You are on page 1of 44

CASE REPORT

Oleh:
Istighfariza Shaqina, S.Ked
1218011084

Preceptor:
dr. Mukhlis Imanto, M. Kes, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA
LEHER
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. H. ABDUL MOELOEK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan case report ini. Case report ini penulis
susun sebagai syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan tugas di Kepaniteraan
Klinik Ilmu Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorokan, dan Bedah Kepala Leher
(THT-KL) di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dokter pembimbing yang telah
membimbing dan membantu penulis dalam menyelesaikan case report ini. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, baik
secara langsung maupun tidak langsung dalam menyusun case reportini.
Penulis menyadari banyak kekurangan pada case report ini, oleh karena itu,
segala saran dan kritik yang membangun penulis harapkan demi kesempurnaan
case report ini. Semoga case report ini dapat bermanfaat bukan hanya untuk
penulis tetapi juga bagi siapapun yang membacanya.

Bandar Lampung, Maret 2017

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Rinosinusitis, istilah bagi suatu proses inflamasi yang melibatkan mukosa hidung
dan sinus paranasal, merupakan salah satu masalah kesehatan yang mengalami
peningkatan secara nyata dan memberikan dampak bagi pengeluaran finansial
masyarakat. Rinitis dan sinusitis umumnya terjadi bersamaan, sehingga
terminologi saat ini yang lebih diterima adalah rinosinusitis.1

Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasalis. Penyebab


utamanya ialah infeksi virus yang kemudian dapat diikuti oleh infeksi bakteri.
Sinusitis bisa terjadi pada salah satu dari keempat sinus yang ada (maksilaris,
etmoidalis, frontalis atau sfenoidalis). Sinusitis bisa bersifat akut (berlangsung
selama 12 minggu atau kurang) maupun kronis (berlangsung selama lebih dari 12
tetapi dapat berlanjut sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun). Bila
mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua
sinus paranasal disebut pansinusitis.2

Rhinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan, dengan dampak


signifikan pada kualitas hidup dan pengeluaran biaya kesehatan, dan dampak
ekonomi pada mereka yang produktivitas kerjanya menurun. Di Indonesia
sendiri, data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit
hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat
utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit.3

Rinitis alergi terjadi ketika alergen merupakan pencetus untuk menimbulkan


gejala pada hidung. Rinitis alergi merupakan kondisi yang paling umum terjadi di
seluruh dunia. Di Amerika Serikat, mempengaruhi antara 10-30% populasi
dewasa umum dan hingga 40% anak-anak yang menurun seiring dengan usia
sehingga pada usia lanjut rinitis alergi jarang ditemukan. Memasuki usia dewasa,
prevalensi rinitis alergi pada laki-laki dan perempuan sama.
BAB II
LAPORAN KASUS

A. Identitas
Nama : Ny. Yun
Umur : 39 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Bandar Lampung

B. Anamnesa (autoanamnesa)
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 13 Maret 2017

Keluhan Utama:
Nyeri kepala hilang timbul sejak 2 bulan yang lalu

Keluhan Tambahan :
- Hidung tersumbat
- Penurunan penghiduan
- Terasa ada cairan mengalir di teggorokan
- Nafas berbau

Riwayat Penyakit Sekarang :


Seorang pasien perempuan, berusia 39 tahun datang ke poli THT RSUD Abdul
Moeloek pada tanggal 13 Maret 2017 dengan nyeri kepala hilang timbul sejak
2 bulan yang lalu dan semakin memberat sejak 2 minggu yang lalu. Keluhan
disertai dengan hidung tersumbat dan daya penciuman menurun. Selain itu,
pasien juga mengatakan terkadang terasa seperti ada cairan yang mengalir dari
hidung ke tenggorokan saat sedang aktivitas, terutama saat berbaring. Pasien
juga menyatakan nafas berbau tidak sedap dan sering merasa lemas setelah
mulai mengalami keluhan nyeri kepala. Sekitar 1 minggu yang lalu pasien
berkonsultasi ke poli THT dengan keluhan nyeri kepala yang sangat
mengganggu dan hidung tersumbat. Pasien lalu diminta melakukan rontgent
kepala, pasien kembali ke poli untuk kontrol dan menilai hasil rongentnya. Saat
datang kembali, keluhan nyeri kepala dan hidung tersumbat masih dirasakan
pasien namun sudah membaik.

Pasien mengatakan pernah mengalami hal serupa 6 tahun yang lalu, dan di
diagnosis sinusitis. Pasien rutin mengkonsumsi obat-obatan dan keluhan
dinyatakan hilang. Namun, keluhan kembai muncul 2 bulan terakhir. Pasien
mengaku sering bersin dan pilek hampir setiap pagi hari, khususnya saat cuaca
dingin, namun pasien tidak dapat mengingat dengan pasti mulai kapan keluhan
sering bersin ini dirasakan.

Pasien menyatakan saat ini tidak demam. Riwayat kemasukan benda asing ke
dalam hidung disangkal pasien. Riwayat pernah mimisan disangkal. Riwayat
sakit gigi, infeksi gigi atau area mulut dan cabut gigi sebelumnya disangkal.
Pasien juga mengatakan tidak ada masalah dengan pendengaran maupun
penglihatanya. Riwayat penyakit diabetes, alergi pada kulit dan penyakit
jantung disangkal. Tidak ada riwayat alergi obat dan makanan sebelumnya.

Riwayat Penyakit Dahulu :


- Sinusitis (6 tahun yang lalu)

Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang sama

Riwayat Pekerjaan, Sosial, dan Ekonomi :


Pasien seorang ibu rumah tangga.
C. Pemeriksaan Fisik
Status Present
- Keadaan umum : Tampak sakit ringan
- Kesadaran : Compos Mentis
- Tekanan Darah : 110/70 mmHg
- Nadi : 80 x/menit
- Pernafasan : 16 x/menit
- Suhu : 36,80C

Status Generalis
Kepala :
Bentuk : Normocephal
Rambut : Hitam
Mata : Allergic shiner +/+, CA -/-

Leher :
Inspeksi : Tidak diperiksa
Palpasi : Tidak terdapat pembesaran KGB
Perkusi : Tidak diperiksa
Auskultasi : Tidak diperiksa

Toraks :
Inspeksi : Tidak diperiksa
Palpasi : Tidak diperiksa
Perkusi : Tidak diperiksa
Auskultasi : Tidak diperiksa

Abdomen :
Inspeksi : Tidak diperiksa
Palpasi : Tidak diperiksa
Perkusi : Tidak diperiksa
Auskultasi : Tidak diperiksa

Ekstremitas :
Sianosis : tidak ada pada keempat ekstremitas
Edema : tidak ada pada keempat ektremitas

Stasus THT
Pemeriksaan Telinga
Daun Telinga Kanan Kiri
- Bentuk : Normal Normal
- Warna Kulit : Sama dengan sekitar Sama dengan sekitar
- Nyeri Tarik : (-) (-)
- Tumor : (-) (-)

Pre-aurikular Kanan Kiri


- Kulit : Sama dengan sekitar Sama dengan sekitar
- Nyeri Tekan : (-) (-)
- Fistel, Sekret : (-) (-)
- Tumor : (-) (-)

Post-aurikular Kanan Kiri


- Kulit : Sama dengan sekitar Sama dengan sekitar
- Nyeri Tekan : (-) (-)
- Fistel, Sekret : (-) (-)

Liang Telinga Kanan Kiri


- Lapang/Sempit : Lapang Lapang
- Kulit : Normal Normal
- Radang, Udem : (-) (-)
- Serumen : (-) (-)
- Sekret : (-) (-)
- Tumor : (-) (-)
Membran TimpaniKanan Kiri
- Warna : Putih perak Putih perak
- Bulging/retraksi : (-) (-)
- Reflek cahaya : ( + ) arah jam 5 ( + ) arah jam 7
- Intak/perforasi : Intake Intake

Hidung
Hidung Luar Kanan Kiri
- Kulit : Sama dengan sekitar Sama dengan sekitar
- Dorsum Nasi : Normal Normal
Allergic crease (-)
- Nyeri Tekan, Krepitasi : (-) (-)
- Ala Nasi : Normal Normal
- Nyeri Tekan Frontal : (-) (-)
- Nyeri Tekan Maksila : (-) (-)
- Tumor, Fistel : (-) (-)

Rhinoskopi anterior Kanan Kiri


- Vestibulum : Normal Normal
- Mukosa Cavum Nasi : Hiperemis Hiperemis
- Septum : Normal Deviasi (+)
- Konka inferior
Warna : Pucat Pucat
Edem : (+) (+)
Sekret : (+) (+)
Hipertrofi : (+) (+)
- Konka media
Warna : Sulit dinilai Sulit dinilai
Edem : Sulit dinilai Sulit dinilai
Sekret : Sulit dinilai Sulit dinilai
Hipertrofi : Sulit dinilai Sulit dinilai
Rhinoskopi Posterior
Tidak dilakukan pemeriksaan.

Cavum Oris dan Orofaring


- Mukosa : Tenang
- Gigi geligi : Warna kuning gading, caries (+)
- Uvula : Normal
- Lidah : Normal
- Halitosis :(+)
- Pilar : Normal

- Tonsil
Hipertrofi : T1-T1
Hiperemis :(-/-)
Kripta :(-/-)
Detritus :(-/-)

- Faring
Mukosa : Normal
Granula :(-)
Post Nasal Drip :(+)

-Laring : Tidak diperiksa

Leher
Kelenjar limfe submandibula : tidak teraba membesar
Kelenjar limfe servikal : tidak teraba membesar
D. Resume

Seorang pasien perempuan, berusia 39 tahun datang ke poli THT RSUD Abdul
Moeloek pada tanggal 13 Maret 2017 dengan nyeri kepala sejak 2 bulan yang
lalu dan semakin memberat sejak 2 minggu yang lalu. Keluhan disertai dengan
hidung tersumbat dan daya penciuman menurun. Selain itu, pasien juga
mengatakan terkadang terasa seperti ada cairan yang mengalir dari hidung ke
tenggorokan saat sedang aktivitas, terutama saat berbaring. Pasien juga
menyatakan nafas berbau tidak sedap dan sering merasa lemas setelah mulai
mengalami keluhan nyeri kepala. Sekitar 1 minggu yang lalu pasien
berkonsultasi ke poli THT dengan keluhan nyeri kepala yang sangat
mengganggu dan hidung tersumbat. Pasien lalu diminta melakukan rontgent
kepala, pasien kembali ke poli untuk kontrol dan menilai hasil rongentnya. Saat
datang kembali, keluhan nyeri kepala dan hidung tersumbat masih dirasakan
pasien namun sudah membaik. Pasien mengatakan pernah mengalami hal
serupa 6 tahun yang lalu, dan di diagnosis sinusitis. Pasien rutin mengkonsumsi
obat-obatan dan keluhan dinyatakan hilang. Namun, keluhan kembai muncul 2
bulan terakhir. Pasien mengaku sering bersin dan pilek hampir setiap pagi hari,
khususnya saat cuaca dingin, namun pasien tidak dapat mengingat dengan pasti
mulai kapan keluhan sering bersin ini dirasakan.

Dari pemeriksaan tanda-tanda vital pasien didapatkan dalam batas normal. Dari
pemeriksaan fisik hidung ditemukan deviasi septum kiri, mukosa cavum nasi
hiperemis dan terdapat sekret pada konka inferior bilateral, konka inferior
dextra sinistra hipertrofi, konka media sulit dinilai. Pada pemeriksaan orofaring
terdapat halitosis. Terdapat gambaran allergic shiner dibawah kedua mata
pasien.

E. Pemeriksaan Anjuran
-Skin test (Prick Test)
-Transluminasi
-Foto Rontgen Sinus posisi Waters deviasi septum nasal kiri.
-Swab sekret hidung

F. Diagnosa Banding
Rinosinusitis kronik e.c. rhinitis alergi
Rinosinusitis kronik e.c dentogen
Rinosinusitis kronik e.c. jamur

G. Diagnosa Kerja
Rinosinusitis maksilaris kronik e.c Rhinitis Alergi

H. Penatalaksanaan
Non-Medikamentosa :
- Menghindari faktor pencetus (udara dingin dan lembab, debu)
- Meminum obat sesuai anjuran dokter
- Kontrol ulang ke dokter setelah selesai pengobatan
- Pertimbangkan tindakan operasi FESS

Medikamentosa :
- Steroid topikal : Nasacort 2 spray tiap lubang hidung 1 x 1 hari, evaluasi
setelah 4 minggu
- Analgetik : Asam Mefenamat 3 x 500 mg
- Antihistamin: Cetirizine 1x 10 mg

I. Prognosa
Quo ad Vitam : Bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : Dubia ad bonam

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Rhinosinusitis
A. DEFINISI
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal.
Umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut
rhinosinusitis.1 Menurut American Academy of Otolaryngology Head &
Neck Surgery 1996 istilah sinusitis diganti dengan rinosinusitis karena
dianggap lebih tepat dengan alasan :
1) Secara embriologis mukosa sinus merupakan lanjutan mukosa hidung
2) Rinosinusitis hampir selalu didahului dengan rinitis
3) Gejala-gejala obstruksi nasi, rhinorrhea dan hiposmia dijumpai pada
rinitis ataupun rinosinusitis.

Sinusitis diberi nama sesuai dengan sinus yang terkena. Bila mengenai
beberapa sinus disebut multisinusitis. Bila mengenai semua sinus paranasalis
disebut pansinusitis. Disekitar rongga hidung terdapat empat sinus yaitu
sinus maksilaris (terletak di pipi), sinus etmoidalis (kedua mata), sinus
frontalis (terletak di dahi) dan sinus sfenoidalis (terletak di belakang dahi). 1
Rhinosinusitis yang paling sering ditemukan ialah Rhinosinusitis maksila dan
Rhinosinusitis etmoid, Rhinosinusitis frontal dan sinusuitis sfenoid lebih
jarang.1
Secara klinis rinosinusitis dapat dikategorikan sebagai rinosinusitis akut bila
gejalanya berlangsung dari beberapa hari sampai 4 minggu, rinosinusitis
subakut bila berlangsung dari 4 minggu sampai 3 bulan dan rinosinusitis
kronis bila berlangsung lebih dari 3 bulan. Berdasarkan kriteria EPOS 2012
rinosinusitis akut jika terdapat gejala 12 minggu dan rinosinusitis kronik jika
gejala 12 minggu tanpa adanya resolusi komplit dari simptom. 2

B. Etiologi dan Faktor Predisposisi

Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip
hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan
kompleks osteomeatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologi,
diskinensia silia seperti pada sindrom Kartagener, dan penyakit fibrosis kistik. 1

Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin
dan kering serta kebiasaan merokok, sebab keadaan lingkungan ini menyebabkan
perubahan mukosa dan merusak silia. 1

Etiologi rinosinusitis kronis dapat berupa virus, bakteri dan jamur dimana
virus adalah penyebab utama infeksi saluran napas atas seperti rinosinusitis,
faringitis dan sinusitis akut.
2.3.1 Virus
Virus rinosinusitis biasanya menyerang hidung, nasofaring dan juga
meluas ke sinus termasuk didalamnya adalah rinovirus, influenza virus dan
parainfluenza virus.Infeksi virus berulang merupakan faktor resiko yang
menyebabkan terjadinya rinosinusitis kronik.3

2.3.2 Bakteri
Rinosinusitis kronis dapat disebabkan oleh bakteri yang sama seperti yang
menyebabkan rinosinusitis akut. Namun karena rinosinusitis kronik biasanya
berkaitan dengan drainase yang tidak adekuat ataupun fungsi mukosiliar yang
terganggu maka agen infeksi yang terlibat cenderung oportunistik. Bakteri
penyebab rinosinusitis kronis banyak macamnya baik anaerob maupun yang
aerob, proporsi terbesar penyebabnya adalah bakteri anaerob dan bakteri gram
negarif11. Bakteri aerob yang sering ditemukan antara lain staphylococcus aureus,
streptococcus viridians, haemophilus influenzae, neisseria flavus, staphylococcus
epidermidis, streptococcus pneumonia dan escherichia coli. Sedangkan bakteri
anaerob antara lain peptostreptococcus, corynebacterium, bacteroide, dan
veillonella. Infeksi campuran antara organisme aerob dan anaerob sering kali juga
terjadi. Pada kasus Rinosinusitis kronik akut eksaserbasi bakteri penyebab yang
terbanyak adalah bakteri anaerob. Bakteri gram negatif dan bakteri aerob
termasuk Pseudomonas Aeruginosa sering diisolasi pada pasien yang sudah
pernah melakukan operasi sinus. 3

2.3.3 Fungi
Infeksi jamur juga dapat menyebabkan rinosinusitis kronik walaupun
jarang terjadi. Jamur penyebab rinosinusitis kronik adalah Aspergillus,
Cryptococcus neoformans, Candida, Sporothrix Schhenckii, Alternaria,
Misetoma. Sinusitis jamur invasif kronik biasanya terjadi pada pasien dengan
gangguan imunologik atau metabolik seperti diabetes. 3

Penyebab sinusitis dibagi menjadi:


1) Rinogenik
Segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat
menyebabkan sinusitis. Contohnya rinitis akut, rinitis alergi, polip,
deviasi septum dan lain-lain.Alergi juga merupakan predisposisi infeksi
sinus karena terjadi edema mukosa dan hipersekresi.Mukosa sinus yang
membengkak menyebabkan infeksi lebih lanjut, yang selanjutnya
menghancurkan epitel permukaan, dan siklus seterusnya berulang.
Etiologi terkait rhinosinusitis rinogenik adalah:
a. Deviasi septum kavum nasi, polip, serta neoplasma atau tumor dapat
menyebabkan obstruksi ostium yang memicu Rhinosinusitis. 4
b. Deviasi PU (Processus unsinatus, tonjolan pada dinding lateral kavum
nasi) dapat mengganggu fungsi mukosilier sehingga mengganggu
ventilasi dan drainase sinus maksila, sinus etmoid dan sinus sfenoid. 4
c. Rhinitis alergi

2) Sinusitis Dentogen
Merupakan penyebab paling sering terjadinya sinusitis kronik. Dasar sinus
maksila adala prosessus alveolaris tempat akar gigi, bahkan kadang-
kadang tulang tanpa pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti
infeksi gigi apikal akar gigi, atau inflamasi jaringan periondontal
mudah menyebar secara langsung ke sinus, atau melalui pembuluh
darah dan limfe.4 Harus dicurigai adanya sinusitis dentogen pada
sinusitis maksila kronik yang mengenai satu sisi dengan ingus yang
purulen dan napas berbau busuk. Bakteri penyebabnya adalah.
Streptococcus pneumoniae, Hemophilus influenza, Streptococcus
viridans, Staphylococcus aureus, Branchamella catarhalis dan lain-lain.

Etiologi Rhinosinusitis dentogen adalah:


a. Penjalaran infeksi gigi, infeksi periapikal gigi maksila dari kaninus
sampai gigi molar tiga atas.
b. Prosedur ekstraksi gigi, misalnya terdorong gigi ataupun akar gigi
sewaktu akan diusahakan mencabutnya, atau terbukanya dasar sinus
sewaktu dilakukan pencabutan gigi.
c. Penjalaran penyakit periodontal yaitu adanya penjalaran infeksi dari
membran periodontal melalui tulang spongiosa ke mukosa sinus.
d. Trauma, terutama fraktur maksila yang mengenai prosesus alveolaris
dan sinus maksila.
e. Adanya benda asing dalam sinus berupa fragmen akar gigi dan bahan
tambalan akibat pengisian saluran akar yang berlebihan.
f. Osteomielitis akut dan kronis pada maksila.
g. Kista dentogen yang seringkali meluas ke sinus maksila, seperti kista
radikuler dan folikuler.

C. PATOFISIOLOGI

Rinosinusitis kronik dapat bermula dari rinitis alergi. Rinitis alergi


akan membuat edema mukosa pada dinding lateral nasal, mengarahkan
ke obtruksi kompleks osteomeatal, mengurangi ventilasi, memudahkan
retensi mukus dan menyebabkan perubahan patologis leih jauh pada
mukosa sinus. Hal ini membuat sinus lebih suseptibel terhadap infeksi. 5

Infeksi saluran nafas atas menyebabkan terjadinya reaksi


peradangan pada mukosa hidung, mukosa sinus termasuk juga mukosa
ostium sinus. Keadaan ini akan mempersempit ostium sinus yang secara
keseluruhan sudah sempit dan letaknya tersembunyi atau bahkan
menyebabkan obstruksi ostium . Oksigen yang ada dalam rongga sinus
akan diresorbsi oleh kapiler submukosa sehingga terjadi hipoksia dan
tekanan oksigen yang rendah didalam rongga sinus. Keadaan hipooksigen
juga akan menyebabkan vasodilatasi kapiler di submukosa, permeabilitas
pembuluh darah meningkat dan terjadilah proses transudasi. 5

Transudat yang terbentuk sebagian diresorbsi oleh submukosa


sehingga akan menambah udema submukosa dan sebagian lagi akan
terperangkap didalam rongga sinus. Tekanan oksigen yang rendah juga
akan mengganggufungsi sinus dimana kelumpuhan gerak silia ini akan
menambah timbunan transudat didalam rongga sinus.12Transudat yang
tertimbun, kadar oksigen yang terendah, gerak silia yang berkurang dan
sempitnya ostium merupakan kondisi yang baik untuk pertumbuhan
kuman. 5
Adanya bakteri dan lapisan mukosilia yang abnormal
meningkatkan kemungkinan terjadinya reinfeksi atau reinokulasi dari
virus. Konsumsi oksigen oleh bakteri akan menyebabkan keadaan
hipoksia di dalam sinus dan akan memberikan media yang
menguntungkan untuk berkembangnya bakteri anaerob. Penurunan jumlah
oksigen juga akan mempengaruhi pergerakan silia dan aktivitas leukosit.
Sinusitis kronis dapat disebabkan oleh fungsi lapisan mukosilia yang tidak
adekuat, obstruksi sehingga drainase sekret terganggu, dan terdapatnya
beberapa bakteri patogen. Bila kondisi ini menetap, sekret yang dikumpul
dalam sinus merupakan media baik untuk pertumbuhan dan multiplikasi
bakteri. Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis
akut bakterial dan memerlukan terapi antibiotik.1

Adanya infeksi akan menyebabkan edema konka sehingga drainase


sekret akan terganggu. Drainase sekret yang terganggu dapat menyebabkan
silia rusak dan seterusnya.3 Rinosinusitis terjadi bila edema di mukosa
kompleks ostiomeatal yang letaknya berhadapan akan saling bertemu
sehingga sekretnya ini menebal dan bila ditunggangi kontaminasi bakteri
maka mukosanya akan mengandung purulen. Virus juga memproduksi
enzim neuraminidase yang mengendurkan mukosa sinus dan mempercepat
difusi virus pada lapisan mukosilia hal ini menyebabkan silianya menjadi
kurang aktif dan sekret yang dihasilkan mukosa sinus menjadi kental
sehingga tidak dapat dialirkan. Maka akan terjadi gangguan drenase dan
ventilasi di dalam sinus. Bila sumbatan ini berlangsung berulang atau
terus-menerus yang akan menyebabkan rinosinusitis kronis sehingga akan
terjadi hipoksia dan retensi lender yang kemudian timbul infeksi oleh
bakteri aerob maupun anaerob.6

D. KLASIFIKASI

Berdasarkan beratnya penyakit, rinosinusitis dapat dibagi menjadi ringan,


sedang dan berat berdasarkan total skor visual analogue scale (VAS) (0-
10cm):2
- Ringan = VAS 0-3
- Sedang = VAS >3-7
- Berat = VAS >7-10

Untuk menilai beratnya penyakit, pasien diminta untuk menentukan dalam


VAS jawaban dari pertanyaan:
Berapa besar gangguan dari gejala rinosinusitis saudara?
__________________________________________________________
Tidak mengganggu 10 cm Gangguan terburuk yang masuk akal
Nilai VAS > 5 mempengaruhi kulaitas hidup pasien

Berdasarkan durasi penyakit, rhinosinusitis diklasifikasikan menjadi:


Akut
< 12 minggu
Resolusi komplit gejala
Kronik
12 minggu
Tanpa resolusi gejala komplit
Termasuk rinosinusitis kronik eksaserbasi akut. 2

1) Rinosinusitis akut
a) Rinosinusitis akut pada dewasa
Rinosinusitis akut pada dewasa didefinisikan sebagai onset tiba-tiba
dari dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat/
obstruksi/ kongesti atau discharge (sekret hidung anterior/ posterior):
nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
penurunan/ hilangnya penghidu
Gejala kurang dari 12 minggu:
Dengan interval bebas gejala bila terjadi rekurensi
Dengan validasi per-telepon atau anamnesis.2
b) Rinosinusitis akut pada anak
Rinosinusitis akut pada anak didefinisikan sebagai onset tiba-tiba dari
dua atau lebih gejala:
hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti
atau discoloured nasal discharge
atau batuk (siang hari dan malam hari)
Gejala kurang dari 12 minggu:
Dengan interval bebas gejala bila terjadi rekurensi
Dengan validasi per-telepon atau anamnesis
Pertanyaan tentang gejala alergi (seperti bersin, ingus seperti air, hidung
gatal, mata gatal dan berair) harus termasuk.2

2) Rinosinusitis kronik
a) Rinosinusitis kronik pada dewasa
Rinosinusitis kronik (dengan atau tanpa polip nasal) pada dewasa
didefinisikan :
Terdapat dua atau lebih gejala, salah satunya harus berupa hidung
tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau discharge (anterior/ posterior nasal
drip):
nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
penurunan/ hilangnya penghidu
Gejala 12 minggu:
Dengan validasi per-telepon atau anamnesis
Pertanyaan tentang gejala alergi (seperti bersin, ingus seperti air,
hidung gatal, mata gatal dan berair) harus termasuk.2

E. DIAGNOSIS

GEJALA KLINIS DAN PEMERIKSAAN FISIK

Gejala subyektif
Gejala lokal yaitu : hidung tersumbat, ingus kental yang kadang berbau dan
mengalir ke nasofaring (postnasal drip), halitosis, sakit kepala yang lebih berat
pada pagihari, nyeri di daerah sinus yang terkena, serta kadang nyeri alih ke
tempat lain. Gejala sistemik yaitu : demam dan rasa lesu.3

1. Sinusitis Maksilaris
Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila. Gejala sinusitis maksilaris akut
berupa demam, malaise dan nyeri kepala yang tak jelas yang biasanya reda
dengan pemberian analgetik biasa seperti aspirin. Wajah terasa bengkak, penuh,
dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik
atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan
menusuk, serta nyeri pada palpasi dan perkusi. Sekret mukopurulen dapat
keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk.3
2.
Sinusitis Etmoidalis
Sinusitis etmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak,
seringkalibermanifestasi sebagai selulitis orbita. Dari anamnesis didapatkan
nyeri yang dirasakan di pangkal hidung dan kantus medius, kadang-kadang
nyeri di bola mata atau di belakangnya, terutama bila mata digerakkan. Nyeri
alih di pelipis, post nasal drip dan sumbatan hidung. Pemeriksaan fisik
didapatkan nyeri tekan pada pangkal hidung.3
3.
Sinusitis Frontalis
Nyeri berlokasi di atas alis mata, biasanya pada pagi hari dan memburuk
menjelang tengah hari, kemudian perlahan-lahan mereda hingga menjelang
malam. Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila disentuh dan
mungkin terdapat pembengkakan supra orbita. Pemeriksaan fisik, nyeri yang
hebat pada palpasi atau perkusi di atas daerah sinus yang terinfeksi merupakan
tanda patognomonik pada sinusitis frontalis.3
4.
Sinusitis Sfenoidalis
Sinusitis sfenoidalis dicirikan oleh nyeri kepala yang mengarah ke verteks
kranium. Penyakit ini lebih lazim menjadi bagian dari pansinusitis dan oleh
karena itu gejalanya menjadi satu dengan gejala infeksi sinus lainnya.3

Tabel 1. Gejala dan tanda rhinosinusitis menurut EPOS 20122


Gejala utama Gejala tambahan Tanda
Hidung buntu nyeriwajah / Tanda dari endoskopi :
dan / atau rasa tertekan di - Polip nasi danatau
- Discarge mukopurulen
Pengeluaran wajah
dari meatus nasi media
cairan/ berkurang atau
dan atau
discharge dari hilang
- Udem/penyumbatan di
hidung baik ke Kemampuan
meatus nasi media
anterior atau ke menghidu
danatau
posterior
Perubahan gambaran CT
Adanya perubahan mukosa di
daerah osteomeatal kompleks
dan atau di daerah sinus.
Untuk membantu diagnosis sinusitis, American Academy of
Otolaryngology Head and Neck Surgery (AAO-HNS) membuat bagan
diagnosis yang disebut Task Force on Rhinosinusitis pada tahun 1996.
Bagan ini didasarkan atas gejala klinis yang dibagi atas kategori gejala
mayor dan minor untuk diagnosis rhinosinusitis.ditegakkan rinosinusitis
apabila terdapat 2 mayor atau 1 mayor dan 2 minor.

Tabel 2. Bagan Task force on Rhinosinusitis 1996


RINOSINUSITIS
Major Symptoms Minor Symptoms
Facial pain/pressure Headache
Facial congestion/fullness Fever (non acute)
Nasal obstruction/blockage Halitosis
Nasal discharge/purulence/discolored Fatique
posterior drainage
Hyposmia/anosmia Dental pain
Purulence on nasal exam Cough
Fever (acute rhinosinusitis only) Ear pain/pressure/fullness
a Facial pain/pressure alone does not constitute a suggestive history
for diagnosis in the absence of another symptom or sign.
b Fever in acute sinusitis alone does not constitute a seggustive history
for diangosis in the absence of another symptom or sign.

Berdasarkan kriteria Task Force on Rinosinusitis gejala mayor skor


diberi skor 2 dan gejala minor skor 1 sehingga didapatkan skor gejala klinik
sebagai berikut; Gejala Mayor:

Nyeri sinus = skor 2


Hidung buntu = skor 2
Ingus purulen = skor 2
Post nasal drip = skor 2
Gangguan penghidu = skor 2

Sedangkan Gejala Minor:


Nyeri kepala = skor 1
Nyeri geraham = skor 1
Nyeri telinga = skor 1
Batuk = skor 1
Demam = skor 1
Halitosis = skor 1
Pengukuran skor total gejala klinik dikelompokkan menjadi dua,
yaitu; sedang-berat (skor 8) dan ringan (skor <8) dengan Skor total gejala
klinik: skala nominal.

Gejala Obyektif
Pembengkakan pada sinus maksila terlihat di pipi dan kelopak mata bawah,
pada sinusitis frontal terlihat di dahi dan kelopak mata atas, pada sinusitis
ethmoid jarang timbul pembengkakan kecuali jika terdapat komplikasi.

Pemeriksaan fisik dengan rhinoskopi anterior, dan posterior, pemeriksaan naso-


endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini.Tanda
khas ialah adanya pus di meatus medius (pada sinusitis maksila dan ethmoid
anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis ethmoidalis
posterior dan sfenoid). Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis.
Pada anak sering ada pembengkakan dan kemerahan pada kantus medius.

1) Pada rhinoskopi anterior


Tampak mukosa konka hiperemis dan edema, pada sinusitis maksila, sinusitis
frontal dan sinusitis ethmoid anterior tampak nanah di meatus
medius,sedangkan pada sinusitis ethmoid posterior dan sinusitis sphenoid
nanah tampak keluar dari meatus superior.1
2) Pada rinoskopi posterior
Tampak pus di nasofaring (post nasal drip). Pada posisional test yakni pasien
mengambil posisi sujud selama kurang lebih 5 menit dan provokasi test yakni
suction dimasukkan pada hidung, pemeriksa memencet hidung pasien
kemudian pasien disuruhmenelan ludan dan menutup mulut dengan rapat. Jika
positif sinusitis maksilaris, maka akan keluar pus dari hidung.

KLASIFIKASI GEJALA BERDASARKAN AKUT DAN KRONIS

1) Sinusitis akut
Keluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai
dengan nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus purulen, yang
seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip). Dapat disertai dengan
gejala sistemik seperti demam dan lesu.1

Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan
ciri khas sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa di tempat
lain (referred pain). Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri di
antara atau di belakang kedua bola mata menandakan sinusitis etmoida,
nyeri di dahi atau kepala menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis
maksila kadang-kadang terdapat nyeri alih ke gigi dan telinga. Gejala lain
adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post-nasal drip yang
dapat menyebabkan batuk dan sesak pada anak.1

Sinusitis akut umumnya dimulai dari infeksi saluran pernafasan atas oleh
virus yang melebihi 10 hari. Organisme yang umum menyebabkan
sinusitis akut termasuk Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza
dan Moraxella catarrhalis. 2 Penyebab utamanya ialah selesma (common
cold) yang merupakan infeksi virus, terdapat transudasi di rongga-rongga
sinus, mula-mula serous yang biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa
pengobatan. Selanjutnya diikuti oleh infeksi bakteri, yang bila kondisi ini
menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media baik untuk
tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen.2
Sinusitis akut berulang tejadi gejala lebih dari 4 episode per tahun dengan
interval bebas penyakit lain. Eksaserbasi akut rinosinusitis didefinisikan
sebagai memburuknya gejala pada pasien yang sudah didiagnosis
rhinosinusitis secara tiba-tiba, dengan kembali ke gejala awal setelah
perawatan. Kriteria diagnostik yang terbaru adalah berdasarkan EPOS
2012, dimana rhinosinusitis didefinisikan sebagai peradangan pada hidung
dan sinus paranasal dengan beberapa gejala dan tanda :2

2) Sinusitis kronik
Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Selama
eksaserbasi akut, gejala mirip dengan sinusitis akut, selain itu gejala
berupa suatu perasaan penuh pada wajah dan hidung, dan hipersekresi
yang seringkali mukopurulen. Kadang-kadang hanya satu atau dua dari
gejala-gejala dibawah ini yaitu : sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk
kronik, gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan kronik
muara tuba eustachius, gangguan ke paru seperti bronkitis (sino-bronkitis),
bronkiektasi, dan yang penting adalah serangan asma yang meningkat dan
sulit diobati. 1

Hidung biasanya sedikit tersumbat, dan tentunya ada gejala-gejala faktor


predisposisi, seperti rinitis alergika yang menetap, dan keluhan-keluhannya
yang menonjol. Pasien dengan sinusitis kronik dengan polip nasi lebih
sering mengalami hiposmia dan lebih sedikit mengeluhkan nyeri atau rasa
tertekan daripada yang tidak memiliki polip nasi.Bakteri yang memegang
peranan penting dalam patogenesis rinosinusitis kronik masih
kontroversial. Organisme yang umum terisolasi pada sinusitis kronik
termasuk Staphylococcus aureus, bakteri anaerob dan gram negatif seperti
Pseudomonas aeruginosa.Menurut EPOS 2012 (tabel 1) diklasifikasikan
sebagai RSK jika durasi gejala 12 minggu, tanpa terjadi resolusi lengkap
dan dapat menjadi eksaserbasi akut.2

No Kriteria Rinosinusitis akut Rinosinusitis Kronis

Dewasa Anak Dewasa Anak

< 12 < 12 > 12 > 12


1 Lama gejala dan tanda
minggu minggu minggu minggu

2 Jumlah episode serangan < 6 kali / > 4 kali / > 6 kali /


< 4 kali /
akut, masing-masing tahun tahun tahun
tahun
berlangsung minimal 10

hari

3 Jumlah episode serangan Dapat sembuh Tidak dapat sembuh


akut, masing-masing sempurna dengan sempurna dengan

berlangsung minimal 10 pengobatan pengobatan

hari medikamentosa medikamentosa

Tabel 2.1. Kriteria rinosinusitis akut dan kronik pada anak dan dewasa menurut

International Conference on Sinus Disease 2004

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan foto kepala


Pemeriksaan foto kepala untuk mengevaluasi sinus paranasal terdiri atas
berbagai macam posisi antara lain :
Foto kepala posisi anterior-posterior ( AP atau posisi Caldwell)
Foto kepala lateral
Foto kepala posisi waters
Foto kepala posisi submentoverteks
Foto kepala posisi Rhese (oblique)

Foto posisi Towne 7

Pada infeksi sinus paranasal tampak:


-penebalan mukosa
-air-fluid level (kadang-kadang)
-perselubungan homogen atau tidak homogen pada satu atau lebih sinus
paranasal
-penebalan dinding sinus dengan sklerotik (pada kasus kasus kronik) 7

Pada sinusitis kronik, tampak juga sebagai penebalan dinding sinus yang
diakibatkan timbulnya fibrosis dan jaringan parut yang menebal. Namun,
pada foto polos tidak dapat membedakan antara penebalan mukosa dan
gambaran fibrotik beserta pembentukan jaringan parut, dimana hanya
tampak sebagai penebalan dinding sinus. Gambaran air fluid level juga
tidak hanya dicurigai pada kasus sinusitis, namun akan tampak pula pada
pasien yang baru saja mengalami pencucian sinus maksilaris; pada pasien
dengan trauma kepala baik disertai fraktur atau tidak fraktur pada dinding
sinus, dan penyakit blood dyscrasia (seperti von Willebrand disease)
dimana terjadi perdarahan pada mukosa.7
2. CT-Scan
CT-Scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu
menilai secara anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung
dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya. Pemeriksaan CTScan
merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah
pada sinusitis dengan komplikasi. CT-Scan pada sinusitis akan tampak
penebalan mukosa, air fluid level, perselubungan homogen atau tidak
homogen pada satu atau lebih sinus paranasal, penebalan dinding sinus
dengan sklerotik pada kasus-kasus kronik yang tidak membaik dengan
terapi, rinosinusitis dengan komplikasi, evaluasi preoperatif dan jika ada
dugaan keganasan 7
3. MRI
MRI dapat membedakan sisa mukus dengan massa jaringan lunak dimana
nampak identik pada CT scan. 1
4. Transiluminasi
Pada pemeriksaan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram
atau gelap. 1,2
5. Pemeriksaan Mikrobiologi
Sebaiknya untuk pemeriksaan mikrobiologik diambil sekret dari meatus
medius atau meatus superior.1
6. Sinuskopi
Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus
maksila melalui meatus media inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat
kondisi sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan
irigasi.1

F. TERAPI

Tujuan utama penatalaksanaan sinusitis adalah:


1) Mempercepat penyembuhan
2) Mencegah komplikasi
3) Mencegah perubahan menjadi kronik.1
Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM sehingga drainase
dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alamai. Antibiotik dan dekongestan
merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial. Untuk
menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka ostium
sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti amoksisilin.
Jika diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi beta-laktamase,
maka dapat diberikan amoksisilin-klavulanat atau jenis sefalosporn generasi
ke-2. Pada sinusitis antibiotik diberikan 10-14 hari meskipun gejala klinis
sudah hilang. Pada sinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai untuk
bakteri gram negatif dan anaerob.1, 6,8

Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika
diperlukan, seperti analgesik, mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian
rongga hidung dengan NaCl atau pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak
rutin diberikan, karena sifat jadi lebih kental. Bila ada alergi berat sebaiknya
diberikan amtihistamin generasi ke-2. Irigasi sinus maksila atau Proetz
displacement therapy juga merupakan terapi tambahan yang bermanfaat.
Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita alergi yang
berat.1,8,9
Tindakan operasi
Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi terkini
untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini telah
menggantikan hampir semua jeni bedah sinus terdahulu karena memberikan
hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan tidak radikal.
Indikasi berupa sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat,
sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel, polip ekstensif,
adanya komplikasi sinusitis serta jamur.1 Tindakan bedah sederhana pada
sinusitis maksilaris kronik adalah nasoantrostomi atau pembentukan fenestra
nasoantral. Etmoidektomi dilakukan pada sinusitis etmoidalis.
Frontoetmoidektomi eksternal dilakukan pada sinusitis frontalis. Eksplorasi
sfenoid dilakukan pada sinusitis sfenoidalis. Pembedahan sinus endoskopik
merupakan suatu teknik yang memungkinkan visualisasi yang baik dan
magnifikasi anatomi hidung dan ostium sinus normal bagi ahli bedah.1

Berikut ini merupakan alur skema penatalaksanaan sinusitis akut dan kronik
berdasarkan European Position Paper on Rhinosinusitisnand Nasal Polyps
2012
Gambar 1. Skema penatalaksanaan rinosinusitis akut pada dewasa untuk
pelayanan kesehatan primer berdasarkan European Position Paper on
Rhinosinusitisnand Nasal Polyps 2012

Gambar 2. Skema penatalaksanaan rinosinusitis kronik dengan atau tanpa polip


hidung pada dewasa untuk pelayanan kesehatan primer dan dokter spesialis non
THT berdasarkan European Position Paper on Rhinosinusitisnand Nasal Polyps
2012
Gambar 3. Skema penatalaksanaan rinosinusitis kronik tanpa polip hidung pada
dewasa untuk pelayanan kesehata dokter spesialis non THT berdasarkan
European Position Paper on Rhinosinusitisnand Nasal Polyps 2012

3.2 Rhinitis Alergi

A. DEFINISI

Rinitis alergi adalah peradangan mukosa hidung yang disebabkan proses


inflamasi mukosa hidung yang dimediasi oleh reaksi hipersensitivitas tipe I.
Menurut Allergic Rinitis and its Impact on Asthma (ARIA) tahun 2001, rinitis
alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa
gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai
oleh IgE.1,3

B. ETIOLOGI
Rinitis alergi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang secara
genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas
memiliki peran penting. Pada 2030% semua populasi dan pada 1015%
anak memiliki riwayat atopi. Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi
menjadi 4 kali lebih besar atau mencapai 50%. Peran lingkungan dalam
dalam rinitis alergi yaitu alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan,
terpapar dan merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki
kecenderungan alergi.1,3
Berdasarkan cara masuknya, alergen dibagi atas:
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya
tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang (anjing, kucing),
rerumputan, dan jamur.
2. Alergen ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya
susu, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting, dan kacang-kacangan.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin dan sengatan lebah.
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik dan perhiasan.

C. PATOFISIOLOGI

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase
yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC)
yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan
late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang
berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah
pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.10
Gambar 4. Patofisiologi reaksi alergi

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC)
akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa
hidung.Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida
dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida
Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II yang kemudian
dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian APC akan melepas
sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk
berproliferasi menjadi Th1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai
sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5, dan IL 13.IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh
reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif
dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan
masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau
basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut
sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa
yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE
akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah
terbentuk (performed mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan newly formed mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet
Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6,GM-CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah
yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). 1,3

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga


menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah
hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang
ujung saraf vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung
sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1(ICAM
1).Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons
ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai
puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan
penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil,
basofil dan mastosit di mukosa hidung serta pengingkatan sitokin seperti IL3,
IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF)
dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau
hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator
inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),
Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan
Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen),
iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok,
bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi. 1

D. KLASIFIKASI
Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan ARIA (Allergic Rinitis and its Impact on
Asthma) tahun 2008, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi 1:
1. Intermiten (kadang-kadang) bila gejala muncul:
Kurang dari 4 hari/minggu
atau kurang dari 4 minggu berturut-turut.
2. Persisten/menetap bila gejala muncul:
Lebih dari 4 hari/minggu
atau lebih dari 4 minggu berturut-turut.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi


menjadi:
1. Ringan bila tidak ada gejala:
Gangguan tidur
Gangguan aktivitas harian, bersantai dan/atau berolahraga
Gangguan belajar atau bekerja
Ada gejala tetapi tidak mengganggu
2. Sedang-berat bila terdapat satu atau lebih gejala:
Gangguan tidur
Gangguan aktivitas harian, bersantai dan/atau berolahraga
Gangguan belajar atau bekerja
Gejala mengganggu

E. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan penunjang bila diperlukan.
a. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan
pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja.
Gejala rinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin berulang.
Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari
atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan
mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning
process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari lima kali setiap
serangan, terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada
RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin. Gejala lain adalah keluar ingus
(rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal,
yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).
Rinitis alergi sering disertai oleh gejala konjungtivitis alergi. Sering kali
gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang
keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala
yang diutarakan oleh pasien.1,5

b. Pemeriksaan Fisik

Selain dari anamnesis perlu juga untuk dilakukan pemeriksaan fisik. Pada
rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid
disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa
inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila
fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak adalah terdapatnya bayangan
gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat
obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner.Selain dari itu sering juga
tampak anak menggosok-gosok hidung, karena gatal, dengan punggung
tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok ini
lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsumnasi
bagian sepertiga bawah, yang disebut sebagai allergic crease. Mulut sering
terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan
menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding
posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta
dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta
(geographic tongue).1,5

c. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis


rinits alergi antara lain:
1. Secara invitro

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian
pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali
menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari
satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma
bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan
alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang
tinggi. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test)
atau ELISA (Enzyme Linked Immuno SorbentAssay Test).Selain itu
pemeriksaan sitologi hidung juga dapat dilakukan, walaupun tidak dapat
memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap.
Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan
alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan,
sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.1

2. Secara invivo

Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point
Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan
alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya.
Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis
inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. Untuk alergi makanan, uji kulit
seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya
ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test).Alergen
ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu
pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah
berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi,
jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu
ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.1

F. TERAPI

Pada rinitis alergi terdapat beberapa terapi yang dapat dilakukan, yaitu:1,3,9
1. Menghindari kontak dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi
yang merupakan terapi yang paling ideal dalam penatalaksanaan rinitis alergi.
2. Medikamentosa yang terdiri dari beberapa jenis pilihan obat yang dapat
digunakan, antara lain:
a. Antihistamin. Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1,
yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan
merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini
pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau
tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.Antihistamin dibagi
dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi 1 (klasik) dan
generasi 2 (non-sedatif). Antihistamin generasi 1 bersifat lipofilik, sehingga
dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta
serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain
adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin, sedangkan
yang dapat diberikan secara topikal adalah azelastin. Antihistamin generasi 2
bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat
selektif mengikat resptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek
antikolinergik, antiadrenergik dan pada efek pada SSP minimal (non-
sedatif).Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah serta
efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat.
Antihistamin non sedatif dapat dibagi menjadi dua golongan menurut
keamananya. Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang
mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut
disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan
aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematia medadak (sudah ditarik
dari peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin,
desloratadin, dan levosetirisin.
b. Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai
dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin
atau topikal. Golongan obat ini tersedia dalam bentuk topikal maupun
sistemik. Onset obat topikal jauh lebih cepat daripada preparat sistemik.,
namun dapat menyebabkan rinitis medikamentosa bila digunakan dalam
jangka waktu lama. Obat dekongestan sistemik yang sering digunakan adalah
pseudoephedrine HCl dan Phenylpropanolamin HCl. Obat ini dapat
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah. Dosis obat ini 15 mg untuk
anak 2-5 tahun, 30 mg untuk anak 6-12 tahun, dan 60 mg untuk dewasa,
diberikan setiap 6 jam. Efek samping dari obat-obatan ini yang paling sering
adalah insomnia dan iritabilitas
c. Preparat kortikosteroid. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama
sumbatan hidung akibat respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat
lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometason,
budesonid, flunisolid, flutikason, mometason, furoat dan triamsinolon).
Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada
mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil,
mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini
menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan alergen
(bekerja pada respon cepat dan lambat). Preparat sodium kromoglikat topikal
bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehingga
pelepasan mediator dihambat. Pada respons fase lambat, obat ini juga
menghambat proses inflamasi dengan menghambat aktifasi sel netrofil,
eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai
profilaksis.
d. Antikolinergik. Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromide,
bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor
kolinergik pada permukaan sel efektor.

3. Tindakan operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),
konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan
bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara
kaeuterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.
4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat
dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak
memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah
pembentukkan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode
imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sublingual.10
WHO Initiative ARIA pada tahun 2008 membuat alur penatalaksanaan pasien
dewasa dengan rinitis alergi sebagai berikut:
Gambar 5. Algoritma penatalaksanaan Rinitis Alergi

BAB IV

PEMBAHASAN

Diagnosis Rhinosinusitis kronik e.c. rhinogen pada kasus ini ditegakkan


berdasarkan anamnesis gejala klinis dan pemeriksaan fisik pasien. Berdasarkan
EPOS (2012), diagnosis rinosinusitis kronik dapat ditegakkan bila terdapat dua
gejala atau lebih yang salah satunya harus berupa blockade / obstruksi / kongesti
hidung atau discharge hidung (anterior/posterior nasal drip) disertai dengan nyeri
pada wajah atau rasa penuh pada wajah dan penurunan atau hilangnya penghiduan
yang berlangsung lebih dari atau sama dengan 12 minggu. Keluhan tersebut harus
dibuktikan dengan pemeriksaan hidung untuk melihat keadaan hidung bagian
dalam dan pemeriksaan rinoskopi posterior untuk memastikan posterior discharge.
Perlu ditanyakan juga adanya riwayat alergi karena dapat menjadi salah satu
penyebab terjadinya rinosinusitis kronik.

Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien mengeluh nyeri kepala disertai hidung
sering tersumbat hilang timbul sejak 2 bulan yang lalu, semakin memberat dalam
2 minggu terakhir. Keluhan disertai dengan menurunnya daya penciuman.
Keluhan lain berupa terasa ada cairan yang mengalir ke tenggorokan saat pasien
berbaring dan nafas berbau. Pasien mengaku 6 tahun lalu pernah mengalami
keluhan serupa dan di diagnosis sinusitis. Pasien rutin mengkonsumsi obat hingga
keluhan hilang, namun keluhan muncul lagi 2 bulan terakhir. Riwayat sering
bersin pada pagi hari dan cuaca dingin diakui oleh pasien. Riwayat memiliki
diabetes disangkal, riwayat mengalami infeksi gigi, sakit di gigi atau area mulut
disangkal.

Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior didapatkan adanya mukosa cavum nasi


hiperemis, terdapat sekret dan konka inferior dekstra sinistra mengalami
hipertrofi juga edema, sehingga pada konka media sulit dinilai. Pada pemeriksaan
orofaring ditemukan halitosis pada pasien. Pada pasien terdapat allergic shiner
dikedua bagian mata. Hasil pemeriksaan ini menunjukkan bahwa rhinitis yang
dialami pasien cenderung rhinitis alergi. Pada area sinus paranasal tidak
ditemukan adanya nyeri tekan.

Menurut International Consensus on Sinus Disease, tahun 1993 dan 2004, jika
terdapat gejala sesuai dengan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2
kriteria minor dari kumpulan gejala dan tanda. Kriteria mayor terdiri dari:
sumbatan atau kongesti hidung dan gangguan penghidu. Kriteria minor pada
pasien ini ditemui nyeri kepala, merasa lemas, dan nafas berbau. Berdasarkan data
tersebut pasien memiliki 2 kriteria mayor dan 3 kriteria minor sehingga dapat
ditegakkan bahwa diagnosa pasien adala rhinosinusitis. Rhinosinusitis
diklasifikasikan menjadi rinosinusitis rinogenik dan dentogenik. Pada pasien,
tidak didapatkan adanya keluhan mengenai masalah gigi sebelumnya dan pasien
memiliki kecenderungan untuk bersin dan pilek pada pagi hari maupun cuaca
dingin, sehingga rinosinusitis yang dialami pasien lebih cenderung terhadap
rinogenik yang diperkirakan yaitu rinitis alergi.

Pemeriksaan penunjang yang diajukan sudah tepat, yaitu foto polos waters. Foto
polos posisi Waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi
sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat
perselubungan, batas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa. Selain
itu, pasien juga dianjurkan untuk menjalani skin test atau prick test. Tes ini
digunakan untuk diagnosis apakah pasien memiliki alergi dan apa saja alergen
yang menimbulkan reaksi pada pasien, sehingga pasien dapat mengurangi intesitas
paparan dan menghindari pencetus dari rinosinusitis yang dialami.

Menurut EPOS 2012, penatalaksanaan rinosinusitis kronik adalah pemberian


topical steroid nasal irigasi kemudian dievaluasi setelah 4 minggu terapi.
Pemilihan terapi medikamentosa pada pasien juga sudah tepat bahwa terapi
medikamentosa berupa Steroid topikal yaitu Nasacort 2 spray tiap lubang hidung
1 x 1 hari, evaluasi setelah 4 minggu dan Asam Mefenamat 3 x 500 mg.
Pemberian steroid nasal topikal seperti beclometasone, budesonide, fluticasone
dan triamcinolone karena obat tersebut meredakan edema nasal, inflamasi nasal
dan memperlancar pengeluaran sekret hidung. Kandungan pada Nasacort spray
adalah Triamcinolone acetonide. Pada pasien dengan alergi dapat diberikan anti
histamin generasi kedua seperti loratadin dan dapat diberikan obat cuci hidung.
obat cuci hidung berguna untuk meredakan membran nasal yang mengalami
infamasi, kekeringan, atau keropeng serta memperbaiki fungsi mukosiliaris. Selain
itu, karena diperkirakan pasien memiliki gejala atopi yaitu rhinitis alergi, pasien
dapat diberikan anihistamin seperti Cetirizine dengan dosis 1x 10 mg/hari.
Pada pasien ini dalam edukasinya dipertimbangkan tindakan pembedahan, hal ini
dikarenakan pasien mengalami rhinosinusitis kronik yang telah dikeluhkan selama
6 tahun terakhir, sehingga jika dalam 4 minggu evaluasi pasien keluhannya belum
membaik, pasien dirujuk ke bagian spesialis THT untuk dilakukan tindakan
pembedahan sinus seperti BSEF.

BAB V

KESIMPULAN

1. Rinosinusitis kronik (dengan atau tanpa polip nasal) didefinisikan jika


terdapat dua atau lebih gejala, salah satunya harus berupa hidung tersumbat/
obstruksi/ kongesti atau discharge (anterior/ posterior nasal drip), nyeri
wajah/ rasa tertekan di wajah, batuk yang terjadi 12 minggu
2. Rhinosinusitis rinogen adalah peradangan mukosa hidung dan satu atau lebih
mukosa sinus paranasal yang disebabkan oleh egala sesuatu yang
menyebabkan sumbatan pada hidung . Contohnya rinitis akut, rinitis alergi,
polip, deviasi septum dan lain-lain.
3. Diagnosis dilakukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan rinoskopi anterior
dan rinoskopi posterior, nasoendoskopi, disertai pemeriksaan penunjang.
Penegakan diagnosis pada kasus ini sudah tepat yaitu Rhinosinusitis kronik et
causa rhinogen
4. Penatalaksanaannya adalah menghindari pencetus, konservatif, diberikan
steroid topikal dan dilakukan evaluasi setalah 4 minggu.

DAFTAR PUSTAKA

1 Mangunkusumo E & Soetjipto D. Sinusitis. Buku ajar ilmu kesehatan telinga,


hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi keenam. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2007
2 Fokkens W, Lund V, Mullol J, et al. European position paper on rhinosinusitis
and nasal polyps (EPOS 2012). Rhinology, 2012
3 Adams GL, Boies LR, Higler PH. Hidung dan sinus paranasalis. Buku ajar
penyakit tht. Edisi keenam. 1997. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
4 Budiman BJ, Azani. Rinosinusitis kronik dengan Variasi Anatomi Cavum
Nasi. Bagian THT-KL Universitas Andalas. 2008. Padang: Universitas
Andalas
5 Ludman H, Bradley P. Textbook ABC of Ear Nose and Throat. Massachusets:
Blackwell Publishing. 2007
6 Mustafa M, Pattawari, Iftikhar HM et al. Acute and Chronic Rhinosinusitis,
Pathophysiology and Treatment. International Journal of Pharmaceutical
Science Invention. February 2015
7 Rasad, S. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua.2005. Jakarta: Badan Penerbit
FK UI
8 Chow AW, Benninger MS, Brook I et.al. IDSA Clinical Practice Guideline for
Acute Bacterial Rhinosinusitis in Children and Adults. IDSA Guideline for
ABRS. 2012
9 Singapore Ministry of Health. Management of Rhinosinusitis and Allergic
Rhinitis. MOH Clinical Practice Guidline. Singapore. 2010

You might also like