You are on page 1of 2

[WAWANCARA] Dekan FEB Unimal: Lhokseumawe

Belum Mandiri
Posted by Humas UNIMAL On November 25, 2016 0 Comment

Realisasi keuangan/anggaran Pemerintah Lhokseumawe tahun 2016 masih jauh dari target. Realisasi sampai
Oktober 2016 hanya 47,39 persen. Sedangkan target sampai Oktober 2016 sebesar Rp75 persen. Artinya,
realisasi mines 27,61 persen dari target.

Tahun 2015 lalu, realisasi keuangan Pemerintah Lhokseumawe juga tidak mencapai target. Realisasi sampai
Desember 2015 ialah 82,74 persen, sedangkan targetnya mencapai 96 persen. Artinya, realisasi mines 13,26
persen dari target. Data itu diperoleh portalsatu.com dari Sistem Monitoring Tim Evaluasi dan Pengawasan
Realisasi Anggaran (TEPRA) pada laman resmi Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), 21
November 2016.

Persoalan lainnya, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Lhokseumawe masih sangat minim, sehingga ketergantungan
terhadap dana transfer dari Pemerintah Pusat cukup besar. Sementara belanja pegawai lumayan besar.

Terkait sejumlah persoalan tersebut, portalsatu.com mewawancarai Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Malikussaleh (FEB Unimal) Wahyuddin di Lhokseumawe, Rabu, 23 November 2016, malam. Berikut
petikannya:

Apa dampaknya terhadap pertumbuhan perekonomian Lhokseumawe jika serapan/realisasi anggaran


rendah?

Pertumbuhan ekonomi di Kota Lhokseumawe selama ini hanya ditopang oleh pengeluaran pemerintah. Nah,
seharusnya harus ada investasi. (Untuk meningkatkan) Pertumbuhan ekonomi kan harus ada investasi, (selain)
pengeluaran pemerintah, (dan kegiatan) ekspor impor. Namun, di Kota Lhokseumawe investasi itu sangat kecil,
sedikit, sehingga (pertumbuhan ekonomi) sangat lamban.

Jadi, perekonomian itu (selama ini) hanya ditopang oleh pengeluaran pemerintah saja. Jika realisasi pengeluaran
pemerintah sesuai dengan target, tentu ekonomi itu akan berkembang.Ketika tidak tercapai target, pertumbuhan
ekonomi di Kota Lhokseumawe tentu akan berkurang.

Terhambatnya pencapaian (realisasi keuangan/dana) ini bukan serta merta dengan tidak adanya sumber
pendapatan, tetapi juga tidak esiennya izin dari pemerintah. Namun perlu juga dikaji, ada apa kalau terjadi
penyerapan tidak sesuai target, apa ada uangnya atau memang ini belum ada transfer uangnya (dari Pemerintah
Pusat). Karena APBK Lhokseumawe juga didasarkan tidak hanya dari pendapatan daerah (PAD), tapi ada transer
dari Pusat berupa DAU dan DAK, serta dana Otsus (dari provinsi).

Ketika tidak terealisasi (sesuai target), kenapa? Jangan-jangan memang sumber-sumber dana ini belum terjadinya
pencairan. Sedangkan dari Pusat, terutama dana Otsus dari provinsi sudah ditransfer apa belum, karena dana
Otsus kita itu bagian dari belanja kabupaten/kota.

Kalau dari investasi tadi, saya menduga di Kota Lhokseumawe masih di bawah 10 persen. Orang mungkin mau
investasi, tapi mereka masih cemas dengan kondisi kedaerahan yang masih dalam kondisi rawan. Tingkat
kecemasan investor sangat tinggi di Aceh, dan beberapa provinsi di Pulau Sumatera. Namun pastinya pemerintah
harus lebih optimis agar bisa menggaet investor ke Aceh.

Baik, ketika pertumbuhan perekonomian melambat, apakah akan berdampak terhadap meningkatnya
pengangguran dan kemiskinan?

Jelas berdampak. Kalau pertumbuhan ekonomi tidak tumbuh (maksimal) maka pengangguran terus meningkat.
Karena tiap tahun jumlah masyarakat yang ingin bekerja semakin tinggi.

(Ketika pertumbuhan ekonomi melambat) Dampaknya juga akan berkurangnya pendapatan (asli) daerah (PAD),
berkurang pekerjaan, dan juga akan bertambah warga miskin. Itu dampak akhirnya, kemiskinan itu juga akan jadi
masalah dengan timbulnya kerawanan sosial.

Lalu, apa solusi yang harus dilakukan pengambil kebijakan di Pemko Lhokseumawe terkait persoalan ini?

Nggak ada solusi lain. Bagaimanapun stakeholder memang harus bisa meyakinkan investor dan komponen
masyarakat. Tidak hanya pemerintah, masyarakat juga harus tahu, tanpa investasi maka tidak akan mungkin
pertumbuhan perekonomian bertambah.

Sementara itu ada kabar gembira dari Presiden Joko Widodo yang membuat Aceh Utara dan Lhokseumawe
sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Nah, kalau ini berjalan, saya rasa ekonomi di daerah kita itu akan jauh
lebih berkembang ke depan.

Ini yang perlu didorong kepada pemerintah sekarang. Sudah dua tahun tetapi masih dalam tahapan konsep. Jika
melihat Papua dulu itu butuh tujuh tahun baru mengaplikasikan. Nah, untuk Aceh sendiri tinggal menunggu
Keputusan Presiden saja. Program Pak Presiden mencetuskan ini sangat membantu masyarakat.

Persoalan lainnya, ketergantungan Lhokseumawe selama ini terhadap dana transfer dari Pemerintah
Pusat sangat tinggi, karena PAD masih minim. Jika Pemerintah Pusat mengurangi alokasi dana transfer
akibat penerimaan negara berkurang, atau terjadi penundaan sebagian dana transfer, ini berpotensi
membuat Pemko Lhokseumawe kalang kabut akibat tidak cukup dana, sehingga berdampak terhadap
pelaksanaan sejumlah kegiatan. Komentar Anda?

1 of 2 23/01/2017 15:58
Kalau hanya ditonjolkan pengeluaran pemerintah, dan itu sama-sama diketahui bahwa pengeluarannya terjadi
pada kwartal III dan IV, berarti kan pertumbuhan ekonominya akan melambat. Sementara semua orang kan perlu
makan. Coba lihat sebelum diketuk palu (pengesahan APBK), semua orang masih diam-diam. Penyebabnya
karena tidak mempunyai aktivitas, mau mengerjakan apa, apalagi tidak adanya industri, kecuali industri besar
yang tidak masuk spesikasi masyarakat kalangan bawah.

Dugaan sementara, (sumber) pertumbuhan ekonomi juga ada penambahan (dari keberadaan kampus-kampus) di
sini. Misalnya mahasiswa, aktivitasnya sangat tinggi termasuk keperluannya sehari-hari sehingga mendongkrak
sedikit (kegiatan) usaha kecil masyarakat seperti kios, warung kpi dan juga rumah kos.

Saat pemerintah kabupaten/kota menganalisis rencanan pendapatan (PAD), dari rumah kos itu sebenarnya bisa
jadi percontohan. Jika dikelola dengan baik maka akan berdampak bagi pertumbuhan ekonomi.

Apa yang seharusnya dilakukan pengambil kebijakan di Pemko Lhokseumawe untuk mengurangi
ketergantungan dana pada Pemerintah Pusat?

Seharusnya daerah yang mandiri itu mempunyai PAD minimal 25 persen dari total anggaran pendapatan. Untuk
Lhokseumawe sendiri (PAD saat ini) masih kurang dari 10 persen. Dengan demikian jelas masih ketergantungan
sangat tinggi sama Pusat. Itu terjadi berartikan Lhokseumawe bisa disebutkan belum mandiri. Nah, untuk itu
perlu esiensi pada biaya rutin, mungkin juga harus pangkas struktur pemerintahan sehingga jumlah bayaran gaji
makin sedikit, walaupun ini menjadi buah simalakama pemerintah yang telah menerima tenaga honorer sangat
banyak.

Harus dilakukan perhitungan ulang PAD Lhokseumawe. Jadi, kalau dilakukan itu harus ada riset sumber-sumber
mana yang perlu digali misalnya kalau yang resmi pajak dan retribusi. Dari segi pajak, pemerintah harus
betul-betul memaksimalkan. Begitu juga retribusi, apakah selama ini sudah benarbenar masuk dalam kas
daerah?

Bagaimana sebaiknya tata kelola Pemko Lhokseumawe agar ke depan lebih produktif, tidak hanya
konsumtif atau hanya bisa menghabiskan anggaran yang sudah ada?

Dikelola dengan esien, di mana Lhokseumawe memiliki 68 desa, dan kondisi pejabat eselon dua yang banyak itu
sangat tidak esien. Hal itu harus ada yang dimerger atau dirampingkan di satuan-satuan (SKPK) pemerintahan,
apalagi pengeluaran pemko itu paling banyak hanya pada biaya rutin, sehingga (alokasi anggaran untuk)
pembangunan kerakyatan lebih sedikit.[PORTALSATU.COM]

2 of 2 23/01/2017 15:58

You might also like