You are on page 1of 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh absorsi endotoksin
yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodic
dan berat. Infeksi tetanus disebabkan oleh kontaminasi suatu luka dengan bakteri
Clostridium tetani. Bakteri ini adalah basil gram positif, terdapat dimana-mana,
dengan habitat alamiahnya di tanah. Organisme ini dapat hidup bertahun-tahun di
tanah dalam bentuk spora, tahan terhadap sinar matahari dan bersifat resisten
terhadap berbagai disinfektan dan pendidihan selama 20 menit. Infeksi terjadi jika
spora menjadi aktif dan berkembang menjadi bakteri gram positif yang
bermultiplikasi dan memproduksi toksin yang mempengaruhi saraf otonom.1,2
Pada anak, penyakit tetanus kebanyakan terdapat pada anak-anak yang belum
pernah mendapatkan imunisasi tetanus (DPT). Pada umumnya terdapat pada anak
yang berasal dari keluarga yang belum mengerti pentingnya imunisasi dan
pemeliharaan kesehatan, seperti kebersihan lingkungan dan perorangan. Sedangkan
pada neonates, tetanus neonatorum sangat berhubungan dengan aspek pelayanan
kesehatan neonatal, terutama pelayanan persalinan (persalinan yang bersih dan
aman), khususnya perawatan tali pusat.3
Tetanus terjadi oleh karena Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka
pada kulit dan menimbulkan gejala seperti peningkatan tonus otot disertai spasme
otot dan kejang tonik dengan kesadaran tidak terganggu. Pencegahan dapat dilakukan
dengan cara mencegah terjadinya luka, melakukan perawatan luka yang adekuat,
pemberian serum anti tetanus (SAT), pemberian toksoid tetanus pada anak yang
belum pernah mendapat imunisasi aktif, pemberian penisilin prokain dan imunisasi
aktif. Sedangkan yang sudah terinfeksi Clostridium tetani dapat diberikan Anti Toksin
Tetanus dan antibiotik selama 10 hari. Tetanus dapat menimbulkan kematian dan

1
gangguan fungsi tubuh, namun apabila diobati dengan cepat dan tepat, pasien dapat
sembuh dengan baik.1,4

2
BAB II

TUNJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa
disertai gangguan kesadaran, sedangkan tetanus neonatorum merupakan suatu bentuk
tetanus generalisasi yang terjadi pada masa neonatal . Gejala ini bukan secara
langsung, tetapi sebagai dampak eksotoksin (tetanospasmin), suatu toksin protein
yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani pada sinaps ganglion sambungan
tulang belakang, sambungan neuro muscular (neuro muscular junction) dan saraf
otonom.1,2

2.1 Epidemiologi
Tetanus tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian tergantung
pada jumlah populasi masyarakat yang tidak kebal, tingkat populasi masyarakat yang
tidak kebal, tingkat pencemaran biologi lingkungan peternakan/ pertanian, dan
adanya luka pada kulit atau mukosa. Tetanus pada anak tersebar di seluruh dunia,
terutama pada daerah risiko tinggi dengan cakupan imunisasi DTP yang rendah angka
kejadian pada anak laki-laki lebih tinggi, akibat perbedaaan aktivitas fisiknya.1
Di negara berkembang seperti Indonesia, insiden dan angka kematian akibat
tetanus masih cukup tinggi, hal ini disebabkan karena tingkat kebersihan masih
sangat kurang, mudah terjadi kontaminasi, perawatan luka yang kurang diperhatikan,
kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan dan kekebalan terhadap
tetanus. Oleh karena itu tetanus masih menjadi masalah kesehatan, terutama
penyebab kematian neonatal tersering oleh karena tetanus neonatorum.Akhir-akhir ini
dengan adanya penyebarluasan program imunisasi di seluruh dunia, maka angka
kesakitan dan kematian menurun secara drastis. Data rekam medik Departemen Ilmu
Kesehatan Anak, RS Cipto Mangunkusumo, mencatat 99 kasus dalam 10 tahun

3
terakhir, dengan kematian pada 8 pasien. Khusus pada tahun 2009 tercatat 9 kasus
tetanus, dan pada tahun 2010 terdapat 6 kasus, tanpa ada kematian.3,5

Tabel 1. Angka kejadian Tetanus neonatorum tahun 2011

Tabel 2. Angka kejadian Tetanus pada anak

4
2.3 Etiologi
Kuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridridium tetani, kuman ini
berbentuk batang dengan ukuran panjang 25 m dan lebar 0,30,5 m memiliki
sifat:1,5
Basil Gram-positif dengan spora pada pada salah satu ujungnya sehingga
membentuk gambaran khas seperti pemukul genderang(drum stick).
Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan anaerob)
dan dapat bergerak dengan menggunakan flagella.
Menghasilkan eksotoksin yang kuat.
Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu
tinggi (dalam autoklaf pada suhu 121C selama 1015 menit), kekeringan dan
desinfektans (fenol dan lainnya). Spora dapat menyebar kemana-mana,
mencemari lingkungan secara fisik dan biologik. Spora mampu bertahan dalam
keadaan yang tidak menguntungkan selama bertahun-tahun.
Kuman hidup di tanah, debu, dan di dalam usus binatang, terutama pada tanah di
daerah pertanian/peternakan. Umumnya, spora bakteri ini terdistribusi pada tanah
dan saluran pencernaan serta fesesdari kuda, domba, anjing, kucing, tikus, babi,
dan ayam.

Clostridium tetani menghasilkan 2 eksotosin yaitu tetanospamin dan tetanolisin.


Fungsi dari tetanolisin tidak diketahui dengan pasti, namun juga dapat
menyebabkan lisis dari sel-sel darah merah. Tetanospamin yang dapat
menyebabkan penyakit tetanus, merupakan toksin yang neurotropik yang dapat
menyebabkan ketegangan dan spasme otot. Tetanospasmin merupakan protein
dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air, labil pada panas dan
cahaya, rusak dengan enzim proteolitik.

5
Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase, tidak memecah
protein dan tidak memfermentasi sakarosa dan glukosa juga tidak menghasilkan
gas H2S. Menghasilkan gelatinase dan indol positif.

Gambar 1. Mikroskopis
Clostridium tetani

2.4 Faktor resiko1


Port dentre tidak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun diduga melalui:

1. Luka tusuk (paku, serpihan kaca, injeksi tidak steril, injeksi obat, tindik),
patah tulang komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar yang luas.
2. Luka operasi (benang terkontaminasi), luka yang tak dibersihkan
(debridement) dengan baik.
3. Otitis media, karies gigi, abses gigi, luka kronik (ulkus kronik), gangren

Faktor resiko utama terjadinya tetanus neonatorum, yaitu:


a. Faktor Resiko Pencemaran Lingkungan Fisik dan Biologik
Lingkungan yang mempunyai sanitasi yang buruk akan memyebabkan
Clostridium tetani lebih mudah berkembang biak. Kebanyakan penderita dengan
gejala tetanus sering mempunyai riwayat tinggal di lingkungan yang kotor. Penjagaan
kebersihan diri dan lingkungan adalah amat penting bukan saja dapat mencegah
tetanus, malah pelbagai penyakit lain.5
b. Faktor Alat Pemotongan Tali Pusat

6
Penggunaan alat yang tidak steril untuk memotong tali pusat meningkatkan
risiko penularan penyakit tetanus neonatorum. Kejadian ini masih lagi berlaku di
negara-negara berkembang dimana bidan-bidan yang melakukan pertolongan
persalinan masih menggunakan peralatan seperti pisau dapur atau sembilu untuk
memotong tali pusat bayi baru lahir.5
c. Faktor Cara Perawatan Tali Pusat
Terdapat sebagian masyarakat di negara-negara berkembang masih
menggunakan ramuan untuk menutup luka tali pusat seperti kunyit dan abu dapur.
Seterusnya, tali pusat tersebut akan dibalut dengan menggunakan kain pembalut yang
tidak steril sebagai salah satu ritual untuk menyambut bayi yang baru lahir. Cara
perawatan tali pusat yang tidak benar ini akan meningkatkan lagi risiko terjadinya
kejadian tetanus neonatorum. 5
d. Faktor Kebersihan Tempat Pelayanan Persalinan
Kebersihan suatu tempat pelayanan persalinan adalah sangat penting. Tempat
pelayanan persalinan yang tidak bersih bukan saja berisiko untuk menimbulkan
penyakit pada bayi yang akan dilahirkan, tetapi juga pada ibu yang melahirkan.
Tempat pelayanan persalinan yang ideal sebaiknya dalam keadaan bersih dan steril.5
e. Faktor Kekebalan Ibu Hamil
Ibu hamil yang mempunyai faktor kekebalan terhadap tetanus dapat
membantu mencegah kejadian tetanus neonatorum pada bayi baru lahir. Antibodi
terhadap tetanus dari ibu hamil dapat disalurkan pada bayi melalui darah, seterusnya
menurunkan risiko infeksi Clostridium tetani. Sebagian besar bayi yang terkena
tetanus neonatorum biasanya lahir dari ibu yang tidak pernah mendapatkan imunisasi
TT.5

2.5 Patofisiologi
Tetanus disebabkan oleh eksotoksin Clostridium tetani, bakteri bersifat obligat
anaerob. Bakteri ini terdapat di mana-mana, mampu bertahan di berbagai lingkungan
ekstrim dalam periode lama karena sporanya sangat kuat. Clostridium tetani telah

7
diisolasi dari tanah, debu jalan, feses manusia dan binatang. Bakteri tersebut biasanya
memasuki tubuh setelah kontaminasi pada abrasi kulit, luka tusuk minor, atau ujung
potongan umbilikus pada neonatus; pada 20% kasus, mungkin tidak ditemukan
tempat masuknya. Bakteri juga dapat masuk melalui ulkus kulit, abses, gangren, luka
bakar, infeksi gigi, tindik telinga, injeksi atau setelah pembedahan abdominal/pelvis,
persalinan dan aborsi. Jika organisme ini berada pada lingkungan anaerob yang sesuai
untuk pertumbuhan sporanya, akan berkembang biak dan menghasilkan toksin
tetanospasmin dan tetanolysin. Tetanospasmin adalah neurotoksin poten yang
bertanggung jawab terhadap manifestasi klinis tetanus, sedangkan tetanolysin sedikit
memiliki efek klinis. Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran
toksin ke susunan saraf pusat:
(1) Toksin diabsorpsi di neuromuscular junction, kemudian bermigrasi melalui
jaringan perineural ke susunan saraf pusat.
(2) Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk ke dalam sirkulasi darah arteri
kemudian masuk ke dalam susunan saraf pusat.
Hipotesis bahwa toksin pada awalnya merambat dari tempat luka lewat motor
endplate dan aksis silinder saraf tepi ke kornu anterior sumsum tulang belakang dan
menyebar ke seluruh susunan saraf pusat, lebih banyak dianut daripada lewat
pembuluh limfe dan darah. Pengangkutan toksin ini melewati saraf motorik, terutama
serabut motor.Reseptor khusus pada ganglion menyebabkan fragmen C toksin tetanus
menempel erat dan kemudian melalui proses perlekatan dan internalisasi, toksin
diangkut ke arah sel secara ekstra aksional dan menimbulkan perubahan potensial
membrane dan gangguan enzim yang menyebabkan kolin-esterase tidak aktif,
sehingga kadar asetilkolin menjadi sangat tinggi pada sinaps yang terkena. Toksin
menyebabkan blokade pada simpul yang menyalurkan impuls pada tonus otot,
sehingga tonus otot meningkat dan menimbulkan kekakuan. Bila tonus makin
meningkat akan timbul kejang, terutama pada otot yang besar.1,2
Tempat kerja utama toksin adalah pada sinaps inhibisi dari susunan saraf
pusat, yaitu dengan jalan mencegah pelepasan neurotransmitter inhibisi seperti glisin,

8
Gamma Amino Butyric Acid (GABA), dopamine, dan noradrenalin.GABA adalah
neuroinhibitor yang paling utama pada susunan saraf pusat, yang berfungsi mencegah
pelepasan impuls saraf yang eksesif. Toksin tetanus tidak mencegah sintesis atau
penyimpanan glisin maupun GABA, namun secara spesifik menghambat pelepasan
kedua neurotransmitter tersebut di daerah sinaps dangan cara mempengaruhi
sensitifitas terhadap kalsium dan proses eksositosis.4
Efek terhadap inhibisi presinap menimbulkan keadaan terjadinya letupan listrik yang
terus-menerus yang disebut sebagai Generator of pathological enhance
excitation.Keadaan ini menimbulkan aliran impuls dengan frekuensi tinggi dari SSP
ke perifer, sehingga terjadi kekakuan otot dan kejang.Semakin banyak saraf inhibisi
yang terkena makin berat kejang yang terjadi. Stimulus seperti suara, emosi, raba, dan
cahaya dapat menjadi pencetus kejang karena motorneuron di daerah medula spinalis
berhubungan dengan jaringan saraf lain seperti retikulospinalis. Kadang kala
ditemukan saat bebas kejang (interval), hal ini mungkin karena tidak semua saraf
inhibisi dipengaruhi toksin, ada beberapa yang resisten terhadap toksin.1,2
Dampak Toksin
1. Dampak pada ganglion pra sumsum tulang belakang disebabkan oleh karena
eksotoksin memblok sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan dan
koordinasi impuls sehingga tonus otot meningkat dan otot menjadi kaku.1
2. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada cerebral
gangliosides diduga menyebabkan kekakuan dan kejang yang khas pada
tetanus.1
3. Dampak pada saraf autonom, terutama mengenai saraf simpatis dan
menimbulkan gaya keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi,
hipertensi, aritmia, heart block atau takikardia.1

9
Gambar 2. Patofisiologi Tetanus

2.5 Klasifikasi2
Tabel 1. Klasifikasi Ablett untuk Derajat Manifestasi Klinis Tetanus
Derajat Manifestasi Klinis
I: Ringan Trismus ringan sampai sedang (3 cm); spastisitas umum tanpa
spasme atau gangguan pernapasan;tanpa disfagia atau disfagia

10
ringan.
II: Sedang Trismus sedang (3 cm atau lebih kecil); rigiditas dengan
spasme ringan sampai sedang dalam waktu singkat; laju
napas>30x/menit; disfagia ringan.
III: Berat Trismus berat (1 cm); spastisitas umum; spasmenya lama; laju
napas>40x/menit; laju nadi > 120x/menit, apneic spell,
disfagia berat.
IV: Sangat berat (Derajat III + gangguan sistem otonom termasuk
kardiovaskular) Hipertensi berat dan takikardia yang dapat
diselang-seling dengan hipotensi relatif dan bradikardia, dan
salah satu keadaan tersebut dapat menetap.

Tabel 2. Skor Phillips untuk menilai derajat tetanus.2


Faktor Skor
Masa Inkubasi 5
<48 jam 4
2-5 hari 3
5-10 hari 2
10-14 hari 1
>14 hari
Lokasi infeksi 5
Organ dalam dan umbilikus 4
Kepala, leher, dan badan 3
Perifer proksimal 2
Perifer distal 1
Tidak diketahui
Status proteksi
Tidak ada 10
Mungkin ada atau imunisasi
pada ibu bagi pasien-pasien 8

11
neonatus
Terlindungi >10 tahun 4
Terlindungi <10 tahun 2
Proteksi lengkap 0
Faktor-faktor komplikasi
Cedera atau penyakit yang 10
mengancam nyawa
Cedera berat atau penyakit 8
yang tidak segera mengancam
nyawa
Ciedera atau penyakit yang 4
tidak mengancam nyawa
Cedera atau penyakit minor 2
ASA grade I 0
Phillips score <9 severitas ringan, 9-18 severitas sedang, dan >18 severitas berat.

2.6 Manifestasi klinik


Variasi masa inkubasi sangat lebar, biasanya berkisar anatara 5-14 hari.Makin
lama masa inkubasi, gejala yang timbul makin ringan.Derajat berat penyakit selain
berdasarkan gejala klinis yang tampak juga dapat diramalkan dari lama masa inkubasi
atau lama period of onset.Kekakuan dimulai pada otot setempat atau trismus,
kemudian menjalar ke seluruh tubuh, tanpa disertai gangguan kesadaran.Kekakuan
tetanus sangat khas, yaitu fleksi kedua lengan dan ekstensi pada kedua kaki, fleksi
pada kedua kaki, tubuh kaku melengkung bagai busur. Kesukaran menelan, gelisah,
mudah terangsang, nyeri anggota badan sering merupakan gejala dini.1,2,4,7
Ada 4 bentuk klinik dari tetanus, yaitu:
1. Localized tetanus
Pada tetanus lokal dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah
tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fiksator).Hal ini merupakan tanda

12
dari tetanus lokal.Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam
beberapa bulan tanpa progres dan biasanya menghilang secara bertahap.
Tetanus lokal ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam
bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisa juga lokal tetanus ini
dijumpai sebagai prodromal dari tetanus klasik atau dijumpai secara terpisah.Hal ini
terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin.1,5
1. Localized tetanus
Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus.Masa inkubasi
berkisar 1-2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di India),
luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam rongga
hidung.Tetanus sefalik dicirikan oleh lumpuhnya saraf kranial VII yang paling sering
terlibat.Tetanus Ophthalmoplegic ialah tetanus yang berkembang setelah menembus
luka mata dan luka dalam dengan kelumpuhan dari saraf kranial III dan adanya
ptosis.Selain itu bisa juga kelumpuhan dari N. IV, IX, X, XI, dapat sendiri-sendiri
maupun kombinasi dan menetap dalam beberapa hari bahkan berbulan-bulan.Tetanus
sefalik dapat berkembang menjadi tetanus umum.Pada umumnya prognosisnya
buruk.1,5
3. Generalized tetanus
Bentuk ini yang paling banyak dikenal.Sering menyebabkan komplikasi yang
tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-diam.
Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai (50 %), bersamaan dengan
kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan
menelan. Gejala lain berupa risus sardonicus (Sardonic grin), opistotonus, dan kejang
dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan
sumbatan saluran nafas, sianosis, dan asfiksia.
Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi dapat mencapai 40 o C. Bila
dijumpai hipertermi atau hipotermi, tekanan darah tidak stabil, dan dijumpai
takikardia, penderita biasanya meninggal.Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan
gejala klinis.1,5

13
4. Tetanus neonatorum
Manifestasi awal yang ditemukan pada tetanus neonatorum dapat dilihat ketika

bayi malas minum dan menangis terus menerus, suhu tubuh bayi normal atau bisa

meningkat atau subfebris. Bayi kemudian akan kesulitan hingga tidak sanggup

menghisap dan akhirnya mengalami gangguan menyusu. Hal tersebut menjadi tanda

khas onset penyakit ini. Kekakuan rahang atau trismus mulai terjadi, dan

mengakibatkan tangisan bayi berkurang dan akhirnya berhenti. Trismus pada tetanus

neonatus tidak sejelas pada penderita anak atau dewasa, karena kekakuan otot leher

lebih kuat dari otot masseter, sehingga rahang bawah tertarik dan mulut justru agak

membuka dan kaku sehingga bentukan mulut seperti mencucu seperti mulut ikan

karper. Kemudian terjadi kekakuan apda wajah di mana bibir tertarik ke arah lateral,

dan alis tertarik ke atas yang disebut risus sardonicus. Kaku kuduk, disfagia, dinding

abdomen kaku dan mengeras serta kekakuan pada seluruh tubuh akan menyusul pada

beberapa jam berikutnya.5,8

Awalnya kekakuan tubuh yang terjadi bersifat periodic, dan dipicu oleng

rangsangan sensoris seperti suara, cahaya atau sentuhan. Kemudian kejang akan

terjadi secara spontan dan akhirnya terus menerus. Kesadaran bayi masih baik namun

spasme dan kejang berulang atau terus menerus yang terjadi akan mempengaruhi

sistem saraf simpatis sehingga terjadi vasokonstriksi pada saluran napas dan akan

terjadi apneu dan bayi menjadi sianosis. Hal ini merupakan penyebab kematian

terbesar pada kasus tetanus neonatorum. 5,8

14
Pada saat spasme dan kejang berlangsung, kedua lengan biasanya akan fleksi

pada siku dan tertarik kea rah badan, sedangkan kedua tungkai dorsofleksi dan kaki

akan mengalami hiperfleksi. Spasme pada otot punggung menyebabkan punggung

tertarik menyerupai busur panah atau disebut opisthotonus. 5,8

Jarak antara gejala pertama muncul sampai muncul gejala berikutnya pada

kasus neonatorum disebut periode onset. Periode onset ini berperan penting dalam

menentukan prognosis penyakit ini. Semakin pendek periode onset, semakin buruk

prognosisnya. Periode onset pada neonatus lebih pendek dibandingkan dengan anak

atau dewasa di mana lebih ke arah beberapa jam dari pada beberapa hari seperti pada

dewasa. Hal ini mungkin disebabkan jarak akson yang lebih pendek sehingga infeksi

lebih cepat mencapai sistem saraf pusat. 5,8

Masa inkubasi tetanus neonatorum lebih cepat dibanding tetanus tipe lain yaitu

berkisar antara 3-10 hari, dan biasanya bermanifestasi pada akhir minggu pertama

atau awal minggu ke dua pasca persalinan sehingga sering disebut sebagai penyakit

hari ke tujuh (Disease of the Seventh Day).2,4,6,

Berdasarkan onset, masa inkubasi dan manifestasi klinis yang dijumpai pada

bayi, dapat ditentukan berat ringannya tetanus neonatorum seperti tertera pada tabel

berikut:

Tabel 3. Perbandingan tetanus neonatorum sedang dan berat.2

Kategori Tetanus neonatorum sedang Tetanus neonatorum


berat

15
Umur > 7 hari 0 7 hari

Frekuensi kejang Kadang-kadang Sering

Bentuk kejang Mulut mencucu, trismus Mulut mencucu, trismus


kadang-kadang, kejang terus menerus, kejang
rangsang (+) rangsang (+)

Posisi badan Opisthotonus kadang-kadang Selalu opisthotonus

Kesadaran Masih sadar Masih sadar

Tanda infeksi Tali pusat kotor, lubang telinga Tali pusat kotor, lubang
bersih atau kotor telinga bersih atau kotor

Gambar 1. Kondisi tali pusat pada tetanus neonatorum

Gambar 2. Gambaran klinis tetanus neonatorum

16
.
2.6 Diagnosis
Biasanya tidak sukar.Anamnesis terdapat luka dan ketegangan otot yang khas
terutama pada rahang sangat membantu.Anamnesis yang teliti dan terarah selain
membantu menjelaskan gejala klinis yang kita hadapi juga mempunyai arti diagnostik
dan prognostik.1

1 Anamnesis
Anamnesis yang dapat membantu diagnosis antara lain:1
Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/patah tulang terbuka, luka
dengan nanah atau gigitan binatang
Apakah pernah keluar nanah dari telinga
Apakah menderita gigi berlubang
Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan imunisasi yang
terakhir
Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau spasme
lokal) dengan kejang yang pertama (period of onset)

2 Pemeriksaan Fisik

Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin
bertambah terutama pada rahang dan leher. Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi
nyata dengan:1

Trismus

17
Adalah kekakuan otot maseter sehingga sukar membuka mulut. Pada neonates
kekakuan ini menyebabkan mulut mencucu seperti mulut ikan sehingga bayi
tidak dapat menetek. Secara klinis untuk menilai kemajuan kesembuhan, lebar
bukaan mulut diukur setiap hari.
Risus sardonikus
Akibat spasme otot muka, sehingga tampak dahi mengkerut, alis tertarik ke
atas, mata agak tertutup, sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir
tertekan kuat pada gigi.
Opistotonus
Adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti otot punggung, otot
leher (kaku kuduk), otot badan, dan trunk muscles.Kekakuan yang sangat
berat dapat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur.
Spasme mula-mula intermitten diselingi periode relaksasi.Kemudian tidak
jelas lagi dan serangan tersebut disertai rasa nyeri.Kadang-kadang terjadi
perdarahan intramusculus karena kontraksi yang kuat.
Ketegangan otot dinding perut sehingga dinding perut seperti papan.
Kejang umum
Bila kekakuan semakin berat, akan timbul kejang umum yang awalnya hanya
terjadi setelah dirangsang (karena toksin terdapat di kornu anterior), misalnya
dicubit, digerakkan dengan kasar, atau terkena sinar yang kuat. Lambat laun
masa istirahat kejang semakin pendek sehingga anak jatuh dalam status
konvulsivus.
Asfiksia dan sianosis
Terjadi akibat kejang yang terus menerus atau serangan pada otot pernapasan
dan laring (spasme laring).Retensi urin dapat terjadi karena spasme otot
sfingter uretra.Fraktur tulang panjang dan kolumna vertebralis dapat pula
terjadi karena kontraksi otot yang sangat kuat.
Gangguan saraf autonom
Pengaruh toksin terhadap saraf autonom menyebabkan gangguan irama
jantung atau kelainan pembuluh darah, suhu tubuh yang tinggi (febris) atau
keringat banyak.
3 Pemeriksaan Penunjang

18
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk tetanus.1
Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus tersangka tetanus.
Namun demikian, kuman C. tetani dapat ditemukan di luka orang yang tidak
mengalami tetanus, dan seringkali tidak dapat dikultur pada pasien tetanus.
Biakan kuman memerlukan prosedur khusus untuk kuman anaerobik. Selain
mahal, hasil biakan yang positif tanpa gejala klinis tidak mempunyai arti.
Hanya sekitar 30% kasus C. tetani yang ditemukan pada luka dan dapat
diisolasi dari pasien yang tidak mengalami tetanus.
Nilai hitung leukosit dapat normal atau tinggi.
Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan hasil yang normal.
Kadar antitoksin di dalam darah 0,01 U/mL atau lebih, dianggap sebagai
imunisasi dan bukan tetanus.
Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam darah dapat meningkat.

2.7 Diagnosis Banding


Diagnosis banding tergantung dari manifestasi klinis utama dari penyakit.
Diagnosis bandingnya adalah sebagai berikut (lihat Tabel 3).

Tabel 3. Diagnosis Banding1,5,6

PENYAKIT GAMBARAN DIFFERENTIAL

INFEKSI
Meningoencephalitis Demam, trismus tidak ada, sensorium depresi, abnormal CSF
Polio Trismus tidak ada, paralisa tipe flasid, abnormal CSF
Rabies Gigitan binatang, trismus tidak ada, hanya oropharingeal spasm
Lesi oropharyngeal Hanya lokal, rigiditas seluruh tubuh atau spasme tidak ada
Peritonitis Trismus atau spasme seluruh tubuh tidak ada

KELAINAN METABOLIK
Tetani Hanyacarpopedal dan laryngeal spasm, hipokalsemia
Keracunan strihnin Relaksasi komplit diantara spasme
Relaksasi phenothiazine Distonia, respons dengan diphenhydramine

19
PENYAKIT CNS
Stastus epilepticus Sensorium depressi
Hemorrhage atau tumor Trismus tidak ada, sensorium depressi

KELAINAN PSIKIATRIK
Hysteria Trismus inkonstan, relaksasi komplet diantara spasme

KELAINAN Trauma: hanya lokal


MUSKULOSKLETAL

2.8 Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada:
- Sistem saluran pernafasan
Oleh karena spasme otot-otot pernapasan dan spasme otot laring dan seringnya
kejang menyebabkan terjadinya asfiksia.Karena akumulasi sekresi saliva serta
sukar menelan air liur, makanan, dan minuman sehingga sering terjadi pneumonia
aspirasi dan atelektasis akibat obstruksi oleh sekret.Pneumotoraks dan emfisema
mediastinal biasanya terjadi akibat dilakukannya trakeostomi.1
- Sistem kardiovaskular
Komplikasi berupa aktivitas simpatis meningkat antara lain berupa takikardia,
hipertensi, vasokonstriksi periferdan rangsangan miokardium.1
- Sistem muskuloskeletal
Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam
otot.Pada tulang dapat terjadi fraktur columna vertebralis akibat kejang yang terus
menerus terutama pada anak dan orang dewasa, beberapa peneliti melaporkan
dapat terjadi miositis osifikans sirkumskripta.1
- Komplikasi yang lain :
Laserasi lidah akibat kejang
Dekubitus karena penderita berbaring satu posisi saja
Panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar luas
dan mengganggu pusat pengatur suhu.

20
Penyebab kematian pada tetanus ialah akibat komplikasi berupa bronkopneumonia,
cardiac arrest, septicemia, dan pneumotoraks.

2.9 Penatalaksanaan
Pengobatan pada tetanus terdiri dari penatalaksanaan umum yang terdiri dari
kebutuhan cairan dan nutrisi, menjaga kelancaran jalan nafas, oksigenasi, mengatasi
kejang, perawatan luka atau portd entre lain. Sedangkan penatalaksanaan khusus
terdiri dari pemberian antibiotik dan serum anti tetanus.1
Penatalaksanaan umum
- Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang yang tenang pada
unit perawatan intensif dengan stimulasi yang minimal.
- Menjaga saluran nafas tetap bebas, kalau berat perlu trakeostomi
- Memberikan tambahan oksigen dengan sungkup
- Mengurangi spasme dan mengatasi kejang
Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang sering digunakan.Obat ini
mempunyai aktivitas sebagai penenang, anti kejang, dan pelemas otot yang kuat
tanpa menekan pusat kortikal. Dosis diazepam yang direkomendasikan adalah
0,1-0,3 mg/kgBB dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis atau dosis yang
direkomendasikan untuk usia < 2 tahun adalah 8 mg/kgBB/hari diberikan oral
dalam dosis 2-3 mg/3 jam. Kejang harus segera dihentikan dengan pemberian
diazepam 5 mg per rektal untuk BB < 10 kg dan 10 mg untuk BB > 10 kg, atau
dosis diazepam intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah kejang berhenti,
pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai dengan klinis
pasien. Alternatif lain untuk bayi diberikan dosis inisial 0,1-0,2 mg/kgBB/hari
untuk menghilangkan spasme akut, diikuti infuse kontinu 15-40 mg/kgBB/hari.
Setelah 5-7 hari dosis diazepam diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan dapat
diberikan melalui OGT.Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai kejang
spontan, badan masih kaku, kesadaran membaik, tidak dijumpai gangguan
nafas.Bila dosis diazepam maksimal telah tercapai namun anak masih kejang
atau mengalami spasme laringm sebaiknya dipertimbangkan untuk dirawat di

21
ruang perawatan intensif sehingga otot dapat dilumpuhkan dan mendapat bantuan
pernafasan mekanik.Apabila dengan terapi antikonvulsan dengan dosis rumatan
telah memberikan respon klinis yang diharapkan, dosis dipertahankan 3-5 hari.
Selanjutnya pengurangan dosis secara bertahap (sekitar 20 % dari dosis setiap 2
hari).1,5,6
Penatalaksanaan khusus
- Antibiotik
Antibiotik ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan
untuk toksin yang dihasilkannya. Antibiotik lini pertama yang diberikan adalah
metronidazole IV/oral dengan dosis awal secara loading dose 15 mg/kgBB dalam
1 jam dilanjutkan 30 mg/kgBB/hari selama 1 jam perinfus setiap 6 jam selama 7-
10 hari. Lini kedua dapat diberikan penisilin prokain 50.000-100.000/kgBB/hari
selama 7-10 hari, jika terdapat hipersensitif terhadap penisilin dapat diberikan
tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari (untuk anak usia> 8 tahun). Penyulit yang ada
diberikan antibiotik yang sesuai.1
- Anti serum
Dosis ATS yang dianjurkan adalah 100.000 IU dengan 50.000 IU IM dan 50.000
IU IV. Pemberian ATS harus berhati-hati akan terjadinya reaksi anafilaksis. Pada
tetanus anak pemberian anti serum dapat disertai imunisasi aktif DT setelah anak
pulang dari rumah sakit.Bila fasilitas tersedia dapat diberikan HTIG (Human
Tetanus Immune Globulin) 3.000-6000 IU IM.1,7

Tatalaksana Tetanus Neonatorum


- Berikan cairan intravena dengan larutan glukosa 5% dan Nacl fisiologis (4:1)
selama 48-72 jam selanjutnya IVFD hanya untuk memasukkan obat. Jika pasien
telah dirawat lebih dari 24 jam atau pasien sering kejang atau apnea, diberikan
larutan glukosa 10% dan natrium bikarbonat 1.5% dalam perbandingan 4:1
(periksa analisa gas darah terlebih dahulu).1,9 Diazepam awal dosis 2,5 mg IV
perlahan-lahan selama 2-3 menit, kemudian diberikan dosis rumat 8-10 mg/kg
BB/hari melalui IVFD (diazepam dimasukkan ke dalam cairan infus dan diganti
setiap 6 jam). Bila kejang masih sering timbul, boleh ditambah diazepam lagi 2,5

22
mg secara IV perlahan-lahan dan dalam 24 jam berikutnya boleh diberikan
tambahan diazepam 5 mg/kg BB/hari sehingga dosis diazepam keseluruhannya
menjadi 15 mg/kg BB/hari. Setelah keadaan klinis membaik, diazepam diberikan
peroral dan diturunkan secara bertahap. Pada pasien dengan hiperbilirubinemia
berat atau bila makin berat, diazepam diberikan per oral dan setelah bilirubin
turun boleh diberikan secara IV.1
- ATS 10.000 U/hari, diberikan selama 2 hari berturut-turut dengan IM. Perinfus
diberikan 20.000 U sekaligus.1
- Ampisilin 100 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis IV selama 10 hari. Bila
pasien menjadi sepsis, pengobatan seperti pasien sepsis linnya. Bila pungsi
lumbal tidak dapat dilakukan pengobatan seperti yang diberikan pada pasien
meningitis bakterialis.1
- Tali pusat dibersihkan/dikompres dengan alkohol 70% atau betadin 10%.1
- Perhatikan jalan nafas dan tanda-tanda vital lainnya, bila perlu berikan oksigen.1

2.10 Prognosis

Prognosis tetanus pada anak dipengaruhi oleh beberapa faktor. Jika masa
inkubasi pendek (kurang dari 7 hari), usia yang sangat muda (neonatus), period of
onset yang pendek (jarak antara trismus dan timbulnya kejang kurang dari 48 jam),
frekuensi kejang yang tinggi, pengobatan terlambat, adanya komplikasi terutama
spasme otot pernapasan dan obstruksi jalan napas, semua ini prognosisnya buruk.1,9,10

Mortalitas tetanus masih tinggi, di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM


Jakarta didapatkan angka 80 % untuk tetanus neonatorum dan 30 % untuk tetanus
anak.1,8

2.11 Pencegahan

23
Mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal maka untuk pencegahan,
perlu dilakukan:1,2,4

Perawatan luka

Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor
atau luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus.Luka dibersihkan atau
dilakukan debridement.Terutama perawatan luka guna mencegah timbulnya
jaringan anaerob.

Pemberian ATS dan Toksoid Tetanus pada luka

Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (kurang dari 6
jam) dan harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif.

Imunisasi aktif

Imunisasi aktif yang diberikan yaitu DPT, dT, atau Toksoid Tetanus.Jenis
imunisasi tergantung dari jumlah golongan umur dan jenis kelamin. Vaksin
DPT diberikan sebagai imunisasi dasar sebanyak 3 kali, DPT IV pada usia 18
bulan dan DPT V pada usia 5 tahun, dan saat usia 12 tahun diberikan dT.
Toksoid tetanus diberikan pada wanita usia subur, perempuan usia 12 tahun,
dan ibu hamil. DPT/dT diberikan setelah pasien sembuh dilanjutkan imunisasi
ulangan diberikan sesuai jadwal, oleh karena tetanus tidak menimbulkan
kekebalan yang berlangsung lama.

Imunisasi DPT (Diphteri Pertussis Tetanus)


Vaksin DPT adalah vaksin 3-in-1 yang bisa diberikan kepada anak yang
berumur kurang dari 7 tahun.Biasanya vaksin DPT terdapat dalam bentuk suntikan,
yang disuntikkan pada otot lengan atau paha.Imunisasi DPT diberikan sebanyak 3

24
kali, yaitu pada saat anak berumur 2 bulan (DPT I), 3 bulan (DPT II) dan 4 bulan
(DPT III); selang waktu tidak kurang dari 4 minggu. Imunisasi DPT ulang diberikan 1
tahun setelah DPT III dan pada usia prasekolah (5-6 tahun).1
DPT merupakan salah satu jenis vaksin combo.Terdapat 2 jenis vaksin DPT,
yaitu DTwP dan DTaP.DTwP adalah vaksin yang mengandung seluruh sel kuman
pertusis, sedangkan DTap mengandung komponen spesifik toksin dari kuman
pertusis.Keuntungan DTaP adalah angka kejadian komplikasi yang kecil
dibandingkan DTwP. Kerugiannya DTaP lebih mahal.1

DPT sering menyebakan efek samping yang ringan, seperti demam ringan
atau nyeri di tempat penyuntikan (42,9 % kasus) selama beberapa hari. Efek samping
tersebut terjadi karena adanya komponen pertusis di dalam vaksin.Pada kurang dari
1% penyuntikan, DPT menyebabkan komplikasi berikut:

Demam tinggi (lebih dari 40,5 Celsius) pada 2,2 % kasus


Kejang demam terjadi sebanyak 0,06 %. Risiko lebih tinggi pada anak yang
sebelumnya pernah mengalami kejang atau terdapat riwayat kejang dalam
keluarganya.

Reaksi alergi dan ensefalopati sangat jarang.8

25
BAB III
KESIMPULAN

a. Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya


tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin
protein yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani.
b. Clostridium tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka yang
terkontaminasi dengan debu, tanah, tinja binatang, jika dinding sel kuman
lisis maka dilepaskan eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin.
c. Secara klinis tetanus ada 3 macam: tetanus umum, tetanus lokal dan tetanus
sefalik.

26
d. Strategi terapi tetanus melibatkan tiga prinsip penatalaksanaan: organisme
yang terdapat dalam tubuh hendaknya dieliminasi untuk mencegah pelepasan
toksin lebih lanjut, toksin yang terdapat dalam tubuh, diluar sistem saraf
pusat hendaknya dinetralisasi dan efek dari toksin yang telah terikat pada
sistem saraf pusat dieliminasi.
e. Prognosis dipengaruhi oleh beberapa faktor: masa inkubasi, umur, period of
onset, pengobatan, ada tidaknya komplikasi, frekuensi kejang.

DAFTAR PUSTAKA

1. Saraswita ,Ni Komang. Penatalaksanaan tetanus. Bali: Puskesmas Mendoyo.


2014.Hal 823-826.
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia . Profil Kesehatan Indonesia
2014. Hal: 358
3. IDAI. Buku Ajar Infeksi & Pedriatri Tropis. Edisi kedua 2010. Hal: 322-329
4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Eliminasi Tetanus Maternal dan
Neonatal. 2012. Hal : 2-44
5. Martha H Roper, et.al.Maternal and neonatal tetanus.USA: WHO Expanded
Programme on Immunization. 2007. Hal:2-5

27
6. Brunnella Alcantara, et. Al. Clostridium tetani infections in newborn infants:
a tetanus neonatorum review. Brazil : Universidade Federal de Viosa - UFV
- Viosa (MG). Hal: 485-487
7. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Tetanus. Dalam : Rusepno Hassan,
Husein Alatas (ed 2). Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2. Jakarta:
FKUI. 2005. Hal:646-648
8. Behrman RE, Kliegman RM, Arvin. Nelson Textbook of Pediatrics,17th edn.
Saunders: USA, 2004. Hal :1220-1221

28

You might also like