 70 tahun. Faktor risiko utama kanker paru
adalah merokok. Secara umum, rokok merupakan 80% penyebab kanker
paru pada laki-laki, dan 50% pada perempuan. Faktor lain adalah kerentanan
genetik (genetic susceptibility), polusi udara, pajanan radon dan pajanan
industri (asbestos, silika, dan lain-lain) (Kemenkes RI, 2016).
Dibawah ini akan diuraikan mengenai faktor resiko penyebab
terjadinya tumor paru.
a. Merokok
Menurut Van Houtte merokok merupaka faktor yang berperan paling
penting yaitu 85% dari seluruh kasus (Wilson, 2005). Rokok
8
mengandung lebih dari 4000 bahan kimia diantaranya telah diidentifikasi
dapat menyebabkan kanker. Kejadian tumor paru pada perokok
dipengaruhi oleh usia mulai merokok, jumlah batang rokok yang dihisap
setiap hari, lamanya kebiasaan merokok, dan lamanya berhenti merokok
(Stoppler, 2010)
b. Perokok pasif
Semakin banyak orang yang tertarik dengan hubungan antara perokok
pasif, atau mengisap asap rokok yang ditemukan oleh orang lain di dalam
ruang tertutup, bereriko terjadinya tumor paru. Beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa pada orang-orang yang tidak merokok, tetapi
mengisap asap dari orang lain, resiko menderita tumor paru meningkat
dua kali (Wilson, 2005).
c. Polusi udara
Kematian akibat tumor paru jumlahnya dua kali lipat lebih abnyak di
daerah perkotaan dibandingkan dengan di daerah pedesaan. Bukti
statistik juga menyatakan bahwa penyakit ini lebih sering ditemukan
pada masyarakat dengan kelas tingkat sosial ekonomi yang lebih rendah
cenderung hidup lebih dekat dengan tempat pekerjaan mereka. Tempat
udara kemungkinan besar lebih tercemar oleh polusi. Suatu karsinogen
yang ditemukan dalam udara polusi juga ditemukan pada asap rokok.
d. Diet
Beberapa penelitian melaporkan bahwa rendahnya konsumsi terhadap
betakarotene, selenium, dan vitamin A, menyebabkan tingginya resiko
terkena tumor paru (Amin, 2006).
e. Genetik
Terdapat bukti bahwa anggota eluarga pasien tumor paru berisiko lebih
besar terkena penyakit ini. Penelitian sitogenik dan genetik molekuler
memperlihatkan bahwa mutasi pada protoonkogen dan gen-gen penekan
tumor memiliki arti penting dalam timbul dan berkembangnya tumor
paru. Tujuan khususnya adalah pengaktifan onkogen dan menonaktifkan
gen-gen penekan tumor.
9
f. Penyakit paru
Penyakit paru seperti tuberkulosis dan penyakit paru obstruktif kronik
juga dapat menjadi resiko tumor paru. Seseorang dengan penyakit paru
obstruktif kronik beresiko empat sampai enam kali lebih besar terkena
tumor paru.
3. Uraian Obat
Nama Obat Keterangan
Ambroxol Indikasi : sebagai sekretolitik pada gangguan saluran napas akut dan
kronis. Khususnya pada eksaserbasi bronchitis kronis dan bronchitis
asmatik.
Dosis : sirup 15 mg/5 ml, 30 mg/5 ml, tablet 30 mg oral.
Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap ambroxol
Efek samping : Jarang dilaporkan terjadi efek samping, jika pun ada
berupa; reaksi intoleran terhadap ambroxol, saluran cerna,
pembengkakan wajah, dispepnea, demam.
10
Peringatan : ambroksol dapat digunakan selama hamil dan menyusui
jika memang benar-benar diperlukan.
Bentuk sediaan : Tablet
Salbutamol Indikasi : Asma dan kondisi lain yang berkaitan dengan obstruksi
saluran napas yang reversible.
Dosis : 4mg 3 sampai 4x sehari, maksimal dosis tunggal 8mg. dosis
untuk lansia dan pasien sensitive dosis awal pemberian 2mg 3 sampai 4 x
sehari
Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap obat dan komponen obat
Efek samping : sakit kapala, agitasi, lemah, binggung, pusing, mual,
gangguan tidur, palpitasi, tremor, kram.
Peringatan : Asma yang diterapi dengan stimulant adrenoreseptor beta 2
yang menerima antiinflamasi kortikosteroid, tiroksikosis, hipertensi
berat, gangguan kardiovaskular, penyakit jantung iskemi, takikardi, gagal
jantung, hiperkalemi, hiperglikemi, pada pasien yang menggunakan
stimulant adrenoreseptor beta-2.
Bentuk sediaan : Tablet
Omeprazole Indikasi : Tukak lambung dan tukak duodenumyang terkait dengan
AINS, lesi lambung dan duodenum, regimen H.pylori pada tukak peptic,
refluks esophagitis.
Dosis : 20 mg 1 x sehari selama 4 sampai 8 minggu
Kontraindikasi : Penderita yang hipersensitif terhadap omeprazole.
Efek samping : Omeprazole umumnya dapat ditoleransi dengan bail.
Pada dosis besar dan penggunaan yang lama kemungkinan dapat
menstimulasi sel ECL. Pada pengguna jangka panjang perlu diperhatikan
adanya pertumbuhan bakteri yang berlebihan di saluran cerna
Bentuk sediaan : kapsul dan injeksi
Ranitidin Indikasi :. Tukak lambung dan tukak duodenum, refluks esofagitis,
dispepsia episodik kronis, tukak akibat AINS,
Dosis : 150mg 2x sehari 4 sampai 8 minggu, atau 300mg 1x sehari
selama 4 sampai 8 minggu diminum pada malam hari
Kontraindikasi : Penderita yang diketahui hipersensitif terhadap
ranitidine
Peringatan: Hati-hati pada pasien dengan gangguan ginjal, kehaamilan
dan menyusui.
Efek samping : Diare, gangguan saluran cerna,, sakit kepala pusing,
ruam dan rasa letih, agitasi, gangguan penglihatan, alopepsia.
Bentuk sediaan : Tablet dan Injeksi
Levofloxacin Indikasi : Infeksi karna mikroorganisme yang sensitive seperti acute
maxillary sinusitis, acute bacterial exacerbation of chronic bronchitis,
community-acquired pneumonia.
Kontraindikasi: pasien dengan riwayat gangguan tendon yang
disebabkan penggunaan obat gol kuinolon.
Dosis : Oral 500 mg 1- 2x sehari selama 7 sampai 14 hari.
Efek samping : Mual, muntah, dispepsia, nyeri lambung, sakit kepala,
pusing, hipotensi, takikardi.
Bentuk sediaan : Tablet salut selaput
11
BAB III
TINJAUAN KASUS
A. Identitas Pasien
RM : 02269006
Umur : 63 tahun
Status : Menikah
Agama : Islam
12
B. Tanda Vital
13
D. Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal Pemeriksaan
Hasil Lab Nilai Rujukan
5 Oktober 10 Oktober 14 Oktober
Haemoglobin 11.3 L 11.5 L 13-16
Hematokrit 35.8 36.3 40-48
Eritrosit 4.49 4.6 4,50-5,50
MCV/VER 79.7 78.9 82-92
MCH/HER 25.2 25 27-31
MCHC/KHER 31.6 31.7 32-36
RDW-CV 14.6 11,5-14,5
Trombosit 641 H 564 H 556 H 150-400
Leukosit 15.66 H 15.88 H 17.07 H 5-10
Basofil 0.6 0.7 0-1
Neutrofil 81 H 82 H 82.2 H 52-76
Limfosit 7L 20-40
Monosit 8.3 8 2-8
SGOT 12 5-34
SGPT 17 0-55
Ureum 13 18-55
Kreatinin 0.4 0,6-1,2
Natrium 131 L 137 135-145
Kalium 4.2 3.9 3,50-5,00
Klorida 98 100 98-107
Implikasi Klinis:
Peningkatan Leukosit indikasi adanya Infeksi (Kemmenkes, 2011)
Peningkatan Neutrofil indikasi adanya Infeksi Bakteri dan Parasit (Kemmenkes, 2011)
Penurunan Natrium indikasi adanya Hiponatremia (Kemmenkes, 2011)
14
E. Data Penggunaan Obat
15
F. Rincian Obat
Salbutamol Agonis reseptor beta-2 selektif kerja pendek menghasilkan Asma dan kondisi lain yang berkaitan 4mg 3 sampai 4x sehari, maksimal dosis tunggal
bronkodilatasi. dengan obstruksi saluran nafas. 8mg. dosis untuk lansia dan pasien sensitive dosis
awal pemberian 2mg 3 sampai 4 x sehari (BNF 70,
hal 222)
Omeprazole Menghambat sekresi asam lambung dengan cara menghambat Tukak lambung dan tukak duodenumyang 20 mg 1 x sehari selama 4 sampai 8 minggu (BNF
system adenosine trifosfatase hydrogen kalium (pompa proton) terkait dengan AINS, lesi lambung dan 70, hal 66)
dari sel parietal lambung. duodenum, regimen H.pylori pada tukak
peptic, refluks esophagitis.
Ranitidine bekerja dengan cara menghambat kerja histamin secara kompetitif Tukak lambung dan tukak duodenum, 150mg 2x sehari 4 sampai 8 minggu, atau 300mg
pada reseptor H2 dan mengurangi sekresi asam lambung. refluks esofagitis, dispepsia episodik kronis, 1x sehari selama 4 sampai 8 minggu diminum pada
tukak akibat AINS, malam hari (BNF 70, hal 65)
Levofloxacin Mekanisme kerja dari Levofloxacin adalah melalui penghambatan Pneumonia Oral 500 mg 1- 2x sehari selama 7 sampai 14 hari.
topoisomerase type II DNA gyrase, yang menghasilkan (BNF 70, hal 429).
penghambatan replikasi dan transkripsi DNA bakteri
CaCO3 Aktivator reaksi enzim dan esensial pada sejumlah proses Sebagai supplement pada pasien gagal 1 gram perhari
fisiologis terutama fungsi ginjal (epocrates,2017) ginjal dan untuk hiperposphatemia
16
G. Daftar Masalah Terkait Obat (Drp)
Obat
Assesment (Identifikasi DRP) Planing Monitoring Keterangan
Nama Obat Rute Aturan Pakai
Indikasi Tanpa Obat Saran untuk Memastikan pasien Pada saat pasien
- - - Pemeriksaan laboratorium pasien pada menambahkan tablet mendapatkan terapi tablet dipindahkan keruang
tanggal 10 dan 14 haemoglobin pasien penambah darah. penambah darah rawat dahlia pasien
renda, yaitu: 11,3 dan 11,5. Tetapi masih belum
pasien tidak mendapatkan obat. mendapatkan obat
tablet penambah
darah.
Obat Tanpa Indikasi Saran untuk Memastikan pasien tidak Pada tanggal 19
Pasien diberikan CaCO3 selama menghentikan pemberian diberikan lagi CaCO3 pasien sudah tidak
- - -
pengobatan, tetapi tidak ada indikasi CaCO3 diberikan lagi obat
pasien mengalami hiperphospatemia CaCO3
17
BAB IV
PEMBAHASAN
18
BAB V
A. Kesimpulan
Pasien Ny. J di diagnosa adenokarsinoma pada paru bagian kiri, sesuai
dengan hasil uji histopatologi pada tanggal 19 oktober. Sehingga untuk
pengobatan atau tindak lanjutnya pasien dipindahkan ke ruang rawat dahlia
bawah.
B. Saran
1. Agar tercapai tujuan utama dari pelaksanaan PTO perlu kerjasama dan
dukungan petugas paramedis diruangan rawat inap terutama
memberikan data2 lengkap dan menggunakan istilah yang dapat
dimengerti pada penulisan SOAP setiap pasien. Hal tersebut dapat
memudahkan Mahasiswa program apoteker dalam pengambilan data
yang terkait dengan keadaan pasien yang sedang di ambil sebagai objek
pelaksanaan PTO.
2. Perlu pelaksanaan konseling langsung oleh Apoteker pada setiap pasien
yang menderita penyakit kronis atau pemberian informasi kepada
keluarga pasien yang mendampingi pasien tentang tata cara
pemberian/penggunaan obat pada pasien yang benar terutama untuk
obat-obat yang potensial ada interaksi jika digunakan dalam waktu
yang sama.
19
DAFTAR PUSTAKA
Alldredge, B.K., Corelli, R.L., dan Ernst, M.E., 2012. Koda-Kimble and
YoungsApplied Therapeutics: The Clinical Use of Drugs. Lippincott
Williams & Wilkins.
Badan Pom RI. 2008. Informatorium Obat Nasional Indonesia. Sagung Seto.
Jakarta.
BNF, 2016. British National Formulary 70th Edition. BMJ Publishing Group.
London.
Departemen Kesehatan RI, 2009. Pedoman Pemantaun Terap Obat. Jakarta;
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian
dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI.
Halter JB, Ouslander JG, Tinetti ME et al. Pneumonia. Hazzards Geriatric
Medicine and Gerontology. 6th edition. New York. McGraw-Hill, 2009.
1531-45.
Kemenkes RI, 2014. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 58 Tahun 2014
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Kemenkes RI,2014. Kanker Paru. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran.
Jakarta.
Medscape.com.drugsinteractionhecker.http://www.madscape.com/pharmacist.
drugs_interaction.html
20