You are on page 1of 22

MAKALAH STUDI AL-QURAN

SEJARAH, METODE DAN CORAK PENAFSIRAN

D
I
S
U
S
U
N
OLEH:

SUFYAN ILYAS
215 301 0747

DOSEN :
Prof. Dr. H. ROHIMIN, M.Ag

PROGRAM PASCA SARJANA

STUDY HUKUM ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BENGKULU

TAHUN 2015
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................... i

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN

A. SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR ....................................... 3


1. Tafsir Pada Masa Rasulullah dan Sahabat ................................. 3
2. Tafsir Pada Masa Tabiin ........................................................... 4
3. Tafsir Pada Masa Tadwin .......................................................... 4
B. METODE TAFSIR .......................................................................... 5
1. Metode Ijmali (global) ............................................................... 5
2. Metode Tahlili (analitis) ............................................................ 6
3. Metode Muqarin (komparatif) ................................................... 9
4. Metode Maudhui (tematik) .................................................... 10
C. CORAK TAFSIR .......................................................................... 12
1. Tafsir Bercorak Sufi ................................................................ 12
2. Tafsir Bercorak Fiqh ............................................................... 13
3. Tafsir Bercorak Lughawi ........................................................ 14
4. Tafsir Bercorak Adabi Ijtimai................................................ 15
5. Tafsir Bercorak Falsafi ........................................................... 16
6. Tafsir Bercorak Ilmi .............................................................. 17
7. Tafsir Bercorak Teologi (kalam) ............................................ 18

BAB III PENUTUP ................................................................................ 19

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 20


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Quran adalah sumber ajaran Islam. Kitab suci itu menempati posisi sentral, bukan
saja dalam perkembangannya ilmu-ilmu ke-Islaman, tetapi juga merupakan inspirator,
pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang 14 abad sejarah pergerakan
umat ini.

Al-Quran bagaikan samudra yang tidak pernah kering airnya, gelombangnya tidak
pernah reda, kekayaan dan hazanah yang dikandungnya tidak pernah habis, dapat di layari
dan diselami dengan berbagai cara, dan memberikan manfaat dan dampak yang luar biasa
bagi kehidupan umat manusia. Dalam kedudukannya sebagai kitab suci (Scripture) dan
mujizat bagi kaum muslimin, Al-Quran merupakan sumber keamanan, sumber motivasi dan
inspirasi, sumber nilai dan sumber dari segala sumber hukum yang tidak pernah kering atau
jenuh bagi yang mengimaninya. Di dalamnya (Al-Quran) terdapat dokumen historis yang
merekam kondisi sosio ekonomis, religius, ideologis, politis dan budaya dari peradaban umat
manusia sampai abad ke VII masehi, namun pada saat yang sama menawarkan hazanah
petunjuk dan tata aturan tindakan bagi umat manusia yang ingin hidup dibawah nuangan dan
yang mencari makna kehidupan mereka didalamnya. Jika demikian itu halnya, maka
pemahaman terdapat ayat-ayat Al-Quran melalui penafsiran-penafsiran, mempunyai peranan
yang sangat besar bagi maju mundurnya umat, menjamin istilah kunci untuk membuka
gudang simpanan yang tertimbun dalam Al-Quran.

Sebagai pedoman hidup untuk segala zaman, dan dalam berbagai aspek kehidupan
mansusia, Al-Quran merupakan kitab suci yang terbuka (open ended), untuk dipahami,
ditafsirkan dan ditakwilkan dalam prespektif metode tafsir maupun perspektif dimensi-
dimensi atau tema-tema kehidupan manusia dari sini mencullah ilmu-ilmu untuk mengkaji
Al-Quran dari berbagai aspeknya (asbab al nuzul, filologi tradisi dan substansi) termasuk di
dalamnya ilmu tafsir. Berkembanglanh ilmu-ilmu tafsir dari para mufassir dalam berbagai
ragam metode dan coraknya, berikut ini akan dikemukakan sepintas sejarah penafsiran,
metode yang digunakan mufassir dalam memahami A-Quran dan berbagai macam corak
yang digunakan mufassir dalam menjelaskan isi kandungan kitab suci Al-Quran.
B. Rumusan Masalah

Untuk memudahkan memahami isi makalah, penulis mencoba mempersempit uraian-


uraian dalam makalah ini menjadi beberapa garis besar yang pada intinya membahas:

1. Bagaimana Sejarah Munculnya Metode Dan Corak Penafsiran

2. Apa Saja Metode Penafsiran Yang Digunakan Mufassir Dalam Memahami Al-
Quran

3. Corak Apa Saja Yang Digunakan Mufassir Dalam Menafsirkan Al-Quran


BAB II
PEMBAHASAN

A. SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR

1. Tafsir Pada Masa Rasulullah dan Sahabat

Pada saat Al-Quran diturunkan, Rasul Saw yang berfungsi sebagai mubayyin
(pemberi penjelasan), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan
Al-Quran, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar artinya.
Keadaan ini berlangsung sampai dengan wafatnya Rasul Saw., walaupun harus diakui bahwa
penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui akibat tidak sampainya riwayat-riwayat
tentangnya atau karena memang Rasul Saw. sendiri tidak menjelaskan semua kandungan Al-
Quran. Bila pada masa Rasulullah Saw para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang
tidak jelas kepada beliau, maka setelah wafatnya, mereka terpaksa melakukan ijtihad,
khususnya mereka yang mempunyai kemampuan semacam 'Ali bin Abi Thalib, Ibnu 'Abbas,
Ubay bin Ka'ab, dan Ibnu Mas'ud.

Semenjak Rasulullah wafat, para sahabat tampil ke muka untuk mengelaborasikan


ayat-ayat Al-Quran. Kalau pada masa Rasulullah para sahabat bisa langsung bertanya
padanya tentang kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi, maka setelah wafatnya, mereka
melakukan ijtihad sendiri dalam menafsirkan Al-Quran, dan tetap berpegang pada Al-Quran
dan sunnah Nabi.1

Pada periode kedua ini, hadits-hadits telah beredar sedemikian pesatnya, dan
bermunculanlah hadis-hadis palsu dan lemah di tengah-tengah masyarakat. Sementara itu
perubahan sosial semakin menonjol, dan timbullah beberapa persoalan yang belum pernah
terjadi atau dipersoalkan pada masa Nabi Muhammad Saw para sahabat, dan tabi'in.

Dalam menafsirkan Al-Quran para sahabat berpegang pada; pertama: Al-Quran itu
sendiri. Dimana ayat Al-Quran yang masih bersifat global terdapat penjelasannya pada ayat
lain, begitu pula ayat-ayat yang masih bersifat mutlak atau umum, pada ayat lain yang
mengkhususkannya. Kedua: Dikembalikan kepada hadits Nabi. Hal ini dilakukan karena
beliau merupakan penafsir pertama bagi Al-Quran, dan diantara kandungan Al-Quran
terdapat ayat-ayat yang tidak dapat diketahui tawilnya kecuali penjelasan Rasulullah.

1
Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, Mizan: Bandung, 1994, hal. 71
Misalnya rincian tentang perintah dan larangan-Nya serta ketentuan mengenai hukum-hukum
yang difardukan-Nya. Ketiga: Melalui pemahaman dan ijtihad. Apabila para sahabat tidak
mendapatkan tafsiran dalam Al-Quran dan tidak pula mendapatkan sesuatu pun yang
berhubungan dengan hal itu dari Rasulullah, mereka melakukan ijtihad dengan mengerahkan
segenap kemampuan nalar. Hal ini mengingat mereka adalah orang-orang Arab asli yang
sangat menguasai bahasa Arab, memahaminya dengan baik dan mengetahui aspek-aspek ke-
balaghah-an yang ada di dalamnya.2

2. Tafsir Pada Masa Tabiin

Ada beberapa tempat yang oleh tabiin dijadikan sebagai pusat perkembangan ilmu
tafsir. Para tokoh tabiin mendapatkan qaul-qaul sahabat di tiga tempat yaitu Makkah,
Madinah dan di Iraq. Ibnu Taimiyyah mengatakan: Orang-orang yang paling mengerti
tentang tafsir adalah orang-orang Makkah, karena mereka adalah murid-murid Ibnu Abbas
r.a. seperti Mujahid, Atho ibn Abi Riyah, Ikrimah, Jubair, Thawus, dan lain-lain. Begitu
juga di Kufah ada murid-murid Ibnu Masud. Sedangkan ulama Madinah di bidang tafsir
seperti Zaid Ibnu Aslam.3

Para tabiin juga memberikan perhatian yang sangat besar kepada Israiliyyat dan
Nasraniyyat. Mereka menerima berita-berita dari orang-orang Yahudi dan Nashrani yang
masuk Isam, kemudian mereka memasukkannya kedalam tafsir. Menurut keterangan yang
ditulis Hamka, para mufassir saat itu sangat berbaik sangka kepada pembawa berita. Mereka
menganggap orang yang telah masuk Islam tidak mau berdusta. Oleh sebab itu, para mufassir
saat itu tidak mengoreksi lagi khabar-khabar yang mereka terima.

3. Tafsir pada Masa Tadwin

Masa tadwin ini dimulai dari awal zaman Abbasiah. Para ulama saat itu
mengumpulkan hadis-hadis yang mereka peroleh dari para sahabat dan tabiin. Mereka
menyusun tafsir dengan menyebutkan sepotong ayat, kemudian menyebutkan riwayat dari
para sahabat dan tabiin. Namun demikian, ayat-ayat Al-Quran yang ditafsiri ini masih belum
tersusun sesuai dengan susunan mushaf.

2
Mannaa Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Quran , terjemahan Drs. Mudzakkir AS, cet. 6, Litera Antar Nusa,
Jakarta, 2001, hal. 470-472.
3
Muhammad Chirzin. Al-Quran dan Ulumul Quran. Yogyakarta : PT Dana Bhakti Primayasa, 1998, hal. 310
Untuk memisahkan hadis-hadis tafsir dari hadis yang lain, para ulama mengumpulkan
hadis-hadis yang marfu dan hadis-hadis mauquf tentang tafsir. Mereka mengumpulkan hadis
bahkan dengan mengambilnya dari berbagai kota. Di antara ulama yang mengumpulkan hadis
dari berbagi daerah ini adalah: Sufyan Ibnu Uyainah, Waki Ibnu Jarrah, Syubah Ibnu
Hajjaj, Ishaq Ibnu Rahawaih.
Pada akhir abad kedua barulah hadis-hadis tafsir dipisahkan dari hadis-hadis lainnya
dan disusun tafsir berdasarkan urutan mushaf. Menurut penelitian Ibnu Nadim, orang yang
pertama kali menafsirkan ayat-ayat Al-Quran menurut tertib mushaf adalah al-Farra. Ia
melakukannya atas permintaan Umar Ibnu Bakir. Ia mendiktekan tafsirnya kepada murid-
muridnya di masjid setiap hari Jumat.
Pada masa Abbasiyah seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan berkembang
pula ilmu tafsir. Para ulama nahwu seperti Sibawaihi dan al-Kisaiy mengirabkan Al-Quran.
Para ahli nahwu dan bahasa menyusun kitab yang dinamakan dengan Maani Al-Quran.

B. METODE TAFSIR
1. Metode Ijmali (global)

Metode ijmali ialah metode dalam menjelaskan ayat-ayat al-Quran secara ringkas
tetapi mencakup, dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti, dan enak dibaca.
Sistematika penulisannya menuruti susunan ayat-ayat di dalam mushaf. Di samping itu,
penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Quran, sehingga pendengar dan
pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar al-Quran, padahal yang didengar adalah
tafsirnya.4

Dengan metode ini, mufasir mengemukakan penafsiran yang tidak terlalu jauh dari
bunyi teks ayat al-Qur'an. Mufasir memberikan penafsiran dengan cara yang paling mudah
dan tidak berbelit-belit. Artinya, mufasir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an
menggunakan uraian yang ringkas tetapi mencakup, dengan bahasa yang populer, mudah
dimengerti dan enak dibaca. Kitab tafsir yang termasuk kategori ini di antaranya adalah Kitab
Tafsir Al-Qur'an al-Karim karya Muhammad Farid Wajdi, Al-Tafsir al-Wasith terbitan
Majma al-Buhits al-Islamiyyat, Tafsir Jalalain karya Al-Mahally dan Al-Suyuthy, dan Taj
al-Tafasir karya Muhammad Utsman al-Mirghani.5

4
Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Quran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, hal. 13
5
Ibid., hal. 13
Kelebihan dari metode ini, pertama, mudah dipahami dan praktis, tanpa berelit-belit
pemahaman al-Qur'an segera dapat diserap oleh pembacanya. Pola penafsiran seperti ini lebih
cocok untuk para pemula seperti mereka yang berada di jenjang pendidikan SLTA ke bawah,
atau mereka yang baru belajar tafsir al-Qur'an. Demikian pula bagi mereka yang ingin
memperoleh pemahaman ayat-ayat al-Qur'an dalam waktu yang relatif singkat. Kedua, bebas
dari penafsiran israiliyat, karena penafsirannya lebih murni dan terbebas dari pemikiran-
pemikiran israiliyat. Dengan demikian, pemahaman al-Qur'an akan dapat dijaga dari
intervensi pemikiran-pemikiran yang kadang-kadang tidak sejalan dengan martabat al-Qur'an
sebagai kalam Allah yang Maha Suci. Selain itu juga dapat membendung pemikiran-
pemikiran spekulatif yang dikembangkan oleh teolog, sufi, dan lain-lain. Ketiga, akrab
dengan bahasa al-Qur'an sehingga pembaca tidak merasakan bahwa dia telah membaca kitab
tafsir.

Kekurangan metode ini adalah pertama, menjadi petunjuk al-Qur'an bersifat parsial.
Kedua, tidak ada ruangan untuk mengemukakan analisis yang memadai. Dalam hal ini
mufasir harus menyadari bahwa memang tidak ada ruangan bagi mereka untuk
mengemukakan pembahasan-pembahasan yang memadai sesuai dengan keahlian mereka
masing-masing.6 Dengan demikian, model penafsiran seperti ini tidak cukup untuk
mengantarkan pembaca dalam mendialogkan al-Qur'an dengan persoalan sosial maupun
problema keilmuan yang aktual dan problematis.

2. Metode Tahlili (analitis)

Metode tahlili ialah metode dalam menjelaskan al-Quran dengan memaparkan segala
aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu, serta menerangkan makna-
makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang
menafsirkan ayat-ayat tersebut. Sistematika penulisannya menuruti susunan ayat-ayat dan
surat-surat di dalam mushaf. Tafsir dengan metode tahlili tersebut menguraikan berbagai
aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan, seperti pengertian kosa kata,
konotasi kalimatnya, latar belakang turunnya ayat, keterkaitan dengan ayat lain (munasabah),
dan pendapat-pendapat yang telah ada berkenaan dengan penafsiran ayat-ayat tersebut, baik
yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, tabiin, maupun ahli tafsir lainnya.7

6
Ibid., hal. 22-28.
7
Ibid., 31.
Metode pertama yakni metode tahlily (analitis), dimana Baqir Shadr,8
menyebutkannya dengan metode tajziiy, yaitu suatu metode tafsir dimana mufasirnya
berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur'an dari berbagai seginya dengan
memperhatikan runtutan ayat-ayat dan suratsurat al-Qur'an sebagaimana yang tercantum
dalam mushaf.9

Dalam menafsirkan al-Qur'an dengan menggunakan metode ini, mufasir menguraikan


hal-hal sebagai berikut; arti kosa kata, asbabunnuzul, munasabah, konotasi kalimatnya,
pendapat-pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik
yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, tabiin, maupun ahli tafsir lainnya.10 Prosedur ini
dilakukan dengan mengikuti susunan mushaf, ayat per ayat dan surat per surat.

Kelebihan dari metode ini, pertama, mempunyai ruang lingkup yang luas, artinya
dapat dikembangkan dalam berbagai corak penafsiran sesuai dengan keahlian masing-masing
mufasir. Kedua, memuat berbagai ide, di mana mufasir diberi kesempatan yang luas untuk
mencurahkan ideide dan gagasannya dalam menafsirkan al-Qur'an. Itu artinya pola penafsiran
metode ini dapat menampung berbagai ide yang terpendam di dalam benak mufasir, bahkan
ide-ide jahat dan ekstrim pun dapat ditampungnya.

Kelemahan dari metode ini, pertama, menjadikan petunjuk al-Qur'an parsial atau
terpecah-pecah, sehingga terasa seakan-akan al-Qur'an memberikan pedoman secara tidak
utuh dan tidak konsisten, karena penafsiran yang diberikan pada suatu ayat berbeda dari
penafsiran yang diberikan pada ayat-ayat yang lain yang sama dengannya. Kedua, melahirkan
subjektif, di mana metode ini memberikan peluang yang luas sekali kepada mufasir untuk
mengemukakan ide-ide dan pemikirannya, sehingga kadang-kadang ia tidak sadar bahwa dia
telah menafsirkan al-Qur'an secara subjektif, dan tidak mustahil pula di antara mereka yang
menafsirkan al-Qur'an sesuai dengan kemauan hawa nafsunya, tanpa mengindahkan kaidah-
kaidah yang berlaku. Ketiga, masuknya pemikiran israiliyat.11

8
Nama lengkapnya adalah Ayatullah Baqir Shadr. Lahir pada tanggal 25 Dzul-Qaidah 1353 H. Beliau adalah
seorang ulama terkenal dari Irak, dan meninggal karena dibunuh pada malam 9 April 1980, karena dianggap
membahayakan pemerintahan Baas di Irak.
9
Muhammad Baqir Shadr, Al-Tafsir al-Maudlui wa al-tafsir al-Takziiy fi Al-Quran al Karim, Dar al-Taaruf li
al-Mathbuah, Beirut, tt, hal. 10
10
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Quran, cet. II, Pustaka Pelajar, 2000, hal. 31.
11
Ibid,,, h.53-60
Seperti dikatakan Baqir Shadr, bahwa kelemahan dari metode ini adalah mufasir
menggunakan semua sarana yang ada hanya untuk menemukan makna harfiah dari suatu
ayat, atau hanya menghasilkan suatu mengkoordinasikan informasi dari ayat-ayat al-Qur'an
serta tidak mampu menyuguhkan pandangan al-Qur'an berkenaan dengan berbagai persoalan
kehidupan.12

Penafsiran yang mengikuti metode ini dapat mengambil bentuk


matsur (riwayat) atau ray (pemikiran).
a. Di antara kitab tafsir tahlili yang mengambil bentuk al-matsur adalah:
1) kitab tafsir Jami al-Bayanan Tawil Ayi al-Quran karangan Ibn Jarir al-
Thabari [w.310H],
2) Maalim al-Tazil karangan al-Baghawi [w.516H],
3) Tafsir al-Quran al-Azhim [terkenal dengan tafsir Ibn Katsir] karangan Ibn
Katsir [w.774H]
4) al-Durr al-Mantsur fi al-tafsir bi al-Matsur karangan al-Suyuthi [w.911H].

b. Tafsir tahlili yang mengambil bentuk al-Ray banyak sekali, antara lain:
1) Tafsir Lubb al-tawl f man al-tanzl karya Imam al-Khzin (w.741 H)
2) Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Tawil karangan al-Baydhawi [w.691H]
3) al-Kasysyaf karangan al-Zamakhsyari [w.538H]
4) Arais al-Bayan fi Haqaia al-Quran karangan al-Syirazi [w.606H], dan lain-
lain.

3. Metode Muqarin (komparatif)

Metode muqarin ialah membandingkan teks (nash) ayat-ayat al-Quran yang memiliki
kesamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang
berbeda bagi satu kasus yang sama. Istilah lain ialah membandingkan ayat-ayat al-Quran
dengan Hadis yang pada lahirnya terlihat bertentangan, atau juga diartikan dengan
membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan al-Quran.13

12
Muhammad Baqir Shadr, op.cit., hal. 57.
13
Ibid., 65. Lihat pula Abd. Hayy al-Farmawi, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhui, Mesir: Mathbaah al-
Hadharat al-Arabiyyah, 1997, hal. 45-46.
Dari berbagai literatur yang ada, dapat dirangkum bahwa yang dimaksud dengan
metode komparatif ialah:

a. Membandingkan teks (nash) ayat-ayat al-Qur'an yang memiliki persamaan atau


kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang
berbeda bagi satu kasus yang sama;
b. Membandingkan ayat al-Qur'an dengan hadits yang pada lahirnya terlihat
bertentangan;
c. Membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur'an. Dari
definisi tersebut terlihat jelas bahwa tafsir al-Qur'an dengan menggunakan metode
ini ruang lingkupnya sangat luas.14
Jika dilaksanakan secara konsisten, tentu saja metode ini sangat bagus, bisa
memperkaya wawasan pembacanya. Penafsir dituntut menguasai sekian banyak kepustakaan
mengenai tafsir al-Qur'an, sejak dari salaf sampai kepustakaan kontemporer.

Mengingat luasnya cakupan yang bisa diperbandingkan, biasanya tafsir muqarin


hanya membatasi pada sejumlah ayat atau surat-surat tertentu. Sebagaimana diketahui,
berbeda-beda kepekaan dan perhatian intelektualnya, sekalipun yang dihadapi sama-sama al-
Qur'an. Ada diantara mereka yang mengkhususkan kajiannya pada aspek hukum, filsafat,
tasawuf, kesusastraan, keilmuan, ekonomi, dan aspek-aspek lain yang memungkinkan, karena
al-Qur'an terbuka untuk diajak dialog oleh setiap pembacanya.

Kelebihan metode ini adalah pertama, memberikan wawasan penafsiran yang relatif
lebih luas kepada para pembaca bisa dibandingkan metode-metode yang lain. Di mana semua
pendapat atau penafsiran yang diberikan itu dapat diterima selama proses penafsirannya
melalui metode dan kaidah yang benar. Kedua, membuka pintu untuk selalu bersikap toleran
terhadap pendapat orang lain yang kadang-kadang jauh berbeda dari pendapat kita dan tidak
mustahil ada yang kontradiktif. Dengan demikian, dapat mengurangi fanatisme yang
berlebihan kepada suatu madzhab atau aliran tertentu. Ketiga, metode ini sangat berguna bagi
mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tetapi suatu ayat. Oleh karena itu,
penafsiran semacam ini cocok untuk mereka yang ingin mendalami dan memperluas
penafsiran al-Qur'an. Keempat, mufasir didorong untuk mengkaji berbagai ayat dan hadits-
hadits serta pendapat-pendapat para mufasir yang lain. Dengan demikian, pola ini akan

14
M. Quraisy Syihab, Tafsir dengan Metode Maudhui, di dalam beberapa aspek ilmiah tentang Al-Quran,
1986, hal. 38.
membuatnya lebih berhati-hati dalam proses penafsiran suatu ayat, sehingga penafsiran yang
diberikannya relatif lebih terjamin kebenarannya dan lebih dapat dipercaya.
Kekurangan metode ini adalah pertama, metode ini tidak dapat diberikan kepada para
pemula, seperti mereka yang sedang belajar pada tingkat sekolah menengah ke bawah, karena
pembahasan yang dikemukakan di dalamnya terlalu luas dan kadang-kadang bisa ekstrim.
Kedua, metode ini kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial yang
tumbuh di tengah-tengah masyarakat. Hal itu disebabkan metode ini lebih mengutamakan
perbandingan daripada pemecahan masalah. Ketiga, metode ini terkesan lebih banyak
menelusuri penafsiran-penafsiran yang pernah diberikan oleh ulama daripada mengemukakan
penafsiran-penafsiran baru. Sebenarnya hal ini bisa saja tidak terjadi apabila mufasir bisa
mengaitkannya dengan kondisi yang dihadapinya.15

Adapun kitab tafsir yang masuk dalam kategori ini adalah Rawai al-Bayan Fi Tafsir
Ayat al-Ahkam karya Ali Ash-Shabuny.

4. Metode Maudhui (tematik)

Metode maudhui ialah membahas ayat-ayat al-Quran sesuai dengan tema atau judul
yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan, dihimpun, kemudian dikaji secara
mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya seperti asbab al-nuzul,
kosakata, dan lain sebagainya.16 Yaitu membahas ayat-ayat al-Qur'an sesuai dengan tema
atau judul yang telah ditetapkan.17 Metode tafsir yang ide awalnya berasal dari Al-Syathiby
dan mengkristal dalam tulisan Mahmud Syalthuth ini dalam operasionalnya mempunyai
beberapa langkah. Pertama, menetapkan tema yang akan dibahas. Kedua, menginventarisir
ayat-ayat yang berkaitan dengan tema tersebut. Ketiga, menyusun himpunan ayat yang
tersebut sesuai dengan kronologi turunnya ayat yang dibarengi dengan pemahaman akan
asbabunnuzulnya. Keempat, memahami munasabah ayat tersebut dalam suratnya masing-
masing. Kelima, menyusun pembahasan dalam outline yang sempurna. Keenam, melengkapi
pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dan yang terahir mempelajari ayat-ayatnya
tersebut mempunyai pengertian yang sama atau mengkompromikan yang amm dan khash,

15
Nashruddin Baidan, op.cit., hal. 151
16
Ibid., 151.
17
Nashruddin Baidan, op.cit., hal. 142-144.
mutlaq dan muqayyad, atau yang secara zhahir bertentangan, sehingga semuanya bertemu
pada muara yang sama tanpa perbedaan atau pemaksaan.18

Selain penafsiran maudluiy dalam bentuk ayat, sebagaimana dikemukakan di atas,


juga dikenal penafsiran maudluiy dalam bentuk surat, di mana sebuah surat dikaji dengan
kajian yang universal (tidak parsial) yang di dalamnya dikemukakan misi awalnya lalu misi
utamanya, serta kaitan antara satu bagian surat dan bagian yang lain, sehingga wajah surat itu
mirip seperti bentuk yang sempurna dan saling melengkapi.19

Di antara tafsir yang termasuk kategori tafsir maudluiy, misalnya; Al-Insan Fi al-
Qur'an dan Mar-at Fi al-Qur'an, keduanya karangan Mahmud al-Aqqad; Al-Riba Fi al-
Qur'an karangan Al-Maududi.

Kelebihan metode ini adalah pertama, menjawab tantangan zaman, artinya metode ini
ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan. Di mana metode ini mengkaji semua ayat al-
Qur'an yang berbicara tentang kasus yang sedang dibahas secara tuntas dari berbagai
aspeknya. Kedua, praktis dan sistematis. Kondisi semacam ini sangat cocok dengan
kehidupan umat yang semakin modern dengan mobilitas yang tinggi sehingga mereka
seakan-akan tak punya waktu untuk membaca kitab-kitab tafsir yang besar, padahal untuk
mendapatkan petunjuk al-Qur'an mereka harus membacanya. Ketiga, dinamis, artinya sesuai
dengan tuntutan zaman sehingga menimbulkan image di dalam benak pembaca dan
pendengarnya bahwa al-Qur'an senantiasa mengayomi dan membimbing kehidupan di muka
bumi ini pada semua lapisan dan strata sosial. Keempat, membuat pemahaman menjadi utuh,
karena tema-tema yang akan dibahas terlebih dahulu ditetapkan, sehingga pemahaman ayat-
ayat al-Qur'an dapat diserap secara utuh.

Kekurangan dari metode ini adalah pertama, memenggal ayat al-Qur'an, di mana cara
ini kadang dipandang tidak sopan oleh kaum tekstualis. Kedua, membatasi pemahaman ayat.
Dengan ditetapkannya tema atau judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi
terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut. Padahal tidak mustahil satu ayat itu dapat
ditinjau dari berbagai aspek.20

18
Ahkmad Arif Junaidi, Pembaharuan Metodologi Tafsir al-Qur'an, Studi Atas Pemikiran Tafsir Kontekstual
Fazlur Rahman, Cet. I, Gunung Jati, Semarang, 2000, hal. 26
19
Abdul Hayy al-Farmawy, Metode Tafsir Maudhui, Terj. Rosihan Anwar, M.Ag., Cet. Pustaka Setia, Bandung,
2002, hal. 42
20
Nashruddin Baidan, op.cit., hal. 165-168.
C. CORAK TAFSIR

Corak penafsiran dalam literatur sejarah tafsir biasanya diistilahkan dalam bahasa
Arab yaitu al-laun yang arti dasarnya warna.21 Corak penafsiran yang dimaksud di sini
ialah nuansa khusus atau sifat khusus yang memberikan warna tersendiri pada tafsir.22

Tafsir Al-Quran sebagai usaha untuk memahami dan menerangkan maksud dan
kandungan ayat-ayat suci mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Corak penafsiran
Al-Quran adalah hal yang tak dapat dihindari. Berbicara tentang karakteristik dan corak
sebuah tafsir, di antara Para Ulama membuat pemetaan dan kategorisasi yang berbeda-beda.
disini kami menjelaskan ada tujuh corak penafsiran yang relatif digunakan para Mufasir
dalam menafsirkan Al-Qur`an, walaupun seiring perkembangan ilmu pengetahuan yang
menyebabkan timbulnya corak-corak baru dalam ruang lingkup penafsiran al-
Qur`an, diantara tujuh corak itu adalah Tafsir Bercorak Sufi, Fiqh, Lughawi, Adabi, , Falsafi,
Ilmi, dan Teologi.

1. Tafsir Bercorak Sufi

Tafsir bercorak sufi ialah tafsir dengan kecenderungan mentakwilkan Al-Quran selain
dari apa yang tersirat, dengan berdasarkan isyarat-isyarat yang nampak pada ahli ibadah.23

Seiring perkembangan pemikiran Islam, khususnya dalam dimensi penafsiran


terhadap ayat-ayat Al-Quran memunculkan corak penafsiran sufi. Maka tidaklah
mengherankan bila corak penafsiran semacam ini memang bukan hal yang baru, bahkan telah
dikenal sejak awal turunnya Al-Quran kepada Rasulullah SAW, sehingga dasar yang dipakai
dalam penafsiran ini umumnya juga mengacu pada penafsiran Al-Quran melalui sumber-
sumber Islam yang disandarkan kepada Nabi SAW, para sahabat, dan pendapat kalangan
Tabiin.24

Dalam perjalanannya, tafsir ini terbagi ke dalam dua bagian, yaitu:

a) Tafsir Sufi Isyari, yaitu penafsiran Al-Quran dalam bentuk takwil, yakni
penafsiran yang bersifat batini. Penafsiran ini dapat diuji validitasnya ketika

21
Ahmad Izzan. Metodologi Ilmu Tafsir. Bandung: Tafakur, 2011, hal. 199
22
Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir; Dari Periode Klasik hingga Kontemporer, Yogyakarta: Kreasi Warna,
2005, hal. 69.
23
Abd. Kholid, Kuliah Madzahib al-Tafsir. IAIN Sunan Ampel Surabaya: Fakultas Ushuluddin, 2003, hal. 56.
24
Nashruddin Baidan. Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: pustaka pelajar, 2005. hal, 386
dibuktikan kesesuaiannya antara penafsiran yang batini dengan kenyataan
lahiriah.

b) Tafsir Sufi Nadzari, yaitu tafsir yang dibangun atas premis-premis ilmiah yang
diterapkan dalam penafsiran Al-Quran. Sedangkan Tafsir Sufi Isyari tidak
dibangun atas dasar premis-premis ilmiah. Ia dibangun atas dasar riyadhah
ruhiyyah, yaitu latihan-latihan spiritual yang dilakukan seorang sufi hingga ia
mencapai tingkat menemukan petunjuk melalui hati nuraninya.

Salah karya yang menampilkan corak tafsir sufi adalah

1) Tafsir Al-Quran al-Karim, karya Sahl al-Tustari (w.283 H);

2) Haqaiq al-Tafsir, karya Abu Abd al-Rahman al-Sulami (w.412 H);

3) Lathaif al-Isyarah, karya al-Qusyairi, dan

4) Arais al-Bayan f Haqaiq al-Qurann, karya al-Syirazi (w.606).25

2. Tafsir Bercorak Fiqh

Tafsir bercorak fiqh ialah kecenderungan tafsir dengan metode fiqh sebagai basisnya,
atau dengan kata lain, tafsir yang berada di bawah pengaruh ilmu fiqh, karena fiqih sudah
menjadi minat dasar mufasirnya sebelum dia melakukan usaha penafsiran.26 Tafsir semacam
ini seakan-akan melihat Al-Quran sebagai kitab suci yang berisi ketentuan perundang-
undangan, atau menganggap Al-Quran sebagai kitab hukum.27

Bersamaan dengan lahirnya corak tafsir bil matsur, corak tafsir fiqh juga muncul
pada saat yang bersamaan, melalui penukilan riwayat yang sama tanpa ada pembedaan di
antara keduanya. Ini terjadi lantaran kebanyakan masalah yang muncul dan menjadi bahan
pertanyaan para sahabat sejak masa awal Islam, sampai pada generasi selanjutnya adalah
masalah yang berkaitan dengan aspek hukum. Dan seiring masa pembentukan madzhab,
beragam peristiwa yang menimpa kaum muslimin mengantarkan pada pembentukan hukum-
hukum yang sebelumnya mungkin tidak pernah ada. Maka masing-masing Imam madzhab
melakukan analisis terhadap kejadian-kejadian ini berdasarkan sandaran Al-Quran dan al-

25
Abd. Al-hay Al Farmawi, Metode Tafsir Maudhui, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996, hal. 18
26
Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir; Dari Periode Klasik hingga Kontemporer, Yogyakarta: Kreasi Warna,
2005, hal.70
27
Taufik Adnan Amal, dkk. Tafsir Kontekstual Al-Quran, Bandung: Mizan, 1990, hal. 24.
Sunnah, serta sumber-sumber ijtihad lainnya. Dengan itu, para imam memberikan keputusan
hukum yang telah melalui pertimbangan pemikiran di dalam hatinya, dan meyakini bahwa
hal yang dihasilkan itu merupakan sesuatu yang benar, yang didasarkan pada dalil-dalil dan
argumentasi.28

Faktor yang cukup mencolok berkaitan dengan kemunculan corak tafsir fiqh adalah
karya-karya yang menampilkan pandangan fiqh yang cukup sektarian, ketika kita
menemukan tafsir fiqh sebagai bagian dari perkembangan kitab-kitab fiqh yang disusun oleh
para pendiri madzhab. Meskipun begitu, ada pula sebagian yang memberikan analisis dengan
membandingkan perbedaan pandangan madzhab yang mereka anut.29

Di antara kitab-kitab yang tergolong tafsir fiqh adalah,

1) Ahkam Al-Quran, karya al-Jassas (w. 370 H);

2) Ahkam Al-Quran, karya Ibn al-Arabi (w. 543 H); dan

3) Al-Jami li Ahkam Al-Quran, karya al-Qurtubi (w. 671 H).30

3. Tafsir Bercorak Lughawi

Tafsir bercorak Lughawi adalah sebuah tafsir yang cendrung kebidang bahasa.
Penafsirannya meliputi segi irab, harakat, bacaan, pembentukan kata, susunan kalimat dan
kesusastraannya. Tafsir semacam ini selain menjelaskan maksud-maksud ayat-ayat Al-Quran
juga menjelaskan segi-segi kemukjizatannya.31

Tafsir yang tergolong baru di dunia Arab ini, yakni sekitar abad ke-14 H, yang
diperkenalkan oleh Sayyid Quthb pada karyanya Fi Dhilalil Quran. Selain itu, dia pun
menulis dua buah buku yang diberi judul: al-Taswir al-Fanni Fi al-Quran dan Masyahid
al-Qiyamat fi al-Quran. Kedua buku terakhir ini lebih kecil dari pada kitab karangannya
yang pertama (F Dhilalil Quran). Akan tetapi, ketiga kitab tersebut memiliki ruh (tujuan atau
fungsi) yang sama yakni berusaha untuk mencapai pemahaman corak atau kecendrungan
sastra dalam al-Quran. Tafsir bercorak Lughawi yang mengandung Adabi ini terlepas
pemaparannya dari berbagai ungkapan yang berhubungan dengan kajian nahwu, aturan-

28
Muhammad Husein al-Dzahabi, al- Tafsir wa al-Mufassirun, (Nasyr: Tuzi, 2005), hal. 99
29
Abd. Al-hay Al Farmawi, Metode Tafsir Mawdhuiy, hal. 18
30
Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2005, hal, 169
31
Abd. Kholid, Kuliah Madzahib al-Tafsir, IAIN Sunan Ampel Surabaya: Fakultas Ushuluddin, 2003, hal. 61
aturan kebahasaan, istilah-istilah balaghah, Demikianlah tafsir Lughawi yang mengandung
Adabi yang dikemukakan Sayyi Quthb terhadap ayat-ayat Al-Quran menggunakan tutur
bahasa Arab yang indah disimak.32

4. Tafsir Bercorak Adabi Ijtimai (Sosial Masyarakat)

Tafsir ini adalah tafsir yang memiliki kecenderungan kepada persoalan sosial
kemasyarakatan. Tafsir jenis ini lebih banyak mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan
perkembangan kebudayaan masyarakat yang sedang berlangsung. Corak tafsir ini berusaha
memahami teks Al-Quran dengan cara, pertama dan utama, mengemukakan ungkapan-
ungkapan Al-Quran secara teliti, selanjutnya menjelaskan makna-makna yang dimaksud oleh
Al-Quran tersebut dengan gaya bahasa yang indah dan menarik, kemudian berusaha
menghubungkan nash-nash Al-Quran yang tengah dikaji dengan kenyataan sosial dan sistem
budaya yang ada. Pembahasan tafsir ini sepi dari penggunaan istilah-istilah ilmu dan
teknologi, dan tidak akan menggunakan istilah-istilah tersebut kecuali jika dirasa perlu dan
hanya sebatas kebutuhan.33

Metode Adabi Ijtimai alam segi keindahan (balaghah) bahasa dan kemukjizatan Al-
Quran, berusaha menjelaskan makna atau maksud yang dituju oleh Al-Quran, berupaya
mengungkapkan betapa Al-Quran itu mengandung hukum-hukum alam raya dan aturan-
aturan kemasyarakatan, melalui petunjuk dan ajaran Al-Quran, suatu petunjuk yang
berorientasi kepada kebaikan dunia dan akhirat, serta berupaya mempertemukan antara ajaran
Al-Quran dan teori-teori ilmiah yang benar. Juga berusaha menjelaskan kepada umat, bahwa
Al-Quran itu adalah Kitab Suci yang kekal, yang mampu bertahan sepanjang perkembangan
zaman dan kebudayaan manusia sampai akhir masa, berupaya melenyapkan segala
kebohongan dan keraguan yang dilontarkan terhadap Al-Quran dengan argumen-argumen
yang kuat yang mampu menangkis segala kebatilan, karena memang kebatilan itu pasti
lenyap.

Para Pelopor Kitab Tafsir Corak Adabi Ijtimai menginginkan penafsiran Al-Quran
kontemporer adalah upaya melahirkan konsep-konsep Qurani sebagai jawaban terhadap
tantangan dan problematika kehidupan modern dan upaya mempertemukan antara Al-Quran
dan Sains modern yang selalu berkembang dengan cepat dalam batas yang wajar dan
ditoleransi oleh Islam, dengan motivasi lebih menegaskan Ijaz Ilmi Al-Quran. Dalam bidang

32
Sayyid Quthb, Fi Dhilal al-Qur`an. (Kairo: Dar al-Syuruq, 1945), hal. 7
33
Muhammad Husein al-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, Juz III,. hal. 214.
kemasyarakatan dan politik, maka tafsir yang sangat dibanyak dipelajari adalah tafsir yang
terbit pada abad ke-19 dan 20.34

Tokoh utama corak adabi ijtimai ini adalah Muhammad Abduh sebagai peletak
dasarnya, dilanjutkan oleh muridnya Rasyid Ridha, di era selanjutnya adalah Fazlurrahman,
Muhammad Arkoun.35

5. Tafsir Bercorak Falsafi

Tafsir bercorak falsafi ialah kecenderungan tafsir dengan menggunakan teori-teori


filsafat, atau tafsir dengan dominasi filsafat sebagai pisau bedahnya. Tafsir semacam ini pada
akhirnya tidak lebih dari deskripsi tentang teori-teori filsafat.36 Dalam melakukan
tafsir Falsafi, dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: pertama dengan metode takwil atas
teks-teks agama dan hakikat umumnya yang sesuai dengan pandangan-pandangan filosofis.
Dan yang kedua dengan Metode pensyarahan teks-teks agama dan hakikat hukumnya
berdasarkan pandangan-pandangan filosofis.

Tafsir Falsafi berusaha menafsirkan ayat-ayat Al-Quran berdasarkan pemikiran atau


pandangan para ahli falsafi, seperti tafsir bil rayi. Dalam hal ini ayat lebih berfungsi sebagai
sebuah pemikiran yang ditulis, bukan pemikiran yang tertuju pada ayat. Seperti tafsir yang
dilakukan al-Farabi, ibn Sina, dan Ikhwan al-Shafa. Menurut Al-Dzahabi, tafsir mereka ini di
tolak dan di anggap merusak agama dari dalam.

Sejarah telah mencatat perkembangan tafsir yang begitu pesat, seiring dengan
kebutuhan, dan kemampuan manusia dalam menginterpretasikan ayat-ayat Tuhan. Setiap
karya tafsir yang lahir pasti memiliki sisi positif dan negatif, demikian juga
tafsir falsafi yang cenderung hanya berdasarkan logika dan karena peran logika begitu
mendominasi, maka metode ini kurang memperhatikan aspek historisitas kitab suci. Namun
begitu, tetap ada sisi positifnya yaitu kemampuannya membangun abstraksi makna-makna
yang tersembunyi, yang diangkat dari teks kitab suci untuk dikomunikasikan lebih luas lagi
kepada masyarakat dunia tanpa hambatan budaya dan bahasa.

34
Ibid
35
Rosihon Anwar, op.cit hal. 174
36
Muhammad Husein al-Dzahabi, op cit, hal. 419.
Pada prinsipnya teks Al-Quran tidak lepas dari struktur historis dan konteks
sosiokultural dimana ia diturunkan. Dengan demikian, akan lahir tafsir-tafsir filosofis yang
logis dan proporsional, tidak spekulatif dan berlebih-lebihan. Ada beberapa kitab
tafsir falsafi seperti :

1) Mafatih Al-Ghaib, karya Fakhr al-Razi (w. 606 H),

2) Al-Isyarat, karya Imam al-Ghazali (w. 505 H)

3) Rasail Ibn Sina, karya Ibn Sina (w. 370 H).37

6. Tafsir Bercorak Ilmi

Tafsir bercorak ilmi adalah kecenderungan menafsirkan Al-Quran dengan


memfokuskan penafsiran pada kajian bidang ilmu pengetahuan, yakni untuk
menjelaskan ayat-ayat yang berkaitan dengan Ilmu dalam Al-Quran.38

Menurut Abd Al-Majid Abd As-Salam Al-Mahrasi tafsir Ilmi, yaitu: tafsir yang
mufasirnya mencoba menyingkap ibarat-ibarat dalam Al-Quran yaitu mengenai beberapa
pandangan ilmiah dan istilahnya serta mengerahkan segala kemampuan dalam menggali
berbagai problem ilmu pengetahuan.39

Kajian tafsir ini adalah untuk memperkuat teori-teori ilmiah dan bukan
sebaliknya. Alasan yang melahirkan penafsiran Ilmi adalah karena seruan Al-Quran pada
dasarnya adalah sebuah seruan ilmiah. Yaitu seruan yang didasarkan pada kebebasan akal
dari keragu-raguan dan prasangka buruk, bahkan al-Quran mengajak untuk merenungkan
fenomena alam semesta, atau seperti juga banyak kita jumpai ayat-ayat Al-Quran ditutup
dengan ungkapan-ungkapan, antara lain: Telah kami terangkan ayat-ayat ini bagi mereka
yang miliki ilmu, atau dengan ungkapan: bagi kaum yang memiliki pemahaman, atau
dengan ungkpan: Bagi kaum yang berfikir. Apa yang dicakup oleh ayat-ayat kauniyah
dengan makna-makna yang mendalam akan menunjukkan pada sebuah pandangan bagi
pemerhati kajian dan pemikiran khususnya, bahwa merekalah yang dimaksudkan dalam
perintah untuk mengungkap tabir pengetahuannya melalui perangkat ilmiah. Belakangan,
pada abad ke-20 perkembangan tafsir ilmi semakin meluas dan semakin diminati oleh
berbagai kalangan. Banyak orang yang mencoba menafsirkan beberapa ayat Al-Quran
37
Rosihon Anwar, op cit hal, 170
38
Abd. Kholid, Kuliah Madzahib Tafsir., hal. 69
39
Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Quran, Bandung: Pustaka Setia, 2004, hal. 108
melalui pendekatan ilmu pengetahuan modern. Tujuan utamanya adalah untuk membuktikan
mukjizat Al-Quran dalam ranah keilmuwan sekaligus untuk meyakinkan orang-orang non-
muslim akan keagungan dan keunikan Al-Quran.40

Meluasnya minat terhadap corak tafsir bi al-Ilmi dikarenakan umat Islam merasa
tertinggal dari pada Barat dalam hal ilmu pengetahuannya. Umat Islam juga takut penyakit
pertentangan antara agama dan ilmu pengetahuan yang pernah dialami Barat akan timbul di
dunia mereka. Karenanya, umat Islam pun bangkit dan mulai melakukan berbagai
eksperimen ilmiah dengan mencari kesesuainnya dalam Al-Quran.41

Beberapa contoh karya tafsir al-ilmi ini adalah: 1). Tafsir al-Kabir / Mafatih Al-Ghaib
(Fakhruddin Al-Razi) 2) Al-Jawahir fi Tafsir Al-Quran al-Karim (Thanthawi Jauhari)
3) Tafsir al-Ayat al-Kauniyah (Abdullah Syahatah)

7. Tafsir Bercorak Teologi (Kalam)

Tafsir bercorak Teologi (Kalam) ialah tafsir dengan kecendrungan pemikiran Kalam,
atau tafsir yang memiliki warna pemikiran kalam. Tafsir semacam ini merupakan salah satu
bentuk penafsiran Al-Quran yang tidak hanya ditulis oleh simpatisan kelompok Teologis
tertentu, tetapi lebih jauh lagi merupakan tafsir yang dimanfaatkan untuk membela sudut
pandang Teologi tertentu. Paling tidak tafsir model ini akan lebih banyak membicarakan
tema-tema Teologis dibandingkan mengedepankan pesan-pesan pokok Al-Quran. Salah satu
kitab tafsir yang bercorak Teologi adalah Tafsir Mutazilah.42

40
A. Mufakhir Muhammad, Tafsir Ilmi, Banda Aceh: Yayasan Pena, 2004, hal.81
41
M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat,
Bandung: Mizan, 1994, hal. 53
42
Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir., hal. 70
BAB III
PENUTUP

Setelah mendeskripsikan sejumlah metode dan corak tafsir, maka dapat dilihat bahwa
dari keseluruhan metode dan corak tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Dari hal itu
tidak dibenarkan jika seseorang mufasir mengklaim bahwa tafsirannya lah yang paling benar
dan mutlak. Sebab pencarian makna yang hakiki akan maksud sebuat teks yang tercantup
pada Al-Quran merupakan pencarian yang tiada henti sampai kapanpun. Atas dasar
pemikiran inilah diyakini akan muncul metode-metode baru sebagai alternatif penggabungan
metodologi tafsir.
DAFTAR PUSTAKA

Abd. Kholid, Kuliah Madzahib al-Tafsir, IAIN Sunan Ampel Surabaya: Fakultas Ushuluddin,
2003.

Abdul Hayy al-Farmawy, Metode Tafsir Maudhui, Terj. Rosihan Anwar, M.Ag., Cet. Pustaka
Setia, Bandung, 2002.

Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir; Dari Periode Klasik hingga


Kontemporer, Yogyakarta: Kreasi Warna, 2005.

Ahkmad Arif Junaidi, Pembaharuan Metodologi Tafsir al-Qur'an, Studi Atas Pemikiran
Tafsir Kontekstual Fazlur Rahman, Cet. I, Gunung Jati: Semarang, 2000.

Ahmad Izzan. Metodologi Ilmu Tafsir. Bandung: Tafakur, 2011.

A. Mufakhir Muhammad, Tafsir Ilmi, Banda Aceh: Yayasan Pena, 2004.

Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Quran, Bandung: Pustaka Setia, 2004.

M. Quraisy Syihab, Tafsir dengan Metode Maudhui, di dalam beberapa aspek ilmiah
tentang Al-Quran, Bandung: Mizan 1986.

M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, Bandung: Mizan, 1994.

Mannaa Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Quran , terjemahan Drs. Mudzakkir AS, Cet. 6,
Litera Antar Nusa, Jakarta, 2001.

Muhammad Husein al-Dzahabi, al- Tafsir wa al-Mufassirun, Nasyr: Tuzi, 2005.

Muhammad Chirzin. Al-Quran dan Ulumul Quran. Yogyakarta : PT Dana Bhakti Primayasa,
1998.

Muhammad Baqir Shadr, Al-Tafsir al-Maudlui wa al-tafsir al-Takziiy fi Al-Quran al Karim,


Dar al-Taaruf li al-Mathbuah, Beirut, tt.

Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Quran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.

Nashruddin Baidan. Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Taufik Adnan Amal, dkk. Tafsir Kontekstual Al-Quran, Bandung: Mizan, 1990.

Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2005.

You might also like