Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan
Mengetahui karakteristik dan perbedaan antara lahan basah dan
kering serta cara pengolahan yang tepat
A. Lahan Basah
Lahan Basah adalah kawasan yang terletak di zona peralihan antara
daratan yang
kering secara permanen dan perairan yang berair secara permanen
(Maltby,1991 Dalam Khiatudin.2003). Menurut EPA lahan basah adalah
suatu area dimana air selalu menutupi tanah, baik dimasa saat ini
maupun di sebagian besar waktu dalam setahun, termasuk pada musim
pertumbuhan (EPA,2006). Jenis-jenis lahan basah (wetland) tergantung
dari perbedaan regional dan lokal pada tanah, topografi, iklim, hidrologi,
kualitas air, vegetasi dan berbagai faktor lain termasuk juga aktifitas
manusia. Akan tetapi dalam pertanian dibatasi agroekologinya sehingga
lahan basah dapat di definisikan sebagai lahan sawah.
Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk bertanam padi
sawah, baik terus menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan
tanaman palawija. Segala macam jenis tanah dapat disawahkan asalkan
air cukup tersedia. Selain itu padi sawah juga ditemukan pada berbagai
macam iklim yang jauh lebih beragam dibandingkan dengan jenis
tanaman lain. Karena itu tidak mengherankan bila sifat tanah sawah
sangat beragam sesuai dengan sifat tanah asalnya.
Lahan Basah Tanah sawah dapat berasal dari tanah kering yang
dialiri kemudian disawahkan atau dari tanah rawa-rawa yang dikeringkan
dengan membuat saluransaluran drainase. Sawah yang airnya berasal
dari air irigasi disebut sawah irigasi, sedang yang menerima langsung dari
air hujan disebut sawah tadah hujan. Di daerah pasang surut ditemukan
sawah pasang surut, sedangkan yang dikembangkan di daerah rawa-rawa
lebak disebut sawah lebak. Penggenangan selama pertumbuhan padi dan
pengolahan tanah pada tanah kering yang disawahkan, dapat
menyebabkan berbagai perubahan sifat tanah, baik sifat morfologi, fisika,
kimia, mikrobiologi maupun sifat-sifat lain sehingga sifat-sifat tanah dapat
sangat berbeda dengan sifat-sifat tanah asalnya.
Sebelum tanah digunakan sebagai tanah sawah, secara alamiah
tanah telah mengalami proses pembentukan tanah sesuai dengan faktor-
faktor pembentuk tanahnya, sehingga terbentuklah jenisjenis tanah
tertentu yang masing-masing mempunyai sifat morfologi tersendiri. Pada
waktu tanah mulai disawahkan dengan cara penggenangan air baik waktu
pengolahan tanah maupun selama pertumbuhan padi, melalui perataan,
pembuatan teras, pembuatan pematang, pelumpuran dan lain-lain maka
proses pembentukan tanah alami yang sedang berjalan tersebut terhenti.
Semenjak itu terjadilah proses pembentukan tanah baru, dimana air
genangan di permukaan tanah dan metode pengelolaan tanah yang
diterapkan, memegang peranan penting. Karena itu tanah sawah sering
dikatakan sebagai tanah buatan manusia. (Hardjowigno,_ dan Endang,
2007)
Dua jenis umum lahan basah yang dikenal yaitu tidal wetland dan
non-tidal wetland.
Tidal wetland adalah lahan basah dimana air laut bercampur dengan air
tawar dan membentuk lingkungan dengan bermacam-macam kadar
salinitas. Fluktuasi pemasukan air laut yang tergantung pada pasang
surut seringkali menciptakan lingkungan yang sulit bagi vegetasi, salah
satu yang dapat beradaptasi disini adalah tumbuuhan mangrove dan
beberapa tanaman yang tahan terhadap salinitas.
Sedangkan non-tidal wetland merupakan lahan basah yang
biasanya berada di sepanjang aliran sungai, di bagian yang dangkal
dikelilingi oleh tanah kering. Keberadaannya tergantung musim, dimana
mereka akan mengering pada satu atau beberapa musim di setiap
tahunnya. Tipe ini bisa di ditemui di Amerika atau Alaska.(EPA,2006)
B. Lahan Kering
Agroekosistem lahan kering dimaknai sebagai wilayah atau kawasan
pertanian yang usaha taninya berbasis komoditas lahan kering selain padi
sawah. Kadekoh (2010) mendefinisikan lahan kering sebagai lahan dimana
pemenuhan kebutuhan air tanaman tergantung sepenuhnya pada air
hujan dan tidak pernah tergenang sepanjang tahun. Pada umumnya istilah
yang digunakan untuk pertanian lahan kering adalah pertanian tanah
darat, tegalan, tadah hujan dan huma. Potensi pemanfaatan lahan kering
biasanya untuk komoditas pangan seperti jagung, padi gogo, kedelai,
sorghum, dan palawija lainnya. Untuk pengembangan komoditas
perkebunan, dapat dikatakan bahwa hamper semua komoditas
perkebunan yang produksinya berorientasi ekspor dihasilkan dari usaha
tani lahan kering.
Lahan kering mempunyai potensi besar untuk pertanian, baik
tanaman pangan, hortikultura, maupun tanaman perkebunan.
Pengembangan berbagai komoditas pertanian di lahan kering merupakan
salah satu pilihan strategis untuk meningkatkan produksi dan mendukung
ketahanan pangan nasional (Mulyani dkk, 2006). Namun demikian, tipe
lahan ini umumnya memiliki produktivitas rendah, kecuali pada lahan
yang dimanfaatkan untuk tanaman tahunan atau perkebunan. Pada usaha
tani lahan kering dengan tanaman semusim, produktivitas relatif rendah
serta menghadapi masalah sosial ekonomi seperti tekanan penduduk
yang terus meningkat dan masalah biofisik (Sukmana, dalam Syam, 2003)
Pada umumnya lahan kering memiliki tingkat kesuburan tanah yang
rendah, terutama pada tanah-tanah yang tererosi, sehingga lapisan olah
tanah menjadi tipis dan kadar bahan organik rendah. Kondisi ini makin
diperburuk dengan terbatasnya penggunaan pupuk organik, terutama
pada tanaman pangan semusim. Di samping itu, secara alami kadar
bahan organik tanah di daerah tropis cepat menurun, mencapai 3060%
dalam waktu 10 tahun (Brown dan Lugo 1990 dalam Suriadikarta et al.
2002). Bahan organik memiliki peran penting dalam memperbaiki sifat
kimia, fisik, dan biologi tanah.
Daftar pustaka
Kurniawan, Roni, M. Najib Habibie, Suranto. 2011. Variasi Gelombang Laut di Indonesia.
Puslitbang BMKG. Jakarta
Nurdin. 2011. Penggunaan Lahan Kering di DAS Limboto Provinsi Gorontalo untuk
Pertanian Berkelanjutan. Universitas Gorontalo
Mulyani,A. 2006. Potensi Lahan Kering Masam untuk Pengembangan Pertanian. Warta
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol 28 (2): 16-17. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.
Hardjowigwno, Sarwono dkk.__. Morfologi dan Klasifikasi Tanah Sawah.
Syam, A. 2003. Sistem Pengelolaan Lahan Kering di Daerah Aliran Sungai Bagian Hulu.
Jurnal Litbang Pertanian, 22 (4) : 162-171. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian.
Suriadikarta, D.A., T. Prihatini, D. Setyorini, dan
W. Hartatiek. 2002. Teknologi pengelolaan
bahan organik tanah. hlm. 183238. Dalam
Teknologi Pengelolaan Lahan Kering Menuju
Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah
dan Agroklimat, Bogor.