You are on page 1of 7

A. Anjuran Rasulullah untuk Meringankan beban keluarga yang ditimpa musibah kematian.

1. Anjuran melakukan taziyah. Taziyah adalah semua perkara yang diucapkan atau perbuatan yang
dilakukan oleh seseorang bagi keluarga yang meninggal dalam rangka menghiburnya. Ucapan-ucapan
dan perbuatan itu merupakan perkara yang dibenarkan oleh agama, berupa doa dan ucapan
belasungkawa yang menghibur hati dan meringankan kesedihan keluarga yang ditinggalkan. Hal
tesebut sangatlah dianjurkan oleh Rasulullah sebagaimana dalam hadits berikut: :
: :


:
Dikisahkan
Abu Bakr bin Abi Shaybah. memberitahukan kepada kami Khalid bin Mukhollad. Qais Abu Amara Ansar
berkata kepadaku: Aku mendengar Abdullah ibn Abi Bakr ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazm dari ayah
dia dan dia mendengar dari kakeknya - Nabi saw bersabda: Tidak seorang mukmin pun yang datang
bertaziah kepada saudaranya yang ditimpa musibah, kecuali akan diberi pakaian kebesaran oleh Allah
di hari kiamat. - - :

, " :

Diceritakan dari kami Malik bin Ismail mengatakan kepada kami Israel dari Asim dari Abi Utsman dari
Umamah dia berkata: Saya bersama Nabi saw ketika itu datang kepada Rasulullah salah satu putrinya
dan disana ada Saad dan Ubai bin Kaab dan Muad Dan milik Allah apa yang diambilnya dan yang
diberikannya, dan segala sesuatu memiliki jangka waktu tertentu, maka hendaklah bersabar dan
menabahkan hati. Berdasar hadits di atas dapat kita pahami bahwa Rasulullah menganjurkan kita
untuk meringankan dan menghibur kesedihan keluarga yang ditimpa musibah kematian. Di antara cara
meringankan beban tersebut adalah dengan melakukan taziyah. Taziyah adalah suatu ibadah yang
dianjurkan, baik datang langsung ke rumah keluarga yang berduka maupun dengan titipan pesan.
Perkataan atau doa yang dibaca ketika taziyah tidak ditentukan oleh Nabi, tetapi pesan kesabaran dan
pengembalian (istirja) sering diucapkan oleh Nabi SAW. Dari hadits-hadits tentang taziyah di atas,
terlihat bahwa tidak ada Nabi menyuruh untuk mengadakan acara khusus tentang taziah, apalagi
sampai menyibukkan dan menyusahkan keluarga yang berduka.
2. Anjuran Meringankan beban Keluarga Yang di Timpa Musibah Kifayah
: :
Menceritakan pada kami Musaddad menceritakan pada kami Sufyan Jafar bin Kholid dari bapaknya
dari Abdillah bin Jafar dia berkata: Rasulullah bersabda: buatlah untuk keluarga Jafar makanan
karena telah datang kepada mereka sesuatu yang membuat mereka sibuk.
: :
: Hisyam bin Ammar dan Mohammad bin Shabah
bercerita. Sufian bin Uyainah dari Jafar bin Khalid dari ayahnya Abdullah bin Jafar dia berkata: ketikka
janazah Jafar datang maka Rasulullah berkata Hendaklah kalian semua membuat makanan untuk
keluarga Jafar. Maka sudah datang pada mereka sesuatu yang membuat mereka sibuk atau
desibukkan dengan perkara tersebut. Syaikh al-Albani berkata:.. hadits ini merupakan hadits Hasan.
: , , , , , ,
, : , Dikisahkan oleh Yaqub
ibn Ibrahim al-Bazzaz bercerita pada kami ibn Matar dan Sufian dari Jafar bin Khalid dari ayahnya
Abdullah bin Jafar mengatakan ketika mayat Jafar datang, maka Rasulullah berkata buatlah makanan
untuk keluarga Jafar karena sesungguhnya: Telah datang pada mereka apa yang membuat mereka
kerepotan atau perkara itu yang membuat mereka sibuk.
" : ,
." " , " Mengatakan kepada kami
Abu Taher al-Faqih dikabarkan Abu Hamid Ahmad bin Mohammad bin Yahya bin Bilal al-Bazzaz
bercerita kepada kami Yahya bin Rabi al-Makki bercerita pada kami Sufian dari Jafar dari ayahnya
Abdullah bin Jafar mengatakan bahwa Nabi saw berkata: buatlah makanan kepada keluarga Jafar
karena telah datang pada mereka apa yang membuat mereka kerepotan atau perkara itu yang
membuat mereka sibuk. Selain menganjurkan untuk datang menghibur keluarga yang ditinggalkan
Rasulullah juga menganjurkan agar meringakan beban keluarga yang ditimpa musibah dengan
mengantarkan makanan atau apa saja yang dapat meringankan beban keluarga yang ditimpa musibah.
Makanan yang terdapat dalam hadits di atas hanya sebagai salah satu contoh yang dibutuhkan,
mungkin ada hal-hal lain yang bisa diberikan oleh tetangga dan masyarakat lainnya, seperti biaya
tajhizul mayyit (perawatan jenazah).
3. Larangan Meratapi Mayit Di antara dalil khusus yang paling sering dikemukakan adalah tentang
larangan berkumpul di rumah keluarga mayit lalu dihidangkan makanan dan seterusnya. Yang mana hal
tersebut suatu yang sangat dilarang oleh Rasulullah sebagaimana hadits berikut:
: :
- : -
: : Telah
menceritakan kepada saya Abdan telah menceritakan kepada saya Abdullah. Telah mengabarkan
kepada saya ibnu juraij dan dia berkata telah mengabarkan kepadaku Abdullah bin Ubaidillah bin Abu
Mulaikah berkata, Putri Utsman bin Affan meninggal dunia di Mekah dan kami datang hendak
menghadirinya. Di sini datang pula Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Abbas. Aku sendiri duduk di
antara kedua orang itu atau aku duduk mendekati salah seorang dari keduanya. Kemudian ada orang
lain yang baru datang dan langsung duduk di dekatku. Abdullah bin Umar berkata kepada Amr bin
Utsman, Mengapa engkau melarang menangis? Sebab, Rasulullah bersabda, Sesungguhnya mayat
itu disiksa karena tangisan keluarganya atasnya. :

: } { : "
"
Memberitahu kepada kami Musaddad, Abdul Warits dari Ayyub dari Hafsah dari Ummi Atiyyah. dia
mengatakan: berjanji setia kepada Nabi saw dan membacakan bahwa kita tidak akan menyekutukan
Allah. Dan melarang kami dari wanita meratapi mayat kami, memegang tangannya, dia berkata begitu
dan begitu senang saya, dan saya ingin membalasnya. Tidak mengatakan apa-apa jadi aku pergi dan
kemudian datang kembali, maka ketika meninggal seorang perempuan kecuali Ummu Salim dan Ummu
al-Ala dan putri Abi Sabrah perempuan Muadz atau putri Abi Sabrah perempuan Muadz.
: :
. :
. Telah menceritakan kepada kami Muhammad Ibn Yahya,
dia berkata telah menceritakan kepada kami Said Ibn Mansur, dia berkata telah menceritakan kepada
kami Hasyim, dia berkata telah menceritakan kepada kami Syuja Ibn Mukhallid Abu al- Fadl, dia
berkata telah menceritakan kepada kami Hasyim dari Ismail Ibn Abi Khalid dari Qays Ibn Abi Hazm dari
Jarir Ibn Abdillah al- Bajally, dia berkata bahwa kami menganggap bahwa berkumpul di tempat keluarga
si mayit dan menyediakan makanan adalah bagian dari meratap. Sanad hadits ini adalah sahih. Turuq
rawi yang pertama adalah turuq yang dirawikan oleh Bukhari dan turuq yang kedua adalah turuq yang
dirawikan oleh Muslim. - -
" :

: " :
Dari shahabat Abu Malik Al-Asyari -radhiyallahu anhu
(semoga Allah meridhainya)-, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Pada umatku, ada empat sifat
(perangai) Jahiliyyah yang belum mereka tinggalkan. (Sifat-sifat tersebut adalah): (1) berbangga
dengan keturunan, (2) mencela nasab, (3) menyandarkan turunnya hujan kepada bintang-bintang, dan
(4) niyahah (meratapi orang yang telah meninggal dunia). Kemudian Rasulullah bersabda: Wanita
yang meratapi kematian, jika dia tidak bertaubat sebelum ajal menjemputnya, maka kelak pada hari
kiamat, dia akan dikenakan pakaian yang terbuat dari lelehan tembaga dan pakaian dari besi dalam
keadaan tubuhnya berkudis dan berbau busuk. : :
: : : . :
Memberitahukan kepada kami malik Bin Monghul dari Thalhah dia berkata: ketika Jarir berangkat
kepada Umar maka dia berkata: apakah kalian semua meratapi mayat, maka mereka menjawab tidak
maka dia berkata apakah orang-orang perempuan berkumpul dan memberikan makan mereka, maka
mereka menjawab yamaka dia berkata itu dia yang dinamakan meratapi mayat. Meratap atau yang
dalam bahasa arab disebut niyahah adalah perbuatan yang dilarang di dalam agama. Meskipun
begitu, bukan berarti keluarga mayit sama sekali tidak boleh bersedih atau menangis saat anggota
keluarga mereka meninggal dunia, sedangkan Rasulullah Saw. saja bersedih dan menangis
mengeluarkan air mata saat cucu beliau wafat, Rasulullah Saw. juga menangis saat menjelang
wafatnya putra beliau yang bernama Ibrahim, bahkan beliau juga menangis di makam salah seorang
putri beliau dan di makam ibunda beliau sehingga orang yang bersamanya pun ikut menangis. Maka
meratap yang diharamkan dan disebut niyahah adalah menangisi mayit dengan suara keras, meraung,
atau menggerung, apalagi diiringi dengan ekspresi berlebihan seperti merobek kantong baju, memukul-
mukul atau menampar pipi, menarik-narik rambut, atau menaburi kepala dengan tanah, dan lain
sebagainya. berkumpul dan menyediakan makanan merupakan bagian dari meratap, maka bila
meratap dilarang oleh Nabi SAW maka berkumpul dan menyediakan makanan pun dilarang
sebagaimana hadits di atas. Namun dalam kenyataannya, praktek di tengah-tengah masyarakat justru
berlainan dengan hadits-hadits di atas.
B. Tahlilan Dan Membaca Al-Qur'an Untuk Mayyit Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa
secara umum di negara kita Indonesia khususnya di pulau Jawa, ketika ada salah satu famili meninggal
dunia maka sudah menjadi sebuah tradisi membacakan al-Quran, tahlil, dan doa untuk Mayyit selama
tujuh hari
1. Membaca Al-Qur'an Para ulama Ahlussunnah menyepakati bahwa doa dan istighfar seorang muslim
yang masih hidup kepada Allah untuk orang yang telah mati itu bermanfaat. Demikian juga membaca al
Qur'an di atas kubur juga bermanfaat terhadap mayyit. Dalil Kebolehan membaca al Qur'an di atas
kubur adalah hadits bahwa Nabi membelah pelepah yang basah menjadi dua bagian kemudian Nabi
menanamkan masing-masing di dua kuburan yang ada dan Rasulullah bersabda:
" Semoga keduanya mendapatkan keringanan siksa kubur selama pelepah ini belum
kering". Dapat diambil dalil dari hadits ini bahwa boleh menancapkan pohon dan membaca al Qur'an di
atas kubur, jika pohon saja bisa meringankan adzab kubur lebihlebih bacaan al Qur'an orang mukmin.
Imam Nawawi berkata: "Para ulama mengatakan sunnah hukumnya membaca al Qur'an di atas kubur
berdasarkan pada hadits ini, karena jika bisa diharapkan keringanan siksa kubur dari tasbihnya pelepah
kurma apalagi dari bacaan al Qur'an". Jelas bacaan al Qur'an dari manusia itu lebih agung dan lebih
bermanfaat daripada tasbihnya pohon. Jika telah terbukti al Qur'an bermanfaat bagi sebagian orang
yang ditimpa bahaya dalam hidupnya, maka mayit begitu juga.
2. Tahlilan Selama Tujuh Hari Tahlilan hukumnya boleh, sedangkan unsur-unsur dalam tahlilan
merupakan amaliyah-amaliyah masyru seperti berdoa, membaca dzikir baik tasybih, tahmid, takbir,
tahlil hingga shalawat, dan juga membaca al-Quran yang pahalanya untuk mayyit. Disamping itu juga
terkait dengan hubungan sosial masyarakat yang dianjurkan dalam Islam yakni shilaturahim. Adapun
jamuan makan dalam kegiatan tahlilan (kenduri arwah) jika bukan karena tujuan untuk kebiasaan
(menjalankan adat) dan tidak memaksakan diri jikalau tidak mampu serta bukan dengan harta yang
terlarang. Maka, membuat dengan niat tarahhum (merahmati) mayyit dengan hati yang ikhlas serta
dengan niat menghadiahkan pahalanya kepada mayyit (orang mati) maka itu mustahab (sunnah). Itu
merupakan amalan yang baik karena tujuannya adalah demikian. Sebagaimana hadits Rasulullah
berikut: :


:
Dari Aisyah ra bahwa
sungguh telah datang seorang lelaki pada nabi saw seraya berkata : Wahai Rasulullah, sungguh ibuku
telah meninggal mendadak sebelum berwasiat, kukira bila ia sempat bicara mestilah ia akan
bersedekah, bolehkah aku bersedekah atas namanya?, Rasul saw menjawab : Boleh Berdasarkan
hadits diatas, bila keluarga rumah duka menyediakan makanan dengan maksud bersedekah maka hal
itu sunnah, apalagi bila diniatkan pahala sedekahnya untuk mayyit, demikian kebanyakan orang orang
yg kematian, mereka menjamu para tamu yang datang dengan sedekah yang pahalanya untuk si
mayyit, maka hal ini sunnah.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan Rasulullah menganjurkan kita untuk meringankan dan menghibur kesedihan keluarga
yang ditimpa musibah kematian. Di antara cara meringankan beban tersebut adalah dengan melakukan
taziyah. Taziyah adalah suatu ibadah yang dianjurkan, baik datang langsung ke rumah keluarga yang
berduka maupun dengan titipan pesan. Perkataan atau doa yang dibaca ketika taziyah tidak ditentukan
oleh Nabi, tetapi pesan kesabaran dan pengembalian (istirja) sering diucapkan oleh Nabi SAW. Selain
menganjurkan untuk datang menghibur keluarga yang ditinggalkan Rasulullah juga menganjurkan agar
meringakan beban keluarga yang ditimpa musibah dengan mengantarkan makanan atau apa saja yang
dapat meringankan beban keluarga yang ditimpa musibah. Meratap atau disebut niyahah adalah
menangisi mayit dengan suara keras, meraung, atau menggerung, apalagi diiringi dengan ekspresi
berlebihan seperti merobek kantong baju, memukul-mukul atau menampar pipi, menarik-narik rambut,
atau menaburi kepala dengan tanah, dan lain sebagainya. berkumpul dan menyediakan makanan
merupakan bagian dari meratap, maka bila meratap dilarang oleh Nabi SAW maka berkumpul dan
menyediakan makanan pun dilarang.
DAFTAR PUSTAKA
al- Azdy, Sulaiman Ibn al-Atsasy Abu Daud al- Syajasytany. tt. Sunan Abu Daud. Beirut: al-Maktabah
al-Isriyah. al- Baghdady, Ali Ibn Umar Abu al-Hasan al-Daruquthny. 1424 H/2004 M. Sunan al-
Daruquthny. Beirut: Muassasah al-Risalah. al- Baihaqy, Ahmad Ibn al- Husain Ibn Ali Ibn Musa Abu
Bakr. 1424 H/2003 M. al-Sunan al- Kubra. Beirut : Dar al-Kitab al-Ilmiyah. al-Jufy,Muhammad Ibn Ismail
Abu Abdillah al-Bukhary. 1422 H. Al- Jami Al- Shahih al-Mukhtadhar. tk: Shamela. al- Kufy, Abu Bakr
Abdillah Ibn Muhammad Ibn Abi Syaibah. 1409 H. al- Mushannif Fi al-Hadits Wa al-Atsar Riyadh:
Maktabah al- Rusyd. al-Naisabur, Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Hasan. tt. Sohih Muslim. Beirut, Dar Ihya
al-Turats al-Arabiyah. al-Quzwainy, Muhammad Ibn Yazid Abu Abdillah. tt. Sunan Ibn Majah. tk: Dar
Ihya al-Arabiyah. as-Syarbini, Muhammad al-Khathib. tt. Mughni al-Muhtaaj. tk, Dar al-Fikr. al-Tsaury,
Al-Faqir. Tahlilan Dalam Perspektif Madzhab Imam as-Syafii http://ashhabur-royi.blogspot.com diakses
pada tanggal 29 Nopember 2013

Manakala musibah ini menimpa, banyak orang mengungkapkan perasaan berkabungnya dengan
berbagai cara. Di antaranya, ada yang berkabung dengan menaikkan bendera setengah tiang
karena wafatnya seorang pemimpin atau tokoh besar. Atau kaum laki-laki berkabung atas
kematian salah seorang keluarga atau kerabatnya. Ada yang mengungkapkannya dengan
mengenakan pakaian serba hitam sebagai simbol duka. Bagaimanakah dengan Islam?

Islam telah menetapkan, bahwa berkabung hanyalah untuk wanita jika suaminya atau salah satu
keluarganya meninggal dunia, dengan cara-cara yang telah ditetapkan syariat.
MAKNA BERKABUNG DALAM ISLAM
Berkabung, dalam bahasa Arabnya adalah al hadaad ( ) . Maknanya, tidak mengenakan
perhiasan baik berupa pakaian yang menarik, minyak wangi atau lainnya yang dapat menarik
orang lain untuk menikahinya [1]. Pendapat lain menyatakan, al hadaad adalah sikap wanita
yang tidak mengenakan segala sesuatu yang dapat menarik orang lain untuk menikahinya
seperti minyak wangi, celak mata dan pakaian yang menarik dan tidak keluar rumah tanpa
keperluan mendesak, setelah kematian suaminya[2]
JENIS BERKABUNG
Al hadaad, terbagi menjadi dua. Pertama, berkabung dari kematian suami selama empat bulan
sepuluh hari. Kedua, berkabung dari kematian salah satu anggota keluarganya, selain suami
selama tiga hari.
Pembagian ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa salllam :

Tidak boleh seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhir untuk berkabung atas
kematian melebihi tiga hari, kecuali atas kematian suaminya [3]

Dan dalam riwayat Bukhari terdapat tambahan lafazh :


Maka ia berkabung atas hal tersebut selama empat bulan sepuluh hari[4]

HUKUM BERKABUNG ATAS KEMATIAN SUAMI


Ulama ahlu sunnah sepakat, kecuali Al Hasan Al Bashri, Al Hakam bin Utaibah dan Asy Syabi,
menyatakan bahwa hukum berkabung dari kematian suami selama empat bulan sepuluh hari
adalah wajib.
Allah berfirman:



Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah


para isteri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila
telah habis masa iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat
terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat [Al
Baqarah:234].

Dari Zainab bintu Abu Salamah, beliau berkata :


















Aku telah mendengar Ummu Salamah berkata: Seorang wanita datang menemui Rasulullah
dan berkata,Wahai, Rasulullah! Sesungguhnya putriku ditinggal mati suaminya, dan ia
mengeluhkan sakit pada matanya. Apakah ia boleh mengenakan celak mata?. Lalu Rasulullah
menjawab Tidak! sebanyak dua atau tiga kali, semuanya dengan kata tidak. Kemudian
Rasulullah berkata: Itu harus empat bulan sepuluh hari, dan dahulu, salah seorang dari kalian
pada zaman jahiliyah membuang kotoran binatang pada akhir tahun.[5]

Tidak boleh seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhir untuk berkabung atas
kematian melebihi tiga hari, kecuali atas kematian suaminya.[6]

Perkataan Ulama Dalam Hal Ini :


Ibnu Qudamah (wafat tahun 620 H) menyatakan: Kami tidak mengetahui perbedaan pendapat di
antara para ulama tentang kewajiban Al hadaad (berkabung) atas wanita yang suaminya
meninggal kecuali dari Al Hasan, beliau menyatakan tidak wajib. Namun pendapat ini adalah
pendapat yang syadz (aneh, menyelisihi) pendapat para ulama dan menyelisihi sunnah sehingga
pendapat tersebut tidak signifikan.[7]
Ibnu Al Qayyim (wafat tahun 751H) berkata : Umat telah berijma tentang kewajiban Ahdaad bagi
wanita yag ditinggal mati suaminya, kecuali yang diriwayatkan dari Al Hasan dan Al Hakam bin
Utaibah.[8]

HUKUM BERKABUNG ATAS KEMATIAN SALAH SATU KELUARGA SELAIN SUAMI


Bekabung atas kematian salah seorang kerabat atau keluarga selain suami diperbolehkan
selama tiga hari saja dan tidak boleh lebih. Walaupun diperbolehkan, namun bila suami
mengajak berhubungan intim, maka wanita tersebut tidak boleh menolaknya.
Ibnu Hajar (wafat tahun 852 H) menegaskan: Syariat memperbolehkan seorang wanita untuk
berkabung atas kematian selain suaminya selama tiga hari, karena kesedihan yang mendalam
dan penderitaan yang mendera karena kematian orang tersebut. Hal itu tidak wajib menurut
kesepakatan para ulama. Namun seandainya suami mengajaknya berhubungan intim (jima)
maka ia tidak boleh menolaknya.[9]

Ibnu Hazm (wafat tahun 456 H) menyatakan: Seandainya seorang wanita berkabung selama tiga
hari atas kematian bapak, saudara, anak, ibu atau kerabat lainnya, maka hal itu mubah.[10]

Ibnu Al Qayyim (wafat tahun 751 H) juga menyatakan: Berkabung atas kematian suami
hukumnya wajib dan atas kematian selainnya boleh saja.[11]

SYARAT-SYARAT DIWAJIBKANNYA AL-HADAAD [12]


1). Wanita tersebut berakal dan baligh. Para ulama telah bersepakat bahwa wanita yang baligh
dan berakal diwajibkan melewati masa al hadaad. Namun mereka masih berselisih pendapat
tentang wanita yang belum memasuki masa baligh atau gila. Pendapat yang rajih adalah
pendapat mayoritas ulama yang mewajibkannya
2). Beragama Islam. Syarat ini juga telah disepakati para ulama. Perbedaan pendapat terjadi
pada wanita ahli kitab apakah dikenakan kewajiban ini atau tidak ? Pendapat yang rajih adalah
pendapat mayoritas ulama yang menyatakan hal itu diwajibkan atas wanita ahli kitab yang
menikah dengan muslim, lalu suaminya meninggal dunia.
3). Menikah dengan akad yang shahih.
MASA WAKTU BERKABUNG DAN CARA MENGHITUNG HARINYA
Masa berkabung bagi wanita adalah empat bulan sepuluh hari. Ini berlaku pada semua wanita,
kecuali yang hamil. Wanita hamil yang ditinggal mati suaminya, berkabung sampai melahirkan,
berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Taala :
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah
menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya [Ath Thalaaq : 4]

Juga hadits Subaiah yang berbunyi:











Umar bin Abdillah bin Al Arqam Az Zuhri menulis surat kepada Abdullah bin Utbah
memberitahukan kepadanya, bahwa Subaiah telah menceritakan kepadanya bahwa ia
(Subaiah) adalah istri Saad bin Khaulah yang berasal dari Bani Amir bin Luai dan dia ini
termasuk orang yang ikut perang Badr. Lalu Saad meninggal dunia pada haji wada sedangkan
Subaiah dalam keadaan hamil. Tidak lama kemudian setelah suaminya wafat, ia melahirkan.
Ketika selesai nifasnya, maka Subaiah berhias untuk dinikahi. Abu Sanaabil bin Bakak seorang
dari Bani Abduddar menemuinya sembari berkata: Mengapa saya lihat kamu berhias,
tampaknya kamu ingin menikah? Tidak demi Allah! Kamu tidak boleh menikah sampai selesai
empat bulan sepuluh hari. Subaiah berkata: Ketika ia bicara demikian kepadaku, maka aku
memakai pakaianku pada sore harinya, lalu aku mendatangi Rasulullah dan menanyakan hal
tersebut. Kemudian Rasulullah memberikan fatwa kepadaku, bahwa aku telah halal dengan
melahirkan dan memerintahkanku menikah bila kuinginkan.[13]

Oleh karena itu Imam Ibnu Al Qayyim menyatakan: Adapun orang yang hamil, jika telah
melahirkan, maka gugurlah kewajiban berkabungnya tersebut menurut kesepakatan mereka
(para ulama), sehingga ia boleh menikah, berhias dan memakai wangi-wangian untuk suaminya
(yang baru) dan berhias sesukanya.[14]

Sedangkan Ibnu Hajar menyatakan: Mayoritas ulama dari para salaf dan imam fatwa di berbagai
egeri berpendapat bahwa orang yang hamil jika wafat suaminya menjadi halal (boleh menikah)
dan selesai masa iddahnya dengan melahirkan.[15]

Masa berkabung ini dimulai dari hari kematian suami, walaupun berita kematiannya terlambat ia
dengar. Demikianlah pendapat mayoritas para sahabat, para imam empat madzhab, Ishaq bin
Rahuyah, Abu Ubaid dan Abu Tsaur.[16]

Perhitungannya dengan menggunakan bulan Hijriyah. Sebagai contoh, seorang wanita ditinggal
mati suaminya pada lima hari sebelum bulan Dzulhijjah, maka ia hitung sisa Dzulhijah tersebut
dan melihat hilal Muharram, Shafar, Rabiul awal dan Robiu Al Tsani, bila telah genap empat
bulan, maka ia gabungkan sisa hari dalam bulan Dzulhijah yang telah dilewati sebelumnya
dengan menambahinya sampai genap sepuluh hari empat bulan. Setelah itu, ia boleh berhias
sebagaimana wanita lainnya.

HAL-HAL YANG DILARANG DALAM MASA BERKABUNG


Secara ringkas, wanita yang sedang menjalani masa berkabung, tidak boleh melakukan segala
sesuatu yang diharamkan pada wanita yang sedang menunggu masa iddah seperti berhias atau
hal-hal lain yang dapat menarik perhatian lelaki untuk menikahinya.
Diharamkan pada wanita yang berkabung ini semua yang diharamkan pada orang yang
menunggu masa iddah dari berhias atau yang lainnya yang dapat menarik untuk menikahinya.

Maraji
1. Fathul Bari, Ibnu Hajar, tanpa cetakan dan tahun, Al Maktabah Al Salafiyah, Mesir
2. Al Kalimaat Al Bayyinaat Fi Ahkam Hadaad Al Mukminat, Muhammad Al Hamuud Al
Najdi,cetakan pertama tahun 1415 H, Dar Al Fath
3. Al Mughni, Ibnu Qudamah, tahqiq Abdul Muhsin bin Abdullah Al Turki dan Abdul Fattah bin
Muhammad Al Halwu, cetakan kedua tahun 1413H, penerbit Hajar, Kairo
4. Zaad Al Maad Fi Hadyu Khoirul Ibad, Ibnu Al Qayyim, Tahqiiq Syuaib Al Arnauth dan Abdul
Qadir Al Arnauth, cetakan ketiga tahun 1421H Muassasah Al Risalah
5. Al Muhalla , Ibnu Hazm tahqiq Ahmad Muhammad Syakir, tanpa cetakan dan tahun, Daar Al
Turats, Mesir
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun VIII/1426H/2005. Diterbitkan Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-
761016]
________
Footnotes
[1]. Lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar, tanpa cetakan dan tahun, Al Maktabah As Salafiyah, Mesir, hlm.
3/146.
[2]. Lihat Al Kalimaat Al Bayyinaat Fi Ahkam Hadaad Al Mukminat, Muhammad Al Hamuud An
Najdi, Cetakan Pertama, Tahun 1415 H, Dar Al Fath, hlm. 8.
[3]. HR Muslim dalam Shahih-nya, Kitab Thalaq, bab Wujub Al Ihdaad, no. 3714.
[4]. HR Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab Al Janaaiz, bab Ihdaad Al Marah Ala Ghairi Zaujiha,
no. 1280. Lihat Fathul Bari, Op.cit, hlm. 3/146.
[5]. HR Bukhari, Kitab Thalaq, Bab Tahiddu Al Mutawaffa Anha Arbaata Asyhur Wa Asyra, no.
5.335. Lihat Fathul Bari, Op.cit, hlm. 9/484.
[6]. HR Muslim dalam Shahih-nya, kitab Thalaq, bab Wujub Al Ihdaad no. 3714.
[7]. Al Mughni, Ibnu Qudamah, tahqiq Abdul Muhsin bin Abdullah At Turki dan Abdul Fatah bin
Muhammad Al Halwu, Cetakan Kedua, Tahun 1413H, Penerbit Hajar, Kairo, Mesir, hlm. 11/284.
[8]. Zaad Al Maad Fi Hadyu Khairul Ibad, Ibnu Al Qayyim, tahqiq Syuaib Al Arnauth dan Abdul
Qadir Al Arnauth, Cetakan Ketiga, Tahun 1421H Muassasah Ar Risalah, hlm. 5/618.
[9]. Fathul Bari, Op.cit., 3/146.
[10]. Al Muhalla, Ibnu Hazm, tahqiq Ahmad Muhammad Syakir, tanpa cetakan dan tahun, Daar
Al Turats, Mesir, hlm. 10/280.
[11]. Zaad Al Maad, Op.cit., 5/618.
[12]. Diringkas secara bebas dari Al Kalimaat Al Bayyinaat Fi Ahkam Hadaad Al Mukminat,
Muhamad Al Hamuud An Najdi, Op.cit. hlm. 11-13.
[13]. HR Muslim dalam Shahih-nya, kitab Thalaq, bab Inqidha Al Mutawaaffa Anha Zaujuha, no.
3707.
[14]. Zaad Al Maad, Op.cit, hlm. 5/619.
[15]. Fathul Bari, Op.cit., hlm. 9/474.
[16]. Lihat Al Kalimaat Al Bayyinat, Op.cit., hlm. 19.

Sumber: https://almanhaj.or.id/2573-berkabung-dari-kematian.html

You might also like