Professional Documents
Culture Documents
Profesionalisme Polisi
Profesionalisme Polisi
1. Well Motivation, yaitu seorang polisi harus memiliki motivasi yang baik dalam
menjalankan tugasnya;
2. Well Education, yaitu seorang polisi harsu memiliki jenjang pendidikan yang
baik seperti, Diploma, Sarjana (S1, S2, dan S3);
3. Well Salary, seorang polisi harus lah digaji dengan bayaran yang memadai
untuk menunjang pekerjaanya sehingga tidak cenderung untuk korupsi.
Well Motivation
Motivasi menjadi elemen penting yang tidak boleh dikesampingkan. Motivasi
yang baik dari seseorang sebelum mengeluti pekerjaanya akan menentukan apa
yang akan dilakukan oleh tersebut di masa yang akan datang. Oleh karena itu,
seorang polisi haruslah memiliki motivasi untuk mengabdikan dirinya sebagai
polisi dengan tantangan dan tugas yang berat. Sebagai polisi, seseorang dituntut
kesiapan mental dan fisik baik dalam konteks melayani masyarakat maupun
dalam konteks penanganan kerusuhan dan tindakan criminal lainnya
Well Salary
Gaji selalu menjadi isu sensitif ketika menuntut suatu hasil yang
maksimal. Fakta menunjukkan bahwa gaji polisi masih sangat kecil dibanding
dengan penegak hukum lainnya seperti hakim dan jaksa.Disamping 3 (tiga) hal
yang merupakan standardisasi profesionalisme polisi sebagaimana dikemukan
oleh Sullivan di atas, Anton Tabah menambahkan 2 (dua) standardisasi lain yaitu
well trained dan well equipments. Well Trained diartikan sebagai seorang polisi
harus dibekali dengan pelatihan secara terus menerus melalui proses managerial
yang ketat agar pendidikan dan pelatihan yang sinkron mampu menjawab
tantangan kepolisian yang actual dan tantangan di masa depan
Well Equipments
Penegasan pembinaan profesi Polri adalah sebuah sinyal bahwa Polri terus
berbenah terhadap kinerja Polri yang berfluktuasi dalam pencapaian prestasi kerja.
Memahami bahwa profesi Polisi harus diselenggarakan professional, tuntutan mendasar
yang harus terpenuhi agar profesionalisme Polri dapat terwujud maka dapat dimulai dari
proses rekrutmen anggota polisi yang baik (professional), yang kemudiaan anggota polisi
tersebut dilengkapi dengan pendidikan dan pelatihan yang memadai serta ditunjang
dengan sistem promosi dan analisis jabatan dalam tubuh Polri yang juga baik.
Persoalan rekrutmen anggota Polri disadari merupakan masalah pokok yang harus
selalu mendapat perhatian serius dalam melaksanakan profesionalisme Polri. rekrutmen
anggota Polri pada dasarnya telah dilakukan analisis jabatan yang berupa syarat
administrasi, pendidikan, kesehatan, psikotes, dan berbagai tes lainnya. Akan tetapi
dalam proses penentuan kelulusan dan tahap-tahap ujian yang dilalui masih terbuka
peluang bagi adanya intervensi oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Prilaku oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab tersebut dapat disebabkan oleh
lemahnya pengawasan yang dilakukan selama proses rekrutmen baik yang dilakukan oleh
pejabat yang berwenang maupun masyarakat. Hal ini mengakibatkan check dan balance
dalam konteks melaksanakan fungsi kontrol tidak berjalan optimal.
1. Jujur, taat terhadap kewajiban dan senantiasa menghormati hak-hak orang lain.
2. Tekad dalam jiwanya, setiap amal perbuatan dilandasi oleh niat untuk beribadah dan
merupakan pengabdian dirinya kepada dan bagi kepentingan orang lain sebagai bukti
adanya kepedulian terhadap lingkungan sekitarnya.
3. Memiliki sifat, watak dan akhlak serta kepribadiaan dengan baik yang berlandaskan
pada Taqwa dan beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa.
4. Amal perbuatannya senantiasa diawali dengan niat dan itikad baik dan untuk
mencapai tujuan dilakukan dengan cara yang baik dan benar.
5. Tidak akan bernat jelek terhadap tugas yang dipercayakan kepadanya, baik yang
diamanahkan oleh masyarakat maupun amanah bangsa dan negara sesuai dengan
hukum yang berlaku.
6. Memiliki kebanggaan pada profesinya dengan mendahulukan kepentingan umum
daripada kepentingan pribadinya.
Berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah bahwa komitmen moral memegang peranan
penting yang hakekatnya bukan hanya mengikat anggota Polri akan tetapi juga mengikat
para pimpinan Polri. Dalam hal ini, pimpinan Polri menetapkan bahwa pejabat Polri
harus memenuhi langkah-langkah sebagai berikut:
1. Upaya penertiban setiap pejabat Polri yang mengemban fungsi reserse, dengan cara
memberikan tanda pengenal sebagai pejabat penyidik yang dimaksudkan untuk
memberikan jaminan kepastian kepada masyarakat bahwa dirinya berhadapan petugas
resmi.
2. Penataran pengawasan melekat (waskat) kepada eselon pimpinan di lingkungan Polri
dengan tujuan terciptanya mekanisme pengawasan di lingkungan kerjanya.
Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bawa
standardisasi profesionalisme Polri yaitu: Well Motivation; well Education;Well
Salary; Well Trained; Well Equipments; Fungsi Pengawasan; dan Komitmen Moral.
2. Netralitas
Profesionalisme Polri harus dapat memberi jawaban terhadap tantangan dan
tuntutan masyarakat abad ke-21 yang mendasarkan aktifitasnya pada IPTEK. Sejalan
dengan perubahan tersebut, bidang dan atau sektor kehidupan dalam masyarakat juga
bergerak menyesuaikan diri secara signifikan baik dalam bidang ekonomi, sosial,
politik, dan lainnya. sehingga out-put pekerjaan yang harapkan berbasis pada
rasionalitas dan efisiensi.
Oleh karena itu, merunut sejarah kepolisian bahwa sukses awal dalam rangka
menciptakan profesionalisme adalah dengan melepaskan diri dari pengaruh politik
dan partisian politik, atau dengan kata lain netral. Netralitas dalam hal ini diartikan
sebagai penempatan Polri sebagai pelayan publik bagi semua golongan masyarakat,
bukan lagi terkait dengan satu atau lain golongan dalam masyarakat.
Terkait dengan netralitas Polri, ujian telah menanti di tahun 2009 ketika
perhelatan Pemilihan Umum (pemilu) digelar. sorotan tajam sekaligus sinis akan
kembali dialamatkan pada Polri apakah Polri akan mampu menetralitaskan dirinya
atau kemudian sebaliknya. Tentunya disadari bahwa Polri pada hakekatnya adalah
institusi penegak hukum dan pelayan publik yang netral, akan tetapi realitas
menunjukkan bahwa banyak kendala yang timbul ketika netralitas Polri dari dimensi
politik akan diwujudkan khususnya dalam menghadapi daya tahan , tekanan dan
intervensi politik kekuasaan.
Oleh karena itu, jika paradigma kultur polisi sipil itu dapat terwujud maka
profesionalisme Polri akan berujung pada lahirnya sikap dan prilaku polisi sipil sebagai
pelayan masyarakat yang transparan, tidak diskriminnatif dan menjunjung tinggi standar
pelayanan prima. Tentunya, disadari bahwa perubahan paradigma Polri ini akan
membutuhkan waktu dalam pengimplementasiaan. Mind-set Polri sebagai the strong
hand of society yang telah tertanam kokoh selama ini harus diubah menuju the soft hand
of society The soft hand of society mengedepankan program kemitraan antara Polri dan
masyarakat. Dalam konteks ini, Polri dan rakyat berada dalam level yang sama dan
berhubungan secara horizontal, dimana Polri mengemban tugas untuk mengayomi,
melindungi, membimbing, dan melayani masyarakat. Sehingga, jika kaidah the soft hand
of society dapat diwujudkan maka sorotan tajam terhadap kinerja Polri yang selama ini
ditujukan ke institusi Polri akan tereliminasi dengan sendirinya.
Penutup
Perubahan paradigma Polri menuju polisi sipil yang profesionalis, modern dan
demokratis adalah sesuatu kebutuhan yang harus segera dipenuhi oleh Polri dalam rangka
mewujudkan fungsi penegakan hukum dan pelayanan masyarakat. Oleh karena itu,
profesionalisme Polri diarahkan melalui pendekatan multi-dimensional dalam
meningkatkan kualitas personil Polri dengan menekankan pada well motivation; well
education; well salary; well trained; well equipments; fungsi pengawasan; dan komitmen
moral.
SUMBER
www.negarahukum.com/hukum/profesionalisme-polri.html
www.e-jurnal.com/2013/12/profesionalisme-polisi-dalam-penegakan.html