You are on page 1of 5

Jurnal Fertilitas Jepang

Krisisi populasi di Jepang saat ini membutuhkan upaya penanggulangan


yang serius. Angka kelahiran yang semakin menurun berdampak pada penurunan
aktivitas ekonomi. Sedangkan di sisi lain, populasi menua semakin membutuhkan
perhatian yang besar dalam jaminan kesehatan dan sosialnya. Krisis ini harus
segera ditanganani secara efektif, apabila tidak maka populasi di Jepang akan
membentuk piramida terbalik. Jepang akan kehilangan 39,9% dari jumlah
penduduknya menjadi hanya sekitar 87 juta. Jepang saat ini berada di ranking
pertama negara dengan populasi menua terbanyak.Kondisi ini semakin mendesak
Jepang untuk melakukan tindakan penanggulangan krisis polulasi yang tepat.

Divisi Populasi, Departemen Ekonomi dan Sosial Persatuan Bangsa-


Bangsa dan Hidenori Sakanaka seorang ahli demografi di Jepang mengusulkan
sebuah grand planning kebijakan imigrasi yang lebih terbuka untuk menerima
imigran dalam jumlah masif. Pada usulan tersebut, skenario III merupakan usulan
yang paling memungkinkan untuk diterapkan dalam menanggulangi krisis
populasi. Pada skenario tersebut, Jepang paling tidak mendatangkan imigran
sekitar 380.000 pertahunnya. Pendatangan imigran secara masif ini akan
menyelamatkan populasi Jepang pada tahun 2060 sekitar 127 juta, dengan
proporsi imigran 17,7%.

Rasionalitas usulan kebijakan imigrasi yang lebih terbuka ini ternyata


masih direspon negatif oleh masyarakat Jepang. Berdasarkan survei Japanese
General Social Survey tentang respon masyarakat terhadap peningkatan jumlah
imigran, 37% dari masyarakat Jepang mendukung, sedangkan 63% sisanya
menolak. Perdana Menteri Shinzo Abe juga menyatakan penyataan yang secara
tegas bahwa imigran bukanlah jawaban dari masalah Jepang saat ini, di sisi lain
kebijakan imigrasi Jepang yang sangat ketat menjadi bentuk respon negatif
pemerintah terhadap peningkatan jumlah imigran. Respon negatif juga diutarakan
olehYuriko Koeika dari LDP yang menyatakan imigran hanya akan
memperbanyak isu rasial. Mantan gubernur Tokyo juga melawan arus imigran
masuk ke Jepang terkhusus imigran dari Cina. Mantan menteri pendidikan
Masharu Nakagawa dari DPJ juga tidak setuju dengan pelemahan kebijakan
imigrasi, menurutnya imigrasi tetap harus ketat untuk menyaring tenaga kerja
berketerampilan tinggi. Mantan perdana menteri Junichiro Koizuma juga
merasakan imigran sebagai sumber ketidakamanan yang harus tetap dijaga arus
masuknya. Masyarakat Jepang yang merespon negatif usulan kebiajkan imigrasi
yang lebih terbuka bukanlah sebuah sikap situasional. Tetapi penolakan tersebut
didasari oleh dua faktor utama.Yang pertama adalah aspek kultural,masyarakat
Jepang berdasarkan prinsip nihonjinron menunjukkan identitas nasional yang
cenderung tertutup dengan imigran.Masyarakat Jepang mengidentifikasi diri
mereka sebagai sebuah bangsa yang unik dengan homogenitas dan kekayaan
budaya yang ada.

Masyarakat Jepang akan mengidentfiikasi masyarakat yang tergolong ke


dalam mereka melalui aspek-aspek: (1) nationalitas, (2) keturunan etnis, (3)
kemampuan bahasa, (4) tempat lahir, (5) domisili sementara, (6) pemahaman
terhadap budaya dan (7) hubungan darah. Berdasarkan proses identifikasi
tersebut, imigran bukanlah bagian dari masarakat dan budaya Jepang. Oleh karena
itu, menjadikan imigran dalam jumlah masif sebagai opsi untuk menanggulangi
krisis populasi, ditolak masyarakat Jepang. Hal ini dikarenakan homogenitas dan
unirasial masyarakat Jepang sangat unik untuk bergabung dengan budaya lain.
Karakter tertutup pada warga asing merupakan bentukan dari nihonjinron, yang
membuat masyarakat lebih cenderung untuk melakukan tindakan rasial
diskriminasi kepada imigran. Hal ini mengakibatkan masyarakat Jepang sulit
untuk berintegrasi dengan budaya lain. Populasi imigran di Jepang hanya 1,7%
dari keseluruhan populasi. Namun, tindakan rasial dan diskriminasi sangat sering
dijumpai, apalagi jika menerima imigran yang diperkirakan akan mencapai 17%
dari total populasi. Selain itu, kebijakan imigrasi yang different exclusion di
Jepang merupakan bentuk proteksi terhadap identitas budaya karena memberikan
keterbatasan imigran untuk terlibat dari kegiatan sosial politik pada level
domestik. Hal ini menjadi aspek kultural lainnya.Jepang sangat menghargai
budayanya terlihat dari besarnya kebanggaan Jepang untuk mempromosikan dan
memproteksi budayanya dari masyarakat asing. Penggunaan bahasa adalah salah
satu bentuk proteksi identitas budaya Jepang dari gangguan bahasa asing. Para
imigran yang saat ini di Jepang dipaksa untuk menggunakan bahasa Jepang
sebagai alat komunikasi untuk memperlancar kegiatan kerja sebagai tenaga kerja
berketerampilan.Jepang memberikan edukasi ini karena Jepang masih dapat
mengontrol imigran yang hanya 1,7% dari total populasinya. Namun, menerima
imigran baik itu berketerampilan tinggi dan rendah secara masifakan
memperlonggar kontrol imigrasi Jepang. Hal ini akan berdampak pada lemahnya
pengawasan terhadap gerak imigran. Proporsi imigran yang lebih besar justru
akan mempermudah imigran untuk mengetahui budaya Jepang lebih dalam dari
sekedar pemahaman bahasa untuk berkomunikasi, hal ini sangatlah bertentangan
dengan prinsip nihonjinron yang tidak membiarkan orang asing untuk mengetahui
budayanya secara dalam, karena yng hanya bisa menguasai budaya tersebut
adalah masyarakat Jepang.

Faktor yang kedua adalah aspek stabilitas human security. Masyarakat


Jepang menolak mendatangkan imigran secara masif karena beberapa alasan,
yang pertama menjaga kestabilan dari ancaman tindakan foreign crime. Adanya
rekaman tindakan kriminal imigran di Jepang mempengaruhi pandangan
masyarakat Jepang yang melihat imigran sebagai sumber ancaman. Proporsi
imigran yang hanya 1,7% populasi Jepang telah menjadi sumber ketidakamanan
84,3% masyarakat Jepang. Sehingga untuk meningkatkan imigran sebagai upaya
penanggulangan krisis populasi bukanlah pilihan yang tepat. Sikap penolakan ini
agar meminimalisir kemungkinan kejahatan dan ancaman yang terjadi sehingga
masyarakat Jepang dapat hidup freedom from fear.

Alasan kedua, masyarakat Jepang menolak mendatangkan imigran secara


masif karena menghindari ancaman beban ekonomi. Ramalan ekonomi akan
semakin membaik dengan mendatangkan imigran sebagai sebuah jawaban atas
krisis populasi. Namun, hal tersbut melupakan biaya pengeluaran terhadap
edukasi keturunan imigran, efisiensi tenaga kerja low and high skilled, dan
kemungkinan angka kelahiran imigran yang menurun karena pengaruh budaya
tuan rumah. Disisi yang lain Jepang mempertimbangkan jika menerima tenaga
kerja luar dalam jumlah masif,akan berpengaruh terhadap penurunan gaji tenaga
kerja domestik. Sedangkan stagnasi ekonomi dan biaya hidup yang semakin tinggi
di Jepang menjadikan imigran yang datang secara massal menjadi beban ekonomi
masyarakat. Oleh karena itu, Jepang menolak untuk mempekerjakan masyarakat
asing yang tinggal secara permanen karena kemungkinan menjadi beban ekonomi.
Jepang lebih memilih menjalani ekonomi utilitarian yang membatasi tenaga kerja
berketerampilan tinggi dengan izin sementara saja.Sistem ini hanya melibatkan
imigran dalam peningkatanaktivitas produktif ekonomi Jepang, namun tidak
dalam sosial, politik dan budaya.

Alasan ketiga adalah menjaga masyarakat Jepang dari ancaman politik.


Hidenori Sakanaka, ahli demografi yang mengusulkangrand plan kebijakan
imigrasi yang lebih terbuka. Pada usulan ini dijelaskan bahwa dengan imigran
yang lebih terbuka, Jepang akan mengamandemen hukum imigrasi dan juga
hukum kewarganegaraan. Dimana hukum tersebut akan memberikan hak kepada
imigran seperti layaknya masyarakat Jepang lainnya yang diakui secara hukum.
Hal ini menjadi ancaman bagi masyarakat Jepang, karena proporsi imigran yang
semakin besar juga akanmemperbesar peluang imigran untuk mempengaruhi
proses pembuatan kebijakan. Seperti yang diesbutkan Wver bahwa imigran
dengan proporsi yang besar dapat mempengaruhi sebuah sistem pemerintahan
suatu negara dan mempengaruhi kebijakan-kebijakan popular.Oleh karena itu,
Jepang menolak karena kemungkinan tersebut dapat mengancam hak politik
masyarakat Jepang dalam menentukan sebuah arah kebijakan apalagi yang
berkaitan dengan etnis, ras dan budaya.

Alasan yang terakhir dalam faktor keamanan adalah pelajaraan negara


migrasi lainnya.masyarakat Jepang dalam sejarahnya belum pernah mengadopsi
kebijakan imigrasi yang terbuka untuk menerima imigran secara masif. Jika
Jepang nantinya memberlakukan kebijakan tersebut Jepang akan menjadi sebuah
negara migrasi, sebelum menjadi negara migrasi, Jepang mengambil pelajaran
bagaimana negara migrasi mengelolah imigrasinya. Pada hasilnya Amerika
Serikat menunjukkan bahwa imigran dapat mengancam kestabilan
keamanan.Sehingga Jepang tidak menjadikan Jepang sebagai negara migrasi
menjadi opsi kebijakan untuk menanggulangi krisispopulasi.

Dari dua faktor utama mengapa masyarakat Jepang menolak untuk lebih
terbuka kepada imigran dikarenakan aspek budaya dan aspek stabilitas human
security. Nihonjinron yang mengakar pada prinsip masyarakat Jepang turut
mempengaruhi sikap politik Jepang . Sikap politik lebih mengarah pada
tindakantindakan proteksionis yang pada intinya dapat menjagastabilitas identitas
nasional. Selain itu pentingnya mempertahankan keamanan masyarakat Jepang
dari ancaman-ancaman personal, ekonomi dan politik menjadi pertimbangan
masyarakat Jepang untuk menolak kebijakan imigrasi yang lebih terbuka tersebut.
Tulisan ini menunjukkan besarnya peranan masyarakat Jepang untuk menentukan
nasib bangsanya sendiri berdasarkan kepentingan masyarakat itu sendiri, sehingga
godaan untuk mendatangkan imigran secara masif sebagai sebuah opsi yang
berprospek masih dipertimbangkan baik-baik mengenai dampak dan nilai yang
akan dibawa kebijakan tersebut.

You might also like