Professional Documents
Culture Documents
. .
. .
.
: .
. :
"Ada tiga hal yang bisa menyelamatkan dan tiga hal yang bisa merusak. Yang
menyelamatkan antara lain (1) takwa kepada Allah dalam sepi maupun ramai, (2) berkata
benar (adil) dalam kondisi ridla maupun marah, dan (3) bersikap sederhana dalam keadaan
)kaya maupun miskin. Sedangkan yang merusak antara lain (1) bakhil yang kelewatan, (2
"nafsu yang diikuti, dan (3) ujub terhadap diri sendiri.
Hadits yang diriwayatkan Imam Baihaqi ini secara tegas menjelaskan sikap-sikap yang saling
bertentangan. Tiga penyakit perilaku yang terahir dapat merusak kemuliaan manusia sebagai
hamba Allah, menjauhkan seseorang dari kebahagiaan akhirat, dan keluar dari kewajaran
hidup sebagai makhluk di dunia. Sementara tiga hal yang pertama justru sebaliknya,
menyelamatkan hamba dari kerusakan-kerusakan itu semua.
Pertama, takwa kepada Allah. Takwa bermakna melaksanakan seluruh perintah kepada Allah
dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Ini merupakan tanggung jawab yang tidak sederhana,
karena menuntut seorang hamba secara total patuh dan pasrah hanya kepada Allah. Sebagaian
kita kerap saling paham bahwa ketika disebut kata takwa maka yang terbayang sekadar
melaksanakan shalat, puasa, haji, dan perkara ubudiyah lainnya. Padahal, takwa mencakup
seluruh gerak lahir dan batin, serta aqidah, syariah, dan akhlak.
Dalam hadits di atas disebut taqwallh fis sirri wal alniyah. Artinya, takwa dalam setiap
keadaan. Takwa menuntut seseorang hanya takut dan malu kepada Allah semata, bukan
kepada yang lain, termasuk kepada atasan atau nafsunya sendiri. Dalam pesan Rasulullah itu,
taqwallh fis sirri wal alniyah bisa dikontraskan dengan perilaku merusak hawa
muttabaun atau hawa nafsu yang dituruti. Inilah yang membuat takwa terasa sangat berat
karena musuh terbesarnya adalah nafsu alias diri sendiri. Pernahkah kita merasakan: kita
terlihat begitu baik dan saleh saat bersama orang lain dan begitu binal dan durhaka saat
sendirian? Di sinilah letak ujian takwa. Takwa tidak mengenal kata sendirian karena ia
berangkat dari keyakinan bahwa seluruh gerak-gerik di dunia ini pasti tak terlepas dari
pengamatan Allah.
Siapa yang bertakwa kepada Allah, Dia akan menjadikan untuknya jalan keluar.
Kedua, berkata benar dalam kondisi ridla maupun marah. Dalam riwayat lain, berlaku adil
dalam kondisi ridla maupun marah (al-adlu fir ridla wal ghadlab). Emosi kita yang pasang-
surut tak boleh menggoyahkan kita untuk tetap berpegang pada kebenaran dan keadilan. Yang
haram tetap haram meskipun kita sangat menginginkannya. Yang halal selalu halal
kendatipun kita tak menyukainya. Hukum juga tak boleh membedakan perlakuan antara si A
dan si B walaupun salah satunya adala seorang pejabat atau orang kaya. Mencaci maki dan
menfitnah tetap terlarang meskipun ditujukan kepada orang yang sangat kita benci lantaran
beda madzhab atau partai. Korupsi mesti disanksi meskipun itu dilakukan oleh kerabat atau
anak sendiri.
Memegang prinsip sangat tergantung kepada cara kita mengelola diri: bagaimana kita mampu
senantiasa rendah hati kepada siapapun tanpa membeda-bedakan pandangan dan sikap
terhadap mereka. Karena itu, karena itu berkata benar dalam segala kondisi ini merupakan
lawan dari perilaku merusak ijbul mari binafsih atau ujub terhadap diri sendiri.
Membanggakan kualitas diri sendiri bisa menjerumuskan seseorang kepada tindak
menyepelekan orang lain, lalu berlaku secara tidak objektif. Merasa paling benar dan paling
baik dapat membawa seseorang tak adil dalam menyikap segala hal. Ujub juga cenderung
mengabaikan bahwa tiap nikmat datang dari Allah subhnahu watal.
Ketiga, sederhana saat kaya maupun miskin. Hal ini menjadi ciri dari kedewasaan seseorang
dalam memaknai kekayaan. Kekayaan tidak diartikan sebagai tujuan (ghyah) melainkan
sebatas sarana (waslah), karenanya penggunaannya pun seyogianya disesuaikan dengan
kebutuhan belaka. Sederhana bukan berarti kekurangan, apalagi berlebihan. Ia berada di
antara sangat irit (pelit) dan mubazir (pemborosan dan hura-hura). Kesederhanaan juga
merupakan cermin dari kepribadian yang sanggup membedakan antara kebutuhan dan
keinginan. Apa yang diinginkan seseorang tak selalu identik dengan keperluannya. Karena
kebutuhan senantiasa mempunyai porsi sementara keinginan luas tak terbatas.
Anjuran hidup sederhana dalam kondisi apapun sangat relevan bila dikaitkan dengan hakikat
harta yang sejatinya karunia Allah. Di dalamnya ada hak untuk dirinya juga untuk orang lain.
Bagi orang miskin, kesederhanaan adalah strategi untuk tetap bersyukur dan wajar dalam
berekonomi. Bagi orang kaya, kesederhanaan adalah pertanda ia tak tenggelam dalam
gemerlap duniawi sekaligus momen berbagi harta lebih yang ia miliki. Jangan sampai kita
menjadi sangat kikir (syuhhun muth), yang menjadi salah satu perilaku merusak dalam
hadits di atas.Bakhil pun tak mesti hanya dilakukan orang yang berharta melimpah. Karena
bakhil selain berkaitan dengan kekayaan, juga perbuatan
Jauhilah perbuatan sangat kikir karena ia merusak orang sebelum kamu. (HR. Abu
Dawud)
Ketiga hal di atas berhubungan saling terkait antara satu dengan yang lain. Meski
terklasifikasi masing-masing tiga sikap, namun sejatinya semua bermuara pada pilihan
apakah kita memosisikan Allah sebagai tempat bergantung dan muara tujuan, ataukah selain-
Nya, termasuk orang lain, kekayaan, dan ego diri sendiri.
Khotbah II
.
.
.
.
.
.
.
. .
. . . . . .
!
.
(Alif Budi Luhur)
Khotbah I
. .
. .
.
: .
. :
"Ada tiga hal yang bisa menyelamatkan dan tiga hal yang bisa merusak. Yang
menyelamatkan antara lain (1) takwa kepada Allah dalam sepi maupun ramai, (2) berkata
benar (adil) dalam kondisi ridla maupun marah, dan (3) bersikap sederhana dalam keadaan
)kaya maupun miskin. Sedangkan yang merusak antara lain (1) bakhil yang kelewatan, (2
"nafsu yang diikuti, dan (3) ujub terhadap diri sendiri.
Hadits yang diriwayatkan Imam Baihaqi ini secara tegas menjelaskan sikap-sikap yang saling
bertentangan. Tiga penyakit perilaku yang terahir dapat merusak kemuliaan manusia sebagai
hamba Allah, menjauhkan seseorang dari kebahagiaan akhirat, dan keluar dari kewajaran
hidup sebagai makhluk di dunia. Sementara tiga hal yang pertama justru sebaliknya,
menyelamatkan hamba dari kerusakan-kerusakan itu semua.
Pertama, takwa kepada Allah. Takwa bermakna melaksanakan seluruh perintah kepada Allah
dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Ini merupakan tanggung jawab yang tidak sederhana,
karena menuntut seorang hamba secara total patuh dan pasrah hanya kepada Allah. Sebagaian
kita kerap saling paham bahwa ketika disebut kata takwa maka yang terbayang sekadar
melaksanakan shalat, puasa, haji, dan perkara ubudiyah lainnya. Padahal, takwa mencakup
seluruh gerak lahir dan batin, serta aqidah, syariah, dan akhlak.
Dalam hadits di atas disebut taqwallh fis sirri wal alniyah. Artinya, takwa dalam setiap
keadaan. Takwa menuntut seseorang hanya takut dan malu kepada Allah semata, bukan
kepada yang lain, termasuk kepada atasan atau nafsunya sendiri. Dalam pesan Rasulullah itu,
taqwallh fis sirri wal alniyah bisa dikontraskan dengan perilaku merusak hawa
muttabaun atau hawa nafsu yang dituruti. Inilah yang membuat takwa terasa sangat berat
karena musuh terbesarnya adalah nafsu alias diri sendiri. Pernahkah kita merasakan: kita
terlihat begitu baik dan saleh saat bersama orang lain dan begitu binal dan durhaka saat
sendirian? Di sinilah letak ujian takwa. Takwa tidak mengenal kata sendirian karena ia
berangkat dari keyakinan bahwa seluruh gerak-gerik di dunia ini pasti tak terlepas dari
pengamatan Allah.
Siapa yang bertakwa kepada Allah, Dia akan menjadikan untuknya jalan keluar.
Kedua, berkata benar dalam kondisi ridla maupun marah. Dalam riwayat lain, berlaku adil
dalam kondisi ridla maupun marah (al-adlu fir ridla wal ghadlab). Emosi kita yang pasang-
surut tak boleh menggoyahkan kita untuk tetap berpegang pada kebenaran dan keadilan. Yang
haram tetap haram meskipun kita sangat menginginkannya. Yang halal selalu halal
kendatipun kita tak menyukainya. Hukum juga tak boleh membedakan perlakuan antara si A
dan si B walaupun salah satunya adala seorang pejabat atau orang kaya. Mencaci maki dan
menfitnah tetap terlarang meskipun ditujukan kepada orang yang sangat kita benci lantaran
beda madzhab atau partai. Korupsi mesti disanksi meskipun itu dilakukan oleh kerabat atau
anak sendiri.
Memegang prinsip sangat tergantung kepada cara kita mengelola diri: bagaimana kita mampu
senantiasa rendah hati kepada siapapun tanpa membeda-bedakan pandangan dan sikap
terhadap mereka. Karena itu, karena itu berkata benar dalam segala kondisi ini merupakan
lawan dari perilaku merusak ijbul mari binafsih atau ujub terhadap diri sendiri.
Membanggakan kualitas diri sendiri bisa menjerumuskan seseorang kepada tindak
menyepelekan orang lain, lalu berlaku secara tidak objektif. Merasa paling benar dan paling
baik dapat membawa seseorang tak adil dalam menyikap segala hal. Ujub juga cenderung
mengabaikan bahwa tiap nikmat datang dari Allah subhnahu watal.
Ketiga, sederhana saat kaya maupun miskin. Hal ini menjadi ciri dari kedewasaan seseorang
dalam memaknai kekayaan. Kekayaan tidak diartikan sebagai tujuan (ghyah) melainkan
sebatas sarana (waslah), karenanya penggunaannya pun seyogianya disesuaikan dengan
kebutuhan belaka. Sederhana bukan berarti kekurangan, apalagi berlebihan. Ia berada di
antara sangat irit (pelit) dan mubazir (pemborosan dan hura-hura). Kesederhanaan juga
merupakan cermin dari kepribadian yang sanggup membedakan antara kebutuhan dan
keinginan. Apa yang diinginkan seseorang tak selalu identik dengan keperluannya. Karena
kebutuhan senantiasa mempunyai porsi sementara keinginan luas tak terbatas.
Anjuran hidup sederhana dalam kondisi apapun sangat relevan bila dikaitkan dengan hakikat
harta yang sejatinya karunia Allah. Di dalamnya ada hak untuk dirinya juga untuk orang lain.
Bagi orang miskin, kesederhanaan adalah strategi untuk tetap bersyukur dan wajar dalam
berekonomi. Bagi orang kaya, kesederhanaan adalah pertanda ia tak tenggelam dalam
gemerlap duniawi sekaligus momen berbagi harta lebih yang ia miliki. Jangan sampai kita
menjadi sangat kikir (syuhhun muth), yang menjadi salah satu perilaku merusak dalam
hadits di atas.Bakhil pun tak mesti hanya dilakukan orang yang berharta melimpah. Karena
bakhil selain berkaitan dengan kekayaan, juga perbuatan
Jauhilah perbuatan sangat kikir karena ia merusak orang sebelum kamu. (HR. Abu
Dawud)
Ketiga hal di atas berhubungan saling terkait antara satu dengan yang lain. Meski
terklasifikasi masing-masing tiga sikap, namun sejatinya semua bermuara pada pilihan
apakah kita memosisikan Allah sebagai tempat bergantung dan muara tujuan, ataukah selain-
Nya, termasuk orang lain, kekayaan, dan ego diri sendiri.
Khotbah II
.
.
.
.
.
.
.
. .
. . . . . .
!
.
Belajar dari Cara Nabi Mengatasi Kesulitan
Rabu, 27 April 2016 15:31 Khotbah
Bagikan
Khotbah II
: .
:
.
.
.
Kaum Muslimin sidang Jumat rahimakumullah,
Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat-
Nya yang dilimpahkan kepada kita semua, sehingga kita dapat beribadah
mengabdi kepada-Nya setiap waktu demi menggapai ridla-Nya.
Dalam kesempatan yang mulia ini, marilah kita terus menerus berusaha
meningkatkan kualitas ketakwaan kita kepada Allah SWT; takwa dalam arti yang
sebenar-benarnya. Semoga Allah SWT menempatkan kita semua pada derajat
yang Dia ridhai, di dunia dan di akhirat. Amin ya rabbal 'alamin.
Dalam hidup, kelahiran dan kematian adalah sunnatullah. Sebuah proses alam
yang terjadi secara berulang-ulang. Karena sunnatullah, tidak lantas kita sebagai
manusia tidak berhak untuk berbahagia dan bersedih. Lumrahnya manusia,
menghadapi kelahiran akan merasa bahagia. Demikian pula dengan kematian,
wajarnya manusia akan merasa kehilangan dan sedih.
Panutan kita, Baginda nabi Muhammad SAW adalah manusia, sebagaimana kita
semua, mempunyai rasa takut, sedih, serta kehilangan.
(6 : )
Artinya :
Katakanlah: Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu,
diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa,
maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun
kepada-Nya. Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang
mempersekutukan-Nya.
Oleh sebab itu, dalam aqidah Asariyah Maturidiyah dikenal sifat jaiz nabi dan
rasul :
Nabi dan rasul memiliki sifat sebagaimana manusia sebagaimana umumnya.
Penderitaan beliau tidak berhenti hanya di situ, setelah ditinggalkan dua orang
tercinta, beliau hijrah ke Thaif. Yang salah satu tujuannya adalah menghilangkan
kesedihan. Tapi malang tidak dapat ditolak, untung tidak dapat diraih. Selama 10
hari di Thaif tak ada satu pun orang yang berkenan masuk Islam. Bahkan Nabi
diusir dan dilempari batu oleh penduduk Thaif.
Bagaimana dengan kita? Sebagai manusia, mungkin kemarin, saat ini, atau
bahkan besok mengalami kesedihan, yang menguras air mata, dan
menghabiskan energi. Belajar dari Habibuna Muhammad, saat kita mengalami
keadaan terpuruk, sedih, maka keluarlah, pergilah, dan lihatlah! Temuilah orang-
orang shalih, saksikanlah keindahan dan keberhasilan orang lain melewati
tahapan kehidupannya. Lihatlah kegagalan-kegagalan orang yang terpuruk,
terjerumus dalam keputusasaan.
Setelah semuanya kita lakukan, hal yang terakhir adalah shalat, menghadap
sang khaliq (Allah SWT). Serahkan semuanya kembali kepada Allah SWT. Dan tak
lupa berdoa sebagaimana doa nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh
Anas r.a:
: :
, ,
.
Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari sifat gelisah (pesimis), sedih, malas,
kikir, pengecut, terlilit hutang, dan keganasan orang lain.
Akhirnya, semoga Allah SWT senantiasa melindungi kita semua, dan semoga kita
semua yang hadir di sini diberi kekuatan oleh Allah untuk melewati setiap
tahapan kehidupan dengan selamat dan berhasil menjadi umat Muhammad SAW
yang sukses dunia maupun akhirat.
Khotbah II
. .
+
!
Muh. Afifuddin, Pengurus LP Maarif Kabupate Sleman
Khotbah II
: .
:
.
.
.
Kaum Muslimin sidang Jumat rahimakumullah,
Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat-
Nya yang dilimpahkan kepada kita semua, sehingga kita dapat beribadah
mengabdi kepada-Nya setiap waktu demi menggapai ridla-Nya.
Dalam kesempatan yang mulia ini, marilah kita terus menerus berusaha
meningkatkan kualitas ketakwaan kita kepada Allah SWT; takwa dalam arti yang
sebenar-benarnya. Semoga Allah SWT menempatkan kita semua pada derajat
yang Dia ridhai, di dunia dan di akhirat. Amin ya rabbal 'alamin.
Dalam hidup, kelahiran dan kematian adalah sunnatullah. Sebuah proses alam
yang terjadi secara berulang-ulang. Karena sunnatullah, tidak lantas kita sebagai
manusia tidak berhak untuk berbahagia dan bersedih. Lumrahnya manusia,
menghadapi kelahiran akan merasa bahagia. Demikian pula dengan kematian,
wajarnya manusia akan merasa kehilangan dan sedih.
Panutan kita, Baginda nabi Muhammad SAW adalah manusia, sebagaimana kita
semua, mempunyai rasa takut, sedih, serta kehilangan.
(6 : )
Artinya :
Katakanlah: Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu,
diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa,
maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun
kepada-Nya. Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang
mempersekutukan-Nya.
Oleh sebab itu, dalam aqidah Asariyah Maturidiyah dikenal sifat jaiz nabi dan
rasul :
Nabi dan rasul memiliki sifat sebagaimana manusia sebagaimana umumnya.
Penderitaan beliau tidak berhenti hanya di situ, setelah ditinggalkan dua orang
tercinta, beliau hijrah ke Thaif. Yang salah satu tujuannya adalah menghilangkan
kesedihan. Tapi malang tidak dapat ditolak, untung tidak dapat diraih. Selama 10
hari di Thaif tak ada satu pun orang yang berkenan masuk Islam. Bahkan Nabi
diusir dan dilempari batu oleh penduduk Thaif.
Bagaimana dengan kita? Sebagai manusia, mungkin kemarin, saat ini, atau
bahkan besok mengalami kesedihan, yang menguras air mata, dan
menghabiskan energi. Belajar dari Habibuna Muhammad, saat kita mengalami
keadaan terpuruk, sedih, maka keluarlah, pergilah, dan lihatlah! Temuilah orang-
orang shalih, saksikanlah keindahan dan keberhasilan orang lain melewati
tahapan kehidupannya. Lihatlah kegagalan-kegagalan orang yang terpuruk,
terjerumus dalam keputusasaan.
Setelah semuanya kita lakukan, hal yang terakhir adalah shalat, menghadap
sang khaliq (Allah SWT). Serahkan semuanya kembali kepada Allah SWT. Dan tak
lupa berdoa sebagaimana doa nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh
Anas r.a:
: :
, ,
.
Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari sifat gelisah (pesimis), sedih, malas,
kikir, pengecut, terlilit hutang, dan keganasan orang lain.
Akhirnya, semoga Allah SWT senantiasa melindungi kita semua, dan semoga kita
semua yang hadir di sini diberi kekuatan oleh Allah untuk melewati setiap
tahapan kehidupan dengan selamat dan berhasil menjadi umat Muhammad SAW
yang sukses dunia maupun akhirat.
Khotbah II
. .
+
!
Muh. Afifuddin, Pengurus LP Maarif Kabupate Sleman
Khotbah II
: .
:
.
.
.
Kaum Muslimin sidang Jumat rahimakumullah,
Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat-
Nya yang dilimpahkan kepada kita semua, sehingga kita dapat beribadah
mengabdi kepada-Nya setiap waktu demi menggapai ridla-Nya.
Dalam kesempatan yang mulia ini, marilah kita terus menerus berusaha
meningkatkan kualitas ketakwaan kita kepada Allah SWT; takwa dalam arti yang
sebenar-benarnya. Semoga Allah SWT menempatkan kita semua pada derajat
yang Dia ridhai, di dunia dan di akhirat. Amin ya rabbal 'alamin.
Dalam hidup, kelahiran dan kematian adalah sunnatullah. Sebuah proses alam
yang terjadi secara berulang-ulang. Karena sunnatullah, tidak lantas kita sebagai
manusia tidak berhak untuk berbahagia dan bersedih. Lumrahnya manusia,
menghadapi kelahiran akan merasa bahagia. Demikian pula dengan kematian,
wajarnya manusia akan merasa kehilangan dan sedih.
Panutan kita, Baginda nabi Muhammad SAW adalah manusia, sebagaimana kita
semua, mempunyai rasa takut, sedih, serta kehilangan.
(6 : )
Artinya :
Katakanlah: Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu,
diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa,
maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun
kepada-Nya. Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang
mempersekutukan-Nya.
Oleh sebab itu, dalam aqidah Asariyah Maturidiyah dikenal sifat jaiz nabi dan
rasul :
Nabi dan rasul memiliki sifat sebagaimana manusia sebagaimana umumnya.
Penderitaan beliau tidak berhenti hanya di situ, setelah ditinggalkan dua orang
tercinta, beliau hijrah ke Thaif. Yang salah satu tujuannya adalah menghilangkan
kesedihan. Tapi malang tidak dapat ditolak, untung tidak dapat diraih. Selama 10
hari di Thaif tak ada satu pun orang yang berkenan masuk Islam. Bahkan Nabi
diusir dan dilempari batu oleh penduduk Thaif.
Bagaimana dengan kita? Sebagai manusia, mungkin kemarin, saat ini, atau
bahkan besok mengalami kesedihan, yang menguras air mata, dan
menghabiskan energi. Belajar dari Habibuna Muhammad, saat kita mengalami
keadaan terpuruk, sedih, maka keluarlah, pergilah, dan lihatlah! Temuilah orang-
orang shalih, saksikanlah keindahan dan keberhasilan orang lain melewati
tahapan kehidupannya. Lihatlah kegagalan-kegagalan orang yang terpuruk,
terjerumus dalam keputusasaan.
Setelah semuanya kita lakukan, hal yang terakhir adalah shalat, menghadap
sang khaliq (Allah SWT). Serahkan semuanya kembali kepada Allah SWT. Dan tak
lupa berdoa sebagaimana doa nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh
Anas r.a:
: :
, ,
.
Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari sifat gelisah (pesimis), sedih, malas,
kikir, pengecut, terlilit hutang, dan keganasan orang lain.
Akhirnya, semoga Allah SWT senantiasa melindungi kita semua, dan semoga kita
semua yang hadir di sini diberi kekuatan oleh Allah untuk melewati setiap
tahapan kehidupan dengan selamat dan berhasil menjadi umat Muhammad SAW
yang sukses dunia maupun akhirat.
Khotbah II
. .
+
!
Muh. Afifuddin, Pengurus LP Maarif Kabupate Sleman
Baca Juga
LDNU Temanggung Bagikan Buku Khotbah Jumat ala NU di Banyak Masjid
Bulan Rajab, Bukan Bulan B
(Alif Budi Luhur)
Khotbah I
. .
. .
.
: .
. :
"Ada tiga hal yang bisa menyelamatkan dan tiga hal yang bisa merusak. Yang
menyelamatkan antara lain (1) takwa kepada Allah dalam sepi maupun ramai, (2) berkata
benar (adil) dalam kondisi ridla maupun marah, dan (3) bersikap sederhana dalam keadaan
)kaya maupun miskin. Sedangkan yang merusak antara lain (1) bakhil yang kelewatan, (2
"nafsu yang diikuti, dan (3) ujub terhadap diri sendiri.
Hadits yang diriwayatkan Imam Baihaqi ini secara tegas menjelaskan sikap-sikap yang saling
bertentangan. Tiga penyakit perilaku yang terahir dapat merusak kemuliaan manusia sebagai
hamba Allah, menjauhkan seseorang dari kebahagiaan akhirat, dan keluar dari kewajaran
hidup sebagai makhluk di dunia. Sementara tiga hal yang pertama justru sebaliknya,
menyelamatkan hamba dari kerusakan-kerusakan itu semua.
Pertama, takwa kepada Allah. Takwa bermakna melaksanakan seluruh perintah kepada Allah
dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Ini merupakan tanggung jawab yang tidak sederhana,
karena menuntut seorang hamba secara total patuh dan pasrah hanya kepada Allah. Sebagaian
kita kerap saling paham bahwa ketika disebut kata takwa maka yang terbayang sekadar
melaksanakan shalat, puasa, haji, dan perkara ubudiyah lainnya. Padahal, takwa mencakup
seluruh gerak lahir dan batin, serta aqidah, syariah, dan akhlak.
Dalam hadits di atas disebut taqwallh fis sirri wal alniyah. Artinya, takwa dalam setiap
keadaan. Takwa menuntut seseorang hanya takut dan malu kepada Allah semata, bukan
kepada yang lain, termasuk kepada atasan atau nafsunya sendiri. Dalam pesan Rasulullah itu,
taqwallh fis sirri wal alniyah bisa dikontraskan dengan perilaku merusak hawa
muttabaun atau hawa nafsu yang dituruti. Inilah yang membuat takwa terasa sangat berat
karena musuh terbesarnya adalah nafsu alias diri sendiri. Pernahkah kita merasakan: kita
terlihat begitu baik dan saleh saat bersama orang lain dan begitu binal dan durhaka saat
sendirian? Di sinilah letak ujian takwa. Takwa tidak mengenal kata sendirian karena ia
berangkat dari keyakinan bahwa seluruh gerak-gerik di dunia ini pasti tak terlepas dari
pengamatan Allah.
Siapa yang bertakwa kepada Allah, Dia akan menjadikan untuknya jalan keluar.
Kedua, berkata benar dalam kondisi ridla maupun marah. Dalam riwayat lain, berlaku adil
dalam kondisi ridla maupun marah (al-adlu fir ridla wal ghadlab). Emosi kita yang pasang-
surut tak boleh menggoyahkan kita untuk tetap berpegang pada kebenaran dan keadilan. Yang
haram tetap haram meskipun kita sangat menginginkannya. Yang halal selalu halal
kendatipun kita tak menyukainya. Hukum juga tak boleh membedakan perlakuan antara si A
dan si B walaupun salah satunya adala seorang pejabat atau orang kaya. Mencaci maki dan
menfitnah tetap terlarang meskipun ditujukan kepada orang yang sangat kita benci lantaran
beda madzhab atau partai. Korupsi mesti disanksi meskipun itu dilakukan oleh kerabat atau
anak sendiri.
Memegang prinsip sangat tergantung kepada cara kita mengelola diri: bagaimana kita mampu
senantiasa rendah hati kepada siapapun tanpa membeda-bedakan pandangan dan sikap
terhadap mereka. Karena itu, karena itu berkata benar dalam segala kondisi ini merupakan
lawan dari perilaku merusak ijbul mari binafsih atau ujub terhadap diri sendiri.
Membanggakan kualitas diri sendiri bisa menjerumuskan seseorang kepada tindak
menyepelekan orang lain, lalu berlaku secara tidak objektif. Merasa paling benar dan paling
baik dapat membawa seseorang tak adil dalam menyikap segala hal. Ujub juga cenderung
mengabaikan bahwa tiap nikmat datang dari Allah subhnahu watal.
Ketiga, sederhana saat kaya maupun miskin. Hal ini menjadi ciri dari kedewasaan seseorang
dalam memaknai kekayaan. Kekayaan tidak diartikan sebagai tujuan (ghyah) melainkan
sebatas sarana (waslah), karenanya penggunaannya pun seyogianya disesuaikan dengan
kebutuhan belaka. Sederhana bukan berarti kekurangan, apalagi berlebihan. Ia berada di
antara sangat irit (pelit) dan mubazir (pemborosan dan hura-hura). Kesederhanaan juga
merupakan cermin dari kepribadian yang sanggup membedakan antara kebutuhan dan
keinginan. Apa yang diinginkan seseorang tak selalu identik dengan keperluannya. Karena
kebutuhan senantiasa mempunyai porsi sementara keinginan luas tak terbatas.
Anjuran hidup sederhana dalam kondisi apapun sangat relevan bila dikaitkan dengan hakikat
harta yang sejatinya karunia Allah. Di dalamnya ada hak untuk dirinya juga untuk orang lain.
Bagi orang miskin, kesederhanaan adalah strategi untuk tetap bersyukur dan wajar dalam
berekonomi. Bagi orang kaya, kesederhanaan adalah pertanda ia tak tenggelam dalam
gemerlap duniawi sekaligus momen berbagi harta lebih yang ia miliki. Jangan sampai kita
menjadi sangat kikir (syuhhun muth), yang menjadi salah satu perilaku merusak dalam
hadits di atas.Bakhil pun tak mesti hanya dilakukan orang yang berharta melimpah. Karena
bakhil selain berkaitan dengan kekayaan, juga perbuatan
Jauhilah perbuatan sangat kikir karena ia merusak orang sebelum kamu. (HR. Abu
Dawud)
Ketiga hal di atas berhubungan saling terkait antara satu dengan yang lain. Meski
terklasifikasi masing-masing tiga sikap, namun sejatinya semua bermuara pada pilihan
apakah kita memosisikan Allah sebagai tempat bergantung dan muara tujuan, ataukah selain-
Nya, termasuk orang lain, kekayaan, dan ego diri sendiri.
Khotbah II
.
.
.
.
.
.
.
. .
. . . . . .
!
.
(Alif Budi Luhur)
Khotbah I
. .
. .
.
: .
. :
"Ada tiga hal yang bisa menyelamatkan dan tiga hal yang bisa merusak. Yang
menyelamatkan antara lain (1) takwa kepada Allah dalam sepi maupun ramai, (2) berkata
benar (adil) dalam kondisi ridla maupun marah, dan (3) bersikap sederhana dalam keadaan
)kaya maupun miskin. Sedangkan yang merusak antara lain (1) bakhil yang kelewatan, (2
"nafsu yang diikuti, dan (3) ujub terhadap diri sendiri.
Hadits yang diriwayatkan Imam Baihaqi ini secara tegas menjelaskan sikap-sikap yang saling
bertentangan. Tiga penyakit perilaku yang terahir dapat merusak kemuliaan manusia sebagai
hamba Allah, menjauhkan seseorang dari kebahagiaan akhirat, dan keluar dari kewajaran
hidup sebagai makhluk di dunia. Sementara tiga hal yang pertama justru sebaliknya,
menyelamatkan hamba dari kerusakan-kerusakan itu semua.
Pertama, takwa kepada Allah. Takwa bermakna melaksanakan seluruh perintah kepada Allah
dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Ini merupakan tanggung jawab yang tidak sederhana,
karena menuntut seorang hamba secara total patuh dan pasrah hanya kepada Allah. Sebagaian
kita kerap saling paham bahwa ketika disebut kata takwa maka yang terbayang sekadar
melaksanakan shalat, puasa, haji, dan perkara ubudiyah lainnya. Padahal, takwa mencakup
seluruh gerak lahir dan batin, serta aqidah, syariah, dan akhlak.
Dalam hadits di atas disebut taqwallh fis sirri wal alniyah. Artinya, takwa dalam setiap
keadaan. Takwa menuntut seseorang hanya takut dan malu kepada Allah semata, bukan
kepada yang lain, termasuk kepada atasan atau nafsunya sendiri. Dalam pesan Rasulullah itu,
taqwallh fis sirri wal alniyah bisa dikontraskan dengan perilaku merusak hawa
muttabaun atau hawa nafsu yang dituruti. Inilah yang membuat takwa terasa sangat berat
karena musuh terbesarnya adalah nafsu alias diri sendiri. Pernahkah kita merasakan: kita
terlihat begitu baik dan saleh saat bersama orang lain dan begitu binal dan durhaka saat
sendirian? Di sinilah letak ujian takwa. Takwa tidak mengenal kata sendirian karena ia
berangkat dari keyakinan bahwa seluruh gerak-gerik di dunia ini pasti tak terlepas dari
pengamatan Allah.
Siapa yang bertakwa kepada Allah, Dia akan menjadikan untuknya jalan keluar.
Kedua, berkata benar dalam kondisi ridla maupun marah. Dalam riwayat lain, berlaku adil
dalam kondisi ridla maupun marah (al-adlu fir ridla wal ghadlab). Emosi kita yang pasang-
surut tak boleh menggoyahkan kita untuk tetap berpegang pada kebenaran dan keadilan. Yang
haram tetap haram meskipun kita sangat menginginkannya. Yang halal selalu halal
kendatipun kita tak menyukainya. Hukum juga tak boleh membedakan perlakuan antara si A
dan si B walaupun salah satunya adala seorang pejabat atau orang kaya. Mencaci maki dan
menfitnah tetap terlarang meskipun ditujukan kepada orang yang sangat kita benci lantaran
beda madzhab atau partai. Korupsi mesti disanksi meskipun itu dilakukan oleh kerabat atau
anak sendiri.
Memegang prinsip sangat tergantung kepada cara kita mengelola diri: bagaimana kita mampu
senantiasa rendah hati kepada siapapun tanpa membeda-bedakan pandangan dan sikap
terhadap mereka. Karena itu, karena itu berkata benar dalam segala kondisi ini merupakan
lawan dari perilaku merusak ijbul mari binafsih atau ujub terhadap diri sendiri.
Membanggakan kualitas diri sendiri bisa menjerumuskan seseorang kepada tindak
menyepelekan orang lain, lalu berlaku secara tidak objektif. Merasa paling benar dan paling
baik dapat membawa seseorang tak adil dalam menyikap segala hal. Ujub juga cenderung
mengabaikan bahwa tiap nikmat datang dari Allah subhnahu watal.
Ketiga, sederhana saat kaya maupun miskin. Hal ini menjadi ciri dari kedewasaan seseorang
dalam memaknai kekayaan. Kekayaan tidak diartikan sebagai tujuan (ghyah) melainkan
sebatas sarana (waslah), karenanya penggunaannya pun seyogianya disesuaikan dengan
kebutuhan belaka. Sederhana bukan berarti kekurangan, apalagi berlebihan. Ia berada di
antara sangat irit (pelit) dan mubazir (pemborosan dan hura-hura). Kesederhanaan juga
merupakan cermin dari kepribadian yang sanggup membedakan antara kebutuhan dan
keinginan. Apa yang diinginkan seseorang tak selalu identik dengan keperluannya. Karena
kebutuhan senantiasa mempunyai porsi sementara keinginan luas tak terbatas.
Anjuran hidup sederhana dalam kondisi apapun sangat relevan bila dikaitkan dengan hakikat
harta yang sejatinya karunia Allah. Di dalamnya ada hak untuk dirinya juga untuk orang lain.
Bagi orang miskin, kesederhanaan adalah strategi untuk tetap bersyukur dan wajar dalam
berekonomi. Bagi orang kaya, kesederhanaan adalah pertanda ia tak tenggelam dalam
gemerlap duniawi sekaligus momen berbagi harta lebih yang ia miliki. Jangan sampai kita
menjadi sangat kikir (syuhhun muth), yang menjadi salah satu perilaku merusak dalam
hadits di atas.Bakhil pun tak mesti hanya dilakukan orang yang berharta melimpah. Karena
bakhil selain berkaitan dengan kekayaan, juga perbuatan
Jauhilah perbuatan sangat kikir karena ia merusak orang sebelum kamu. (HR. Abu
Dawud)
Ketiga hal di atas berhubungan saling terkait antara satu dengan yang lain. Meski
terklasifikasi masing-masing tiga sikap, namun sejatinya semua bermuara pada pilihan
apakah kita memosisikan Allah sebagai tempat bergantung dan muara tujuan, ataukah selain-
Nya, termasuk orang lain, kekayaan, dan ego diri sendiri.
Khotbah II
.
.
.
.
.
.
.
. .
. . . . . .
!
.
(Alif Budi Luhur)
Khotbah I
. .
. .
.
: .
. :
"Ada tiga hal yang bisa menyelamatkan dan tiga hal yang bisa merusak. Yang
menyelamatkan antara lain (1) takwa kepada Allah dalam sepi maupun ramai, (2) berkata
benar (adil) dalam kondisi ridla maupun marah, dan (3) bersikap sederhana dalam keadaan
)kaya maupun miskin. Sedangkan yang merusak antara lain (1) bakhil yang kelewatan, (2
"nafsu yang diikuti, dan (3) ujub terhadap diri sendiri.
Hadits yang diriwayatkan Imam Baihaqi ini secara tegas menjelaskan sikap-sikap yang saling
bertentangan. Tiga penyakit perilaku yang terahir dapat merusak kemuliaan manusia sebagai
hamba Allah, menjauhkan seseorang dari kebahagiaan akhirat, dan keluar dari kewajaran
hidup sebagai makhluk di dunia. Sementara tiga hal yang pertama justru sebaliknya,
menyelamatkan hamba dari kerusakan-kerusakan itu semua.
Pertama, takwa kepada Allah. Takwa bermakna melaksanakan seluruh perintah kepada Allah
dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Ini merupakan tanggung jawab yang tidak sederhana,
karena menuntut seorang hamba secara total patuh dan pasrah hanya kepada Allah. Sebagaian
kita kerap saling paham bahwa ketika disebut kata takwa maka yang terbayang sekadar
melaksanakan shalat, puasa, haji, dan perkara ubudiyah lainnya. Padahal, takwa mencakup
seluruh gerak lahir dan batin, serta aqidah, syariah, dan akhlak.
Dalam hadits di atas disebut taqwallh fis sirri wal alniyah. Artinya, takwa dalam setiap
keadaan. Takwa menuntut seseorang hanya takut dan malu kepada Allah semata, bukan
kepada yang lain, termasuk kepada atasan atau nafsunya sendiri. Dalam pesan Rasulullah itu,
taqwallh fis sirri wal alniyah bisa dikontraskan dengan perilaku merusak hawa
muttabaun atau hawa nafsu yang dituruti. Inilah yang membuat takwa terasa sangat berat
karena musuh terbesarnya adalah nafsu alias diri sendiri. Pernahkah kita merasakan: kita
terlihat begitu baik dan saleh saat bersama orang lain dan begitu binal dan durhaka saat
sendirian? Di sinilah letak ujian takwa. Takwa tidak mengenal kata sendirian karena ia
berangkat dari keyakinan bahwa seluruh gerak-gerik di dunia ini pasti tak terlepas dari
pengamatan Allah.
Siapa yang bertakwa kepada Allah, Dia akan menjadikan untuknya jalan keluar.
Kedua, berkata benar dalam kondisi ridla maupun marah. Dalam riwayat lain, berlaku adil
dalam kondisi ridla maupun marah (al-adlu fir ridla wal ghadlab). Emosi kita yang pasang-
surut tak boleh menggoyahkan kita untuk tetap berpegang pada kebenaran dan keadilan. Yang
haram tetap haram meskipun kita sangat menginginkannya. Yang halal selalu halal
kendatipun kita tak menyukainya. Hukum juga tak boleh membedakan perlakuan antara si A
dan si B walaupun salah satunya adala seorang pejabat atau orang kaya. Mencaci maki dan
menfitnah tetap terlarang meskipun ditujukan kepada orang yang sangat kita benci lantaran
beda madzhab atau partai. Korupsi mesti disanksi meskipun itu dilakukan oleh kerabat atau
anak sendiri.
Memegang prinsip sangat tergantung kepada cara kita mengelola diri: bagaimana kita mampu
senantiasa rendah hati kepada siapapun tanpa membeda-bedakan pandangan dan sikap
terhadap mereka. Karena itu, karena itu berkata benar dalam segala kondisi ini merupakan
lawan dari perilaku merusak ijbul mari binafsih atau ujub terhadap diri sendiri.
Membanggakan kualitas diri sendiri bisa menjerumuskan seseorang kepada tindak
menyepelekan orang lain, lalu berlaku secara tidak objektif. Merasa paling benar dan paling
baik dapat membawa seseorang tak adil dalam menyikap segala hal. Ujub juga cenderung
mengabaikan bahwa tiap nikmat datang dari Allah subhnahu watal.
Ketiga, sederhana saat kaya maupun miskin. Hal ini menjadi ciri dari kedewasaan seseorang
dalam memaknai kekayaan. Kekayaan tidak diartikan sebagai tujuan (ghyah) melainkan
sebatas sarana (waslah), karenanya penggunaannya pun seyogianya disesuaikan dengan
kebutuhan belaka. Sederhana bukan berarti kekurangan, apalagi berlebihan. Ia berada di
antara sangat irit (pelit) dan mubazir (pemborosan dan hura-hura). Kesederhanaan juga
merupakan cermin dari kepribadian yang sanggup membedakan antara kebutuhan dan
keinginan. Apa yang diinginkan seseorang tak selalu identik dengan keperluannya. Karena
kebutuhan senantiasa mempunyai porsi sementara keinginan luas tak terbatas.
Anjuran hidup sederhana dalam kondisi apapun sangat relevan bila dikaitkan dengan hakikat
harta yang sejatinya karunia Allah. Di dalamnya ada hak untuk dirinya juga untuk orang lain.
Bagi orang miskin, kesederhanaan adalah strategi untuk tetap bersyukur dan wajar dalam
berekonomi. Bagi orang kaya, kesederhanaan adalah pertanda ia tak tenggelam dalam
gemerlap duniawi sekaligus momen berbagi harta lebih yang ia miliki. Jangan sampai kita
menjadi sangat kikir (syuhhun muth), yang menjadi salah satu perilaku merusak dalam
hadits di atas.Bakhil pun tak mesti hanya dilakukan orang yang berharta melimpah. Karena
bakhil selain berkaitan dengan kekayaan, juga perbuatan
Jauhilah perbuatan sangat kikir karena ia merusak orang sebelum kamu. (HR. Abu
Dawud)
Ketiga hal di atas berhubungan saling terkait antara satu dengan yang lain. Meski
terklasifikasi masing-masing tiga sikap, namun sejatinya semua bermuara pada pilihan
apakah kita memosisikan Allah sebagai tempat bergantung dan muara tujuan, ataukah selain-
Nya, termasuk orang lain, kekayaan, dan ego diri sendiri.
Khotbah II
.
.
.
.
.
.
.
. .
. . . . . .
!
.
(Alif Budi Luhur)
PrevNext
PrevNext
Baca Juga
Menyikapi Harta secara Tepat
Tabayyun sebagai Ajaran Islam
Mencari Keberkahan Hidup
Syukur sebagai Wujud Bertauhid
Kiai Masdar: Khotbah Jumat Jangan Lama
Launching KartaNU
Terkomentari
10
Pesan Rasulullah Menjelang Ramadhan
KONTAK REDAKSI
PERIKLANAN
MEDIA PARTNER
2015 NU Online. All rights reserved. Nahdlatul Ulama