Professional Documents
Culture Documents
ULKUS DM
Oleh:
Alia Nessa Utami (0906507772)
Lutfie (0906487871)
Narasumber:
dr. Suhartono, SpB(K)BV
I. Identitas
Nama : Tn. MP
Tanggal lahir : 21 Oktober 1959
Usia : 54 tahun
RM : 371-55-88
Alamat : Jl. S. Kampar XI No. 793, RT 014/01, Cilincing
Pendidikan terakhir : SMA
Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Kristen protestan
Status pernikahan : Sudah menikah
Masuk Rumah Sakit : 28 November 2013
2
Pasien telah didiagnosis diabetes melitus sejak 14 tahun yang lalu, saat itu mengeluh
cepat lapar, cepat haus, dan sering buang air kecil (3P +). Sejak 14 tahun yang lalu, pasien
memiliki riwayat luka yang sukar sembuh dan timbul bisul kehitaman, terutama di jari-jari
tangan dan kaki. Pasien mengontrol gula dengan glucophage 3x1 tab, rutin kontrol ke poli.
Keluhan pandangan kabur ada, pasien belum berobat. Keluhan tangan kaku dan
kesemutan disangkal. Riwayat keluhan sesak napas ada, pasien dikatakan memiliki sakit
jantung sejak 1 tahun yang lalu.
Selama perawatan, pasien telah menjalani operasi debridement 1x. Saat itu juga
dilakukan pemasangan CuraVAC. Pasien juga telah menjalani terapi heparin.
Riwayat Sosial
Pasien bekerja sebagai kontraktor, telah bekerja sejak 21 tahun yang lalu. Saat ini
pasien memiliki 4 orang anak dan membayar dengan menggunakan KJS (Kartu Jakarta
Sehat). Sehari-hari, pekerjaan pasien sebagai kontraktor membuat pasien harus memakai
sepatu yang sempit untuk naik dan turun tangga. Sebelumnya, pasien tidak pernah
menggunakan sepatu khusus untuk penyandang kaki diabetik.
Hingga saat ini, pasien masih menjalani diet DM, berat badan telah turun sebanyak 22
kg dalam 14 tahun terakhir. Pasien jarang berolahraga. Selama 30 tahun, pasien merokok 5
bungkus/hari. Semenjak 5 tahun yang lalu (2009), pasien telah berhenti merokok. Konsumsi
alkohol disangkal.
3
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Nadi : 83x/menit
Suhu : 36,7C
Pernapasan : 20x/menit
Kulit
Warna kulit sawo matang, tidak tampak pucat, tidak terdapat ikterik dan hiperpigmentasi,
turgor baik.
Mata
Konjungtiva pucat tidak ada dan sklera ikterik tidak ada
Tenggorokan
Uvula di tengah, arkus faring simetris, tonsil T1-T1
Gigi Dan Mulut
Oral hygiene baik, tidak ada gigi berlubang
Leher
Posisi trakea ditengah, tidak ada pembesaran KGB dan tiroid, JVP 5-2 cmH2O
Jantung
A : Bunyi Jantung I dan II reguler, murmur tidak ada, gallop tidak ada
Paru
A : Vesikuler/vesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada
Abdomen
I :Datar, lemas, tidak tampak benjolan
P : Nyeri tekan tidak ada, tidak teraba pembesaran hati dan limpa, nyeri ketok CVA -/-,
ballotement -/-
P : Timpani, shiffting dullness tidak ada
A : Bising usus normal 3x/menit
Ekstremitas
Akral hangat, edema tidak ada, CRT < 2 detik, arteri dorsalis pedis tidak teraba dan
simetris kanan maupun kiri (lengkap lihat status lokalis)
Status Lokalis
(Pre-op) Terpasang curavac pada regio cruris dan pedis dekstra
4
(Pre-op) Tampak jaringan parut hipertrofik pada 1/3 proksimal regio femur
sinistra bagian medial
(Pre-op) Tampak jaringan parut hipertrofik pada regio cruris sinistra medial
Terdapat kalus dan hiperpigmentasi pada kulit kaki kanan, perubahan warna dan
penebalan kuku kaki
Pemeriksaan Vaskular
Kaki Kanan Kaki Kiri
Arteri dorsalis pedis Palpasi: tidak teraba Palpasi: tidak teraba
Tekanan sistolik: 60 Tekanan sistolik: 60
Arteri tibialis posterior Pulsasi: tidak teraba Pulsasi: tidak teraba
Tekanan sistolik: - Tekanan sistolik: -
TD sistolik arteri brachialis: 100 / 100 mmHg (kanan / kiri)
ABI (ankle brachial index): 0,6
Pemeriksaan Neurologis
Sensoris: dengan monofilamen 10 gram: tidak normal (kaki kanan dan kiri)
Klasifikasi PEDIS:
P: Penyakit Arteri Perifer tapi tidak kritis (0,6-0,9)
E: Tidak diperiksa.
D: Ulkus dalam, di bawah dermis, meliputi struktur subkutan, fasia, otot, atau
tendon.
I: Riwayat infeksi dengan manifestasi sistemik: demam, leukositosis, instabilitas
metabolik, hipotensi, azotemia
S: ada neuropati dengan monofilamen 10 g.
5
Gambar 1. Regio Femur Sinistra Gambar 2. Regio Cruris Sinistra
Gambar 3. Regio Cruris Dextra (pre-op) Gambar 4. Regio Cruris Dextra (post-op)
(terbalut verban)
Nilai Rujukan
Darah perifer lengkap
Hemoglobin 13-17
Hematokrit 40-50
Eritrosit 4,5-5,5
MCV/VER 80,0-95,0
MCH/HER 27,0-31,0
6
MCHC/KHER 32,0-36,0
Jumlah trombosit 150-400
Jumlah leukosit 5-10
Elektrolit
Natrium (Na) darah 132-147
Kalium (K) darah 3,30-5,40
Klorida (Cl) darah 94,0-111,0
GDS
A1C
Nilai Rujukan
Darah perifer lengkap
Hemoglobin 13-17
Hematokrit 40-50
Eritrosit 4,5-5,5
MCV/VER 80,0-95,0
MCH/HER 27,0-31,0
MCHC/KHER 32,0-36,0
Jumlah trombosit 150-400
Jumlah leukosit 5-10
Hitung Jenis
Basofil 0,5-1,0
Eosinofil 1-4
Neutrofil 55,0-70,0
Limfosit 20-40
Monosit 2-8
Laju Endap Darah 0-10
Kimia klinik
Ureum darah <50
Kreatinin darah 0,8-1,3
eGFR 79,0-117,0
Hemostasis
PT
Pasien 9,8-12,6
7
Kontrol
APTT
Pasien 31,0-47,0
Kontrol
c. Radiologi
Pemeriksaan radiografi femur sinistra
Kedudukan tulang femur baik, tidak tampak subluksasi, dislokasi
Tidak tampak tanda-tanda fraktur, destruksi, lesi litik/blastik
Celah sendi dan permukaan sendi coxae ataupun femurotibial baik
Soft tissue swelling regio femur sinistra
Tidak tampak tanda-tanda osteomyelitis
8
Gambar 7. Radiografi Cruris Sinistra
Radiografi Pedis Dextra
Kesan: Tidak tampak tanda-tanda fraktur, destruksi, lesi litik/blastik, celah sendi
normal, tampak soft tissue swelling
9
Gambar 9. Rontgen Thorax AP
10
V. Daftar Masalah
o Ulkus DM pedis et cruris dekstra pro debridement + STSG
o PAD
o DM tipe II
o CHF fc. II-III
VII. Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Ulkus DM
Kaki diabetik merupakan komplikasi kronik Diabetes Melitus (DM) yang paling
kompleks karena melibatkan tindakan amputasi. Angka kematian akibat ulkus atau gangren
DM di Indonesia berkisar 17-23%, sedangkan angka amputasi saat ini berkisar 15-30%.1
II. Patofisiologi
Kejadian kaki diabetik melibatkan berbagai komponen, seperti neuropati perifer,
gangguan vaskular, infeksi, dan perubahan tekanan plantar. Neuropati perifer dan gangguan
vaskularisasi terutama memegang peranan penting dalam patofisiologi kaki diabetik.2
a. Neuropati perifer
Manifestasi klinis neuropati perifer terhadap saraf otonom, sensorik, dan motorik dapat
meningkatkan risiko terjadinya kaki diabetik. Hal tersebut terjadi akibat tiga hal berikut:
- Neuropati pada saraf sensorik mengurangi fungsi protektif saraf, sehingga kemung-
kinan terpajan trauma fisik, kimia, dan suhu semakin meningkat. Fungsi protektif
saraf sensoris yang menurun dapat meningkatkan risiko ulkus DM hingga tujuh kali
lipat.1,2
- Neuropati motorik menyebabkan deformitas kaki (hammer toes, claw foot),
sehingga distribusi tekanan pada tonjolan tulang di kaki menjadi tidak normal. Hal
tersebut disebabkan oleh atrofi dan kelemahan otot-otot intrinsik (m. introsseus dan
lumbrikal) sehingga terjadi peningkatan tekanan pada daerah metatarsal dan ujung
jari kaki. 1,2
- Neuropati pada saraf otonom berkaitan dengan kulut yang kering. Kulit kering
dapat menimbulkan fisura, kalus, dan kulit pecah-pecah. Bounding pulse yang
terjadi pada neuropati otonom seringkali salah diinterpretasikan sebagai sirkulasi
yang baik. Neuropati otonom juga menyebabkan vasodilatasi perifer. Hal tersebut
meningkatkan pintasan arteri-vena yang mempengaruhi perfuwsi tulang pada
ekstremitas bawah. Akibatnya, terjadi peningkatan resorpsi tulang yang
menyebabkan fraktur neuropati (charcoat foot). 1,2
Refleks tendon Achilles dapat ditemui menurun pada gangguan neuropati perifer,
terjadi pula gangguan sensasi yang dibuktikan dengan Semmes Weinsten Monofilament yang
bertujuan mengetahui ambang rasa tekan. Sensasi proteksi masih ada bila pengidap kaki
diabetik masih merasakan tekanan monofilamen berukuran 5,07 yang setara dengan tekanan
10 gram.1
b. Gangguan vaskular
Gangguan vaskularisasi, terutama makroangiopati dan mikroangiopati acap terjadi pada
pasien diabetes. Risiko untuk mendapat peripheral artery disease (PAD) pada pasien diabetes
dapat mencapai dua kali lipat. Vaskularisasi yang tidak baik merupakan merupakan penyebab
utama kaki diabetik pada 50% pasien.2
Mikroangiopati pada pasien diabetes menyebabkan penyembuhan luka menjadi
terganggu.2 Gangren yang luas dapat terjadi karena sumbatan pembuluh darah luas yang
dapat berujung pada amputasi. Adanya gangguan pembuluh darah dapat dideteksi dengan
pemeriksaan fisik (nilai Ankle Brachial Index dan perabaan pulsasi denyut nadi), alat
ultrasound Doppler, dan angiografi.1
Stadiu Tingkat
m
A 0 = tanpa tukak atau pasca tukak, kulit intak/utuh tulang
1 = luka superfisial, tidak sampai tendon atau kapsul sendi
2 = Luka sampai tendon atau kapsul sendi
3 = Luka sampai tulang/sendi
B 1 = infeksi kulit dan jaringan subkutan
Infeksi 2 = eritema >2cm atau infeksi meliputi struktur subkutan, tanda
SIRS (-)
3 = infeksi dengan manifestasi sistemik: demam, leukositosis, shift
to the left, instabilitas metabolik, hipotermia, azotemia
C 1 = terdapat tanda dan gejala PAD tetapi belum critical limb
Iskemi ischemia
2 = critical limb ischemia
D B1 = infeksi kulit dan jaringan subkutan
Infeksi B2 = eritema >2cm atau infeksi meliputi struktur subkutan, tanda
dan SIRS (-)
Iskemi B3 = infeksi dengan manifestasi sistemik: demam, leukositosis, shift
to the left, instabilitas metabolik, hipotermia, azotemia
C1 = terdapat tanda dan gejala PAD tetapi belum critical limb
ischemia
C2 = critical limb ischemia
Klasifikasi yang masih banyak dipakai hingga kini adalah klasifikasi Wagner.3
Detailnya adalah sebagai berikut:
0: kulit intak/utuh
1: tukak superfisial
2: tukak dalam (sampai tendon dan tulang)
3: tukak dalam dengan infeksi
4: tukak dengan gangren pada 1-2 jari kaki
5: tukak dengan gangren luas seluruh kaki
Pencegahan Primer
Di samping itu, pada seluruh kelompok risiko, salah satu poin kunci
pencegahan primer ulkus DM adalah penyuluhan. Adapun penyuluhan harus dilakukan pada
setiap kesempatan pertemuan dan diingatkan kembali tanpa bosan. Penyuluhan juga
dibarengi dengan pemeriksaan rutin pada kaki penyandang DM setelah kaus kaki dan sepatu
dilepas.3 Senam kaki juga disarankan untuk memperkuat otot-otot di sekitar kaki maupun
tungkai bawah serta melenturkan sendi dan ligamen di sekitar kaki, di samping membantu
melancarkan aliran darah ke kedua kaki. Senam dilakukan secara teratur senayak 3-5 kali
seminggu.1
Pencegahan Sekunder
Kontrol Metabolik, merupakan upaya kendali pada kadar glukosa darah pasien
agar selalu senormal mungkin, untuk memperbaiki berbagai faktor terkait hiperglikemia yang
dapat menghambat penyembuhan luka. Hal ini umumnya dicapai dengan penggunaan insulin.
Di samping itu, dilakukan pula koreksi kadar albumin serum, kadar Hb, serta derajat
oksigenasi jaringan.1,3
Ruang jari kaki pada sepatu (toe box) cukup lebar sehingga tidak terjadi penekanan.
Panjang sepatu diukur dari tumit sampai 0,5 inch dari ujung jari kaki terpanjang.
Lebar sepatu diukur dari kaput metatarsal I-V.
Memiliki tali atau sabuk pengaman sehingga kaki terfiksasi dalam sepatu dan
mengurangi geseakan antara kaki dan lapisan dalam sepatu selama berjalan.
Tinggi hak sepatu tidak lebih dari 5 cm untuk mengurangi tekanan berlebihan pada
bagian metatarsal.
Bahan untuk insole / alas kaki lunak
Sepatu dibeli pada sore/malam hari mengingat secara relatif kaki lebih membengkak
setelah beraktivitas seharian
Penggunaan kaus kaki atau stoking untuk mencegah luka lecet pada kaki.1
Kontrol Vaskular, merupakan salah satu faktor kunci untuk kesembuhan luka.
Terkait diagnosis kondisi vaskular, dapat dilakukan pemeriksaan sederhana berupa
pemeriksaan warna dan suhu kulit, perabaan arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior, serta
pengukuran tekanan darah. Di samping itu, dapat pula dilakukan pemeriksaan mulai dari
yang bersifat non invasif seperti Ankle Brachial Index (ABI) hingga invasif seperti
arteriografi. 1,3
Terkait kontrol vaskular, dapat dilakukan modifikasi faktor risiko berupa
penghentian merokok, kendali hiperglikemia, hipertensi, dan dislipidemia, serta program
berjalan. Terapi medikamentosa disinyalir juga mendapatkan tempat untuk memperbaiki
kondisi vaskular yang ada. Untuk setiap penyandang DM dengan penyakit vaskular perifer,
disarankan pemberian anti platelet (aspirin 75 mg sehari atau clopidogrel 75 mg sehari bila
tidak toleran terhadap aspirin) dan golongan statin. Apabila ditemui kemungkinan
kesembuhan luka yang rendah atau ditemui klaudikasio intermitten hebat, dapat dianjurkan
tindakan revaskularisasi atas dasar hasil pemeriksaan arteriografi yang telah dilakukan. Untuk
oklusi yang panjang, dianjurkan operasi bedah terbuka sedangkan untuk oklusi yang penddek
dapat dipikirkan prosedur endovaskular PTCA. Untuk keadaan yang bersifat akut, dapat
dilakukan tromboarterektomi. 3
Dewasa ini, terdapat kemajuan pesat terkait dengan metode revaskularisasi
yang dapat dilakukan, misalnya terapi oksigen hiperbarik yang dikatakan dapat memperbaiki
vaskularisasi dan okisgenasi jaringan luka pada kaki sebagai sebuah terapi ajuvan. 3 Dengan
pemberian oksigen bertekanan tinggi, diharapkan kadar oksigen dalam darah akan menjadi
lebih tinggi, demikian pula dengan kapasitas difusinya ke dalam jaringan. Pada kadar oksigen
yang lebih tinggi, stimulasi neovaskularisasi, replikasi fibroblas, serta fagositosis akan
berjalan dengan lebih baik.6,7
Keenam jenis kontrol ini menjadi pedoman utama dalam penanganan kaki
diabetik dalam konteks rawat jalan maupun rawat inap. Secara ringkas, algoritma tatalaksana
ulkus DM dijelaskan pada bagan 3.
Adapun rawat inap terutama diindikasikan pada ulkus yang mencapai lapisan
subkutan atau lebih dalam disertai adanya gejala SIRS. Pada kasus-kasus rawat inap,
antibiotik yang digunakan biasanya merupakan antibiotik jenis kombinasi dengan tindakan
nekrotomi serta kontrol hiperglikemia yang lebih agresif, umumnya menggunakan insulin.1
Amputasi umumnya merupakan pilihan terakhir pada penanganan kaki
diabetik mengingat sifatnya yang permanen. Amputasi umumnya dilakukan untuk alasan live
saving, terutama untuk mencegah penyebaran asendens dari infeksi atau kematian jaringan. 5
Indikasi amputasi ekstremitas bawah umumnya adalah komplikasi diabetes melitus,
umumnya berupa gangren pedis, ulkus yang tidak menyembuh, serta nyeri saat istirahat yang
sama sekali tidak tertangani (60-80%), infeksi non diabetik dengan iskemia (15-25%),
iskemia tanpa infeksi (5-10%), osteomielitis kronik (3-5%), trauma (2-5%), dan lain-lain.
Prosedur ini dapat dilakukan setinggi digital tertentu, trans metatarsal, Symes, below knee,
disartikulasi lutut, suprakondilar, paha tengah, paha tinggi, dan disartikulasi panggul.8
Bagan 4. Terapi Pembedahan pada Kaki Diabetik
Luka dengan tendon, saraf, serta tulang yang terekspos didefinisikan sebagai
luka kompleks. Adapun kompleksitas luka dapat diperparah pada ukuran luka yang besar,
trauma tumpul, infeksi, kronisitas, dan riwayat radiasi sebelumnya, mengakibatkan luka
menjadi sulit untuk mengalami penyembuhan.10,11
Indikasi penggunaan alat ini adalah ulkus diabetik, ulkus dekubitus, ulkus
traumatik (sindrom kompartemen), ulkus sternal, STSG, donor site, serta cedera jaringan
lunak sebelum terapi surgikal.10,11 Pada kasus ulkus diabetik, adanya insufisiensi arteri perifer
menambah kebutuhan pemakaian NPWT ini. Kontraindikasi sistem tekanan negatif ini ialah
fistula organ / rongga tubuh, jaringan nekrotik, kanker, dan osteomielitis yang tidak
ditangani.10
Setelah administrasi NPWT dijalankan dan luka diyakini telah bersih, langkah
selanjutnya yang dapat dilakukan adalah administrasi flap / skin graft.6,11
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien laki-laki, usia 54 tahun, datang dengan keluhan utama nyeri kaki yang
memberat sejak 3 hari SMRS.
Nyeri dirasakan berdenyut dengan VAS yang semakin memberat seiring dengan
perkembangannya. Atas sifatnya yang bersifat pulsatil, karakteristik ini sugestif ke arah nyeri
akibat sumbatan / oklusi pada arteri perifer. Nyeri yang dirasakan tidak hanya saat
beraktivitas / intermitten menandakan bahwa sumbatan yang terbentuk telah cukup
bermakna.
Keluhan nyeri telah dirasakan sejak timbul luka yang tidak sembuh di tungkai bawah
kanan sejak 1 bulan SMRS. Luka awalnya muncul di jempol kaki kanan dan dan punggung
kaki kanan setelah pasien memakai sepatu yang biasa dipakainya. Area jempol kaki kanan
merupakan area dengan penekanan, sehingga luka pada tempat tersebut diperkirakan
disebabkan oleh faktor neurogenik sedangkan punggung kaki kanan merupakan tempat
vaskularisasi pembuluh darah perifer sehingga luka pada tempat tersebut makin menguatkan
dugaan adanya sumbatan. Oleh karena itu, luka pada kaki ini merupakan kombinasi akibat
faktor neuropati dan mikroangiopati.
Adanya keluhan demam pada pasien menunjukkan terjadinya infeksi dengan fokus
infeksi yang paling mungkin berasal dari ulkus / luka pada kaki pasien.
Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan tanda vital dan keadaan umum dalam batas
normal. Dari pemeriksaan status lokalis, terdapat jaringan parut hipertrofik pada tungkai kiri
pasien sebagai bekas operasi pada luka yang pernah terjadi sebelumnya. Berdasarkan
klasifikasi PEDIS, diperoleh perfusi menurun dengan ABI 0,6 sugestif ke arah PAD, ekstensi
luka tidak diperiksa karena saat pemeriksaan luka masih ditutup dengan CuraVAC,
kedalaman luka diketahui dari pemeriksaan sebelumnya tidak mencapai tulang, terdapat
riwayat manifestasi sistemik berupa infeksi, serta terapat gangguan sensorik pada kedua kaki.
Di samping itu, ditemukan pula kalus dan hiperpigmentasi pada kulit kaki kanan serta
perubahan warna dan penebalan kuku kaki. Hasil temuan ini memperlihatkan bahwa kaki
pasien memiliki kecenderungan untuk menjadi luka.
Berdasaarkan pemeriksaan penunjang, gula darah serta HbA1C pasien masih berada
dalam rentang batas normal, menandakan gula darah saat pemeriksaan dan 3 bulan
sebelumnya realtif terkontrol. Adapun pemeriksaan radiologis juga tidak menunjukkan
adanya ekspansi luka hingga ke tulang. Pemeriksan USG Doppler menunjukkan beberapa
plak yang bermakna pada pembuluh darah arteri, ditunjukkan dengan penurunan aliran darah,
terutama pada tungkai kanan.
Dengan demikian, ditegakkan diagnosis ulkus DM pedis sinistra, PAD, serta DM tipe
2. Adapun berdasarkan hasil seluruh data ini, sesuai algoritma kaki diabetik, pasien masuk
indikasi untuk rawat inap, yaitu dengan adanya tanda-tanda infeksi sistemik.
Pada aspek kontrol mekanik, dilakukan pengistirahatan pada kaki sebagai penopang
berat tubuh agar dapat memfasilitasi penyembuhan luka. Aspek kontrol infeksi dilakukan
dengan pemberian antibiotik untuk spektrum luas sesuai dengan hasil kultur resistensinya.
Saat ini pasien sudah memasuki perawatan pada bulan ke dua, sehingga antibiotik yang
digunakan, yaitu Ciprofloxacin 2x400 mg iv, sudah merupakan stepdown dari antibiotik
sebelumnya, yaitu Meropenem iv. Kontrol metabolik dilakukan dengan pemberian insulin
kerja cepat dan kerja panjang, yaitu Lantus dan Novorapid.
Kontrol vaskular telah dilakukan dengan pemeriksaan ABI serta USG Doppler. Pada
kasus ini, dapat pula dipertimbangkan arteriografi untuk penilaian yang lebih baik pada
kondisi pembuluh darah pasien. Apabila ternyata sumbatan sangat bermakna, dapat dilakukan
tindakan invasif oleh dokter bedah vaskular. Kontrol luka dilakukan dengan operasi
derbridement untuk mengangkat jaringan nekrotik dilanjutkan dengan dressing.
Terkait kedua kontrol terakhir, terapi terpilih pada pasien adalah pemasangan
CuraVAC. Alat ini diketahui bekerja dengan prinsip tekanan negatif yang memfasilitasi
terjadinya penyedotan eksudat, stabilisasi luka, serta aplikasi stres mekanis. Adapun NPWT
ini diketahui juga dapat memperbaiki aliran darah perifer melalui mobilisasi EPC dan
angiogenesis. Setelah terapi NPWT dijalankan, pasien direncanakan untuk menjalani STSG
untuk penutupan ulkus pada kakinya.
Di samping itu, diberikan pula terapi simtomatis pereda nyeri berupa tramadol drip
3x50 mg. Pasien juga diberikan edukasi sebagai aspek kontrol ke enam. Salah satu hal yang
diedukasikan adalah prognosis pasien. Secara umum, kondisi akut pasien telah teratasi,
sehingga saat ini prognosis dubia ad vitam pasien bonam. Dengan perawatan dan pencegahan
sekunder yang baik, fungsi tungkai masih dapat berfungsi baik serta kekambuhan dapat
dicegah. Salah satu upaya pencegahan yang perlu dilakukan adalah pemilhan sepatu yang pas
disesuaikan dengan ukuran kaki pasien saat ini. Oleh karena itu, pasien harus sering kontrol
ke poliklinik dan menjalani pengobatan. Melihat kadar HbA1C pasien dan konsumsi obat
yang teratur, prognosis ad functionam serta ad sanationam pasien digolongkan dubia ad
bonam.
DAFTAR PUSTAKA
1. Yunir E, Purnamasari D, Ilyas E, Widyahening IS, Mardai RA, Sukardji K. Pedoman
penatalaksanaan kaki diabetik. Jakarta: Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia. 2008.
2. Wounds International Group. Best practice guidelines: wound management in diabetic
foot ulcers. London: Wounds International. 2013; p. 2-20
3. Waspadji S. Kaki diabetes. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Jakarta:
Interna Publishing. 2009; p. 1933-36.
4. Apelqvist J, Bakker K, Houtum WHV. Practical guidelines on the management and
prevention of the diabetic foot. Diabetes Metab Res Rev 2008; 24(1):181-187
5. Frykberg RG, Zgonis T, Armstrong DG, Driver VR, Giurini JM, Kravitz SR, et al.
Diabetic foot disorders: a clinical practice guideline. Journal of Foot and Ankle Surgery
2006; 45(5):6-19.
6. Rowe VL. Diabetic Ulcers Treatment & Management. 2012. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/460282-treatment#showall. Accessed Januari 28,
2014.
7. Tongson L, Habawel DL, Evangelista R, Tan JL. Hyperbaric oxygen therapy as
adjunctive treatment for diabetic foot ulcers. Wounds International 2013; 4(4): 8-10.
8. Giglia J, Jarboe M. Lower Extremity Amputation. In: Greenfields Surgery: Scientific
Principles and Practice [e-book]. 4th edition. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins.2006.
9. Seo SG, Yeo JH, Kim JH, Kim JB, Cho TJ, Lee DY. Negative-pressure wound therapy
induces endothelial progenitor cell mobilization in diabetic patients with foot infection or
skin defects. Experimental & Molecular Medicine 2013; 45: 1-5.
10. Daewoong. The Best Solution CuraVAC. Seoul: Daewoong Bio Incorporated.p.2-7.
11. Hong JP. Addresing the vertical and horizontal aspects of the wound by using negative
pressure wound therapy and growth factors. Wounds International 2013; 4(4): 6-7.