You are on page 1of 11

PERBANDINGAN PERAN PEREMPUAN DALAM KEHIDUPAN POLITIK DI

REPUBLIK ISLAM IRAN DAN KERAJAAN ARAB SAUDI

Disusun Oleh:

Zulfikar Tito Enggartiarso

(F1I012003)

Program Studi Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Jenderal Soedirman

Purwokerto

2014

DAFTAR ISI
Daftar Isi . 2

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian 3


B. Perumusan Masalah ... 5
C. Pembatasan Penelitian 5
D. Tujuan Penelitian .... 6
E. Manfaat Penelitian .. 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

F. Kerangka Teori .. 7
G. Tinjauan Pustaka 8

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

H. Metodologi Penelitian ..
1. Metode Penelitian .
2. Sasaran Penelitian .
3. Teknik Pengumpulan Data
4. Lokasi Penelitian ..
5. Jadwal Penelitian ..

DAFTAR PUSTAKA .

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Saya tahu bahwa setiap perempuan memiliki kekuatan melebihi apa yang bisa
dibayangkan. (Evita Peron, Mantan Ibu Negara Argentina pada tahun 1946-1952)

2
Keadaan dunia yang semakin mengglobal tidak akan pernah bisa menahan laju hak asasi
manusia yang semakin berkembang. Salah satu hak asasi adalah kesetaraan gender atau kenaikan
peran perempuan yang sudah dan masih terus diperjuangkan oleh aktivis-aktivis feminisme di
berbagai belahan dunia. Salah satunya adalah Ann Tickner, seorang professor emeritus dari
American University. Beliau berpendapat bahwa, Its usually been men who do the asking and
consequentyly, it is often the case that womens lives and womens knowledge are absent from
what is deemed reliable knowledge. Beliau melihat bahwa dominasi laki-laki sudah terlalu
dalam yang pada akhirnya andil perempuan kurang terlihat dan bahkan tidak diakui.1

Selain Ann Tickner, Marysia Zalewski adalah tokoh feminisme yang tidak bisa kita
abaikan. Beliau mengatakan bahwa, Most geographic, demographic or other facts still get
ignored by mainstream IR; that poverty is the number one killer; that (actually) 51% of the
world population is female, that water and food are more important to most people than
weaponry; that gender and other constituted categories profoundly impact on the practices of
international politics. Beliau melihat bahwa arus utama dari studi Hubungan Internasional
kurang memperhatikan fakta-fakta lain selain perang, persenjataan dan lain-lain. Bahwa masih
banyak lagi faktor bahwa perempuan melihat itu sebagai hal yang berbeda, bahwa air dan
makanan adalah hal yang lebih penting dari persenjataan dan lain-lain.2

Perempuan yang selama ini terbungkam suaranya dan terikat gerakannya, pelan tapi
pasti, mulai menyuarakan dan menggerakkan perempuan-perempuan yang lain untuk melawan
dominasi pria dalam segala sektor dan bidang. Mereka melihat berbagai kemungkinan bahwa
perempuan tidak lagi harus menjadi aktor di belakang layar atau menurut dengan buta terhadap
suaminya. Mereka bahkan bisa mengubah dunia dengan talenta, kreativitas dan kemampuan
mereka sendiri. Tapi memang tidak semua negara di dunia merestui hal tersebut, seperti di
negara-negara yang berlandaskan pada teokrasi yang kuat, pergerakan perempuan masih terbatas.
Tidak terkecuali di negara-negara yang selama ini meredam banyak pergerakan perempuan
seperti Republik Islam Iran dan Arab Saudi.
1 http://www.theory-talks.org/2013/04/theory-talk-54.html (diakses tanggal 25 Juni
2014, jam 17.01 WIB)

2 http://www.theory-talks.org/2009/04/theory-talk-28.html (diakses tanggal 25 Juni


2014, jam 17.11 WIB)

3
Di kedua negara ini, pada era tahun 2000an kebawah, peran perempuan begitu dibatasi
karena norma dan nilai serta ideologi agama Islam. Menurut norma di kedua negara tersebut,
tempat perempuan adalah di rumah, tidak punya hak untuk bersuara dan bergerak, yang bekerja
diluar rumah adalah pria. Bahkan perempuan menyetir mobil di Arab Saudi saja bisa ditangkap
oleh aparat keamanan setempat dan dikenakan sanksi 3. Sebuah artikel yang berjudul Diplomacy
in an Age of Faith: Religious Freedom and National Security yang ditulis oleh Thomas F. Farr
menyebutkan bahwa Arab Saudi adalah salah satu negara yang paling sulit untuk menerima nilai-
nilai demokrasi. Walaupun Raja Abdullah memiliki sedikit jiwa reformasi tetapi beliau sendiri
masih terkekang oleh norma-norma Arab. Amerika Serikat mendorong Arab Saudi untuk
memperbolehkan terbentuknya partai-partai demokrasi dan liberal sehingga terbentuk
pemerintahan yang tidak otoriter.4

Terbalik dengan Arab Saudi, pada tahun 2000an keatas, Iran adalah negara yang
berlandaskan teokrasi Islam dan mengakui bahwa hak-hak perempuan memang harus
diperjuangkan. Contoh dari perempuan yang memperjuangkan hak-hak kaumnya adalah Shirin
Ebadi, beliau adalah seorang pengacara dan aktivis hak asasi manusia dari Iran. Shirin Ebadi
juga mendapatkan Nobel Perdamaian pada tanggal 10 Oktober 2003, beliau juga aktif
menyuarakan suara-suara perempuan di Iran dan di dunia. Beliau juga bahkan menentang dengan
keras intervensi negara asing seperti Amerika Serikat didalam kondisi internal negaranya,
Republik Islam Iran. Shirin Ebadi hanyalah salah satu dari sekian banyak perempuan Iran yang
telah berkiprah di dunia internasional, akan masih banyak lagi perempuan yang memperjuangkan
hak-hak sesamanya dari Iran yang akan kita bahas.

Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Akbar Ganji berjudul The Latter-Day Sultan, ia
menulis bahwa Iran pada tahun 2005an keatas dilihat sebagai sebuah negara yang tidak
mempunyai ideologi tunggal yang mendominasi negara. Mungkin Iran adalah negara teokrasi
Islam tetapi ideologi lain seperti liberalisme, sosialisme dan juga feminisme adalah ideologi-
ideologi yang tidak tertutup untuk diakui oleh masyarakat di Iran. Republik Islam Iran dikenal
3 http://www.tempo.co/read/news/2013/10/27/115525093/Arab-Saudi-Tangkap-12-
Wanita-Pengemudi (diakses pada tanggal 13 Januari 2014, jam 08.27 WIB)

4 http://www.foreignaffairs.com/articles/63226/thomas-f-farr/diplomacy-in-an-age-of-
faith (diakses pada tanggal 25 Juni 2014, jam 17.40 WIB)

4
dengan negara neo-sultanate.5 Walaupun begitu, masih banyak gejolak di masyarakat terhadap
supreme leader Iran, Khamenei. Beberapa jurnalis dari Association for Press Freedom di Iran
seperti Ahmad Zeydabadi dan Issa Saharkhiz menulis surat terbuka dan esai yang dikirimkan
kepada Khamenei. Mereka berargumentasi bahwa agama hanya merekomendasikan dan bukan
memandatkan wanita untuk menutupi kepala mereka dengan hijab.6

Beberapa masalah soal perempuan di kedua negara yang telah dijelaskan pada paragraf
sebelumnyalah yang akan penulis tuliskan dalam makalah ini. Makalah ini sendiri akan fokus
pada struktur politik di Republik Islam Iran dan Arab Saudi yang bias gender, perspektif Islam
terhadap peran perempuan di kancah perpolitikan dan lain lain serta peran perempuan serta
perspektif feminisme sendiri di Republik Islam Iran dan Arab Saudi pada periode tahun 2006-
2013.

B. Perumusan Masalah

Bagaimanakah peran perempuan di dalam kancah perpolitikan di Kerajaan Arab Saudi dan
Republik Islam Iran pada jangka waktu 2006-2013?

C. Pembatasan Penelitian

Peneliti membatasi pembahasan pada peran perempuan di dalam kehidupan berpolitik di


Kerajaan Arab Saudi dan Republik Islam Iran pada jangka waktu 7 tahun yaitu 2006 sampai
dengan tahun 2013. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa akan disajikan data diluar
periode waktu tersebut tetapi hanya akan sebagai data pendukung yang akan memperkuat data
utama, yaitu data yang berada pada rentang waktu yang telah peneliti sampaikan diatas.

D. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui seberapa jauh peran perempuan di dalam kehidupan berpolitik di


Kerajaan Arab Saudi dan juga di Republik Islam Iran pada jangka waktu 2006-2013.

5 http://www.foreignaffairs.com/articles/64606/akbar-ganji/the-latter-day-sultan
(diakses pada tanggal 25 Juni 2014, jam 17.24 WIB)

6 Ibid.

5
2. Untuk mengetahui seberapa besar apresiasi atau penghargaan yang diberikan Kerajaan
Arab Saudi dan Republik Islam Iran kepada perempuan pada jangka waktu 2006-2013.

E. Manfaat Penelitian

1. Sebagai tambahan wawasan bagi peneliti dan juga siapapun yang membaca bahwa
negara-negara yang menerapkan hukum yang ketat dan terlihat memangkas peran
perempuan ternyata mempunyai sikap apresiasi terhadap peran perempuan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

F. Kerangka Teori

1. Feminisme

Sukawarsini Djelantik yang merupakan seorang akademisi dalam bidang feminisme


menjelaskan dengan sangat komprehensif apakah itu feminisme dan kritiknya terhadap
perspektif lain terutama realisme7. Feminisme merupakan sebuah perspektif yang berusaha untuk
meniadakan diskriminasi terhadap perempuan, memperjuangkan hak-hak perempuan dan juga
menghilangkan ketidaksetaraan gender. Dan pada masa sekarang, feminisme bukan lagi sekedar
memperjuangkan hak perempuan tetapi juga mencoba untuk membuat struktur baru untuk
membebaskan perempuan dari struktur yang eksploitatif.

Ketika kita berbicara tentang feminisme, maka kita tidak hanya berbicara tentang pembedaan
antara laki-laki dan perempuan. Antara klasifikasi biologis dan gender, merupakan dua term yang
berbeda, karena ketika kita berbicara tentang feminisme, kita berbicara tentang gender. Istilah
gender lebih merujuk pada seperangkat karakter bentukan budaya dan karakteristik yang
diasosiasikan dengan maskulinitas dan feminitas. Walau memang gender sendiri dikonstruksikan
secara berbeda tergantung pada budaya atau sejarah dari suatu daerah. Joan Scott melihat bahwa
pemahaman Barat akan gender berdasar pada seperangkat perbedaan-perbedaan yang terbentuk

7 Asrudin; Mirza Jaka Suryana dkk. 2009. Refleksi Teori Hubungan Internasional (Dari
Tradisional ke Kontemporer). Graha Ilmu: Yogyakarta

6
secara budaya seperti publik vs privat dan rasional vs emosional. Sifat pertama diasosiasikan
dengan maskulinitas dan yang kedua dengan feminitas8.

Pada dasarnya feminisme muncul karena mereka melihat sistem yang ada saat itu tidak bisa
memfasilitasi kepentingan perempuan dan mengabaikan hal-hal tersebut, selain memang mereka
menganggap bahwa sistem politik internasional, khususnya, terlalu maskulinis. Ada beberapa
cabang dalam teori feminisme, diidentifikasikan menurut karakteristiknya masing-masing.
Cabang pertama melihat bahwa peran, kepentingan dan kemampuan perempuan dan laki-laki
memang berbeda sehingga kedua jenis kelamin ini tidak perlu berlomba. Justru kekhasan dari
perempuan yang tidak dimiliki laki-laki inilah yang pada akhirnya memperluas kemungkinan,
memberikan kebijakan-kebijakan alternatif dan lain sebagainya.

Cabang kedua adalah mereka yang tidak mempermasalahkan perbedaan peran antara laki-
laki dan perempuan, tetapi mereka yang akan berlomba dengan laki-laki di kesempatan yang
sama, apapun itu kondisinya. Mereka melihat bahwa perempuan bukanlah kurang diperhatikan
tapi dikucilkan, maka dari itu sudah seharusnya perempuanlah yang harus menggerakkan dirinya
sendiri, tidak hanya mengurusi urusan perempuan tapi juga urusan laki-laki. Caranya adalah
memperbesar proporsi kesempatan perempuan di politik dan pemerintahan di seluruh dunia
sehingga sifat serta karakter dari aktivitas-aktivitas di dunia bisa berubah.

Cabang ketiga adalah mereka yang radikal dan berpikiran bahwa persoalan yang dihadapi
perempuan bukanlah peran perempuan dan laki-laki yang berbeda seperti yang dijelaskan di
cabang pertama. Bukan juga soal perlombaan bagaimana perempuan pada akhirnya mengungguli
peran laki-laki seperti yang tertulis di cabang kedua. Permasalahan inti adalah bahwa literatur,
gagasan, ide, pemikiran-pemikiran studi Hubungan Internasional sendiri selalu didominasi oleh
laki-laki dan pada akhirnya dianggap bias gender. Teori-teori dalam studi Hubungan
Internasional khususnya, terlalu androsentris atau pria-sentris sehingga sangat mengedepankan
interpretasi maskulin mengenai politik dunia. Perempuan selama ini cuma menjadi penonton
percaturan politik internasional

Kemunculan awal feminisme tidak bisa diketahui dengan pasti karena feminisme sendiri
pada awalnya hanyalah sebuah gagasan atau ide dari para pemikir terdahulu, mereka tidak

8 Ibid hal. 237

7
menyebut diri mereka seorang feminis tetapi pemikiran-pemikiran yang mereka sampaikan
merupakan gagasan feminisme. Contohnya adalah Elizabeth Stanton yang dikenal sebagai
seorang liberalis. Pada tahun 1900an, beliau berpendapat bahwa ilmu sosial menunjukkan
status perempuan merupakan salah satu ukuran kemajuan dan peradaban masyarakat. Selain itu,
beliau pernah menulis bahwa posisi perempuan tidak diatur oleh Tuhan atau ditentukan oleh
alam9. Mungkin beliau tidak menyebut dirinya seorang feminis tetapi ide-ide yang beliau
ungkapkan merupakan gagasan-gagasan inti dari feminisme.

Lebih ke belakang lagi, ada seorang pemikir dari Inggris yang bernama Mary Wollstonecraft
yang mempunyai julukan A Hyena in Petticoats (seekor hyena dalam wujud perempuan).
Beliau merupakan seorang pemikir yang cukup radikal dan banyak menulis hal-hal yang cukup
kontroversial, dan karena hal-hal yang diperbuatnya semasa hidup. Beliau menulis sebuah buku
yang berjudul Thoughts on the Education of Daughters pada tahun 1787, lalu ada tulisannya
yang berjudul A Vindication of the Rights of Woman yang diterbitkan pada tahun 1972. Beliau
berpendapat bahwa perjuangan persamaan hal dan kesempatan bagi perempuan adalah hal yang
mutlak harus dilakukan. Itu mengapa beliau juga mendirikan sekolah khusus perempuan di
Newington Green, Inggris10.

2. Sosialisasi, Kebudayaan dan Partisipasi Politik

Peneliti mengutip pemikiran-pemikiran dari Gabriel A. Almond bahwa proses sosialisasi


politik merupakan sebuah pengajaran nilai-nilai politik kepada masyarakat. Dan untuk
membandingkan kebudayaan politik, terdapat indikator-indikator yaitu identitas nasional,
kesadaran kelas, keyakinan akan kebebasan, efektivitas politik, kepercayaan pada pemerintah
dan lan-lain. Yang terakhir adalah partisipasi politik, partisipasi itu sendiri terdorong karena
adanya partisipasi yang bersifat konvemsional (voting, diskusi politik dan lain-lain) maupun non-
konvensional (demonstrasi, tindak kekerasan dan lain-lain). Selain itu ada lagi faktor-faktor lain
seperti pendidikan tinggi, status sosial-ekonomis dan lain-lain11.

9 Steans, Jill & Lloyd Pettiford. International Relations: Perspective and Themes. Terjemahan
Deasy Silvya Sari. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009)

10 Ibid hal. 328

8
G. Tinjauan Pustaka

Jurnal Studi Gender YIN YANG. Volume 6, Nomor 1, Januari-Juni 2011. Pusat Studi Gender
(PSG) Sekolah Tinggi AgamaIslam Negeri (STAIN) Purwokerto.

Jurnal Studi Gender YIN YANG. Volume 4, Nomor 1, Januari-Juni 2009. Pusat Studi Gender
(PSG) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto.

Saudi Womens Right: Stuck at a Red Light oleh Asmaa Al-Mohamed (Jurnalis dan aktivis hak-
hak perempuan; editor online untuk Al Arabiya). Arab Saudi. 2013. (diambil dari
www.arabinsight.org)

Khayyirah, Balqis. 2013. Perempuan-Perempuan yang Mengubah Wajah Dunia. PALAPA:


Yogyakarta

Soetjipto, Ani dkk. 2013. Gender dan Hubungan Internasional: Sebuah Pengantar. Jalasutra:
Yogyakarta

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

H. Metodologi Penelitian

1. Metode Penelitian

Karena peneliti lebih banyak melakukan desk research (penelitian pustaka) dan wawancara
(untuk memperkaya data), maka dari itu peneliti memakai metode analisis data penelitian
kuantitatif.

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan melakukan desk research atau
penelitian yang diambil dari buku, jurnal ataupun literatur lainnya.

11 Masoed, Mochtar; Colin MacAndrews. 2011. Perbandingan Sistem Politik. Gadjah Mada
University Press: Yogyakarta

9
Peneliti juga akan melakukan wawancara terhadap beberapa subjek penelitian yang
dianggap memiliki pengetahuan mendalam tentang peran perempuan di Arab Saudi dan Iran.
Subjek yang akan penulis wawancarai adalah:

1. Duta Besar Kerajaan Arab Saudi untuk Republik Indonesia


2. Duta Besar Republik Islam Iran untuk Republik Indonesia
3. Direktuk Diplomasi Publik, Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia
4. Cendekiawan Muslim atau ahli-ahli politik Timur Tengah

Tapi tidak tertutup kemungkinan bahwa akan ada beberapa tambahan yang peneliti akan
wawancarai terkait peran perempuan di Arab Saudi dan Iran.

3. Lokasi Penelitian

a) Perpustakaan Universitas Indonesia (Kec. Beji, Kota Depok, Prov. Jawa Barat)
b) Perpustakaan Universitas Jenderal Soedirman (Kec. Purwokerto Utara, Kab. Banyumas,
Prov. Jawa Tengah)
c) Kedutaan Besar Arab Saudi (Kec. Cawang, Kotamadya Jakarta Timur Prov. DKI
Jakarta)
d) Kedutaan Besar Republik Islam Iran (Kec. Menteng, Kotamadya Jakarta Pusat, Prov.
DKI Jakarta)
e) Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia (Kotamadya Jakarta Pusat, Prov. DKI
Jakarta)

4. Jadwal Penelitian

Penelitian dijadwalkan akan dilakukan pada rentang waktu tiga bulan dari bulan Januari
2016 sampai pada bulan Maret 2016, untuk jadwal pastinya akan segera menyusul dalam
lampiran terpisah.

DAFTAR PUSTAKA

Website:

www.foreignaffairs.com (diakses pada tanggal 25 Juni 2014, jam 17.42 WIB)

www.theory-talks.org (diakses pada tanggal 25 Juni 2014, jam 17.45 WIB)

Jurnal:

10
Jurnal Studi Gender YIN YANG. Volume 4, Nomor 1, Januari-Juni 2009. Pusat Studi Gender
(PSG) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto.

Jurnal Studi Gender YIN YANG. Volume 6, Nomor 1, Januari-Juni 2011. Pusat Studi Gender
(PSG) Sekolah Tinggi AgamaIslam Negeri (STAIN) Purwokerto.

Saudi Womens Right: Stuck at a Red Light oleh Asmaa Al-Mohamed (Jurnalis dan aktivis hak-
hak perempuan; editor online untuk Al Arabiya). Arab Saudi. 2013. (diambil dari
www.arabinsight.org)

Buku:

Asrudin; Mirza Jaka Suryana dkk. 2009. Refleksi Teori Hubungan Internasional (Dari
Tradisional ke Kontemporer). Graha Ilmu: Yogyakarta

Khayyirah, Balqis. 2013. Perempuan-Perempuan yang Mengubah Wajah Dunia. PALAPA:


Yogyakarta

Mansbach, Richard W. & Kirsten L. Rafferty. Introduction to Global Politics. Terjemahan Amat
Asnawi. (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2012)

Masoed, Mochtar; Colin MacAndrews. 2011. Perbandingan Sistem Politik. Gadjah Mada
University Press: Yogyakarta

Soetjipto, Ani dkk. 2013. Gender dan Hubungan Internasional: Sebuah Pengantar. Jalasutra:
Yogyakarta

Steans, Jill & Lloyd Pettiford. International Relations: Perspective and Themes. Terjemahan
Deasy Silvya Sari. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009)

11

You might also like