You are on page 1of 12

HUBUNGAN TINGKAT NYERI DENGAN TINGKAT KECEMASAN PADA

PASIEN POST OPERASI DI RUMAH SAKIT UMUM HERNA MEDAN

Oleh :
Ganda Sigalingging
Dosen Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Darma Agung, Medan
Diterbitkan di Jurnal DARMA AGUNG HUSADA Vol.I/September/2013

ABSTRACT

The surgery process after operation will generate the respon of pain and worry. The
patient post operate 42,2% of them experiencing of pain in medium level and 57,8%
experiencing of dread. Nurses role are very important to overcome the patients dread so that the
pain that appear can be minimized by doing the comprehensive Nursing Caring to avoid the pain
and the dread. Overcoming pain problem need skilled of nurse. In giving treatment intervention,
nurse focussed of degradation of pain and dread. This Research target to know the relation of
pain between the dread of patient post operate. Research type used is analytic observation.
Population in this research is the patient post operate for that is 45 people, and the sample is all
of population become the sampel ( total sampling) that is 45 people.
Variable in this research is the level of pain and the dread. Collecting data done by using
questioner and its result is analysed by using of the test of correlation of Spearman Rank. Result
of research showed that most of the respondents experiencing of medium pain that is 19 person (
42,2%) and the respondent who got medium dread is 26 people ( 57,8%). Based on the test of
Spearman Rank got = 0,000, 0,05 and r = 0,722 thus, there are positive correlation,
meaning Ho refused. Conclusion from research result indicate that there is relation the pain
between the dread of patient Post Operate. Suggested to the patient to do the self-supporting
treatment by asking things of related to surgery process to nurse.

Keywords : Pain, Dread, Post Operate, Medan


I. PENDAHULUAN
1

Pengalaman nyeri dipengaruhi oleh arti nyeri bagi seseorang, persepsi nyeri, toleransi nyeri,
reaksi orang terhadap nyeri. Termasuk juga seks/jenis kelamin, latarbelakang sosiokultural,
lingkungan, pengalaman sekarang dan sudah lalu. Orang berespon berbeda terhadap nyeri
diantaranya ada yang disertai takut, gelisah cemas dan optimis. Kecemasan pada pasien post
operasi perlu mendapatkan perhatian yang serius karena kecemasan akan meningkatkan
pelepasan rennin, angeotensin, aldosteron dan kortisol yang mengakibatkan terjadinya
vasokontriksi pembuluh darah sehingga mengurangi suplai pembuluh darah ke miokard.
Kecemasan dapat merangsang melalui serangkaian aksi yang diperantarai oleh HPA-axis
(Hipotalamus, pitiutari dan adrenal). Stress akan merangsang hipotalamus untuk meningkatkan
produksi CRF (corticotrophin releasing factor). CRF ini selanjutnya akan merangsang pituitary
anterior untuk meningkatkan produksi ACTH (Adeno Cortico Tropin Hormon). Hormon ini yang
akan merangsang korteks adrenal untuk meningkatkan sekresi kortisol. Kortisol inilah yang
selanjutnya akan menekan sistem imun tubuh sehingga memperberat kondisi pasien. Nyeri ini
akan mempengaruhi status kesehatan pasien secara keseluruhan. Dengan demikian maka akan
menurunkan produktifitasnya dalam beraktivitas karena nyeri juga dapat mengganggu system
pulmonary, kardiovaskuler, gastrointestinal, endokrin dan imunologik. Penyebab nyeri biasanya
mudah dikenali akibat adanya injuri, penyakit atau pembedahan terhadap salah satu atau
beberapa organ. Nyeri yang bermanifestasi sebagai rasa yang tidak enak (unpleasant sensation)
bersumber dari kerusakan jaringan tubuh. Oleh karena itu, maka rasa nyeri sering dianggap
sebagai bagian dari mekanisme pertahanan tubuh (defence mechanisme).
Menurut Yulcono (2011) data dari WHO 2007 Amerika Serikat mengalisa data dari
35.539 pasien bedah dirawat di unit perawatan intensif antara 1 oktober 2003 dan 30 september
2006, dari 8.922 pasien, 2.473 pasien (7%) mengalami kecemasan
Hubungan antara nyeri dan kecemasan sendiri bersifat kompleks. Kecemasan sering kali
meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan suatu perasaan cemas.
Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan seseorang diantaranya karakteristik
stimulus (Intensitas, lama, jumlah), karakteristik Individu (arti stimulus bagi induvidu, sumber
stimulus dan respon koping, status kesehatan). Kecemasan dapat terjadi bila seseorang merasa
terancam baik secara fisik maupun psikologi (seperti harga diri, gambaran diri, atau identitas
diri). Manifestasi kecemasan yang terjadi tergantung pada kematangan pribadi, pemahaman
dalam menghadapi ketegangan, harga diri, perasaan sakit/nyeri dan mekanisme koping (Long,
2000). Menurut penelitian yang dilakukan Eko Thn 2010 didapatkan dari bulan Januari s/d
Desember 2009 tercatat sebanyak 362 pasien post operasi dengan rata rata perbulannya
sebanyak 30 orang. Data diambil di Rumah Sakit Umum daerah Sragen Wijaya.Menurut
penelitian oleh Wahyu (2011) yang ingin mengetahui tingkat kecemasan pasien post operasi hasil
yang diperoleh mengatakan dari 26 responden, 15 orang responden (57,7%) yang mengalami
kecemasan.
Berdasarkan hasil pengambilan data awal yang dilakukan dari 10 responden post
operasi 50% mengalami cemas berat, 20% sedang dan 30% ringan.Dari 10 responden tersebut
yang mengalami nyeri berat sebanyak 60%, nyeri sedang dan ringan masing-masing 20%. Hasil
survei yang dilakukan peneliti bahwa dari bulan Maret 2012 terdapat pasien post operasi dengan
rata rata perbulan 45 orang.
Hasil observasi di Rumah Sakit Umum Herna, bahwa setiap orang yang menjalani
tindakan operasi akan timbul rasa nyeri dan kecemasan pada dirinya, walaupun tingkat
kecemasan setiap orang berbeda-beda dalam menghadapinya.
Peran perawat sangat penting dalam upaya penanggulangan kecemasan pasien agar
nyeri yang timbul dapat menimalkan melalui asuhan keperawatan yang komprehensif secara
biopsikososio spiritual. Perawat sebagai tenaga professional dan tenaga yang memiliki waktu
lebih banyak dibandingkan tenaga kesehatan lainnya dituntut untuk memiliki kompetensi yang
memadai untuk mengurangi perasaan cemas dan nyeri dalam dari pasien, sehingga kecemasan
dan nyeri yang dialami pasien dapat dicegah atau dihindari. Disamping itu, pasien juga
memegang peranan penting dalam mengantisipasi terhadap masalahnya. Pasien juga harus juga
mengetahui segala aspek dari penyakit (terutama penatalaksanaan) dirumah pasca operasi.
Penyuluhan terhadap pasien dan keluarga sama pentingnya.

II. Tujuan Penelitian


Untuk mengetahui adanya hubungan tingkat nyeri dengan tingkat kecemasan pada
pasien post operasi di Rumah Sakit Umum Herna Medan.

III. Manfaat Penelitian


1. Bagi Pasien
Hasil penelitian ini dapat memberikan pengetahuan bagi pasien Post Operasi sehingga dapat
mengantisipasi adanya rasa cemas dan rasa nyeri.
2. Bagi Rumah Sakit Umum Herna
Medan
Sebagai masukan untuk meningkatkan mutu pelayanan terhadap pasien yang memperoleh
perawatan di Rumah Sakit Umum Herna Medan, khususnya dalam upaya promotif sebagai
tindak lanjut dalam rencana pemulangan pasien dan kelanjutan perawatan dirumah.
3. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi untuk memperkaya ilmu dalam
pengajaran di kampus .
IV.Kerangka Konsep

Gambar Kerangka Konsep Penelitian

V. HASIL DAN PEMBAHASAN


1) Tingkat Nyeri Pasien Post Operasi di Rumah Sakit Umum Herna Medan
Berdasarkan hasil penelitian pada pasien post operasi di Rumah Sakit Umum Herna
Mayoritas 42,2% mengalami nyeri sedang,dan minoritas4,4% nyeri tak tertahankan. Pada
individu yang mengalami tingkat nyeri sedang akan merasakan rasa sakit yang terus menerus
atau kadangkadang timbul, tetapi masih dapat diabaikan/tidak mengganggu, LGS (Luas gerak
sendi) Normal, pada penekanan kuat terasa sakit, fleksi dan ekstensi sakit. Sedangkan untuk yang
terkecil didapatkan 4,4% yaitu pada tingkat nyeri yang tak tertahankan. Nyeri pada tingkat ini
menyulitkan pasien hampir tak tertahankan dan gerakan fleksi/ekstensi hampir tidak ada/tidak
mampu. Setiap individu yang mengalami nyeri berbeda dan mempunyai tingkatan tertentu
bergantung kepada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hal ini sesuai dengan pendapat (Long,
2001) yang mengemukakan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi nyeri diantaranya adalah
umur, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan dan pengalaman masa lalu. Pengalaman
nyeri itu sendiri dipengaruhi oleh arti nyeri bagi seseorang, persepsi nyeri, toleransi nyeri, reaksi
orang terhadap nyeri. Orang berespon berbeda terhadap nyeri diantaranya ada yang disertai takut,
gelisah, cemas dan optimis.
Banyak faktor mempengaruhi reaksi nyeri. Seseorang tidak akan dapat memperkirakan
bagaimana orang memberi respon dan jangan percaya kepada interpretasi bagaimana pasien akan
memberi respon. Sangat penting bagi seseorang memberi respon melalui cara yang sesuai
dengan nilai sosiokultural. Ahmadi (2003). Apabila nyeri tersebut timbul dalam waktu yang
singkat, reaksi saraf simpatis mungkin juga terjadi dalam waktu yang singkat. Apabila nyeri
berlangsung lama, reaksi fisiologis akan beradaptasi misalnya menurunnya reaksi saraf simpatis.
Perubahan kimia tubuh terhadap nyeri mempengaruhi perilaku seseorang. Orang orang
memberi respon yang berbeda terhadap nyeri. Diantaranya ada yang disertai takut, gelisah,
cemas, sedang yang lain lagi penuh toleransi dan optimis. Sementara orang menangis,
mengerang, dan menjerit-jerit, meminta dibebaskan atau pertolongan, mengancam merusak diri
sendiri, gelisah di atas tempat tidur atau berjalan kian kemari tak tentu arah tujuan bila sangat
nyeri, yang lain tidur di tempat tidur hanya menutup mata, menggigitkan geliginya, mengerutkan
tangannya atau banyak keringat bila mengalami nyeri.
52

Dari hasil penelitian didapatkan data mengenai pengalaman masa lalu pada pasien post operasi di
Rumah Sakit Umum Herna Medan. Dari data tersebut didapatkan sebesar 77,8% tidak pernah
operasi dan 22,2% pernah operasi. Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri. Pengalaman
nyeri sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu tersebut akan menerima nyeri dengan lebih
mudah pada masa yang akan datang.
Menurut asumsi penelitian, jika responden sejak lama sering mengalami nyeri tanpa
pernah sembuh atau menderita nyeri yang berat, maka ansietas bahkan rasa takut dapat muncul.
Sebaliknya, apabila individu mengalami nyeri, dengan jenis yang sama berulang-ulang, tetapi
kemudian nyeri tersebut dengan berhasil dihilangkan, akan lebih mudah bagi individu tersebut
untuk menginterpretasikan sensasi nyeri. Long (2001) berpendapat bahwa pengalaman masa lalu
seseorang terhadap rasa akan mengubah sikap klien.
Status perkawinan pada penelitian ini terdiri dari responden yang berstatus belum kawin
28,9%, berstatus kawin 57,8%, dan berstatus janda/duda sebanyak 13,3%. Individu yang
mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk
memperoleh dukungan, bantuan, atau perlindungan. Walaupun nyeri tetap klien rasakan,
kehadiran orang yang dicintai klien akan meminimalkan kesepian dan ketakutan. Apabila tidak
ada keluarga atau teman, seringkali nyeri yang dialami akan membuat klien semakin tertekan.
Hal ini sesuai dengan pendapat (Long, 2001) yang mengemukakan bahwa dukungan orang lain
dan kehadiran orang-orang tertentu sering meningkatkan kemampuan klien untuk meningkatkan
pola koping terhadap tingkat nyeri, kehadiran istri dan anak atau keluarga akan mengurangi rasa
nyeri, karena kehadiran keluarga secara tidak langsung mengalihkan rasa nyeri.
Reaksi fisiologis terhadap nyeri berbeda-beda sesuai dengan tingkat kecemasan yang
menyertai rasa nyeri.Reaksi terhadap nyeri yang timbul secara tiba-tiba mengaktifkan system
saraf simpatis dan manifestasi fisiologis yang muncul adalah peningkatan denyut nadi dan
pernafasan, muka pucat dan dilatasi pupil.Apabila nyeri tersebut timbul dalam waktu yang
singkat, reaksi saraf simpatis mungkin juga terjadi dalam waktu yang singkat. Apabila nyeri
berlangsung lama, reaksi fisiologis akan beradaptasi misalnya menurunnya reaksi saraf simpatis.
Perubahan kimia tubuh terhadap nyeri mempengaruhi perilaku seseorang. Orang orang
memberi respon yang berbeda terhadap nyeri. Diantaranya ada yang disertai takut, gelisah,
cemas, sedang yang lain lagi penuh toleransi dan optimis. Sementara orang menangis,
mengerang, dan menjerit-jerit, meminta dibebaskan atau pertolongan, mengancam merusak diri
sendiri, gelisah di atas tempat tidur atau berjalan kian kemari tak tentu arah tujuan bila sangat
nyeri, yang lain tidur di tempat tidur hanya menutup mata, menggigitkan geliginya, mengerutkan
tangannya atau banyak keringat bila mengalami nyeri.
Sebagian orang dengan latihan dan contoh dapat dipelajari bagaimana menahan nyeri
yang parah tanpa ada reaksi luar.Orang dari lingkungan budaya dimana penyuluhan kesehatan
dan pencegahan penyakit diutamakan cenderung dapat menerima nyeri sebagai peringatan untuk
minta pertolongan dan mengharapkan penyebab nyeri dapat ditemukan serta disembuhkan

2) Tingkat Kecemasan Pasien Post Operasi di Rumah Sakit Umum Herna Medan
Berdasarkan hasil penelitian pada pasien post operasi di Rumah Sakit Umum Herna
didapatkan mayoritas (57,8%) mengalami kecemasan sedang yaitu sebanyak 26 responden, dan
minoritas (8,9%) atau 4 responden mengalami kecemasan ringan.
Menurut Stuart & Sundeen (1995) Kecemasan merupakan respon emosional terhadap
penilaian keadaan emosional yang tidak memiliki objek yang spesifik termasuk cemas. Dimana
kecemasan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah pendidikan, umur, jenis
kelamin, dan pekerjaan. Sehingga pada pasien post operasi akan mengalami tingkat kecemasan
yang berbeda.
Kecemasan adalah suatu gejala yang tidak menyenangkan, sensasi cemas, takut dan
terkadang panic (Hinchliff, sue, 2002).
Menurut Hawari, (2011), penyebab rasa cemas dapat dikelompokan pula menjadi 3
faktor, yaitu :
1) Faktor biologis atau fisiologis, berupa ancaman akan kekurangan makanan, minuman,
perlindungan dan keamanan.
2) Faktor psikososial, yaitu ancaman terhadap konsep diri, kehilangan orang atau benda yang
dicintai, perubahan status sosial atau ekonomi.
3) Faktor perkembangan, yaitu ancaman pada masa bayi, anak, remaja.
Umur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kecemasan pada seseorang. Pada
penelitian ini, umur dikelompokkan menjadi 4 kelompok yaitu 15-25 tahun sebesar 17,8%, usia
26-35 tahun sebesar 31,1%, pada usia 36-45 tahun didapatkan 35,6 tahun dan pada usia 46 - 55
tahun sebesar 15,6%. Hubungan usia dengan kecemasan yaitu pada orang yang lebih tua
kemampuan untuk mengerti dan mengontrol kecemasan berkembang sesuai dengan
perkembangan usianya. Rentang umur tersebut merupakan umur yang cukup matang baik secara
fisik maupun segi psikologi didalam tanggung jawab merawat diri. Seperti pendapat (Long,
2001) mengemukakan bahwa semakin tua seseorang maka semakin konstruktif dalam
menggunakan koping terhadap masalah yang dihadapi. Hal ini secara tidak langsung akan
mempengaruhi terhadap tingkat kecemasan seseorang. Dalam usia yang cukup matang dari segi
fisik, seorang diharapkan mempunyai status kesehatan yang optimal. Dari segi psikologi usia
yang sudah matang diharapkan mampu menerima dan menyadari kondisinya yang harus dirawat
dengan baik dan benar.
Dari segi pendidikan dibagi dalam 5 kelompok tingkat pendidikan yaitu berjumlah 22,2%
responden tidak sekolah, 17,8% masing-masing untuk tigkat pendidikan SD dan SMP, 31,1%
responden berpendidikan SMA, dan sebesar 11,1% berpendidikan Diploma/Sarjana. Kaitan
pendidikan dengan tingkat kecemasan yaitu pendidikan yang tinggi akan lebih mampu mengatasi
dan menggunakan koping yang konstruktif dan efektif dari pada yang berpendidikan
rendah.Kuncoroningrat dalam Nursalam (2001) mengemukakan bahwa tingkat pendidikan
seseorang akan mempengaruhi dalam hal menerima informasi sehingga pengetahuan yang
didapat akan semakin luas. Hal ini akan mempengaruhi tingkat kecemasan pasien. Oleh karena
responden pada penelitian ini berlatarbelakang pendidikan yang tidak sama maka pola koping
dan respon cemas yang dirasakan dalam menghadapi stressor juga tidak sama.
Jenis kelamin responden pada penelitian ini terdiri dari 2 kelompok yaitu 62,2%
responden berjenis kelamin laki-laki dan 37,8% responden berjenis kelamin perempuan. Foster
(1986) jenis kelamin mempengaruhi toleransi terhadap kecemasan. Perempuan mempunyai
kecemasan lebih tinggi dari pada laki-laki, dengan perbandingan 2 : 1.
Faktor jenis kelamin ini dalam hubungannya dengan faktor yang mempengaruhi nyeri
adalah bahwasannya laki-laki dan wanita tidak mempunyai perbedaan secara signifikan
mengenai respon mereka terhadap nyeri.Masih diragukan bahwa jenis kelamin merupakan faktor
yang berdiri sendiri dalam ekspresi nyeri. Misalnya anak laki-laki harus berani dan tidak boleh
menangis dimana seorang wanita dapat menangis dalam waktu yang sama. Penelitian yang
dilakukan Burn, dkk.(1989) dikutip dari Potter &Perry, 2005 mempelajari kebutuhan narkotik
post operative pada wanita lebih banyak dibandingkan dengan pria.

a. Pengalaman Masa Lalu

Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang
sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang
mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.Seringkali individu
yang lebih berpengalaman dengan nyeri yang dialaminya, makin takut individu tersebut terhadap
peristiwa menyakitkan yang akan diakibatkan. Individu ini mungkin akan lebih sedikit
mentoleransi nyeri, akibatnya ia ingin nyerinya segera reda sebelum nyeri tersebut menjadi lebih
parah. Reaksi ini hampir pasti terjadi jika individu tersebut mengetahui ketakutan dapat
meningkatkan nyeri dan pengobatan yang tidak adekuat.Cara seseorang berespon terhadap nyeri
adalah akibat dari banyak kejadian nyeri selama rentang kehidupannya.Bagi beberapa orang,
nyeri masa lalu dapat saja menetap dan tidak terselesaikan, seperti padda nyeri berkepanjangan
atau kronis dan persisten. Efek yang tidak diinginkan yang diakibatkan dari pengalaman
sebelumnya menunjukkan pentingnya perawat untuk waspada terhadap pengalaman masa lalu
pasien dengan nyeri.Jika nyerinya teratasi dengan tepat dan adekuat, individu mungkin lebih
sedikit ketakutan terhadap nyeri dimasa mendatang dan mampu mentoleransi nyeri dengan baik
(Smeltzer & Bare, 2002).
b. Kelelahan
Kelelahan dapat meningkatkan nyeri karena banyak orang merasa lebih nyaman waktu
istirahat.
3) Hubungan Tingkat Nyeri dengan Tingkat Kecemasan Pasien Post Operasi di Rumah Sakit
Umum Herna Medan
Berdasarkan hasil uji analisis diketahui bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
tingkat nyeri dengan kecemasandengan nilai = 0,000< 0,05, hal ini memberi arti bahwa ada
faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan pasien. Misalnya :usia, lingkungan, ekonomi,
pengalaman masa lalu.
Hasil uji statistik menggunakan uji korelasi spearman rank didapatkan korelasi
Spearman rank, = 0,000, sehingga 0,05 dengan r = 0,722 dengan demikian terdapat
korelasi positif. Berarti Ho ditolak dan H1 diterima, yang berarti ada hubungan tingkat nyeri
dengan tingkat kecemasan pada pasien post operasi di Rumah Sakit Umum Herna Medan.
Kecemasan timbul dari perasaan takut terhadap penolakan saat berhubungan dengan
orang lain. Kecemasan ini juga dihubungkan dengan trauma pada masa pertumbuhan, seperti
kehilangan dan perpisahan dengan orang yang dicintai. Penolakan terhadap eksistensi diri oleh
orang lain atau masyarakat akan menyebabkan individu yang bersangkutan menjadi cemas.
Namun, bila keberadaannya diterima oleh orang lain, maka ia akan merasa tenang dan tidak
cemas. Kecemasan berkaitan dengan hubungan antara manusia.
Pada klien yang mengalami pembedahan akan menimbulkan respon nyeri. Nyeri
merupakan alasan yang paling umum orang mencari perawatan kesehatan. Individu yang
merasakan nyeri merasa tertekan atau menderita dan mencari upaya untuk menghilangkan nyeri,
Antisipasi terhadap nyeri memungkinkan individu untuk belajar tentang nyeri dan upaya untuk
menghilangkannya. Dengan instruksi dan dukungan yang adekuat, klien belajar untuk
memahami nyeri dan mengontrol ansietas sebelum nyeri terjadi. Carpenito (2001)
mengemukakan bahwa nyeri yang dirasakan oleh pasien yang mengalami pembedahan, bisa dari
skala yang paling ringan hingga terberat. Kondisi ini dipengaruhi oleh bagaimana individu
tersebut berespon terhadap nyeri, yang secara langsung berkaitan dengan kecemasan individu
tentang nyeri yang dialaminya.Oleh karena itu,nyeri pasien harus diperhatikan karena akan
mempengaruhi kecemasan pasien yang dialami. Hubungan antara nyeri dan kecemasan itu
sendiri bersifat kompleks. Kecemasan sering kali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga
dapat menimbulkan suatu perasaan cemas. Pola bangkitan otonom adalah sama dalam nyeri dan
cemas (Gil, 1990). Sulit untuk memisahkan dua sensasi nyeri dan cemas. (Paice, 1991)
melaporkan suatu bukti bahwa stimulus nyeri mengaktifkan sistem limbik yang diyakini
mengendalikan sistem emosi seseorang, khususnya cemas. Sistem limbik dapat memproses
reaksi emosi terhadap nyeri, yakni memperburuk atau menghilangkan nyeri.Nyeri yang tak
kunjung hilang seringkali menyebabkan psikosis dan gangguan kepribadian.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wahyu (2011) di Rumah Sakit Umum
Daerah Sragen Wijaya diperoleh tingkat nyeri dengan tingkat kecemasan pada pasien post
operasi yaitu 26 responden, 15 orang responden(57,7) yang mengalami kecemasan. Berdasarkan
hasil pengambilan data awal yang dilakukan dari 10 responden post operasi 50% mengalami
cemas berat, 20% sedang dan 30% ringan.Dari 10 responden tersebut yang mengalami nyeri
berat sebanyak 60%, nyeri sedang dan ringan masing-masing 20%.
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola
koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri. Pola koping.Ketika
seseorang mengalami nyeri dan menjalani perawatan di rumah sakit adalah hal yang sangat tak
tertahankan.Secara terus-menerus klien kehilangan kontrol dan tidak mampu untuk mengontrol
lingkungan termasuk nyeri.Klien sering menemukan jalan untuk mengatasi efek nyeri baik fisik
maupun psikologis.Penting untuk mengerti sumber koping individu selama nyeri.Sumber-sumber
koping ini seperti berkomunikasi dengan keluarga, latihan dan bernyanyi dapat digunakan
sebagai rencana untuk mensupport klien dan menurunkan nyeri klien.
a. Support Keluarga dan Sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau
teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan.Faktor lain yang juga
mempengaruhi respon terhadap nyeri adalah kehadiran dari orang terdekat. Orang-orang yang
sedang dalam keadaan nyeri sering bergantung pada keluarga untuk mensupport, membantu atau
melindungi. Ketidakhadiran keluarga atau teman terdekat mungkin akan membuat nyeri semakin
bertambah. Kehadiran orangtua merupakan hal khusus yang penting untuk anak-anak dalam
menghadapi nyeri (Potter & Perry, 1993).
b. Kultur atau Kebudayaan
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri
misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus
diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada
nyeri.Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu
mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini
meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri (Wolf, 1999) .Mengenali nilai-nilai budaya yang
memiliki seseorang dan memahami mengapa nilai-nilai ini berbeda dari nilai-nilai kebudayaan
lainnya membantu untuk menghindari mengevaluasi perilaku pasien berdasarkan harapan dan
nilai budaya seseorang. Perawat yang mengetahui perbedaan budaya akan mempunyai
pemahaman yang lebih besar tentang nyeri pasien dan akan lebih akurat dalam mengkaji nyeri
dan respon-respon perilaku terhadap nyeri juga efektif dalam menghilangkan nyeri pasien
(Koentjaraningrat, Loiden, 1995)
c. Lingkungan
Nyeri dapat diperberat dengan adanya rangsanggan dari lingkungan seperti kebisingan,
cahaya yang sangat terang.
d. Pengobatan
Pengobatan analgesik yang diberikan sesuai dosis yang mermakai akan mempercepat
penurunan nyeri.
e. Efek Plasebo
Efek plasebo terjadi ketika seseorang berespon terhadap pengobatan atau tindakan lain
karena sesuatu harapan bahwa pengobatan tersebut benar benar bekerja. Menerima pengobatan
atau tindakan saja sudah merupakan efek positif.Harapan positif pasien tentang pengobatan dapat
meningkatkan keefektifan medikasi atau intervensi lainnya.Seringkali makin banyak
petunjukyang diterima pasien tentang keefektifan intervensi, makin efektif intervensi tersebut
nantinya. Individu yang diberitahu bahwa suatu medikasi diperkirakan dapat meredakan nyeri
hampir pasti akan mengalami peredaan nyeri dibanding dengan pasien yang diberitahu bahwa
medikasi yang didapatnya tidak mempunyai efek apapun. Hubungan pasien perawat yang
positif dapat juga menjadi peran yang amat penting dalam meningkatkan efek plasebo (Barbara,
1997)
Menurut asumsi peneliti, Individu yang sehat secara emosional, biasanya lebih mampu
mentoleransi nyeri yang sedang hingga berat dari pada individu yang memiliki status emosional
yang kurang stabil. Klien yang mengalami pembedahan, seringkali mengalami kesulitan
mengotrol lingkungan dan perawatan diri yang dapat menimbulkan kecemasan yang tinggi.
Kecemasan dapat terjadi bila seseorang merasa terancam baik secara fisik maupun psikologi
(seperti harga diri, gambaran diri, atau identitas diri). Manifestasi kecemasan yang terjadi
tergantung pada kematangan pribadi, pemahaman dalam menghadapi ketegangan, harga diri,
perasaan sakit/nyeri dan mekanisme koping (Long, 2000).
Dengan adanya berbagai macam ancaman (stressor) yang datang kepada individu
terhadap respon cemas, respon kecemasan dapat dikaji oleh perawat dengan cara menanyakan
kepada klien bagaimana dia mendifinisikan kecemasannya dan beraksi terhadap kecemasan itu
(secara subyektif).
Sebagai kompensasi terhadap kecemasan dapat dibagi dalam 4 katagori sesuai dengan
tingkat keefektifannya dalam menurunkan kecemasan atau menghilangkan sumber kecemasan.
1) Koping Adaptif
Menyelesaikan masalah penyebab kecemasan, sehingga kecemasan menurun, contoh :
kecemasan dalam menghadapi keadaan operasi yang bermasalah bisa dikurangi dengan
pemberian penjelasan atau konseling dari petugas yang adikuat sehingga klien mengerti terhadap
keadaannya, mau memeriksakan penyakitnya dan berupaya memperoleh fasilitas rujukan yang
terbaik untuk keselamatan dirinya.
2) Koping Paliatif
Kecemasan turun sementara tetapi tidak menyelesaikan masalah, oleh karena itu
kecemasan cenderung akan kembali seperti semula. Kepuasan sementara akan mengikuti
seseorang untuk kembali pada masalahnya dengan lebih obyektif, rasional dan berenergi
membuat penyelesaian masalah dan proses lebih mudah. Contoh: kecemasan dalam menghadapi
operasi yang bermasalah dapat dihilangkan sementara dengan pemberian pengeritan atau
konseling. Perujukan merupakan suatu upaya dari klien yang sehat.
3) Koping Maladaptif
Usaha yang tidak berhasil akan menurunkan kecemasan tanpa berusaha menyelesaikan
masalah. Tingkat kecemasan biasanya dikurangi hanya cukup dengan memenuhi fungsi minimal
produktifitas buruk, contoh : kecemasan dalam menghadapi permasalahan pada orang yang
berindikasi terhadap operasi, dengan membiarkan klien tanpa diperiksa atau dirujuk ke fasilitas
yang dapat menangani penyakit yang sedang dihadapi dan hanya periksa pada tempat pelayanan
yang tidak sesuai dengan bidangnya sehingga keselamatan klien sangat disangsikan.
4) Koping Disfungsional
Adalah ketidakberhasilan dalam mereduksi kecemasan atau menyelesaikan masalah,
fungsi minimal menjadi sulit dan masalah-masalah baru mulai berkembang, contoh : kecemasan
dalam mengahadapi permasalahan operasi, dengan cara pergi ke dukun dan tidak perduli dengan
keadaan penyakitnya, hal ini berakibat buruk bagi keselamatan klien.
Meskipun keefektifan adalah kriteria primer untuk mengevaluasi semua metode koping,
penampilan juga perlu dipertimbangkan, kadang-kadang koping mengurangi kecemasan dan
menyelesaikan masalah tetapi pada waktu yang sama menciptakan masalah-masalah lain yang
berarti (Zimbardo phillip, 1991) dalam Struart and Sundeen, 1995, menurut Long dalam
Nursalam dan Pariani (2001) menyatakan bahwa informasi merupakan fungsi untuk membantu
mengurangi rasa cemas.
Periode post operasi merupakan suatu periode terjadinya peningkatan cemas bagi klien
dan keluarganya, hal ini disebabkan karena klien umumnya tidak mengerti mengapa harus
dilakukan tindakan operasi dan memerlukan penjelasan lebih lanjut yang dapat juga
dilaksanakan oleh perawat (Scaffier, 2000). Dengan informasi yang jelas, benar dan dimengerti
maka pada akhirnya akan menurunkan kecemasan klien yang menjalani pembedahan. Klien yang
menerima informasi dengan benar selama tindakan pembedahan dan efek sampingnya lebih
dapat melakukan perawatan mandiri (Keliat,1998).
Pengkajian pola koping dan system pendukung (sport system) yang meliputi keadaan
psikologis, sosiokultural dan keagamaan (kultural) hal ini semua perlu dikaji, karena sudah jelas
bahwa pembedahan akan mendatangkan stressor psikologis yang besar dan tentu akan
mempengaruhi pola koping system sport dan sosio-kultural, baik operasi besar maupun operasi
kecil, semua akan menyebabkan klien takut dan cemas, sehingga seorang perawat harus mampu
dan berusaha mengeksplorasi ketakutan, kecemasan klien dan keluarga sehingga seorang perawat
dapat menerapkan prosedur keparawatan dengan tepat sehingga dapat menurunkan ketakutan dan
kecemasannya. Reaksi klien pada keadaan takut dan cemas setelah dilakukan operasi dapat
berupa marah, apatis, berontak ataupun sering dengan mengajukan pertanyaan, dalam hal ini
sangat diperlukan keterampilan komunikasi dan keterampilan hubungan antara perawat dengan
klien dan keluarga.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Secara statistik terdapat hubungan antara tingkat nyeri dengan tingkat kecemasan pada pasien
post operasi.Analisis tersebut menggunakan uji korelasi Spearman Rank dengan nilai = 0,000,
0,05 dengan r = 0,722 dengan demikian terdapat korelasi positif di Rumah Sakit Umum
HERNA Medan
2. Dalam penelitian ini tingkat kecemasan perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki di Rumah
Sakit Umum Herna Medan

VII. SARAN
Berdasarkan hasil penelitian disarankan:
1. Rumah Sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan yang berhadapan langsung dengan pasien dan
keluarga agar dapat menjalin komuniakasi yang baik sebelum pelaksanaan tindakan operasi
dalam upaya menumbuhkan saling percaya antara tenaga kesehatan dan keluarga terutama pasien
dalam mempersiapkan diri dan tenang menghadapi operasi
2. Kepada petugas kesehatan di Rumah sakit untuk memberikan informasi yang jelas kepada
keluarga pasien dan pasien terkait tindakan operasi sehingga meminimalkan rasa cemas pasien
dan keluarga menjalani operasi
3. Diharapkan pasien mampu memanajemen tingkat nyeri dengan tingkat keefektifannya dalam
menurunkan kecemasan atau menghilangkan sumber kecemasan. Jika nyeri meningkat maka
dapat menimbulkan meningkatnya kecemasan.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. 2001. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta: Jakarta.

Ali Zaidin, 2002. Dasar-Dasar Keperawatan Profesional Edisi I, Widya Medika: Jakarta.

Ahmadi, Abu, 2003, Ilmu Sosial Dasar, Jakarta: Rhineka Cipta.


Arikunto, Suharsimi, 2006, Prosedur Penelitian suatu pendekatan Praktek, Jakarta, Rhineka Cipta.
Alimul, A, 2007, Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah, Salemba Medika, Jakarta.

Brunner & Sudarth ,2002. Manajemen nyeri. Edisi 1. EGC: Jakarta.


Brunner dan Suddart,2002,Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta, EGC.
Carpenito Lynda Juall, 2000, Diagnosa Keperawatan, EGC, Jakarta
Carnegie, D, 2007. Mengatasi Rasa Cemas dan Depresi Guna Meraih Motivasi Kuat Dalam Memulai
Hidup. Yogyakarta, Think.
Foster, George, 1986, Antropologi Kesehatan,UI Press, Jakarta
Kozier, Barbara, 1997, Fundamental of Nursing, EGC, Jakarta
Hawari, D.2011. Manajemen Stress, Cemas dan Depresi. Jakarta, FKUI
Junaidi, 1995, Pengantar Analisis Data, Jakarta, Rhineka Cipta
Keliat, Budi, Anna, 1998. Hubungan Terapeutik Perawat Klien. Jakarta. EGC
Koentjaraningrat san A.A.Loedin,1985, Ilmu-ilmu Sosial dalam Kesehatan, Gramedia, Jakarta
Lemeshow, S., Hosmer. Jr. and D.W. Lwanga. S.K.1997, Besar Sampel dalam Penelitian
Kesehatan.Yogyakarta. UGM Press
Long, 2001 Fisiologis nyeri :Cipta, Jakarta
Maramis, Willy, 2002, Perilaku dalam Pelayanan Kesehatan, Jakarta, Rineka Cipta

Nursalam & Siti Pariani, 2001. Pendekatan Praktis Metodelogi, CV. Sagung Seto, Jakarta.
___________, 2002. Metodelogi Riset Keperawatan. CV. Sagung Seto, Jakarta.
Notoatmodjo, S. (1997). Ilmu Kesehatan Masyarakat. Rineka Cipta, Jakarta.
___________, (2003). Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Rineka Cipta.
___________, (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineke Cipta : Jakarta
Perry, Potter .2005, Buku Ajar Fundamental Keperawatan, EGC, Jakarta
Scaffier, 2000. Pencegahan Infeksi Dan Praktek Yang Aman. Jakarta: EGC.

Stuart, G.W & Sudeen S.J.1995. Pocket Guide to Psychiatric Nursing. Third Edition. St.louls: Mosby
Year Book.

Sarwono, Solita, 2004, Sosiologi Kesehatan, Yogyakarta, Gajah Mada Universitas Press:

Santosa, Budi, Purbayu dan Ashari, 2005, Analisis Statistik dengan Microsoft Excel dan SPSS,
Yogyakarta: Andi
Sastroasmoro, Sudigdo, 2008, Dasar Dasar Metodologi Penelitian Klinis, Jakarta, Sagung Seto.
Sudarma, Momon, 2008, Sosiologi Kesehatan, Jakarta, Salemba Medika.

Setiadi, 2007. Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan, Graha Ilmu, Yogyakarta
Stevens, P. J. M. (1999). Ilmu Keperawatan Jilid I. Jakarta : EGC.
___________, (2000). Ilmu Keperawatan Jilid II. Jakarta : EGC.
Warter. R Wilson, 2001. Diagnosa and Treatment in Infeksius Disease. EGC: Jakarta
Wolf, Lu Verne et al. (1999). Dasar-dasar Ilmu Keperawatan. Jakarta : Gunung Agung.
Wong and Baker (1988). Skala wajah: Jakarta : EGC

You might also like