You are on page 1of 42

CASE REPORT

EPILEPSI

Oleh :
Nisrina Pradya
1518012139

Perseptor :
dr. Diah Astika Rini, Sp. A
KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AHMAD YANI METRO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2016
PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan salah satu penyebab terbanyak morbiditas di

bidang saraf anak, yang menimbulkan berbagai permasalahan

antara lain kesulitan belajar, gangguan tumbuh-kembang, dan

menentukan kualitas hidup anak. Insidens epilepsi pada anak

dilaporkan dari berbagai negara dengan variasi yang luas, sekitar

4-6 per 1000 anak, tergantung pada desain penelitian dan

kelompok umur populasi. Di Indonesia terdapat paling sedikit

700.000-1.400.000 kasus epilepsy dengan pertambahan sebesar

70.000 kasus baru setiap tahun dan diperkirakan 40%-50%

terjadi pada anak-anak. Sebagian besar epilepsi bersifat

idiopatik, tetapi sering juga disertai gangguan neurologi seperti

retardasi mental, palsi serebral, dan sebagainya yang disebabkan

kelainan pada susunan saraf pusat.

Epilepsi didefinisikan sebagai kejang berulang yang tidak terkait

dengan demam atau dengan serangan otak akut. Epilepsi


merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai

etiologi, dengan gejala tunggal yang khas, yaitu kejang berulang

akibat lepasnya muatan listrik neuron otak secara berlebihan dan

paroksimal. Terdapat dua kategori dari kejang epilepsi yaitu

kejang fokal (parsial) dan kejang umum. Kejang fokal terjadi

karena adanya lesi pada satu bagian dari cerebral cortex, di

mana pada kelainan ini dapat disertai kehilangan kesadaran

parsial. Sedangkan pada kejang umum, lesi mencakup area yang

luas dari cerebral cortex dan biasanya mengenai kedua hemisfer

cerebri. Kejang mioklonik, tonik, dan klonik termasuk dalam

epilepsi umum.

BAB I. DATA PASIEN

1.1 Identitas

Nama anak : An. Fn

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tgl lahir : 20 Februari 2011

Usia : 5 Tahun 3 Bulan

Masuk RSAY : 3 Juni 2016

Anak Ke- : Satu (1)

Hubungan dengan orangtua : Anak

Agama : Islam

Suku : Jawa
Alamat : Banjarsari

Nama Ayah : Tn. M

Usia : 32 Tahun

Pekerjaan : Buruh

Pendidikan : SMA

Nama Ibu : Ny. R

Usia : 23 Tahun

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga (IRT)

Pendidikan : SMA

1.2 Anamnesis (Alloanamnesis)

1.2.1 Keluhan Utama

Pasien datang ke RSAY dengan keluhan utama kejang.

1.2.2 Keluhan Tambahan

Muntah dan sesak.

1.2.3 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan kejang pukul 17.00 dengan durasi < 5

menit, pada saat kejang seluruh ekstremitas pasien kaku pada satu

posisi dan mata terbelalak ke atas. Pasien menangis setelah kejang,

muntah satu kali dan napas dirasa sesak. Pasien tidak mengalami

demam, tidak menderita batuk dan flu, BAK dan BAB juga dalam batas

normal.
1.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu

Dalam 1 bulan terakhir pasien mengalami kejang sebanyak 3 kali

dengan durasi <5 menit tanpa didahului demam. Pasien dibawa ke

bidan dan keluhan dirasa menghilang. Pasien juga memiliki gangguan

perkembangan bicara.

1.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat kejang pada keluarga disangkal oleh Ibu pasien.

1.2.6 Riwayat Kehamilan Ibu dan Prenatal

Selama kehamilan, ibu pasien rutin memeriksakan kandungan di Bidan.

Frekuensi pemeriksaan Trimester I sejumlah 3 kali, Trimester II

sejumlah 3 kali dan Trimester III sejumlah 6 kali. Ibu pasien tidak

mengalami keluhan yang berarti selama kehamilan. Ibu pasien tidak

mengonsumsi obat-obatan atau jamu, hanya mengonsumsi vitamin dari

bidan.

1.2.6 Riwayat Persalinan

Pasien dilahirkan di Bidan berusia kurang bulan 32 minggu. Berat

Badan (BB) saat lahir 2000 gram dengan Panjang Badan (PB) 42 cm.

Tidak ada kecacatan saat lahir dan dilahirkan secara spontan.

1.2.7 Riwayat Imunisasi

BCG : 1 Bulan

DPT 1 : 2 Bulan

DPT 2 : 3 Bulan

DPT 3 : 4 Bulan

Polio1 : 1 Bulan
Polio 2 : 2 Bulan

Campak : 9 bulan

Hept B 1 : 1 Bulan

1.2.8 Riwayat Makanan

Riwayat makanan pasien dari usia 0-6 bulan adalah konsumsi ASI (Air

Susu Ibu) eksklusif. Pada saat pasien berusia 6-18 bulan, pasien telah

dikenalkan dengan nasi yang dihaluskan. Ketika usia pasien beranjak

lebih dari 18 bulan, pasien sudah mengonsumsi makanan dan lauk

keluarga.

1.3 Pemeriksaan Umum

Keadaan Umum : Hipoaktif

Kesadaran : compos mentis

Suhu : 36,8oC

Frekuensi Nadi : 96 kali/menit

Frekuensi Nafas : 28 kali/menit

Berat Badan Awal : 13 kg

Berat Badan Sekarang : 13 kg

Lingkar Lengan : 14cm

Status Gizi : BB/Usia : 13/19 x 100% = 68% (Gizi Buruk)

TB/Usia : 104/111 x 100% = 93% (Normal)

BB/TB : 13/17 x 100% = 76% (Kurus)

1.4 Pemeriksaan Fisik Generalis


1.4.1 Kelainan Mukosa Kulit/Subkutan Yang Menyeluruh

Pucat : Tidak Ada

Sianosis : Tidak Ada

Ikterus : Tidak Ada

Oedem : Tidak Ada

Turgor : Baik

Pembesaran KGB : Tidak Ada

1.4.2 Kepala

Muka : Simetris, tidak ada deformitas

Rambut : Rambut coklat, tidak rontok, bersih

Ubun-ubun Besar : Datar

Mata : Simetris Kanan/Kiri, tidak ada strabismus, sklera

tidak ikterik, conjungtiva tidak anemis

Telinga : Simetris, tidak ada deformitas

Hidung : Simetris, tidak ada nafas cuping hidung

Mulut : Simetris, bibir bersih, mukosa bibir normal

1.4.3 Leher

Bentuk : Simetris, rangsang meningeal negatif

Trakea : Normal, tidak ada deviasi

KGB : Tidak ada perbesaran

1.4.4 Thoraks

Bentuk : Simetris

Retraksi : Tidak Ada

1.4.5 Jantung
Inspeksi : Tidak terlihat iktus kordis

Palpasi : Tidak teraba thrill

Perkusi : Tidak ada kardiomegali

Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, tidak ada murmur,

gallop

1.4.6 Paru

ANTERIOR POSTERIOR

KIRI KANAN KIRI KANAN

Inspeksi Pergerakan Pergerakan Pergerakan Pergerakan


pernafasan pernafasan pernafasan pernafasan
simetris simetris simetris simetris
Palpasi Fremitus taktil Fremitus taktil Fremitus taktil Fremitus taktil
= kanan = kiri = kanan = kiri
Perkusi Sonor Sonor Sonor Sonor

Auskult Suara nafas Suara nafas Suara nafas Suara nafas


asi vesikuler vesikuler vesikuler vesikuler
Ronkhi (-) Ronkhi (-) Ronkhi (-) Ronkhi (-)
Wheezing (-) Wheezing (-) Wheezing (-) Wheezing (-)
1.4.7 Abdomen

Inspeksi : Datar

Palpasi : Turgor baik, hepar dan lien tidak teraba

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Bising Usus (+) normal

1.4.8 Ekstremitas

Jari Tangan : Lengkap, tanpa cacat

Jari Kaki : Lengkap, tanpa cacat

Pergerakan : Aktif

1.4.9 Genitalia

Jenis Kelamin : Laki-laki

Lubang Anus : Ada

Keadaan : Bersih

1.5 Hasil Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium ( Darah Lengkap )

Leukosit : 8,63x103 /L

Eritrosit : 6,59x106 /L

Hb : 13,4 gr/dL

Ht : 43,9%

Trombosit: 410x103 /L

MCV : 66,6% fL

MCH : 20,3 pg

MCHC : 30,5 g/dL


Pemeriksaan EEG

Kesan : Terdapat lesi iritatif di seluruh lapang otak terutama pada otak bagian

kanan

1.6 Diagnosa

An. Fn didiagnosa epilepsy

1.7 Tatalaksana

Tatalaksana di IGD Tatalaksana yang disarankan


- O2 2 liter/menit (nasal) - Oksigen 2 liter /menit
- Stesolid 10 mg supp
- IVFD RL VIII tpm makro - Diazepam tube 10 mg
- Stesolid 3,9 mg jika kejang berulang
- Ampicilin 3x400mg ( suppositoria )
- Ondancentron 2 x ampul
- Obs. TTV, kejang - IVFD D5 NS 12 tpm makro

- Inj. Diazepam 3,25mg bila

kejang berulang

- Inj. Ondancentron 2 x

ampul

- Oral : Asam Valproat 2x2,5 ml

(dosis awal 15 mg/kgBB/hari)

- Observasi :
TTV

EKG

GDS

Elektrrolit Serum

Analisa gas Darah

Koreksi kelainan

1.8 Follow Up

S O A P
Keluhan Status Assesment Penatalaksanaan

3/3/2016 KU : Hipoaktif Obs. Konvulsi - O2 2 liter/menit (nasal)


Pkl.18.00 KS : Compos Mentis (Kejang berulang) - Stesolid 10 mg supp
HR : 98 x/menit diulang 2x
RR : 28 x/menit - IVFD RL VIII tpm makro
Demam (-); T : 36,8C - Stesolid 3,9 mg jika
Sesak (+); kejang berulang
Batuk (-); Kepala - Ampicilin 3x400mg
Dahak (-); Simetris, tidak ada kelainan, konjungtiva - Ondancentron 2 x ampul
Muntah (+); tidak anemis, sklera tidak ikterik, tidak - Obs. TTV, kejang
BAB (+) dijumpai deformitas.
tidak cair;
BAK (+); Paru
Perut I : Simetris, retraksi (-)
kembung (-) P : Ekspansi Simetris
A : Vesikuler, Ronkhi -/-
Wheezing -/-
Jantung
I : Ictus cordis tidak terlihat
P : Ictus cordis teraba
A : BJ I/II Reguler, Murmur (-)

Abdomen
I : datar
A : Bising usus (+)
P : Organomegali (-), soepel
P : Timpani (+)

Ekstremitas :
Edema superior -/-Edema
inferior -/-
4/6/2016 KU : Hipoaktif Kejang Tanpa - O2 2 liter /menit
Pkl. 06.00 KS : Compos Mentis demam - IVFD D5 NS 12 tpm
T : 36,7 C makro
HR : 116 x/menit - Ampicilin 3x400 mg
Sesak (-); RR : 20 x/menit - Gentamicin 2x30mg
Demam (-); - Diazepam 4mg iv bila
Kejang (-) Kepala kejang
Batuk (-), Simetris, tidak ada kelainan, konjungtiva - Oral : diazepam 3x1,5 mg
BAB (-) tidak anemis, sklera tidak ikterik, tidak - Pro EEG
BAK (+), dijumpai deformitas.

Paru
I : Simetris, retraksi (-)
P : Ekspansi Simetris
A : Vesikuler, Ronkhi -/-
Wheezing -/-
Jantung
I : Ictus cordis tidak terlihat
P : Ictus cordis teraba
A : BJ I/II Reguler, Murmur (-)

Abdomen
I : datar
A : Bising usus (+)
P : Organomegali (-), soepel
P : Timpani (+)

Ekstremitas :
Edema superior -/-Edema
inferior -/-

5/6/2016 KU : Aktif Kejang Tanpa - IVFD D5 NS 12 tpm


Pkl. 06.00 KS : Compos Mentis demam makro
T : 35,7 C - Ampicilin 3x400 mg
Sesak (-); HR : 98 x/menit - Gentamicin 2x30mg
Demam (-); RR : 20 x/menit - Diazepam 4mg iv bila
Kejang (-) kejang
Batuk (-), Keluhan Utama: - - Oral : diazepam 3x1,5 mg
BAB (+)
tidak cair
BAK (+),

6/6/2016 KU : Aktif Kejang tanpa - IVFD D5 NS 12 tpm


Pkl. 06.00 KS : Compos Mentis demam makro
T : 35,7 C - Ampicilin 3x400 mg
Sesak (-); HR : 92 x/menit - Gentamicin 2x30mg
Demam (-); RR : 20 x/menit - Diazepam 4mg iv bila
Kejang (-) kejang
Batuk (-), Keluhan Utama: - - Oral : diazepam 3x1,5 mg
BAB (+)
tidak cair
BAK (+),

7/6/2016 KU : Aktif Kejang tanpa - Depakene 2x1,5cth


KS : Compos Mentis demam
Pkl. 06.00 T : 35,8C
Sesak (-); HR : 104 x/menit
Demam (-); RR : 20 x/menit
Kejang (-)
Batuk (-), Keluhan Utama: -
BAB (+)
tidak cair
BAK (+),

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Epilepsi didefinisikan sebagai kejang berulang yang tidak

terkait dengan demam atau dengan serangan otak akut.

Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak

dengan berbagai etiologi, dengan gejala tunggal yang khas,

yaitu kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik neuron

otak secara berlebihan dan paroksimal. Terdapat dua kategori

dari kejang epilepsi yaitu kejang fokal (parsial) dan kejang

umum. Kejang fokal terjadi karena adanya lesi pada satu

bagian dari cerebral cortex, di mana pada kelainan ini dapat

disertai kehilangan kesadaran parsial. Sedangkan pada

kejang umum, lesi mencakup area yang luas dari cerebral

cortex dan biasanya mengenai kedua hemisfer cerebri.


Kejang mioklonik, tonik, dan klonik termasuk dalam epilepsi

umum.

2.2 Klasifikasi

Klasifikasi bangkitan kejang atau serangan kejang menurut

ILAE (International League Againts Epilepsi, 1981) :

1. Kejang Parsial

Kejang parsial merupakan kejang dengan onset lokal

pada satu bagian tubuh dan biasanya disertai dengan

aura. Kejang parsial timbul akibat abnormalitas aktivitas

elektrik otak yang terjadi pada salah satu hemisfer otak

atau salah satu bagian dari hemisfer otak.


o Kejang parsial sederhana tidak disertai penurunan

kesadaran
o Kejang parsial kompleks disertai dengan penurunan

kesadaran

2. Kejang Umum

Kejang umum timbul akibat abnormalitas aktivitas

elektrik neuron yang terjadi pada seluruh hemisfer otak

secara simultan
o Absens
Ciri khas serangan absens adalah durasi singkat,

onset dan terminasi mendadak, frekuensi sangat

sering, terkadang disertai gerakan klonik pada mata,

dagu dan bibir.


o Mioklonik
Kejang mioklonik adalah kontraksi mendadak,

sebentar yang dapat umum atau terbatas pada

wajah, batang tubuh, satu atau lebih ekstremitas,

atau satu grup otot. Dapat berulang atau tunggal.


o Klonik
Pada kejang tipe ini tidak ada komponen tonik, hanya

terjadi kejang kelojot. dijumpai terutama pada anak.


o Tonik
Merupakan kontraksi otot yang kaku, menyebabkan

ekstremitas menetap dalam satu posisi. Biasanya

terdapat deviasi bola mata dan kepala ke satu sisi,

dapat disertai rotasi seluruh batang tubuh. Wajah

menjadi pucat kemudian merah dan kebiruan karena

tidak dapat bernafas. Mata terbuka atau tertutup,

konjungtiva tidak sensitif, pupil dilatasi.


o Tonik Klonik
Merupakan suatu kejang yang diawali dengan tonik,

sesaat kemudian diikuti oleh gerakan klonik.


o Atonik
Berupa kehilangan tonus. Dapat terjadi secara

fragmentasi hanya kepala jatuh ke depan atau

lengan jatuh tergantung atau menyeluruh sehingga

pasien terjatuh.

3. Kejang Tidak Dapat Diklasifikasi

Sebagian besar serangan yang terjadi pada bayi baru

lahir termasuk golongan ini.


Klasifikasi bangkitan kejang atau serangan kejang menurut

ILAE (International League Againts Epilepsi, 1989) :

1. Berkaitan dengan letak fokus

- Idiopatik (primer)

o Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku

di sentrotemporal (Rolandik benigna)

o Epilepsi pada anak dengan paroksismal

oksipital

o Primary reading epilepsy.

- Simptomatik (sekunder)

o Lobus temporalis

o Lobus frontalis

o Lobus parietalis

o Lobus oksipitalis

o Kronik progesif parsialis kontinua

- Kriptogenik

2. Umum

- Idiopatik (primer)
o Kejang neonatus familial benigna

o Kejang neonatus benigna

o Kejang epilepsi mioklonik pada bayi

o Epilepsi absans pada anak

o Epilepsi absans pada remaja

o Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada

saat terjaga.

o Epilepsi tonik klonik dengan serangan acak

- Kriptogenik atau simptomatik.

o Sindroma West (Spasmus infantil dan

hipsaritmia).

o Sindroma Lennox Gastaut.

o Epilepsi mioklonik astatik

o Epilepsi absans mioklonik

- Simptomatik

o Etiologi non spesifik

o Ensefalopati mioklonik neonatal

o Sindrom Ohtahara
o Etiologi / sindrom spesifik.

o Malformasi serebral.

o Gangguan Metabolisme.

3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan

fokal atau umum.

- Serangan umum dan fokal

o Serangan neonatal

o Epilepsi mioklonik berat pada bayi

- Tanpa gambaran tegas fokal atau umum

o Sindroma Taissinare

o Sindroma Landau Kleffner

4. Sindrom Khusus
- Kejang demam
- Status Epilektikum
- Kejang berkaitan dengan gejala metabolik atau toksik

akut

2.3 Etiologi

Gangguan fungsi otak yang bisa menyebabkan lepasnya

muatan listrik berlebihan di sel neuron saraf pusat, bisa

disebabkan oleh adanya faktor fisiologis, biokimiawi,

anatomis atau gabungan faktor tersebut. Tiap-tiap penyakit


atau kelainan yang dapat menganggu fungsi otak, dapat

menyebabkan timbulnya bangkitan kejang.

Bila ditinjau dari faktor etiologis, maka epilepsi dibagi menjadi

2 kelompok :

1. Epilepsi idiopatik

Sebagian besar pasien, penyebab epilepsi tidak diketahui

dan biasanya pasien tidak menunjukkan manifestasi cacat

otak dan tidak bodoh. Sebagian dari jenis idiopatik

disebabkan oleh interaksi beberapa faktor genetik. Kata

idiopatik diperuntukkan bagi pasien epilepsi yang

menunjukkan bangkitan kejang umum sejak dari

permulaan serangan.

Dengan bertambah majunya pengetahuan serta

kemampuan diagnostik, maka golongan idiopatik makin

berkurang. Umumnya faktor genetik lebih berperan pada

epilepsi idiopatik .

2. Epilepsi simtomatik

Hal ini dapat terjadi bila fungsi otak terganggu oleh

berbagai kelainan intrakranial dan ekstrakranial. Penyebab

intrakranial, misalnya anomali kongenital, trauma otak,

neoplasma otak, lesi iskemia, ensefalopati, abses otak,


jaringan parut. Penyebab yang bermula ekstrakranial dan

kemudian menganggu fungsi otak, misalnya: gagal

jantung, gangguan pernafasan, gangguan metabolisme

(hipoglikemia, hiperglikemia, uremia), gangguan

keseimbangan elektrolit, intoksikasi obat, gangguan

hidrasi (dehidrasi, hidrasi lebih). Kelainan struktural tidak

cukup untuk menimbulkan bangkitan epilepsi, harus

dilacak faktor-faktor yang ikut berperan dalam

mencetuskan bangkitan epilepsi, contohnya, yang

mungkin berbeda pada tiap pasien adalah stress, demam,

lapar, hipoglikemia, kurang tidur, alkalosis oleh

hiperventilasi, gangguan emosional.

2.4 Patogenesis dan Patofisiologi

Konsep terjadinya epilepsi telah dikemukakan satu abad yang

lalu oleh John Hughlings Jackson, bapak epilepsi modern.

Pada fokus epilepsi di korteks serebri terjadi letupan yang

timbul kadang-kadang, secara tiba-tiba, berlebihan dan

cepat; letupan ini menjadi bangkitan umum bila neuron

normal disekitarnya terkena pengaruh letupan tersebut.

Konsep ini masih tetap dianut dengan beberapa perubahan

kecil. Adanya letupan depolarisasi abnormal yang menjadi

dasar diagnosis diferensial epilepsi memang dapat


dibuktikan. Terjadinya epilepsi sampai saat ini belum

terungkap secara rinci.

Beberapa faktor yang ikut berperan telah terungkap,

misalnya :

1. Gangguan pada membran sel neuron

Potensial sel membran neuron bergantung pada

permeabilitas sel tersebut terhadap ion natrium dan

kalium. Membran neuron permeabel sekali terhadap ion

kalium dan kurang permeabel terhadap ion natrium,

sehingga didapatkan konsentrasi ion kalium yang tinggi

dan konsentrasi ion natrium yang rendah di dalam sel pada

keadaan normal. Bila keseimbangan terganggu, sifat

semipermeabel berubah, sehingga ion natrium dan kalium

dapat berdifusi melalui membran dan mengakibatkan

perubahan kadar ion dan perubahan kadar potensial yang

menyertainya. Semua konvulsi, apapun pencetus atau

penyebabnya, disertai berkurangnya ion kalium dan

meningkatnya konsentrasi ion natrium di dalam sel.

2. Gangguan pada mekanisme inhibisi presinap dan

pascasinap

Transmiter eksitasi (asetilkolin, asam glutamat)

mengakibatkan depolarisasi, zat transmiter inhibisi (GABA,

glisin) menyebabkan hiperpolarisasi neuron penerimanya.


Pada keadaan normal didapatkan keseimbangan antara

eksitasi dan inhibisi. Gangguan keseimbangan ini dapat

mengakibatkan terjadinya bangkitan kejang. Gangguan

sintesis GABA menyebabkan eksitasi lebih unggul dan

dapat menimbulkan bangkitan epilepsi

3. Sel Glia
Sel glia diduga berfungsi untuk mengatur ion kalium

ekstrasel disekitar neuron dan terminal presinap. Pada

keadaan cedera, fungsi glia yang mengatur konsentrasi ion

kalium ekstrasel dapat terganggu dan mengakibatkan

meningkatnya eksitabilitas sel neuron disekitarnya. Rasio

yang tinggi antara kadar ion kalium ekstrasel dibanding

intrasel dapat mendepolarisasi membran neuron. Astroglia

berfungsi membuang ion kalium yang berlebihan sewaktu

aktifnya sel neuron.

Bila sekelompok sel neuron tercetus maka didapatkan 3

kemungkinan :

1. Aktivitas ini tidak menjalar ke sekitarnya melainkan

terlokalisasi pada kelompok


2. Aktivitas menjalar sampai jarak tertentu, tetapi tidak

melibatkan seluruh otak kemudian menjumpai tahanan dan

berhenti
3. Aktivitas menjalar ke seluruh otak kemudian berhenti
Pada keadaan 1 dan 2 didapatkan bangkitan epilepsi parsial,

sedangkan pada keadaan 3 didapatkan kejang umum. Jenis

bangkitan epilepsi bergantung kepada letak serta fungsi sel

neuron yang berlepas muatan listrik berlebih serta

penjalarannya. Kontraksi otot somatik terjadi bila lepas

muatan melibatkan daerah motor di lobus frontalis. Gangguan

sensori akan terjadi bila struktur di lobus parietalis dan

oksipitalis terlibat. Kesadaran menghilang bila lepas muatan

melibatkan batang otak dan talapus. Sel neuron di serebelum,

di bagian bawah batang otak dan di medula spinalis tidak

mampu mencetuskan bangkitan epilepsi.

Saat terjadi bangkitan kejang, aktivitas pemompaan natrium

bertambah, dengan demikian kebutuhan akan senyawa ATP

bertambah, dengan kata lain kebutuhan oksigen dan glukosa

meningkat, maka peningkatan kebutuhan ini masih dapat

dipenuhi. Namun bila kejang berlangsung lama, ada

kemungkinan kebutuhan akan oksigen dan glukosa tidak

terpenuhi, sehingga sel neuron dapat rusak atau mati.

2.5 Diagnosis

Diagnosis epilepsi pada anak membutuhkan tiga macam

pemeriksaan dari anamnesis secara rinci, pemeriksaan fisik

dan pemeriksaan penunjang.


2.5.1 Anamnesis

Anamnesis merupakan langkah terpening dalam melakukan

diagnosis epilepsi. Dalam melakukan anamnesis, harus

dilakukan secara cermat, rinci, dan menyeluruh karena

pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang

dialami penderita. Anamnesis dapat memunculkan informasi

tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran,

ensefalitis, malformasi vaskuler, meningitis, gangguan

metabolik dan obat-obatan tertentu. Penjelasan dari pasien

mengenai segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama, dan

sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan)

merupakan informasi yang sangat penting dan merupakan

kunci diagnosis.

Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi :

a. Pola / bentuk serangan

b. Lama serangan

c. Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan

d. Frekuensi serangan

e. Faktor pencetus

f. Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang

g. Usia saat terjadinya serangan pertama

h. Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan


i. Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya

j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2.5.2 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik umum dan neurologis, dapat dilihat

adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan

dengan epilepsi seperti trauma kepala, gangguan kongenital,

gangguan neurologik fokal atau difus, infeksi telinga atau

sinus. Sebab-sebab terjadinya serangan epilepsi harus dapat

ditepis melalui pemeriksaan fisik dengan menggunakan umur

dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Untuk penderita

anak-anak, pemeriksa harus memperhatikan adanya

keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan

ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukan awal

ganguan pertumbuhan otak unilateral.

2.5.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan yang dilakukan untuk menunjang diagnosis

epilepsi adalah:

1. Cairan serebrospinalis

Cairan serebrobrospinalis pada penderita epilepsi

umumnya normal. Pungsi lumbal dilakukan pada

penderita yang dicurigai meningitis.

2. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua penderita

epilepsi. EEG dapat mengkonfirmasi aktivitas epilepsi

bahkan dapat menunjang diagnosis klinis dengan baik,

tetapi tidak dapat menegakkan diagnosis secara pasti.

Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukan

kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan

adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan

kemungkinan adanya kelainan genetika atau metabolik.

Perlu diingat bahwa tidak selalu gangguan fungsi otak

dapat tercermin dalam rekaman EEG. EEG normal dapat

dijumpai pada anak yang nyata-nyata menderita kelainan

otak. Kira-kira 10% pasien epilepsi mempunyai EEG yang

normal.

Rekaman EEG dikatakan abnormal apabila :

Asimetris irama dan voltage gelombang pada daerah

yang sama dikedua hemisfer otak

Irama gelombang tidak teratur

Irama gelombang lebih lambat dibandingkan

seharusnya

Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat

pada anak yang normal, seperti gelombang tajam

paku (spike), paku-ombak, paku majemuk.


Pemeriksaan EEG berfungsi dalam mengklisifikasikan tipe

kejang dan menentukan terapi yang tepat. EEG harus

diulangi apabila kejang sering dan berat walaupun sedang

dalam pengobatan, apabila terjadi perubahan pola kejang

yang berarti atau apabila timbul defisit neurologi yang

progresif.

3. Pencitraan

Pemeriksaan pencitraan yang dilakukan antara lain foto

polos kepala, angiografi serebral, CT-scan, MRI. Pada foto

polos kepala dilihat adanya tanda-tanda peninggian

tekanan intrakranial, asimetris tengkorak, perkapuran

abnormal tetapi pemeriksaan ini sudah banyak

ditinggalkan. Angiogarafi dilakukan pada pasien yang

akan dioperasi karena adanya fokus epilepsi berupa

tumor.

CT-scan dan MRI digunakan untuk mendeteksi adanya

malformasi otak kongenital. Indikasi CT-scan dan MRI

antara lain kesulitan dalam mengontrol kejang,

ditemukannya kelainan neurologis yang progresif dalam

pemeriksaan fisik, perburukan dalam hasil EEG, curiga

terhadap peningkatan tekanan intrakranial dan pada


kasus-kasus dimana dipertimbangkan untuk dilakukan

pembedahan.

2.6 Tatalaksana

Tujuan pengobatan adalah untuk mengatasi kejang dengan

dosis optimal terendah. Yang terpenting adalah kadar obat

antiepilepsi bebas yang dapat menembus sawar darah otak

dan mencapai reseptor susunan saraf pusat. Serangan

epilepsi dapat dihentikan oleh obat dan dapat pula dicegah

agar tidak kambuh. Obat tersebut disebut sebagai obat

antikonvulsi atau obat antiepilepsi.

Prinsip pengobatan epilepsi :

1. Mendiagnosis secara pasti, menentukan etiologi, jenis

serangan dan sindrom epilepsi

2. Memulai pengobatan dengan satu jenis obat antiepilepsi

3. Penggantian obat antiepilepsi secara bertahap apabila obat

antiepilepsi yang pertama gagal

4. Pemberian obat antiepilepsi sampai 1-2 tahun bebas

kejang

OAE pilihan pertama dan kedua :

1. Serangan parsial (sederhana, kompleks

dan umum sekunder)


OAE I : Karbamazepin, fenobarbital, primidon, fenitoin
OAE II: Benzodiazepin, asam valproat
2. Serangn tonik klonik
OAE I : Karbamazepin, fenobarbital, primidon, fenitoin,

asam valproat
OAE II: Benzodiazepin, asam valproat
3. Serangan absens
OAE I : Etosuksimid, asam valproat
OAE II: Benzodiazepin
4. Serangan mioklonik
OAE I : Benzodiazepin, asam valproat
OAE II: Etosuksimid
5. Serangan tonik, klonik, atonik
Semua OAE kecuali etosuksinid

Penghentian pemberian obat pada penderita epilepsi,

dilakukan pada keadaan keadaan sebagai berrikut:

1. Pada epilepsi yang sulit diatasi lakukan pemantauan yang

intensif untuk mencari diagnosis yang sebenarnya dan

pengobatan yang sesuai. Selain itu dipergunakan

pemantauan EEG yang cermat dan lebih lama dari 20

menit.

2. Epilepsi dicegah dengan perawatan pada masa prenatal

dan perinatal. Tindakan selanjutnya adalah diagnosis dan

pengobatn dini semasa bayi dengan OAE yang tepat. Bila

pengobatan tidak memberikan efek sama sekali, dapat

dipertimbangkan untuk pembedahan. Bila pada

pemeriksaan PET scan pada anak dengan berbagai jenis

epilepsi yang berat ditemukan adanya hipometabolisme

unilateral yang difus, maka dapat dilakukan reseksi lokal

sampai hemisferektomi.
3. Pertimbangan penghentian pengobatan didasarkan atas

pertimbangan keseimbangan antara resiko penggunaan

OAE yang terus menerus (intoksikasi kronis, efek

teratogenik) dan resiko kemungkinan kambuh serangan

(cedera, pekerjaan). Penghentian pengobatan dilakukan

setelah bebas serangan selama 2 tahun atau lebih,

perlahan-lahan dalam waktu beberapa bulan (4-6 bulan

atau 25% setiap 2-4 minggu), diskusikan kemungkinan

kekambuhan. Risiko kambuh setelah penghentian obat

dalam 1 tahun pertama 25% dan menjadi 29% dalam 2

tahun. Kekambuhan terjadi 80% dalam tahun pertama.

4. Faktor yang mempengaruhi risiko kekambuhan : masa

bebas serangan sebelum penghentian obat singkat, banyak

macam tipe serangan, kejang tonik-klonik, perlu waktu

lama untuk mencapai bebas serangan, poloterapi, EEG

abnormal, pemeriksaan neurologis abnormal, timbul

serangan pada saat penghentian obat.

Tata laksana penghentian kejang akut dilaksanakan sebagai

berikut:

1. Di rumah / Prehospital: Penanganan kejang di rumah dapat

dilakukan oleh orangtua dengan pemberian diazepam per

rektal dengan dosis 0,3 0,5 mg/kg atau secara sederhana

bila berat badan < 10 kg: 5 mg sedangkan berat badan >


10 kg: 10 mg. Pemberian di rumah maksimum 2 kali

dengan interval 5 menit. Bila kejang masih berlangsung

bawalah pasien ke klinik/rumah sakit terdekat

2. Di rumah sakit Saat tiba di klinik/rumah sakit, bila belum

terpasang cairan intravena, dapat diberikan diazepam per

rektal ulangan 1 kali sambil mencari akses vena. Sebelum

dipasang cairan intravena, sebaiknya dilakukan

pengambilan darah untuk pemeriksaan darah tepi,

elektrolit, dan gula darah sesuai indikasi.

Bila terpasang cairan intravena, berikan fenitoin IV dengan

dosis 20 mg/kg dilarutkan dalam NaCl 0,9% diberikan

perlahan lahan dengan kecepatan pemberian 50 mg/

menit. Bila kejang belum teratasi, dapat diberikan

tambahan fenitoin IV 10 mg/kg. Bila kejang teratasi,

lanjutkan pemberian fenitoin IV setelah 12 jam kemudian

dengan rumatan 57 mg/kg.

Bila kejang belum teratasi, berikan fenobarbital IV dengan

dosis maksimum 15 - 20 mg/kg dengan kecepatan

pemberian 100 mg/menit. Awasi dan atasi kelainan

metabolik yang ada. Bila kejang berhenti, lanjutkan dengan

pemberian fenobarbital IV rumatan 45 mg/kg setelah 12

jam kemudian.

3. Perawatan Intensif rumah sakit Bila kejang belum

berhenti, dilakukan intubasi dan perawatan di ruang


intensif. Dapat diberikan salah satu di bawah ini:

Midazolam 0,2 mg/kg diberikan bolus perlahan-lahan,

diikuti infus midazolam 0,01 0,02 mg/kg/menit selama

1224 jam. - Propofol 1 mg/kg selama 5 menit, dilanjutkan

dengan 15 mg/kg/jam dan diturunkan setelah 1224 jam -

Pentobarbital 515 mg/kg dalam 1 jam, dilanjutkan dengan

0,55 mg/kg/jam.

4. Terapi rumatan

- Jika pada tata laksana kejang akut kejang berhenti

dengan diazepam, tergantung dari etiologi. Jika

penyebab kejang suatu hal yang dapat dikoreksi secara

cepat (hipoglikemia, kelainan elektrolit, hipoksia)

mungkin tidak diperlukan terapi rumatan selama pasien

dirawat.
- Jika penyebab infeksi SSP (ensefalitis, meningitis),

perdarahan intrakranial, mungkin diperlukan terapi

rumat selama perawatan. Dapat diberikan fenobarbital

dengan dosis awal 8-10 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2

dosis selama 2 hari, dilanjutkan dengan dosis 4-5

mg/kgBB/hari sampai risiko untuk berulangnya kejang

tidak ada.
- Jika etiologi adalah epilepsi, lanjutkan obat antiepilepsi

dengan menaikkan dosis.


- Jika pada tata laksana kejang akut kejang berhenti

dengan fenitoin, lanjutkan rumatan dengan dosis 5-7

mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis.


- Jika pada tata laksana kejang akut kejang berhenti

dengan fenobarbital, lanjutkan rumatan dengan dosis 4-

5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis

Cara pemberian obat antikonvulsan pada tata laksana kejang

akut

1. Diazepam
- Dosis maksimum pemberian diazepam rektal 10 mg,

dapat diberikan 2 kali dengan interval 5-10 menit.


- Sediaan IV tidak perlu diencerkan, maksimum sekali

pemberian 10 mg dengan kecepatan maksimum 2

mg/menit, dapat diberikan 2-3 kali dengan interval 5

menit.
2. Fenitoin
- Dosis inisial maksimum adalah 1000 mg (30 mg/kgBB).
- Sediaan IV diencerkan dengan NaCl 0,9%, 10 mg/1 cc

NaCL 0,9%.
- Kecepatan pemberian IV: 1mg/kg/menit, maksimum 50

mg/menit.
- Jangan diencerkan dengan cairan yang mengandung

dextrose, karena akan menggumpal.


- Sebagian besar kejang berhenti dalam waktu 15-20

menit setelah pemberian.


- Dosis rumat: 12-24 jam setelah dosis inisial. - Efek

samping: aritmia, hipotensi, kolaps kardiovaskuler pada

pemberian IV yang terlalu cepat.


3. Fenobarbital
- Sudah ada sediaan IV, sediaan IM tidak boleh diberikan

IV. - Dosis inisial maksimum 600 mg (20 mg/kgBB).


- Kecepatan pemberian 1 mg/kg/menit, maksimum 100

mg/menit. - Dosis rumat: 12-24 jam setelah dosis inisial.


- Efek samping: hipotensi dan depresi napas, terutama

jika diberikan setelah obat golongan benzodiazepin.

Protokol penggunaan midazolam pada kejang refrakter Rawat

di ICU, intubasi, dan berikan ventilasi. Midazolam bolus 0,2

mg/kg (perlahan), kemudian drip 0,02-0,4 mg/kg/jam.

Rumatan fenitoin dan fenobarbital tetap diberikan. Dosis

midazolam diturunkan jika terdapat gangguan kardiovaskuler.

Infus midazolam diturunkan secara bertahap jika dalam 12

jam tidak tedapat kejang.

Tata laksana umum

1. Pemantauan tekanan darah/laju napas/laju

nadi/suhu/elektrokardiografi - Pemantauan tekanan

intrakranial: kesadaran, Dolls eye movement, pupil, pola

pernapasan, dan edema papil


2. Analisis gas darah, darah tepi, pembekuan darah,

elektrolit, fungsi hati dan ginjal, bila dijumpai kelainan

lakukan koreksi - Balans cairan input output - Tata

laksana etiologi - Edema serebri dapat diberikan manitol

0,5-1,0 mg/kg/8 jam

Pemantauan dan prognosis


1. Mati batang otak (Brain Death)
2. angka kematian 5% - Pemantauan: CT scan /MRI kepala,

elektroensefalografi, Brainstem Auditory Evoked Potential,

Visual Evoked Potential


3. Gejala sisa: delayed motorik, sindrom ekstrapiramidal,

retardasi mental, dan epilepsy.


BAB III. ANALISIS KASUS

3.1 Apakah diagnosis dan pemeriksaan fisik pada kasus

sudah benar?

Dasar diagnosis pada pasien ini didasarkan pada:

Dari anamnesis pasien di dapatkan keluhan kejang pukul 17.00

dengan durasi < 5 menit, pada saat kejang seluruh ekstremitas pasien kaku

pada satu posisi dan mata terbelalak ke atas. Pasien menangis setelah kejang,

muntah satu kali dan napas dirasa sesak. Pasien tidak mengalami demam,

tidak menderita batuk dan flu, BAK dan BAB juga dalam batas normal.

Pasien juga memiliki riwayat kejang berulang 3 kali dalam 1 bulan terakhir.

Pada pasien tidak ditemukan kelainan dalam pemeriksaan fisik berupa tanda-

tanda vital dalam batas normal, tidak ditemukan tanda kaku kuduk, radang

tenggorokan, bunyi nafas tambahan, maupun pemeriksaan bagian abdomen

dan saluran kemih, tetapi pada pasien ditemukan gangguan pertumbuhan dan

perkembangan berupa pasien digolongkan pada gizi buruk dan berperawakan

kurus walaupun menurut ibu pasien, nafsu makan pasien baik dan pasien

makan-makanan yang bergizi. Pasien juga memiliki gangguan perkembangan


bicara di mana di usia pasien 5 tahun 3 bulan ini pasien belum bisa berbicara

dengan jelas, merangkai kata, dan hanya bisa mengucapkan kata sederhana

seperti bu, pak, mam walaupun pasien dapat mengerti dan menjalankan

perintah yang diberikan kepadanya. Pada pemeriksaan laboratorium tidak

ditemukan perubahan nilai laboratorium yang bermakna. Namun pada

pemeriksaan EEG didapatkan kesan lesi iritatif di seluruh lapang otak

terutama pada otak bagian kanan.

Berdasarkan pemeriksaan-pemeriksaan diatas penderita

didiagnosis dengan

Epilepsy.

Pembahasan:

Dikatakan epilepsy apabila terjadi kejang berulang yang

tidak terkait dengan demam atau dengan serangan otak akut.

Pada pasien ditemukan kejang berulang dan tanpa didahului

demam. Pasien juga memiliki gangguan pertumbuhan dan

perkembangan sehingga diduga memiliki kelainan dalam

pertumbuhan otak unilateral (perlu pemeriksaan lebih lanjut).

Diagnosis epilepsy juga diperkuat dengan adanya hasil positif

pada pemeriksaan EEG berupa lesi iritatif di seluruh lapang

otak terutama otak bagian kanan.


3.2 Apakah penatalaksanaan pada kasus ini sudah

tepat ?

Tatalaksana di IGD Tatalaksana di ruang Tatalaksana yang


anak disarankan
- O2 2 liter/menit (nasal) - IVFD D5 NS 12 tpm - Oksigen 2 liter /menit
- Stesolid 10 mg supp makro - Diazepam tube 10 mg (
- IVFD RL VIII tpm - Ampicilin 3x400 mg suppositoria )
makro - Gentamicin 2x30mg - IVFD D5 NS 12
- Stesolid 3,9 mg jika - Diazepam 4mg iv bila tpm makro
kejang berulang kejang - Inj. Diazepam 3,25mg
- Ampicilin 3x400mg - Oral : diazepam 3x1,5 bila kejang berulang
- Ondancentron 2 x mg - Inj. Ondancentron 2 x
ampul - Depakene 2x1,5cth ampul
- Obs. TTV, kejang - Oral : Asam Valproat
2x2,5 ml (dosis awal 15
mg/kgBB/hari)

Pembahasan:

Dasar penatalaksanaan epilepsi adalah:

Apabila pasien datang dalam keadaan kejang, dapat

diberikan Diazepam secara intravena dengan dosis 0,3-0,5

mg/kg perlahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam

waktu 3-5 menit dengan dosis maksimal 20 mg. Obat yang

praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah

adalah Diazepam rektal 0,5-0,75 mg/kg atau Diazepam rektal

5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan

10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg.

Atau diberikan rektal dengan dosis 5 mg untuk anak di bawah

usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak usia di atas 3

tahun. Bila setelah diberikan diazepam rektal kejang belum


berhenti, dapat diulang lagi dengan dosis dan cara yang

sama tetapi dengan interval 5 menit. Pemberian kedua kali

diazepam rektal dan anak belum berhenti kejang, orang

tua/pengantar dianjurkan untuk membawa anak ke rumah

sakit. Di rumah sakit dapat diberikan Diazepam intravena

dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg.

Jika kejang tetap belum berhenti, dapat diberikan Fenitoin

secara intravena dengan dosis awal 10-20 mg/kg/kali dengan

kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Jika

kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari

dimulai 12 jam setelah dosis awal. Jika dengan Fenitoin

kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat ke ruang

rawat intensif.

Pemberian oksigen didasari untuk menjaga asupan oksigen

tetap tercukupi akibat kejang, oksigen juga diberikan karena

adanya keluhan sesak pada pasien, pemberian oksigen

dihentikan setelah keluhan berkurang atau menghilang.

Pemberian injeksi ondancentron juga diberikan atas keluhan

muntah pasien, setelah keluhan dirasa menghilang, terapi

ondansencentron juga dihentikan.

Setelah kejang teratasi dan diagnosis epilepsy ditegakkan

maka selanjutnya dilakukan terapi rumatan berupa


pemberian asam valproat dengan dosis awal 15mg/kgBB/hari,

kemudian ditingkatkan dosisnya dalam 1 minggu dengan

interval 5-10mg/kgBB/hari (dosis maksimal 60mg/kgBB/hari).

Obat anti epilepsy ini diberikan sampai kejang terkontrol ,

setelah 2 tahun periode bebas kejang. Obat anti epilepsy

akan diturunkan dosisnya secara bertahap dalam beberapa

bulan. Pemilihan Asam valproat didasari dari sifatnya yang

efektif dalam penanganan epilepsy umum. Asam valproat

menyebabkan hiperpolarisasi potensial istirahat membrane

neuron, akibat peningkatan daya konduksi membrane untuk

kalium. Efek antikonvulsi asam valproat didasarkan pada

meningkatnya kadar asam gama aminobarbiturat (GABA) di

dalam otak.

Kombinasi antibiotika gentamisin dan ampisilin kerap kali digunakan sebagai

antibiotik lini pertama untuk pasien anak. Hal ini disebabkan gentamisin yang

dikombinasikan dengan penisilin atau vankomisin menghasilkan efek

bakterisidal yang kuat, yang sebagian disebabkan oleh peningkatan

ambilan/uptake obat yang timbul karena penghambatan sintesis dinding sel.

Penisilin mengubah struktur dinding sel sehingga memudahkan penetrasi

gentamisin ke dalam bakteri. Walaupun demikian pada pasien tidak

ditemukan adanya tanda-tanda infeksi dan tidak terdapat peningkatan

leukosit, sehingga pemberian antibiotika ini dapat dihentikan.

Berdasarkan analisis ini penatalaksaaan pada pasien An. Fn

sudah benar karena sesuai dengan kondisi penyakit dan


prinsip penatalaksanakan epilepsy, yaitu pengobatan di fase

akut kejang dan pengobatan pada epilepsy.

DAFTAR PUSTAKA

Fisher, Robert. 2014. A practical clinical definition of epilepsy.

Epilepsia : 55(4):475482. Stanford : ILAE.


Haslam Robert. 2000. Sistem Saraf; Bab 543 Kejang-Kejang Pada Masa

Anak. Dalam: Nelson Waldo E, penyunting. Nelson Ilmu Kesehatan

Anak. Edisi-15. Volume-3, diterjemahkan oleh Wahab Samik. Jakarta:

EGC. h.2056-2060.
Katzung BG. 2004. Basic and clinical pharmacokinetics.

United States: The McGraw-Hill Companies.


Lazuardi Samuel. 1999. Pengobatan Epilepsi. Dalam: Soetomenggolo Taslim,

Ismael Sofyan, Penyunting. Neurologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit

IDAI: h.226-241.
Lumbantobing SM. 1999. Etiologi Dan Faal Sakitan Epilepsi. Dalam:

Soetomenggolo Taslim, Ismael Sofyan, Penyunting. Neurologi Anak.

Jakarta: Badan Penerbit IDA: h.197-203.


Soetomenggolo Taslim. 1999. Pemeriksaan Penunjang Pada Epilepsi. Dalam:

Soetomenggolo Taslim, Ismael Sofyan, Penyunting. Neurologi Anak.

Jakarta: Badan Penerbit IDAI: h.223-226.


Pujiadi, Antonius; Hegar, B; Hadryastuti S; Idris N; dkk. Pedoman Pelayanan

Medis. 2009. Jakarta : IDAI.

You might also like