You are on page 1of 15

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bertambahnya penyakit yang berkaitan pada pasien lansia adalah ketidakmampuan
system kardiovaskuler mengatasi perpindahan volume cepat trombosis intraseluler serta
kejang setempat (diduga karena hiperkonsentrasi darah yang berlebihan dan kurangnya aliran
darah setempat).
Diabetes Mellitus adalah keadaan hiperglikemi kronik yang disertai berbagai kelainan
metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada
mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah, disertai lesi pada membran basalis dengan mikroskop
elektron (Mansjoer dkk,1999). Diabetes yang tidak disadari dan tidak diobati dengan tepat
atau diputus akan memicu timbulnya penyakit berbahaya dan memicu terjadinya komplikasi.
Komplikasi yang diakibatkan kadar gula yang terus menerus tinggi dan merupakan penyulit
dalam perjalanan penyakit diabetes mellitus salah satunya adalah Hiperglikemia
Hiperosmolar Non Ketotik Hiperglikemia.
Angka kematian HONK 40-50%, lebih tinggi dari pada diabetik ketoasidosis. Karena
pasien HONK kebanyakan usianya tua dan seringkali mempunyai penyakit lain. Sindrom
koma hiperglikemik hiperosmolar non ketosis penting diketahui karena kemiripannya dan
perbedaannya dari ketoasidosis diabetic berat dan merupakan diagnosa banding serta
perbedaan dalam penatalaksanaan (Hudak dan Gallo).
Pasien yang mengalami sindrom koma hipoglikemia hiperosmolar nonketosis akan
mengalami prognosis jelek. Komplikasi sangat sering terjadi dan angka kematian mencapai
25%-50%.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian Hiperosmolar Non Ketotik ?
2. Bagaimana etiologi dari Hiperosmolar Non Ketotik ?
3. Bagaimana faktor resiko dari Hiperosmolar Non Ketotik ?
4. Bagaimana manifestasi klinik dari Hiperosmolar Non Ketotik ?
5. Bagaimana komplikasi Hiperosmolar Non Ketotik ?
6. Bagaimana penatalaksaan medis Hiperosmolar Non Ketotik ?
7. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan Hiperosmolar Non Ketotik ?

1.3 Tujuan

1. Tujuan umum
Mahasiswa dapat memberikan asuhan keperawatan pada klien (HONK) hiperosmolar non
ketotik.

2. Tujuan khusus

a. Diharapkan mahasiswa mengetahui pengertian Hiperosmolar Non Ketotik.

b. Diharapkan mahasiswa mengetahui etiologi dari Hiperosmolar Non Ketotik.

c. Diharapkan mahasiswa mengetahui faktor resiko dari Hiperosmolar Non Ketotik.

d. Diharapkan mahasiswa mengetahui manifestasi klinik dari Hiperosmolar Non


Ketotik.

e. Diharapkan mahasiswa mengetahui komplikasi Hiperosmolar Non Ketotik.

f. Diharapkan mahasiswa mengetahui penatalaksaan medis Hiperosmolar Non Ketotik.

g. Diharapkan mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan


Hiperosmolar Non Ketotik.

1.4 Manfaat

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian HONK


Hiperosmolar Non Ketotik adalah suatu komplikasi akut dari diabetes melitus di mana
penderita akan mengalami dehidrasi berat, yang bisa menyebabkan kebingungan mental,
pusing, kejang dan suatu keadaan yang disebut koma. Ini terjadi pada penderita diabetes tipe
II (www.wikipedia.com).
Hiperosmolar Non-Ketotik adalah suatu keadaan dimana kadar glukosa darah sangat
tinggi sehingga darah menjadi sangat kental, kadar glukosa darah DM bisa sampai di atas
600 mg/dl. Glukosa ini akan menarik air keluar sel dan selanjutnya keluar dari tubuh melalui
kencing. Maka, timbullah kekurangan cairan tubuh atau dehidrasi.
Hiperosmolar Non Ketogenik adalah sindrom berkaitan dengan kekurangan insulin
secara relative, paling sering terjadi pada panderita NIDDM. Secara klinik diperlihatkan
dengan hiperglikemia berat yang mengakibatkan hiperosmolar dan dehidrasi, tidak ada
ketosis/ada tapi ringan dan gangguan neurologis
Hiperosmolar Non Ketosis adalah keadaan koma akibat dari komplikasi diabetes melitus
di mana terjadi gangguan metabolisme yang menyebabkan: kadar gula darah sangat tinggi,
meningkatkan dehidrasi hipertonik dan tanpa disertai ketosis serum, biasa terjadi pada DM
tipe II.
Koma Hiperosmolar Hiperglikemik NonKetotik ialah suatu sindrom yang ditandai
dengan hiperglikemia berat, hiperosmolar, dehidrasi berat tanpa ketoasidosis, disertai
penurunan kesadaran (Mansjoer, 2000).

2.2 Etiologi
1. Insufisiensi insulin
a. DM, pankreatitis, pankreatektomi
b. Agen pharmakologic (phenitoin, thiazid)
2. Increase exogenous glukose
a. Hiperalimentation (tpn)
b. High kalori enteral feeding
3. Increase endogenous glukosa
a. Acute stress (ami, infeksi)
b. Pharmakologic (glukokortikoid, steroid, thiroid)
4. Infeksi virus rubella, mumps, dan human coxsackievirus B4. Melalui mekanisme infeksi
sitolitik dalam sel beta pankreas, virus ini menyebabkan kerusakan atau destruksi sel.
Virus ini dapat juga menyerang melalui reaksi autoimunitas yang menyebabkan
hilangnya autoimun dalam sel beta pankreas.
5. Penyakit akut: perdarahan gastrointestinal, pankreatitits dan gangguan kardiovaskular.
6. Pembedahan/operasi.
7. Pemberian cairan hipertonik.
8. Luka bakar.

2.3 Faktor Resiko


Factor resiko HONK (Hiperosmolar Non Ketotik) menurut
http://endokrinologi.freeservers.com, yaitu :
1. Kelompok usia dewasa tua (>40 tahun)
2. Kegemukan (BB(kg)>120% BB idaman, atau IMT>27 (kg/m2)
3. Tekanan darah tinggi (TD > 140/90 mmHg)
4. Riwayat keluarga DM
5. Riwayat kehamilan dengan BB lahir bayi > 4000 gram
6. Riwayat DM pada kehamilan
7. Dislipidemia (HDL<35 mg/dl dan/atau trigliserida>250 mg/dl)
8. Pernah TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) atau GDPT (Glukosa Darah Puasa
Terganggu)

2.4 Manifestasi Klinis


Menurut Hudak dan Gallo (edisi VI) koma hiperosmolar adalah komplikasi dari diabetes
yang ditandai dengan :
1. Hiperosmolaritas dan kehilangan cairan yang hebat.
2. Asidosis ringan.
3. Sering terjadi koma dan kejang lokal.
4. Kejadian terutama pada lansia.
5. Angka kematian yang tinggi.
Tanda dan gejala umum pada klien dengan HONK adalah haus, kulit terasa hangat dan
kering, mual dan muntah, nafsu makan menurun, nyeri abdomen, pusing, pandangan kabur,
banyak kencing, mudah lelah. (www.tabloid-nakita.com)
Gejala-gejala meliputi :
1. Agak mengantuk, insiden stupor atau sering koma.
2. Poliuria selam 1 -3 hari sebelum gejala klinis timbul.
3. Tidak ada hiperventilasi dan tidak ada bau napas.
4. Penipisan volume sangat berlebihan (dehidrasi, hipovolemi).
5. Glukosa serum mencapai 600 mg/dl sampai 2400 mg/dl.
6. Kadang-kadang terdapat gejala-gejala gastrointestinal.
7. Hipernatremia.
8. Kegagalan mekanisme haus yang mengakibatkan pencernaan air tidak adekuat.
9. Osmolaritas serum tinggi dengan gejala SSP minimal (disorientasi, kejang setempat).
10. Kerusakan fungsi ginjal.
11. Kadar HCO3 kurang dari 10 mEq/L.
12. Kadar CO2 normal.
13. Celah anion kurang dari 7 mEq/L.
14. Kalium serum biasanya normal.
15. Tidak ada ketonemia.
16. Asidosis ringan.

2.5 Patofisiologi
Sindrome Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik mengambarkan kekurangan hormon
insulin dan kelebihan hormon glukagon. Penurunan insulin menyebabkan hambatan
pergerakan glukosa ke dalam sel, sehingga terjadi akumulasi glukosa di plasma. Sel beta
pancreas gagal atau terhambat oleh beberapa keaadan stress yang menyebabkan sekresi
insulin menjadi tidak adekuat. Pada keadaan stress tersebut terjadi peningkatan hormon
gluikagon. Peningkatan hormon glukagon menyebabkan glycogenolisis yang dapat
meningkatkan kadar glukosa plasma. Peningkatan kadar glukosa mengakibatkan
hiperosmolar. Kondisi hiperosmolar serum akan menarik cairan intraseluler ke dalam intra
vaskular, yang dapat menurunkan volume cairan intraselluler. Bila klien tidak merasakan
sensasi haus akan menyebabkan kekurangan cairan.
Tingginya kadar glukosa serum akan dikeluarkan melalui ginjal, sehingga timbul
glycosuria yang dapat mengakibatkan diuresis osmotik secara berlebihan ( poliuria ).
Dampak dari poliuria akan menyebabkan kehilangan cairan berlebihan dan diikuti hilangnya
potasium, sodium dan phospat.
Akibat kekurangan insulin maka glukosa tidak dapat diubah menjadi glikogen sehingga
kadar gula darah meningkat dan terjadi hiperglikemi. Ginjal tidak dapat menahan
hiperglikemi ini, karena ambang batas untuk gula darah adalah 180 mg% sehingga apabila
terjadi hiperglikemi maka ginjal tidak bisa menyaring dan mengabsorbsi sejumlah glukosa
dalam darah. Sehubungan dengan sifat gula yang menyerap air maka semua kelebihan
dikeluarkan bersama urine yang disebut glukosuria. Bersamaan keadaan glukosuria maka
sejumlah air hilang dalam urine yang disebut poliuria. Poliuria mengakibatkan dehidrasi intra
selluler, hal ini akan merangsang pusat haus sehingga pasien akan merasakan haus terus
menerus sehingga pasien akan minum terus yang disebut polidipsi. Perfusi ginjal menurun
mengakibatkan sekresi hormon lebih meningkat lagi dan timbul hiperosmolar hiperglikemik.
Produksi insulin yang kurang akan menyebabkan menurunnya transport glukosa ke sel-
sel sehingga sel-sel kekurangan makanan dan simpanan karbohidrat, lemak dan protein
menjadi menipis. Karena digunakan untuk melakukan pembakaran dalam tubuh, maka klien
akan merasa lapar sehingga menyebabkan banyak makan yang disebut poliphagia.
Kegagalan tubuh mengembalikan ke situasi homestasis akan mengakibatkan
hiperglikemia, hiperosmolar, diuresis osmotik berlebihan dan dehidrasi berat. Disfungsi
sistem saraf pusat karena ganguan transport oksigen ke otak dan cenderung menjadi koma.
Hemokonsentrasi akan meningkatkan viskositas darah dimana dapat mengakibatkan
pembentukan bekuan darah, tromboemboli, infark cerebral, jantung.
WOC

2.6 Komplikasi
1. Koma.
2. Gagal jantung.
3. Gagal ginjal.
4. Gangguan hati.

2.7 Penatalaksanaan Medis


1. Pengobatan utama adalah rehidrasi dengan mengunkan cairan
NACL bisa diberikan cairan isotonik atau hipotonik normal diguyur 1000 ml/jam
sampai keadaan cairan intravaskular dan perfusi jaringan mulai membaik, baru
diperhitungkan kekurangan dan diberikan dalam 12-48 jam. Pemberian cairan isotonil
harus mendapatkan pertimbangan untuk pasien dengan kegagalan jantung, penyakit ginjal
atau hipernatremia.
Gklukosa 5% diberikan pada waktu kadar glukosa dalam sekitar 200-250 mg%.
2. Insulin
Pada saat ini para ahli menganggap bahwa pasien hipersemolar hiperglikemik non ketotik
sensitif terhadap insulin dan diketahui pula bahwa pengobatan dengan insulin dosis
rendah pada ketoasidosis diabetik sangat bermanfaat. Karena itu pelaksanaan pengobatan
dapat menggunakan skema mirip proprotokol ketoasidosis diabetik
3. Kalium
Kalium darah harus dipantau dengan baik. Bila terdapat tanda fungsi ginjal membaik,
perhitungan kekurangan kalium harus segera diberikan
4. Hindari infeksi sekunder
Hati-hati dengan suntikan, permasalahan infus set, kateter
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
1. Primery Survey
a. Air way
Kemungkinan ada sumbatan jalan nafas, terjadi karena adanya penurunan
kesadaran/koma sebagai akibat dari gangguan transport oksigen ke otak.
b. Breathing
Tachypnea, sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan oksigen.
c. Circulation
Sebagai akibat diuresis osmotik, akan terjadi dehidrasi. Visikositas darah juga akan
mengalami peningkatan, yang berdampak pada resiko terbentuknya trombus.
Sehingga akan menyebabkan tidak adekuatnya perfusi organ.
2. Sekunder Survey
Bilamana managemen ABC menghasilkan kondisi yang stabil, perlu pengkajian dengan
menggunakan pendekatan head to toe. Dari pemeriksaan fisik ditemukan pasien dalam
keadaan apatis sampai koma, tanda-tanda dehidrasi seperti turgor turun disertai tanda
kelainan neurologist, hipotensi postural, bibir dan lidah kering, tidak ada bau aseton yang
tercium dari pernapasan, dan tidak ada pernapasan Kussmaul.
3. Pemeriksaan fisik
a. Neurologi : Stupor, Lemah, disorientasi, Kejang, Reflek normal,menurun atau tidak
ada.
b. Pulmonary : Tachypnae, dyspnae, Nafas tidak bau acetone, Tidak ada nafas kusmaul.
c. Cardiovaskular : Tachicardia, Hipotensi postural, Mungkin penyakit kardiovaskula
( hipertensi, CHF ), Capilary refill > 3 detik.
d. Renal : Poliuria( tahap awal ), Oliguria ( tahap lanjut ), Nocturia, inkontinensia
e. Integumentary : Membran mukosa dan kulit kering, Turgor kulit tidak elastis, Mata
lembek, Mempunyai infeksi kulit, luka sulit sembuh.
f. Gastrointestinal : Distensi abdomen dan penurunan bising usus

3. Tersier Survey
a. Riwayat Keperawatan
a) Persepsi-managemen kesehatan
Riwayat DM tipe II
Riwayat keluarga DM
Gejala timbul beberapa hari, minggu.
b) Nutrisi metabolik
Rasa haus meningkat, polidipsi atau tidak ada rasa haus.
Anorexia
Berat badan turun.
c) Eliminasi
Poliuria, nocturia.
Diare atau konstipasi.
d) Aktivitas dan latihan
Lelah
Lemah.
e) Kognitif
Kepala pusing, hipotensi orthostatik.
Penglihatan kabur.
Gangguan sensorik.
b. Pemeriksaan Diagnostik
a) Serum glukosa: 800-3000 mg/dl.
b) Gas darah arteri: biasanya normal.
c) Elektrolit biasanya rendah karena diuresis.
d) BUN dan creatinin serum meningkat karena dehidrasi atau ada gangguan renal.
e) Osmolalitas serum: biasanya lebih dari 350 mOsm/kg.
f) pH > 7,3.
g) Bikarbonat serum> 15 mEq/L.
h) Sel darah putih meningkat pada keadaan infeksi.
i) Hemoglobin dan hematokrit meningkat karena dehidrasi.
j) EKG mungkin aritmia karena penurunan potasium serum.
k) Keton urine tidak ada atau hanya sedikit.

3.2 Diagnosa Keperawatan


1. Volume cairan kurang dari kebutuhan berhubungan dengan deuresis
osmotik
2. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan adanya gangguan
transport O2
3. Jalan napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan kesadaran.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan.

3.3 Intervensi Keperawatan


1. Volume cairan kurang dari kebutuhan berhubungan dengan deuresis osmotik
Intervensi :
a. Dapatkan riwayat pasien atau orang terdekat sehubungan lamanya atau intensitas dari
gejala seperti pengeluaran urine yang berlebih.
Rasional : Membantu dalam memperkirakan kekurangan volume total. Tanda dan
gejala mungkin sudah ada pada beberapa waktu sebelumnya.
b. Pantau TTV, catat adanya perubahan TD ortostatik.
Rasional : Hipovolemia dapat dimanisfestasikan oleh hipotensi dan takikardia.
Perkiraan berat ringannya hipovolemia, dapat dibuat ketika tekanan darah sistolik
pasien turun lebih dari 10 mm Hg dari posisi berbaring ke posisi duduk atau berdiri.
c. Pantau pola nafas seperti adanya pernapasan Kussmaul atau pernapasan yang berbau
keton.
Rasional : Paru-paru mengeluarkan asam karbonat melalui pernapasan yang
menghasilkan kompensasi alkalosis respiratoris terhadap keadaan ketoasidosis.
Pernapasan yang berbau aseton berhubungan dengan pemecahan asam aseto-asetat
dan harus berkurang bila ketosis harus terkoreksi.
d. Pantau frekuensi dan kualitas pernapasan, penggunaan otot bantu napas, dan adanya
apnea dan munculnya sianosis.
Rasional : Koreksi hiperglikemia dan asidosis akan menyebabkan pola dan frekuensi
pernapasan mendekati normal. Tetapi peningkatan kerja pernapasan, pernapasan
dangkal, pernapasan cepat, dan munculnya sianosis mungkin merupakan indikasi dari
kelelahan pernapasan dan mungkin pasien itu kehilangan kemampuannya untuk
melakukan kompensasi pada asidosis.
e. Pantau suhu, warna kulit, atau kelembabannya.
Rasional : Meskipun demam, menggigil dan diaforesis merupakan hal umum terjadi
pada proses infeksi, demam dengan kulit kemerahan, kering mungkin sebagai
cerminan dari dehidrasi.
f. Pantau masukan dan pengeluaran, catat berat jenis urin.
Rasional : Memberikan perkiraan kebutuhan akan cairan pengganti, fungsi ginjal, dan
keefektifan dari terapi yang diberikan.
g. Berikan cairan sesuai dengan indikasi : normal salin atau setengah normal salin
dengan atau tanpa dektrosa.
Rasional : Tipe dan jumlah cairan tergantung pada derajat kekurangan cairan dan
respon pasien secara individual.
h. Berikan kalium atau elektrolit yang lain melalui IV dan atau melalui oral sesuai
indikasi.
Rasional : Kalium harus ditambahkan pada IV untuk mencegah hipokalemia.
i. Pantau pemeriksaan laboratorium seperti natrium.
Rasional : Mungkin menurun yang dapat mencerminkan perpindahan cairan dari
intrasel (diuresis osmotik). Kadar natrium yang tinggi mencerminkan kehilangan
cairan atau dehidrasi berat atau reabsorpsi natrium dalam berespon terhadap sekresi
aldosteron.
2. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan adanya gangguan transport O2
Intervensi :
a. Pertahankan tirah baring dengan posisi kepala datar dan pantau tanda vital sesuai
indikasi.
Rasional : Perubahan tekanan CSS mungkin merupakan potensi adanya resiko
herniasi batang otak yang memerlukan tindakan medis dengan segera.
b. Pantau frekuensi atau irama jantung.
Rasional : Perubahan pada frekuensi (tersering adalah bradikardia) dan disritmia
dapat terjadi, mencerminkan trauma atau tekanan batang otak.
c. Berikan tindakan yang menimbulkan rasa nyaman, seperti masase punggung,
lingkungan yang tenang, suara yang halus dan sentuhan yang lembut.
Rasional : Meningkatkan istirahat menurunkan stimulasi sensori yang belebihan.
d. Pantau status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standart
(misalnya skala koma Glascow).
Rasional : Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial
peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, dan perkembangan
kerusakan SSP.
e. Catat ada atau tidaknya refleks-refleks tertentu seperti refleks menelan, batuk dan
Babinski.
Rasional : Penurunan refleks menandakan adanya kerusakan pada tingkat otak tengah
atau batang otak dan sangat berpengaruh langsung terhadap keamanan pasien.
Kehilangan refleks berkedip mengisyaratkan adanya kerusakan pada daerah pons dan
medulla. Tidak adanya refleks batuk meninjukkan adanya kerusakan pada medulla.
Refleks Babinski positif mengindikasikan adanya trauma sepanjang jalur pyramidal
pada otak.
f. Tinggikan kepala tempat tidur sekitar 15-45 derajat sesuai toleransi atau indikasi.
Jaga kepala pasien tetap berada pada posis netral.
Rasional: Peningkatan aliran vena dari kepala akan menurunkan TIK.
g. Berikan cairan IV dengan alat control khusus. Batasi pemasukan cairan dan berikan
larutan hipertonik atau elektrolit sesuai indikasi.
Rasional: Meminimalkan fluktuasi dalam aliran vaskuler dan TIK. Restriksi cairan
mungkin diperlukan untuk mengurangi cairan tubuh total dan selanjutnya akan
menurnkan edema serebral terutama saat munculnya SIADH.
h. Berikan O2 tambahan sesuai indikasi.
Rasional: Menurunkan hipoksemia, yang mana dapat meningkatkan vasodilatasi dan
volume darah serebral yang meningkatkan TIK.
3. Jalan napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan kesadaran.
Intervensi:
a. Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan.
Rasional: Berguna dalam evaluasi derajat distress pernapasan dan atau kronisnya
proses penyakit.
b. Kaji atau awasi secara rutin kulit dan warna membrane mukosa.
Rasional: Sianosis mungkin perifer (terlihat pada kuku) atau sentral (terlihat sekitar
bibir atau daun telinga). Keabu-abuan dan sianosis sentral mengindikasikan beratnya
hipoksemia.
c. Auskultasi bunyi napas, catat area penurunan aliran udara dan atau bunyi tambahan.
Rasional: Bunyi napas mungkin redup karena penurunan aliran udara atau area
konsolidasi. Adanya mengi mengindikasikan spasme bronkus atau tertahannya secret.
Krekels basah menyebar menunjukkan cairan pada intestisial atau dekompensasi
jantung.
d. Palpasi fremitus.
Rasional: Penurunan getaran vibrasi diduga ada pengumpulan cairan atau udara
terjebak.
e. Awasi tingkat kesadaran atau status mental. Selidiki adanya perubahan.
Rasional: Dapat menunjukkan peningkatan hipoksia atau komplikasi.
f. Awasi tanda vital dan irama jantung.
Rasional: Takikardia, disritmia, dan perubahan TD dapat menunjukkan efek
hipoksemia sistemik pada fungsi jantung.
g. Berikan O2 tambahan melalui nasal kanul, masker parsial atau masker dengan
humidifikasi tinggi seuai indikasi.
Rasional: Memaksimalkan sediaan O2, khususnya bila ventilasi menurun depresi
anestesi atau nyeri, juga selama periode kompensasi fisiologi sirkulasi terhadap unit
fungsional alveolar.
h. Awasi atau buat gambaran GDA, nasi oksimetri. Catat kadar Hb.
Rasional: Penurunan PaO2 atau peningkatan PaCO2 dapat menunjukkan kebutuhan
untuk dukungan ventilasi. Kehilangan darah bermakna dapat mengakibatkan
penurunan kapasitas pembawa O2, menurunkan PaO2.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan.
Intervensi:
a. Kaji atau diskusikan tingkat kelelahan pasien dan identifikasi aktivitas yang dapat
dilakukan pasien.
Rasional: Pasien biasanya telah mengalami penurunan tenaga, kelelahan otot menjadi
terus memburuk setiap hari karena proses penyakit dan munculnya
ketidakseimbangan natrium dan kalium.
b. Diskusikan dengan pasien kebutuhan akan aktivitas. Buat jadwal perencanaan dengan
pasien dan identifikasi aktivitas yang menimbulkan kelelahan.
Rasional: Pendidikan dapat memberikan motivasi untuk meningkatkan tingkat
aktivitas meskipun pasien mungkin sangat lelah.
c. Berikan aktivitas alternative dengan periode istirahat yang cukup atau tanpa
diganggu.
Rasional: Mencegah kelelahan yang berlebihan.
d. Pantau nadi, frekuensi pernapasan dan tekanan darah sebelum atau sesudah
melakukan aktivitas.
Rasional: Mengindikasikan tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi secara fisiologis.
e. Diskusikan cara penghematan kalori selama mandi, berpindah tempat, dsb.
Rasional: Pasien akan dapat melakukan lebih banyak kegiatan dengan penurunan
kebutuhan akan energi pada setiap kegiatan.
f. Tingkatkan partisipasi pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari sesuai dengan
yang dapat ditoleransi.
Rasional: Meningkatkan kepercayaan diri atau harga diri yang positif sesuai tingkat
aktivitas yang dapat ditoleransi pasien.
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Hiperosmolar Non Ketogenik adalah sindrom berkaitan dengan kekurangan insulin
secara relative, paling sering terjadi pada panderita NIDDM. Angka kematian HONK 40-
50%, lebih tinggi dari pada diabetik ketoasidosis. Karena pasien HONK kebanyakan usianya
tua dan seringkali mempunyai penyakit lain.
Sindrome Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik mengambarkan kekurangan hormon
insulin dan kelebihan hormon glukagon. Penurunan insulin menyebabkan hambatan
pergerakan glukosa ke dalam sel, sehingga terjadi akumulasi glukosa di plasma.
Peningkatan hormon glukagon menyebabkan glycogenolisis yang dapat meningkatkan
kadar glukosa plasma. Peningkatan kadar glukosa mengakibatkan hiperosmolar. Kondisi
hiperosmolar serum akan menarik cairan intraseluler ke dalam intra vaskular, yang dapat
menurunkan volume cairan intraselluler.

4.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan: pedoman untuk perencanaan dan
pendokumentasian perawatan pasien. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Hudak dan Gallo. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik, edisi VI, volume II. Jakarta: EGC.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius.
Price, Sylvia Anderson. 1995. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 4..
Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku ajar keperawatan medika-bedah Brunner dan Suddarth. Edisi
8. Jakarta: EGC.
Asman. 1996. .Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ketiga. Jakarta: balai penerbit FKUI.
www.wikipedia.com : diakses tanggal 21 Mei 2012, pukul 18.00 WIB
http://endokrinologi.freeservers.com : diakses tanggal 21 Mei 2012, pukul 18.10 WIB
www.tabloid-nakita.com : diakses tanggal 21 Mei 2012, pukul 18.20 WIB

You might also like