You are on page 1of 10

PENGARUH VAKSINASI BRUCELLOSIS PADA SAPI

PERAH DENGAN BERBAGAI PARITAS TERHADAP


EFISIENSI REPRODUKSI
Utami Kurniawati 1), Pratiwi Trisunuwati 2), dan Sri Wahyuningsih 2)
1)
Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Batu, Jl. Diponegoro 8 Batu
2)
Dosen Program Studi Ilmu Ternak, Program Pasca Sarjana, Universitas
Brawijaya Malang

ABSTRAK

Vaksinasi brucella tidak hanya dapat menurunkan prevalensi brucellosis, tetapi


dapat mempengaruhi efisiensi reproduksi. Guna mengetahui pengaruh vaksinasi
brucellosis terhadap efisiensi reproduksi sapi perah dengan variabel service per
conception (S/C), days open (DO) dan calving interval (CI) dilakukan analisis data
pada sapi perah. Data dari catatan individu 100 ekor sapi perah paritas satu, dua dan
tiga milik peternak untuk variabel-variabel diatas dianalisis dengan diskripsi dan
rancangan acak kelompok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa vaksinasi mempunyai
pengaruh nyata terhadap Days open /DO dan service per conception (S/C). (JIIPB
2010 Vol 20 No 1: 38-47).

Kata kunci : Brucellosis, Efisiensi reproduksi, Vaksinasi

ABSTRACT

Brucella vaccination was not only able to reduce the prevalence of brucellosis,
but it could also affect reproductive efficiency. The objective of the study was to know
the effect of brucellosis vaccination on reproductive efficiency of dairy cattle in terms of
service per conception (S/C), days open (DO) and calving interval (CI). Data from
individual records of 100 dairy cows at parity one, two and three owned by ranchers
were analyzed descriptively based on a randomized block design. The results showed
that vaccination had a significant effect on days open (DO) and services per conception
(S/C). (JIIPB 2010 Vol 20 No 1: 38-47).

Key words: Brucellosis, reproductive efficiency, Vaccination

38
PENDAHULUAN Meningkatnya penyebaran Brucellosis
pada sapi ini dapat dikarenakan adanya
Populasi sapi perah pada tahun mutasi ternak yang kurang dapat
2006 di Indonesia tercatat hanya dipantau oleh petugas peternakan, biaya
382.313 ekor dengan laju kompensasi pengganti sapi reaktor
perkembangan populasi mencapai 2,5% positif sangat mahal dan kurangnya
per tahun. Peningkatan populasi dan kesadaran dan pengetahuan peternak.
tingkat produksi diperkirakan tidak Oleh karena itu, Brucellosis menjadi
banyak berubah, sehingga produksi susu salah satu prioritas nasional untuk
nasional tidak banyak mengalami dilakukan pencegahan, pengendalian
perubahan yang signifikan dalam dan pemberantasannya, karena dampak
dekade terahir ini. Populasi dan kerugian ekonomi yang ditimbulkan
produktivitas sapi perah tersebut tidak ditaksir mencapai Rp. 138,5 miliar
sebanding dengan tingkat konsumsi setiap tahunnya akibat tingginya angka
susu penduduk Indonesia yang keguguran, lahir mati, lahir lemah,
berjumlah 210 juta jiwa. Kondisi ini infertilitas dan sterilitas pada sapi
menyebabkan produksi susu lokal hanya (Anonimus, 1998).
dapat mensuplai sekitar 30% konsumsi Gangguan reproduksi yang
susu nasional. Beberapa penyakit dapat sering dikeluhkan peternak diantaranya:
menyerang sapi perah dan telah masalah umur betina mulai beranak,
mempengaruhi produktivitas dan jarak induk beranak kembali, kawin
kualitas susu yang dihasilkan seperti berulang, abortus, kelemahan anak yang
mastitis, penyakit Brucellosis, infectious baru dilahirkan dan lain sebagainya
bovine rhinotracheitis (IBR), bovine yang menyangkut hewan betina (Abdul
viral diarrhoea (BVD) dan A. 2004). Gangguan reproduksi pada
colibacillosis. Brucellosis adalah sapi dapat diakibatkan oleh berbagai
penyakit menular pada hewan dan faktor, diantaranya adalah yang bersifat
manusia yang disebabkan oleh bakteri tidak menulari (non infectious agent)
Brucella abortus dan hampir seluruh dan yang bersifat menular (infectious
propinsi di Indonesia sudah tertular oleh agent). Khusus untuk gangguan
penyakit ini. (Toharmat et al., 2009). reproduksi yang diakibatkan oleh agen
Penyakit inilah yang sering infeksius atau penyakit menular,
menimbulkan terjadinya gangguan Bearden dan Fuquay (1997)
reproduksi dan keguguran pada menerangkan bahwa penyakit
kebuntingan 5-7 bulan. Keguguran reproduksi menular dapat
merupakan gejala klinis yang mengakibatkan abortus, pyometra,
patognomonis (gejala utama) pada awal endometritis, kematian embrio,
infeksi. Setelah beberapa kali kemajiran, plasenta tertahan, kerusakan
keguguran, atau adanya gangguan syaraf pusat dari fetus, sterilitas pada
kelahiran, perlekatan plasenta juga pejantan. Dengan demikian akibatnya
sering terjadi. gangguan reproduksi pada ternak akan
Program pengendalian dan merugikan para peternak dan secara
pemberantasan Brucellosis pada sapi nasional tentunya akan rnemperlambat
telah dilakukan oleh pemerintah dengan laju peningkatan populasi ternak di
program vaksinasi dan potong bersyarat dalam negeri .
(test and slaughter) namun Menurut Toharmat, et al (2007),
kenyataannya penyebaran penyakit ini Brucellosis adalah penyakit menular
dari tahun ke tahun semakin meningkat. pada hewan dan manusia yang
39
disebabkan oleh bakteri Brucella a. Desa Junrejo dan Desa Tlekung
abortus. Hampir seluruh propinsi di Kecamatan Junrejo
Indonesia sudah tertular oleh penyakit b. Desa Pesanggrahan dan Desa Oro-
ini. Kejadian Brucellosis di daerah oro Ombo Kecamatan Batu.
kantong ternak seperti Sulawesi dan Uji serologi, untuk uji Rose Bengal Test
NTT masing-masing mencapai 14,3% (RBT) dilakukan di Laboratorium
dan 6,6%, sedangkan di daerah Kesehatan Hewan Jabung Malang dan
penyebaran ternak seperti Lampung untuk uji Complemen Fixation Test
mencapai 55,0%, Bengkulu 61,3%, (CFT) dilakukan di Balai Besar
Sumatera Selatan 50,9%, Riau 20,0% Veteriner Wates Yogyakarta.
dan Sumatera Utara 32,4%. Khusus Penelitian dilaksanakan selama 2 bulan
pada sapi perah di Indonesia Brucellosis dari Juni Juli 2010.
mencapai 1,78% dengan rincian 11,8% Penelitian ini menggunakan
di DKI Jakarta, 2,7% di Jawa Timur, bahanbahan berupa induk sapi perah
0,3% di Jawa Barat dan 0,17% di NAD. Peranakan Fries Holland (PFH) terdiri
Program pengendalian Brucellosis dari Paritas1 atau sapi beranak ke-1,
sejak tahun 2005 diprioritaskan untuk sapi beranak ke-2 (Paritas 2) dan sapi
sapi perah di Pulau Jawa melalui beranak ke-3 (Paritas 3) yang
program vaksinasi untuk daerah tertular mempunyai catatan lengkap, masih
dengan prevalensi lebih dari 2% dan produktif, berumur 2 5 tahun, dengan
sapi potong bersyarat untuk daerah jumlah ternak 100 ekor (50 ekor yang
dengan prevalensi kurang dari 2%. divaksin brucella dan 50 ekor yang
Pemerintah saat ini memfokuskan tidak divaksin) dan induk dikawinkan
pemakaian vaksin B. abortus RB51 secara inseminasi buatan.
untuk pengendalian Brucellosis pada Prosedur penelitian dilakukan
sapi perah. Data epidemiologi dengan pengumpulan data berupa data
Brucellosis pada saat ini belum primer dan sekunder. Data primer
menunjukkan gambaran prevalensi yang diperlukan untuk memperoleh
jelas di masing-masing daerah, sehingga keterangan terinci, tentang: efisiensi
sulit untuk menentukan langkah yang reproduksi dan aspek kesehatan hewan
diambil dalam pencegahan dan (vaksinasi Brucellosis). Data sekunder
pemberantasan Brucellosis. yang dikumpulkan terdiri dari 2 jenis,
Penelitian ini bertujuan untuk yaitu: keadaan umum wilayah dan data
menganalisis pengaruh vaksinasi hasil Kegiatan IB. Komposit sampel
brucella terhadap efisiensi reproduksi, berupa: serum darah sampel baik yang
dengan harapan dapat dipergunakan sudah divaksin maupun yang tidak
sebagai bahan pertimbangan dalam divaksin.
upaya pencegahan dan pemberantasan Variabel yang diamati terhadap,
Brucellosis. variabel bebas vaksin brucella adalah
efisiensi reproduksi hasil IB yang
METODA DAN MATERI meliputi: service per conception (S/C),
days open (DO) dan calving interval
Penelitian dilakukan dengan (CI). Variabel S/C, CI dan DO
mengambil lokasi pada wilayah kerja dianalisis secara deskripsi,
Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota dibandingkan antara ternak yang
Batu dengan mempertimbangkan divaksinasi dengan brucella dan yang
penyebaran sapi perah dan wilayah tidak divaksinasi dengan brucella dan
yang berdekatan, yaitu: untuk mengetahui pengaruh vaksinasi
40
brucella terhadap efisiensi reproduksi sudah bisa menerima keberadaan
maka analisa data digunakan dengan ternak dilingkungannya.
rancangan acak kelompok (Steell dan 4. Adanya lembaga inovasi dan
Torrie, 1995). aksesbilitas pemasaran, usaha
peternakan di Kota Batu terpacu
HASIL DAN PEMBAHASAN adanya lembaga koperasi
sehingga usaha sapi perah tidak
Keadaan Umum Lokasi Penelitian mengalami kesulitan dalam hal
Kota Batu termasuk daerah pemasaran. (Anonimus, 2010)
produsen susu segar di Jawa Timur, Namun pada kenyataannya
dengan rata-rata produksi perhari perkembangan sapi perah di Kota Batu
mencapai 16.400 lt/hari dan populasi saat ini mengalami penurunan sebanyak
sapi perah 6.924 ekor. Potensi produksi 23 %. Banyak hal yang mempengaruhi
dan populasi sapi perah di Kota Batu penurunan populasi sapi perah di Kota
masih dapat ditingkatkan karena Batu, diantaranya mutasi ternak,
didukung dengan: peternak belum memperhatikan aspek
1. Iklim yang memenuhi syarat reproduksi (pubertas,
untuk perkembangan sapi perah, fertilisasi/kesuburan, siklus berahi,
secara umum wilayah Kota Batu perkawinan, kebuntingan dan kelahiran)
termasuk daerah dingin dengan dan penyakit hewan menular strategis.
suhu udara rata-rata 21,5 C, Salah satu diantara penyakit hewan
kelembaban nisbi 86%, kecepatan menular strategis tersebut adalah
angin mencapai 10,73 km/jam dan Brucellosis. Penyebaran brucellosis
curah hujan di Kota Batu tercatat sangat erat hubungannya dengan
6.213 mm. manajemen kandang, sumber pakan,
2. Tersedianya sumberdaya lahan kepadatan populasi pada suatu lokasi,
dan kecukupan hijauan, dari lahan tipologi beternak yang berkaitan erat
hijauan (HMT) tersedia seluas dengan faktor sosio-ekonomi peternak,
4.686 ha untuk memenuhi pakan serta lalulintas ternak atau mutasi sapi
ternak ruminansia secara dari satu lokasi ke lokasi lainnya.
keseluruhan. Luasan ini bila
diasumsi produksi per ha per
tahun sebanyak 400 ton, berarti Keadaan Responden
akan tersedia HMT (rumput gajah,
rumput lapang, legume, limbah Peternak sebagai pemilik ternak
pertanian) 1.874.400 ton rumput sapi diangkat sebagai responden, baik
segar. Jumlah ini identik dengan pada kelompok ternak yang divaksin
26.776.224,8 kgBK, sehingga maupun yang tidak divaksin. Identitas
masih kelebihan sebesar responden, meliputi: umur, tingkat
118.392.735,2 kgBK/hari maka pendidikan, pengalaman beternak dan
cukup untuk memenuhi 40.545,45 scoring terhadap kemampuan
Unit Ternak (UT). mendeteksi berahi pada ternak sapi
3. Sosio teknologi masyarakat perah, disajikan pada tabel 1. sebagai
kondusif, secara sosial masyarakat berikut ini:

41
Tabel 1. Identitas Responden
Status vaksinasi
No. Uraian Kelompok divaksin Kelompok tidak divaksin
Jumlah Rata-rata % Jumlah Rata-rata %
1. Umur responden (tahun) - 43,346,66 - - 38,669,43 -
2. Pendidikan:
SD 6 - 20 40 - 80
SLTP 14 - 47 5 - 10
SLTA 10 - 33 1 - 2
Tidak sekolah - - - 4 - 8
Jumlah 30 100 100
3. Lama beternak (tahun) - 15,824,51 - - 12,924,62 -
4. Skor pengamatan birahi - 3,800,40 - - 3,420,49 -

Ratarata responden pada kemampuan responden dalam


kelompok ternak yang divaksin berumur mendeteksi birahi pada kelompok
43,346,66 tahun, lebih tua ternak yang divaksin lebih baik
dibandingkan dengan responden pada dibandingkan dengan kelompok ternak
kelompok ternak yang tidak divaksin yang tidak divaksin. Pendidikan
yakni 38,669,43 tahun. Tingkat responden yang sebagian besar tamatan
pendidikan responden pada kelompok SD pada kelompok ternak yang tidak
ternak yang tidak divaksin sebagian divaksin cenderung berpengaruh
besar (80%) tamatan SD, sedangkan terhadap tingkat adopsi penguasaan
pada kelompok ternak yang divaksin manajemen pemeliharaan maupun pada
sebagian besar (47%) lulusan SLTP. aspek reproduksi.
Pengalaman beternak sapi perah pada
kelompok ternak yang divaksin lebih Analisis Vaksinasi Brucella dengan
lama (15,824,51 tahun) dibandingkan Efisiensi Repdoduksi (S/C, DO dan
dengan responden pada kelompok CI)
ternak yang tidak divaksin (12,92 4,62 Nilai rata-rata untuk masing-
tahun). Begitu juga dengan skoring masing variabel yang dianalisis dalam
pengamatan peternak terhadap deteksi penelitian ini tertera di dalam Tabel 2.
birahi yang menunjukkan bahwa

Tabel 2. Analisis Vaksinasi Brucella dengan Efisiensi Reproduksi (S/C, DO dan CI)
Vaksinasi Efisiensi reproduksi
Jumlah
S/C DO (hari) CI (bulan)
Kelompok divaksin 50 3,062,20a 96,3455,01a 13,21,2

Kelompok tidak divaksin 50 3,821,60b 144,7664,50b 14,62,3

Ratarata
100 3,211,43 116,8265,11 13,94,0
a-b
Keterangan : Superskrip yang beda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan
yang nyata (P < 0,05)
42
Pada tabel 2 terlihat bahwa rata- sebesar 144,7664,50 hari. Menurut
rata S/C pada kedua kelompok ternak Jaenudeen dan Hafez (1993), DO yang
berbeda nyata (P<0,05). S/C kelompok ideal berkisar antara 55 sampai 85 hari.
yang divaksin (3,062,20) lebih kecil Faktor-faktor yang mempengaruhi DO,
dibandingkan dengan kelompok yang antara lain kecukupan pemberian pakan,
tidak divaksin (3,821,60). Menurut deteksi birahi, kesuburan induk dan
Toelihere (1993), S/C normal antara pejantan, deteksi kebuntingan dan
1,62,0. S/C semakin turun mendekati penyakit reproduksi.
angka 1 berarti semakin tinggi pula Panjangnya DO akan
tingkat kesuburan sapi-sapi betina. menyebabkan pada panjangnya masa
Tingginya ratarata S/C pada kelompok laktasi dan berdampak terhadap
yang tidak divaksin karena adanya perpanjangnya calving interval (CI)
kasus positif Brucellosis. sehingga akan merugikan peternak.
Bearden dan Fuquay (1997) Penelitian yang telah dilakukan pada
menerangkan bahwa penyakit sapi perah di Inggris menunjukkan
reproduksi menular dapat bahwa kerugian yang dialami peternak
mengakibatkan abortus, pyometra, sekitar $1.20/hari apabila terjadi
endometritis, kematian embrio, perpanjangan calving interval lebih dari
kemajiran, plasenta tertahan, kerusakan 365 hari (Barnett dan Larkin (1973)
syaraf pusat dari fetus dan sterilitas dalam Siregar, 2001). Sedangkan
pada pejantan. Adanya infeksi pada penelitian di daerah Bogor dan
saluran reproduksi akan menyebabkan Lembang menunjukkan kerugian rata-
S/C semakin tinggi karena tidak terjadi rata peternak akibat terjadinya
implantasi akibat infeksi tersebut perpanjangan CI lebih dari 365 hari
sehingga angka perkawinan (IB) adalah Rp. 2.308,7/ekor/hari di daerah
semakin sering. Kejadian ini akan Bogor dan Rp. 2.333,92/ekor/hari
merugikan peternak sapi perah dan didaerah Lembang (Siregar dan Rays
secara nasional tentunya akan (1992) dalam Siregar, 2001).
memperlambat laju peningkatan Days open yang optimal pada sapi
populasi ternak. Faktor reproduksi perah induk adalah 85 hari. Artinya, 85
umumnya mempunyai nilai heritabilitas hari setelah sapi perah melahirkan,
yang rendah. Oleh sebab itu faktor induk harus sudah bunting kembali
lingkungan (kualitas dan kuantitas (Barnett dan Larkin (1973) dalam
pakan, penyakit, dan manajemen Siregar, 2001). Hasil penelitian ini
reproduksi) sangat berperan terhadap didapat rata-rata DO sebesar
kondisi reproduksi ternak (Dudi, dkk. 116,8265,11 hari, diatas rata-rata DO
2006). S/C yang dicapai dalam Kabupaten Malang dimana Days
penelitian ini diatas rata-rata S/C pada opennya sebesar 44.513 hari (Ihsan,
Kabupaten Malang yakni 1.78-2.66. Hal 2000) yang berarti tidak optimal sebab
ini berarti adanya penurunan tingkat panjang masa laktasi dan CI tergantung
kesuburan sapi (Hakim, 1989). dari DO. Semakin panjang DO akan
Tabel 2. menunjukkan bahwa berakibat terhadap panjang laktasi dan
rata-rata DO pada kedua kelompok CI yang semakin panjang akan
ternak berbeda nyata (P<0,05). DO pada berakibat terhadap penurunan produksi
kelompok yang divaksin adalah susu dan kelahiran anak, sehingga
96,3455,01 hari atau lebih pendek penerimaan juga berkurang.
dibandingkan dengan DO pada Pada tabel 2. terlihat bahwa rata-
kelompok yang tidak divaksin yakni rata CI pada kelompok ternak yang
43
divaksin adalah 13,21,2 bulan atau produksi susu, sehingga semakin
lebih kecil dibandingkan dengan panjang CI maka kerugian yang dialami
kelompok ternak yang tidak divaksin peternak semakin besar dan berdampak
sebesar 14,62,3 bulan. Jainudeen dan pada meningkatnya biaya pakan,
Hafez (1993) serta Toelihere (1993) pemeliharaan, obat-obatan,
menyatakan bahwa daya reproduksi perkandangan dan sarana lainnya.
ternak sapi sangat dipengaruhi oleh CI Keadaan ini akan menentukan tingkat
dengan jarak yang ideal 12 bulan. Nilai keuntungan peternak dalam mengelola
heritabilitas untuk sifat calving interval usaha peternakan (Suyadi, 2002).
rendah pada sapi perah yaitu 0,00-0,10 Ratarata CI yang dicapai dalam
(Warwick., dkk, 1983). Hal ini penelitian ini adalah 13,94,0 bulan
bermakna bahwa faktor non genetik, yang berarti ada masalah pada aspek
yakni faktor lingkungan dan fisiologi reproduksi karena CI yang optimum
tubuh lebih banyak berperan dalam adalah 11.813.5 bulan Varmer, et al
menentukannya. Faktor-faktor tersebut (1984). CI yang tinggi akan
antara lain adalah birahi pertama kali mempengaruhi efisiensi reproduksi
sesudah beranak, berat badan, produksi karena akan menyebabkan jumlah anak
susu, pakan dan juga bangsa/breed sapi yang dilahirkan semakin sedikit dan
(Hafez, 2000). Siregar (1983) masa laktasi semakin pendek.
menyebutkan bahwa masa kosong yang Perbandingan efisiensi reproduksi (S/C,
panjang akan menurunkan produktivitas DO dan CI) pada kelompok yang
dan memperpanjang jarak beranak. CI divaksin brucella dan yang tidak
merupakan suatu kurun waktu yang divaksin dapat dilihat pada gambar-
sangat penting bagi peternak karena gambar dibawah ini.
berkaitan dengan kesinambungan

Gambar 1. Perbandingan S/C antara kelompok vaksin Brucella dan tidak divaksin

44
Gambar 2. Perbandingan DO antara kelompok vaksin Brucella dan tidak divaksin

Gambar 3. Perbandingan CI antara kelompok vaksin Brucella dan tidak divaksin

Perbandingan untuk masing- Data diatas didapat ratarata


masing variabel yang dianalisis dalam S/C, DO dan CI pada kelompok ternak
penelitian ini tergambar didalam yang divaksin brucella lebih baik
Gambar 1, 2 dan 3. Pada gambar- dibandingkan dengan kelompok ternak
gambar diatas terlihat S/C pada yang tidak divaksin, sehingga efisiensi
kelompok ternak yang divaksin brucella reproduksi pada kelompok ternak yang
lebih baik (3,062,20) dibandingkan divaksin brucella lebih baik
dengan kelompok ternak yang tidak dibandingkan dengan kelompok ternak
divaksin (3,821,60), begitu pula yang tidak divaksin. Pada kelompok
dengan DO kelompok ternak yang ternak yang tidak divaksin terdapat
divaksin brucella lebih baik kasus brucellosis, dimana gejala yang
(96,3455,01 hari) dibandingkan dialami selain abortus, pyometra,
dengan kelompok ternak yang tidak endometritis, kematian embrio,
divaksin (144,7664,50 hari). Sama kemajiran juga retensi placenta, retensi
halnya pada S/C dan DO variabel CI palcenta dan endometritis yang akan
menunjukkan kelompok ternak yang menghambat efisiensi reproduksi.
divaksin brucella lebih baik (13,21,2 Proses reproduksi banyak dipengaruhi
bulan) dibandingkan dengan kelompok oleh berbagai faktor, baik faktor dari
ternak yang tidak divaksin 14,62,3 dalam maupun faktor dari luar tubuh
bulan. ternak. Reproduksi sapi perah berkaitan

45
dengan persentase kelahiran, dalam rangka pemberantasan
kemampuan reproduksi (menghasilkan Brucellosis serta untuk memperbaiki
keturunan) dan efisiensi produksi susu. produktifitas.
Ternak yang mempunyai kemampuan
reproduksi tinggi dengan pengelolaan DAFTAR PUSTAKA
yang baik maka akan menghasilkan
efisiensi reproduksi yang tinggi diikuti Abdul, A. R. M. 2004. Strategi
dengan produktivitas yang tinggi pula. pengendalian penyakit reproduksi
Dengan demikian jika S/C, DO dan CI menular untuk meningkatkan
tidak optimum maka efisiensi efisiensi reproduksi sapi potong.
reproduksi menjadi kurang dan Wartazoa Vol. 14 No. 3.
produktifitasnyapun menurun. Anonimus. 1998. Penyakit keluron
menular (Brucellosis). Pedoman
KESIMPULAN pengendalian penyakit menular.
Bina Direktorat Kesehatan
Efisiensi reproduksi pada ternak Hewan. Dirjen Peternakan,
yang divaksin Brucella lebih baik (S/C Jakarta . him . I -21 .
3,06 2,20, DO 90,3455,02, hari dan Anonimus. 2010. Laporan tahunan
CI 13,061,24 bulan) dari pada ternak Dinas Pertanian dan Kehutanan
yang tidak divaksin Brucella (S/C 3,82 Kota Batu Tahun 2009. Dinas
1,60, DO 144,7664,50, hari dan CI Pertanian dan Kehutanan Kota
14,642,26 bulan). Batu.
Faktor penyakit (Brucellosis) Bearden, J. H. dan Fuquay, J. W. 1997.
menyebabkan efisiensi reproduksi Applied animal reproduction.
menjadi tidak optimum. Prentice-Hall, Inc. USA,
Vaksinasi mempunyai pengaruh Barnett, M. A. and P. J. Larkin. 1973.
yang nyata terhadap Days Open (DO) Milk and beef production in the
dan Service per Conception (S/C). tropic. Dalam: Siregar, S. B.
2001. Optimalisasi panjang laktasi
SARAN dan selang beranak pada sapi
perah induk melalui intensifikasi
Efisiensi reproduksi (days open, pelaksanaan inseminasi buatan.
service per conception dan calving Met. Pet. Co. 24 No. 2
interval) dapat digunakan sebagai Dudi, Dedi R, dan Tidi D. 2006.
rujukan dalam memperbaiki sistem Evaluasi potensi genetik sapi
reproduksi dan peningkatan produksi perah Fries Holland (FH) di
susu karena service per conception yang Koperasi Serba Usaha (KSU)
tinggi >2 dapat memperpanjang days Tandangsari Kabupaten
open sehingga calving interval >1214 Sumedang. Jurnal Ilmu Ternak.
bulan semakin panjang dan produksi Vol.6 No. 1
susu menurun. Hafez, E. S. E. 2000. Reproduction in
Hasil penelitian dapat digunakan farm animals. Hafez, E. S. E.
sebagai rujukan/ pedoman dalam Editor. Lea and Febiger.
pelaksanaan pencegahan dan Philadelphia.
pemberantasan Brucellosis pada suatu Hakim, R. 1989. Calving interval pada
daerah tertular karena hasil penelitian sapi perah asal Amerika dan New
vaksinasi Brucella dapat meningkatkan Zealand proyek tahun 1987/1988
efisiensi reproduksi dan sebagai acuan pada berbagai KUD di Jawa
46
Makalah Lokakarya I. Batu Suyadi. 2002. Manajemen dan teknologi
Malang. reproduksi pada sapi. Fakultas
Ihsan, M. N. 2001. Evaluasi inseminasi Peternakan Universitas
buatan pada sapi perah di Brawijaya Malang
Kabupaten Malang. JIPTUMM. Toelihere, M. R. 1993. Inseminasi
Jainudeen, M. R. dan E. S. E. Hafez. buatan pada ternak. Penerbit
1993. Cattle and water buffalo. Angkasa. Bandung.
Dalam: E. S. E. Hafez (Ed). Toharmat. Abdullah, L. L., Nahrowi,
Reproduction in farm animals. 6th Sudarman, A., Sumantri, C.,
Ed., Lea and Febiger. Baga, L., Saleh, A., Maheswari,
Philadelphia. R. R. A., Evvyernie, D.,
Siregar, A. 1983. Inseminasi buatan, Burhanuddin, Komala, I., Setiana,
rekording dan perlakuan Terhadap M. A. dan Setiono A. 2007.
liquid nitrogen refrigerator. BLPP Roadmap dan grand strategi
Cinagara Bogor. pengembangan industri sapi perah
Siregar., S. B. dan A. K. Rays. 1992. nasional. Makalah disajikan pada
Dampak jarak beranak sapi perah Pertemuan Kelompok Kerja
induk terhadap pendapatan Persusuan Nasional Ditjennak.
peternak sapi perah. Dalam: Solo. 8-10 Agustus 2007.
Siregar S. B. 2001. Optimalisasi Varmer, M. A., J. L. Majeskie, and S.
panjang laktasi dan selang C. Garlichs. 1984. Interpreting
beranak pada sapi perah induk reproductive efficiency indexes.
melalui intensifikasi pelaksanaan dairy integrated reproductive
inseminasi buatan. J: Met. Pet. management. University of
Co. 24 No. 2. Maryland.
Steell R. G. D. dan J. H. Torrie. 1995. Warwick, E. J., J. A. Astuti., dan W.
Prinsip dan prosedur statistika. Hardjosubroto. 1983. Pemuliaan
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. ternak. Gajah Mada University
Press. Jogjakarta.

47

You might also like