You are on page 1of 5

Assalamualaikum,

Berikut tulisan Prof. Quraish Shihab mengenai Puasa, yang dikutip dari buku beliau
yang berjudul:
WAWASAN AL-QURAN Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Prof. Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan

Semoga bermanfaat
Wassalam
Ria Fitria
-----------------------------------------------------------------------------------------
PUASA (1/3)

MARHABAN YA RAMADHAN

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "marhaban" diartikan sebagai "kata seru
untuk menyambut atau menghormati tamu (yang berarti selamat datang)." Ia sama
dengan ahlan wa sahlan yang juga dalam kamus tersebut diartikan "selamat datang."

Walaupun keduanya berarti "selamat datang" tetapi penggunaannya berbeda. Para


ulama tidak menggunakan ahlan wasahlan untuk menyambut datangnya bulan
Ramadhan, melainkan "marhaban ya Ramadhan".

Ahlan terambil dari kata ahl yang berarti "keluarga", sedangkan sahlan berasal
dari kata sahl yang berarti mudah. Juga berarti "dataran rendah" karena mudah dilalui,
tidak seperti "jalan mendaki". Ahlan wa sahlan, adalah ungkapan selamat datang,
yang dicelahnya terdapat kalimat tersirat yaitu, "(Anda berada di tengah) keluarga
dan (melangkaLkar1 kaki di) dataran rendah yang mudah."

Marhaban terambil dari kata rahb yang berarti "luas" atau "lapang", sehingga
marhaban menggambarkan bahwa tamu disambut dan diterima dengan dada lapang,
penuh kegembiraan serta dipersiapkan baginya ruang yang luas untuk melakukan apa
saja yang diinginkannya. Dari akar kata yang sama dengan "marhaban", terbentuk
kata rahbat yang antara lain berarti "ruangan luas untuk kendaraan, untuk memperoleh
perbaikan atau kebutuhan pengendara guna melanjutkan perjalanan." Marhaban ya
Ramadhan berarti "Selamat datang Ramadhan" mengandung arti bahwa kita
menyambutnya dengan lapang dada, penuh kegembiraan; tidak dengan menggerutu
dan menganggap kehadirannya "mengganggu ketenangan" atau suasana nyaman kita.

Marhaban ya Ramadhan, kita ucapkan untuk bulan suci itu, karena kita
mengharapkan agar jiwa raga kita diasah dan diasuh guna melanjutkan perjalanan menuju
Allah Swt.

Ada gunung yang tinggi yang harus ditelusuri guna menemui-Nya, itulah nafsu. Di
gunung itu ada lereng yang curam, belukar yang lebat, bahkan banyak perampok yang
mengancam, serta iblis yang merayu, agar perjalanan tidak melanjutkan. Bertambah
tinggi gunung didaki, bertambah hebat ancaman dan rayuan, semakin curam dan ganas
pula perjalanan. Tetapi, bila tekad tetap membaja, sebentar lagi akan tampak cahaya
benderang, dan saat itu, akan tampak dengan jelas rambu-rambu jalan, tampak tempat-
tempat indah untuk berteduh, serta telaga-telaga jernih untuk melepaskan dahaga. Dan
bila perjalanan dilanjutkan akan ditemukan kendaraan Ar-Rahman untuk mengantar
sang musafir bertemu dengan kekasihnya, Allah Swt. Demikian kurang lebih perjalanan
itu dilukiskan dalam buku Madarij As-Salikin.

Tentu kita perlu mempersiapkan bekal guna menelusuri jalan itu. Tahukah Anda
apakah bekal itu? Benih-benih kebajikan yang harus kita tabur di lahan jiwa kita. Tekad
yang membaja untuk memerangi nafsu, agar kita mampu menghidupkan malam
Ramadhan dengan shalat dan tadarus, serta siangnya dengan ibadah kepada Allah melalui
pengabdian untuk agama, bangsa dan negara. Semoga kita berhasil, dan untuk itu
mari kita buka lembaran Al-Quran mempelajari bagaimana tuntunannya.

PUASA MENURUT AL-QURAN

Al-Quran menggunakan kata shiyam sebanyak delapan kali, kesemuanya dalam arti
puasa menurut pengertian hukum syariat. Sekali Al-Quran juga menggunakan kata
shaum, tetapi maknanya adalah menahan diri untuk tidak bebicara:

Sesungguhnya Aku bernazar puasa (shauman), maka hari


ini aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia
pun (QS Maryam [19]: 26).

Demikian ucapan Maryam a.s. yang diajarkan oleh malaikat Jibril ketika ada yang
mempertanyakan tentang kelahiran anaknya (Isa a.s.). Kata ini juga terdapat masing-
masing sekali dalam bentuk perintah berpuasa di bulan Ramadhan, sekali dalam
bentuk kata kerja yang menyatakan bahwa "berpuasa adalah baik untuk kamu", dan
sekali menunjuk kepada pelaku-pelaku puasa pria dan wanita, yaitu ash-shaimin
wash-shaimat.

Kata-kata yang beraneka bentuk itu, kesemuanya terambil dari akar kata yang sama
yakni sha-wa-ma yang dari segi bahasa maknanya berkisar pada "menahan" dan
"berhenti atau "tidak bergerak". Kuda yang berhenti berjalan dinamai faras shaim.
Manusia yang berupaya menahan diri dari satu aktivitas --apa pun aktivitas itu--
dinamai shaim (berpuasa). Pengertian kebahasaan ini, dipersempit maknanya oleh
hukum syariat, sehingga shiyam hanya digunakan untuk "menahan diri dar makan,
minum, dan upaya mengeluarkan sperma dari terbitnya fajar hingga terbenamnya
matahari".

Kaum sufi, merujuk ke hakikat dan tujuan puasa, menambahkan kegiatan yang harus
dibatasi selama melakukan puasa. Ini mencakup pembatasan atas seluruh anggota tubuh
bahkan hati dan pikiran dari melakukan segala macam dosa.
Betapa pun, shiyam atau shaum --bagi manusia-- pada hakikatnya adalah menahan atau
mengendalikan diri. Karena itu pula puasa dipersamakan dengan sikap sabar, baik dari
segi pengertian bahasa (keduanya berarti menahan diri) maupun esensi kesabaran dan
puasa.

Hadis qudsi yang menyatakan antara lain bahwa, "Puasa untuk-Ku, dan Aku yang
memberinya ganjaran" dipersamakan oleh banyak ulama dengan firman-Nya dalam surat
Az-Zumar (39): 10.

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang


disempurnakan pahalanya tanpa batas.

Orang sabar yang dimaksud di sini adalah orang yang berpuasa.

Ada beberapa macam puasa dalam pengertian syariat/hukum sebagaimana


disinggung di atas.

1. Puasa wajib sebutan Ramadhan.


2. Puasa kaffarat, akibat pelanggaran, atau semacamnya.
3. Puasa sunnah.

Tulisan ini akan membatasi uraian pada hal-hal yang berkisar pada puasa bulan
Ramadhan.

PUASA RAMADHAN

Uraian Al-Quran tentang puasa Ramadhan, ditemukan dalam suratAl-Baqarah (2): 183,
184, 185, dan 187. Ini berarti bahwa puasa Ramadhan baru diwajibkan setelah Nabi
Saw. tiba di Madinah, karena ulama Al-Quran sepakat bahwa surat A1-Baqarah turun di
Madinah. Para sejarawan menyatakan bahwa kewajiban melaksanakan puasa
Ramadhan ditetapkan Allah pada 10 Sya'ban tahun kedua Hijrah.

Apakah kewajiban itu langsung ditetapkan oleh Al-Quran selama sebutan penuh,
ataukah bertahap? Kalau melihat sikap Al-Quran yang seringkali melakukan
penahapan dalam perintah-perintahnya, maka agaknya kewajiban berpuasa pun
dapat dikatakan demikian. Ayat 184 yang menyatakan ayyaman ma'dudat (beberapa hari
tertentu) dipahami oleh sementara ulama sebagai tiga hari dalam sebutan yang
merupakan tahap awal dari kewajiban berpuasa. Hari-hari tersebut kemudian
diperpanjang dengan turunnya ayat 185:

Barangsiapa di antara kamu yang hadir (di negeri


tempat tinggalnya) pada bulan itu (Ramadhan), maka
hendaklah ia berpuasa (selama bulan itu), dan siapa
yang sakit atau dalam perjalanan, maka wajib baginya
berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya.
Pemahaman semacam ini menjadikan ayat-ayat puasa Ramadhan terputus-putus tidak
menjadi satu kesatuan. Merujuk kepada ketiga ayat puasa Ramadhan sebagai satu
kesatuan, penulis lebih cenderung mendukung pendapat ulama yang menyatakan bahwa
Al-Quran mewajibkannya tanpa penahapan. Memang, tidak mustahil bahwa Nabi dan
sahabatnya telah melakukan puasa sunnah sebelumnya. Namun itu bukan kewajiban
dari Al-Quran, apalagi tidak ditemukan satu ayat pun yang berbicara tentang puasa
sunnah tertentu.

Uraian Al-Quran tentang kewajiban puasa di bulan Ramadhan, dimulai dengan satu
pendahuluan yang mendorong umat islam untuk melaksanakannya dengan baik, tanpa
sedikit kekesalan pun.

Perhatikan surat Al-Baqarah (2): 185. ia dimulai dengan panggilan mesra, "Wahai
orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kamu berpuasa." Di sini tidak
dijelaskan siapa yang mewajibkan, belum juga dijelaskan berapa kewajiban puasa itu,
tetapi terlebih dahulu dikemukakan bahwa, "sebagaimana diwajibkan terhadap
umat-umat sebelum kamu." Jika demikian, maka wajar pula jika umat Islam
melaksanakannya, apalagi tujuan puasa tersebut adalah untuk kepentingan yang
berpuasa sendiri yakni "agar kamu bertakwa (terhindar dari siksa)."

Kemudian Al-Quran dalam surat A1-Baqarah (2): 186 menjelaskan bahwa kewajiban
itu bukannya sepanjang tahun, tetapi hanya "beberapa hari tertentu," itu pun hanya
diwajibkan bagi yang berada di kampung halaman tempat tinggalnya, dan dalam
keadaan sehat, sehingga "barangsiapa sakit atau dalam perjalanan," maka dia (boleh)
tidak berpuasa dan menghitung berapa hari ia tidak berpuasa untuk digantikannya pada
hari-hari yang lain. "Sedang yang merasa sangat berat berpuasa, maka (sebagai
gantinya) dia harus membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin."
Penjelasan di atas ditutup dengan pernyataan bahwa "berpuasa adalah baik."

Setelah itu disusul dengan penjelasan tentang keistimewaan bulan Ramadhan, dan
dari sini datang perintah-Nya untuk berpuasa pada bulan tersebut, tetapi kembali
diingatkan bahwa orang yang sakit dan dalam perjalanan (boleh) tidak berpuasa dengan
memberikan penegasan mengenai peraturan berpuasa sebagaimana disebut
sebelumnya. Ayat tentang kewajiban puasa Ramadhan ditutup dengan "Allah
menghendaki kemudahdn untuk kamu bukan kesulitan," lalu diakhiri dengan perintah
bertakbir dan bersyukur. Ayat 186 tidak berbicara tentang puasa, tetapi tentang doa.
Penempatan uraian tentang doa atau penyisipannya dalam uraian Al-Quran tentang puasa
tentu mempunyai rahasia tersendiri. Agaknya ia mengisyaratkan bahwa berdoa di
bu1an Ramadhan merupakan ibadah yang sangat dianjurkan, dan karena itu ayat
tersebut menegaskan bahwa "Allah dekat kepada hamba-hamba-Nya dan menerima
doa siapa yang berdoa."

Selanjutnya ayat 187 antara lain menyangkut izin melakukan hubungan seks di malam
Ramadhan, di samping penjelasan tentang lamanya puasa yang harus dikerjakan, yakni
dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari.
Banyak informasi dan tuntunan yang dapat ditarik dari ayat-ayat di atas berkaitan
dengan hukum maupun tujuan puasa. Berikut akan dikemukan sekelumit baik yang
berkaitan dengan hukum maupun hikmahnya, dengan menggarisbawahi kata atau
kalimat dari ayat-ayat puasa di atas.

---------------- InsyaAllah bersambung (bersambung 2/3)

You might also like