You are on page 1of 23

REFERAT

ALGORITMA PENATALAKSANAAN HIPERTENSI BERDASARKAN


GUIDELINE INTERNATIONAL SOCIETY OF HYPERTENSION
(ISH) DAN KIDNEY DISEASE IMPROVING GLOBAL OUTCOMES
(KDIGO)

Oleh:

Raisa Cleizera Rembulan G99152085


Beata Dinda Seruni G99152086

Pembimbing

Agung Susanto, dr., Sp.PD-FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
S U RAK AR TA
2016
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hipertensi merupakan masalah kesehatan yang sangat umum terjadi di
dunia. Hipertensi sendiri merupakan suatu kondisi kronik yang banyak
dijumpai di layanan kesehatan primer dan praktik kesehata lainnya. Satu dari
tiga orang dewasa diperkirakan memiliki hipertensi. Disamping itu hampir
semua pasien dengan hipertensi memiliki faktor resiko lain seperti
abnormalitas lipid, intoleransi glukosa atau diabetes, riwayat keluarga dengan
penyakit kardiovaskuler, obesitas, dan merokok. Kesuksesan dalam diagnosis
serta penatalaksanaan hipertensi pada masyarakat di hampir seluruh negara
masih dirasa sangat kurang, lebih dari setengah dari seluruh pasien dengan
hipertensi memiliki kontrol tekanan darah yang buruk.

Telah banyak diteliti bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat antara
hipertensi dengan peningkatan resiko penyakit kardiovaskuler, stroke, dan
penyakit ginjal. Resiko tersebut menurun pada tekanan sekitar 115/75 mmHg.
Kenaikan 20 mmHg pada sistolik dan 10 mmHg pada diastolik meningkatkan
resiko kardiovaskuler dan stroke dua kali lipat. Prevalensi hipertensi yang
sangat tinggi di masyarakat umumnya dipengaruhi oleh dua hal, yakni
peningkatan usia dan kondisi obesitas. Di beberapa komunitas diet tinggi
garam juga menjadi satu faktor penyebab. Pada kulit hitam hipertensi lebih
sering dijumpai dibandingkan pada kelompok kulit putih, hal ini berkaitan
dengan peningkatan konsumsi garam yang lebih tinggi pada orang kulit hitam.

Pada prinsip terapi hipertensi penting untuk mengetahui riwayat penyakit


pasien, karena dapat mempengaruhi pemilihan terapi yang diberikan. Riwayat
yang perlu di perhatikan meliputi riwayat penyakit stroke, penyakit jantung
koroner, gagal jantung, chronic kidney disease, peripheral artery disease, dan
diabetes.
B. Batasan Penulisan
Dalam Referat ini akan dibahas mengenai algoritma penatalaksanaan
hipertensi berdasarkan guideline dari International Society of Hypertension
(ISH) dan Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO)

C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan Referat ini adalah untuk memahami algoritma
penatalaksanaan hipertensi berdasarkan guideline dari ISH dan KDIGO.

D. Metode Penulisan
Penulisan referat ini disusun berdasarkan metode tinjauan kepustakaan dari
beberapa literatur.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi dan Klasifikasi Hipertensi


Kebanyakan guideline mendefinisikan hipertensi berdasarkan nilai tekanan
darah sistol dan diastolnya. Hipertensi dibagi menjadi beberapa kelas yaitu
prehipertensi, hipertensi stage 1 dan hipertensi stage 2. Pre hipertensi tidak
digolongkan sebagai penyakit tapi hanya digunakan untuk
mengidentifikasi bahwa seorang yang masuk dalam kelas ini memiliki
resiko tinggi untuk terkena hipertensi, penyakit jantung, dan stroke
sehingga baik dokter maupun penderita dapat mengantisipasi kondisi ini
lebih awal, sehingga tidak berkembang menjadi kondisi yang lebih lanjut.
Pada kelas prehipertensi tidak diperlukan terapi medikasi farmakologi, tapi
dianjurkan untuk melakukan modifikasi gaya hidup yang sehat seperti
menjaga berat badan tetap ideal, tidak merokok, membatasi alkohol, dan
diet tepat.

Klasifikasi Hipertensi Tekanan Darah (mmHg)


Sistol Diastol
Normal < 120 mmHg Atau < 80 mmHg
Pre Hipertensi 120-139 mmHg Atau 80-89 mmHg
Hipertensi Stage 1 140-159 mmHg Atau 90-99 mmHg
Hipertensi Stage 2 >160 mmHg Atau >100 mmHg

Berdasarkan etiologinya hipertensi dibagi menjadi 2, yaitu hipertensi


primer dan hipertensi sekunder.
1. Hipertensi primer
Sekitar 95% dari orang dewasa dengan hipertensi masuk kedalam
kelompok ini. Hipertensi primer juga sering disebut dengan hipertensi
esensial. Penyebab dari hipertensi primer sampai saat ini belum dapat
diketahui, namun faktor genetik dan lingkungan memiliki pengaruh dalam
peningkatan tekanan darah. Faktor lingkungan yang dapat berpengaruh
meliputi kebiasaan konsumsi garam, obesitas, dan kurangnya aktivitas.
Pada usia tua kekakuan atau berkurangnya elastisitas aorta dan arteri
perifer juga dapat berperan dalam meningkatkan tekanan darah, kondisi ini
ditandai dengan peningkatan tekanan darah sitolik dimana tekanan
diastolik cenderung masih normal. Beberapa teori patogenesis lain pada
hipertensi primer meliputi aktivitas berlebihan dari sistem saraf simpatis
serta aktivitas sistem renin angiotensin aldosterone.
2. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang terjadi sebagai akibat
suatu penyakit, karena itu umumnya hipertensi ini sudah diketahui
penyabab mendasarnya. Terdapat 5% dari seluruh hipertensi yang masuk
dalam tipe ini. Umumnya penyebab hipertensi sekunder dapat diterapi
sampai dengan disembuhkan, sehingga kondisi hipertensi dapat hilang.
Hipertensi sekunder disebabkan oleh suatu tahanan pembuluh darah
perifer atau cardiac output contohnya pada renal artery stenosis, chronic
kidney disease, peningkatan sekresi aldosterone, dan pheochromocytoma.

B. Penegakan Diagnosis Hipertensi


Pengukuran tekanan darah dapat menggunakan alat sphygmomanometer.
Pengukuran baik dilakukan saat pasien telah mengosongkan kandung
kemihnya, kemudian pasien sebaiknya diperiksa dalam posisi duduk di kursi
dan kaki menyentuh lantai. Letak tangan yang akan diperiksa sebaiknya
setinggi jantung, tangan dapat diletakkan rileks diatas meja hingga tangan
setinggi jantung. Dalam penegakan diagnosis hipertensi pengukuran
dilakukan sekurang kurangnya 2 kali pemeriksaan, dimana pemeriksaan
kedua dilakukan 1-4 minggu setelah pemeriksaan pertama. Dalam 2
pemeriksaan tersebut harus didapatkan tekanan darah sitolik 140 mmHg
dan atau tekanan diastolic 90 mmHg. Jika kondisi tersebut terpenuhi
diagnosis hipertensi dapat ditegakkan.

a. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik lengkap pada kunjungan pertama penting untuk
dilakukan. Data berat badan dan tinggi badan harus terukur dengan benar
untuk menentukan indeks masa tubuh karena penatalaksaan pasien non
obes dan obesitas berbeda. Pasien juga harus diukur lingkar pinggang
untuk mengetahui adanya pemungkinan sindroma metabolik. Resiko ini
meningkat pada wanita dengan lingkar pinggang > 102 cm dan >88 cm
pada pria. Pasien juga harus diperiksa tanda-tanda adanya penyakit
jantung, peningkatan vena jugular, pembesaran liver, dan pulsasi perifer.
b. Pemeriksaan Penunjang
Pada pasien dengan hipertensi penting untuk dilakukan serangkaian
pemeriksaan, seperti:
1. Pemeriksaan Darah
a) pemeriksaan elektrolit, penting untuk melihat kadar natrium.
Natrium yang tinggi juga menandakan suatu gangguan pada ginjal,
terutama bila kadar creatinin serum juga meningkat.
b) Gula darah puasa, jika hasil melebihi nilai normal maka terjadi
gangguan toleransi glukosa dan bila sangat tinggi ada kemungkinan
penyakit diabetes.
c) Serum kreatinin dan ureum
d) Profil lipid, pada peningkatan LDL atau rendahnya nilai HDL
terjadi peningkatan resiko penyakit kardiovaskuler.
e) Fungsi liver, beberapa obat hipertensi dapat berpengaruh pada
fungsi hepar
2. Pemeriksaan Urine
a) Pemeriksaan Albumin urine, jika ditemukan adanya albumin dalam
urine maka hal tersebut dapat mengindikasikan adanya penyakit
ginjal dan berubungan juga dengan risiko penyakit kardiovaskular.
Idealnya untuk medapatkan penilaian yang valid, rasio
albumin/kreatinin harus bisa didapatkan, namun sebenarnya
apabila pada penilaian dengan metode dipstick ditemukan adanya
albumin (+1 atau lebih) maka hasl ini dapat dijadikan acuan yang
valid.
b) Pemeriksaan sel darah merah dan sel darah putih, hasil positif
dapat mengindikasikan adanya infeksi saluran kemih, batu ginjal,
atau keadaan traktus urinarius lain yang serius seperti kanker
prostat misalnya.
3. Elektrokardigrafi
Pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) dapat membantu
mengidentifikasikan adanya infark miokard atau hipertrofi jantung
yang menunjukkan adanya kerusakan organ dan merupakan indikasi
adanya pengontrolan tekanan darah yang baik. EKG juga dapat
mengidentifikasikan adanya aritmia seperti atrial fibrilasi atau
blockade jantung yang menunjukkan adanya kelainan komposisi
elektrolit. Meskipun penting, namun pemeriksaan EKG rutin tidak
begitu diperlukan dalam penatalaksanaan hipertensi.
BAB III
PEMBAHASAN

Ada beberapa guideline untuk penatalaksaan hipertensi. Dalam referat ini,


akan dibahas algoritma penatalaksanaan hipertensi berdasarkan guideline dari
International Society of Hipertension dan guidline penatlaksanaan hipertensi pada
pasien dengan gagal ginjal kronis atau chronic kidney disease (CKD) yang
dikeluarkan oleh KDIGO.

A. Algoritma Penatalaksanaan Hipertensi oleh ISH


Secara umum tujuan dari terapi hipertensi adalah untuk mengontrol
tekanan darah dan mengatasi faktor risiko lainnya seperti penyakit
kardiovaskular termasuk di dalamnya dyslipidemia, diabetes, obesitas, dan
merokok (gaya hidup). Target tekanan darah pada hipertensi adalah tekanan
darah sistolik <140 mmHg dan diastolik <90 mmHg. Pada masa lalu,
beberapa guideline menganjurkan nilai tekanan darah yang disarankan untuk
pasien dengan diabetes, CKD, dan penyakit jantung koroner adalah 130/80
mmHg. Akan tetapi, pada kenyataannya sangatlah sulit untuk mencapai target
tersebut pada pasien denga penyakit diabetes CKD, dan penyakit jantung
coroner. Oleh karena itu maka target tekanan darah 140/90 mmHg digunakan
untuk segala kondisi. Masih banyak ahli yang menyarankan target tekanan
darah 130/80 mHg apabila didapatkan adanya albuminuria pada pasien
dengan gagal ginjal kronis (CKD).
Pada pasien dengan usia >80 tahun, target tekanan darah yang harus
dicapai adalah <150/90 mmHg. Pada pasien kelompok usia >50 tahun,
tekanan darah diastolik adalah prioritas dari target terapi. Sebagai
tambahanya, apabila kodisi memungkinkan maka target tekanan darah pada
kelompok usia ini dapat dinaikkan kembali yaitu pada nilai 140/90 mmHg.
Hal yang terpenting dalam terapi hipertensi adalah edukasi kepada pasien
bahwa terapi hipertensi adalah terapi seumur hidup. Penghentian terapi
farmakologis dan perubahan gaya hidup secara mendadak tanpa konsultasi
dulu kepada dokter dapat membahayakan bagi pasien hipertensi. Seperti yang
telah disebutkan sebelumnya terapi hipertensi terdiri dari terapi non-
farmakologis dan farmakologis, berikut adalah penjabarannya:
a) Terapi non farmakologis
Banyak perubahan gaya hidup yang dapat mengurangi tekanan darah.
Perubahan gaya hidup lebih tepat dikategorikan sebagai terapi
komplementer dari terapi farmakologis, dibandingkan disebut sebagai
terapi alternative. Banyak bukti yang menyebutkan perubahan gaya hidup
selama 6-12 bulan menyebabkan turunnya tekanan darah dan sudah
cukup untuk mengontrol tekanan darah. Akan tetapi, apabila tekanan
darah tidak menunjukkan perubahan yang baik, atau terdapat faktor
risiko lain sebelumnya, maka disarankan untuk segara melakukan terapi
farmakologis. Adapun perubahan gaya hidup yang dimaksud adalah:
1) Penurunan berat badan
2) Pembatasan konsumsi garam
3) Olahraga aerobic seperti berjalan kaki, bersepeda, naik turun tangga
4) Mengurangi atau berhenti mengonsumsi alkohol
5) Berhenti merokok
b) Terapi farmakologis
Pada gambar 3.1. bisa dilihat bahwa terapi farmakologis harus
segera dimulai pada pasien dengan tekanan darah 140/90 mmHg dengan
gaya hidup yang tidak baik (merokok, konsumsi alcohol, jarang olahraga,
obesitas). Pada pasien dengan hiperensi stage 1 dengan tanpa adanya
faktor risiko kardiovaskular atau faktor risiko lain, maka terapi
farmakologis dapat ditunda dulu dan didahului dengan perubahan gaya
hidup terlebih dahulu.
Pada pasien dengan hipertensi stage 2 (tejana darah 160/100
mmHg) terapi farmakologis harus segera dimulai setelah diagnosis
ditegakkan. Biasanya dimulai dengan kombinasi 2 agen anti hipertensi
tanpa menunggu perubahan gaya hidup. Terapi farmakologis sendiri juga
dapat segera dimulai pada pasien dengan kepatuhan rendah atau pasien
dengan tingkat pendidikan yang kurang memadai. Pada pasien dengan
risiko kardiovaskular yang tinggi juga terapi harus segera dimulai.
Pada pasien dengan usia lebih dari 80 tahun, tingkat nilai tekanan
darah yang disarankan untuk memulai terapi farmakologis adalah
150/90 mmHg. Sedangkan target yang perlu dicapai adalah <140/90
mmHg untuk kebanyakan pasien dan <150/90 mmHg untuk pasien lansia
yang tidak memiliki penyakit diabetes atau gagal ginjal kronis, apabila
terdapat diabetes dan atau gagal ginjal kronis maka target tekanan darah
yang dicapai adalah <140/90 mmHg.
Kebanyakan pasien memerlukan lebih dari 1 regimen obat untuk
mengontrol tekanan darahnya. Umummnya, peningkatan dosis obat atau
penambahan obat baru memiliki interval sekitar 2-3 minggu. Frekuensi
perubahan ini dapat lebih cepat atau lebih lambat sesuai dengan kondisi
klinis pasien. Dosis awal obat haruslah setengah atau kurang dari
setengah dosis maksimal sehingga parubahan dosis nantinya hanya
berubah sekali saja. Pasien diharapkan mendapatkan efektivitas terapi
pada 6-8 minggu. Untuk memahami alur penatalaksanaan hipertensi,
silakan lihat algoritma pada gambar 3.1. berikut ini.
Tekanan darah 140/90 pada usia .18 tahun
(untuk usia >80 tahun 150/90 atau 140/90 apabia terdapat penyakit kronis)

Mulai perubahan gaya hidup


(penurunan berat badan, kurangi konsumsi garam dan alcohol, berhenti merokok)

Terapi farmakologis
(tunda terapi pada stage 1 tanpa komplikasi) Terapi farmakologis

Stage 2 160/100 Kasus


Stage 1 (140-159/90-99)
khusus
Kulit Non kulit hitam Mulai dengan 2 kombinasi
hitam
Lihat tabel rekomendasi untuk:
Penyakit ginjal
<60 tahun <60 tahun Diabetes
ACE-I/ARB
+ Penyakit coroner
Riwayat stroke
CCB/Tiazid
CCB/Tiazid ACE-I / ARB CCB/Tiazid Gagal jantung

Jika perlu ditambahi

ACE-I / ARB CCB/Tiazid ACE-I / ARB


Atau
CCB + Tiazid

Jika perlu ditambahi

CCB+Tiazid+ACE-I (atau ARB)


Gambar 3.1. Algoritma penatalaksanaan hipertensi menurut ISH
Jika perlu ditambahi obat lain seperti spironolakton; beta bloker; centrally acting agent
pada gambar 3.1. di atas disebutkan bahwa perlu adanya
Jika perlu, rujukuntuk
penyesuaian ke spesialis penyakit
pasien dengan dalam ahli
komorbiditas hipertensi
mayor yang berhubungan
dengan hipertensi mereka, seperti pada pasien dengan diabetes, gagal
ginjal kronis, gagal jantung dan penyakit jantung coroner. Berikut ini
adalah tabel obat pilihan yang disarankan oleh ISH untuk pasien denga
komoriditas mayor.
Tabel 3.1. obat pilihan untuk pasien dengan atau tanpa
komorbiditas mayor
Jenis pasien Obat pertama Obat kedua, untuk Obat ketiga, untuk
mencapai target mencapai target
<14-/90 mmHg <14-/90 mmHg

a. Hipertensi sebagai satu-satunya kondisi utama


Kulit hitam CCB atau tiazid ARB atau ACE-i Kombinasi
CCB+ACE-I atau
ARB+Tiazid
Non kulit hitam ARB atau ACE-i CCB atau tiazid Kombinasi
<60 tahun CCB+ACE-I atau
ARB+Tiazid
Non kulit hitam CCB atau Tiazid ARB atau ACE-I Kombinasi
>60 tahun (walaupun ACE-I (atau CCB/Tiazid CCB+ACE-I atau
atau ARB saja aabila sebelumnya ARB+Tiazid
sudah cukup sudah menggunkan
efektif) ACE-i)
b. Hipertensi yang berkaitan dengan kondisi kesehatan lainnya
Hipertensi dan ARB atau ACE-i CCB atau tiazid CCB atau tiazid
diabetes
Hipertensi dan ARB atau ACE-i CCB atau tiazid CCB atau tiazid
CKD
Hipertensi dan Beta bloker + CCB atau tiazid CCB atau tiazid
penyakit coroner ARB/ACE-i
Hipertensi dan ACE-I atauARB CCB atau tiazid CCB atau tiazid
riwayat stroke
Hipertensi dan Pasien dengan gaga jantung harus diberi ARB/ACE-I + Beta
gagal jantung bloker + diuretic + spironolakton
Singkatan: ACE-i, angiotensin-converting enzyme inhibitor; ARB, angiotensin
receptor blocker; CCB, calcium channel blocker

Untuk mengetahu dosis-dosis oat antihipertensi, silakan lihat tabel


3.2. berikut ini.
Tabel3.2. Dosis obat anntihipertensi yang biasa digunakan
Dosis harian, dalam milligram (mg)
Dosis rendah Dosis biasa
CCB Nonhidropiridin
Diltiazem 120 240-360
Verapamil 120 240-480

CCB Dihidropiridin
Amlodipin 2.5 5-10
Felodipin 2.5 5-10
Nifedipin 30 30-90
Nitrendipin 10 20
Tabel 3.2. (Lanjutan)
Obat yang mempengaruhi sistem renin-angiotensin
Angiotensin Converting Enzyme (ACE) inhibitor
Benazepril 5 10-40
Captopril 12.5 dua kali sehari 50-100 dua kali sehari
Enalapril 5 10-40
Fosinopril 10 10-40
Lisinopril 5 10-40
Perindopril 4 4-8
Quinapril 5 10-40
Rampril 2.5 5-10
Trandolapril 1-2 2-8

Angiotensin Receptor Blocker (ARB)


Azilsartan 40 80
Candesartan 4 8-32
Eprosartan 400 600-800
Irbesartan 150 150-300
Losartan 50 50-100
Olmesartan 10 20-40
Telmisartan 40 40-80
Valsartan 80 80-320

Direct Renin Inhibitor


Alsikren 75 150-300

Diuretik
Tiazid dan mirip tiazid
Bendroflumetiazid 5 10
Chlorthalidone 125 12.5-25
Hidroklortiazid 12.5 12.5-50
Indapamide 1.25 2.5

Diuretik kuat
Bumetanid 0.5 1
Furosemid 20 dua kali sehari 40 dua kali sehari
Torsemid 5 10

Diuretik hemat kalium


Amlodipine 5 5-10
Eplerenone 25 50-100
Spironolakton 12.5 25-50
Triamterene 100 100

Beta Blocker
Acebutanol 200 200-400
Atenolol 25 100
Bisoprolol 5 5-10
Carvedilol 3.125 dua kali sehari 6.25-25 dua kali sehari

Tabel 3.2 (lanjutan)


Labetalol 100 dua kali sehari 100-300 dua kali sehari
Metoprolol suksinat 25 50-100
Metoprolol tartat 25 dua kali sehari 50-100 dua kali sehari
Nadolol 20 40-80
Nebivolol 2.5 5-10
Propranolol 40 dua kali sehari 40-160 dua kali sehari

Adrenergic receptor blocker


Doksazosin 1 1-2
Prazosin 1 dua kali sehari 1-5 dua kali sehari
Terazosin 1 1-2

Vasodilator
Hidralazin 10 dua kali sehari 25-100 dua kali sehari
Minoksidil 2.5 5-10

Alfa agonis sentral


Klonidin 1.1 dua kali sehari 0.1-0.2 dua kali sehari

Metil dopa 125 dua kali sehari 250-500 dua kali sehari

Adrenergic deplete
Reserpine 0.1 0.1-0.25

Semua dosis diberikan sehari sekali kecuali sudah dispesifikasikan sebelumnya


B. Algoritma Penatalaksanaan Hipertensi pada Gagal Ginjal Kronis oleh
KDIGO

Terdapat hubungan yang kuat antara CKD dengan peningkatan tekanan darah
di mana kedua faktor tersebut dapat menyebabkan dan mempengaruhi satu
sama lain. Pengendalian tekanan darah merupakan dasar dalam penanganan
pasien CKD tanpa memandang etiologi penyebabnya. Namun penanganan
hipertensi pada pasien CKD tidak bisa ditetapkan menggunakan pedoman
tunggal diakibatkan berbedanya efek terapi sesuai dengan umur pasien dan
penyakit yang menyertainya seperti diabetes melitus dan pada pasien dengan
transplantasi ginjal (KDIGO, 2012).
1. Strategi Umum
a. Penggunaan target tekanan darah dan obat antihipertensi harus
disendirikan sesuai dengan umur, penyakit kardiovaskuler yang
menyertai dan komorbid, resiko perkembangan CKD, ada atau
tidaknya retinopati (pada pasien dengan diabetes) dan toleransi
terhadap terapi.
Dalam pemilihan terapi baik farmakologis dan non farmakologis,
keputusan harus berdasarkan keadaan per individual pasien. Pada
pasien dengan CKD terutama yang berusia lanjut atau memiliki
diabetes dan penyakit koroner, terjadi peningkatan kekakuan conduit
arteri yang menyebabkan tingginya tekanan sistolik dan tekanan
diastolik yang rendah. sehingga terapi hipertensi biasa akan
menurunkan tekanan diastolik lebih rendah dari target yang akan
meningkatakan angka mortalitas dan morbiditas pasien. Contoh
lainnya obat ACE inhibitor dan ARB justru akan membahayakan pada
pasien dengan penyakit renovaskuler, hipovolemik, atau ketika
dikombinasikan dengan NSAID atau COX-2 inhibitor.
b. Pastikan apakah ada riwayat ketidakseimbangan postural dan
hipotensi postural secara berkala saat menangani pasien dengan
obat anti hipertensi
Pasien dengan CKD terutama pada lansia dan pasien diabetes dengan
neuropati otonom memiliki resiko hipotensi ortostatik yang lebih
besar, yang dapat memberat jika terjadi penurunan volume yang terjadi
saat penggunaan vasodilator pada terapi CKD. Maka dari itu
diperlukan pemeriksaan hipotensi postural sebelum terapi CKD
dimulai agar tidak terjadi pemberatan keluhan.
2. Perubahan Gaya Hidup
a. Indeks Massa Tubuh (IMT) disarankan berkisar antara 20 25
Penurunan berat badan telah dibuktikan dalam banyak penelitan
mampu menurunkan tekanan darah pada pasien CKD. Selainan
penuruna tekanan darah strategi penurunan berat badan juga dapat
menurunkan proteinuria, meningkatkan profil lipid dan meningkatkan
sensitivitas insulin.
b. Menurunkan intake garam menjadi <90 mmol (<2g) per hari
kecuali jika ada kontraindikasi
Pada pasien CKD dengan penurunan GFR, retensi garam menjadi
salah satu penyebab terjadinya peningkatan tekanan darah. Penurunan
intake garam dapat menurunkan tekanan darah sistole 4,7 mmHg dan
diastole sebanyak 2,5 mmHg. Namun pada pasien CKD dengan
diabetes perlu diawasi apakah adanya ketidakseimbangan elektrolit
yang dapat diperberat oleh penurunan intake garam.
c. Olahraga yang sesuai dengan kesehatan dan toleransi
kardiovaskuler, 30 menit 5 kali dalam seminggu
Peningkatan latihan fisik telah diketahui berhubungan dengan
peningkatan kesehatan melalui berbagai macam mekanisme. Olahraga
fisik dapat menurunkan tekanan darah sistole sebanyak 6,1 mmHg dan
diastole 3 mmHg.
d. Intake alkohol dikurangi tidak lebih dari 2 porsi standar untuk
laki-laki dan 1 porsi standar untuk perempuan

3. Manajemen tekanan darah pada pasien CKD non dialisis tanpa diabetes
a. Pasien CKD non dialisis dewasa tanpa diabetes dengan proteinuria <
30 mg per 24 jam dan tekanan darah di atas 140/90 mmHg diobati
dengan obat anti hipertensi dengan target tekanan darah di bawah atau
sama dengan 140/90 mmHg
b. Pasien CKD non dialisis dewasa tanpa diabetes dengan proteinuria 30
300 mg per 24 jam dan tekanan darah di atas 130/80 mmHg diobati
dengan obat anti hipertensi dengan target tekanan darah di bawah atau
sama dengan 130/80 mmHg
c. Pasien CKD non dialisis dewasa tanpa diabetes dengan proteinuria >
300 mg per 24 jam dan tekanan darah di atas 130/80 mmHg diobati
dengan obat anti hipertensi dengan target tekanan darah di bawah atau
sama dengan 130/80 mmHg
d. Pasien CKD non dialisis dewasa non diabetes tanpa diabetes dengan
proteinuira 30 300 mg per 24 jam diindikasikan menggunakan ARB
atau ACE inhibitor untuk menurunkan tekanan darah.
e. Pasien CKD non dialisis dewasa non diabetes tanpa diabetes dengan
proteinuira > 300 mg per 24 jam diindikasikan menggunakan ARB
atau ACE inhibitor untuk menurunkan tekanan darah.
4. Manajemen tekanan darah pada pasien CKD dewasa dengan diabetes
a. Pasien CKD non dialisis dewasa dengan diabetes dan proteinuria < 30
mg per 24 jam dan tekanan darah di atas 140/90 mmHg diobati dengan
obat anti hipertensi dengan target tekanan darah di bawah atau sama
dengan 140/90 mmHg
b. Pasien CKD non dialisis dewasa dengan diabetes dan proteinuria > 30
mg per 24 jam dan tekanan darah di atas 130/80 mmHg diobati dengan
obat anti hipertensi dengan target tekanan darah di bawah atau sama
dengan 130/80 mmHg
c. ARB atau ACE inhibitor digunakan untuk menurunkan tekanan darah
pada pasien CKD non dialisis dewasa dengan diabetes dan proteinuri
30 300 mg per 24 jam
d. ARB atau ACE inhibitor digunakan untuk menurunkan tekanan darah
pada pasien CKD non dialisis dewasa dengan diabetes dan proteinuri >
300 mg per 24 jam
5. Manajemen tekanan darah pada pasien penerima transplantasi ginjal
a. Pasien penerima transplantasi ginjal dewasa dengan tekanan darah >
130/80 mmHg diterapi menggunakan obat antihipertensi dengan target
tekanan darah di bawah atau sama dengan 130/80 mmHg tanpa
memandang jumlah proteinurinya
b. Pemilihan obat antihipertensi dipertimbangkan berdasarkan waktu
transplantasi, penggunaan calcineurin inhibitor, ada atau tidaknya
proteinuria persisten dan kondisi komorbid laiinya
6. Manajemen tekanan darah pada pasien CKD non dialisis anak anak
a. Terapi antihipertensi dimulai ketika tekanan darah pasien melebihi
persentil 90 berdasarkan umur, kelamin dan tinggi badan
b. Tekanan darah pada pasien CKD non dialisis anak anak diturunkan
hingga mencapai di bawah persentil 50 berdasarkan umur, kelamin dan
tinggi badan, kecuali jika didapatkan tanda dan gejala hipotensi
c. ARB dan ACE inhibitor digunakan pada pasien CKD non dialisis anak
anak untuk menurunkan tekanan darah tanpa memandang tingkat
proteinurianya
7. Manajemen tekanan darah pada pasien CKD non dialisis lansia
Pemilihan terapi antihipertensi pada pasien lansia dengan CKD non
dialisis dipilih berdasarkan umur, komorbid, dan terapi lainnya, dengan
peningkatan dosis secara berkala dan pemantauan efek samping terkait
manajemen tekanan darah, termasuk gangguan elektrolit, penurunan
fungsi ginjal akut, hipotensi ortostatik dan efek samping obat
8. Terapi farmakologi hipertensi
a. ACEI dan ARB
ACEI dan ARB berperan dalam menurunkan tekanan
darah pada pasien dengan CKD, selain itu obat ini aman
untuk dikombinasikan dengan obat penurun tekanan
darah lainnya. Obat ini diindikasikan untuk pasien
dengan albuminuria. Kendala yang mungkin didapatkan
dalam penggunaan ACEI dan ARB adalah hiperkalema
dan menurunan GFR, terutama pada kondisi dengan
stenosis arteri renalis dan penggunaan bersama dengan
NSAIDs, COX2 inhibitor, dan diuretik hemat kalium.
Sehingga penggunaan harus berhati-hati. Penggunaan
pada kehamilan tidak disarankan karena bersifat
teratogenik. ACEI dan ARB bekerja dengan cara blokade
angiotensin II sehingga menyebabkan vasodilatasi arteri
menyebabkan tekanan darah turun, selain itu juga
terjadi vasodilatasi arteriol aferen dan eferen di
glomerulus, terutama eferen sehingga menyebabkan
turunnya tekanan intraglomerular dan menurunkan GFR
serta ekskresi albumin. Oleh karena itu obat ini memiliki
efek renoprotektif terutama pada pasien dengan
albuminuria. Inisial terapi mampu menurunkan GFR
hingga 30%. Mekanisme lain yakni ACEI dan ARB
menurunkan sekresi aldosterone dari kelenjar adrenal,
obat ini juga baik dan efisien bila dikombinasikan
dengan antagonis aldosterone. ACEI dieksresikan secara
besar lewat urin, namun beberapa diantaranya seperti
fosinopril dan trandolapril diekskresi lewat hepar.
Namun karena efek positifnya yang lebih dominan
ekresinya yang melewati ginjal tidak terlalu
dipermasalahkan. Pada kasus hyperkalemia akibat
penggunaan ACEI dapat ditambahakan modifikasi diet,
menurunkan dosis, atau penggantian dengan fosinopril
atau trandolapril. Berbeda dengan ACEI, semua jenis
ARB dieksresikan lewat hepar. Sama halnya dengan
ACEI dosis ARB disesuaikan dengan klinis pasien bukan
pada fungsi ginjalnya. Indikasi penggunaan ACEI dan
ARB selain pada CKD, kondisi albuminuria, juga pada
kondisi dengan masalah kardiovaskular seperti gagal
jantung, post infark miokard, stroke, dan pada pasien
dengan resiko tinggi kardiovaskuler.
b. Antagonis aldosterone
Contoh obat golongan ini adalah spironolactone.
Antagonis aldosterone telah digunakan sejak 1950
untuk menurunkan tekanan darah, sebagai diuretik,
terapi edema, dan hipertensi resisten. Penggunaan
dosis tinggi (lebih dari 300 mg/day) memiliki efek
samping karena efeknya yang mirip dengan estrogen
sehingga menyebabkan gynecomasti dan gangguan
menstruasi. Dosis harian spironolactone adalah 12,5-50
mg/hari.pada pasien dengan CKD antagonis aldosterone
berfungsi untuk menurunkan level albumin dan juga
memperbaiki tekanan darah khusunya pada pasien
hipertensi yang resisten terhadap golongan obat lain.
Selain itu antagonis aldosterone juga banyak
memberikan manfaat pada pasien non CKD seperti
gagal jantung dan gagal jantung post infark miokard.
Pada pasien CKD, penggunaan antagonis aldosterone
dapat menurunkan ekskresi albumin urin terutama jika
digunakan dengan obat golongan ACEI atau ARB. Karena
resiko hyperkalemia dan menurunkan GFR maka
penggunaan obat golongan ini pada pasien CKD harus
lebih hati-hati. Resiko hyperkalemia dalam beberapa
studi dapat dicegah dan ditekan dengan penambahan
thiazide diuretic.
c. Diuretik
Retensi garam dan air merupakan faktor utama yang
berkontribusi dalam peningkatan tekanan darah pada
pasien CKD. Akibatnya kondisi ini angka morbiditas dan
mortalitas meningkat terutama akibat edema pulmo dan
sistemik. Diuretic kemudian manjadi pilihan yang tidak
dapat ditinggalkan untuk mengontrol pasien CKD yang
telah masuk pada kondisi ini.
d. Beta bloker
Penggunaan beta bloker sebagai agen hipertensi dan
CVD telah ada sejak 40 tahun yang lalu. Meskipun beta
bloker dapat menurunkan tekanan darah, beberapa
mengatakan penting untuk mengetahui memberikan
beta bloker khusunya untuk pasien yang sesuai dan
spesifik. Pemberian beta bloker pada pasien CKD harus
lebih berhati-hati. Pada pasien dengan CKD akumulasi
beta bloker atau metabolit aktif dapat menyebabkan
efek samping seperti bradikardi aritmia. Sesuai
konsensus Pharmaceutical Subcommittee of the Oregon
Health Resources Commission tahun 2008,beta bloker
digunkan pada pasien dengan angina, gagal jantung.
Penggunaan pada pasien CKD dengan gagal jantung
belum memberikan bukti yang spesifik dan belum dapat
pencegah mortalitas.
e. Calcium channel blockers
Calcium channel blockers dapat digunakan dalam
menurunkan tekanan darah pada pasien CKD. Terdapat
2 kelas pada golongan CCB yakni dihidropiridin
(nifedipine, amlodipine) dan non dihidropiridin
(diltiazem). Dihidropiridine mersifat lebih selektif pada
otot polos vaskuler sehingga menyebabkan efek utama
pada vasodilatasi vaskuler dengan efek yang kurang
pada otot miokard . efek samping pada golongan ini
adalah edema tungkai. Akibatnya pada pasien dengan
CKD efek samping obat ini dirasa problematik. Efek lain
yang mungkin timbul antara lain dizziness, headache,
dan merah pada wajah. Pada golongan non
dihidropiridine efek utama terjadi pada otot
jantung/miokard dan juga SA dan AV nodes serta
menurunkan heart rate dan kontraksi otot miokard. Efek
samping pada CCB juga dapat menyebabkan
peningkatan ekskresi albumin lewat urin. Sehingga
penggunaan CCB pada kasus CKD terutama tanpa
penggunaan ACEI atau ARB tidak disarankan.
f. Alpha bloker
Alpha bloker berperan dalam menurunkan tekanan
darah dengan efek vasodilatasi perifer. Prazosin,
doxazosin, dan terazosin adalah conton dari alpha
bloker yang banyak digunakan. Terapi dengan alpha
bloker merupakan terapi adjuvant jika terapi dengan
ACEI, ARB, diuretic, beta bloker belum dapat
mengkoreksi tekanan darah. Keuntungan lain adalah jika
pasien memiliki symptom hipertrofi prostat. Alfa bloker
mampu mengurang gejala pada BPH yang dimana
kondisi ini menjadi salah satu komorbid pada CKD pada
laki-laki. Alpha bloker tidak menjadi pilihan utama pada
agen hipertensi dikarenakan efek samping yang berupa
hipotensi postural, utama pada pasien dewasa dan tua,
takikardi, dan sakit kepala. Penggunaan obat ini harus
dimulai dengan dosis terkecil dikarenakan reaksi first
dose hypotensionnya. Obat ini sering dikombinasi
dengan golongan diuretic dikarenakan efek samping
edema perifernya.
BAB IV

KESIMPULAN

Hipertensi merupakan masalah kesehatan yang sangat umum terjadi


dijumpai di layanan kesehatan primer dan praktik kesehatan lainnya. Satu dari
tiga orang dewasa diperkirakan memiliki hipertensi. Hipertensi sendiri telah
diklasifikasikan dan telah disepakati oleh badan kesehatan dunia (WHO) dan
organisasi hipertensi internasional (ISH) dibagi menjadi prehipertensi,
hipertensi derajat 1, dan hipertensi derajat 2.

Kesuksesan dalam diagnosis serta penatalaksanaan hipertensi pada


masyarakat di hampir seluruh negara masih dirasa sangat kurang. Hal ini
disebabkan oleh tidak ada gejala atau gejala ringan yang sering kali tidak
disadari. Sedangkan komplikasi dari hipertensi telah banyak diteliti antara lain
adalah peningkatan resiko penyakit kardiovaskuler, stroke, dan penyakit
ginjal. Secara umum tujuan dari terapi hipertensi adalah untuk mengontrol
tekanan darah dan mengatasi faktor risiko lainnya seperti penyakit
kardiovaskular termasuk di dalamnya dyslipidemia, diabetes, obesitas, dan
merokok (gaya hidup). Target tekanan darah pada hipertensi adalah tekanan
darah sistolik <140 mmHg dan diastolik <90 mmHg. Adapun terapinya dibagi
menjadi terapi non farmakologis berupa modifikasi gaya hidup dan diet dan
terapi farmakologis.

DAFTAR PUSTAKA

ISH, 2013. Clinical Practice Guidelines for the Management of Hypertension


in the Community. Statement by the American Society of Hypertension
and the International Society of Hypertension. The Journal of Clinical
Hypertension. Official Journal of the American Society of
Hypertension, Inc.; 1-13

International Society of Nephrology, 2012. KDIGO Clinical Practice


Guideline for the Management of Blood Pressure in Chronic Kidney
Disease. Kidney International Supplements, Vol 2; 341-470.

You might also like