‘Seminar Nasional Rekayasa Material dan Konstruksi Beton 2005
ISBN 979-98539-3-2 ‘Bandung, 4 Juni 2005
Sistem Jembatan Girder Menerus
Studi Kasus Pada Perencanaan Jembatan Cisomang
Iswandi Imran Bambang Budiono
Staf Pengajar dan Peneliti Staf Pengajar dan Peneliti
Departemen Teknik Sipil FTSP Departemen Teknik Sipil FTSP
Institut Teknologi Bandung Institut Teknologi Bandung
7; 022-2504556, ext. 104, 2510715, T:022-2504556, 2510715,
F: 022-2512403 F: 022-2512403
Email: iswandi@si.tb.ac.id, Email:banghud@bdg.centrin.net.id
iswan@bdg.centrin.net.id
Kristiyanto Adhi Rusdiman
PT Jasa Marga (Persero) PTL & M Systems Indonesia
Plaza Tol Taman Mini Indonesia Indah Plaza Pasifik Blok B-4 No. 87
Jakarta 13550, Kotak Pos 4354, Jin, Raya Boulevard Barat
Jakarta 12043 (samping Makro)
T: 021-8413526, F: 021-8401533—_Kelapa Gading Barat Jakarta 14240
Aris Aryanto
‘Staf Engineer pada Lab Struktur dan Bahan
Departemen Teknik Sipil FTSP
Institut Teknologi Bandung
T: 022- 2510715, F: 022-2512403
ABSTRAK
Paper ini menyajikan overview mengenai sistem jembatan gitder menerus dan integral. Kelebihan dan
kelemahan sistem Jembatan ini dibandingkan dengan sistem jembatan bentang sederhana akan dikaji. Aspek-
aspek desain penting yang terkait dalam perencanaan sistem jembatan menerus dan integral juga akan dibahas.
Pembahasan akan disampaikan melalui pemaparan contoh aplikasi sistem jembatan menerus dan integral pada
perencanaan Jembatan Cisomang.
1 PENDAHULUAN
Jembatan Cisomang merupakan bagian daripada pengembangan rangkaian jalan Tol
Cikampek-Padalarang phase II Section Ill-3. Jembatan ini membentangi lembah sungai
Cisomang yang mempunyai panjang bentang total tepi ke tepi sejauh 250 m dan kedalaman.
lembah bervariasi antara 30 hingga 50 m. Pekerjaan desain pada proyek ini dilaksanakan
bersamaan dengan pekerjaan konstruksi. Waktu pelaksanaan proyek ini dibatasi maksimum 1
tahun.
Pihak PT Jasa Marga sebagai owner, berdasarkan pertimbangan biaya dan waktu
pelaksanaan, menetapkan untuk menggunakan jenis Konstruksi jembatan girder prategang
sebagai konstruksi dasar pada jembatan Cisomang. Kondisi lapangan yang ada serta kriteria
desain yang sudah ditetapkan tersebut pada dasarnya menjadi faktor yang membatasi des
Berdasarkan Burker dan Puckett, 1997, konstruksi jembatan girder prategang umumnya
digunakan untuk bentangan yang pendek, yaitu maksimum 40 hingga 45 meter. Dengan
batasan panjang bentang tersebut, dibutuhkan banyak pier-pier tinggi untuk menumpu struktur
girder yang ada bilamana sistem tersebut digunakan untuk menjembatani lembah sungai
cisomang. Khusus untuk jembatan Cisomang ini, pier_yang dibutuhkan dapat_mencapai
P05: 7‘Seminar Nasional Rekayasa Material dan Konstruksi Beton 2005, ISBN _979-98539-3-1
ketinggian 50 meter. Dengan pier setinggi ini, deformasi lateral yang dapat terjadi pada
kondisi gempa akan sangat besar sehingga pilihan penggunaan sistem simple beam (balok
sederhana) menjadi kurang layak secara teknis, Khususnya terkait dengan kebutuhan sistem
bearing yang harus mampu mengakomodasi gaya dan deformasi yang terjadi pada tumpuan
serta kebutuhan kekakuan yang tinggi untuk mencapai stabilitas yang memadai pada pier
tinggi. Berdasarkan (NCHRP, 2004a), konstruksi girder untuk jembatan dengan pier tinggi
(yaitu pier dengan Ketinggian melebihi 40 meter) umumnya dibuat menerus atau integral
dengan struktur piernya,
Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, Jembatan Cisomang pada akhimya
direncanakan dengan menggunakan konsep konstruksi jembatan menerus dan integral dengan
pier, namun dengan tetap mempertahankan penggunaan sistem girder prategang. Sistem
menerus dan integral tersebut diperoleh dengan menyatukan ujung-ujung balok dan kepala
pier yang bertemu menjadi satu kesatuan, Penyatuan ujung-ujung girder dicapai melalui
penyambungan lewatan stek tulangan-tulangan konvensional (non-prategang) menerus yang
direncanakan baik untuk menahan momen negatif akibat beban gravitasi maupun momen
positif akibat beban gempa atau beban-beban time dependent seperti susut, rangkak, dan
perbedaan penurunan,
Banyak keuntungan yang dapat diperoleh dengan menerapkan sistem girder menerus dan
integral pada Jembatan Cisomang, diantaranya;
- Mengurangi/menghilangkan join pada pelat lantai yang pada umumnya memerlukan
biaya maintenance yang besar.
- Mengurangi/menghilangkan bearing pada girder, khususnya pada tumpuan girder
yang dibuat integral (menyatu) dengan piernya.
- Memperkaku pier tinggi sehingga dimensinya dapat dibuat optimal.
- Memperbaiki performance struktur pada saat gempa (NCHRP, 2004a).
Paper ini menyajikan contoh aplikasi sistem jembatan girder menerus dan integral tersebut
pada perencanaan Jembatan Cisomang.
2 KRITERIA DESAIN
Secara umum, pembebanan yang digunakan dalam perencanaan mengacu pada BMS-92
(DirjenBinamarga, 1992) kecuali untuk pembebanan gempa. Kriteria desain yang ditetapkan
Jasa Marga mensyaratkan bahwa desain jembatan harus dilakukan terhadap beban gempa 500
tahunan dan harus mengacu pada peraturan Gempa Indonesia yang baru, yaitu SNI 03-1726-
2002 (BSN, 2002). Peraturan gempa Indonesia yang baru ini mendasarkan beban gempa yang
digunakan dalam desain sebagai gempa kuat (jadi kebalikan dari peraturan yang tama, yang
mensyaratkan penggunaan gempa ringan dalam desain).
Berdasarkan konsep perencanaan gempa Indonesia yang baru tersebut, perencanaan pier
Jembatan terhadap beban gempa dapat dilakukan dengan mengaplikasikan konsep daktilitas.
Dengan konsep ini, gaya gempa clastik dapat direduksi dengan suatu faktor modifikasi
response struktur (faktor R), yang merupakan representasi tingkat daktilitas yang dimiliki
struktur. Dengan penerapan konsep ini, pada saat gempa kuat terjadi, struktur pier jembatan
diperbolehkan mengalami plastifikasi.
Namun, karena peraturan gempa Indonesia tersebut lebih difokuskan pada bangunan
gedung, nilai-nilai R yang diberikan dalam peraturan tersebut hanyalah nilai R untuk elemen-
elemen struktur bangunan gedung. Namun walaupun demikian, di dalam peraturan tersebut
diberikan suatu persamaan untuk mengestimasi nilai Rawal yang dapat digunakan untuk
perencanaan suatu bangunan umum, Persamaan yang dimaksud adalah:
TP.05: 2‘Seminar Nasional Rekayasa Material dan Konstruksi Beton 2005 SBN _979-98539-3-1
R=16xp qa)
Dimana ji merupakan nilai rasio daktilitas perpindahan yang dimiliki struktur. Nilai
daktilitas perpindahan tersebut didefinisikan sebagai nilai rasio antara perpindahan maksimum
yang dapat diberikan oleh struktur tethadap perpindahan disaat terjadi kelelehan pada
struktur. Nilai daktilitas perpindahan untuk berbagai komponen struktur jembatan dapat
diambil dari berbagai hasil studi yang pernah dilakukan. Caltrans (2001) memberikan acuan
nilai-nilai daktilitas untuk elemen pier jembatan, dimana nilai daktilitas untuk pier kolom
tunggal sebagaimana yang digunakan di jembatan Cisomang dapat diambil sebesar ip < 4.
Berdasarkan peraturan gempa dan beton Indonesia yang baru (BSN, 2002 dan BSN,
2003), struktur yang berada dilingkungan dengan kondisi gempa sedang (zone 4) seperti yang
dijumpai dilokasi pembangunan Jembatan Cisomang ini, dapat didesain dengan tingkat
daktilitas terbatas. Dengan tingkat daktilitas terbatas ini, persyaratan detailing yang harus
dipenuhi tidaklah terlalu kompleks. Oleh Karena itu untuk desain jembatan Cisomang,
ditetapkan nilai daktilitas struktur sebesar maksimum = 2,5. Dengan menggunakan persamaan
Giatas, nilai R dapat ditetapkan sebesar 4. Nilai ini juga termasuk dalam rentang nilai yang
disarankan oleh AASHTO LRED (2004), yaitu < 5.
Konsekuensi dari pengambilan nilai R sebesar 4 ini adalah pada saat terjadi proses
plastifikasi, pier harus mampu memberikan deformasi maksimum sebesar minimum 2,5 kali
lebih besar dari deformasi pada saat leleh tanpa terjadi keruntuhan, Untuk membuktikan
bahwa kondisi tersebut dapat dicapai maka harus dilakukan pengecekan melalui Push Over
Analysis. Selain itu, untuk menjamin bahwa proses plastifikasi hanya terjadi pada pier dan
bukan pada sistem pondasi dan girder maka sistem pondasi (termasuk pile cap) dan girder
harus didesain lebih kuat dari pada pier. Untuk menjamin hal tersebut, maka digunakan faktor
over strength (kuat lebih struktur) sebesar minimum 2 untuk perencanaan pile cap dan sistem
pondasi dan 1,3 untuk perencanaan girder menerus (AASHTO 2004). Nilai overstrength ini
serta hirarki Keruntuhan yang terjadi kemudian harus dibuktikan melalui suatu analisis push
over.
Selain itu, untuk menjamin agar hirarki keruntuhan yang diinginkan dapat terjadi detail
penulangan yang memadai harus diakomodasikan disckitar dan ditempat-tempat yang
berpotensi membentuk sendi plastis.
3. PERENCANAAN JEMBATAN CISOMANG
Berdasarkan kondisi lapangan yang pada desain Jembatan Cisomang ada, digunakan 7
rangkaian bentang jembatan yang terdiri atas bentang-bentang A1-P0, PO-P1, P1-P2, P2-P3,
P3-P4, P4-P5, dan P5-A2 (Gambar 1). Karena rangkaian jembatan ini terdiri atas beberapa
bentang dengan ketinggian pier yang berbeda-beda, maka untuk menghindari terjadinya
akumulasi gaya gempa di pier yang terkaku (yaitu pier yang pendek), dilakukan berbagai
simulasi dinamik untuk mendapatkan proporsi dimensi pier yang dapat menghasilkan perilaku
dinamik yang terbaik. Akhimya melalui proses trial and error, diputuskan penggunaan sistem
simple beam untuk bentang A1-P0, PO-P1, P4-PS dan PS-A2. Sedangkan untuk bentang PI
hingga P4 digunakan sistem bentang menerus yang dibuat integral dengan Pier P2, P3 dan P4.
P05: 3‘Seminar Nasional Rekayasa Material dan Konstruksi Beton 2005 ESBN_979-98539-3-1
—> Bandung
Gambar 1. Tampang Samping Jembatan Cisomang
3.1 Sistem Jembatan Girder Menerus dan Integral
Sistem girder menerus dan integral saat ini mulai populer digunakan untuk struktur
jembatan (Lounis et al. 1997 dan NCHRP 2004b). Sistem girder pracetak/prategang dibuat
menerus melalui penyambungan cor di tempat pada ujung-ujung girder diatas pier.
Dibandingkan dengan sistem bentang sederhana (simple-span), sistem bentang menerus dan
integral membutuhkan sambungan ckspansi dan bearing yang lebih sedikit, mempunyai
performance terhadap gempa yang lebih baik, dan menahan momen tengah bentang yang
lebih kecil.
Untuk kontinuitas terhadap berat sendiri pelat dek, beban mati tambahan dan beban
hidup, sambungan momen negatif pada sistem balok menerus ini diperoleh melalui (Gambar
2):
- Pengecoran diafragma diyjung-ujung girder. Stek tulangan untuk menahan momen
negatif telah ditanam terlebih dahulu diujung-ujung girder dan kemudian disambung
pada pengecoran diafragma ujung. Dengan pengecoran ini, girder sudah bersifat
menerus dalam menahan berat sendiri pelat dek.
= Pengecoran pelat dek komposit yang dicor menerus diatas sambungan antar girder.
Tulangan longitudinal pelat dipasang menerus diatas daerah sambungan girder
sehingga dapat berfungsi dalam menahan momen negative diperletakan pier akibat
beban mati tambahan dan beban hidup.
Pada saat menahan beban gempa, momen didaerah perletakan dapat berubah arah
menjadi momen positif. Oleh karena itu, pada sistem balok menerus ini juga direncanakan
sambungan momen positif pada daerah sambungan (Gambar 2). Sambungan momen positif
dicapai melalui penanaman stek tulangan bawah yang sudah disediakan diujung-ujung girder
ke dalam diafragma ujung. Untuk semakin menyatukan girder didaerah sambungan, ujung
girder sejauh + 300mm ikut ditanam pada pengecoran daerah sambungan.
Keunggulan sistem girder menerus dengan menggunakan tulangan non-prategang
(konvensional) pada daerah difaragma ujung adalah dari segi ekonomis lebih murah jika
dibandingkan dengan menggunakan sistem tulangan prategang. Selain itu, dari segi
pelaksanaan sistem dengan tulangan non-prategang akan lebih mudah dilaksanakan di
lapangan.
‘Namun beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam perencanaan sistem girder menerus
dengan menggunakan tulangan non-prategang yaitu panjang penanaman dari stck tulangan
ujung girder harus memenuhi persyaratan panjang penanaman minimum. Selain itu, jarak
antara s.ck tulangan harus diatur sedemikian rupa sehingga lekatan (bond) antara tulangan dan
beton dapat berkembang dengan baik. :
POS: 4‘Seminar Nasional Rekayasa Material dan Konstruksi Beton 2005 ISBN_979-98539-3-1
‘Tulangan pelat untuk imenahan Tulangan tambahan girder untuk
momen negatifakibat beban mati ‘menahan momen negatif akibat
tambahan dan beban hidup berat sendiri pelat dek.
1 Pierhead
‘Tulangan tambahan girder
untuk menahan Momen Positif
Gambar 2. _ Sistem sambungan girder menerus
Kelebihan lainnya dengan menggunakan sistem girder menerus adalah peningkatan
integritas struktur, durabilitas dan performance terhadap gempa serta tidak kalah pentingnya
adalah penurunan biaya konstruksi struktur jembatan dengan berkurangnya jumlah ekspansion
joint, bearing dan jumlah strand prategang yang digunakan. Selain itu, dengan sistem
‘menerus, batasan bentang maksimum jembatan sistem girder umumnya dapat diperbesar
Hal lain yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan adalah kualitas kenyamanan
perjalanan yang pada umumnya menjadi lebih baik karena berkurangnya jumlah ekspansion
Joint pada sambungan antar girder.
3.2 Tahapan Pembebanan Sistem Girder Menerus dan Integral
Hal yang perlu diperhatikan pada sistem girder menerus dan integral adalah
kemungkinan terjadinya momen yang berbalik arah akibat gempa dan Jain akan terjadi
peningkatan momen negatif yang cukup besar, terutama pada daerah sambungan antara girder
dan pier. Untuk itu, pada bagian yang kritis ini perlu diberikan perhatian yang khusus
berkenaan dengan perencanaannya.
Agar momen positif yang bekerja pada sambungan girder dan pier akibat beban gempa
tidak terlalu besar, maka momen negatif yang timbul akibat beban permanen harus diperbesar.
Hal ini dapat diperolch melalui pentahapan yang tepat dari pelaksanaan_konstruksi
dilapangan. Oleh karena itu, tahapan pelaksanaan Konstruksi dalam hal ini menjadi penting.
Berikut ini adalah ilustrasi bidang momen yang terjadi pada sistem girder menerus
sesuai dengan tahapan pembebanan yang bekerja pada saat konstruksi dan layan (Gambar 3,
4,5, dan 6).
1, Pemasangan Girder
Pada awalnya disaat girder diletakkan diatas pier, maka girder akan berperilaku
sebagai balok di atas dua tumpuan sederhana. Momen pada ujung-ujung girder adalah
sama dengan nol (Gambar 3).
Gambar 3. Diagram Momen saat Pemasangan Girder
1P05: 5a ‘Seminar Nasional Rekayasa Material dan Konstruksi Beton 2005, ISBN_979-98539-3-1
2. Konstruksi Pelat
Sebelum dilaksanakan konstruksi pelat di atas girder, sambungan girder dan pier
dikerjakan terlebih dahulu, sehingga ketika berat sendiri pelat dek bekerja, sudah
terjadi momen negatif di daerah sambungan girder dan pier (Gambar 4)
eS Vax
Gambar 4, Diagram Momen saat Konstruksi Pelat
3. Beban Mati Tambahan dan Lalu Lintas
Setelah pelat dek mengeras akan terbentuk sistem komposit antara pelat dek dan
girder. Beban mati tambahan dan beban hidup akan ditahan oleh sistem menerus yang
sudah terbentuk secara penuh. Bidang momen yang terjadi akibat beban mati
tambahan dan beban lalu lintas adalah sebagai berikut (Gambar 5).;
Gambar 5. Diagram Momen akibat Beban Mati Tambahan dan Beban Lalu lintas
4, Beban Gempa
Bidang momen yang terjadi akibat beban gempa adalah sebagai berikut;
Gambar 6. Diagram Momen akibat Beban Gempa
‘Momen yang terjadi pada tumpuan girder merupakan kombinasi dari keempat bidang momen
tersebut di atas.
3.3 Sistem Jembatan dengan Girder-T(Bulb Tee)
Girder jembatan Cisomang menggunakan penampang girder T (Bulb Tee) (Gambar
7a). Penampang dengan tipe ini memiliki beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan
girder I (Gambar 7b) dimana jarak antar girder dapat dibuat lebih besar sehingga jumlah
girder akan lebih sedikit untuk bentang yang sama, Geren et al. (1992) mendapatkan bahwa
girder T (Bulb Tee) memiliki bentuk penampang yang lebih optimal dibandingkan dengan
bentuk penampang girder I, sehingga cenderung lebih ekonomis bila digunakan untuk bentang
yang lebih besar daripada 30 m,
POS: 6a ‘Seminar Nasional Rekayasa Matorial dan Konstruksi Beton 2005 ISBN 979-98539-3-1
ae
a
ae
(a) Girder-T
2 L
2am 20,
—
(b) Girder-I
Gambar 7. —Penampang Girder Bulb Tee dan Girder I
Tabel 1 dan Tabel 2 memperlihatkan perbandingan penggunaan sistem Girder T dan
Girder I masing-masing untuk bentang sederhana dan menerus pada jembatan Cisomang dan
jembatan Cikubang pada proyek Tol Cipularang Tahap II (LAPI 2005a dan LAPI 2005b).
Tabel 1. Perbandingan Tipe girder Bentang 26m (Simple Beam) antara Jembatan
Cisomang dan Jembatan Cikubang
Jembatan Cisomang | Jembatan Cikubang
Lebar jembatan 12.6m __12.6m: |
Tipe girder T-girder Tgirder |
Tinggi girder 2,275 m 2.1m
Jumlah girder per lebar jembatan ‘4 buah 6 buah
Panjang girder 25.1 m 25.27m _—|
Luas penampang girder 0,8856m’ 0,7495 m’ |
Jumlah tendon/strand per girder 3 tendon/ 30 strand 2 tendon/ 24 strand
(Total = 120 strand) (Total = 144 strand)
‘Jarak antar girder (As-As) 325m 2m
Tarak bersih bentang pelat deck 2,05 m 12m
antar girder Hee
Tebal Pelat 100 mm (di atas girder) 220 mm
P05
7oa ‘Seminar Nasional Rekayasa Material dan Konstruksi Beton 2005 ISBN _979-98539-3-1
Tabel2. Perbandingan Tipe girder Bentang 40m (Continuous Beam) antara Jembatan
Cisomang dan Jembatan Cikubang
| Jembatan Cisomang | Jembatan Cikubang
[Lebar jembatan 12.6m 12.6m_
Tipe girder Bulb T-girder T-girder
Tinggi girder 2,275 m 2.1m
Luas penampang girder 0,8856m" 0,7495 mi
Jumlah girder per lebar jembatan 4 buah 6 buah
Panjang girder 40,1m 41, 2m
Luas penampang girder 0,8856m 0.7495 m
Jumlah tendon/strand per girder ‘endon/ 64 strand tendon’ 64 strand
(Total =256 strand) _|_(Total = 384 strand)
Tarak antar girder (AS-As) 3.25 m 2m
Jarak bersih bentang pelat deck 2,05 m 12m
antar girder
(Tebal Pelat 100 mm (Gi atas girder) 220 mm
Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa jumlah girder yang terpasang untuk bentang
dan lebar jembatan yang sama dengan menggunakan penampang girder-T (Bulb Tee)
jumlahnya lebih sedikit jika dibandingkan dengan mengunakan girder-I. Hal ini menyebabkan
volume pekerjaan girder T menjadi lebih sedikit dan waktu yang dibutuhkan untuk
pemasangan girder T pada jembatan juga akan berkurang sehingga dari segi ekonomis hal ini
sangat menguntungkan.
Selain itu volume beton total dan jumlah strand prategang total yang dibutuhkan pada
girder T juga lebih sedikit sehingga girder T tersebut dapat dikatakan memiliki nilai ekonomis
yang lebih menguntungkan daripada girder I.
Dari segi fabrikasi dan pelaksanaan konstruksi, sistem girder-T secara umum tidak jauh
berbeda dengan sistem girder-I biasa, sehingga tidak memerlukan keahlian khusus dalam
pembuatan dan pelaksanaannya.
5 KESIMPULAN
Sistem girder menerus dan integral memiliki beberapa keunggulan jika dibandingken
dengan sistem girder dengan perletakan sederhana (simple beam) yaitu antara lain lebih
baiknya tingkat integritas struktur jembatan, durabilitas, dan performance tethadap gempa
serta tidak kalah pentingnya adalah iebih rendahnya biaya konstruksi yang diperlukan.
Sistem menerus dapat dicapai dengan menggunakan tendon prategang menerus atau
tulangan non-prategang. Bila menggunakan tulangan non-prategang maka beberapa hal harus
diperhatikan dalam perencanaannya, yaitu antara lain panjang penyaluran tulangan dan
Tekatan antara tulangan dan beton harus memiliki kemampuan yang cukup untuk menyalurkan
gaya-gaya yang terjadi pada tumpuan,
Sistem girder T pada umumnya memiliki bentuk penampang yang lebih optimal jika
dibandingkan dengan sistem girder-I biasa. Hal ini terlihat pada volume pekerjaan dan volume
material total yang digunakan yang umumnya lebih kecil sehingga_mampu menekan biaya
konstruksi secara keseluruhan.
TP-05: 8oa ‘Seminar Nasional Rekayasa Material dan Konstruksi Beton 2005 ISBN 979-98539-
DAFTAR PUSTAKA
[1] AASHTO LRFD, Bridge Design Specifications, 3th Edition, American Association of
State Highway and Transportation Officials, Washington, DC, 2004,
[2] Badan Standardisasi Nasional, Standar Perencanaan Ketahanan Gempa untuk
Struktur Bangunan Gedung, (SNI 03-1726-2002), 2002.
[3] Badan Standardisasi Nasional , Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk
Bangunan Gedung, (SNI 03-2847-2003), 2003
[4] Barker, R.M., dan Puckett, J.A., Design of Highway Bridges - Based on AASHTO
LRFD Bridge Design Specifications, A Wiley-Interscience Publication, John Wiley &
Sons, Ine, 1997.
[5] Caltrans, Seismic Design Criteria, Version 1.2, California Department of
Transportation, Sacramento, 2001.
[6] Direktorat Jenderal Bina Marga, Peraturan Perencanaan Teknik Jembatan (BMS-
92), 1992.
[7] Fereig, S.M., Economic Preliminary Design of Bridges with Prestressed I-Girders,
Journal of Bridge Engineering, pp. 18-25, 1996.
[8] Geren, K-L., Karim, A.M.A, dan Tadros, M.K., Precast/Prestressed Concrete Bridge
I-Girders: The Next Generation, Concrete International, pp. 25-28, 1992.
[9] LAP GANESHATAMA, Laporan Desain Jembatan Cisomang, Proyek Tol
Cipularang Tahap II Seksi I1I-3 Ruas Darangdan — Cikalong Wetan, 200Sa.
[10]LAPI GANESHATAMA, Laporan Desain Jembatan Cikubang, Proyek Tol
Cipularang Tahap II Seksi IV-3, Jembatan Cikubang, 2005b.
[11]Lounis, Z., Mirza, M.S. Cohn, M.Z., Segmental and Conventional Precast
Prestressed Concrete I-Bridge Girders, Journal of Bridge Engineering, pp. 73-82,
1997.
[12}NCHRP, Extending Span Ranges of Precast Prestressed Concrete Girder, Report
517, Transportation Research Board, 2004a.
[I3]NCHRP, Connection of Simple-Span Precast Concrete Girders for Continuity,
Report 519, Transportation Research Board, 2004b.
TP05: 9