You are on page 1of 33

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Pada Bab 1 sudah dijelaskan tentang beberapa hal mengenai latar belakang
perlunya penelitian pengalaman keluarga pasien kanker stadium terminal dalam
pengambilan keputusan perawatan paliatif di rumah. Maka, pada Bab II ini akan
dijelaskan tentang beberapa teori yang berhubungan dengan tujuan penelitian dan
menjadi landasan teori dari pembahasan nantinya.

2.1 Konsep Kanker


Konsep kanker dibutuhkan untuk dipahami agar peneliti memperoleh gambaran
tentang karakter penyakit keluarga responden yang akan diteliti pada penelitian
ini. Pada sub bab konsep kanker kita akan mempelajari epidemologi dari penyakit
kanker yang menjadi trend penyebab kematian di dunia dan semakin meningkat
tiap tahunnya. Setelah mempelajarinya kita akan paham masalah dari penyakit
kanker akan berantai dan bertambah besar tiap tahunnya, termasuk meningkatnya
kebutuhan perawatan paliatif di rumah.

Pada sub bab ini juga peneliti juga menjelaskan tentang stadium kanker. Dalam
teori keperawatan paliatif, besarnya prosentasi perawatan paliatif tergantung pada
tingginya stadium terminal yang diderita pasien kanker. Pada penelitian ini
peneliti mengambil pasien pada kanker stadium terminal yang sebagian besar
perawatanya adalah paliatif sifatnya. Pada stadium terminal ini harapan hidup
pasien kanker diperkirakan kurang dari 6 bulan. Oleh karena itu peneliti juga
menjelaskan konsep terapi yang tepat pada kanker , terutama yang sudah
mencapai stadium terminal. Hal itu penting karena ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan ketika penyakit kanker pasien sudah mencapai stadium terminal.

2.1.1 Epidemologi Kanker


Penyakit kanker menjadi menjadi penyakit utama yang mematikan dalam
beberapa tahun kedepan, terutama bagi negara berkembang seperti
Indonesia. Penyakit kanker juga termasuk penyakit paling mahal dalam
penanganannya dan menjadi masalah paling berat yang dihadapi tenaga

9
kesehatan dalam menghadapi tantangan kesehatan secara global (Albreht
T et al ,2008)

Data WHO (World Health Organization), organisasi kesehatan dunia,


menunjukan bahwa penyakit kanker tahun 2013, telah mencapai angka 14
juta kasus baru dan 8,2 juta diantaranya meninggal dunia akibat penyakit
mematikan ini. Angka kematian dari kanker tersebut membuat penyakit
kronis ini menjadi penyebab kematian nomer 2 di dunia, sebesar 13 persen
setelah penyakit kardiovaskuler. Diperkirakan pada tahun 2030, insiden
kanker dapat mencapai 26 juta orang dan kematian akibat penyakit ini
meningkat sampai 17 juta jiwa. Kejadiannya akan menjadi lebih cepat
pada negara miskin dan berkembang. Asia Tenggara contohnya, penyakit
kanker telah bertanggung jawab atas kematian penduduknya sebesar 60
persen (Dans et al, 2011)

Di Indonesia, negara kepulauan dari 17.508 pulau, kanker merupakan


salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama. Prevalensi kanker di
indonesia adalah 4,3 per 1.000 penduduk. Berdasarkan Riset Kesehatan
Dasar 2007, kanker merupakan penyakit nomer 7 yang dapat
menyebabkan kematian. Kanker serviks, kanker payudara, kanker getah
bening, kanker kulit, dan kanker usus dubur merupakan jenis utama kanker
penyebab angka kematian yang tinggi di negara ini. Data yang akurat
tentang kejadian kanker masih tak terjangkau karena administrasi,
keuangan dan kondisi geografis di Indonesia. (Gondhowiardjo S, Prajogi
G, Sekarutami S, 2008; RISKEDAS, 2013)

2.1.2 Definisi Kanker


Penyakit kanker merupakan suatu penyakit akibat pembelahan sel jaringan
tubuh yang tidak terkendali. Kemampuan sel dalam membelah dan
mengendalikan pertumbuhan sel terganggu akibat adanya sel-sel jaringan
tubuh tidak normal. Sel-sel kanker bersifat menyusup ke jaringan
sekitarnya (invasive) seperti pada jaringan ikat, darah serta organ-organ
penting lainnya. (Black and Hawks, 2009).

10
Sel normal umumnya hanya akan melakukan pembelahan diri untuk
memperbaiki sel-sel tubuh yang telah rusak dan mati. Ketika sel kanker
timbul, fungsi pembelahan diri kanker berubah dari keadaan sel normal.
Pada pembelahan sel kanker terjadi secara terus menerus sehinga akan
terjadi penumpukan sel baru. Perubahan kondisi pembelahan sel patologis
kanker yang dialami sel normal bisa disebabkan oleh hiperplasia,
displasia dan neoplasia. Hiperplasia adalah ketidaknormalan
perkembangan sel yang cenderung berlebihan. Displasia dapat diketahui
ketika melihat perubahan pada nukleus, aktivitas mitosis sel yang
meningkat dan tidak ada ciri khas sitosplasma yang mengalami
diferensiasi. Sedangkan neoplasia merupakan istilah sel yang melakukan
pembelahan diri secara tidak normal dan menyusup ke jaringan sekitarnya
(invasive) (Weinberg, 2007).

2.1.3 Masalah yang Dialami oleh Pasien Kanker Stadium Terminal


Banyak pasien kanker stadium terminal mengeluh tentang masalah yang
dideritanya, mulai dari masalah fisik, psikososial spiritual dan masalah
lainnya. Ada 5 masalah yang pada umumnya dikeluhkan oleh pasien
kanker adalah nyeri, fatique, cachexia, anemia dan infeksi. Nyeri
diakibatkan adanya penekanan baik secara langsung atau tidak langsung
pada syaraf nyeri. Sedangkan cachexia mempunyai tanda yaitu adanya
penurunan nafsu makan dan berat badan serta pada fatique memberikan
indikasi apabila pasien mendapati dirinya kelelahan sampai terasa ingin
pingsan. Anemia pada kanker akibat terjadi perdarahan kronik atau
defisiensi zat besi. Infeksi karena terjadinya perubahan dan penurunan
sistem imun. Pasien kanker stadium terminal sering mendapat masalah
infeksi nosokomial ketika di rumah sakit. Pasien kanker merupakan
kelompok yang rentan mengalami neutropenia (neutrophil<500/mcl)
akibat proses penyakit, penggunaan kemoterapi dan kortikosteroid.
Kondisi tersebut membuat kekebalan tubuh pasien kanker menjadi
menurun. Kekebalan tubuh pasien kanker yang menurun dapat
menyebabkan penularan infeksi oleh S. aureus, S. pneumonia, H. influenza

11
dan E. cloacae. Bakteri-bakteri tersebut sering dilaporkan sebagai
penyebab tertingi dari infeksi nosokomial pasien kanker di rumah sakit.
Adanya infeksi nosokomial yang terjadi pada pasien kanker, merupakan
faktor penyebab yang mempercepat kematian pasien kanker di rumah
sakit.(Sarihan, 2005; Brown, D and Edward, H, 2005).

Pengobatan pasien untuk penyembuhan pasien pada pasien kanker sudah


tidak mungkin diberikan. Penting sekali perawat berfokus untuk menjaga
dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Perawat harus dapat melihat
masalah pasien secara multidimensi yaitu fokus pada masalah pribadi
pasien, penyakitnya, lingkungan sosialnya, harapan dan kebutuhan mereka
sekarang dan yang akan datang ketika mendekati kematian (Alvarez A,
Walsh D, 2011). Adanya kanker di dalam tubuh pasien dan efek terapi
pengobatannya memberikan pengaruh yang nyata pada penurunan kualitas
hidup pasien (Chan JKC, Bray F, Mc Carron P, 2005). Penelitian dari
Ronis (2008) menjelaskan bahwa kanker sangat mempengaruhi kualitas
hidup pasien kanker kepala. Pasien kanker kepala sering mengeluh nyeri
pada daerah kepala dan kepala, penurunanan indra penglihatan,
pengecapan dan penciuman, rambut rontok, mulut pahit, tidak nafsu
makan, dan sulit menelan. Selain masalah fisik, pasien kanker juga
mengalami masalah psikologis yang perlu diperhatikan oleh perawat.
Pasien kanker sering mengalami kesendirian dan depresi. Pada penelitian
Wolf (2008) keluarga pasien kanker menyatakan bahwa saat bulan terakhir
kehidupan pasien kanker stadium terminal akan tampak keluhan pasien
kanker sering mengalami gangguan psikologis seperti sedih, cemas, takut
dan insomnia.

2.1.4 Stadium Kanker


Pemutusan terhadap diagnosis dan stadium kanker membutuhkan tim yang
multidisiplin termasuk dokter, radiologi, ahli bedah, onkologi, patologis
dan perawat. Keputusan terhadap tindakan didasarkan atas stadium dari
tumor dan pengkajian perjalanan penyakit. Pemeriksaan histopatologi
menentukan ada atau tidaknya keganasan, jenis keganasan, sifat dan
tingkat keganasan. Pada Proses keganasan terdapat penyusupan sel ke

12
jaringan sehat sekitarnya. Hal ini ditandai dengan adanya batas tegas
antara tumor dan jaringan normal. Selanjutnya ditentukanlah jenis
keganasan untuk meramalkan prognosis. Prognosis ditentukan berdasarkan
tingkat diferensiasi jaringan. Semakin kacaunya susunan histologik atau
semakin besarnya perbedaan sel satu dengan yang lain, maka semakin
ganas dan semakin agresif suatu kanker tersebut yang otomatis membuat
prognosis penyakitnya semakin memburuk (Sjamsuhidayat and De Jong,
2004; otto 2001). Adapun tingkat derajat diferensiasi sel dapat dilihat di
tabel 2.1
Tabel 2.1 Tingkatan dan differensiasi sel
Ting Differensiasi Pengertian
kat
X Tidak dapat
dikaji
I Diferensi baik Sel matur, bervariasi dari jaringan normal
II Diferensiasi Beberapa sel belum matur, bervariasi dari
sedang jaringan normal
III Diferensiasi Sel belum matur, tidak seperti sel normal
buruk
IV Tanpa Sel sangat tidak matur, tidak ada persamaan
diferensiasi sama sekali dengan jaringan normal,
(anaplastic) bahkan sulit untuk menentukan jenis
jaringan normalnya.
Sumber otto, E.S., 2001. Oncology Nursing. 4th Ed. Mosby.Inc.St.Louis.Missouri

Stadium atau penentuan luas penyebaran dilakukan dengan tujuan untuk


menentukan stadium dan memilih intervensi yang paling baik bagi pasien.
Selain itu, stadium juga diperlukan untuk melihat hasil pengobatan dan
membandingkan efektivitas berbagai macam pengobatan yang diterima
oleh pasien (Sjamsuhidayat and De Jong, 2004). Untuk menentukan
stadium pada pasien dengan kanker dipakailah sistem TNM (Tumor,
Nodus dan Metastasis). Sistem TNM ini dapat dilihat pada tabel 2.2
Tumor
T Tumor primer
Tx Tumor primer tidak dapat di prediksi
To Tidak ada yang menandakan adanya tumor primer
Tis Karsinoma in situ
T1, T2, Menunjukkan tumor primer bertambah makin besar dan
T3 menginvasi sel dan jaringan disekitarnya
Nodus

13
N Kelenjar limfe
Nx Kelenjar linfe tak dapat diprediksi

No Tidak ada yang menandakan penyebaran sel kanker pada kelenjar


limfe
N1, Dari N1 sampai N4 menunjukkan banyaknya kelenjar yang di
N2, invasi oleh sel kanker
N3, N4
Metast
asis
M Metastasis menjadi jauh
Mx Tidak dapat diperiksa adanya metastasis
Mo Tidak ada yang menandakan metastasis jauh
M1 Metastasis telah jauh
Sumber otto, E.S., 2001. Oncology Nursing. 4th Ed. Mosby.Inc.St.Louis.Missouri

Informasi yang didapat dari klasifikasi sistem TNM ini selanjutnya dapat
digunakan untuk mendefinisikan stadium kanker
Potts and Mandleco (2007) telah membagi stadium kanker dapat dilihat
pada tabel 2.3:
Stadium Tumor Nodus Metastasis
1 Ukuran kurang Nodus limfe tidak Lokasi hanya
dari 2 cm terkena oleh sel-sel di satu tempat
kanker dan tidak
menyebar ke
area tubuh
lainnya.
2 UUkuran tumor Nodus limfe Kanker masih
biasanya 2-5 cm biasanya terkena sel- dilokalisir,
sel kanker belum
menyebar.
3 Tumor tampak Nodus limfe tampak Perubahan
membesar dengan terkena sel-sel antara
jelas, umumnya kanker stadium II
lebih dari 5 cm dan III agak
sulit
tergantung
pada tipe
kanker
4 Tumor menjadi Nodus limfe sudah Penyebaran
beberapa ukuran terkena sel-sel kanker sudah
dan umumnya kanker terjadi ke
lebih dari 5 cm organ lain

14
Stadium kanker juga membantu menentukan harapan hidup pasien dan
mengatur penanganannya. Khususnya pada stadium terminal harapan
hidup pasien diperkirakan kurang dari 6 bulan. Akibat penanganan
penyakit kanker di Indonesia yang menghadapi berbagai kendala,
menyebabkan 70 persen penderita kanker ditemukan dalam keadaan
stadium terminal. Kondisi stadium terminal merupakan periode dari saat
pasien bersiap untuk kematian. Stadium terminal pada kanker lebih sering
digunakan menggambarkan pada semua pasien dengan kondisi hidupnya
terbatas sehingga diberikan tindakan seumur hidup saat kematian tidak
dapat dihindari. Ketika tindakan penyembuhan tidak memungkinkan maka
pasien kanker dapat diberikan perawatan paliatif agar memperoleh
kenyamanan dan mengatasi keluhan. (Potts and Mandleco, 2007;
Mediakom, 2015; Tilly and Wienier; Craig, 2007).

2.1.5 Jenis Terapi pada Pasien Kanker


Keberhasilan terapi pada pasien dengan kanker tergantung kepada stadium
kanker. Terapi mutakhir saat ini pada kanker mencakup radioterapi dan
pembedahan. Sebelum memulai terapi, daftar riwayat penyakit haruslah
dilengkapi serta catatan mengenai tampilan klinis (performance scale)
sudah dikaji dengan benar. Skala kemampuan dari WHO dapat digunakan
untuk melihat penampilan klinis pasien dalam praktek sehari-hari
Tampi An Keterangan
lan gka
Baik 0 Aktivitas Jasmani biasa . dapat bekerja
Cukup 1 Dapat kerja ringan , tidak tinggal di tempat tidur
Lema 2 Lebih dari 50 persen waktu bangun, jalan dan merawat
h diri
Jelek Lebih dari 50 persen waktu untuk tiduran, tidak dapat
berjalan tetapi dapat merawat diri
Sanga Tidak dapat bangun atau merawat diri, penderita tetap
t Jelek tinggal di tempat tidur atau di kursi
Sumber Sjamsuhidayat, H.R., and De Jong, W., 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jilid 2.
Jakarta EGC

Untuk mengatasi penyakit kanker, terdapat beberapa terapi dengan tujuan


sebenarnya adalah untuk paliatif paliatif pada pasien kanker (Otto, 2001;
Smeltzer and Bare, 2002; Syamsuhidayat 2005)

15
1. Pembedahan
Pembedahan memberikan kemungkinan terbaik bagi penyembuhan
tumor atau meringankan penderitaan pasien. Pengangkatan tumor
seluruhnya dapat diakukan apabila yang dihadapi adalah tumor
stadium awal yang berbatas tegas. Namun ketika tumor telah
bermetastasis atau tumor ganas, maka dapat dilakukan terapi
dengan pembedahan yang bertujuan untuk menghilangkan nyeri
pasien akibat tumor yang telah bermetastase telah menekan saraf
disekitarnya
2. Terapi radiasi
Terapi radiasi berfungsi menghancurkan sel-sel tumor
menggunakan radiasi ionisasi. Radiasi biasanya digunakan sebagai
tindakan tambahan pada pembedahan, untuk memperkecil ukuran
tumor atau tujuan-tujuan paliatif. Namun efek sampingnya adalah
dapat membuat sel normal dapat terbunuh akibat terapi radiasi.
Selain itu dapat terjadi pembentukan jaringan parut pada jaringan
normal, timbul fibrosis dan penurunan fungsi organ. Sekitar 60
persen pasien kanker biasanya akan di rawat dengan terapi radiasi.
3. Kemoterapi
Kemoterapi adalah proses pemberian obat-obat anti kanker dalam
bentuk kapsul atau melalui infus yang bertujuan membunuh sel
kanker. Kemoterapi berdampak membunuh sel kanker dan dapat
menurunkan metastase. Kemoterapi sering digunakan sebagai
tambahan pembedahan, dan juga digunakan untuk tujuan-tujuan
paliatif. Terapi ini menyebabkan penekanan sumsum tulang, yang
menyebabkan kelelahan, anemia, kecenderungan perdarahan dan
peningkatan risiko infeksi.
4. Imunoterapi
Imunoterapi adalah bentuk terapi kanker yang digunakan untuk
mengidentifikasi tumor dan memungkinkan pedeteksian semua
tempat metastasis yang bersembunyi. Imunoterapi dapat
merangsang sistem kekebalan tubuh agar berespon secara lebih
agresif terhadap tumor yang dapat diserang oleh antibodi.

16
Pemilihan terapi yang tepat pada penderita kanker merupakan masalah
yang tidak mudah untuk ditanggulangi. Terapi kanker yang dipilih harus
sesuai prinsip paliatif yaitu sesuai dengan kebutuhan pasien dan dapat
memperbesar angka harapan hidup (life expectancy), mengatasi gejala dan
keluhan pasien serta meningkatkan kualitas hidup pasien (quality of life).
Ketika tindakan penyembuhan tidak memungkinkan lagi akibat stadium
kanker pasien sudah mencapai tahap terminal, maka pasien kanker dapat
diberikan perawatan paliatif dengan porsi yang lebih besar agar pasien
memperoleh kenyamanan dan mengatasi keluhan (Potts and Mandleco,
2007).

Ketika keadaan umum pasien memburuk dan keluhan tampak sering


terjadi, maka perlu dipersiapkan kebutuhan perawatan khusus untuk pasien
kanker dengan kondisi terminal. Kebutuhan-kebutuhan khusus meliputi
tindakan untuk mengatasi keluhan fisik psikososial, spiritual dan
berkomunikasi yang efektif dengan anak dan keluarga untuk menjelaskan
tentang kondisi penyakitnya (Chiu TY et al, 2009). Menurut Aslakson et
all (2012) kebutuhan pasien kanker stadium terminal meliputi pencegahan
dan mengatasi nyeri serta keluhan lain, mendukung keluarga dan
caregiver untuk melakukan perawatan paliatif di rumah, memberikan
informasi tentang perawatan paliatif hospis atau home care, menjaga
emosi dengan baik, mempertahankan fungsi dan kelangsungan hidup lebih
lama.

Tujuan perawatan kanker stadium terminal adalah meningkatkan kualitas


hidup pasien di akhir kehidupannya, maka untuk mengatasi dan memenuhi
kebutuhan tersebut, sebaiknya pasien dipersiapkan untuk menerima
perawatan paliatif. Perawatan paliatif diberikan pada semua pasien yang
didiagnosa kanker dengan tujuan untuk membantu mengatasi keluhan, dan
disaat penyakitnya mengalami keganasan sehingga tidak bisa
disembuhkan, serta diberikan saat didiagnosa ataupun selama mengalami
kekambuhan (Craig , et all. 2007).

17
2.2 Kualitas Hidup Pasien Kanker
Pokok bahasan dari sub bab dari kualitas hidup ini adalah untuk lebih memahami
kondisi kualitas dari anggota keluarga responden yang sedang mengalami kanker.
Kualitas hidup sendiri merupakan tujuan dari program perawatan paliatif di
rumah. Setelah penjelasan tentang teori kanker dan dampaknya bagi kehidupan
pasien, maka penting melihat gambaran kualitas hidup pasien kanker.
Keberhasilan dari suatu terapi kanker yang dijelaskan di bab sebelumnya
dilakukan dengan mengukur angka morbiditas dan mortalitas. Pengukuran ini
sebenarnya hanya secara kasar atau secara garis besar karena di sini keberhasilan
diukur secara obyektif tanpa memperhatikan rasa atau subyektifitas dari penderita
yang menjalani tindakan terapi, maka dibuatlah suatu cara pengukuran dengan
kualitas hidup. Di dalam kualitas hidup menyangkut indicator subjektif dan
indikator sosiomedis. Ruang lingkup kualitas hidup menyangkut indicator
subyektif dan indiktor sosiomedis. Ruang lingkup kualitas hidup juga meliputi
fisik, fungsi sosial, emosi atau status mental, beban keluhan dan penerimaan rasa
nyaman/sehat dari pasien , terutama yang sudah mencapai stadium terminal
(kimlin, 2010)
2.2.1 Definisi Kualitas Hidup
Kualitas hidup merupakan istilah yang sering kali digunakan untuk
menyatakan status kesehatan seseorang, status fungsional fisik,
kemampuan menyeseuaikan diri terhadap kondisi psikososial dan gejala
yang muncul, kondisi sehat sejahtera, kenyamanan dalam hidup atau
kebahagiaan (Barofsky, 2012). World Health Organization (WHO, 2014)
menyatakan kualitas hidup merupakan persepsi dari individu yang
menunjukkan kemampuan seseorang untuk melakukan bermacam-macam
peran kepuasan dalam melakukan sesuatu sesuai konteks budaya.
2.2.2 Gambaran Kualitas Hidup pasien Kanker
Kanker, penyakit kronik jenis yang dialami individu akan mampu
mempengaruhi kehidupan orang lain, diantaranya bagi pasien dan keluarga
penderita itu sendiri. Kualitas hidup penderita kanker juga terpengaruh
oleh adanya penyakit tersebut. Misalnya saja selama dalam pengobatan.
Pengobatan kanker berpotensial mempengaruhi seluruh aspek kualitas
hidup. Selama pengobatan, sebagian besar individu merasakan

18
keterbatasan fisik, merasa lelah dan kekurangan energi. Selain itu juga
merasakan gejala dan efek samping yang tidak menyenangkan, termasuk
nausea, luka di mulut, alopesia (kehilangan rambut seluruh badan) dan
gangguan kulit. Individu juga mengalami perubahan dalam nafsu makan,
gangguan dalam pemilihan rasa, dan kombinasi luka di mulut .
Kemoterapi dapat mempunyai efek yang signifikan terehadap suasana hati.
Keluarga pasien kanker melaporkan anggota keluarganya mengalami
gangguan tidur dan lesu (Koot and Wallender, 2001)

Larasati (2009) menyatakan pasien kanker dengan kualitas hidup positif


terlihat dari gambaran fisik pasien kanker yang selalu menjaga
kesehatanya. Dalam aspek psikologis pasien berusaha meredam emosi
agar tidak mudah marah, hubungan sosial pasien baik dengan banyaknya
teman yang dimilikinya, lingkungan mendukung dan memberi rasa aman
kepada pasien. Pasien dapat mengenali diri sendiri, pasien mampu
beradaptasi dengan kondisi yang dialami saat ini, pasien mempunyai
perasaan kasih kepada orang lain .

2.3 Konsep Perawatan Paliatif


Perawatan paliatif merupakan tema utama dalam penelitian ini. Pada sub bab
ini peneliti menjelaskan tentang, pengertian, profesi apa saja yang berperan
dalam perawatan paliatif, tempat perawatan paliatif , dasar dari perawatan
paliatif dan yang terpenting peran perawat dalam perawatan paliatif.
2.3.1 Definisi Perawatan Paliatif
Kata paliatif berasal dari Bahasa latin pallum yang berarti mantel.
Sedangkan dalam Bahasa Inggristo palliate berarti mengurangi
penderitaan atau memberikan kenyamanan (Depkes, 2006). World Health
Organization mendefinisikan paliatif adalah pendekatan sistem perawatan
terpadu untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga mereka
ketika menghadapi penyakit terminal yang membahayakan jiwa dengan
memberikan dukungan spiritual dan psikososial mulai saat diagnosis
ditegakkan sampai pada akhir hidup pasien kanker (Woodruff, 1999).
Tujuan utama dari perawatan paliatif adalah memberikan pasien

19
kesempatan untuk tinggal di rumah pasien selama yang pasien inginkan
dan tetap menjaga biaya kesehatan yang dikeluarkan pasien serendah
mungkin. (Djauzi ,2003; Ahlner-Elmqvist et al, 2004)

2.3.2 Tim Keperawatan Paliatif


Perawatan paliatif pendekatanya meliabatkan berbagai disiplin yang
meliputi pekerja social, ahli agama, perawat, dokter (dokter ahli atau
dokter umum) dalam merawat pasien kondisi terminal dengan membantu
keluarga yang berfokus pada perawatan yang komplek meliputi fisik,
emosional, sosial dan spiritual (Hockenberry and Wilson, 2005). Anggota
tim yang lain adalah Perawatan paliatif di lapangan, dilakukan dengan
pendekatan tim yang terdiri berbagai disiplin profesi. Anggota tim
perawatan paliatif terdiri dari profesi keperawatan dan berbagai macam
spesialis, terapis, okupasi, psikologi, gizi, ahli agama dan care giver.
Masing masing profesi terlibat sesuai dengan masalah yang dihadapi
penderita, dan penyusunan tim perawatan paliatif disesuaikan dengan
kebutuhan pasien dan tempat perawatannya. Anggota tim perawatan
paliatif dapat memberikan kontribusi sesuai dengan keahliannya (Djauzi.
Et al, 2003).

Menurut Craig (2007) seluruh anggota tim perawatan paliatif harus


memenuhi kriteria dan kesadaran akan tugas dan tanggungjawabnya yaitu
akan memberikan perawatan secara individu pada pasien kanker stadium
terminal dan keluarga dengan mendukung nilai, harapan dan kepercayaan,
jika tidak dijelaskan makan akan menyinggung pasien dan keluarga.

Tim keperawatan paliatif tersebut harus mempunyai pengalaman dan


mendapat pelatihan tentang keperawatan paliatif. Tugas dari tim
keperawatan paliatif adalah melakukan pengkajian dan perencanaan yang
tepat untuk meningkatkan kualitas hidup pasien di rumah. Tim
keperawatan paliatif juga menyediakan konseling pasien dan keluarga,
dukungan emosional, sosial dan spiritual ( Ahlner-Elmqvist et al, 2004).
Keterampilan dalam memberikan pelayanan yang harus meliputi
pemeriksaan fisik, maka dokter dan perawat harus mendukung dan selalu
siap untuk pasien dan keluarga selama 24 jam sehari serta 365 sehari

20
dalam setahun, menjamin perawatan berdasarkan pedoman yang
berkelanjutan untuk perawatan di rumah, rumah sakit dan hospice serta
merencanakan strategi secara objektif, serta memberikan dukungan dan
pengawasan langsung pada caregiver.

2.3.3 Tempat Perawatan Paliatif


Perawat dalam menjalankan tanggung jawabnya di perawatan paliatif
mempunyai kewajiban memberikan edukasi dan informasi kepada
keluarga dan pasien kanker. Edukasi diberikan dimulai pada saat pasien
didiagnosa, selama pasien mengalami sakit sampai akhirnya keluarga
berduka. Salah satu informasi yang penting diberikan dan didiskusikan
adalah mengenai tempat perawatan paliatif. Ketika pasien diberikan
edukasi pada tahap penatalaksanaan awal kanker, kondisi pasien kanker
masih optimal untuk otonomi pengambilan keputusasan tempat perawatan
paliatif yang tebaik bagi pasien setelah menggalami stadium terminal
(Chiu TY et al, 2009)

Tempat perawatan paliatif dapat dilaksanakan rumah sakit, hospice, atau di


rumah pasien. Keluarga dan pasien dihargai dalam memilih tempat yang
disukainya untuk mendapat perawatan yang memungkinkan. Tempat
perawatan dibutuhkan pada pelayanan yang tepat dengan fasilitas
kesehatan, home care atau sarana ke hospice terdekat (Muckaden , 2011).
Tempat perawatan paliatif dapat dilaksanakan di tempat seperti berikut:
a) Perawatan paliatif di rumah sakit (Hospice Hospital Care)
Unit ini berada di dalam rumah sakit dan merupakan suatu unit
tersendiri dalam stuktur organsasi rumah sakit. Keuntungan model
ini adalah dapat dengan mudah mempergunakan fasilitas rumah
sakit dalam mengatasi masalah-masalah yang sulit di lapangan,
baik untuk tindakan medis, tindakan keperawatan, maupun
tindakan penunjang lainnya. Perawatan di rumah sakit diperlukan
apabila kondisi pasien membutuhkan tindakan khusus atau
peralatan khusus yang hanya ada di rumah sakit sehingga
memerlukan pengawasan ketat dari tim kesehatan lain. Setiap
pemberian terapi yang diberikan kepada pasien kanker dalam

21
perawatan paliatif harus selalu memperhatikan kualitas hidup
pasien dan mempertimbangkan manfaat dan resikonya meskipun
prognosis pasien memburuk. Oleh Karena itu perawat dan tenaga
kesehatan lain perlu meminta pendapat dan melibatkan keluarga
dalam keputusan perawatan paliatif. Lokasi perawatan pasien
paliatif di rumah sakit ada di ruangan tersendiri, khusus ruangan
perawatan paliatif di rumah sakit ada di ruangan khusus perawatan
paliatif tersendiri atau digabungkan dengan pasien biasa yang
masih dalam tahap pengobatan kuratif. (Djauzi, 2003 ; Muckaden,
2011)
b) Di hospice
Ada kalanya pasien pasien dalam keadaan tidak memerlukan
pengawasan ketat atau tindakan khusus serta belum dapat dirawat
di rumah karena memerlukan pengawasan tenaga kesehatan. Pasien
kanker kemudian dirawat di suatu tempat khusus (hospis) yang
berada di luar lingkungan rumah sakit. Unit perawatan ini bisa
berada di dalam atau di luar lingkungan rumah sakit yang
pengelolaanya di luar stuktur rumah sakit. Bentuk layanan hospis
ini belum ada di Indonesia. (Djauzi, 2003)
c) Pelayanan perawatan paliatif di rumah (Hospice Home Care)
Perawatan di rumah merupakan kelanjutan perawatan di rumah
sakit. Pada perawatan di rumah, maka peran keluarga lebih
menonjol karena sebagian perawatan dilakukan oleh keluarga, dan
keluarga atau orang tua sebagai care giver diberikan latihan
pendidikan keperawatan dasar. Perawatan di rumah hanya mungkin
dilakukan bila pasien tidak memerlukan alat khusus atau
keterampilan perawatan yang tidak mungkin dilakukan oleh
keluarga. Sebelum pasien dibawa pulang, perlu dipertimbangkan
tentang kelayakan dirawat di rumah dan kesiapan keluarga dalam
melakukan perawatan (Muckaden, 2011).

Apabila keluarga belum mampu merawat pasien, keluarga yang


merawat pasien perlu mendapat pelatihan dari perawat untuk
melaksanakan perawatan di rumah. Tim paliatif akan mengunjungi

22
pasien disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan adat istiadat serta
kondisi setempat. Konsultasi juga dapat dilakukan melalui telepon,
atau sarana komunikasi lain setiap saat. (Djauzi, 2003).

Sebuah pengambilan keputusan tempat perawatan paliatif harus


mempertimbangkan pada beberapa faktor diantaranya adalah harapan
hidup pasien, kompleksitas dari kebutuhan perawat, adanya care giver
ketika melakukan perawatan paliatif di rumah, akses dari sumber
perawatan paliatif dan yang paling utama adalah merupakan pilihan
pasien atau keluarga. Oleh karena pendekatan tim perawatan paliatif untuk
mengidentifikasi tempat rawat terbaik bagi merupakan hal yang tepat bagi
pasien. Perawat memiliki keahlian dalam mengidentifikasi kondisi
kematian pasien yang sudah semakin dekat. Perawat berperan
menginformasikan hal tersebut kepada keluarga, agar keluarga
memutuskan dapat memutuskan tempat perawatan terbaik sesuai
kemampuan keluarga dan mencari ke sumber keluarga yang lain
(Campbell M, 2013).

2.3.4 Dasar Perawatan Paliatif


Hal-hal yang penting yang menjadi dasar perawatan paliatif adalah
sebagai berikut (Djauzi, 2003 ; Woodruff, 1999)
1. Caring attitude (Sikap merawat), melibatkan sensitivitas, simpati dan turut
merasakan penderitaan, dan ini didemonstrasikan kepada penderita kanker
yang sudah mencapai stadium terminal. Sikap merawat sulit diajarkan, dan
ini adalah tanggung jawab kepada mereka yang berpengalaman dilapangan
menjadi contoh. Kompetensi yang dicapai adalah mengetahui mengenai
rencana pasien dan memberikan pasien perawatan
2. Commitment (komitmen), kebutuhan akan komitmen yang kuat dari
anggota tim paliatif menentukan keberhasilan perawatan. Berhadapan
terus menerus dengan pasien kanker stadium paliatif menyebabkan stress,
dan dedikasi yang kuat dibutuhkan untuk mengatasi kesulitan dan masalah
yang kompleks dimana beberapa mungkin tidak dapat diatasi.
3. Consideration of individuality (pertimbangan individualitas). Setiap pasien
adalah unik secara individu. Praktik pengelompokan pasien berdasarkan

23
penyakit mereka, berdasarkan kesamaan masalah medis yang dihadapi,
untuk mengenal gambaran psikososial individu dan masalahnya yang
membuat pasien berbeda.
4. Cultural consideration (pertimbangan kebudayaan). Etnis, ras, agama dan
faktor budaya lain membawa pengaruh pada penderitaan pasien.
Perbedaan kebudayaan harus dihargai dan perawatan direncanakan dengan
mempertimbangkan sensitivitas secara kebudayaan.
5. Consent (ijin). Ijin dari pasien atau seseorang yang dilimpahkan tanggung
jawab, adalah penting sebelum suatu pengobatan diberikan atau
dihentikan. Terdapat suatu aturan moral untuk mengkaji penginformasian
keputusan, yang dibuat oleh pasien atau wakil mereka sehubungan dengan
terapi yang dipilih. Kata kuncinya adalah terinformasikan (informed)
6. Choice of site of care (pilihan tempat perawatan) .Pasien dan keluarganya
perlu dilibatkan dalam diskusi tentang dimana pasien akan dirawat.
Perawat memberikan respon tentang keinginan pasien serta keinginan para
keluarga. Keluarga akan ditawarkan agar pasien kanker stadiu terminal
dapat dilakukan perawatan di rumah dengan dukungan kunjungan tim
perawatan paliatif.

2.3.3 Peran Perawat di Perawatan Paliatif


Dalam penelitian Xara et al (2011) menyatakan peran perawat adalah
melakukan pengkajian kualitas hidup yang sistematis yang dapat
membantu melindungi pasien dari efek samping dosis pengobatan yang
tidak diperlukan tubuh pasien. Perawat mengkaji kualitas hidup pasien
sehingga menggambarkan perkiraan hidup yang lebih baik dari pada
menggunakan pengukuran tumor sebagai patokan. Setelah melakukan
pengkajian secara komprehensif kepada pasien, perawat dituntut untuk
menentukan intervensi yang mendukung kebutuhan pasien. Contohnya
seperti yang dilakukan oleh Saatci el all (2007) dalam mengurangi efek
samping kemoterapi. Penelitian Saatci et all menunjukkan bahwa
penggunaan sarung tangan yang dingin selama kemoterapi mampu
meminimalisir efek samping dari kemoterapi pada masalah tangan dan
kuku pasien kanker.

24
Hasil penelitian kualitatif dari Aslakson et al (2012) mengungkapkan hal
yang menarik yang didapatkan dari wawancara partisipan perawat icu.
Partisipan perawat icu menjawab bahwa peran yang sangat penting dari
perawatan paliatif adalah perawat bekerja, bersikap dan bertutur kata
harus memunculkan caring attitude dari Woodruff (1999). Caring
attitude sangat memegang peranan penting dalam merawat pasien kanker.
Sikap dari perawat membuat pasien kanker merasa dihargai dan
diperhatikan kebutuhannya.

Peran perawat yang lain diungkap dalam penelitian kualitatif dari Calvin
et al (2009) adalah sebagai fasilitator. Fasilitator maksudnya adalah
perawat memberikan waktu kunjungan yang lebih lama bagi keluarga
pasien kanker yang menjelang ajal sehingga pasien dan keluarganya
memilki banyak waktu kebersamaan. Perawat berusaha menghadirkan
keluarga untuk mempersiapkan keluarga menerima kematian pasien
karena sulit bagi keluarga menerima kematian kondisi pasien. Penelitian
lain juga dari Oflaz F, Vural H (2010) menyebutkan perawat juga
berperan dalam memberikan dukungan kepada keluarga pasien kanker
stadium terminal. Perawat paliatif akan mendapat kepuasan saat
melakukan perawatan paliatif fase terminal dengan hadir mendampingi
keluarga dan memberikan dukungan melewati fase itu.

2.4 Konsep Keluarga


Pada sub bab ini akan dijelakan mengenai objek penelitian ini yaitu keluarga.
Pengambilan keputusan perawatan paliatif sangat berkaitan dengan nilai-nilai dan
budaya. Jenis keluarga dan tipe penting diketahui untuk mengetahui gambaran
budaya dan nilai suatu keluarga dalam mengambil keputusan kesehatan. Peran dan
fungsi keluarga juga dijelaskan dalam subbab ini sebagai landasan peran
pengambilan keputusan dan merawat pasien kanker di rumah ketika mencapai
stadium terminal.
2.4.1 Definisi Keluarga

25
Friedman (2013) menyatakan pengertian keluarga adalah dua orang atau
lebih yang disatukan oleh kebersamaan dan keterikatan emosional serta
satu sama lain dan saling menyatakan dirinya sebagai bagian dari
keluarga. Pengertian dari friedman mempunyai arti yang sangat luas.
Keluarga yang tidak dibatasi oleh darah, pernikahan dan adopsi saja,
Definisi keluarga juga dijelaskan oleh Mashudi. Menurut Mashudi (2012)
Keluarga merupakan sistem yang mempunyai anggota keluarga yang
terdiri dari ayah, ibu , anak atau semua individu yang tinggal dalam satu
rumah tangga. Anggota keluarga berkumpul saling berhubungan untuk
mencapai tujuan bersama.

2.4.2 Stuktur Keluarga

Keluarga dapat diibaratkan sebagai suatu organisasi dimana setiap anggota


keluarga memiliki peran dan fungsinya masing-masing sehingga tujuan
dari keluarga dapat tercapai. Stuktur keluarga terdiri dari (Friedman,
2013; Stuart, 2001)
1. Pola dan proses komunikasi, dapat dikatakan berfungsi apabila jujur,
terbuka, melibatkan emosi, dapat menyelesaikan konflik keluarga. Pola
komunikasi yang benar dalam keluarga, apabila pengirim pesan
(sender) yakin terhadap pesannya, jelas, dapat menerima umpan
balik,dan tidak bersifat asumsi. Penerima pesan yang baik adalah jika
dia mampu menjadi pendengar yang baik, memberi umpan balik dan
dapat memvalidasi pesan yang diterima.
2. Stuktur kekuatan adalah kemampuan individu untuk mengontrol dan
mempengaruhi atau merubah perilaku anggota keluarga lain dalam
pengambilan keputusan yang terdiri dari legitimate power (hak),
referen power (ditiru), expert power (keahlian), reward power
(hadiah), coercive power (paksaan) dan affektif power. Dari Stuktur
kekuatan dijelaskan oleh stuart (2001), tentang dominasi jalur
hubungan darah sesuai kebudayaan mempengaruhi pihak keluarga
yang mengambil keputusan terdiri dari patriakal dan matriakal.
Patrilakal adalah dominasi pengambilan keputusan berada di pihak

26
suami. Sebagian besar budaya di Indonesia menggunakan patriakal.
Sedangkan matriakal, pengambilan keputusan berada di pihak istri.
3. Nilai keluarga dan norma adalah sistem ide-ide, sikap dan keyakinan
yang mempengaruhi anggota keluarga yang dapat di terima oleh
budaya masyarakat

2.4.3 Tipe Keluarga


Tipe keluarga mengambarkan perbedaan sosial, tingkah laku dan kultur
serta gaya hidup. Sussman et al (2004) menguraikan keluarga menjadi 7
bentuk.
1. The nuclear family (keluarga inti), keluarga yang memiliki suami
(pencari nafkah), istri (ibu rumah tangga) dan anak anak. Pada
jaman sekarang keluarga inti tradisional bergeser menjadi keluarga
nontradisional. Kecenderungan ini disebabkan beberapa hal antara
lain akibat suami dan istri yang sedang sama-sama bekerja di luar
rumah.
2. Keluarga besar (extended family) tradisional. Keluarga besar
adalah bentuk keluarga yang terdiri dari pasangan suami istri
dengan orang tua, sanak saudara, dan kerabat lain dalam satu
keluarga bekerja sama dalam melakukan pengaturan rumah tangga.
Indonesia adalah negara dengan struktur keluarga sebagian besar
merupakan extended family (keluarga besar) dan mempunyai
ikatan keluarga yang sangat kuat. (Anggraeni MD, Ekowati W ,
2011).
3. Keluarga dengan orang tua tunggal. Keluarga ini hanya memiliki
satu kepala rumah tangga, ayah atau ibu (duda/janda/belum
menikah). Jumlah ibu remaja yang tidak menikah semakin
meningkat karena berbagai alasan antara lain kemiskinan dan
pergaulan bebas. Friedman (2013) menjelaskan orang tua tunggal
merupakan satu-satunya orang yang terlibat dalam kehidupan dan
perawatan. Dalam beberapa hal orang tua tersebut memerankan
sebagai ayah atau ibu. Perannya yang begitu banyak membuat ia
mudah menjadi stress dan lelah. Apabila pengasuh anaknya bukan
dari orang tua kandung maka dikategorikan sebagai Foster Family.

27
4. Keluarga dengan orang tua tiri
a. Menurut Orang tua akan menghadapi 3 tantangan yang
paling menonjol yaitu mendisiplinkan anak, penyesuaian
diri dengan kepribadian anak dan kebiasaan serta
penerimaan anak. Masalah lain dari pada orang tua tiri
adanya harapan keluarga yang tidak realistis, kurangnya
waktu orang tua tiri dan anak tiri mempelajari peran satu
sama lain, konflik tentang finansial dan pengasuhan anak.
Individu dewasa yang hidup sendiri. Bentuk ini banyak
terdapat di masyarakat. Mereka hidup berkelompok seperti
di panti werdha, tetapi ada juga yang menyendiri. Mereka
ini membutuhkan layanan kesehatan dan psikososial karena
ini tidak mempunyai sistem pendukung

5. Bentuk variasi keluarga nontradisional


Bentuk variasi keluarga nontradisional meliputi bentuk keluarga
yang sangat berbeda satu sama lain, baik dalam stuktur maupun
dinamikanya. Meskipun demikian, memiliki persamaan dalam hal
tujuan dan nilai dengan keluarga inti tradisional. Tipe keluarga ini
menurut Friedman (2013) adalah perkawinan komunal, pasangan
kumpul kebo, perkawinan kelompok, keluarga lesbian dan gay.
Group network family, keluarga inti yang dibatasi oleh aturan atau
nilai hidup bersama dan tinggal satu rumah, termasuk
membesarkan anak.

Penyesuaian mental penderita kanker berkolerasi dengan kualitas


hidupnya. Salah satu hal yang paling adaptif dari penyesuaian mental
adalah semangat juang sedangkan salah satu yang maladaptif adalah
ketidakberdayaan/putus asa. Jumlah anggota keluarga yang banyak dan
ikatan keluarga yang kuat merupakan semangat juang pada pasien kanker,
sedangkan usia yang tua, pendidikan dan status keluarga yang rendah
merupakan prediksi ketidakberdayaan atau putus asa. Dalam situasi
perawatan paliatif di rumah, pasien akan membutuhkan dukungan keluarga

28
lain dimana terdapat anggota keluarga yang memiliki hubungan dalam arti
peran keluarga dalam merawat pasien. Peran keluarga tersebut tidak
dibatasi oleh keluarga inti saja tetapi oleh tipe keluarga lain. (Schulz and
Quitner, 1998).

Di indonesia, masalah yang terkait dengan isu-isu otonomi pasien dalam


mengambil keputusan perawatan paliatif kurang diperhatikan. Hal tersebut
berkaitan dengan budaya keluarga yang ada di Indonesia. Indonesia adalah
negara dengan struktur keluarga sebagian besar merupakan extended
family (keluarga besar) dan mempunyai ikatan keluarga yang sangat kuat.
Pengambilan keputusan perawatan paliatif yang sangat tergantung pada
keluarga. (Anggraeni MD, Ekowati W ,2011).

2.4.4 Fungsi Keluarga dalam Perawatan Paliatif di Rumah


1. Pengambil Keputusan Perawatan Paliatif di Rumah
Keluarga mempunyai peranan penting dalam pengambil keputusan di
rumah. Keluarga sering diajak dokter dan perawat untuk menentukan
tindakan-tindakan yang akan diambil. Oleh karena itu sudah seharusnya
setiap pengambilan keputusan perawatan paliatif juga selalu melibatkan
keluarga. Dalam fase terminal atau kanker stadium lanjut, keluarga juga
yang sering diberitahu dokter akan ketidakberhasilan pengobatan dan atau
ketidakmungkinan dilanjutkan pengobatannya lagi. Hal itu akibat
penurunan kapasitas pasien kanker stadium paliatif dalam pengambilan
keputusan, seperti gangguan kesadaran dan kognitif yang diderita.
Mereka sangat sulit berbicara, apalagi ketika diminta untuk mengambil
keputusan sendiri. (Nolan et al, 2008)

Keluarga di Indonesia mempunyai sifat satu kesatuan yang utuh yang


dijiwai oleh nilai budaya ketimuran yang kental dan mempunyai tanggung
jawab yang besar ketika ada anggota keluarga yang mengalami gangguan
kesehatan. Dalam mengambil keputusan tentang kesehatan anggota
keluarga dalam keluarga di Indonesia umumnya dipimpin oleh suami
sebagai kepala rumah tangga. (Suprajitno, 2004).

29
2 Merawat Pasien Kanker Stadium Terminal di Rumah
Pada saat pasien mendapat perawatan paliatif di rumah. Tugas dan fungsi
keluarga adalah merawat pasien kanker stadium terminal. Keluarga di
Indonesia mempunyai karakteristik yaitu mempunyai ikatan keluarga yang
sangat erat yang dilandasi oleh semangat kebersaman yang tinggi. Pasien
kanker stadium terminal akan merasa lebih nyaman dan puas jika dirawat
oleh keluarganya sendiri di rumah dibandingkan menerima perawatan
konvesional di rumah sakit (Holms et al ,2015). Keluarga merupakan
salah satu pendukung yang dapat membantu pasien meringankan gejala
emosi yang timbul akibat gejala kanker. Pentingnya kedekatan keluarga
dengan pasien merupakan salah satu pendukung yang dapat membantu
pasien meringankan gejala emosi yang timbul akibat penyakit tersebut.
Merawat pasien di rumah sampai pasien meninggal dengan damai
merupakan suatu bentuk kasih sayang dari kedekatan keluarga dengan
pasien. Keluarga mendedikasikan diri dan waktunya dalam merawat dan
memberikan kebutuhan pasien kanker (Bruera E, Hui D, 2010).
3 Dukungan Sosial bagi Pasien Kanker Stadium Terminal
Fungsi keluarga adalah sebagai sumber dukungan sosial. Dukungan sosial
dari keluarga dapat menjadi faktor kunci dalam penyembuhan pasien
kanker (Videbeck, 2001). Pada dasarnya keluarga dan jaringan sosial
merupakan hal yang paling berpengaruh kuat dalam konteks dimana
individu berada. Keluarga adalah kekuatan yang kuat, motivator dan
sumber dimana individu belajar. Konteks keluarga tidak terbatas pada
hubungan darah, melainkan secara luas di definisikan sebagai jaringan
orang-orang yang penting dalam kehidupan inividu (Mullins and Tonner,
2008)

2.5 Konsep Teori peacefull end of life theory Ruland dan Moore (1998)
Ketika pasien kanker mendapat perawatan paliatif biasanya sudah dalam
kondisi terminal atau end of life. Pasien membutuhkan tindakan
pengobatan untuk mengatasi keluhan serta memerlukan perawatan khusus
sesuai kondisinya. Kondisi terminal terjadi dimana pasien kanker sudah
dalam keadaan tidak dapat disembuhkan. Pengobatan yang diberikan

30
bersifat suportif dan mempertahankan fungsi tubuh. Tujuan keperawatan
pada kondisi terminal adalah meningkatkan kualitas hidup dan
menghantarkan pasien pada kondisi end of life dengan tenang.Teori Ruland
and Moore yang mengembangkan Peaceful End of Life (EOL), teori dan
konsep utamanya telah sesuai dengan tujuan dan prinsip perawatan paliatif
yang meliputi

2.5.1 Konsep utama


a) Not Being in Pain (menghilangkan rasa nyeri)
Bebas dari penderitaan atau gejala distress adalah bagian pusat dari
pengalaman akhir kehidupan pasien. Nyeri dianggap sebagai sensori
yang tidak menyenangkan atau pengalaman emosional yang
dihubungkan dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial. (Lenz,
et al dalam tomey and Alligood, 2014)
b) Experience of Comfort
Nyaman didefinisikan secara inklusif, menggunakan kerja Kolcaba and
Kolcaba (1991) sebagai bebas dari ketidaknyamanan, keadaan tenang
dan kepuasan yang damai,dan apapun yang membuat kehidupan
menjadi mudah dan menyenangkan.
c) Experience of Dignity and Respect
Setiap pasien dengan penyakit terminal adalah dihargai dan dinilai
sebagai manusia. Konsep ini menyatu dengan ide dan nilai personal,
yang diekspresikan melalui prinsip etika otonomi atau menghargai
pasien dan keluarga yang diperlakukan sebagai agen otonomi.
d) Being at Peace
Damai adalah merasa tenang, harmony dan contentment, (bebas dari)
kecemasan, kegelisahan, dan takut. Keadaan damai termasuk dimensi
fisik, psikologis dan spiritual.
e) Closeness to Significant Others
Kedekatan adalah perasaan berhubungan dengan orang lain yang
peduli, termasuk kedekatan secara fisik atau emosional yang
diekspresikan melalui kehangatan, hubungan yang baik sekali.

31
2.5.2 Asumsi Utama Teori Peaceful End of Life
Keperawatan, Manusia, Kesehatan, Lingkungan. Sebagaimana teori
middle range lainnya, fokus teori peacefull end of life tidak ditujukan
pada konsep metaparadigma. Teori diturunkan dari standar perawatan
yang ditulis oleh tim perawat ahli yang ditujukan pada masalah praktik,
oleh karena itu konsep metaparadigma secara eksplisit ditujukan kepada
manusia dan keperawatan. Teori ditujukan pada fenomena perawatan yang
kompleks dan holistik untuk mendukung akhir kehidupan yang damai dari
seseorang.
Dua asumsi dari Ruland dan Moore (1998) diidentifikasi sebagai berikut;
1. Kejadian dan perasaan pada akhir kehidupan bersifat personal dan
individual.
2. Keperawatan penting untuk menciptakan pengalaman akhir kehidupan
yang damai. Perawat mengkaji dan menginterpretasikan isyarat yang
mencerminkan pengalaman akhir kehidupan seseorang dan menangani
dengan tepat untuk memelihara pengalaman yang damai, bahkan
ketika seseorang yang akan menemui ajal tidak dapat berkomunikasi
secara verbal.
Dua asumsi tambahan yang implisit:
1. Keluarga, merupakan suatu hubungan yang termasuk dalam semua
orang yang penting/ berarti, merupakan bagian penting dari end of life.
Keluarga harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan paliatif
2. Tujuan perawatan end of life bukan untuk mengoptimalkan perawatan,
namun lebih dari itu, most technologically advanced treatment, tipe
perawatan yang biasanya menghasilkan perawatan yang lebih. Tujuan
dari perawatan akhir kehidupan adalah untuk memaksimalkan
perawatan, perawatan yang paling baik yang memungkinkan dan
disediakan dengan lebih adil menggunakan ukuran teknologi dan
kenyamanan, untuk mencapai kualitas kehidupan dan kematian yang
damai.

32
Peaceful End of Life

Not being in pain Experience of Experience of Being at peace Closeness to significant


comfort dignity/respect others/persons who care

Monitoring and Preventing, Including patient Providing Facilitating participation


administering monitoring, and and significant emotional support of significant others
pain relief relieving others in in patient care
physical decision making
Monitoring and
Applying Facilitating rest, meeting patients Attending to significant
pharmacological relaxation, and Treating patient needs for others grief, worries
and nonpharma- contentment with dignity, antianxiety and, questions
cological empathy, and medications
interventions respect
Preventing Facilitating
complications Inspiring trust opportunities for
Being attentive family closeness
to patients Providing patient/
expressed needs, significant others
wishes, and with guidance
preferences in practical issues

Providing physical
assistance of
anotther caring
person, if desired

33
Gambar 2.5 Hubungan antara Konsep Teori Peaceful End of Life Ruland dan Moore
(1998). Theory consruction based on standard of care: A proposed theory of the peaceful
end of life. Nursing Outlook.

Pendekatan teori peaceful end of life sangat tepat dalam penelitian


pengalaman keluarga pasien dalam pengambilan keputusan perawatan
paliatif di rumah. Teori ini memberikan konstribusi dalam informasi dasar
pentingnya dukungan kepada keluaga pasien kanker stadium terminal
dalam pengambilan keputusan perawatan. Hal tersebut Nampak jelas dalam
asumsi utamanya adalah Experience of dignity/respect yang berarti untuk
menciptakan akhir hidup yang damai dapat dicapai apabila pasien dan
significant other atau keluarga dilibatkan dalam pengambilan keputusan
perawatan paliatif dan melayani pasien dengan hormat, empati sesuai
kebutuhan pasien dan keluarga. Keterbukaan untuk melihat kenyataan
melalui diskusi yang positif antara keluarga dan perawat akan memberikan
kesadaran untuk memutuskan secara rasional terhadap perawatan paliatif di
rumah pasien kanker stadium terminal. Teori Peaceful End of Life (EOL)
juga membawa pemahaman pentingnya perawatan paliatif di rumah berupa
asumsi utamanya yang lain yaitu Being at peace yang dapat dicapai apabila
pasien diberikan dukungan emosi dan sosial oleh significat other atau
keluarga yang senantiasi menemani dan ikut terlibat dalam perawatan
paliatif pasien kanker stadium terminal. Perawatan paliatif di rumah juga
memberikan kesempatan pada pasien untuk lebih dekat dengan keluarga
sesuai asumsi utama teori end of life yaitu Closeness to significant
others/persons who care. Perawatan paliatif yang dilakukan di rumah sakit
pada banyak pasien terminal dirasa kurang efektif. Hal itu karena
kenyamanan pasien bersama dengan keluarga berkurang, akibat dari
ketatnya peraturan di rumah sakit. Situasi tersebut dapat menyebabkan
kondisi psikologi pasien kanker stadium terminal menjadi tidak nyaman,
kesepian dan depresi, bahkan 25 persen diantaranya mengalami kecemasan
berat sebelum kematian. Kondisi ketidaknyamanan dan depresi tidak hanya
dirasakan pasien saja, tetapi juga dirasakan oleh keluarga pasien. 47 persen
dari keluarga yang anggota keluarganya meninggal di rumah sakit

34
menyatakan mengalami tingkat ketidaknyamanan yang tinggi dalam proses
kematian pasien ( Ruland & Moore, 1998 ; Doyle 2003; Zebrack, 2009;
Lynn et al, 1997). Teori Peaceful End of Life (EOL) dari Ruland & Moore
lebih memfokuskan pada dasar pengambilan keputusan perawatan paliatif di
rumah. Sementara theory planned behavior fokus pada variable yang
mempengaruhi pengambilan keputusan perawatan paliatif di rumah.

2.6 Theory of Planned Behavior

Selama diskusi tentang perawatan paliatif atau end of life, opini dari
keluarga dalam pengambilan keputusan perawatan paliatif di rumah tidak
boleh diabaikan oleh perawat dan tenaga kesehatan lainya. Peran dan fungsi
pengambilan keputusan oleh keluarga pasien kanker stadium terminal
dihadapkan beberapa pertimbangan multidimensi seperti finansial,
pengobatan, legalitas, social masyarakat dan kebutuhan spiritual pasien.
Keluarga sering dihadapkan dilemma terhadap pengambilan keputusan
tempat perawatan paliatif di rumah. Hal ini memerlukan pemahaman dari
tenaga kesehatan khususnya perawat terhadap hal-hal yang mempengaruhi
keputusan keluarga pasien dalam perawatan paliatif di rumah. (Morita T et
al, 2004; Chiu TY, 2009)

Theory planned Behaviour (TPB) merupakan teori yang paling tepat dan
banyak digunakan dalam menjelaskan intention (pemilihan suatu keputusan)
perilaku kesehatan. Contoh penelitian yang merujuk pada TPB dalam
bidang kesehatan adalah pemilihan keputusan dalam oral hygiene,
pemeriksaan HIV (Human Imunodefiensi Virus) dan ARV (Anti Retrroviral)
(Hoffmann, et al 2013). Penelitian terbaru yang menjelaskan penggunaan
TPB dalam dunia keperawatan adalah dari penelitian oleh Lapkin, S (2015).
TPB digunakan untuk menilai dan menganalisi pemilihan mahasiswa
keperawatan dalam melakukan tindakan keperawatan yang aman dan
berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lainnya.

35
Gambar 2.6 Model The Theory of Planned Behavior (TPB) Sumber: Ajzen
(1991)

Theory of Planned Behavior (TPB) barangkali adalah model psikologi


yang paling populer untuk menjelaskan dan memprediksi perilaku manusia
dalam konteks yang spesifik (Ajzen, 1991). TPB adalah kelanjutan dari
Theory of Reasoned Action (TRA) yang juga menjelaskan determinan-
determinan dari intensi sebagai prediktor utama perilaku (Ajzen and
Fishbein, 1980). Bedanya, di dalam TPB diperkenalkan determinan baru
dari intensi, yaitu perceived behavioral control. Determinan baru ini
muncul setelah ditemukan bahwa perilaku manusia ternyata tidak 100% di
bawah kendali pelakunya. Menurut TPB, determinan utama dari perilaku
seseorang adalah intention (I) dan perceived behavioral control (PBC).
Intention adalah indikasi dari kesiapan seseorang untuk melakukan suatu
perilaku. Intention sendiri dipengaruhi oleh 3 hal; attitude terhadap
perilaku (A), subjective norm (SN) dan perceived behavioral control
(PBC).

2.6.1 Attitude terhadap perilaku

36
Attitude terhadap perilaku (A) adalah evaluasi seseorang terhadap suatu
perilaku. Attitude dibentuk dari dua komponen yang saling berinteraksi.
Komponen-komponen tersebut adalah belief tentang konsekuensi-
konsekuensi dari suatu perilaku (behavioral beliefs) serta evaluasi atas
konsekuensi tersebut, apakah dianggap sebagai hal positif ataukah negatif
(outcome evaluations). Belief bahwa perawatan paliatif di rumah adalah
penelantaran dari rumah sakit terhadap pasien kanker stadium terminal
adalah contoh belief negative yang dipikirkan atau dirasakan keluarga
yang akan mengarah pada sikap yang negative terhadap perawatan paliatif
di rumah, demikain juga sebaliknya jika keuarga memiliki belief yang
positif.

2.6.2 Subjective Norms

Subjective norms adalah perkiraan seseorang terhadap adanya tekanan


sosial untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Subjective norms
terdiri dari dua komponen yang saling berinteraksi. Kedua komponen
tersebut adalah belief tentang keinginan atau pendapat dari grup yang
menjadi referensi (normative beliefs) serta besarnya dorongan untuk
menyesuaikan diri dengan keinginan atau pendapat tersebut (motivation to
comply). Contohnya adalah studi yang dilakukan tolma et al (2006)
tentang pengambilan keputusan melakukan mammografi. Dalam studinya
ditemukan bahwa peran norma subyektif di dalam memprediksi intensi.
Hasil pengukuran norma subyektif didapatkan bahwa rekomendasi dari
tenaga kesehatan (perawat dan dokter) di rumah sakit merupakan sumber
motovasi yang signifikan dalam pengambilan keputusan melakukan
mammografi.

2.6.3 Perceived Behavioral Control

Perceived behavioral control adalah sejauh mana seseorang merasa


memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu. Ada dua komponen di
dalamnya, yaitu belief tentang ada atau tidaknya faktor-faktor yang bisa
memfasilitasi atau menghalangi suatu perilaku (control beliefs) serta

37
persepsi tentang kekuatan dari masing-masing faktor tersebut (power of
control factors). Dalam penelitian ini, keluarga bisa saja memiliki sikap
yang positif dan orang lain lain akan sangat mendukung keputusanya
tersebut. Namun, akhirnya tetap tidak mau untuk mengambil keputusan
perawatan di rumah akibat terhambat oleh faktor perasaan takut dan tidak
mampu melakukan perawatan pasien kanker stadium di rumah.

2.7 Teori Health Belief Model

Teori Health Belief Model (HBM) ini dapat digunakan untuk menjelaskan
alasan pemilihan keputusan suatu perilaku kesehatan. TPB dan teori HBM
adalah teori yang sama-sama fokus pada persepsi dan belief dari keluarga
yang mempengaruhi pengambilan keputusan mereka dalam perilaku
kesehatan. Teori HBM adalah teori perilaku individu pertama dan secara luas
digunakan di dunia kesehatan. Teori HBM pada awal kemunculannya
digunakan oleh U.S Public Health Service (USHPS) untuk meneliti penyebab
keengganan dari masyarakat pemukiman Negara Amerika untuk melakukan
Screening Tuberculosis gratis menggunakan sinar X yang disponsori oleh
USHPS. Screening Tuberculosis ditawarkan secara gratis dan menggunakan
mobil layanan sebagai sarana telah menjadi akses yang sangat mudah
dijangkau oleh masyarakat. Tapi pada kenyataanya hanya sedikit saja yang
mendatangi layanan gratis tersebut. Pada tahun 1950 Hochbaum melakukan
penelitian untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi kegagalan program
tersebut. Kesimpulan yang didapat adalah kebanyakan masyarakat cenderung
mengambil keputusan terhadap program kesehatan apabila mereka merasa
memerlukan dan percaya manfaat dari program kesehatan tersebut (Edberg,
2010)

Teori HBM menjelaskan ada 2 komponen yang mempengatuhi dari suatu


pengambilan keputusan perawatan paliatif di rumah, yaitu berorientasi pada
personal belief atau keyakinan terhadap kondisi anggota keluargayang
mengaami penyakit kanker yng sudah mencapai stadium terminal dan

38
perawatan paliatif di rumah yang disarankan untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien. Proses kognitif dari HBM tergantung informasi terdahulu yang
datang . Keluarga akan memilih tempat perawatan paliatif yang sesuai dengan
keyakinan atau penilaian kesehatan yang dirasakan keluarga dan
mempertimbangkan antara keuntungan dan kerugian yang didapat dalam
perawatan paliatif di rumah (M.H Becker, 1974). Komponen dari Health
Belief Model adalah (Edberg, 2010):
1) Perceived Suscetability
Perceived Suscetability atau kesadaran akan rentannya suatu penyakit
dapat menyerang pasien akan menimbulkan motivasi untuk mengambil
keputusan mengobati atau mengambil suatu program kesehatan. Ketika
keluarga mempercayai dampak negatif yang terjadi apabila memutuskan
meneruskan perawatan paliatif di rumah sakit seperti risiko pasien dan
keluarga akan terkena infeksi nosokomial semakin besar dan
meningkatnya perasaan depresi akibat kesepian dari pasien maka akan
lebih memungkinkan keluarga akan mengambil keputusan perawatan
paliatif di rumah (Chan, 2005)

2) Perceived Seriousness
Persepsi keluarga pasien pasien kanker stadium terminal tentang
keseriusan dari dampak komplikasi yang muncul ketika meneruskan
perawatan di rumah sakit akan mengarah pada upaya memilih perawatan
paliatif di rumah demi mencegah atau mengurangi gejala yang dapat
dirasakan pasien. Semakin serius risiko dampak yang diperoleh pasien dan
keluarga apabila meneruskan perawatan di rumah sakit, maka semakin
besar motivasi keluarga untuk mengambil keputusan perawatan di rumah.
Pada saat Perceived Seriousness berasal dari informasi olehh tenaga
kesehatan seperti perawat atau dokter, hal itu akan menjadi keyakinan
yang kuat bagi keluarga pasien. Gabungan antara perceived susceptibility
dan perceived seriousness disebut sebagai persepsi ancaman (M.H Becker,

39
1974). Keluarga akan mengambil keputusan berdasarkan persepsi ancaman
apabila menolak mengambil keputusan perawatan paliatif di rumah.
3) Perceived Benefit
Keluarga dalam mempertimbangkan keputusan perawatan paliatif di
rumah akan melihat dari manfaat yang akan dirasakan nantinya. Persepsi
yang baik terhadap perawatan paliatif di rumah oleh keluarga akan
berperan signifikan dalam penentuan keputusan mereka. Semakin besar
manfaat yang diketahui keluarga melalui perawatan paliatif di rumah ,
maka akan semakin besar peluang keluarga akan mengikuti program
perawatan paliatif di rumah.
4) Perceived Barrier
Adanya masalah yang menghalangi dalam perawatan paliatif di rumah,
mempengaruhi pengambilan keputusan dari keluarga. Semakin kecil
masalah yang menghalangi keluarga melakukan perawatan paliatif di
rumah ,semakin besar peluang keluarga akan mengikuti program
perawatan paliatif di rumah.
5) Self Efficacy
Kepercayaan diri keluarga untuk mampu dalam merawat anggota keluarga
kanker stadium terminal akan mempengaruhi pengambilan keputusan
perawatan paliatif di rumah oleh keluarga.

6) Cues to Action
Nasehat dari anggota keluarga lain atau orang terdekat akan
mempengaruhi peneriman perawatan paliatif di rumah oleh keluarga.

Teori HBM mempunyai asumsi bahwa individu akan mengambil keputusan


terhadap suatu program perilaku sehat bila program kesehatan tersebut dapat
memberikan hasil yang diharapkan olehnya (Edberg, 2010). Contoh
penelitian terdahulu dalam konteks pemakaian teori HBM adalah studi
tentang hubungan antara kepatuhan wanita kulit hitam Amerika untuk
skrining mamografi tahunan dengan dukungan sosial, pengetahuan tentang

40
skrining kanker payudara, persepsi kesehatan untuk memahami faktor yang
mempengaruhi keputusannya (Deborah et al, 2007). Tidak hannya tentang
pemeriksaaan kanker payudatan teori HBM pernah digunakan. Teori ini
pernah dipakai dalam pengambilan keputusan skrining kanker kolorektal
(CRC). Para responden masih memiliki pemahaman bahwa mereka akan
mengambil skrining CRC apabila sudah dapat rekomendasi dari dokter dan
mereka menganggap manfaat skrining CRC masih sangat sedikit.
Pengambilan keputusan untuk skrining CRC juga diketahui dipengaruhi
sikap negatif dan keyakinan yang salah terhadap skrining CRC (Khawaldeh,
2008).

41

You might also like