Professional Documents
Culture Documents
Oleh:
Pembimbing
A. Latar Belakang
Hipertensi merupakan masalah kesehatan yang sangat umum terjadi di
dunia. Hipertensi sendiri merupakan suatu kondisi kronik yang banyak
dijumpai di layanan kesehatan primer dan praktik kesehata lainnya. Satu dari
tiga orang dewasa diperkirakan memiliki hipertensi. Disamping itu hampir
semua pasien dengan hipertensi memiliki faktor resiko lain seperti
abnormalitas lipid, intoleransi glukosa atau diabetes, riwayat keluarga dengan
penyakit kardiovaskuler, obesitas, dan merokok. Kesuksesan dalam diagnosis
serta penatalaksanaan hipertensi pada masyarakat di hampir seluruh negara
masih dirasa sangat kurang, lebih dari setengah dari seluruh pasien dengan
hipertensi memiliki kontrol tekanan darah yang buruk.
Telah banyak diteliti bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat antara
hipertensi dengan peningkatan resiko penyakit kardiovaskuler, stroke, dan
penyakit ginjal. Resiko tersebut menurun pada tekanan sekitar 115/75 mmHg.
Kenaikan 20 mmHg pada sistolik dan 10 mmHg pada diastolik meningkatkan
resiko kardiovaskuler dan stroke dua kali lipat. Prevalensi hipertensi yang
sangat tinggi di masyarakat umumnya dipengaruhi oleh dua hal, yakni
peningkatan usia dan kondisi obesitas. Di beberapa komunitas diet tinggi
garam juga menjadi satu faktor penyebab. Pada kulit hitam hipertensi lebih
sering dijumpai dibandingkan pada kelompok kulit putih, hal ini berkaitan
dengan peningkatan konsumsi garam yang lebih tinggi pada orang kulit hitam.
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan Referat ini adalah untuk memahami algoritma
penatalaksanaan hipertensi berdasarkan guideline dari ISH dan KDIGO.
D. Metode Penulisan
Penulisan referat ini disusun berdasarkan metode tinjauan kepustakaan dari
beberapa literatur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik lengkap pada kunjungan pertama penting untuk
dilakukan. Data berat badan dan tinggi badan harus terukur dengan benar
untuk menentukan indeks masa tubuh karena penatalaksaan pasien non
obes dan obesitas berbeda. Pasien juga harus diukur lingkar pinggang
untuk mengetahui adanya pemungkinan sindroma metabolik. Resiko ini
meningkat pada wanita dengan lingkar pinggang > 102 cm dan >88 cm
pada pria. Pasien juga harus diperiksa tanda-tanda adanya penyakit
jantung, peningkatan vena jugular, pembesaran liver, dan pulsasi perifer.
b. Pemeriksaan Penunjang
Pada pasien dengan hipertensi penting untuk dilakukan serangkaian
pemeriksaan, seperti:
1. Pemeriksaan Darah
a) pemeriksaan elektrolit, penting untuk melihat kadar natrium.
Natrium yang tinggi juga menandakan suatu gangguan pada ginjal,
terutama bila kadar creatinin serum juga meningkat.
b) Gula darah puasa, jika hasil melebihi nilai normal maka terjadi
gangguan toleransi glukosa dan bila sangat tinggi ada kemungkinan
penyakit diabetes.
c) Serum kreatinin dan ureum
d) Profil lipid, pada peningkatan LDL atau rendahnya nilai HDL
terjadi peningkatan resiko penyakit kardiovaskuler.
e) Fungsi liver, beberapa obat hipertensi dapat berpengaruh pada
fungsi hepar
2. Pemeriksaan Urine
a) Pemeriksaan Albumin urine, jika ditemukan adanya albumin dalam
urine maka hal tersebut dapat mengindikasikan adanya penyakit
ginjal dan berubungan juga dengan risiko penyakit kardiovaskular.
Idealnya untuk medapatkan penilaian yang valid, rasio
albumin/kreatinin harus bisa didapatkan, namun sebenarnya
apabila pada penilaian dengan metode dipstick ditemukan adanya
albumin (+1 atau lebih) maka hasl ini dapat dijadikan acuan yang
valid.
b) Pemeriksaan sel darah merah dan sel darah putih, hasil positif
dapat mengindikasikan adanya infeksi saluran kemih, batu ginjal,
atau keadaan traktus urinarius lain yang serius seperti kanker
prostat misalnya.
3. Elektrokardigrafi
Pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) dapat membantu
mengidentifikasikan adanya infark miokard atau hipertrofi jantung
yang menunjukkan adanya kerusakan organ dan merupakan indikasi
adanya pengontrolan tekanan darah yang baik. EKG juga dapat
mengidentifikasikan adanya aritmia seperti atrial fibrilasi atau
blockade jantung yang menunjukkan adanya kelainan komposisi
elektrolit. Meskipun penting, namun pemeriksaan EKG rutin tidak
begitu diperlukan dalam penatalaksanaan hipertensi.
BAB III
PEMBAHASAN
Terapi farmakologis
(tunda terapi pada stage 1 tanpa komplikasi) Terapi farmakologis
CCB Dihidropiridin
Amlodipin 2.5 5-10
Felodipin 2.5 5-10
Nifedipin 30 30-90
Nitrendipin 10 20
Tabel 3.2. (Lanjutan)
Obat yang mempengaruhi sistem renin-angiotensin
Angiotensin Converting Enzyme (ACE) inhibitor
Benazepril 5 10-40
Captopril 12.5 dua kali sehari 50-100 dua kali sehari
Enalapril 5 10-40
Fosinopril 10 10-40
Lisinopril 5 10-40
Perindopril 4 4-8
Quinapril 5 10-40
Rampril 2.5 5-10
Trandolapril 1-2 2-8
Diuretik
Tiazid dan mirip tiazid
Bendroflumetiazid 5 10
Chlorthalidone 125 12.5-25
Hidroklortiazid 12.5 12.5-50
Indapamide 1.25 2.5
Diuretik kuat
Bumetanid 0.5 1
Furosemid 20 dua kali sehari 40 dua kali sehari
Torsemid 5 10
Beta Blocker
Acebutanol 200 200-400
Atenolol 25 100
Bisoprolol 5 5-10
Carvedilol 3.125 dua kali sehari 6.25-25 dua kali sehari
Vasodilator
Hidralazin 10 dua kali sehari 25-100 dua kali sehari
Minoksidil 2.5 5-10
Metil dopa 125 dua kali sehari 250-500 dua kali sehari
Adrenergic deplete
Reserpine 0.1 0.1-0.25
Terdapat hubungan yang kuat antara CKD dengan peningkatan tekanan darah
di mana kedua faktor tersebut dapat menyebabkan dan mempengaruhi satu
sama lain. Pengendalian tekanan darah merupakan dasar dalam penanganan
pasien CKD tanpa memandang etiologi penyebabnya. Namun penanganan
hipertensi pada pasien CKD tidak bisa ditetapkan menggunakan pedoman
tunggal diakibatkan berbedanya efek terapi sesuai dengan umur pasien dan
penyakit yang menyertainya seperti diabetes melitus dan pada pasien dengan
transplantasi ginjal (KDIGO, 2012).
1. Strategi Umum
a. Penggunaan target tekanan darah dan obat antihipertensi harus
disendirikan sesuai dengan umur, penyakit kardiovaskuler yang
menyertai dan komorbid, resiko perkembangan CKD, ada atau
tidaknya retinopati (pada pasien dengan diabetes) dan toleransi
terhadap terapi.
Dalam pemilihan terapi baik farmakologis dan non farmakologis,
keputusan harus berdasarkan keadaan per individual pasien. Pada
pasien dengan CKD terutama yang berusia lanjut atau memiliki
diabetes dan penyakit koroner, terjadi peningkatan kekakuan conduit
arteri yang menyebabkan tingginya tekanan sistolik dan tekanan
diastolik yang rendah. sehingga terapi hipertensi biasa akan
menurunkan tekanan diastolik lebih rendah dari target yang akan
meningkatakan angka mortalitas dan morbiditas pasien. Contoh
lainnya obat ACE inhibitor dan ARB justru akan membahayakan pada
pasien dengan penyakit renovaskuler, hipovolemik, atau ketika
dikombinasikan dengan NSAID atau COX-2 inhibitor.
b. Pastikan apakah ada riwayat ketidakseimbangan postural dan
hipotensi postural secara berkala saat menangani pasien dengan
obat anti hipertensi
Pasien dengan CKD terutama pada lansia dan pasien diabetes dengan
neuropati otonom memiliki resiko hipotensi ortostatik yang lebih
besar, yang dapat memberat jika terjadi penurunan volume yang terjadi
saat penggunaan vasodilator pada terapi CKD. Maka dari itu
diperlukan pemeriksaan hipotensi postural sebelum terapi CKD
dimulai agar tidak terjadi pemberatan keluhan.
2. Perubahan Gaya Hidup
a. Indeks Massa Tubuh (IMT) disarankan berkisar antara 20 25
Penurunan berat badan telah dibuktikan dalam banyak penelitan
mampu menurunkan tekanan darah pada pasien CKD. Selainan
penuruna tekanan darah strategi penurunan berat badan juga dapat
menurunkan proteinuria, meningkatkan profil lipid dan meningkatkan
sensitivitas insulin.
b. Menurunkan intake garam menjadi <90 mmol (<2g) per hari
kecuali jika ada kontraindikasi
Pada pasien CKD dengan penurunan GFR, retensi garam menjadi
salah satu penyebab terjadinya peningkatan tekanan darah. Penurunan
intake garam dapat menurunkan tekanan darah sistole 4,7 mmHg dan
diastole sebanyak 2,5 mmHg. Namun pada pasien CKD dengan
diabetes perlu diawasi apakah adanya ketidakseimbangan elektrolit
yang dapat diperberat oleh penurunan intake garam.
c. Olahraga yang sesuai dengan kesehatan dan toleransi
kardiovaskuler, 30 menit 5 kali dalam seminggu
Peningkatan latihan fisik telah diketahui berhubungan dengan
peningkatan kesehatan melalui berbagai macam mekanisme. Olahraga
fisik dapat menurunkan tekanan darah sistole sebanyak 6,1 mmHg dan
diastole 3 mmHg.
d. Intake alkohol dikurangi tidak lebih dari 2 porsi standar untuk
laki-laki dan 1 porsi standar untuk perempuan
3. Manajemen tekanan darah pada pasien CKD non dialisis tanpa diabetes
a. Pasien CKD non dialisis dewasa tanpa diabetes dengan proteinuria <
30 mg per 24 jam dan tekanan darah di atas 140/90 mmHg diobati
dengan obat anti hipertensi dengan target tekanan darah di bawah atau
sama dengan 140/90 mmHg
b. Pasien CKD non dialisis dewasa tanpa diabetes dengan proteinuria 30
300 mg per 24 jam dan tekanan darah di atas 130/80 mmHg diobati
dengan obat anti hipertensi dengan target tekanan darah di bawah atau
sama dengan 130/80 mmHg
c. Pasien CKD non dialisis dewasa tanpa diabetes dengan proteinuria >
300 mg per 24 jam dan tekanan darah di atas 130/80 mmHg diobati
dengan obat anti hipertensi dengan target tekanan darah di bawah atau
sama dengan 130/80 mmHg
d. Pasien CKD non dialisis dewasa non diabetes tanpa diabetes dengan
proteinuira 30 300 mg per 24 jam diindikasikan menggunakan ARB
atau ACE inhibitor untuk menurunkan tekanan darah.
e. Pasien CKD non dialisis dewasa non diabetes tanpa diabetes dengan
proteinuira > 300 mg per 24 jam diindikasikan menggunakan ARB
atau ACE inhibitor untuk menurunkan tekanan darah.
4. Manajemen tekanan darah pada pasien CKD dewasa dengan diabetes
a. Pasien CKD non dialisis dewasa dengan diabetes dan proteinuria < 30
mg per 24 jam dan tekanan darah di atas 140/90 mmHg diobati dengan
obat anti hipertensi dengan target tekanan darah di bawah atau sama
dengan 140/90 mmHg
b. Pasien CKD non dialisis dewasa dengan diabetes dan proteinuria > 30
mg per 24 jam dan tekanan darah di atas 130/80 mmHg diobati dengan
obat anti hipertensi dengan target tekanan darah di bawah atau sama
dengan 130/80 mmHg
c. ARB atau ACE inhibitor digunakan untuk menurunkan tekanan darah
pada pasien CKD non dialisis dewasa dengan diabetes dan proteinuri
30 300 mg per 24 jam
d. ARB atau ACE inhibitor digunakan untuk menurunkan tekanan darah
pada pasien CKD non dialisis dewasa dengan diabetes dan proteinuri >
300 mg per 24 jam
5. Manajemen tekanan darah pada pasien penerima transplantasi ginjal
a. Pasien penerima transplantasi ginjal dewasa dengan tekanan darah >
130/80 mmHg diterapi menggunakan obat antihipertensi dengan target
tekanan darah di bawah atau sama dengan 130/80 mmHg tanpa
memandang jumlah proteinurinya
b. Pemilihan obat antihipertensi dipertimbangkan berdasarkan waktu
transplantasi, penggunaan calcineurin inhibitor, ada atau tidaknya
proteinuria persisten dan kondisi komorbid laiinya
6. Manajemen tekanan darah pada pasien CKD non dialisis anak anak
a. Terapi antihipertensi dimulai ketika tekanan darah pasien melebihi
persentil 90 berdasarkan umur, kelamin dan tinggi badan
b. Tekanan darah pada pasien CKD non dialisis anak anak diturunkan
hingga mencapai di bawah persentil 50 berdasarkan umur, kelamin dan
tinggi badan, kecuali jika didapatkan tanda dan gejala hipotensi
c. ARB dan ACE inhibitor digunakan pada pasien CKD non dialisis anak
anak untuk menurunkan tekanan darah tanpa memandang tingkat
proteinurianya
7. Manajemen tekanan darah pada pasien CKD non dialisis lansia
Pemilihan terapi antihipertensi pada pasien lansia dengan CKD non
dialisis dipilih berdasarkan umur, komorbid, dan terapi lainnya, dengan
peningkatan dosis secara berkala dan pemantauan efek samping terkait
manajemen tekanan darah, termasuk gangguan elektrolit, penurunan
fungsi ginjal akut, hipotensi ortostatik dan efek samping obat
8. Terapi farmakologi hipertensi
a. ACEI dan ARB
ACEI dan ARB berperan dalam menurunkan tekanan
darah pada pasien dengan CKD, selain itu obat ini aman
untuk dikombinasikan dengan obat penurun tekanan
darah lainnya. Obat ini diindikasikan untuk pasien
dengan albuminuria. Kendala yang mungkin didapatkan
dalam penggunaan ACEI dan ARB adalah hiperkalema
dan menurunan GFR, terutama pada kondisi dengan
stenosis arteri renalis dan penggunaan bersama dengan
NSAIDs, COX2 inhibitor, dan diuretik hemat kalium.
Sehingga penggunaan harus berhati-hati. Penggunaan
pada kehamilan tidak disarankan karena bersifat
teratogenik. ACEI dan ARB bekerja dengan cara blokade
angiotensin II sehingga menyebabkan vasodilatasi arteri
menyebabkan tekanan darah turun, selain itu juga
terjadi vasodilatasi arteriol aferen dan eferen di
glomerulus, terutama eferen sehingga menyebabkan
turunnya tekanan intraglomerular dan menurunkan GFR
serta ekskresi albumin. Oleh karena itu obat ini memiliki
efek renoprotektif terutama pada pasien dengan
albuminuria. Inisial terapi mampu menurunkan GFR
hingga 30%. Mekanisme lain yakni ACEI dan ARB
menurunkan sekresi aldosterone dari kelenjar adrenal,
obat ini juga baik dan efisien bila dikombinasikan
dengan antagonis aldosterone. ACEI dieksresikan secara
besar lewat urin, namun beberapa diantaranya seperti
fosinopril dan trandolapril diekskresi lewat hepar.
Namun karena efek positifnya yang lebih dominan
ekresinya yang melewati ginjal tidak terlalu
dipermasalahkan. Pada kasus hyperkalemia akibat
penggunaan ACEI dapat ditambahakan modifikasi diet,
menurunkan dosis, atau penggantian dengan fosinopril
atau trandolapril. Berbeda dengan ACEI, semua jenis
ARB dieksresikan lewat hepar. Sama halnya dengan
ACEI dosis ARB disesuaikan dengan klinis pasien bukan
pada fungsi ginjalnya. Indikasi penggunaan ACEI dan
ARB selain pada CKD, kondisi albuminuria, juga pada
kondisi dengan masalah kardiovaskular seperti gagal
jantung, post infark miokard, stroke, dan pada pasien
dengan resiko tinggi kardiovaskuler.
b. Antagonis aldosterone
Contoh obat golongan ini adalah spironolactone.
Antagonis aldosterone telah digunakan sejak 1950
untuk menurunkan tekanan darah, sebagai diuretik,
terapi edema, dan hipertensi resisten. Penggunaan
dosis tinggi (lebih dari 300 mg/day) memiliki efek
samping karena efeknya yang mirip dengan estrogen
sehingga menyebabkan gynecomasti dan gangguan
menstruasi. Dosis harian spironolactone adalah 12,5-50
mg/hari.pada pasien dengan CKD antagonis aldosterone
berfungsi untuk menurunkan level albumin dan juga
memperbaiki tekanan darah khusunya pada pasien
hipertensi yang resisten terhadap golongan obat lain.
Selain itu antagonis aldosterone juga banyak
memberikan manfaat pada pasien non CKD seperti
gagal jantung dan gagal jantung post infark miokard.
Pada pasien CKD, penggunaan antagonis aldosterone
dapat menurunkan ekskresi albumin urin terutama jika
digunakan dengan obat golongan ACEI atau ARB. Karena
resiko hyperkalemia dan menurunkan GFR maka
penggunaan obat golongan ini pada pasien CKD harus
lebih hati-hati. Resiko hyperkalemia dalam beberapa
studi dapat dicegah dan ditekan dengan penambahan
thiazide diuretic.
c. Diuretik
Retensi garam dan air merupakan faktor utama yang
berkontribusi dalam peningkatan tekanan darah pada
pasien CKD. Akibatnya kondisi ini angka morbiditas dan
mortalitas meningkat terutama akibat edema pulmo dan
sistemik. Diuretic kemudian manjadi pilihan yang tidak
dapat ditinggalkan untuk mengontrol pasien CKD yang
telah masuk pada kondisi ini.
d. Beta bloker
Penggunaan beta bloker sebagai agen hipertensi dan
CVD telah ada sejak 40 tahun yang lalu. Meskipun beta
bloker dapat menurunkan tekanan darah, beberapa
mengatakan penting untuk mengetahui memberikan
beta bloker khusunya untuk pasien yang sesuai dan
spesifik. Pemberian beta bloker pada pasien CKD harus
lebih berhati-hati. Pada pasien dengan CKD akumulasi
beta bloker atau metabolit aktif dapat menyebabkan
efek samping seperti bradikardi aritmia. Sesuai
konsensus Pharmaceutical Subcommittee of the Oregon
Health Resources Commission tahun 2008,beta bloker
digunkan pada pasien dengan angina, gagal jantung.
Penggunaan pada pasien CKD dengan gagal jantung
belum memberikan bukti yang spesifik dan belum dapat
pencegah mortalitas.
e. Calcium channel blockers
Calcium channel blockers dapat digunakan dalam
menurunkan tekanan darah pada pasien CKD. Terdapat
2 kelas pada golongan CCB yakni dihidropiridin
(nifedipine, amlodipine) dan non dihidropiridin
(diltiazem). Dihidropiridine mersifat lebih selektif pada
otot polos vaskuler sehingga menyebabkan efek utama
pada vasodilatasi vaskuler dengan efek yang kurang
pada otot miokard . efek samping pada golongan ini
adalah edema tungkai. Akibatnya pada pasien dengan
CKD efek samping obat ini dirasa problematik. Efek lain
yang mungkin timbul antara lain dizziness, headache,
dan merah pada wajah. Pada golongan non
dihidropiridine efek utama terjadi pada otot
jantung/miokard dan juga SA dan AV nodes serta
menurunkan heart rate dan kontraksi otot miokard. Efek
samping pada CCB juga dapat menyebabkan
peningkatan ekskresi albumin lewat urin. Sehingga
penggunaan CCB pada kasus CKD terutama tanpa
penggunaan ACEI atau ARB tidak disarankan.
f. Alpha bloker
Alpha bloker berperan dalam menurunkan tekanan
darah dengan efek vasodilatasi perifer. Prazosin,
doxazosin, dan terazosin adalah conton dari alpha
bloker yang banyak digunakan. Terapi dengan alpha
bloker merupakan terapi adjuvant jika terapi dengan
ACEI, ARB, diuretic, beta bloker belum dapat
mengkoreksi tekanan darah. Keuntungan lain adalah jika
pasien memiliki symptom hipertrofi prostat. Alfa bloker
mampu mengurang gejala pada BPH yang dimana
kondisi ini menjadi salah satu komorbid pada CKD pada
laki-laki. Alpha bloker tidak menjadi pilihan utama pada
agen hipertensi dikarenakan efek samping yang berupa
hipotensi postural, utama pada pasien dewasa dan tua,
takikardi, dan sakit kepala. Penggunaan obat ini harus
dimulai dengan dosis terkecil dikarenakan reaksi first
dose hypotensionnya. Obat ini sering dikombinasi
dengan golongan diuretic dikarenakan efek samping
edema perifernya.
BAB IV
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA