You are on page 1of 44

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


HIV berarti virus yang dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Ini
adalah retrovirus, yang berarti virus yang mengunakan sel tubuhnya sendiri
untuk memproduksi kembali dirinya. Asal dari HIV tidak jelas, penemuan
kasus awal adalah dari sampel darah yang dikumpulkan tahun 1959 dari
seorang lakilaki dari Kinshasa di Republik Demokrat Congo. Tidak diketahui
bagaimana ia terinfeksi.
Saat ini terdapat dua jenis HIV: HIV1 dan HIV2. HIV1 mendominasi
seluruh dunia dan bermutasi dengan sangat mudah. Keturunan yang berbeda
beda dari HIV1 juga ada, mereka dapat dikategorikan dalam kelompok dan
subjenis (clades). Terdapat dua kelompok, yaitu kelompok M dan O. Dalam
kelompok M terdapat sekurangkurangnya 10 subjenis yang dibedakan
secara turun temurun. Ini adalah subjenis AJ. Subjenis B kebanyakan
ditemukan di America, Japan, Australia, Karibia dan Eropa. Subjenis C
ditemukan di Afrika Selatan dan India. HIV2 teridentifikasi pada tahun 1986
dan semula merata di Afrika Barat. Terdapat banyak kemiripan diantara HIV
1 dan HIV2, contohnya adalah bahwa keduanya menular dengan cara yang
sama, keduanya dihubungkan dengan infeksiinfeksi oportunistik dan AIDS
yang serupa. Pada orang yang terinfeksi dengan HIV2, ketidakmampuan
menghasilkan kekebalan tubuh terlihat berkembang lebih lambat dan lebih
halus. Dibandingkan dengan orang yang terinfeksi dengan HIV1, maka
mereka yang terinfeksi dengan HIV2 ditulari lebih awal dalam proses
penularannya.
HIV dapat menular melalui kontak darah, namun disini kami akan
mencoba membahas bagaiamana HIV AIDS yang dialami ibu hamil dan
bagaimana melakukan sebuah proses keperawatan pada ibu hamil dengan HIV
AIDS.

1.2 Rumusan Masalah


a) Apa yang dimaksud dengan penyakit HIV/AIDS?
b) Bagaimana etiologi dari penyakit HIV/AIDS?

1 | Page
c) Bagaimana klasifikasi dari penyakit HIV/AIDS?
d) Bagaimana patofisiologi dari penyakit HIV/AIDS?
e) Bagaimana manifestasi klinik dari penyakit HIV/AIDS?
f) Bagaimana pemeriksaan diagnostic dari penyakit HIV/AIDS?
g) Bagaimana penatalaksanaan dari penyakit HIV/AIDS?
h) Bagaimana komplikasi dari penyakit HIV/AIDS?
i) Bagaimana konsep keperawatan dari penyakit HIV/AIDS?
j) Bagaimana manajemen kasus dari penyakit HIV/AIDS?
1.3 Tujuan
a) Tujuan Umum
Untuk pemenuhan tugas keperawatan medical bedah mengenai
HIV/AIDS serta mahasiswa dapat mengetahui dan mendeskripsikan
tentang HIV/AIDS dan asuhan keperawatan mengenai HIV/AIDS.
b) Tujuan Khusus
Untuk mengetahui definisi dari HIV/AIDS
Untuk mengetahui dan memahami etiologi dari HIV/AIDS
Untuk memahami klasifikasi dari HIV/AIDS
Untuk mengetahui dan memahami patofisiologi dari HIV/AIDS
Untuk memahami manifestasi klinik dari HIV/AIDS
Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostic dari HIV/AIDS
Untuk mengetahui dan memahami penatalaksanaan dari HIV/AIDS
Untuk mengetahui komplikasi dari HIV/AIDS
Untuk mengetahui dan memahami konsep keperawatan dari
HIV/AIDS
Untuk memahami manajemen kasus dari HIV/AIDS
1.4 Manfaat
a) Untuk Mahasiswa
Makalah ini bermanfaat untuk menambah ilmu pengetahuan
tentang HIV/AIDS untuk mahasiswa. Dan dapat dijadikan referensi bagi
mahasiswa apabila mendapat tugas untuk membuat makalah tentang
HIV/AIDS.
b) Untuk Kampus
Makalah ini dapat menjadi tambahan bahan bacaan di
perpustakaan. Dan dapat di gunakan juga sebagai bahan acuan untuk
mencari referensi tentang HIV/AIDS beserta asuhan keperawatannya.

2 | Page
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi HIV/AIDS


HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus, yakni virus
yang menyerang sistem imun sehingga kekebalan menjadi lemah bahkan
sampai hilang. Sedangkan AIDS adalah singkatan dari Acquired
Immunodeficiency Disease Syndrome, yakni suatu penyakit yang disebabkan
oleh virus yaitu virus HIV (Sujana, 2007).

3 | Page
HIV secara umum adalah virus yang hanya dapat menginfeksi manusia,
memperbanyak diri didalam sel manusia, sehingga menurunkan kekebalan
manusia terhadap penyakit infeksi. AIDS adalah sekumpulan tanda dan gejala
penyakit akibat hilangnya atau menurunnya sistem kekebalan tubuh
seseorang yang didapat karena terinfeksi HIV.
AIDS adalah salah satu penyakit retrovirus epidemic menular, yang
disebabkan oleh infeksi HIV, yang pada kasus berat bermanifestasi sebagai
depresi berat imunitas seluler, dan mengenai kelompok resiko tertentu,
termasuk pria homoseksual, atau biseksual, penyalahgunaan obat intra vena,
penderita hemofilia, dan penerima transfusi darah lainnya, hubungan seksual
dan individu yang terinfeksi virus tersebut. (DORLAN, 2002)
AIDS merupakan bentuk paling hebat dari infeksi HIV, mulai dan
kelainan ringan dalam respon imun tanpa tanda dan gejala yang nyata hingga
keadaan imunosupresi dan berkaitan dengan berbagai infeksi yang dapat
membawa kematian dan dengan kelainan malignitas yang jarang terjadi.
(Centre for Disease Control and Prevention).
2.2 Etiologi HIV/AIDS
Penyebab infeksi adalah golongan virus retro yang disebut human
immunodeficiency virus (HIV). HIV pertama kali ditemukan pada tahun
1983 sebagai retrovirus dan disebut HIV-1. Pada tahun 1986 di Afrika
ditemukan lagi retrovirus baru yang diberi nama HIV-2. HIV-2 dianggap
sebagai virus kurang pathogen dibandingkaan dengan HIV-1. Maka untuk
memudahkan keduanya disebut HIV.

Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu :

1) Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi.


Tidak ada gejala.
2) Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala
flu likes illness.
3) Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala
tidak ada.

4 | Page
4) Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam,
keringat malam hari, B menurun, diare, neuropati, lemah, rash,
limfadenopati, lesi mulut.
5) AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS
pertama kali ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan
tumor pada berbagai system tubuh, dan manifestasi neurologist.
Cara penularan HIV:
1) Melakukan penetrasi seks yang tidak aman dengan seseorang yang
telah terinfeksi. Kondom adalah satusatunya cara dimana
penularan HIV dapat dicegah.
2) Melalui darah yang terinfeksi yang diterima selama transfusi darah
dimana darah tersebut belum dideteksi virusnya atau pengunaan
jarum suntik yang tidak steril.
3) Dengan mengunakan bersama jarum untuk menyuntik obat bius
dengan seseorang yang telah terinfeksi.
4) Wanita hamil dapat juga menularkan virus ke bayi mereka selama
masa kehamilan atau persalinan dan juga melalui menyusui.
Penularan secara perinatal
1) Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapat menularkan HIV pada bayi
yang dikandungnya.
2) Penularan dari ibu terjadi terutama pada saat proses melahirkan,
karena pada saat itu terjadi kontak secara lansung antara darah ibu
dengan bayi sehingga virus dari ibu dapat menular pada bayi.
3) Bayi juga dapat tertular virus HIV dari ibu sewktu berada dalam
kandungan atau juga melalui ASI
4) Ibu dengan HIV dianjurkan untuk PASI
Kelompok resiko tinggi:
1) Lelaki homoseksual atau biseks.
2) Orang yang ketagian obat intravena
3) Partner seks dari penderita AIDS
4) Penerima darah atau produk darah (transfusi).
5) Bayi dari ibu/bapak terinfeksi.
HIV, yang dahulu disebut virus limfotropik sel T manusia tipe III
(HTLV-III) atau virus limfadenopati (LAV), adalah suatu retrovirus manusia

5 | Page
sitopatik dari family lentivirus. Retrovirus mengubah asam ribonukleatnya
(RNA) menjadi asam deoksiribonukleat (DNA) setelah masuk ke dalam sel
pejamu. HIV-1 dan HIV-2 adalah lentivirus sitopatik, dengan HIV-1 menjadi
penyebab utama AIDS di seluruh dunia.
Genom HIV mengode Sembilan protein yang esensial untuk setiap
aspek siklus hidup virus. Dari segi struktur genomic, virus-virus memiliki
perbedaan yaitu bahwa protein HIV-1, Vpu, yang membantu pelepasan virus,
tampaknya diganti oleh protein Vpx pada HIV-2. Vpx meningkatkan
infektivitas (daya tular) dan mungkin merupakan duplikasi dari protein lain,
Vpr. Vpr diperkirakan meningkatkan transkripsi virus. HIV-2 yang pertama
kali diketahui dalam serum dari para perempuan Afrika Barat (warga
Senegal) pada tahun 1985, menyebabkan penyakit klinis tetapi tampaknya
kurang patogenik dibandingkan dengan HIV-1 (Marlink, 1994).
2.3 Klasifikasi HIV/AIDS
Tabel 1
Klasifikasi Klinis dan CD4 Pada Pasien Remaja dan Orang Dewasa
MenurutCDC.

CD4 Kategori Klinis

A
(Asimtomtomati B C
Total %
(Simtomatis) ( AIDS )
s Infeksi Akut )


29 % A1 B1 C1
500/ml

200-
14-28 A2 B2 C2
499

<200 < 14% A3 B3 C3

Pembagian Stadium :
a) Stadium pertama : HIV
Infeksi di mulai dengan masuknya HIV dan di ikuti dengan
terjadinya perubahan serologis ketika antibodi terhadap virus
tersebut berubag dari negatfi menjadi positif. Rentang waktu
sejak HIV masuk ke dalam tubuh sampai tes antibodi terhadap
HIVmenjadi positif di sebut dengan window period. Lama

6 | Page
window period adalah antara satu sampai tiga bulan, bahkan
ada yang dapat berlangsung sampai enam bulan
b) Stadium kedua : Asimptomatik ( tanpa gejala )
Asimptomatik berarti bahwa di dalam organ tubuh terdapat
HIV, tetapi tubuh tidak menunjukkan gejala apa pun. Keadaan
ini dapat berlangsung rata-rata selama 5-10 tahun. Cairan tubuh
pasien HIV.AIDS yang tampak sehat ini sudah dapat
menularkan HIV kepada orang lain.
c) Stadium ketiga : Pembesaran kelenjar limfe secara menetap dan
merata (pesistent Generalized Lynphadenopaty)
Hal ini tidak hanya muncul pada satu tempat saja dan
berlangsung lebih satu bulan.
d) Stadium keempat : AIDS
Keadaan ini di sertai dengan adanya bermacam-macam
penyakit, antara lain penyakit konstitusional, penyakit saraf,
dan penyakit infeksi sekunder.

Tabel 2
Klasifikasi Klinis Infeksi HIV menurut WHO

Stadium Gambaran Klinis Skala Aktivitas

I 1. Asimptomatis Asimptomatis, aktivitas


2. Limfadenopati generalisata
normal

II 3. Berat badan menurun <10 % Simptomatis , aktivitas


4. Kelainan kulit dan mukosa yang
normal
ringan seperti, dermatitis seboroik,
prurigo, onikomikosis, ulkus oal
yang rekuen, dan kheilitis angularis
5. Herpes zoster dalam 5 tahu terakhir
6. Infeksi saluran nafas bagian atas
seperti sinusitis bakterialis
III 7. Berat badan menurun < 10% Pada umumya lemah,
8. Diare kronis yangberlangsung lebih
aktivitas di tempat tidur
dari 1 bulan
kurang dari 50%
9. Demam berkepanjangan lebih dari

7 | Page
satu bulan
10. Kandidiasis orofaringeal
11. Oral hairy leukoplakia
12. TB paru alam satu tahun terakhir
13. Infeksi bacterial yang berat seperti
pnemonia, piomiositis
IV 14. HIV wasting syndrome seperti yang Pada umumya sangat
didefinisikan oleh CDC lemah, aktivitas di
15. Pnemonia Pneumocystis carini
tempat tidur lebih dari
16. Toksoplasmosis otak
17. Diare kriptosporidiosis lebih dari 50%
satu bulan
18. Kriptokokosis Ekstrapulmonal
19. Retinitis virus sitomegalo
20. Herpes simplek mukokutan > 1
bulan
21. Leukoensefalopati multifokal
progresif
22. Mikosis diseminata seperti
histoplasmosis
23. Kandidiasis di esophagus, trakea,
bronkus, dan paru
24. Mikobakteriosis atipikal diseminata
25. Septisemia salmonelosis nontifoid
26. Tuberkulosis di luar paru
27. Limfoma
28. Sarkoma kaposi
29. Ensealopati HIV

2.4 Patofisiologi HIV/AIDS

Sel T dan makrofag serta sel dendritik / langerhans ( sel imun ) adalah
sel-sel yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) dan
terkonsentrasi dikelenjar limfe, limpa dan sumsum tulang. Human
Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lewat pengikatan dengan
protein perifer CD 4, dengan bagian virus yang bersesuaian yaitu antigen grup
120. Pada saat sel T4 terinfeksi dan ikut dalam respon imun, maka Human
Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lain dengan meningkatkan
reproduksi dan banyaknya kematian sel T 4 yang juga dipengaruhi respon

8 | Page
imun sel killer penjamu, dalam usaha mengeliminasi virus dan sel yang
terinfeksi.
Dengan menurunya jumlah sel T4, maka system imun seluler makin
lemah secara progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan
menurunnya fungsi sel T penolong.
Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV )
dapat tetap tidak memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun-
tahun. Selama waktu ini, jumlah sel T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel
perml darah sebelum infeksi mencapai sekitar 200-300 per ml darah, 2-3 tahun
setelah infeksi.
Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala infeksi ( herpes
zoster dan jamur oportunistik ) muncul, Jumlah T4 kemudian menurun akibat
timbulnya penyakit baru akan menyebabkan virus berproliferasi. Akhirnya
terjadi infeksi yang parah. Seorang didiagnosis mengidap AIDS apabila
jumlah sel T4 jatuh dibawah 200 sel per ml darah, atau apabila terjadi infeksi
opurtunistik, kanker atau dimensia AIDS.
2.5 Manifestasi Klinis HIV/ AIDS

Tanda-tanda gejala-gejala (symptom) secara klinis pada seseorang


penderita AIDS adalah diidentifikasi sulit karena symptomnya yang di tuju
pada umumnya adalah bemula dari gejala-gejala umum yang lajim didapati
pada bebagai penderita penyakit lain, namun secara umum dapat kiranya
dikemukakan sebagai berikut :

Rasa lelah dan lesu


Berat badan menurun secara drastic
Demam yang sering dan berkeringat di waktu malam
Mencret dan kurang nafsu makan
Bercak-bercak putih dilidah dan dimulut
Pembekakan leher dan lipatan paha
Radang paru-paru
Kanker kulit

Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS pada umumnya ada 2 hal
antara lain tumor dan infeksi oportunistik :

9 | Page
1. Manifestasi tumor diantaranya :
a. Sarkoma Kaposi ; kanker pada semua bagian kulit dan
organ tubuh. Frekuensi kejadiannya 36-50% biasanya
terjadi pada homoseksual, dan jarang terjadi pada
heteroseksual serta jarang menjadi sebab kematian primer.
b. Limfoma ganas ; terjadi seyelah sarcoma kaposi dan
menyerang syaraf , dan bertahan kurang lebih 1 tahun .
2. Manifestasi oportunistik diantaranya
a. Manifestasi pada paru-paru
Pneumonia pneumocystis (PCP)
Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS
merupakan infeksi paru-paru PCP dengan gejala sesak
napas, batuk kering, sakit bernafas dalam dan demam.
Cytomegalo virus (CMV)
Pada manusia virus ini 50% hidup sebagai
komensial pada paru-paru tetapi dapat menyebabkan
pneumocytis. CMV merupakan penyebab kematian
30% penderita AIDS.
Mycobacterium avilum
Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium
akhir dan sulit disembuhkan
Mycobacterium tuberculosis
Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi
miliar dan cepat menyebar ke organ lain organ diluar
paru,
3. Manifestasi pada gastroitestinal
Sekitar 10% kasus AIDS menunjukkan manifestasi
neorologis, biasanya timbul pada fase akhir penyakit. Kelainan
syaraf yang umum adalah ensefilitis, meningitis, demensia,
mielopati dan neuropari perifer.

Gejala dini yang sering dijumpai berupa eksantem, malaise, demam


yang menyerupai flu biasa sebelum tes serologi positif. Gejala dini lainnya
berupa penurunan berat badan lebih dari 10% dari berat badan semula,
berkeringat malam, diare kronik, kelelahan, limfadenopati. Beberapa ahli
klinik telah membagi beberapa fase infeksi HIV yaitu :

10 | P a g e
1. Infeksi HIV Stadium Pertama
Pada fase pertama terjadi pembentukan antibodi dan
memungkinkan juga terjadi gejala-gejala yang mirip influenza
atau terjadi pembengkakan kelenjar getah bening.
2. Persisten Generalized Limfadenopati
Terjadi pembengkakan kelenjar limfe di leher, ketiak,
inguinal, keringat pada waktu malam atau kehilangan berat badan
tanpa penyebab yang jelas dan sariawan oleh jamur kandida di
mulut.
3. AIDS Relative Complex (ARC)
Virus sudah menimbulkan kemunduran pada sistem
kekebalan sehingga mulai terjadi berbagai jenis infeksi yang
seharusnya dapat dicegah oleh kekebalan tubuh. Disini penderita
menunjukkan gejala lemah, lesu, demam, diare, yang tidak dapat
dijelaskan penyebabnya dan berlangsung lama, kadang-kadang
lebih dari satu tahun, ditambah dengan gejala yang sudah timbul
pada fase kedua.
4. Full Blown AIDS
Pada fase ini sistem kekebalan tubuh sudah rusak, penderita
sangat rentan terhadap infeksi sehingga dapat meninggal
sewaktu-waktu. Sering terjadi radang paru pneumocytik, sarcoma
kaposi, herpes yang meluas, tuberculosis oleh kuman
opportunistik, gangguan pada sistem saraf pusat, sehingga
penderita pikun sebelum saatnya. Jarang penderita bertahan lebih
dari 3-4 tahun, biasanya meninggal sebelum waktunya.
2.6 Pemeriksaan Penunjang HIV/AIDS
Tes untuk diagnosa infeksi HIV :
ELISA
Western blot
P24 antigen test
Kultur HIV
Tes untuk deteksi gangguan system imun.
Hematokrit.
LED
CD4 limfosit
Rasio CD4/CD limfosit
Serum mikroglobulin B2
Hemoglobulin

11 | P a g e
2.7 Penatalaksanaan Medis HIV/AIDS
Secara umum penatalaksanaan HIV/AIDS terdiri atas beberapa jenis yaitu
pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV),
pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi opportunistik menyertai
infeksi HIV/AIDS dan pengobatan suportif (Bertozzi et al., 2006).
a. Terapi antiretroviral (ARV)
Terapi anti-HIV yang dianjurkan saat ini adalah HAART
(Highly Active Antiretroviral Therapy), yang menggunakan kombinasi
minimal tiga obat antiretroviral. Terapi ini terbukti efektif dalam
menekan replikasi virus (viral load) sampai dengan kadar di bawah
ambang deteksi. Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan
dengan seksama karena obat ARV akan diberikan dalam jangka
panjang. ARV dapat diberikan apabila infeksi HIV telah ditegakkan
berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan dibuktikan secara laboratories
(Hammer et al., 2008).

Obat ARV direkomendasikan pada semua pasien yang telah


menunjukkan gejala yang termasuk dalam kriteria diagnosis AIDS
atau menunjukkan gejala yang sangat berat tanpa melihat jumlah
CD4+. Obat ini juga direkomendasikan pada pasien asimptomatik
dengan jumlah limfosit CD4 kurang dari 200 sel/mm3. Pasien
asimptomatik dengan limfosit CD4+ 200-350 sel/mm3
dapatditawarkan untuk memulai terapi. Pada pasien asimptomatik
dengan limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load lebih dari
100.000 kopi/ml terapi ARV dapat dimulai, namun dapat pula ditunda.
Terapi ARV tidak dianjurkan dimulai pada pasien dengan jumlah
limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load kurang dari
100.000 kopi/ml (Dolin, 2008).

Terapi HIV/AIDS saat ini adalah terapi kimia yang


menggunakan obat ARV yang berfungsi menekan perkembangbiakan
virus HIV. Obat ini adalah inhibitor dari enzim yang diperlukan untuk
replikasi virus seperti reverse transcriptase (RT) dan protease.

12 | P a g e
Inhibitor RT ini terdiri dari inhibitor dengan senyawa dasar nukleosid
(nucleoside-based inhibitor) dan nonnukleosid (nonnucleoside-based
inhibitor). Obat ARV terdiri dari beberapa golongan seperti
nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI), non-nucleoside
reverse transcriptase inhibitor (NNRTI), protease inhibitor (PI)
(Gatell, 2010).

Nucleoside Reverse Transcriptase Iinhibitor atau NRTI


merupakan analog nukleosida. Obat golongan ini bekerja dengan
menghambat enzim reverse transkriptase selama proses transkripsi
RNA virus pada DNA host. Analog NRTI akan mengalami fosforilasi
menjadi bentuk trifosfat, yang kemudian secara kompetitif
mengganggu transkripsi nukleotida. Akibatnya rantai DNA virus akan
mengalami terminasi sedangkan analog NNRTI akan berikatan
langsung dengan enzim reverse transkriptase dan menginaktifkannya.
Obat yang termasuk dalam golongan NRTI antara lain Abacavir
(ABC), Zidovudine (AZT), Emtricitabine (FTC), Didanosine (ddI),
Lamivudine (3TC) dan Stavudine (d4T), Tenofovir. Obat yang
termasuk NNRTI antara lain Efavirenz (EFV) Nevirapine (NVP),
Delavirdine (Elzi et al., 2010).

Protese Inhibitor (PI) bekerja dengan cara menghambat


protease HIV. Setelah sintesis mRNA dan poliprotein HIV terjadi,
tahap selanjutnya protease HIV akan memecah poliprotein HIV
menjadi sejumlah protein fungsional. Dengan pemberian PI, produksi
virion dan perlekatan dengan sel pejamu masih terjadi, namun virus
gagal berfungsi dan tidak infeksius terhadap sel. Yang termasuk
golongan PI antara lain Ritonavir (RTV), Atazanavir (ATV), Fos-
Amprenavir (FPV), Indinavir (IDV), Lopinavir (LPV) and Saquinavir
(SQV) (Maggiolo, 2009).

Terapi lini pertama yang direkomendasikan WHO adalah


kombinasi dua obat golongan NRTI dengan satu obat golongan
NNRTI. Kombinasi ini mempunyai efek yang lebih baik dibandingkan

13 | P a g e
kombinasi obat yang lain dan membutuhkan biaya yang lebih sedikit
karena terdapat generiknya. Analog thiacytadine (3 TC atau FTC)
merupakan obat pilihan dalam terapi lini pertama. 3 TC atau FTC
dapat dikombinasi dengan analog nukleosida atau nukleotida seperti
AZT, TDF, ABC atau d4T. Didanosine (ddI) merupakan analog
adenosine direkomendasikan untuk terapi lini kedua. Obat golongan
NNRTI, baik EFV atau NVP dapat dipilih untuk dikombanasikan
dengan obat NRTI sebagai terapi lini pertama. Terapi lini pertama
dapat juga dengan mengkombinasikan 3 obat golongan NRTI apabila
obat golongan NNRTI sulit untuk diperoleh. Pemilihan regimen obat
ARV sebagai lini pertama dapat dilihat pada gambar 2.7.2. (Kitahata
et al. 2009).

Evaluasi pengobatan dapat dilihat dari jumlah CD4+ di dalam


darah dan dapat digunakan untuk memantau beratnya kerusakan
kekebalan tubuh akibat HIV. Kegagalan terapi dapat dilihat secara
klinis dengan menilai perkembangan penyakit secara imunologis
dengan penghitungan CD4+ dan atau secara virologi dengan
mengukur viral-load. Kegagalan terapi terjadi apabila terjadi
penurunan jumlah CD4+. Selain itu terjadinya toksisitas terkait
dengan ketidakmampuan untuk menahan efek samping dari obat,
sehingga terjadi disfungsi organ yang cukup berat. Hal tersebut dapat
dipantau secara klinis, baik dari keluhan atau dari hasil pemeriksaan
fisik pasien, atau dari hasil pemeriksaan laboratorium, tergantung dari
macam kombinasi obat yang dipakai (Maggiolo, 2009).

Penilaian klinis toksisitas harus dibedakan dengan sindrom


pemulihan kekebalan (immuno reconstitution inflammatory syndrome
/ IRIS), yaitu keadaan yang dapat muncul pada awal pengobatan ARV.
Sindrom ini ditandai oleh timbulnya infeksi oportunistik beberapa
minggu setelah ART dimulai sebagai suatu respon inflamasi terhadap
infeksi oportunistik yang semula subklinik. Keadaan tersebut terjadi
terutama pada pasien dengan gangguan kebalan tubuh yang telah

14 | P a g e
lanjut. Kembalinya fungsi imunologi dapat pula menimbulkan gejala
atipik dari infeksi oportunistik. Apabila terjadi penurunan jumlah
CD4+ dalam masa pengobatan terapi lini pertama dan didapat tanda
terjadinya toksisitas dapat dipertimbangkan untuk mengganti terapi
(Maggiolo, 2009)

b. Terapi Infeksi Opportunistik


Infeksi oportunistik adalah penyebab utama morbiditas dan
mortalitas AIDS, dengan angka sekitar 90%. Terapi antibiotik atau
kemoterapeutik disesuaikan dengan infeksi-infeksi yang sebetulnya
berasal dari mikroorganisme dengan virulensi rendah yang ada di
sekitar kita, sehingga jenis infeksi sangat tergantung dari lingkungan
dan cara hidup penderita (Paterson et al., 2000).

Hampir 65% penderita HIV/AIDS mengalami komplikasi


pulmonologis dimana pneumonia karena P.carinii merupakan infeksi
oportunistik tersering, diikuti oleh infeksi M tuberculosis, pneumonia
bakterial dan jamur, sedangkan pneumonia viral lebih jarang
terjadi.Alasan terpenting mengapa sering terjadi komplikasi
pulmonologis pada infeksi HIV adalah konsekuensi anatomis paru
sehingga terpapar secara kronis terhadap bahan-bahan infeksius
maupun noninfeksius dari luar (eksogen), di sisi lain juga terjadi
paparan secara hematogen terhadap virus HIV (endogen) yang
melemahkan sistem imun. Komplikasi pulmonologis, terutama akibat
infeksi oportunistik merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas
utama serta bisa terjadi pada semua stadium dengan berbagai
manifestasi (Paterson et al., 2000).

Manajemen PCP tergantung dari derajat berat-ringannya


pneumonia yang terjadi. Pada pneumonia yang sedang-berat atau
berat, penderita harus di rawat di rumah sakit karena mungkin
memerlukan bantuan ventilator (sekitar 40% kasus). Obat pilihan
adalah kotrimoksazol intravena dosis tinggi. Terapi antibiotika ini
diberikan selama 21 hari. Penderita yang berespon baik dengan

15 | P a g e
antibiotika intravena, dapat melanjutkan terapi dengan antibiotika per
oral untuk jika sudah memungkinkan. Hipoksemia yang signifikan
(PaO2 < 70 mmHg atau gradien arterial-alveoler > 35), memerlukan
kortikosteroid dan diberikan sesegera mungkin (dalam 72 jam) belum
terapi antibiotika untuk menekan risiko komplikasi dan memperbaiki
prognosis.16,18 Pada kasus-kasus ringan-sedang dapat diberikan
kotrimoksazol oral dengan dosis 2 x 960 mg selama 21 hari. Alternatif
terapi lainnya untuk PCP berat adalah pentamidin intravena (pilihan
kedua) dan klindamisin plus primakuin (pilihan ketiga), sedangkan
PCP ringan-sedang dapat diberikan dapsone plus trimetoprim,
klindamisin plus primakuin, atovaquone atau trimetrexate plus
leucovorin (Harris dan Bolus, 2008).

Tuberkulosis paru (TB paru) masih merupakan problem


penting pada infeksi HIV/AIDS dan menjadi penyebab kematian pada
sekitar 11% penderita. Berdasarkan data World Health Organization
(WHO), pada akhir tahun 2000 kira-kira 11,5 juta orang penderita
infeksi HIV di dunia mengalami ko-infeksi M. tuberculosis dan
meningkatkan risiko kematian sebesar 2 kali lipat dibandingkan tanpa
tuberkulosis, dan seiring dengan derajat beratnya imunosupresi yang
terjadi (Gatell, 2010).

Penatalaksanaan TB paru dengan infeksi HIV pada dasarnya


sama dengan tanpa infeksi HIV. Saat pemberian obat pada koinfeksi
TBC-HIV harus memperhatikan jumlah CD4 dan sesuai dengan
rekomendasi yang ada. Namun pada beberapa atudi mendapatkan
tingginya angka kekambuhan pada penderita yang menerima Obat
Anti Tuberkulosis (OAT) selama 6 bulan dibandingkan dengan 9-12
bulan (Harris dan Bolus, 2008).

Terdapat interaksi antara obat ARV dengan OAT, terutama


rifampicin karena rangsangannya terhadap aktivitas sistem enzim liver
sitokrom P450 yang memetabolisme PI dan NNRTI, sehingga terjadi
penurunan kadar PI dan NNRTI dalam darah sampai kadar sub-

16 | P a g e
terapeutik yang berakibat incomplete viral suppresion dan timbulnya
resistensi obat. Protease inhibitor dan NNRTI dapat pula
mempertinggi atau menghambat sistem enzim ini dan berakibat
terganggunya kadar rifampicin dalam darah. Interaksi obat-obat ini
akhirnya berakibat tidak efektifnya sehingga terjadi penurunan kadar
PI dan NNRTI dalam darah sampai kadar sub-terapeutik yang
berakibat incomplete viral suppresion dan timbulnya resistensi obat.
Protease inhibitor dan NNRTI dapat pula mempertinggi atau
menghambat sistem enzim ini dan berakibat terganggunya kadar
rifampicin dalam darah. Interaksi obat-obat ini akhirnya berakibat
tidak efektifnya obat ARV dan terapi tuberkulosis serta meningkatnya
risiko toksisitas obat, sehingga pemakaian bersama obat-obat tersebut
tidak direkomendasikan (Gatell, 2010).

Sarkoma Kaposi jenis endemik, merupakan manifestasi


keganasan yang paling sering dijumpai pada penderita HIV/AIDS.
Penyakit yang disebabkan oleh Cytomegalovirus ini ditandai dengan
lesi-lesi tersebar di daerah mukokutan, batang tubuh, tungkai atas dan
bawah, muka dan rongga mulut. Bentuk lesi berupa makula
eritematosa agak menimbul, berwarna hijau kekuningan sampai violet.
Cara penularannya melalui kontak seksual. Karsinoma sel skuamosa
tipe in situ maupun invasif di daerah anogenital; limfoma terutama
neoplasma sel limfosit B; keganasan kulit non melanoma serta nevus
displastik dan melanoma, merupakan neoplasma lainnya yang sering
dijumpai pada penderita HIV/AIDS. Seperti halnya keganasan lain,
tetapi sarkoma Kaposi akan lebih efektif bila dalam keadaan baru dan
besarnya terbatas. Radiasi, kemoterapi dan imunomodulator interferon
telah dicoba, yang sebenarnya lebih ditujukan untuk memperpanjang
masa hidup, sehingga lama terapi sulit ditentukan (Sheng Wu et al.,
2008).

Dalam keadaan tidak dapat mengurus dirinya sendiri atau


dikhawatirkan sangat menular, sebaiknya penderita dirawat di Rumah

17 | P a g e
Sakit tipe A atau B yang mempunyai berbagai disiplin keahlian dan
fasilitas ICU. Perawatan dilakukan di Unit sesuai dengan gejala klinis
yang menonjol pada penderita. Harapan untuk sembuh memang sulit,
sehingga perlu perawatan dan perhatian penuh, termasuk memberikan
dukungan moral sehingga rasa takut dan frustrasi penderita dapat
dikurangi. Guna mencegah penularan di rumah sakit terhadap
penderita lain yang dirawat maupun terhadap tenaga kesehatan dan
keluarga penderita, perlu diberikan penjelasan-penjelasan khusus.
Perawatan khusus diperuntukkan dalam hal perlakuan spesimen yang
potensial sebagai sumber penularan. Petugas yang merawat perlu
mempergunakan alat-alat pelindung seperti masker, sarung tangan,
yang jasa pelindung, pelindung mata, melindungi kulit terluka dari
kemungkinan kontak dengan cairan tubuh penderita dan mencegah
supaya tidak terkena bahan/sampah penderita (Martin-Carbonero and
Soriano, 2010).

Belum ada penyembuhan untuk AIDS jadi yang dilakukan adalah


pencegahan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Tapi apabila terinfeksi
HIV maka terapinya yaitu :
1. Pengendalian infeksi oportunistik
Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi
oportuniti, nosokomial, atau sepsis, tindakan ini harus dipertahankan
bagi pasien di lingkungan perawatan yang kritis.
2. Terapi AZT (Azitomidin)
Obat ini menghambat replikasi antiviral HIV dengan menghambat
enzim pembalik transcriptase.
3. Terapi antiviral baru
Untuk meningkatkan aktivitas sistem immun dengan menghambat
replikasi virus atau memutuskan rantai reproduksi virus pada
prosesnya. Obat-obatan ini adalah: didanosina, ribavirin,
diedoxycytidine, recombinant CD4+ dapat larut.
4. Vaksin dan rekonstruksi virus, vaksin yang digunakan adalah
interveron

18 | P a g e
5. Menghindari infeksi lain, karena infeksi dapat mengaktifkan sel T dan
mempercepat replikasi HIV.
6. Rehabilitasi bertujuan untuk memberi dukungan mental-psikologis,
membantu megubah perilaku resiko tinggi menjadi perilaku kurang
berisiko atau tidak berisiko, mengingatkan cara hidup sehat dan
mempertahankan kondisi hidup sehat.
7. Pendidikan untuk menghindari alkohol dan obat terlarang, makan
makanan yang sehat, hindari sters, gizi yang kurang, obat-obatan yang
mengganggu fungsi imun. Edukasi ini juga bertujuan untuk mendidik
keluarga pasien bagaimana menghadapi kenyataan ketika anak
mengidap AIDS dan kemungkinan isolasi dari masyarakat.
2.8 Komplikasi HIV/AIDS
1. Oral Lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral,
gingivitis, peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia
oral,nutrisi,dehidrasi,penurunan berat badan, keletihan dan cacat.
2. Neurologik
Kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human
Immunodeficiency Virus (HIV) pada sel saraf, berefek perubahan
kepribadian, kerusakan kemampuan motorik, kelemahan, disfasia, dan
isolasi social.
Enselophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia,
ketidakseimbangan elektrolit, meningitis / ensefalitis. Dengan efek :
sakit kepala, malaise, demam, paralise, total / parsial.
Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler,hipotensi sistemik, dan
maranik endokarditis.
Neuropati karena imflamasi demielinasi oleh serangan Human
Immunodeficienci Virus (HIV)
3. Gastrointestinal
Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal,
limpoma, dan sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat
badan,anoreksia,demam,malabsorbsi, dan dehidrasi.
Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat
illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen,
ikterik,demam atritis.

19 | P a g e
Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi
perianal yang sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan
sakit, nyeri rectal, gatal-gatal dan siare.
4. Respirasi
Infeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus, virus
influenza, pneumococcus, dan strongyloides dengan efek nafas
pendek,batuk,nyeri,hipoksia,keletihan,gagal nafas.
5. Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster,
dermatitis karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus
dengan efek nyeri,gatal,rasa terbakar,infeksi skunder dan sepsis.
6. Sensorik
Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan
Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan
pendengaran dengan efek nyeri.

2.9. Konsep Asuhan Keperawatan HIV/AIDS


1. Pengkajian
a. Riwayat Penyakit
Jenis infeksi sering memberikan petunjuk pertama karena sifat
kelainan imun. Umur kronologis pasien juga mempengaruhi
imunokompetens. Respon imun sangat tertekan pada orang yang
sangat muda karena belum berkembangnya kelenjar timus. Pada lansia,
atropi kelenjar timus dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi.
Banyak penyakit kronik yang berhubungan dengan melemahnya fungsi
imun. Diabetes meilitus, anemia aplastik, kanker adalah beberapa
penyakit yang kronis, keberadaan penyakit seperti ini harus dianggap
sebagai factor penunjang saat mengkaji status imunokompetens pasien.
Berikut bentuk kelainan hospes dan penyakit serta terapi yang
berhubungan dengan kelainan hospes :
Kerusakan respon imun seluler (Limfosit T )

20 | P a g e
Terapi radiasi, defisiensi nutrisi, penuaan, aplasia timik,
limpoma, kortikosteroid, globulin anti limfosit, disfungsi timik
congenital.
Kerusakan imunitas humoral (Antibodi)
Limfositik leukemia kronis, mieloma, hipogamaglobulemia
congenital, protein liosing enteropati (peradangan usus)
b. Pemeriksaan Fisik (Objektif) dan Keluhan (Sujektif)
Aktifitas / Istirahat
Gejala : Mudah lelah,intoleran activity,progresi malaise,perubahan
pola tidur.
Tanda : Kelemahan otot, menurunnya massa otot, respon fisiologi
aktifitas (Perubahan TD, frekuensi Jantun dan pernafasan).
Sirkulasi
Gejala : Penyembuhan yang lambat (anemia), perdarahan lama
pada cedera.
Tanda : Perubahan TD postural,menurunnya volume nadi perifer,
pucat / sianosis, perpanjangan pengisian kapiler.
Integritas dan Ego
Gejala : Stress berhubungan dengan kehilangan,mengkuatirkan
penampilan, mengingkari doagnosa, putus asa,dan sebagainya.
Tanda : Mengingkari,cemas,depresi,takut,menarik diri, marah.
Eliminasi
Gejala : Diare intermitten, terus menerus, sering dengan atau
tanpa kram abdominal, nyeri panggul, rasa terbakar saat miksi
Tanda : Feces encer dengan atau tanpa mucus atau darah, diare
pekat dan sering, nyeri tekan abdominal, lesi atau abses rectal,
perianal, perubahan jumlah, warna, dan karakteristik urine.
Makanan / Cairan
Gejala : Anoreksia, mual muntah, disfagia
Tanda : Turgor kulit buruk, lesi rongga mulut, kesehatan gigi dan
gusi yang buruk, edema
Hygiene

21 | P a g e
Gejala : Tidak dapat menyelesaikan AKS
Tanda : Penampilan tidak rapi, kurang perawatan diri.
Neurosensoro
Gejala : Pusing, sakit kepala, perubahan status mental,kerusakan
status indera, kelemahan otot, tremor, perubahan penglihatan.
Tanda : Perubahan status mental, ide paranoid, ansietas, refleks
tidak normal, tremor, kejang, hemiparesis, kejang.
Nyeri / Kenyamanan
Gejala : Nyeri umum / local, rasa terbakar, sakit kepala, nyeri dada
pleuritis.
Tanda : Bengkak sendi, nyeri kelenjar, nyeri tekan, penurunan
rentan gerak, pincang.
Pernafasan
Gejala : ISK sering atau menetap, napas pendek progresif, batuk,
sesak pada dada.
Tanda : Takipnea, distress pernapasan, perubahan bunyi napas,
adanya sputum.
Keamanan
Gejala : Riwayat jatuh, terbakar,pingsan,luka,transfuse
darah,penyakit defisiensi imun, demam berulang,berkeringat
malam.
Tanda : Perubahan integritas kulit,luka perianal / abses, timbulnya
nodul, pelebaran kelenjar limfe, menurunya kekuatan umum,
tekanan umum.
Seksualitas
Gejala : Riwayat berprilaku seks beresiko tinggi, menurunnya
libido, penggunaan pil pencegah kehamilan.
Tanda : Kehamilan, herpes genetalia
Interaksi Sosial
Gejala : Masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis, isolasi,
kesepian, adanya trauma AIDS

22 | P a g e
Tanda : Perubahan interaksi
Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala : Kegagalan dalam perawatan, prilaku seks beresiko tinggi,
penyalahgunaan obat-obatan IV, merokok, alkoholik.
c. Pemeriksaan Diagnostik
1) Tes Laboratorium
Telah dikembangkan sejumlah tes diagnostic yang sebagian masih
bersifat penelitian. Tes dan pemeriksaan laboratorium digunakan
untuk mendiagnosis Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan
memantau perkembangan penyakit serta responnya terhadap terapi
Human Immunodeficiency Virus (HIV)
a) Serologis
- Tes antibody serum
Skrining Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan
ELISA. Hasil tes positif, tapi bukan merupakan diagnosa
- Tes blot western
Mengkonfirmasi diagnosa Human Immunodeficiency Virus
(HIV)
- Sel T limfosit
Penurunan jumlah total
- Sel T4 helper
Indikator system imun (jumlah <200>
- T8 ( sel supresor sitopatik )
Rasio terbalik ( 2 : 1 ) atau lebih besar dari sel suppressor
pada sel helper ( T8 ke T4 ) mengindikasikan supresi imun.
- P24 (Protein pembungkus Human ImmunodeficiencyVirus
(HIV)
Peningkatan nilai kuantitatif protein mengidentifikasi
progresi infeksi
- Kadar Ig
Meningkat, terutama Ig A, Ig G, Ig M yang normal atau
mendekati normal

23 | P a g e
- Reaksi rantai polimerase
Mendeteksi DNA virus dalam jumlah sedikit pada infeksi
sel perifer monoseluler.
- Tes PHS
Pembungkus hepatitis B dan antibody, sifilis, CMV
mungkin positif
b) Budaya
Histologis, pemeriksaan sitologis urine, darah, feces, cairan
spina, luka, sputum, dan sekresi, untuk mengidentifikasi
adanya infeksi : parasit, protozoa, jamur, bakteri, viral.

c) Neurologis
EEG, MRI, CT Scan otak, EMG (pemeriksaan saraf)
d) Tes Lainnya
1) Sinar X dada
Menyatakan perkembangan filtrasi interstisial dari PCP
tahap lanjut atau adanya komplikasi lain
2) Tes Fungsi Pulmonal
Deteksi awal pneumonia interstisial
3) Skan Gallium
Ambilan difusi pulmonal terjadi pada PCP dan bentuk
pneumonia lainnya.
4) Biopsis
Diagnosa lain dari sarcoma Kaposi
5) Brankoskopi / pencucian trakeobronkial
Dilakukan dengan biopsy pada waktu PCP ataupun dugaan
kerusakan paru-paru
2) Tes Antibodi
Jika seseorang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV),
maka system imun akan bereaksi dengan memproduksi antibody
terhadap virus tersebut. Antibody terbentuk dalam 3 12 minggu
setelah infeksi, atau bisa sampai 6 12 bulan. Hal ini menjelaskan

24 | P a g e
mengapa orang yang terinfeksi awalnya tidak memperlihatkan
hasil tes positif. Tapi antibody ternyata tidak efektif, kemampuan
mendeteksi antibody Human Immunodeficiency Virus (HIV)
dalam darah memungkinkan skrining produk darah dan
memudahkan evaluasi diagnostic.
Pada tahun 1985 Food and Drug Administration (FDA) memberi
lisensi tentang uji kadar Human Immunodeficiency Virus (HIV)
bagi semua pendonor darah atau plasma. Tes tersebut, yaitu :
a) Tes Enzym Linked Immunosorbent Assay ( ELISA)
Mengidentifikasi antibody yang secara spesifik ditujukan
kepada virus Human Immunodeficiency Virus (HIV). ELISA
tidak menegakan diagnosa AIDS tapi hanya menunjukkan
bahwa seseorang terinfeksi atau pernah terinfeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Orang yang dalam darahnya
terdapat antibody Human Immunodeficiency Virus (HIV)
disebut seropositif.
b) Western Blot Assay
Mengenali antibody Human Immunodeficiency Virus (HIV)
dan memastikan seropositifitas Human Immunodeficiency
Virus (HIV)
c) Indirect Immunoflouresence
Pengganti pemeriksaan western blot untuk memastikan
seropositifitas.
d) Radio Immuno Precipitation Assay ( RIPA )
Mendeteksi protein dari pada antibody.
3) Pelacakan Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Penentuan langsung ada dan aktivitasnya Human
Immunodeficiency Virus (HIV) untuk melacak perjalanan penyakit
dan responnya. Protein tersebut disebut protein virus p24,
pemerikasaan p24 antigen capture assay sangat spesifik untuk HIV
1. tapi kadar p24 pada penderita infeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV) sangat rendah, pasien dengantiter

25 | P a g e
p24 punya kemungkinan lebih lanjut lebih besar dari menjadi
AIDS.
Pemeriksaan ini digunakan dengan tes lainnya untuk mengevaluasi
efek anti virus. Pemeriksaan kultur Human Immunodeficiency
Virus (HIV) atau kultur plasma kuantitatif dan viremia plasma
merupakan tes tambahan yang mengukur beban virus (viral
burden)
AIDS muncul setelah benteng pertahanan tubuh yaitu sistem kekebalan
alamiah melawan bibit penyakit runtuh oleh virus HIV, dengan runtuhnya/
hancurnya sel-sel limfosit T karena kekurangan sel T, maka penderita mudah
sekali terserang infeksi dan kanker yang sederhana sekalipun, yang untuk
orang normal tidak berarti. Jadi bukan AIDS nya sendiri yang menyebabkan
kematian penderita, melainkan infeksi dan kanker yang dideritanya.
HIV biasanya ditularkan melalui hubungan seks dengan orang yang
mengidap virus tersebut dan terdapat kontak langsung dengan darah atau
produk darah dan cairan tubuh lainnya. Pada wanita virus mungkin masuk
melalui luka atau lecet pada mulut rahim/vagina. Begitu pula virus memasuki
aliran darah pria jika pada genitalnya ada luka/lecet. Hubungan seks melalui
anus berisiko tinggi untuk terinfeksi, namun juga vaginal dan oral. HIV juga
dapat ditularkan melalui kontak langsung darah dengan darah, seperti jarum
suntik (pecandu obat narkotik suntikan), transfusi darah/produk darah dan ibu
hamil ke bayinya saat melahirkan. Tidak ada bukti penularan melalui kontak
sehari-hari seperti berjabat tangan, mencium, gels bekas dipakai penderita,
handuk atau melalui closet umum, karena virus ini sangat rapuh.
Masa inkubasi/masa laten sangat tergantung pada daya tahan tubuh
masing-masing orang, rata-rata 5-10 tahun. Selama masa ini orang tidak
memperlihatkan gejala-gejala, walaupun jumlah HIV semakin bertambah dan
sel T4 semakin menururn. Semakin rendah jumlah sel T4, semakin rusak
sistem kekebalan tubuh.
Pada waktu sistem kekebalan tubuh sudah dalam keadaan parah,
seseorang yang mengidap HIV/AIDS akan mulai menampakkan gejala-gejala
AIDS.

26 | P a g e
2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan
pola hidup yang beresiko.

b. Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi HIV,


adanya infeksi nonopportunisitik yang dapat ditransmisikan.
c. Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran
oksigen, malnutrisi, kelelahan.
d. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake yang kurang, meningkatnya kebutuhan metabolic, dan
menurunnya absorbsi zat gizi.
e. Diare berhubungan dengan infeksi GI
f. Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang
keadaan yang orang dicintai.
3. Rencana Keperawatan

Perencanaan Keperawatan
N Diagnosa
o Keperawatan Tujuan dan criteria hasil Intervensi

1 Resiko tinggi Pasien akan bebas infeksi 1. Monitor tanda-tanda infeksi


infeksi oportunistik dan baru.
2. gunakan teknik aseptik pada
berhubungan komplikasinya dengan
setiap tindakan invasif. Cuci
dengan kriteria tak ada tanda-tanda
tangan sebelum meberikan
imunosupresi, infeksi baru, lab tidak ada
tindakan.
malnutrisi dan infeksi oportunis, tanda vital
3. Anjurkan pasien metoda
pola hidup yang dalam batas normal, tidak ada
mencegah terpapar terhadap
beresiko. luka atau eksudat.
lingkungan yang patogen.
4. Kumpulkan spesimen untuk
tes lab sesuai order.
5. Atur pemberian antiinfeksi
sesuai order

2 Resiko tinggi Infeksi HIV tidak 1. Anjurkan pasien atau orang


infeksi (kontak ditransmisikan, tim kesehatan penting lainnya metode

27 | P a g e
pasien) memperhatikan universal mencegah transmisi HIV dan
berhubungan precautions dengan kriteriaa kuman patogen lainnya.
2. Gunakan darah dan cairan
dengan infeksi kontak pasien dan tim
tubuh precaution bial merawat
HIV, adanya kesehatan tidak terpapar HIV,
pasien. Gunakan masker bila
infeksi tidak terinfeksi patogen lain
perlu.
nonopportunisiti seperti TBC.
k yang dapat
ditransmisikan.

3 Intolerans Pasien berpartisipasi dalam 1. Monitor respon fisiologis


aktivitas kegiatan, dengan kriteria terhadap aktivitas
2. Berikan bantuan perawatan
berhubungan bebas dyspnea dan takikardi
yang pasien sendiri tidak
dengan selama aktivitas.
mampu
kelemahan,
3. Jadwalkan perawatan pasien
pertukaran
sehingga tidak mengganggu
oksigen,
isitirahat.
malnutrisi,
kelelahan.

4 Perubahan nutrisi Pasien mempunyai intake 1. Monitor kemampuan


kurang dari kalori dan protein yang mengunyah dan menelan.
2. Monitor BB, intake dan
kebutuhan tubuh adekuat untuk memenuhi
ouput
berhubungan kebutuhan metaboliknya
3. Atur antiemetik sesuai order
dengan intake dengan kriteria mual dan 4. Rencanakan diet dengan
yang kurang, muntah dikontrol, pasien pasien dan orang penting
meningkatnya makan TKTP, serum albumin lainnya.
kebutuhan dan protein dalam batas n
metabolic, dan ormal, BB mendekati seperti
menurunnya sebelum sakit.
absorbsi zat gizi.

28 | P a g e
5 Diare Pasien merasa nyaman dan 1. Kaji konsistensi dan
berhubungan mengnontrol diare, frekuensi feses dan adanya
dengan infeksi komplikasi minimal dengan darah.
2. Auskultasi bunyi usus
GI kriteria perut lunak, tidak
3. Atur agen antimotilitas dan
tegang, feses lunak dan
psilium (Metamucil) sesuai
warna normal, kram perut
order
hilang, 4. Berikan ointment A dan D,
vaselin atau zinc oside
6 Tidak efektif Keluarga atau orang penting 1. Kaji koping keluarga
koping keluarga lain mempertahankan suport terhadap sakit pasein dan
berhubungan sistem dan adaptasi terhadap perawatannya
2. Biarkan keluarga
dengan cemas perubahan akan
mengungkapkana perasaan
tentang keadaan kebutuhannya dengan kriteria
secara verbal
yang orang pasien dan keluarga
3. Ajarkan kepada keluaraga
dicintai. berinteraksi dengan cara yang
tentang penyakit dan
konstruktif
transmisinya.

2.10. Manajemen kasus HIV/AIDS

Tn Y disangkal mempunyai riwayat hepatitis.Tn Y saat mudanya (>10


tahun yang lalu) sering ke diskotik dengan teman-teman ceweknya diluar
pengawalan orang tua karena kedua orang tuanya berada di Belgia. Tn Y
mudah lelah sehingga menjadi malas untuk mengerjakan sesuatu. Sering
mengalami diare yang tidak diketahui penyebabnya. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan sel-T CD4+ adalah 100 sel/mm 3. Diberikan vitamin dan
surat pengantar untuk periksa darah dan urin dari dokter. Selang seminggu
kemudian, pasien datang lagi membawa hasil pemeriksaan. Setelah di
analisa oleh dokter bedasarkan hasil pemeriksaan Tn Y di diagnosa
mengidap penyakit HIV.

29 | P a g e
A Pengkajian
1 Data Demografi
Nama klien : Tn Y
Umur : 38 th
Diagnosa Medik : HIV - AIDS
Tanggal Masuk : 7 November 2014
Alamat : Jl Delima No. 05 Panam. Pekanbaru
Suku : Batak
Agama : Islam
Pekerjaan : Guru
Status perkawinan : Duda
Status pendidikan : Sarjana Pendidikan

2 Riwayat Penyakit
a Keluhan Utama
Klien mengeluh demam, merasa capek, mudah lelah, letih, lesu,
flu, pusing, dan diare. Pasien mengalami berat badan menurun derastis
dari 60 kg menjadi 54 kg
b Riwayat Penyakit Terdahulu
Klien mengatakan tidak pernah mengalami penyakit yang di
alaminya saat ini.
c Riwayat Kesehatan Keluarga
Menurut pengakuan keluarga, dalam keluarganya tidak ada yang
mengalami penyakit yang sedang di derita pasien.
d Keluhan waktu di data
Pada saat dilakukan pengkajian pada tanggal 7 November 2014
ditemukan benjolan pada leher.

3 Pemeriksaan fisik
a. Aktivitas/istirahat
1) Gejala : mudah lelah, berkurangnya toleransi terhadap aktivitas
biasanya, progresi kelelaha/malaise. Perubahan pola tidur.
2) Tanda : kelelahan otot, menurunya masa otot. Respon fisiologis
terhadap aktivitas seperti perubahan dalam TD, frekuensi jantung,
pernafasan.
b. Integritas ego
1) Gejala : faktor stress yang berhubungan dengan kehilangan
(keluarga, pekerjan, gaya hidup,dll), mengkuatirkan penampilan
(menurunyya berat badan,dd), mengingkari diagnosa, merasa tidak
berdaya,putus asa, tidak berguna, rasa bersalah, dan depresi.
2) Tanda : mengingkari, cemas, depresi, takut, menarik diri.perilaku
marah, menangis, kontak mata yang kurang.

30 | P a g e
c. Eliminasi
1) Gejala : diare yang intermiten, terus menerus, sering atau tanpa
disertai kram abdominal. Nyeri panggul, rasa terbakar saat miksi.
2) Tanda : feses enter atau tanpa disertai mucus atau darah. Diare pekat
yang sering, nyeri tekan abdominal, lesi atau abses rectal, perianal.
Perubahan dalam jumlah, warna, sdan karakteristik urine.
d. Makanan/cairan
1) Gejala : tidak nafsu makan, perubahan dalam mengenali makanan,
mual/muntah. Disfagia, nyeri retrosternal saat menelan. penurunan
berat badan yang progresif.
2) Tanda : Penurunan berat badan, dapat menunjukkan adanya bising
usus hiperaktif, turgor kulit buruk, lesi pada rongga mulut, adanya
selaput puih dan perubahan warna, edema.
e. Hygiene
1) Tanda :memperlihatkan penampilan yang tidak rapih. Kekurangan
dalam banyak atau semua perawatan diri, aktivitas perawatan diri.
f. Neurosensori
1) Gejala : pusing/pening, sakit kepala. Perubahan status mental,
kehilangan ketajaman/ kemampuan diri untukmengawasi masalah,
tidak mampu mrngingat/ konsentrasi menurun.kelemahan otot,
tremor, dan perubahan ketajaman penglihatan. Kebas, kasemutan
pada ekstremiats(kaki menunjukkan perubahan paling awal).
2) Tanda : perubahan status mental, dngan rentang antara kacau mental
sampai demensia, lupa, konsentrasi buruk, tingkat kasadaran
menurun, apatis, retardasi psikomotor/respon lambat. Ide paranoid,
ansietas yang berkembang bebas, harapan yang tidak realistis.
Timbul reflek tidak normal, menurunnya kekuatan otot, dan gaya
berjalan ataksia.tremor pada motorik kasar/halus, menurunnya
motorik fokalis. Hemoragi retina dan eksudat.
g. Nyeri/kenyamanan
1) Gejala : nyeri umum /local, sakit, rasa terbakar pada kaki. Sakit
kepala, nyeri dada pleuritis.
2) Tanda : pembengkakan pada sendi, nyeri pada kelenjar, nyeri tekan.
Penurunan rentang gerak, perubahan gaya berjalan/pincang, gerak
otot melindungi yang sakit.
h. Pernapasan

31 | P a g e
1) Gejala : ISK sering, menetap. Napas pendek yang progresif. Batuk
(mulai dari sedang sampai parah), produktif/non-produktif sputum.
Bendungan atau sesak pada dada.
2) Tanda : Tacipneu, disters pernapasan. Perubahan bunyi npas/bunyi
napas adventius. Sputum :kuning
i. Interaksi social
1) Gejala : masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis,mis. Kehilangan
karabat/orang terdekat, teman, pendukung.rasa takut untuk
mengungkapkannya pada orang lain, takut akan
penolakan/kehilangan pendapatan. Isolasi, keseian, teman dekat
ataupun pasangan yang meninggal karena AIDS. Mempertanyakan
kemampuan untuk tetap mandiri, tidak mampu membuat rencana.
2) Tanda : perubahan oada interaksi keluarga/ orang terdekat.aktivitas
yang tak terorganisasi.
2. Hasil Lab
a. Jumlah limfosit CD4 100 yang normal berkisar antara 500 dan 1.600.
b. LISA ( +)
c. Western Blot (+)

B Analisa data

Masalah
No Sumber Data Etiologi
Keperawatan
1 Objektif : Virus HIV Resiko tinggi terhadap
Pasien mengatakan diare
kekurangan volume
Pasien mengatakan demam Merusak seluler
Pasien mengatakan capek cairan
Pasien mengatakan mudah Menyerang T Limfosit,

lelah sel
Pasien mengatakan letih saraf, makrofag, monosit,
Pasien mengatakan lesu limfosit B
pasien mengatakan
Immunocompromise
berkeringat malam hari
Subjektif : Invasi kuman pathogen
TTV :
TD : 130/80 Organ target
N : 80x/menit
S : 39 C Gastrointestinal
RR : 26x/menit

32 | P a g e
Pasien tampak lesu
Pasien tampak tidak segar Diare
Pasien mengalami berat
Cairan berkurang
badan menurun derastis
dari 60 kg menjadi 54 kg
Pasien tampak sering
BAB / diare
Pasien terlihat perubahan
pada tekanan darah
pasien terlihat pucat
pasien terlihat sianosis
n pasien mengalami diare
pasien mengalami
perubahan jumlah dan
warna urin
pasien anoreksia
turgor kulit pasien terlihat
buruk

2 Subjektif : : Virus HIV Perubahan nutrisi


Pasien mengatakan capek kurang dari kebutuhan
Merusak seluler
Pasien mengatakan mudah tubuh
lelah Menyerang T Limfosit,
Pasien mengatakan letih sel saraf, makrofag,
Pasien mengatakan lesu
Pasien tidak nafsu makan monosit, limfosit B

Objektif Immunocompromise
Pasien tampak lesu
Invasi kuman pathogen
Pasien tampak tidak segar
Pasien mengalami berat Organ target
badan menurun derastis
Gastrointestinal
dari 60 kg menjadi 54 kg
Porsi makan klien tidak anoreksia
habis
Pasien mengalami
kelemahan otot
Pasien terlihat pucat
Pasien terlihat sianosis
Pasien anoreksia

33 | P a g e
3 Subjektif : Virus HIV Infeksi
Pasien mengatakan mudah
Merusak seluler
sakit-sakitan
Pasien mengatakan demam Menyerang T Limfosit,
Pasien mengatakan
sel saraf, makrofag,
gampang terserang flu
Pasien mengatakan pusing monosit, limfosit B
Pasien mengatakan pusing,
Immunocompromise
sakit kepala
Pasien mengatakan rasa Invasi kuman pathogen
terbakar pada kaki
Organ target
Pasien mengatakan nyeri
dada pleuritis
Pasien mengatakan Infeksi
berkeringat malam hari
Objektif :
TTV :
TD: 130/80
N: 80x/menit
S: 39 C
RR : 26x/menit
Pasien teraba benjolan di
daerah leher
Hasil pemeriksaan fisik
didapatkan sel-T CD4+ =
100 sel/ mm3
Pasien mengalami
Takikardia
Pasien mengalami nyeri
panggul
Pasien mengalami nyeri
abdomen

C Diagnosa
1 Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan b.d output yang
berlebihan
2 Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake yang tidak
adekuat
3 Infeksi b.d adanya virus HIV-AIDS

34 | P a g e
D Intervensi Dan Evaluasi

Diagnosa
No NOC NIC
Keperawatan
1 Resiko tinggi Setelah dilakukan tindakan Mandiri :
terhadap keperawatan selama 1 x 24 jam 1. Pantau TTV, termasuk CVP
kekurangan volume diharapkan : bila terpasang. Catat
cairan b.d output Diare (-) hipertensi, termasuk
yang berlebihan Demam (-) perubahan postural.
Pasien tidak mudah lelah 2. Catat peningkatan suhu dan
TTV :
TD: 120/80 durasi demam. Berikan
N: 80x/menit kompres hangat sesuai
S: 37 C
RR : 20x/menit indikasi. Pertahankan pakaian
berat badan pasien naik dari 54 tetap kering. Pertahankan
kg menjadi 54+ kg kenyamanan suhu lingkungan.
BAB / diare (-) 3. Kaji turgor kulit, membrane
pasien tidak terlihat pucat
mukosa, dan rasa haus.
sianosis (-) 4. Pantau pemasukan oral dan
pasien tidak pingsan
umlah dan warna urin normal memasukka cairan sedikitnya
anoreksia (-) 2500 ml/hari.
Turgor kulit baik / lembab
Kolaborasi :
1. Berikan cairan / elektrolit
melalui selang pemberi
makanan / IV
2. Pantau hasil pem. LAB sesuai
indikasi, mis.. : HB/HT
3. Antipiretik, mis.. :
asetaminofen
2 Perubahan nutrisi Setelah dilakukan tindakan Mandiri :
kurang dari keperawatan selama 3 x 24 jam, 1. Kaji kemampuan untuk
kebutuhan tubuh diharpkan : mengunyah, merasakan, dan
b.d intake yang Pasien tidak mudah lelah menelan.
Pasien tidak letih 2. Timbang berat badan sesuai
tidak adekuat
Pasien tidak lesu kebutuhan. Evaluasi berat
Nafsu makan bertambah, porsi
badan dalam hal adanya berat
makan habis
Pasien dapat menverna makanan badan yang tidak sesuai.

dengan baik Gunakan serangkaian

35 | P a g e
Berat badan naik dari 54 kg pengukuran berat badan dan
menjadi 54+ kg antropometrik.
pasien tidak terlihat pucat 3. Dorong aktivitas fisik sebanyak
pasien tidak sianosis mungkin
pasien tidak anoreksia 4. Catat pemasukan kalori
Kolaborasi :
1. Pertahankan status puasa jika di
indikasikan
2. Suplemen vitamin.
3 Infeksi b.d adanya Setelah dilakukan tindakan Mandiri :
virus HIV-AIDS keperawatan selama 3 x 24 jam, 1 Monitor tanda-tanda infeksi
diharapkan : baru.
2 Gunakan teknik aseptik pada
Demam (-)
Pusing (-) setiap tindakan invasif. Cuci
rasa terbakar pada kaki hilang tangan sebelum meberikan
nyeri dada pleuritis (-)
TTV tindakan.
3 Berikan lingkungan yang bersih
TD: 120/80
dan berventilasi baik. Periksa
N: 80x/menit
pengunjung / staf terhadap
S: 37 C
tanda infeksi dan pertahankan
RR : 20x/menit
kewaspadaan sesuai indikasi
benjolan di daerah leher (-)
Kolaborasi :
Lesi (-)
Kejang (-) 1. Periksa kultur / sensitivitas lesi,
Dipsnea (-) darah, urine dan sputum
nyeri panggul (-) 2. Berikan antibiotic antijamur /
nyeri abdomen (-)
agen antimikroba, missal :
tremor (-)
trimetroprim (bactrim, septra),
nistatin (mycostatin),
ketokonazol, pentamidin atau
AZT/retrovir

E Implementasi Dan Evaluasi

N
N o Tanda
Tanggal Implementasi Evaluasi (SOAP)
o D Tangan
x

36 | P a g e
1 7 1 4 Memantau TTV, S :
November
termasuk CVP Pasien
2014
bila terpasang. mengatakan
mencatat sudah tidak
hipertensi, diare lagi.
termasuk Pasien

perubahan mengatakan

postural. sudah tidak


Hasil : indicator demam
dari volume Pasien

cairan sirkulasi mengatakan

normal sudah tidak


tidak mudah

5 Mencatat lelah

peningkatan suhu O :
dan durasi Diare (-)
Demam (-)
demam. Pasien tidak
memberikan
mudah lelah
kompres hangat Pasien tidak
sesuai indikasi. berkeringat
mempertahankan malam hari
pakaian tetap TTV :
kering. TD : 120/80
mempertahankan N : 80x/menit
kenyamanan S : 37 C
suhu lingkungan. RR : 20x/menit
Hasil :
berat badan
meningkatkan
pasien naik
kebutuhan
dari 54 kg
metabolisme
menjadi 54.5
kg
6 Mengkaji turgor BAB /diare (-)
kulit, membrane pasien tidak

mukosa, dan rasa terlihat pucat


sianosis (-)

37 | P a g e
haus. pasien tidak
Hasil : turgor
pingsan
kulit dan umlah dan
membrane warna urin
mukosa baik / normal
lembab anoreksia (-)
Turgor kulit
baik / lembab
2 Memantau
A : masalah
pemasukan oral
kekurangan volume
dan memasukka
cairan tubuh sudah
cairan sedikitnya
teratasi
2500 ml/hari.
Hasil : P : intervensi
mempertahankan dihentikan
keseimbangan
cairan,
mengurangi rasa
haus, dan
melembabkan
membrane
mukosa.

3 Memberikan
cairan / elektrolit
melalui selang
pemberi
makanan / IV
hasil :
memperbesar
volume sirkulasi,
pasien tidak
anoreksia

4 Memantau hasil
pem. LAB sesuai

38 | P a g e
indikasi, mis.. :
HB/HT
hasil : kebutuhan
cairan adekuat

5 Memberikan
Antipiretik,
mis.. :
asetaminofen
hasil : membantu
mengurangi
demam dan
respons hiper
metabolism,
menurunkan
kehilangan cairan
tak kasat mata
2 8 2 1. Mengkaji S:
November
kemampuan Pasien tidak
2014
untuk mengeluh
mengunyah, lemah lagi
merasakan, dan O :
menelan. Pasien tidak
Hasil : pasien
mudah lelah
dapat mengunyah Pasien tidak
dan mencerna letih
makanan dengan Pasien tidak

baik, dan dapat lesu


Nafsu makan
menelan
bertambah,
porsi makan
2. Menimbang berat
habis
badan sesuai Pasien dapat
kebutuhan.
menverna
Evaluasi berat
makanan
badan dalam hal

39 | P a g e
adanya berat dengan baik
Berat badan
badan yang tidak
sesuai. Gunakan naik dari 54

serangkaian kg menjadi

pengukuran berat 54.5 kg


pasien tidak
badan dan
terlihat pucat
antropometrik. pasien tidak
Hasil : berat
sianosis
badan kembali pasien tidak
normal, kenaikan anoreksia
berat badan dari A : masalah
54 kg menjadi perubahan nutrisi
54.5 kg kurang dari
kebutuhan tubuh
3. Mendorong sudah teratasi
aktivitas fisik sebagian.
sebanyak fisik P : Lanjutkan
mungkin intervensi No 2
Hasil : nafsu
mandiri dan 2
makan
kolaborasi
meningkat, dan
pasien menjadi
lebih sehat
4. Mencatat
pemasukan kalori
Hasil : kebutuhan
kalori untuk
tubuh terpenuhi

5. Mempertahankan
status puasa jika
di indikasikan
Hasil : muntah
berkurang

40 | P a g e
6. Memberikan
suplemen
vitamin.
Hasil : kebutuhan
vitamin untuk
tubuh terpenuhi

3 9 3 1. Memonitor S : Pasien
November
tanda-tanda mengatakan sudah
2014
infeksi baru. tidak demam lagi.
Hasil : pasien
O:
tidak terpapar
Demam (-)
oleh infeksi Pusing (-)
kuman pathogen Rasa terbakar
di RS pada kaki
2. Menggunakan hilang
teknik actrim Nyeri dada

pada setiap pleuritis (-)


Pasien sudah
tindakan actrim.
tidak
Cuci tangan
berkeringat
sebelum
malam hari
meberikan
tindakan.
Hasil : tidak TTV :
terjadi infeksi TD: 120/80
N: 80x/menit
3. Memberikan S: 370 C
lingkungan yang RR : 20x/menit
bersih dan benjolan di
berventilasi baik. daerah leher (-)
Lesi (-)
Periksa
Kejang (-)
pengunjung / staf Dipsnea (-)
terhadap tanda nyeri panggul

infeksi dan (-)


nyeri abdomen
pertahankan
(-)

41 | P a g e
kewaspadaan tremor (-)
sesuai indikasi A : masalah infeksi
Hasil : tidak
sudah teratasi
terjadi
P : intervensi
penambahan
dihentikan
infeksi yg lebih
parah
4. Memeriksa
kultur /
sensitivitas lesi,
darah, urine dan
sputum
Hasil :
mengurangi
demam dan tidak
terjadi
pertumbuhan
kuman pathogen
penyebab infeksi
5. Memberikan
antibiotic
antijamur / agen
antimikroba,
missal :
trimetroprim
(actrim, septra),
nistatin
(mycostatin),
ketokonazol,
pentamidin atau
AZT/retrovir
Hasil :
meningkatkan
fungsi imun dan
tidak terjadi

42 | P a g e
infeksi

BAB III
PENUTUP

3.2. Kesimpulan

Setelah terinfeksi HIV, 50-70% penderita akan mengalami gejala yang


disebut sindrom HIV akut. Gejala ini serupa dengan gejala infeksi virus pada
umumnya yaitu berupa demam, sakit kepala, sakit tenggorok, mialgia (pegal-pegal
di badan), pembesaran kelenjar dan rasa lemah. Pada sebagian orang, infeksi dapat
berat disertai kesadaran menurun. Sindrom ini biasanya akan menghilang dalam
beberapa mingggu. Dalam penyususnan kasus harus dipertimbangkan dengan
kesenjangan teori.

3.3. Saran
1 Bagi Mahasiswa

Dalam penyusunan makalah dan pemecahan kasus kelompok sudah


berusaha semaksimal mungkin. Namun jika ada saran yang bersifat perbaikan
kelompok sangat senang menerima masukan tersebut.

2 Bagi Intitusi Pendidikan

Dalam penyusunan makalah kelompok melakukan konsultasi dengan


pihak Bapak / Ibu dosen yang bersangkutan. Saran yang Bapak / Ibu dosen
berikan sangat membantu untuk perbaikan makalah dan pemecahan kasus.

43 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

Suzanne C. Smeltzer, Brenda G. Bare. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Sudarth ed. 8. Jakarta: ECG.

Price, Sylvia A. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Ed 6. Terj


Brahm U. Pendit (et al.). Jakarta : EGC, 2005.

44 | P a g e

You might also like