You are on page 1of 9

PROFESIONALISEM BERBASIS JABATAN POLISI

Apa Itu Profesionalisme Polisi?


Dalam Kamus besar bahasa Indonesia, profesionalisme berasal dari kata dasar
profesi yang berarti sebagai pekerjaan dengan pendidikan dan keahlian tertentu yang
memerlukan kepandaian khusus dengan sistem penggajian terukur.
Menurut Albert J. Reiss Jr, profesi pada dasarnya memiliki karakteristik yang
tidak cukup dicerminkan melalui penguasaan pengetahuan, akan tetapi juga dipengaruhi
pada hubungan pelaku profesi dan kliennya yang merupakan konsep inti (core
conception) suatu profesi. Oleh karena itu, berdasarkan pada hubungan pelaku profesi
dan kliennya, Albert J. Reiss mengatakan bahwa berbagai pekerjaan yang benar-benar
berkualitas profesi yaitu seperti hukum, dokter, dan polisi. sedangkan yang lainnya
hanyalah berupa status.
Jika disimpulkan bahwa polisi merupakan profesi maka profesi polisi tersebut
haruslah dilaksanakan secara profesionalisme. Dalam artian bahwa sebagai profesi
dibutuhkan upaya pemolisian profesi, karena polisi merupakan suatu pekerjaan yang
memiliki status sosial yang tinggi dan bergengsi. Seorang polisi yang profesionalisme
digambarkan sebagai seorang ahli yang memiliki pengetahuan khusus dalam suatu bidang
tertentu yang dianggap penting dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu,
profesionalisme bagi Polisi sangat penting untuk ditingkatkan dan dimantapkan dalam
rangka mewujudkan harapan masyarakat terhadap sosok-sosok polisi yang ideal.

Standardisasi Profesionalisme Polisi


Sebelum profesionalisme muncul sebagai standar yang diterima luas, terlebih dahulu
akan diuraikan kualifikasi polisi yang menunjukkan betapa pekerjaan polisi banyak
berkaitan dengan predeposisi individu para polisi. Coates membedakan 3 (tiga) tipe
(kualifikasi) polisi yaitu:
1. The legalistic abusive officer, yaitu mereka yang menyadari perannya sebagai penjaga
pelindung masyarakat serta nilai-nilai masyarakat, dan dengan cepat menggunakan
kekuatan dan sangat otoriter;
2. The task officer, yang menjalankan tugasnya tanpa menggunakan nilai-nilainya
sendiri dan hanya menjalankan hukum; dan
3. The community service officer, yang tidak menerapkan hukum dan bertindak sebagai
penegak hukum, melainkan berusaha membantu masyarakat dan memecahkan
persoalan.

Pengkualifikasian polisi sebagaimana diungkapkan oleh Coates, secara perlahan


mengalami erosi sehingga dibutuhkan suatu gagasan baru menuju pada profesionalisme
polisi yang tentunya menawarkan berbagai manfaat yang dapat dirasakan langsung oleh
masyarakat. Gagasan perubahan tersebut timbul akibat perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi (IPTEK) yang cepat. Perkembangan IPTEK yang tak dapat dihindarkan,
berimplikasi pada pekerjaan polisi itu sendiri dimana polisi dituntut untuk bersikap
profesionalisme dibidangnya (tidak amatir).

Pemanfaatan IPTEK oleh polisi dalam melaksanakan tugasnya, menimbulkan suatu


konsekuensi tersendiri bahwa IPTEK menjadi salah satu standar bagi penetapan
profesionalisme polisi. Oleh karena itu, standar tersebut mensyaratkan, bahwa: Pertama,
dibutuhkan latihan, ketrampilan, dan kemampuan khusus; Kedua, anggota kepolisian
harus mempunyai komitmen terhadap pekerjaannya; Ketiga, dalam menjalankan
pekerjaannya, polisi membutuhkan suatu tingkat otonomi tertentu.

Penetapan IPTEK sebagai salah satu standardisasi profesionalisme polisi, lebih


ditekankan pada kaidah bahwa modus operandi kejahatan semakin beragam sehingga
dibutuhkan langkah-langkah pencegahan yang mumpuni. IPTEK yang terus
berkembang pada babakan abad ke-20 dan ke-21 haruslah secara signifikan dapat
diselaraskan dengan kaidah-kaidah teoritik dalam ilmu kepolisian dimana konsep pelayan
masyarakat juga harus disinkronkan. Disamping IPTEK, standardisasi profesionelisme
polisi dapat dilihat pada tiga parameter sebagaimana yang dikemukan oleh Sullivan,
sebagai berikut:

1. Well Motivation, yaitu seorang polisi harus memiliki motivasi yang baik dalam
menjalankan tugasnya;
2. Well Education, yaitu seorang polisi harsu memiliki jenjang pendidikan yang
baik seperti, Diploma, Sarjana (S1, S2, dan S3);
3. Well Salary, seorang polisi harus lah digaji dengan bayaran yang memadai
untuk menunjang pekerjaanya sehingga tidak cenderung untuk korupsi.
Well Motivation
Motivasi menjadi elemen penting yang tidak boleh dikesampingkan. Motivasi
yang baik dari seseorang sebelum mengeluti pekerjaanya akan menentukan apa
yang akan dilakukan oleh tersebut di masa yang akan datang. Oleh karena itu,
seorang polisi haruslah memiliki motivasi untuk mengabdikan dirinya sebagai
polisi dengan tantangan dan tugas yang berat. Sebagai polisi, seseorang dituntut
kesiapan mental dan fisik baik dalam konteks melayani masyarakat maupun
dalam konteks penanganan kerusuhan dan tindakan criminal lainnya

Well Salary
Gaji selalu menjadi isu sensitif ketika menuntut suatu hasil yang
maksimal. Fakta menunjukkan bahwa gaji polisi masih sangat kecil dibanding
dengan penegak hukum lainnya seperti hakim dan jaksa.Disamping 3 (tiga) hal
yang merupakan standardisasi profesionalisme polisi sebagaimana dikemukan
oleh Sullivan di atas, Anton Tabah menambahkan 2 (dua) standardisasi lain yaitu
well trained dan well equipments. Well Trained diartikan sebagai seorang polisi
harus dibekali dengan pelatihan secara terus menerus melalui proses managerial
yang ketat agar pendidikan dan pelatihan yang sinkron mampu menjawab
tantangan kepolisian yang actual dan tantangan di masa depan

Well Equipments

tersediannya sarana dan prasarana yang cukup bagi institusi kepolisian


serta penyediaan sistem dan sarana teknologi kepolisian yang baik agar seorang
polisi dapat menjalankan tugas dengan baik. Penetapan standardisasi
profesionalisme polisi sebagaimana disepakati para pakar dan berlaku dalam
praktek, telah menjadi acuan bagi penetapan ukuran profesionalisme di hampir
seluruh negara-negara di dunia. Amerika Serikat misalnya, menetapkan
standardisasi profesionalisme polisinya dengan mengemukan 4 (empat) kriteria
seperti pelaksanaan tugas kepolisian secara ilmiah, petugas polisi haruslah
terpelajar, mempunyai integritas profesionali, dan pemusatan pelayanan
kepolisian dan konsilidasi satuan kepolisian sebagai unsur utama peningkatan
efektifitas.

Profesionalisme Kepolisian Republik Indonesia (POLRI)


Menakar standardisasi profesionalisme Polri tentunya berkiblat pada standardisasi
yang sama sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya. Akan tetapi, penjabaran
kriteria-kriteria tersebut tidaklah semudah yang tertulis. bentrok aparat kepolisian dengan
mahasiswa di kampus UNAS, insiden kekerasan di Monas yang ditengarai sebagai akibat
politik pembiaran dari kepolisian, serta hasil survei persepsi korupsi dari Tranparansi
Internasional Indonesia (TII) yang menempatkan Polri sebagai institusi terkorup di
Indonesia setelah DPR, Lembaga Peradilan dan Partai Politik adalah fakta yang tidak
dapat dielakkan betapa standardisasi profesionalisme Polri masih terus berproses untuk
menemukan strategi yang tepat dalam pengimplementasiaannya.
Perumusan strategi pelaksanaan standardisasi profesionalisme Polri yang terus
dilakukan Polri, dimaksudkan untuk memenuhi harapan masyarakat yang membutuhkan
polisi yang ramah dan lemah lembut dalam pelayanan serta tegas dalam penegakan
hukum dapat tercapai. Oleh karena itu, langkah-langkah konkrit terus dilakukan oleh
Polri untuk mencapai out-put sebagaimana yang diamanahkan oleh UU Nomor 2 Tahun
2002, termasuk dengan menekankan pada perlunya aspek pembinaan profesi Polri.
Ketentuan pembinaan profesi Polri dapat ditemukan pada Pasal 34 UU No.2 Tahun 2002,
yaitu:
1. Sikap dan prilaku pejabat Polri terikat pada Kode Etik Profesi Polri.
2. Kode Etik Profesi Polri dapat menjadi pedoman bagi pengemban fungsi kepolisian
lainnya dalam melaksanakan tugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dilingkungannya.
3. Ketentuan tentang Kode Etik Profesi Polri lebih lanjut diatur dengan Keputusan
Kapolri.

Penegasan pembinaan profesi Polri adalah sebuah sinyal bahwa Polri terus
berbenah terhadap kinerja Polri yang berfluktuasi dalam pencapaian prestasi kerja.
Memahami bahwa profesi Polisi harus diselenggarakan professional, tuntutan mendasar
yang harus terpenuhi agar profesionalisme Polri dapat terwujud maka dapat dimulai dari
proses rekrutmen anggota polisi yang baik (professional), yang kemudiaan anggota polisi
tersebut dilengkapi dengan pendidikan dan pelatihan yang memadai serta ditunjang
dengan sistem promosi dan analisis jabatan dalam tubuh Polri yang juga baik.

Persoalan rekrutmen anggota Polri disadari merupakan masalah pokok yang harus
selalu mendapat perhatian serius dalam melaksanakan profesionalisme Polri. rekrutmen
anggota Polri pada dasarnya telah dilakukan analisis jabatan yang berupa syarat
administrasi, pendidikan, kesehatan, psikotes, dan berbagai tes lainnya. Akan tetapi
dalam proses penentuan kelulusan dan tahap-tahap ujian yang dilalui masih terbuka
peluang bagi adanya intervensi oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.

Prilaku oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab tersebut dapat disebabkan oleh
lemahnya pengawasan yang dilakukan selama proses rekrutmen baik yang dilakukan oleh
pejabat yang berwenang maupun masyarakat. Hal ini mengakibatkan check dan balance
dalam konteks melaksanakan fungsi kontrol tidak berjalan optimal.

Disamping faktor pengawasan yang rendah dalam pencapaian profesionalisme Polri,


hal lain yang tidak kalah pentingnya untuk ditekankan dalam optimalisasi
profesionalisme Polri yaitu komitmen moral. Menurut Pudi Rahardi, komitmen moral
tersebut dapat ditemukan pada perumusan ciri-ciri profesionalisme Polri, sebagai berikut:

1. Jujur, taat terhadap kewajiban dan senantiasa menghormati hak-hak orang lain.
2. Tekad dalam jiwanya, setiap amal perbuatan dilandasi oleh niat untuk beribadah dan
merupakan pengabdian dirinya kepada dan bagi kepentingan orang lain sebagai bukti
adanya kepedulian terhadap lingkungan sekitarnya.
3. Memiliki sifat, watak dan akhlak serta kepribadiaan dengan baik yang berlandaskan
pada Taqwa dan beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa.
4. Amal perbuatannya senantiasa diawali dengan niat dan itikad baik dan untuk
mencapai tujuan dilakukan dengan cara yang baik dan benar.
5. Tidak akan bernat jelek terhadap tugas yang dipercayakan kepadanya, baik yang
diamanahkan oleh masyarakat maupun amanah bangsa dan negara sesuai dengan
hukum yang berlaku.
6. Memiliki kebanggaan pada profesinya dengan mendahulukan kepentingan umum
daripada kepentingan pribadinya.

Berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah bahwa komitmen moral memegang peranan
penting yang hakekatnya bukan hanya mengikat anggota Polri akan tetapi juga mengikat
para pimpinan Polri. Dalam hal ini, pimpinan Polri menetapkan bahwa pejabat Polri
harus memenuhi langkah-langkah sebagai berikut:

1. Upaya penertiban setiap pejabat Polri yang mengemban fungsi reserse, dengan cara
memberikan tanda pengenal sebagai pejabat penyidik yang dimaksudkan untuk
memberikan jaminan kepastian kepada masyarakat bahwa dirinya berhadapan petugas
resmi.
2. Penataran pengawasan melekat (waskat) kepada eselon pimpinan di lingkungan Polri
dengan tujuan terciptanya mekanisme pengawasan di lingkungan kerjanya.
Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bawa
standardisasi profesionalisme Polri yaitu: Well Motivation; well Education;Well
Salary; Well Trained; Well Equipments; Fungsi Pengawasan; dan Komitmen Moral.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Profesionalisme Polri


Seusai membingkai standardisasi profesionalisme Polri, hal terpenting yang
menarik untuk didiskusikan adalah faktor-faktor yang mempengaruhi profesionalisme
Polri baik yang berasal dari eksternal maupun internal Polri. Faktor-faktor tersebut
adalah:
1. Integritas Institusi
Lahirnya Tap MPR Nomor VI/2000 Tentang Pemisahan TNI dan Polri merupakan
momentum institusional yang menunjukkan eksistensi Polri sebagai penegak hukum
yang mandiri atau otonom. Akan tetapi, 10 tahun pasca pemisahan secara institusional
dampak atau pengaruh pengabungan TNI dan Polri masih sangat terasa. Hal ini dapat
ditemukan pada proses penanganan kasus-kasus kamtibmas yang dilakukan Polri
yang masih cenderung mengadopsi sisi desktrutifitas dalam penegakan hukum
dibandingkan mengedepankan fungsi pengayom, pelindung, dan pelayan masyarakat.
Oleh karena itu, secara institusi (birokrasi) Polri harus terus melakukan
reorganisasi dalam tubuh Polri mulai dari tingkat markas besar (MABES) hingga
tingkat wilayah. Sehingga secara institusi Polri perlahan tapi pasti dapat mensterilkan
diri dari bias penggabungan TNI dan Polri yang pernah terjadi di masa lampau.
Sebagai langkah nyata komitmen tersebut dapat dilihat pada upaya Polri di bidang
instrumental, untuk melakukan penyempurnaan berbagai petunjuk pelaksanaan tugas
dan pedoman kerja Polri sampai pada tataran operasional taktik dan teknik profesi
kepolisian.
Reformasi institusi Polri tersebut diupayakan akan mempercepat pencapaian
profesionalisme Polri, apalagi tuntutan zaman yang mengharuskan Polri dapat
mengikuti dinamika masyarakat yang dalam setiap perubahan mengusung tema-tema
HAM dan demokrasi. Tentunya, kompleksitas tema-tema HAM dan demokrasi, tidak
hanya menjadi urusan lembaga kepolisian dalam konstelasi politik, akan tetapi juga
terletak pada strategis penglibatan personil polisi yang bertugas sehari-hari sehingga
para personil tersebut sanggup menjabarkan dan mempertanggungjawabkan
implementasi HAM dan demokrasi secara rasional, argumentatif, dan sesuai dengan
hukum yang berlaku.
Jika disepakati bahwa integritas kelembagaan Polri sangatlah penting untuk
mendukung profesionalisme Polri secara organisasi, maka pekerjaan dan organisasi
Polri harus berubah menuju pekerjaan yang berbasis pengetahuan (knowledge based
works), dan sumber daya manusia (SDM) yang juga turut berubah kearah pekerja
yang berpengetahuan (knowledge workers) serta ditunjang dengan tugas pekerjaan
yang bersifat inovasi dan perhatian (innovation and caring).

2. Netralitas
Profesionalisme Polri harus dapat memberi jawaban terhadap tantangan dan
tuntutan masyarakat abad ke-21 yang mendasarkan aktifitasnya pada IPTEK. Sejalan
dengan perubahan tersebut, bidang dan atau sektor kehidupan dalam masyarakat juga
bergerak menyesuaikan diri secara signifikan baik dalam bidang ekonomi, sosial,
politik, dan lainnya. sehingga out-put pekerjaan yang harapkan berbasis pada
rasionalitas dan efisiensi.
Oleh karena itu, merunut sejarah kepolisian bahwa sukses awal dalam rangka
menciptakan profesionalisme adalah dengan melepaskan diri dari pengaruh politik
dan partisian politik, atau dengan kata lain netral. Netralitas dalam hal ini diartikan
sebagai penempatan Polri sebagai pelayan publik bagi semua golongan masyarakat,
bukan lagi terkait dengan satu atau lain golongan dalam masyarakat.
Terkait dengan netralitas Polri, ujian telah menanti di tahun 2009 ketika
perhelatan Pemilihan Umum (pemilu) digelar. sorotan tajam sekaligus sinis akan
kembali dialamatkan pada Polri apakah Polri akan mampu menetralitaskan dirinya
atau kemudian sebaliknya. Tentunya disadari bahwa Polri pada hakekatnya adalah
institusi penegak hukum dan pelayan publik yang netral, akan tetapi realitas
menunjukkan bahwa banyak kendala yang timbul ketika netralitas Polri dari dimensi
politik akan diwujudkan khususnya dalam menghadapi daya tahan , tekanan dan
intervensi politik kekuasaan.

Strategi Memantapkan Profesionalisme Polri


Seusai mengurai dan menganalisis standardisasi profesionalisme Polri dan faktor-
faktor yang mempengaruhinya, maka dibagian akhir tulisan ini akan menawarkan strategi
yang dibutuhkan dalam mengokohkan standardisasi profesionalsime Polri yang telah
ditetapkan. Beberapa strategi yang digunakan yaitu dengan melakukan pergeseran
paradigma Polri menuju kultur polisi sipil. Paradigma kultur polisi sipil ditetapkan
dengan menggunakan indikator sebagai berikut:
1. Transparansi, bahwa semua kinerja Polri bersifat open manajemen dan dapat
dilakukan audit baik oleh masyarakat maupun oleh lembaga independent dan
profesionalisme lainnya.
2. Akuntabilitas, bahwa dalam setiap pelaksanaan tugas dapat dipertanggungjawabkan
kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.
3. Demokratis, bahwa segala bentuk tugas kepolisian mencerminkan pemahaman yang
mendalam atas nilai-nilai demokratis.
4. Memiliki komitmen untuk mewujudkan supremasi hukum.
5. Menjunjung tinggi HAM.
6. Bersifat protagonist, bahwa setiap tindakan yang dilakukan berorientasi kepada
kepentingan masyarakat.
7. Bersifat responsif, adil, tidak diskriminatif,dan profesionalisme modern.

Oleh karena itu, jika paradigma kultur polisi sipil itu dapat terwujud maka
profesionalisme Polri akan berujung pada lahirnya sikap dan prilaku polisi sipil sebagai
pelayan masyarakat yang transparan, tidak diskriminnatif dan menjunjung tinggi standar
pelayanan prima. Tentunya, disadari bahwa perubahan paradigma Polri ini akan
membutuhkan waktu dalam pengimplementasiaan. Mind-set Polri sebagai the strong
hand of society yang telah tertanam kokoh selama ini harus diubah menuju the soft hand
of society The soft hand of society mengedepankan program kemitraan antara Polri dan
masyarakat. Dalam konteks ini, Polri dan rakyat berada dalam level yang sama dan
berhubungan secara horizontal, dimana Polri mengemban tugas untuk mengayomi,
melindungi, membimbing, dan melayani masyarakat. Sehingga, jika kaidah the soft hand
of society dapat diwujudkan maka sorotan tajam terhadap kinerja Polri yang selama ini
ditujukan ke institusi Polri akan tereliminasi dengan sendirinya.

Penutup

Perubahan paradigma Polri menuju polisi sipil yang profesionalis, modern dan
demokratis adalah sesuatu kebutuhan yang harus segera dipenuhi oleh Polri dalam rangka
mewujudkan fungsi penegakan hukum dan pelayanan masyarakat. Oleh karena itu,
profesionalisme Polri diarahkan melalui pendekatan multi-dimensional dalam
meningkatkan kualitas personil Polri dengan menekankan pada well motivation; well
education; well salary; well trained; well equipments; fungsi pengawasan; dan komitmen
moral.

SUMBER

www.negarahukum.com/hukum/profesionalisme-polri.html

www.e-jurnal.com/2013/12/profesionalisme-polisi-dalam-penegakan.html

You might also like