Professional Documents
Culture Documents
Edisi ini akan memuat 10 artikel terdiri dari tujuh artikel penelitian, satu
artikel tinjauan pustaka dan dua artikel laporan kasus.
Artikel-artikel yang dimuat ini, membahas berbagai macam aspek persoalan
neurologi.
Enam artikel penelitian yang dikirimkan oleh sejawat sejawat dari Jakarta,
berjudul Gambaran Biaya Perawatan Stroke di Ruang Perawatan, Bagian Ilmu
Penyakit Saraf, RSUPN Cipto Mangunkusumo, oleh Ferdila Mariam, Lyna
Soertidewi, Freddy Sitorus, Joedo Prihartono ; Lama Hari Rawat Pasien Stroke
di RSUPN Cipto Mangunkusumo dan Faktor Faktor Yang Mempengaruhi, oleh
Ranette Roza, Lyna Soertidewi, Freddy Sitorus, Joedo Prihartono; Hubungan
Hendaya Kognitif Non Demensia dengan Kendali Glikemik pada Penyandang
Diabetes melitus Tipe 2, oleh M. Kurniawan, Adre Mayza, Salim Harris,
Budiman; Gangguan Otonom pada Pekerja Terpajan Timbal Kronik
Berdasarkan Pemeriksaan SYMPATHETIC SKIN RESPONSE dan Faktor Faktor
Yang Mempengaruhi, oleh Ekawati Dani Yulianti, Fitri Octaviana, Manfaluthy
Hakim, Joedo Prihartono; Peranan Depriviasi Tidur Terhadap Perekaman EEG
pada Pasien Tersangka
Epilepsi oleh Radya Nurhamida Thayeb, Nizar Yamanie, Fitri Octaviana, Joedo
Prihartono; Pola Gangguan Fungsi Organ dan Fungsi Kognitif pada Usia
Lanjut, oleh
Taufik Mesiano, Samino. Sedangkan satu artikel penelitian, dikirimkan oleh
sejawat dari Medan berjudul Identifikasi Nyeri Neuropatik dengan Memakai
Skala Nyeri Leeds Assesment Of Neuropathic Symptoms And Signs (LANSS)
pada Penderita Nyeri Punggung Bawah Kronik, oleh Moya Dewi Marlenny,
Yuneldi Anwar, Hasan Sjahrir.
Dua artikel laporan kasus dikirimkan oleh sejawat dari Jakarta, dengan judul :
Low Level Neurological States pada SDH dan EDH pasca kraniotomi,Tinjauan
Terminologi, Diagnosis, Terapi, Prognosis, oleh Dini Fajri Hastuti, Al Rasyid,
Mursyid Bustami, Lyna Soertidewi; dan Gelastic Seizures pada Hemiatropi
Serebri Kiri, oleh Donny H. Hamid, Ridwan, Gotot Sumantri, Melita.
Satu artikel tinjauan pustaka oleh Jan Purba, berjudul Nyeri Fibromyalgia :
Nyeri Patologi Atau Nyeri Idiopatik?
Berbagai artikel tersebut diatas, baik artikel penelitian, artikel laporan kasus
maupun artikel tinjauan pustaka sangat menarik untuk dibaca dan semoga dapat
menjadi bahan bacaan yang bermanfaat bagi sejawat semua.
Selamat membaca.
Redaksi Neurona
GAMBARAN BIAYA PERAWATAN STROKE DI RUANG PERAWATAN
BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF RSUP CIPTO MANGUNKUSUMO
ABSTRACT
Background
Stroke is one of the most health problem that causes economic burden. Healthcare services is
establishing to get a better stroke management and expectedly can reduce burden of direct stroke
costs in hospital.
Purpose
To determine description of direct costs of stroke and factors that influence it (subtype of stroke,
NIHSS, onset, type of payment, type of ward, length of stay, concomitant illness, complication)
Methods
This study is a cross sectional study using primary and secondary data of ischemic and
hemorrhagic stroke.
Results
From 97 subjects of stroke patients we found mean total direct stroke cost in male was Rp.
8,591.000 and female was Rp. 7.944.000, cortical hemorrhagic stroke with any difficulties was
Rp. 14.000.000 and patients with venous thrombosis ischemic stroke without any diffilculties was
Rp. 5,698.000, severe NIHSS score was Rp 10.449.000 and ipatients with mild NIHSS score was
Rp. 7,076.000) , onset > 24 hours was Rp. 8,487.000 and patients with onset <24 hours was Rp.
8,339.000 , patient with 4 or more concomitant illness was Rp. 13,470.000 and patients with 1
concomitant illness was Rp. 6,134.000), patient with 3 complication was Rp.18,462.000 and
patients without any complications was Rp.7,136.000), multiple technical difficulties was Rp.
8,709.000 and patients without any tecnical difficulties was Rp. 8,315.000, first class stroke unit
was Rp. 14,503.000 and patients who were hospitalized in third class of ward was Rp5,308.000),
jamkesmas payment was Rp. 10,088.000 and patients with SKTM payment was Rp.9,232.000.
Mean of length of stay in stroke patients was 14.6 7.5 days. Mean of ward cost was Rp.
2.469.000 Rp. 2.2092.000, mean of medical fee was Rp. 1.411.000 Rp. 1.721.000, mean of
imaging and laboratory cost was 2.135.000 1.097.000, mean of farmacy was Rp. 2.376.000
Rp. 2.426.000. Mean of total stroke cost was Rp.8.391.000 Rp.6.337.000.
Conclusion
Mean total direct stroke costs was higher in male, elderly, cortical hemorrhagic stroke, severe
NIHSS, patient with 4 or more concomitant illness, multiple complication, first class stroke unit,
and Jamkesmas payment. The highest mean of stroke cost was ward component and it had a
strong correlation with length of stay. The mean of imaging, laboratory cost and medical fee
relatively had no any changes.
Keyword
Stroke, costs, influencing factors
ABSTRAK
Latar belakang
Stroke sampai saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang
menimbulkan beban sosial ekonomi. Sistem kesehatan telah banyak dilakukan baik di negara
maju maupun berkembang bertujuan untuk memperoleh manajemen tata laksana yang tepat dan
efisien yang akhirnya diharapkan akan dapat mereduksi biaya langsung perawatan stroke di
rumah sakit..
Tujuan
METODE
Penelitian ini menggunakan disain potong lintang dengan menggunakan data
primer dan sekunder yang didapat dari seluruh penderita stroke baik iskemik maupun
hemoragik yang dirawat di kamar perawatan neurologi gedung RITA A lantai 5 RSUPN
Cipto Mangunkusumo Jakarta dimulai setelah memperoleh izin dari komite etik sampai
jumlah sampel terpenuhi. Pengambilan sampel penelitian dilakukan menurut metode non-
random sampling jenis konsekutif. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah uji Chi Square.
Kriteria inklusi: (1)Penderita stroke akut baik iskemik maupun hemoragik yang
dirawat di ruang rawat neurologi sampai pulang, (2)Bersedia diikutsertakan dalam
penelitian. Kriteria eksklusi: (1) Penderita yang pulang paksa, pindah rumah sakit lain,
pindah dirawat di bagian lain (IPD), RITA A lantai 1 dan 3, (2)Penderita yang
meninggal, (3) Pasien yang dalam masa perawatan terjadi stroke berulang , (4)Pasien
dengan Transient Ischemic Attack (TIA). Analisa data dengan menggunakan software
pengolahan data Statistical Package for Social Sciences 14 (SPSS 14).
HASIL
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap pasien stroke iskemik dan hemoragik,
lesi akut maupun berulang yang datang berobat ke RSUPN Cipto Mangunkusumo
didapatkan 97 sampel yang memenuhi kriteria inklusi untuk studi deskriptif. Pada
penelitian ini didapatkan sampel sebanyak 97 pasien stroke iskemik dan hemoragik
dengan persentase terbanyak pada kelompok usia dibawah 46 - 64 tahun yaitu 49 orang
(50,5%). Enam puluh tujuh (69,1%) diantaranya adalah laki laki dan sebagian besar
berpendidikan tinggi sebanyak 48 orang (49.5%). Status pembayaran pasien yang
terbanyak adalah pembayaran umum sebanyak 43. orang (44.3%) dan berdasarkan ruang
perawatan 63 orang (64.9%) dirawat di ruang perawatan kelas 3.
Skor NIHSS
Ringan (4) 23 23,7
Sedang (5-14) 60 61,9
Berat ( 15) 14 14,4
Onset stroke
< 24 jam 63 64.9
24 + ...jam 34 35.1
Concomitant illness
Tak ada 2 2.1
1 jenis 17 17.5
2 jenis 35 36.1
3 jenis 34 35.1
>3 jenis 9 9.3
Komplikasi stroke
Tak ada 45 46.4
1 jenis 32 33.0
2 jenis 16 16.5
3 jenis 4 4.1
Serangan Stroke:
Pertama 69 71,1
Berulang 28 28,9
Tipe stroke terbanyak yang dijumpai pada pasien menurut pembagian tipe sesuai dengan
stroke clinical pathway RSCM adalah stroke iskemik non emboli sebanyak 36 orang
(37.1%). Enam puluh (61,9%) pasien datang dengan nilai NIHSS awal kategori sedang
(skor NIHSS 5 14), 63 orang (64.9%) pasien datang dengan onset sebelum 24 jam, dan
69 (71,1%) datang dengan serangan pertama kali stroke. Dilihat dari concomitant illness
sebelumnya atau komorbid, terdapat 35 orang (36.1%) yang memiliki 2 concomitant
illness sebelum terjadinya stroke. Dan diantara seluruh subjek yang dirawat, 45 orang
tidak terdapat komplikasi selama perawatan. Komplikasi yang sering ditemukan adalah
komplikasi tunggal atau 1 jenis penyakit saja yaitu 45 orang (46,4%). (Tabel 1)
Penelitian ini menunjukkan rata rata umur pasien yang menderita stroke baik
iskemik maupun hemoragik di RSUPN. Cipto Mangunkusumo yaitu 60.7 13.2.
Sementara rata-rata lama hari rawat pasien stroke adalah 14.6 7.5 hari. Rata-rata biaya
Hambatan teknis
Tanpa hambatan 54 8,315 6,301 6,461
1 jenis hambatan 29 8,378 7,121 5,525
2 jenis hambatan 14 8,709 5,037 7,258
n Mean SD Median
Kelas perawatan
Kelas 3 63 5,308 3,326 4,100
Kelas 1 27 14,503 6,530 14,557
VIP 7 12,560 7,441 8,218
n Mean SD Median
Cara pembayaran
Umum 43 9,232 7,433 6,926
Askes 29 9,525 6,224 7,630
Jamkesmas 2 10,088 4,048 10,088
SKTM 17 5,120 2,593 5,228
Gakin 6 5,575 2,167 5,055
Keterangan tabel: mean, SD, median dalam satuan ribu
Pasien yang memiliki concomitant illness tunggal paling banyak adalah pasien hipertensi
sebanyak 7 orang dengan rata-rata total biaya yang paling tinggi sebesar Rp. 8.857.000.
(Tabel 4)
Pasien dengan komplikasi tunggal selama perawatan paling banyak adalah pasien dengan
stress ulcer sebanyak 11 orang dengan rata-rata biaya total Rp. 8.647.000. Rata-rata total
biaya paling tinggi ada pada 1 orang pasien dengan komplikasi tunggal trombosis vena
dalam sebesar Rp. 21.716.000. (Tabel 5)
Dari diagram tabur dapat dilihat bahwa korelasi paling kuat ditunjukkan oleh
hubungan antara lama hari rawat dengan biaya ruang rawat (gambar 1). Sedangkan
korelasi dan regresi biaya ruang dan lama rawat menurut jenis atau kelas perawatan
menunjukkan unit stroke VIP mempunyai korelasi paling kuat dengan biaya ruangan (R
= 0.996) disusul kemudian dengan unit stroke kelas I (R = 0,93) dan sudut stroke kelas III
(R= 0.86) (Tabel 6). Sedangkan pada diagram tabur hubungan antara lama hari rawat
dengan biaya total dan komponen biaya lain menunjukkan inkonsistensi.
Gambar 1 : Diagram tabur antara lama hari rawat dengan biaya ruangan rawat
10000000
8000000
6000000
4000000
RUANGAN
2000000
0
0 10 20 30 40
LHR
Tabel 6. Korelasi dan regresi biaya ruang dan lama rawat menurut kelas
Kelas perawatan R p Inter Slope
Sudut stroke kelas 3 0.86 0.000 993 66
Unit stroke kelas 1 0.93 0.000 326 290
Unit stroke VIP 0.996 0.000 39 512
PEMBAHASAN
Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan menggunakan data primer dan
sekunder. Populasi penelitian adalah semua pasien stroke yang dirawat di kamar
perawatan gedung A lantai 5 neurologi RSUPNCM Jakarta dengan rentang waktu sekitar
4 bulan sejumlah 97 orang. Dari pasien-pasien ini didapatkan pasien stroke laki-laki lebih
banyak dari perempuan. Berdasarkan studi yang dilakukan Hallstrm dkk di Sweden
pada tahun 2001-2002 didapatkan hasil dari 456 pasien stroke sebagian besar penderita
adalah laki-laki.7
Dengan rentang umur 18 93 tahun, jumlah sampel terbanyak adalah dalam
kelompok umur 46-64 tahun sejumlah 49 orang (50,5%) diikuti umur diatas 65 tahun
sebanyak 36 orang (37,1%), dan kurang dari 45 tahun (12%) Anderson dkk dalam
penelitiannya pada tahun 2001 menyebutkan semakin bertambah usia maka insiden
stroke semakin meningkat, insiden terbanyak ditemukan pada kelompok usia > 75 tahun.8
Penelitian ini membagi golongan usia menjadi 3 kelompok yaitu dibawah 45 tahun, 46-
64 tahun dan diatas 65 tahun sesuai dengan survey yang dilakukan oleh ASNA di 28 RS
di Indonesia. Hasil survey tersebut adalah 11.8% kejadian stroke terdapat pada usia
dibawah 45 tahun, 54.2% pada rentang usia 46-64 tahun dan 33% pada kelompok usia
diatas 65 tahun. Sementara hasil penelitian ini menunjukkan kejadian stroke 12.4%
terdapat pada kelompok usia dibawah 45 tahun, 50.5% pada kelompok usia 46-64 tahun
dan 37.1% kelompok usia diatas 65 tahun. 9
Beberapa komponen biaya perawatan stroke pada penelitian ini adalah biaya
ruang perawatan dengan rentang kisaran total antara Rp.340.000 sampai dengan
Rp.8.700.000, biaya jasa medik antara Rp.75.000 sampai Rp. 6.380.000, biaya penunjang
antara Rp.773.900 sampai Rp. 5.500.000, biaya farmasi antara Rp. 231.700 sampai
11.472.000.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa besar biaya perawatan stroke berbeda-
beda dilihat dari jenis strokenya. Kelompok stroke hemoragik kortikal dengan penyulit
memperlihatkan besar biaya paling mahal dengan rata-rata total biaya Rp. 14.000.000.
Kelompok stroke iskemik emboli menunjukkan rata-rata biaya total sekitar
Rp.13.000.000, disusul kemudian dengan stroke hemoragik subkortikal dengan penyulit
Rp.12.000.000, stroke iskemik trombosis vena dengan penyulit Rp. 11.000.000, stroke
non emboli dengan penyulit Rp.9.000.000, stroke iskemik non emboli tanpa penyulit
Rp.5.800.000, stroke hemoragik subkortikal tanpa penyulit Rp. 5.800.000, stroke
hemoragik kortikal tanpa penyulit Rp.5.700.000, dan stroke trombosis vena tanpa
penyulit sebesar Rp. 5.600.000. Penelitian yang dilakukan Wendra (1997)6 menunjukkan
kelompok stroke dengan keluaran hidup yang paling mahal adalah PSA, dengan biaya
Tidak ditelitinya biaya medis tidak langsung adalah salah satu keterbatasan dalam
penelitian ini. Perhitungan biaya medis tidak langsung memerlukan komponen-
komponen biaya yang lebih banyak dan lebih bervariasi setiap individunya. Adanya
standar deviasi yang tinggi pada komponen jasa medik dikarenakan rentang biaya yang
terlalu jauh yang secara statistik ditunjukkan oleh grafik histogram, disebabkan
perbedaan ruang perawatan. Tingginya rata-rata biaya total pada kelompok dengan cara
pembayaran jamkesmas terlihat paling tinggi, hal ini dikarenakan jumlah pasien yang
sedikit yaitu 2 orang dengan lama hari rawat yang panjang. Penelitian ini hanya
menunjukkan suatu kecenderungan atau trends sebagai gambaran biaya stroke secara
total. Penelitian ini tidak melihat variable secara individu dikarenakan variasi per
individu yang terlalu luas sehingga apabila diteliti diperlukan sampel yang lebih banyak.
Karena itu diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai gambaran biaya perawatan stroke
dengan mengambil populasi yang lebih homogen.
ABSTRACT
Gelastic seizures are epileptic seizures characterized by pathologic laughter as a main clinical
manifestation and are uncommon among epilepsy. Gelastic seizures are also described in patients
without hypothalamic hamartoma, in whom a proven or suspected seizures focus lies in the frontal or
temporal lobes or where the origin of the seizures remains undetermined. Although inappropriate, it
can be so similar to the natural laughter and if laughter is the only symptom can be supposed as a
psychiatric disease.
This is a case report of gelastic seizures that occurred without the presence of hypothalamic
hamartoma but related to a left cerebral hemiatrophy.
Key words : gelastic seizures- without hypothalamic hamartoma-epilepsy
ABSTRAK
Gelastic Seizures adalah bangkitan epilepsi yang ditandai dengan tertawa patologis sebagai gejala
utama dan dapat merupakan manifestasi klinis utama yang jarang ditemukan pada penderita epilepsi.
Gelastic Seizures tidak hanya ditemukan pada hypothalamic hamartoma saja melainkan juga pada
bangkitan yang berasal dari lesi di frontal, temporal atau lesi lain yang tidak dapat ditentukan
fokusnya. Walaupun patologis, dapat menyerupai tertawa yang natural dan bila tidak disertai jenis
bangkitan lain dapat disangka sebagai kelainan psikiatrik.
Berikut ini dilaporkan suatu kasus gelastic seizures yang tidak disebabkan oleh suatu
hypothalamic hamartoma melainkan berkaitan dengan hemiatropi serebri kiri.
Kata kunci : gelastic seizures- tanpa hypothalamic hamartoma- epilepsi
__________________________________________________________________________
PENDAHULUAN
Tahun 1877 Trousseau dan Fere untuk pertama kalinya melaporkan kasus epileptic
laughter. Selanjutnya Daly dan Mulder pada tahun 1957 memperkenalkan istilah gelastic
epilepsy atau gelastic seizures dengan maksud untuk menonjolkan tertawa sebagai gejala
utama yang muncul.1 Gelastic berasal dari kata Yunani gelos atau gelastikos yang artinya
tertawa atau gembira1,2
Gelastic seizures ditandai dengan tertawa tiba-tiba yang tak wajar, stereotipik, tanpa
diprovokasi oleh rangsang spesifik (humor) atau stimulus non spesifik lain.3 Pada umumnya
gelastic seizures dihubungkan dengan suatu hypothalamic hamartoma, 1,2,3,4,5 namun ternyata
gelastic seizures dapat juga ditemukan pada bangkitan yang berasal dari lesi di frontal,
temporal atau pada lesi lain yang tidak dapat ditentukan fokusnya.1,2,4,
Berikut ini akan dilaporkan gelastic seizures pada anak laki-laki 13 tahun dengan
hemiatropi serebri kiri, tidak berkaitan dengan hypothalamic hamartoma.
* Staf Medik Fungsional Ilmu Penyakit Saraf RSUD Pasar Rebo Jakarta
** Staf Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
ILUSTRASI KASUS
Seorang anak laki-laki 13 tahun 6 bulan, kinan, datang ke poliklinik saraf dengan
keluhan sering tertawa sejak 1 bulan terakhir ini. Tiba-tiba tertawa dengan suara cukup keras
tanpa ada faktor stimulus yang adekuat, berulang-ulang dengan frekuensi sampai 6 kali
sehari. Lama tertawa bervariasi 30 detik sampai 1 menit, pada awalnya hanya tertawa saja
tanpa diikuti gejala lain. Akhir- akhir ini setelah penderita tertawa berlanjut menjadi tak
sadarkan diri, terjatuh, kemudian diikuti kejang tonik klonik. Bila tertawa berlanjut dengan
kejang, hampir selalu diikuti dengan buang air kecil (ngompol).
Penderita dilahirkan spontan, cukup bulan, langsung menangis. Tidak ada riwayat kejang
dalam keluarga. Riwayat tumbuh kembang normal.
Pada usia 3 tahun 6 bulan untuk pertama kalinya penderita mengalami kejang, kejang
cukup lama mulai kejang dirumah sampai di rumah sakit anak masih kejang, disertai panas
tinggi dan tak sadarkan diri selama 2 hari. Dirawat di ruang ICU salah satu rumah sakit
swasta. Pulang dalam keadaan membaik setelah dirawat selama 7 hari di rumah sakit
tersebut. Berangsur angsur sembuh, selanjutnya dapat melakukan aktifitas biasa sesuai
dengan usia saat itu. Penderita tidak pernah mengalami kejang lagi sampai pada usia 9 tahun.
Dan pada usia 9 tahun ini, penderita kembali mengalami kejang, yang disertai demam tinggi
dan dirawat di rumah sakit yang sama selama beberapa hari.
Setelah itu selalu berobat teratur ke dokter, minum obat anti kejang secara rutin sampai
usia 13 tahun. Obat anti kejang dihentikan setelah 2 tahun bebas kejang. Lima bulan
berselang penderita mulai menunjukkan gejala tiba-tiba tertawa tanpa alasan yang jelas.
Prestasi disekolah cukup baik, selalu 10 besar dan beberapa kali ranking 1 3 dikelas
dan dapat melakukan aktifitas fisik yang memerlukan keterampilan motorik yang memadai
untuk dapat bermain bersama teman- teman seusia.
Pemeriksaan fisik dalam batas normal, tidak ditemukan defisit neurologik fokal.
Pemeriksaan laboratorium rutin dalam batas normal. Hasil pemeriksaan EEG (gambar 1),
background normal sesuai usia, namun terlihat asimetri berupa atenuasi (amplitudo lebih
rendah) pada seluruh sisi hemisfer kiri yang konsisten sejak awal sampai akhir perekaman.
Tak terlihat aktifitas epileptiform patologis lain selama perekaman, demikian pula saat
dilakukan prosedur aktivasi hiperventilasi maupun fotik stimulasi intermiten. MRI kepala
memperlihatkan gambaran hemiatropi serebri kiri dan tak terlihat masa didaerah hipotalamus
(gambar2).
Gambar 1: Gambaran EEG ; double banana bipolar montage memperlihatkan asimetri
berupa atenuasi (amplitudo lebih rendah) pada sisi hemisfer kiri.
Gambar 2 : MRI kepala dengan sekuens T2 dan FLAIR terlihat atrofi hemisfer
kiri disertai dengan ventrikulomegali.
DISKUSI
Pembahasan gelastic seizures sulit dilepaskan dari pembahasan tentang hypothalamic
hamartoma karena pada awalnya gelastic seizure hanya dilaporkan berkaitan dengan
hypthalamic hamartoma seperti yang terlihat pada klasifikasi ILAE 1989.
Berbagai kepustakaan terdahulu banyak melaporkan kasus gelastic seizures yang
berkaitan dengan suatu hypothalamic hamartoma.6,7 Hypothalamic hamartoma merupakan
kelainan kongenital, berupa nodul non neoplastik yang secara morfologik melekat pada
hipotalamus posterior diantara tangkai hipotalamus dengan korpus mamilaris (gambar 3).
Secara histologis lesi ini terdiri dari jaringan saraf yang sama dengan struktur hipotalamus
terdiri dari neuron berbagai ukuran yang ditunjang oleh komplemen neuroglia normal.6
Gelastic seizures sangat jarang muncul sebagai manifestasi klinik pada penderita
epilepsi.2 Pengamatan selama 12 tahun pada 5000 penderita epilepsi disalah satu pusat
epilepsi, hanya ditemukan 0,16% kasus dengan gelastic seizures.2 Manifestasi klinik tertawa
dapat sangat singkat sekitar 30 detik sampai beberapa menit dan dapat merupakan satu-
satunya gejala yang ada. Walau patologis dapat mirip sekali dengan tertawa yang natural,
dapat hanya berupa senyum saja tanpa suara,4 sehingga dapat tidak terdiagnosis sampai
waktu yang lama.1,4 Seperti yang juga terjadi pada pasien ini, penderita baru datang kembali
kedokter setelah tertawa disertai dengan kejang.
Pada awalnya aktifitas tertawa patologis pada gelastic seizures diduga berasal dari
stimulasi mekanik oleh masa hamartoma pada dasar ventrikel III yang menimbulkan cetusan
listrik epileptiform.6 Tapi usaha mengangkat lesi di hipotalamus tidak selalu berhasil
menghentikan bangkitan.8 Seperti disebutkan sebelumnya gelastic seizures tidak hanya
ditemukan pada hypothalamic hamartoma melainkan juga pada lesi dibagian otak lain seperti
lesi dengan fokus difrontal, temporal, parietal. Bahkan Garg melaporkan satu kasus unik
yang diawali dengan tertawa patologis selama 15 menit sebelum timbul afasia dan
hemiparesis kanan pada penderita stroke akut usia 50 tahun dengan infark teritorial didaerah
arteri serebri media kiri.8 Oleh karena itu diduga proses tertawa melibatkan proses yang lebih
kompleks dan melibatkan sistim limbik.
Hipotesis menyatakan bahwa medullary effector center (pusat ketawa yang berada di
medula oblongata) diinhibisi oleh pusat inhibisi di korteks dan sistim limbik yang keduanya
terintegrasi oleh integrator yang berada didaerah hipotalamus.
Keinginan (korteks) dan emosi (sistim limbik) melalui jaras tertentu berinteraksi dengan
pusat ketawa dibagian bawah batang otak. Oleh karena itu kelainan dibatang otak bagian atas
yang mengakibatkan distorsi batang otak akan menimbulkan gangguan koneksi jaras
tersebut, mengakibatkan peran inhibisi oleh koteks dan sistim limbik terganggu sehingga
menimbulkan tertawa patologis, seperti yang sering terjadi pada chordoma di clivus atau
glioma di pons.8
Daerah dikorteks yang berperan dalam proses tertawa belum dapat ditentukan secara
pasti. Penelitian stimulasi listrik oleh Arroyo pada girus cinguli lobus frontal dan bagian
basal temporal manusia menimbulkan rasa gembira atau tertawa. Diperkirakan bahwa girus
cinguli bagian anterior berperan dalam aksi motorik tertawa sementara bagian basal lobus
temporal mempengaruhi proses emosional tertawa.8 Kemungkinan, hambatan terhadap
perasaan emosi juga dipengaruhi oleh peran korteks frontalis sebagai ilustrasi dari fakta
bahwa lesi difrontal sering menimbulkan gangguan emosi. Selanjutnya House meneliti
bahwa gangguan emosi sering terjadi pada stroke dengan lesi didaerah frontal atau temporal
kiri. Swash juga melaporkan kasus tertawa patologis pada infark di bagian lateral dan inferior
lobus temporal kiri.8 Hipothesis yang menyebutkan kecenderungan timbulnya gelastic
seizures akibat lesi unilateral dihemisfer cerebri kiri didukung oleh kasus ini dimana terlihat
NEURONA Vol 27 no.3 April 2010
4
jelas adanya hemiatropi serebri kiri pada pemeriksaan MRI kepala. Sayang kebanyakan
laporan kasus gelastic seizures dengan kelainan patologis di hemisfer kiri tidak menjelaskan
perbedaan letak hemisfer dominan dan non dominan.
DIAGNOSIS
Diagnosis gelastic seizures terutama ditegakkan berdasarkan anamnesis. Tertawa yang
patologis, berulang dan stereotipik, timbul tanpa provokasi rangsang spesifik, perlu
dipikirkan sebagai gelastic seizures. Gelastic seizures dapat diikuti dengan berbagai bentuk
bangkitan lain yakni myoklonik, atonik, parsial kompleks atau kejang umum,1,8 seperti pada
pasien ini tertawa yang pada perkembangan selanjutnya juga disertai dengan kejang umum
tonik klonik. Diagnosis akan menjadi mudah bila tertawa patologis diikuti dengan bentuk
bangkitan lain. Namun, karena tertawa dapat sangat singkat dan dapat mirip dengan tertawa
natural dan bila tertawa hanya sebagai satu-satunya gejala yang timbul, dapat disalah artikan
sebagai kelainan psikiatrik. Pilo melaporkan suatu kasus epilepsi lobus temporal dengan
tertawa patologis yang sempat dirawat di rumah sakit jiwa karena semula disangka
merupakan kelainan psikiatrik.2 Diagnosis Hypothalamic hamartoma dengan gelastic
seizures menurut ILAE 1989, demikian pula menurut ILAE Task Forced report
diklasifikasikan dalam kelompok disease frequently associated with epileptic seizures or
syndromes. Tetapi, sebaliknya skema diagnostik yang terbaru memasukkan gelastic seizures
dalam kelompok seizure type of various aetiologies.4,5
Gambaran EEG pada gelastic seizures baik ictal maupun interictal tidaklah khas,
tergantung letak lesi yang mendasari timbulnya bangkitan.1,7,8 Gambaran EEG awal pada
hypothalamic hamartoma dapat normal, namun pada perkembangan selanjutnya sering
menunjukkan abnormalitas yang progresif.7 Video monitoring EEG pada kasus yang
meragukan dapat membantu menegakkan diagnosis.1 Pada pasien ini gambaran EEG
memperlihatkan gambaran abnormal berupa atenuasi di hemisfer kiri. Tampaknya atenuasi
yang terlihat pada gambaran EEG berkorelasi dengan hemiatropi di hemisfer kiri yang
diperlihatkan oleh gambaran MRI.
NEURONA Vol 27 no.3 April 2010
5
MRI resolusi tinggi lebih superior dari CT scan dan merupakan modalitas utama yang
dapat mengungkapkan berbagai kelainan anatomik yang menjadi penyebab timbulnya
gelastic seizures.1,2,7 Sulit memastikan penyebab timbulnya hemiatropi serebri kiri pada
pemeriksaan MRI penderita ini. Dari anamnesis yang didapat dan informasi yang diberikan
oleh dokter yang merawat sebelumnya kepada orang tua penderita, kemungkinan timbul
akibat encephalitis yang diderita sebelumnya.
PENATALAKSANAAN
Tatalaksana gelastic seizures tergantung pada etiologinya. Gelastic seizures dengan
hypothalamic hamartoma bila dtemukan pada stadium lanjut dapat disertai dengan gangguan
mental dan kognitif dan sering refrakter terhadap berbagai antikonvulsan. Hypothalamic
hamartoma dini tidak disertai gangguan kognitif dan mental dan bila dilakukan operasi
dengan tehnik khusus, transcallosal anterior interfomiceal approach dapat menghilangkan
bangkitan pada 52% kasus.9
Pada kasus lain yang bukan hypothalamic hamartoma pemberian antikonvulsan
merupakan pilihan. Carbamazepine merupakan pilihan utama pada epilepsi dengan lesi fokal
selain phenytoin, phenobarbital, gabapentin, pregabalin, oxcarbamazepine dan tiagabin.
Panagariya dkk melaporkan berbagai kasus gelastic seizures di India yang memberikan
respons yang baik terhadap pemberian carbamazepine, phenytoin, phenobarbital atau
vigabatrin dengan atau tanpa hypothalamic hamartoma, berbeda dengan berbagai laporan
kasus yang menyatakan gelastic seizures kebanyakan resisten terhadap farmakoterapi.7,10
Pada pasien ini pemberian awal asam valproat hanya mengurangi ferkuensi kejang saja
dan hanya sedikit mengurangi frekuensi tertawa. Penggantian secara bertahap dengan
phenytoin menghilangkan kejang dan sedikit mengurangi frekuensi tertawa. Penambahan
phenobarbital pada 10 hari terakhir memperlihatkan respons yang cukup baik baik terhadap
kejang maupun tertawa patologis yang timbul. Kami sangat berhati-hati dalam pemberian
carbamazepine karena tingginya insidens efek samping berupa sindroma Steven Johnson di
rumah sakit kami.
KESIMPULAN
Gelastic seizures merupakan manifestasi klinik yang sangat jarang muncul pada
penderita epilepsi. Gelastic seizure tidak hanya timbul pada hypothalamic hamartoma saja
tapi dapat timbul sebagai akibat dari lesi diberbagai daerah otak yang ikut berperan dalam
proses inhibisi timbulnya tertawa patologis. Perlu penelitian lebih lanjut untuk memperkuat
hipotesis terhadap kecenderungan lesi unilateral disisi hemisfer kiri yang dapat menimbulkan
gelastic seizures seperti yang juga terlihat pada penderita ini.
Perlu berhati-hati untuk tidak selalu menganggap bahwa tertawa patologis adalah suatu
kelainan psikiatrik saja.
DAFTAR PUSTAKA
1. Branberg G, Olofsson OE. Gelastic Seizures, Meadline, [cited 2001 February 1; 4 screens].
Available from URL : http://www.ilae-epilepsy.org/ctf/gelastic.htm/.
2. Pilo L. Gelastic Epilepsy- A Case Report, Singapore Med J 1990: 31: 78-79.
3. Conachie NS, King MD. Gelastic Seizures in a Child with Focal Cortical Dysplasia of the
Cingulate Gyrus. Springer- Verlag; Neuroradiology 1997: 39: 44-45
4. Panaylotopoulos. A Clinical Guide to Epileptic Syndromes and their Treatment. 2nd ed.
London: Springr-Verlag; 2007. p. 262-265.
5. Panaylotopoulos CP. The Epilepsies Seizures, Syndrome and Management. Oxfordshire:
Bladon Medical Publishing; 2005. p. 193-197.
NEURONA Vol 27 no.3 April 2010
6
6. Robbani I, Ahmed TB. Gelastic Seizures in a Young Boy: Evaluation by MRI, Medical
Principle and Practice 2005: 14: 199-201.
7. Panagariya A, Sharma B, Tripathi G. Gelastic Epilepsy Associated with Lesions other than
Hypothalamic Hamartoma, Annals of Indian Academy Neurology 2007: 10 (2): 1-4.
8. Garg RK, Misra S, Verma R. Pathological Laughter as Heralding Manifestation of Left
Middle Cerebral Artery Territory Infarct: Case Report and Review of Literature, Neurology
India 2000: 48: 388-390.
9. Deopujari CE, Suhas U. Surgical Considerations in the Management of Gelastic Seizures,
Journal of Pediatric Neurosciences 2008: 3 (1): 88-93.
10. Freeman JL, Olofsson OE. Gelastic Seizures in: Engel J, Pedley TA. Editors. Epilepsy an
Comprehensive Textbook 2nd ed. Lippincott Williams and Wilkins; 2008. p. 619-622.
Artikel Penelitian
ABSTRACT
Background : Patients with type 2 diabetes mellitus have been found to have cognitive dysfunction that can be
attributed to their disease. Longitudinal studies have shown the association of type 2 diabetes mellitus with both
dementia and mild cognitive impairment. One proposed factor which contribute to the pathophysiology of cognitive
dysfunction in patients with type 2 diabetes mellitus is chronic hyperglycemia through endothelial dysfunction and
neurotransmitter disturbance mechanisms. The objective of this study is to find out the association of mild cognitive
impairment and chronic hyperglycemia using glycemic control as the indicator in patients with type 2 DM.
Methods : A nested case-control study was parformed among subjects with type 2 diabetes mellitus in Endocrine
Outpatient Clinic of Cipto Mangunkusumo National Hospital. We obtained 106 subjects who met the inclusion
criteria which then divided and matched into 2 groups, normal and mild cognitive impairment group, according to
the result of neuropsychological test using Luria Nebraska Neuropsychological Battery Screening Test and Trial
Making Test B. Glycemic control of all subjects was evaluated from medical record of serial fasting glucose and
post prandial glucose test in the last 2 years.
Results : From 106 subjects we obtained, 50 (47,2%) was men and 56 (52,8%) women with mean age 56,26 7,0
years old and mean duration of suffered from type 2 diabetes mellitus 6,41 4,70 years. Mild cognitive impairment
was found in 58 subjects (54,72%). Glycemic control was highly associated with cognitive impairment with p = 0.00
and odds ratio 38.11 (95% CI 12.53-115.89). We found no association of cognitive impairment with duration of type
2 diabetes, types of medication and other chronic complications of type 2 diabetes mellitus, including coronary
artery disease, retinopathy, nephropathy and neuropathy.
Conclusions : Glycemic control is highly associated with mild cognitive impairment in subjects with type 2 DM
Keywords : mild cognitive impairment, type 2 diabetes mellitus, glycemic control
ABSTRAK
Latar Belakang: Telah diketahui bahwa pada penyandang diabetes mellitus tipe 2 dapat mengalami hendaya
kognitif yang berhubungan dengan DM tipe 2 yang disandangnya. Penlitian longitudinal menunjukkan adanya
hubungan antara DM tipe 2 dengan demensia maupun hendaya kognitif ringan (mild cognitive impairment). Salah
satu faktor yang dianggap berkontribusi terhadap patofisiologi hendaya kognitif pada penyandang DM tipe 2 adalah
hiperglikemia kronik yang mengakibatkan disfungsi endotel dan ganggaun neurotransmiter. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk membuktikan hubungan antara hendaya kognitif ringan dan hiperglikemia kronik dengan
menggunakan kendali glikemik sebagai indikator pada penyandang DM tipe 2.
Metode : Penelitian menggunakan disain kasus kontrol yang bersarang pada studi potong lintang pada penyandang
DM tipe 2 di Poliklinik Endokrine RS Cipto Mangunkusumo. Didapatkan 106 subyek yang memenuhi criteria
inklusi yang kemudian dibagi menjadi 2 kelompok dengan matching menjadi kelompok normal dan kelompok
hendaya kognitif ringan, berdasarkan hasil pemeriksaan neuropsikologi dengan menggunakan Skrining Tes Luria
Nebraska dan Tes Trial Making B. Kendali glikemik seluruh subjek dievaluasi dengan menggunakan data rekam
medis dari kadar gula darah puasa dan kadar gula darah 2 jam post prandial selama 2 tahun terakhir.
Hasil : Dari 106 subyek, 50 (47,2%) laki-laki dan 56 (52,8%) perempuan dengan rerata usia 56,26 7,0 tahun dan
rerata lama menyandang DM tipe 2 6,41 4,70 years. Hendaya kognitif ringan didapatkan pada 58 subyek
(54,72%). Kendali glikemik berhubungan erat dengan hendaya kognitif dengan nilai p = 0.00 dan odds ratio 38.11
(95% CI 12.53-115.89). Tidak ditemukan hubungan antara hendaya kognitif dengan lama menyandang DM tipe 2,
jenis pengobatan dan komplikasi kronik DM tpe 2 lain yang mencakup penyakit jantung koroner, retinopati,
nefropati dan neuropati.
Kesimpulan : Kendali glikemik berhubungan erat dengan hendaya kognitif ringan pada subyek dengan DM tipe 2.
Kata kunci : hendaya kognitif ringan, DM tipe 2, kendali glikemik
METODE
Penelitian ini dilakukan menggunakan desain nested case control yang bersarang pada
penelitian potong lintang tanpa pembanding. Pasien dengan gangguan kognitif akan dimasukkan
sebagai kelompok kasus, sedangkan kelompok kontrol akan diambil dari pasien-pasien yang
tidak mengalami gangguan kognitif dengan matching. Penelitian dilakukan di Poliklinik
Endokrin Penyakit Dalam, RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, dari bulan Agustus sampai
November 2008. Penelitian dimulai setelah mendapat persetjuan dari komite etik. Populasi
penelitian adalah semua individu yang telah didiagnosis DM tipe 2 yang datang berobat ke
Poliklinik Endokrin Penyakit Dalam, RS Cipto Mangunkusumo Jakarta dan masuk dalam
kriteria inklusi selama periode penelitian.
Kriteria inklusi adalah penyandang DM yang telah didiagnosis dan digolongkan dalam
DM tipe 2, dengan usia maksimal 65 tahun, dapat membaca, menulis dan lulus Sekolah
Menengah Pertama serta bersedia diikutsertakan dalam penelitian. Sementara criteria eksklusi
adalah penyandang DM dengan riwayat strok, cedera kepala, infeksi/tumor otak, penyandang
epilepsi, riwayat minum alkohol, pengguna opiat/obat antidepresan, penyandang epilepsi yang
didapat dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, penyandang DM dengan defisit fokal neurologis
seperti hemiparesis, dan paresis saraf kranialis, penyandang dengan gangguan pendengaran atau
gangguan visus berat dan penyandang DM dengan gangguan depresi berat (skor Hamilton >17)
Semua pasien yang telah didiagnosis DM tipe 2 yang datang berobat ke Poliklinik
Endokrin - Penyakit Dalam, RS Cipto Mangunkusumo dilakukan anamnesis dan identifikasi
catatan medis berupa karakteristik penyandang seperti identitas, lamanya menyandang DM,
serta identifikasi riwayat penyakit dahulu seperti riwayat strok, trauma kepala, infeksi/tumor
otak, minum alkohol dan obat-obat yang dikonsumsi dalam 3 bulan terakhir. Selanjutnya
dilakukan pemeriksaan fisik umum (tekanan darah sistolik dan diastolik, pengukuran berat
badan dan tinggi badan) dan pemeriksaan neurologi rutin. Kemudian dilakukan pemeriksaan
fungsi penglihatan dengan tes membaca, dan pemeriksaan fungsi pendengaran. Setelah itu
HASIL PENELITIAN
Pada penelitian ini didapatkan sampel 106 pasien DM tipe 2 yang berobat di Poliklinik
Endokrin Penyakit Dalam RSCM antara Agustus-November 2008 dengan sebaran karakteristik
demografik dan medis seperti pada Tabel 1.
Proporsi laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda, terdiri dari 50 (47,2%) laki-laki dan
56 (52,8%) perempuan. Rentang usia subyek antara 34-65 tahun, dimana subyek berpendidikan
dasar sebanyak 27 orang (25,5%) dan berpendidikan lanjutan dan tinggi sebanyak 79 orang
(74,5%). Pada penelitian ini didapatkan 49% pasien memiliki durasi DM selama < 5 tahun.
Sebagian besar subjek (60,4%) memiliki indeks massa tubuh (IMT) dengan berat badan lebih
(IMT 23 kg/m). Sebanyak 52,8% subjek memiliki hipertensi atau sedang meminum obat
antihipertensi, 62,3% memiliki dislipidemia atau sedang meminum obat hipolipidemik, dan
63,2% menderita salah satu atau lebih komplikasi DM tipe 2 (retinopati, neuropati, nefropati atau
CAD). Kendali glikemik pada sebagian besar subjek (51,9%) termasuk dalam kategori buruk.
Terapi yang dikonsumsi sebagian besar subjek (48,1%) adalah terapi dengan obat hipoglikemik
oral (OHO).
Pada penelitian ini didapatkan rerata usia subyek adalah 56,26 7,0 tahun. Rerata lama
menyandang DM tipe 2 adalah 6,41 4,70 tahun. Sebaran rerata dan simpang baku variabel awal
subyek dapat dilihat pada Tabel 2.
95% CI
Mean SD Median
Low High
Usia 56,26 7,0 54,92 57,61 57,00
Lama sakit DM 6,41 4,70 5,50 7,31 5,00
Sistolik 124,72 15,25 121,78 127,66 120,0
Diastolik 77,36 7,34 75,94 78,77 80,00
IMT 24,30 3,79 23,58 25,04 24,20
Pemeriksaan fungsi kognitif pada penelitian ini menggunakan Skrining Tes Luria
Nebraska dan Trail Making Test-B. Niai rerata dan simpang baku hasil pemeriksaan dapat dilihat
dalam Tabel 3.
95% CI
Mean SD Median
Low High
STLNB 7,17 3,858 6,43 7,91 8,00
TMT-B 175,16 69,82 161,71 188,61 180
Sebaran gangguan fungsi kognitif berdasarkan tiap jenis pemeriksaan dapat dilihat dalam
kognitif secara keseluruhan terdapat pada 58 subyek (54,72%).
Pola sebaran gangguan kognitif berdasarkan pemeriksaan STLNB dapat dlihat pada
Tabel 5. Sebagian besar berupa gangguan memori (45,28%) dan gangguan fungsi eksekutif
(43,39%).
Pada penelitian ini kami juga mencoba untuk menlai hubungan berbagai faktor terhadap
gangguan kognitif, seperti dapat dilhat pada Tabel 6.
PEMBAHASAN
Pada penelitian ini, rerata usia subyek adalah 56,26 7,0 tahun. Rerata usia tersebut tidak
jauh berbeda dengan populasi pasien DM tipe 2 di Poli Endokrin RSCM pada penelitian yang
dilakukan oleh Octaviani yakni 52,7 5,8 tahun maupun pada penelitian oleh Nasrun yakni 58,5
2,0 tahun. Berbeda dengan penelitian Ryan dan Geckle yang menemukan adanya gangguan
kognitif terutama pada domain kecepatan psikomotor seiring dengan bertambahnya usia, pada
penelitian ini tidak ditemukan adanya hubungan antara usia dengan gangguan kognitif. Hal
tersebut dapat disebabkan karena perbedaan rerata usia antara kelompok dengan gangguan
kognitif (57,17 6,44 tahun) tidak jauh bebrbeda dibandingkan dengan rerata pada kelompok
tanpa gangguan kognitif (55,17 7,54). Selain itu, usia subjek yang dibatasi maksimal 65 tahun
juga menjadi slaah satu sebab tidak ditemukannya hubungan antara usia dengan gangguan
kognitif, sesuai dengan hasil penelitian Kumari dan Marmot pada Studi Whitehall II dimana pada
penyandang diabetes berusia <65 tahun tidak ditemukan adanya gangguan kognitif.
Pada penelitian ini, persentase jenis kelamin perempuan dan laki-laki hampir sebanding
dengan ratio 1,12. Perbandingan ini hampir serupa dengan rasio perbandingan perempuan dan
laki-laki pada penelitian Puspitasari (2006) yakni 1,3. Pada analisis tidak didapatkan adanya
hubungan antara jenis kelamin dengan gangguan kognitif. Hal ini sesuai dengan penelitian
Barnes yang menyatakan pola penyakit dan insidens demensia Alzheimer sama antara laki-laki
dan perempuan.
Tingkat pendidikan juga dapat mempengaruhi fungsi kognitif. Beberapa studi kohort
dengan populasi besar telah menunjukkan bahwa tingkat pendidikan rendah memiliki risiko lebih
tinggi untuk terjadinya demensia. Pada penelitian ini, tingkat pendidikan subjek ditentukan
minimal SMP (pada 27 orang atau 25,5% subjek). Hal tersebut menjadikan tingkat pendidikan
tidak mempengaruhi kejadian gangguan kognitif pada penelitian ini.
Pada penelitian ini indeks massa tubuh (IMT) subjek sebagian besar (60,4%) termasuk
dalam kategori berat badan lebih (IMT 23 kg/m). Hubungan antara IMT dengan gangguan
kognitif hingga saat ini masih kontroversial. Penelitian oleh Cournot, dkk (2006) menunjukkan
adanya hubungan antara berat badan lebih dengan risiko demensia, sementara penelitian oleh
Buchman, dkk (2006) menunjukkan IMT yang kurang justru meningkatkan risiko demensia.
Pada penelitian ini hubungan antara IMT dengan gangguan tidak bermakna. Hasil ini serupa
dengan hasil studi Sturman, dkk (2008).
Hipertensi ditemukan pada sebagian besar (52,8%) subjek pada penelitian ini. Prevalensi
hipertensi pada DM tipe 2 yang cukup tinggi ini hampir serupa dengan yang ditemukan pada
Hubungan gangguan kognitif dengan lama menyandang DM tipe 2, jenis terapi dan
komplikasi kronik diabetes
Hubungan antara lama menyandang diabetes dengan gangguan kognitif masih
kontroversial. Penelitian Northam, dkk (1998) menunjukkan gangguan kognitif pada penyandang
diabetes dapat muncul dalam 2 tahun setelah pasien terdiagnosis. Pada penelitian Gregg, dkk
didapatkan penyandang diabetes dengan durasi >5 tahun memiliki risiko 1,5 kali lipat untuk
terjadinya gangguan kognitif. Pada penelitian kami tidak didapatkan hubungan yang bermakna
antara lama menyandang diabetes dengan gangguan kognitif. Hal ini sesuai dengan hasil yang
didapatkan oleh Mogi (2004).5,17 Tidak adanya hubungan yang bermakna antara lama
menyandang diabetes dengan gangguan kognitif dapat disebabkan karena onset diabetes melitus
bisa jadi tidak terdeteksi sejak awal, dimana pasien saat awal didiagnosis DM tipe 2 mungkin
sudah sejak lama menyandang diabetes
Jenis terapi pada penelitian kami juga tidak berhungan dengan gangguan kognitif.
Hubungan antara jenis terapi DM dengan gangguan kognitif juga masih belum jelas. Sebagian
studi menunjukkan bahwa pemakaian insulin memperburuk fungsi kognitif sementara sebagian
lain justru menghasilkan kesimpulan sebaliknya.
Pada penelitian kami juga tidak terdapat hubungan yang bermakna antara komplikasi
kronik diabetes melitus (baik retinopati, neuropati, nefropati maupun CAD) dengan gangguan
kognitif. Berbeda dengan studi yang dilakukan oleh Ferguson (2003) dan Brands (2005), hasil
yang kami dapatkan justru sesuai dengan penelitian Wessels (2006) dimana tidak ditemukan
hubungan antara komplikasi kronik diabetes dengan gangguan kognitif. Salah satu faktor yang
mungkin berperan terhadap hasil ini adalah jumlah sampel yang terlalu sedikit untuk komplikasi
kronik DM tipe 2 sehingga didapatkan hasil yang tidak bermakna.
KEPUSTAKAAN
1. Nasrun MW. Deteksi dini hendaya kognitif non demensia pada penyandang diabetes melitus tipe 2: pendekatan
epidemiologi klinis, psikometrik dan spektroskopi resonansi magnetik. Disertasi. Program studi Doktor Ilmu
Kedokteran. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007.
2. Ott A, Stolk RP, Harskamp F, Pols HAP, Hofman A, Breteler. Diabetes mellitus and the risk of dementia: The
Rotterdam Study. Neurology. 1999;53:1937-43.
3. Suyono S. Kecenderungan peningkatan jumlah pasien diabetes. Dalam: Penatalaksanaan diabetes mellitus
terpadu. Pusat Diabetes dan Lipid RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, FKUI. Jakarta: Aksara Buana 1999. hal 1-
4.
4. American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes. Diabetes Care. 2008. 31;Suppl 1: S55-
60.
5. Kodl CT, Seaquist ER. Cognitive dysfunction and diabetes mellitus. Endocr. Rev. 2008;10:1210.
6. Waspadji S. Komplikasi Kronik Diabetes : Mekanisme Terjadinya, Diagnosis dan Strategi Pengelolaan. Dalam :
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta, 2007.
7. Gregg EW, Yaffe K, Cauley JA, Rolka DB, Blackwell TL, Narayan KM, Cummings SR. Is diabetes associated
with cognitive impairment and cognitive decline among older women? Study of Osteoporotic Fractures
Research Group. Arch Intern Med 2000;160:174-180.
8. Munshi M, Grande L, Hayes M, Ayres D, Suhl E, Capelson R, Lin S, Milberg W, Weinger K. Cognitive
dysfunction is associated with poor diabetes control in older adults. Diabetes Care. 2006;29:1794-1799.
9. Grodstein F, Chen J, Wilson RS, Manson JE. Type 2 diabetes and cognitive function in community-dwelling
elderly women. Diabetes Care. 2001;24:1060-1065.
ABSTRACT
Background : Low back pain (LBP) is one of the most common pain conditions, where
nociceptive and neuropathic components both contribute to pain. Little information is
available about the contribution of the neuropathic component to LBP. The aim of this study
was to assess the prevalence of neuropathic pain among chronic LBP patients by use of the
Leeds Assessment of Neuropathic Pain Symptoms and Signs (LANSS) Pain scale.
Methods : A cross sectional study with subjects consisted of 72 chronic LBP patients
aged > 18 years were studied. The LANSS pain scale was applied to each patient in an
interview format. Patients with a score 12 were considered to have neuropathic pain that
contributed to their low back pain, while patients with a score < 12 were considered as
having nociceptive pain.
Results : According to the LANSS pain scale, 45 patients of chronic LBP had
neuropathic pain and 27 patients had nociceptive pain. Factors that were associated with
neuropathic pain in this study were advanced age, increased weight and hypertension.
Conclusions : Neuropathic pain is a major contributor to chronic low back pain, and the
LANSS pain scale is a useful tool to distinguish patients with neuropathic pain from those
with nociceptive pain.
Key words : Low back pain - neuropathic pain - LANSS
ABSTRAK
Latar Belakang : Nyeri punggung bawah merupakan salah satu keadaan nyeri yang
paling sering dimana komponen nosiseptif dan neuropatik berkontribusi terhadap nyeri
tersebut. Sedikit informasi yang diperoleh tentang kontribusi elemen neuropatik terhadap
nyeri punggung bawah. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai prevalensi nyeri
neuropatik pada penderita nyeri punggung bawah kronik dengan memakai skala nyeri Leeds
Assessment Of Neuropathic Symptoms And Signs (LANSS).
Metode : Dilakukan suatu studi cross sectional yang terdiri dari 72 penderita nyeri
punggung bawah kronik berumur lebih dari 18 tahun. Skala nyeri LANSS digunakan untuk
tiap penderita dalam suatu format wawancara. Penderita dengan skor > 12 dianggap
mengalami nyeri neuropatik yang berkontribusi terhadap nyeri punggung bawahnya
sedangkan penderita dengan skor < 12 dianggap mengalami nyeri nosiseptif .
Hasil : Berdasarkan skala nyeri LANSS, 45 penderita nyeri punggung bawah kronik
mengalami nyeri neuropatik dan 27 penderita mengalami nyeri nosiseptif. Faktor-faktor
yang berhubungan dengan nyeri neuropatik dalam penelitian ini adalah usia lanjut,
peningkatan berat badan dan hipertensi.
Kesimpulan : Nyeri neuropatik merupakan suatu kontributor utama pada nyeri punggung
bawah kronik, dan skala nyeri LANSS adalah suatu alat yang sangat berguna dalam
membedakan penderita nyeri neuropatik dari penderita nyeri nosiseptif.
Kata Kunci : nyeri punggung bawah - nyeri neuropatik - LANSS
METODOLOGI
Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional dengan desain deskriptif
analitik yang menggunakan data primer pada penderita nyeri punggung bawah yang
berobat di Poliklinik Umum Departemen Neurologi RSUP H. Adam Malik Medan,
mulai tanggal 1 Januari 2007 sampai 31 Maret 2007. Besar sampel yang dipakai
dalam penelitian ini 72 orang.
Pengambilan sampel penelitian pada penderita nyeri punggung bawah kronik
yang berobat jalan di Poliklinik Umum di Departemen Neurologi FK USU dilakukan
dengan cara non-probability sampling dengan metode konsekutif yang memenuhi
kriteria inklusi sebagai berikut : semua penderita nyeri punggung bawah yang berobat
ke Poliklinik Neurologi FK-USU Medan , penderita berumur lebih dari 18 tahun dan
menderita nyeri punggung bawah > 3 bulan. Sedangkan kriteria eksklusinya adalah
penderita nyeri neuropatik yang etiologinya selain nyeri punggung bawah dan
penderita tersebut tidak mengalami gangguan mental, penurunan kesadaran, gangguan
pendengaran dan gangguan penglihatan.
Saat melakukan wawancara, data demografi , data atropometrik dan riwayat
kesehatan dari penderita yang memenuhi kriteria inklusi dikumpulkan, dan kuesioner
skala nyeri LANSS turut dilengkapi. Skala nyeri LANSS terdiri dari 2 lembar kertas
ukuran A4 yang dirancang untuk format wawancara dalam satu pertemuan.
Wawancara dilakukan oleh dokter pemeriksa, dimana dokter pemeriksa menanyakan
setiap item pertanyaan apakah deskripsi karakteristik nyeri penderita sesuai dengan
minggu terdahulu dan mengisikannya ke kuesioner. Pemeriksaan ini diikuti dengan
pemeriksaan bedside untuk menilai disfungsi sensorik dan secara spesifik untuk
allodynia dan perubahan pin prick threshold (PPT).
Allodynia dinilai ada saat nyeri timbul oleh goresan lembut dengan kapas diatas
daerah nyeri dan membandingkan dengan daerah tidak nyeri. PPT ditentukan dengan
membandingkan respon jarum suntik no. 23 pada kulit di daerah tidak nyeri dan
kemudian daerah nyeri selama beberapa kali. PPT didefinisikan sebagai sensasi tajam
dengan jarum tumpul pada daerah nyeri.
Menurut skala nyeri LANSS, frekuensi masing-masing pertanyaan dari 5 gejala
nyeri, sebagaimana 2 pemeriksaan sensorik, dihitung untuk setiap penderita. Jika
terdapat disestesia dan disfungsi autonomik diberi skor masing-masing 5. Nyeri
bangkitan diberi skor 3. Nyeri paroksismal diberi skor 2. Nyeri suhu diberi skor 1.
Jika ditemukan untuk tes disfungsi sensorik dan allodinia diberi skor 5 dan perubahan
Pin Prick Test (PPT) diberi skor 3. Berdasarkan penjumlahan keseluruhan maksimum
skor 24 poin. Penderita dengan skor kurang dari 12 tidak mungkin menderita nyeri
punggung bawah neuropatik, sebaliknya penderita dengan skor 12 atau lebih
dipertimbangkan untuk mempunyai elemen neuropatik yang mengkontribusi terhadap
nyeri punggung bawahnya.
HASIL PENELITIAN
Karakteristik Demografi dan Antropometrik Penderita NPB Kronik
Dari hasil penelitian ini didapatkan sample 72 orang yang memenuhi kriteria
inklusi, 45 penderita NPB kronik mengalami nyeri neuropatik dan 27 penderita NPB
kronik mengalami nyeri nosiseptif.
Pada tabel -1 menunjukkan distribusi data antropometrik penderita nyeri
punggung bawah kronik. Dari 72 penderita NPB kronik, kelompok umur terbanyak
adalah 41-60 tahun (48,6%) dengan rata-rata umur 52,92. Peningkatan berat badan
dan tinggi badan terlihat untuk berat badan range 50-70 kg (58,58) dan tinggi badan
range 150-165 cm (160,93). Lamanya nyeri punggung bawah kronik yang dialami
penderita paling banyak pada 1-5 tahun dengan rerata 3,53.
Tabel -2 menunjukkan bahwa penderita nyeri punggung bawah kronik pada penelitian
ini lebih banyak perempuan (62,5%) daripada laki-laki (37,5%). Selain itu terlihat
etiologi yang paling sering pada nyeri punggung bawah adalah spondilosis lumbalis
(51,4%). Sebagian besar penderita nyeri punggung bawah kronik dalam penelitian ini
tidak merokok (69,4%). Akan tetapi , hipertensi (34,7%) menjadi salah satu penyakit
penyerta paling banyak pada penderita ini, dan ditinjau dari segi pengobatan
sebelumnya, Cox-2 inhibitor menempati urutan pertama sebesar 63,9%.
Tabel 2. Karakteristik Demografi Penderita NPB
Jenis kelamin
Laki-laki 27 37,5
Perempuan 45 62,5
Usia (thn)
20-40 16 22,2
41-60 35 48,6
61-80 21 29,2
Berat badan (kg)
50-70 66 91,7
>70 6 8,3
Tinggi badan (cm)
Pengaruh Variabel Bebas Pada Kejadian Nyeri Neuropatik dan Nyeri Nosiseptif
Berdasarkan latar belakang disebutkan bahwa faktor resiko yang positif untuk
NPB adalah bertambahnya usia, kebugaran yang buruk, kondisi kesehatan yang jelek,
masalah psikologi dan psikososial, merokok, kecanduan obat, nyeri kepala, skoliosis
mayor (kurva lebih dari 80 0) serta faktor fisik yang berhubungan dengan pekerjaan
seperti duduk dan mengemudi.1
Kaki dkk tahun 2004 tentang identifikasi nyeri neuropatik pada penderita NPB
kronik juga menyatakan bahwa dari hasil penelitian diperoleh adanya hubungan
bertambahnya usia, jenis kelamin, tinggi badan, riwayat merokok, hipertensi dan
diabetes melitus serta pengobatan sebelumnya dengan kejadian nyeri neuropatik.10
Tabel -3 menunjukkan bahwa nyeri neuropatik lebih sering ditemukan pada
penderita usia tua daripada nyeri nosiseptif. Nyeri neuropatik juga lebih sering pada
perempuan daripada nyeri nosiseptif. Peningkatan berat badan terlihat lebih
mengalami nyeri neuropatik daripada nyeri nosiseptif. Tinggi badan tampak tidak
begitu penting terhadap prevalensi dari nyeri neuropatik pada penderita NPB. Akan
tetapi, nyeri neuropatik lebih sering pada penderita NPB dengan hipertensi. Secara
statitik, dari tabel 3 dapat disimpulkan bahwa pertambahan usia, peningkatan berat
badan dan hipertensi adalah signifikan terhadap kejadian (prevalensi) nyeri
neuropatik.
Estimasi Item Skala Nyeri LANSS dan Hubungannya dengan Tipe nyeri
Tabel 4 menunjukkan bahwa pada semua penderita NPB, disestesia (87,5%)
merupakan gejala nyeri abnormal yang paling sering, diikuti dengan nyeri
paroksismal (84,7%) . Perubahan PPT (65,3%) lebih sering ditemukan daripada
allodynia (58,3%). Disfungsi otonom yang ditemukan paling sedikit (27,8%). Rerata
dan SD dari skor nyeri keseluruhan pada semua penderita adalah 15,19 5,94 dan
range berkisar dari 2 sampai 24. 72 sampel dalam penelitian ini dibagi ke dalam 2
kelompok, kelompok nyeri neuropatik meliputi penderita dengan skor total 12 atau
lebih (45 penderita[ 62,5%]) dan kelompok nyeri nosiseptif terdiri dari
penderita dengan skor total kurang dari 12( 27 penderita)[37,5%]). Rerata dan SD
dari skor total pada kelompok nyeri neuropatik adalah 18,69 3,84, nilai median 19
dan range berkisar antara 13-24. Rerata dan SD dari skor total nyeri nosiseptif adalah
9,37 4,40, nilai mediannya 10. Rasio Odds dari masing-masing item skala nyeri
LANSS juga dinilai untuk masing-masing kelompok. Adanya hubungan yang
signifikan dari masing-masing item dapat diketahui pada kelompok nyeri neuropatik
tapi tidak dengan kelompok nyeri nosiseptif. Range Resiko relatif (RR) tertinggi
dari gejala dan tanda nyeri neuropatik berkisar dari 4 (disestesia) sampai 1 (nyeri
paroksismal).
Disfungsi otonom
- Ada (20) 19 1 1,9 0,86 2,1
- Tidak ada (52) 26 26
Nyeri bangkitan
- Ada (51) 36 15 1,6 0,1 2,2
- Tidak ada (21) 9 12
Nyeri Paroksismal
- Ada (61) 38 23 1 0, 3 1,3
- Tidak ada (11) 7 4
Nyeri Suhu
- Ada (54) 39 15 2,1 0,5 2,7
- Tidak ada (18) 6 12
Allodynia
- Ada (42) 37 5 2,9 0,9 4.0
- Tidak ada (30) 8 22
Perubahan PPT
- Ada (47) 43 4 1,2 0,3 2,3
- Tidak ada (25) 2 23
*Uji Chi-Square
DISKUSI
Penderita pada nyeri kronik mengandalkan pada dokter mereka untuk
mengidentifikasi mekanisme khusus yang menyebabkan nyeri mereka dan memilih
pengobatan yang sesuai untuk nyeri tersebut. Baik nyeri nosiseptif maupun neuropatik
dapat berkontribusi terhadap NPB kronik. Walaupun dari literatur banyak terdapat
informasi tentang prevalensi dan insiden NPB, sedikit informasi yang diperoleh
tentang neuropatik sebagai suatu faktor kontributor.10
Mekanisme patofisiologi yang berbeda terlibat dalam pembangkitan NPB
neuropatik. Lesi dari nosiseptif yang bertunas sampai diskus degeneratif, kompresi
mekanik dari saraf atau pelepasan mediator inflamasi merupakan mekanisme yang
terlibat dengan NPB neuropatik.12 Diagnosis dini dari nyeri neuropatik merupakan
langkah pertama dalam terapi efektif. Untuk membedakan diantara dua tipe nyeri,
berbagai tes klinis sebaiknya digunakan. Skala nyeri LANSS adalah berdasarkan
analisa data yang diperoleh selama pemeriksaan bedside.13 Sistem skoring sederhana
berdasarkan rasio odds dari tiap item digunakan untuk memberikan informasi segera
pada para klinisi.
Dari hasil penelitian ini diperoleh 45 penderita NPB kronik mengalami nyeri
neuropatik, dimana 27 penderita lainnya mengalami nyeri nosiseptif. Insiden yang
tinggi dari nyeri neuropatik pada kasus-kasus NPB dapat menjadi temuan baru bagi
para klinisi dimana NPB radikulopati merupakan satu-satunya gejala dari nyeri
neuropatik. Kesalahan diagnosa dari NPB neuropatik kemungkinan akibat dari
pengamatan yang berlebihan terhadap serabut saraf sebagai satu-satunya penyebab
DAFTAR PUSTAKA
1. Sadeli HA, Tjahjono B. Nyeri Punggung Bawah. Dalam : Meliala L,Suryamiharja A, Purba JS,
Sadeli HA editor. Nyeri Neuropatik. Patofisiologi dan Penatalaksanaan. Kelompok Studi Nyeri
Perdossi 2001. Jakarta. hal 145
2. Waddell G. Low Back Pain. In : Merskey H, Loeser JD, Dubner R eds. The Paiths of Pain 1975-
2005. USA : IASP Press 2005; p. 379
3. Wheeler A. Pathophysiology of Chronic Back pain. Available from :
http://www.emedicine.com/html
4. Bogduk N, Van Tulder M, Linton SJ. Low back Pain. In : IASP Scientific Programm Committee.
Pain 2005 An Updated Review. USA : IASP Press 2005; p. 71
Arsirlah diagram di bawah ini, dimana anda merasakan nyeri. Bila anda merasa nyeri
pada lebih dari satu tempat, hanya arsir pada daerah yang anda rasakan sakitnya
paling parah.
S LANSS
1. Pada daerah yana anda rasa sakit, apakah anda juga merasakan sensasi
seperti tertusuk jarum atau jarum pentul , kesemutan, atau menusuk-
nusuk ?
a. TIDAK Saya tidak merasakan sensasi-sensasi tersebut (0)
b. YA Saya sering merasakan sensasi-sensasi tersebut (5)
2. Apakah daerah yang terasa sakit mengalami perubahan warna ( seperti
lebih kemerahan) saat sakitnya terasa sangat hebat?
a. TIDAK Rasa sakitnya tidak mempengaruhi warna kulit (0)
b. YA Saya telah melihat bahwa rasa sakitnya membuat kulit saya (5)
terlihat berbeda
3. Apakah sakitnya mengakibatkan kulit yang terlibat sangat sensitif
terhadap sentuhan ? Merasakan sensasi yang tidak menyenangkan atau
nyeri saat dengan lembut mengusap kulit dapat menjelaskan keadaan ini.
a. TIDAK Rasa sakitnya tidak menyebabkan kulit pada daerah (0)
tersebut menjadi sangat sensitif terhadap sentuhan
b. YA Kulit pada daerah tersebut menjadi sangat sensitif terhadap (3)
sentuhan
4. Apakah sakit yang anda rasakan datang secara tiba-tiba dan hebat tanpa
ada alasan yang jelas saat anda sedang berdiam diri ? Kata-kata kejut
listrik , melompat, dan renjatan dapat menjelaskan keadaan ini.
a. TIDAK Sakit yang saya rasakan tidak seperti itu (0)
b. YA Saya sering merasakan sensasi-sensasi itu (2)
5. Pada area dimana terasa sakit, apakah kulitnya terasa panas seperti
nyeri terbakar?
a. TIDAK Saya tidak merasakan nyeri terbakar (0)
b. YA Saya sering merasakan nyeri terbakar (1)
6. Dengan lembut usaplah daerah yang terasa sakit dengan jari telunjuk
anda kemudian usaplah daerah yang tidak sakit (contohnya daerah kulit
yang jauh atau berlawanan sisi dengan daerah yang nyeri). Bagaimana
rasa usapan pada daerah yang sakit tersebut?
a. Daerah yang sakit tidak terasa berbeda dengan yang tidak sakit (0)
b. Saya merasakan tidak nyaman, seperti tertusuk jarum dan (5)
jarum pentul, kesemutan atau terbakar pada daerah yang sakit
yang berbeda dengan daerah yang tidak sakit
7. Dengan lembut tekanlah daerah yang terasa sakit dengan ujung jari
anda, kemudian tekanlah dengan lembut juga pada daerah yang tidak
sakit. Bagaimana rasa usapan pada daerah yang sakit?
a. Daerah yang sakit tidak terasa berbeda dengan yang tidak sakit (0)
b. Saya merasakan kebas-kebas atau nyeri tekan pada daerah yang (3)
Low Level Neurological States pada SDH dan EDH Post Kraniotomi
Tinjauan Terminologi, Diagnosis, Terapi, Prognosis
ABSTRACT
Traumatic brain injury is the most often case. Intracranial bleeding such as epidural hematoma
(EDH) and subdural hematoma (SDH) is two things of brain hemorrhages that would be happen in
traumatic brain injury; and Low Level Neurological States (LLNSs) could be as an outcome in
traumatic brain injury, there remains much uncertainty in diagnosing LLNSs. In this article, we review
the terminology, diagnosis, therapy, and prognosis LLNSs in patien with history of traumatic brain
injury.
ABSTRAK
Cedera kepala merupakan kasus yang sangat sering. Perdarahan intrakaranial seperti epidural
hematom (EDH) dan subdural hematom (SDH) dapat terjadi pada cedera kepala; dan Low Level
Neurological States (LLNSs) dapat terjadi sebagai hasil akhir pada cedera kepala. Cukup sering terjadi
perdebatan dalam menegakkan diagnosis pasien dengan LLNSs. Tulisan ini berupa suatu laporan kasus
yang akan mencermati tentang terminologi, diagnosis, terapi, dan prognosis LLNSs pada pasien dengan
riwayat cedera kepala.
PENDAHULUAN
Cedera kepala merupakan kasus yang sangat sering terjadi setiap harinya. Bahkan bisa dikatakan
merupakan kasus yang hampir selalu dijumpai di unit gawat darurat setiap rumah sakit. Istilah lain yang
sering digunakan adalah Traumatic Brain Injury (cedera kapala traumatik) yang umumnya didefinisikan
sebagai kelainan non-degeneratif dan non-kongenital yang terjadi pada otak, sebagai akibat adanya kekuatan
mekanik dari luar, yang berisiko menyebabkan gangguan temporer atau permanen dalam hal fungsi kognitif,
fisik, dan fungsi psikososial, dapat disertai dengan penurunan atau hilangnya kesadaran.1
Epidural hematom atau dalam beberapa literatur disebut juga sebagai ekstradural hematom, adalah
keadaan dimana terjadi penumpukan darah diantara duramater dan tabula interna tulang tengkorak.
Diperkirakan 2% dari seluruh kejadian cedera kepala. Sumber perdarahan yang paling lazim adalah dari
cabang arteri meningea media, akibat fraktur yang terjadi di bagian temporal tengkorak. Namun kadangkala
dapat pula dari arteri atau vena.Sedangkan subdural hematom (SDH) adalah perdarahan yang terjadi diantara
lapisan duramater dan arakhnoid. Perdarahan jenis ini relatif lebih banyak terjadi daripada epidural hematom,
dan memiliki angka mortalitas yang tinggi antara 60-70% untuk yang sifatnya akut. Perdarahan yang terjadi
dapat berasal dari pecahnya bridging vein (vena jembatan). Subdural hematom akut merupakan SDH dengan
gejala klinis yang timbul segera atau beberapa jam, bahkan sampai 3 hari setelah terjadinya trauma.
Sedangkan pada subdural hematom kronik gejala klinis muncul baru setelah lebih dari 10 hari, bahkan sampai
beberapa bulan setelah terjadinya cedera kepala.2
Low Level Neurological States (LLNSs) tidak jarang terjadi sebagai hasil akhir pada pasien dengan cedera
kepala. Namun, belum ada angka pasti mengenai insidens dan prevalensi LLNSs. Di Amerika Serikat, jumlah
individu yang mengalami Low Level Neurological States (LLNSs) setelah cedera kepala setiap tahunnya
sekitar 56 dan 170 per sejuta.3
ILUSTRASI KASUS
Tn. A, 27 tahun, seorang petugas keamanan datang dengan keluhan utama penurunan kesadaran sejak 2
bulan SMRS (melalui alloanamnesis).
Dua bulan SMRS pasien terjatuh dari ketinggian 5 meter (lantai 55 ke lantai 53 bangunan perusahaan).
Mekanisme kejadian tidak diketahui. Muntah (+) 1 kali, volume tidak jelas. Perdarahan THT (-), kejang (-).
Pasien langsung tak sadarkan diri dan segera dibawa ke RS setempat. Hasil CT-Scan kepala onset 24 jam
pertama: tampak gambaran subdural hematom di temporoparietal dextra. Volume perdarahan 23cc, terlihat
herniasi subfalcine 2 mm ke kanan. Pasien dilakukan operasi kraniotomi karena SDH pada hari yang sama.
Setelah operasi kesadaran pasien sama dengan keadaan sebelum operasi. CT-Scan kepala hari ke-4
perawatan: tampak gambaran EDH di daerah temporoparietal dekstra dengan volume 40cc, dan terdapat
subgaleal hematom di daerah temporoparietal dekstra. Tampak defek pada os temporoparietal dekstra (post
op).
DISKUSI
Pada ilustrasi kasus di atas telah digambarkan kasus penurunan kesadaran pada pasien pasca
kraniotomi ec. SDH dan EDH.
Masalah pertama pada pasien ini adalah penyebab terjadinya EDH pada hari keempat pasca evakuasi
SDH. Sejauh ini tidak diketahui secara pasti penyebab terjadinya EDH pada sisi kontralateral lesi awal (SDH)
pada pasien ini. Muncul beberapa kemungkinan penyebab. Kemungkinan pertama, bahwa mungkin sudah
terdapat EDH sejak onset hari pertama yang baru semakin lama semakin bertambah volumenya. Namun, pada
CT-Scan kepala pada 24 jam pertama tidak tampak gambaran EDH meskipun tipis pada sisi tersebut. Selain
itu, sejauh ini jarang didapatkan kasus terjadinya late EDH yang terjadi pada onset hari ke- empat.
Berdasarkan literatur, kemungkinan perdarahan intrakranial yang baru muncul pada hari keempat pada
pasien dengan riwayat cedera kepala adalah ICH atau SDH subakut. SDH kronis muncul setelah lebih dari 10
hari sampai beberapa bulan setelah terjadinya cedera kepala. Namun pada CT-Scan kepala pasien ini jelas
yang terlihat adalah EDH dengan gambaran bikonvek. Alasan-alasan ini menyingkirkan kemungkinan
pertama. Kemungkinan kedua adalah adanya gangguan hemostasis yang dapat diketahui pasti dari hasil
pemeriksaan hemostasis. Dari anamnesa tidak didapatkan riwayat penggunaan obat-obatan yang dapat
mempengaruhi hemostasis dan tidak didapatkan riwayat perdarahan yang menandakan adanya gangguan
hemostasis pada pasien ini. Pada pemeriksaan hemostasis, terjadi peningkatan kadar fibrinogen dan D-Dimer,
namun hal ini relatif normal pada kasus perdarahan. Sehingga kemungkinan penyebab dikarenakan gangguan
hemostasis dapat disingkirkan. Selain itu, kecil kemungkinan pasien dengan gangguan hemostasis dapat
terjadi EDH yang disertai dengan subgaleal hematom pada sisi ipsilateral tanpa adanya riwayat cedera kepala
pada sisi yang sama. Sehingga kemungkinan kedua juga disingkirkan.
Pada pemeriksaan neurologis, didapatkan kesan paresis N.VII dekstra dan kesan hemiparesis dupleks
dengan spastisitas pada keempat ekstremitas. Refleks fisiologis dalam batas normal dan tidak didapatkan
refleks patologis. Hemiparesis dupleks yang terjadi pada pasien ini disebabkan oleh SDH dan EDH.
Sedangkan paresis N. VII dekstra disebabkan oleh karena SDH, sesuai dengan topis perdarahan.
Status Vegetatif
Keadaan status vegetatif yang merupakan salah satu keadaan Low Level Neurological States (LLNSs).
Pasien dalam kasus ini, mengalami penurunan kesadaran yang kemudian dalam perawatan di RSCM
dinilai sebagai status vegetatif. Di Eropa, terminologi coma vigile yang berarti sama dengan keadaan status
Pasien ini, ditagakkan diagnosa sebagai status vegetatif yang merupakan salah satu keadaan Low Level
Neurological States (LLNSs) oleh karena memenuhi kriteria status vegetatif menurut American Neurological
Association Committee on Ethical Affairs. Meskipun kriteria verbal (bicara/komunikasi) tidak dapat sepenuhnya
diperiksa (pasien dengan trakeostomi), tetapi tidak menggugurkan diagnosis status vegetatifnya.
KESIMPULAN
Pada kasus ini kemungkinan terjadinya late EDH belum dapat disingkirkan. Pasien berada pada keadaan
status vegetatif yang merupakan salah satu keadaan Low Level Neurological States (LLNSs), karena memenuhi
kriteria status vegetatif menurut American Neurological Association Committee on Ethical Affairs. Pasien dengan
LLNSs secara umum menjalani tata laksana jangka panjang harus intensif, holistik, dan mencakup mulitidisiplin
program rehabilitasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Andradi S. Penatalaksanaan Konservatif Cedera Kepala. Dalam Wahjoepramono EJ, Siahaan YM, editor.
Kegawatdaruratan Saraf dan Bedah Saraf. Tangerang: Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan, Karawaci;
2004; 13-27.
2. Iskandar J. Cedera Kepala: Aspek Penting dalam Pengelolaan Penderita Cedera Kepala. Jakarta: Bhuana Ilmu
Populer-Kelompok Gramedia; 2004.
3. Giacino et al. The Minimally Conscious State: Definition and Diagnostic Criteria.
http://www.neurology.org/cgi/content/full/58/3/349/TBL1
4. Zasler N. Low Level Neurological States Following Traumatic Brain Injury. Washington: International Brain Injury
Association; 2006.
5. Leon-Carrion J, Rosario DM, Morales D, Roldan JMD. Low-level Responsive States. In: Leon-carrion J, von Wild
KRH, Zitnay GA, editor. Brain Injury Treatment Theories and Practices. New York: Taylor and Francis;2006.
6. Plum F. Posner JB. The Diagnosis of Stupor and Coma. Philadelphia: F. A. Davis; 2006
7. Giacino at all . Brain Function After Severe Brain Damage. 2004. Lancet Neurology 3: 537-46
NYERI FIBROMIALGIA :
NYERI PATOLOGI ATAU NYERI IDIOPATIK?
Jan S. Purba*
ABSTRACT
Fibromyalgia (FM) is a chronic, multidimensional, idiopathic pain syndrome defined by
widespread musculoskeletal pain. The FM refers to a collection of symptoms with no clear
pathologic cause, but the symptoms together constitute a clearly recognizable and distinct
pathologic entity.
Clinically, fibromyalgia involves muscle, ligament, and tendon (connective tissue) pain and
stiffness, which does not affect the joints. Most fibromyalgia sufferers experience chronic and
widespread pain that can get worse when they are exposed to certain aggravating factors. Many
recent studies have emphasized the role of central nervous system pain processing abnormalities
in FM, including central sensitization and inadequate pain inhibition.
The diagnosis is made through the examiners clinical observations. The differential
diagnosis must include other somatic syndromes as well as disease entities, including
hypothyroidism, diabetes mellitus, electrolyte imbalance, multiple sclerosis, and cancer. Because
fibromyalgia is chronic and may affect all areas of an individuals functioning, the physician
needs to also evaluate the social support systems of patients with fibromyalgia.
The approach to treatment should integrate patient education as well as nonpharmacologic
and pharmacologic modalities. Unfortunately, treating fibromyalgia pain isnt always easy.
Key words : fibromyalgia pathological pain or idiopathic pain
ABSTRAK
Fibromialgia (FM) adalah nyeri muskuloskletal yang kronik, multidimensi dan idiopatik.
Sebutan nyeri fibromialgia merupakan kumpulan simtoma yang penyebabnya tidak jelas
walaupun dengan keluhan yang nyata seperti nyeri otot, nyeri ligamentum dan tendon tanpa
keluhan persendian.
Beberapa studi membuktikan adanya keterlibatan sistem saraf sentral dalam patologi FM
dalam bentuk sensitasi sentral. Pada umumnya keluhan nyeri FM berlangsung kronik dan bisa
diperberat oleh keberadaan faktor pemicu seperti stres psikologik maupun stres biologik.
Untuk menentukan diagnosa dibutuhkan pemeriksaan dan observasi secara klinis. Diagnosa
diferensial antara lain hipotiroid, diabetes melitus, gangguan keseimbangan elektrolit, multiple
sclerosis, dan tumor. Fibromialgia adalah penyakit kronik oleh sebab itu penyakit ini akan
berdampak pada permasalahan biopsikososial.
Strategi terapi adalah dengan pendekatan edukasi disamping terapi farmakologik dan non-
farmakologik walaupun hasilnya tidak selalu memuaskan.
Kata kunci : fibromialgia nyeri patologik atau nyeri idiopatik
TANDA KLINIK
Penderita FM secara umum mengalami keluhan nyeri difus yang dalam dan tersebar
luas pada keseluruhan tubuh, mulai dari kepala sampai ke ujung jari kaki. Nyeri pada
awalnya bisa tiba-tiba muncul dipicu oleh beban berupa fisik ataupun psikologik.
Penderita FM juga sangat peka terhadap beberapa pemicu tertentu seperti panas atau
dingin, cahaya, suara yang nyaring dan jenis bau-bauan7.Kondisi ini sering diiringi oleh
gangguan tidur dengan kesulitan memulai tidur, sering terbangun serta kelelahan dan
kekauan pada saat bangun pagi 10.
Keluhan lain yang sering ditemukan seperti fenomen Raynaud terutama di bagian
distal ekstremitas, kesulitan untuk berkemih, depresi, ansietas, nyeri kepala terutam tipe
tegang, parestesia nondermatomal dan disfungsi persendian temporomandibular11.
Sekitar 80% nyeri akan bisa menghilang dalam 2 minggu pertama akan tetapi bisa
saja berlanjut menjadi kronik.
PATOFISIOLOGI
Penderita FM sangat sensitif terhadap tekanan pada titik nyeri begitu juga rabaan,
panas, dingin, bahan kimiawi, cahaya, suara bising dan baubauan tertentu. Penyebab
reaksi yang berlebihan ini tidak diketahui dengan pasti kemungkinan akibat nilai ambang
sensorik yang rendah di sentral yakni SSP 12.
Kelainan di sentral selain pada nilai ambang sensorik juga ditemukan sensivitas yang
meningkat dari aksis hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) terhadap stresor,
peningkatan sekresi SP 13, serta peningkatan eksitatorik glutamat dan neutrofin di CSF 14,
15
. Beberapa peneliti membuktikan bahwa mekanisme yang terjadi di sentral berperan
dalam terjadinya nyeri berkaitan dengan penurunan neurotransmiter seperti serotonin (5-
HT), atau juga insulin-like growth factor (IGF) N-methyl-d-aspartate (NMDA) beserta
reseptornya dan norepinephrine 8, 16,17,18. Penurunan 5-HT ini diduga berkaitan dengan
terjadinya ansietas dan depresi, migren dan gangguan gastrointestinal yang sering dialami
penderita FM.
DIAGNOSIS
Fibromialgia bukanlah diagnosis. Diagnosis didasari oleh anamnesis dan
pemeriksaan fisik dengan menggunakan kriteria yang dibuat oleh American College of
Rheumatology (ACR) 29,30. Dengan menggunakan kriteria ini akan bisa mencapai
keakuratan sebesar 85% untuk membedakan antara FM dengan penderita kronik
muskulosketal lainnya 31.
Pemeriksaan laboratorium hanya untuk memastikan penyakit lain.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam mendiagnosa FM adalah faktor komorbiditas
seperti gangguan tidur, ansietas dan depresi, nyeri kepala tipe tegang yang bisa mencapai
50% dari jumlah penderita 9.
Penyakit lain yang bisa berasosiasi dengan FM antara lain IBS, dismenorrhea,
restless legs syndrome dan fenomen Raynaud.
Selain itu pertimbangan terhadap faktor pemicu seperti stres emosional, akibat
pembedahan atau trauma dapat digunakan untuk membantu pendekatan ke arah
penemuan diagnosis.
PENANGGULANGAN
Pada prinsipnya strategi penanggulangan FM terdiri dari a) reduksi input nosiseptid
dari perifer dalam hal ini dari otot, b) pencegahan sensitisasi sentral dan c) terapi
gangguan psikologis seperti depresi dan insomnia.
Oleh karena etiologi dari FM sampai sekarang ini belum diketahui dengan pasti
maka strategi penanggulangan yang dilakukan adalah dengan terapi opsional berdasarkan
keluhan 32,33.
Terapi opsional dengan terapi farmakologik harus didukung oleh terapi non-farmaka
seperti fisioterapi, cognitive-behavior therapy (CBT) 9, 31,34,35,36.
Terapi simptomatik untuk menanggulangi gangguan tidur dan nyeri dengan
menggunakan obat psikofarmaka seperti zolpidem 37, dan analgesik tenoxicam,
bromazepan 1.
Terapi trisiklik dan trisiklik analog juga merupakan pilihan utama hanya dengn dosis
rendah ternyata efektif untuk menurunkan rasa nyeri, kelelahan yang berlebihan serta
gangguan tidur 9. Hal ini kemungkinan melalui efek secara langsung terhadap
noradrenalin dan serotonin 8,31. Penggunaan selective serotonin and norepinephrine
reuptake inhibitors (SSRIs, SNRIs,) dan antikonvulsan seperti pregabalin merupakan
terapi pilihan utama 8,9,31.
Terapi non-farmakologik berupa fisioterapi juga menurunkan beban nyeri, perbaikan
gangguan kemurungan serta perbaikan kualitas hidup 8.
Pemberian otot relaksan ternyata juga efektif untuk perbaikan gangguan tidur serta
menurunkan rasa nyeri 9,33. Terapi dengan latihan Biofeedback dan terapi relaksasi
ternyata bisa menurunkan jumlah dari titik nyeri dalam dan meningkatkan nilai ambang
nyeri dari penderita itu sendiri 38. Selain itu terapi akupunktur juga berguna dalam proses
penyembuhan 31,39,40.
KESIMPULAN
Fibromialgia (FM) adalah nyeri muskuloskletal kronik, multidimensi dan idiopatik
dan bukan termasuk kelompok penyakit artritis karena tidak ditemukan proses inflamasi.
FM merupakan kumpulan simtoma dengan keluhan berupa nyeri otot, nyeri
ligamentum dan tendon yang penyebabnya tidak jelas.
Untuk menentukan diagnosa dibutuhkan pemeriksaan dan observasi secara klinis.
Beberapa penelitian menemukan adanya keterlibatan SSP. Diagnosa diferensial antara
lain hipotiroid, diabetes melitus, gangguan keseimbangan elektrolit, multiple sclerosis,
dan tumor.
Fibromialgia adalah penyakit kronik sehingga penyakit ini akan berdampak pada
permasalahan biopsikososial.
Oleh karena patologi FM sampai sekarang ini belum jelas diketahui maka strategi
penanggulangan didasari oleh terapi simptomatik baik melalui terapi farmaka maupun
non farmaka. Disamping itu perlu dengan pendekatan edukasi.
ABSTRACT
Background: EEG is an essential investigative tool for use in people with epilepsy, and up until
now still remains central in the diagnosis and classification of epilepsies. The yield of interictal
epileptiform discharges (IEDs) can be increased by many activation methods, among them is sleep
deprivation.
Objective: To determine the important effects of different EEG protocols on the yield of interictal
epileptiform discharges in people with possible new epilepsy.
Methods: A randomized controlled study was conducted. The population target was all possible
new epilepsy patients in the outpatient clinic of dr. Cipto Mangunkusumo Hospital in Jakarta. 44
patients underwent either a non- sleep deprived (NSD) EEG or a sleep deprived (SD) one.
Results: Out of 44 possible new epilepsy patients who demonstrated interictal epileptiform
discharges SD EEG provoked abnormalities in 77,3% while NSD EEG produced 50% . Within the
two groups, the most clinical characteristics are with partial seizure type with onset of seizure < 25
years of age, and seizure frequency more than once a month. SD EEG have the yield of interictal
epileptiform discharges 3.67 (95% CI = 0.92-14.66) with p = 0.066 and onset of seizure < 25 years of
age has RR = 4.42 (95% CI = 1.07-16.86) with p = 0.040.
Conclusion: Sleep deprivation increases the yield of interictal epileptiform discharges. The age
of onset < 25 years also increases the yield of IEDs with or without SD EEG.
Key word: Possible epilepsy - EEG - Sleep deprivation
_____________________________________________________________________
ABSTRAK
Latar Belakang : EEG merupakan alat penunjang diagnostik yang utama pada epilepsi. Peranan
EEG dalam membantu menegakkan diagnosis dan menentukan klasifikasi epilepsi sangatlah penting.
Terdapat banyak metode aktivasi untuk meningkatkan kemungkinan munculnya aktivitas epileptiform
interiktal pada perekaman EEG, salah satunya adalah dengan deprivasi tidur.
Tujuan : Mengetahui peranan deprivasi tidur terhadap kemungkinan timbulnya aktivitas
epileptiform pada pasien tersangka epilepsi.
Metode : Uji klinis acak. Populasi adalah pasien tersangka epilepsi yang berobat jalan di
Poliklinik Epilepsi dan Sub Bagian EEG RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Dilakukan salah
satu perekaman EEG tanpa deprivasi tidur atau EEG dengan deprivasi tidur pada 44 pasien tersangka
epilepsi.
Hasil : Persentase munculnya aktivitas epileptiform pada pasien tersangka epilepsi dengan
metode perekaman EEG tanpa deprivasi tidur adalah 50% dan sebesar 77.3% positif pada perekaman
EEG dengan deprivasi tidur. Pada kedua kelompok (EEG tanpa dan dengan deprivasi tidur) dengan
aktivitas epileptiform positif didapatkan terbanyak adalah jenis bangkitan parsial berkembang menjadi
bangkitan umum sekunder (31.8% dan 68.2%), usia awal bangkitan < 25 tahun (27.3% dan 54.5%)
dan frekuensi bangkitan lebih dari satu kali dalam sebulan (40.9% dan 59.1%). EEG dengan deprivasi
tidur mempunyai probabiltas mencetuskan timbulnya aktivitas epileptiform sebesar 3.67 (95% CI =
0.92-14.66) dengan nilai p = 0.066 dan pada usia awal bangkitan < 25 tahun didapatkan RR = 4.42
(95% CI = 1.07-16.86) dengan nilai p = 0.040.
Kesimpulan : Didapatkan EEG dengan deprivasi tidur mempunyai kemungkinan mencetuskan
timbulnya aktivitas epileptiform lebih tinggi dibandingkan dengan EEG tanpa deprivasi tidur dan usia
awal bangkitan < 25 tahun mempunyai kemungkinan cukup tinggi tanpa ataupun dengan deprivasi
tidur untuk mencetuskan timbulnya aktivitas epileptiform.
Kata Kunci : Tersangka epilepsi - EEG - deprivasi tidur
________________________________________________________________________
* Peserta Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf, FKUI/RSCM, Jakarta
** Staf Departemen Ilmu Penyakit Saraf FKUI/RSCM, Jakarta
PENDAHULUAN
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan berulang
sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermitten, yang disebabkan oleh
lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara paroksismal, dan
disebabkan oleh berbagai etiologi.1 Menurut data hasil survei oleh WHO, epilepsi mengenai
50 juta orang di seluruh dunia, epilepsi merupakan 1% beban penyakit dunia. Angka kejadian
epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang.
Peranan EEG dalam membantu menegakkan diagnosis dan menentukan klasifikasi
epilepsi sangatlah penting. EEG merupakan alat penunjang diagnostik yang utama pada
epilepsi. Pemeriksaan ini cukup nyaman, dan murah untuk menggambarkan manifestasi
eksitabilitas abnormal, mendadak, dan berlebih di korteks yang mendasari terjadinya
epilepsi.2,3,4,5,6,7,8.
Banyak metode aktivasi yang dapat meningkatkan kemungkinan munculnya aktivitas
epileptiform interiktal pada perekaman EEG, dimana salah satunya adalah dengan deprivasi
tidur.2
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan deprivasi tidur terhadap
kemungkinan timbulnya aktivitas epileptiform pada pasien tersangka epilepsi. Serta
mengetahui sebaran faktor-faktor yang dapat mempengaruhi (usia awal bangkitan, jenis
bangkitan, frekuensi bangkitan, interval waktu bangkitan terakhir) pada pasien dengan
aktivitas epileptiform pada kelompok yang dilakukan perekaman EEG tanpa deprivasi tidur
dan EEG dengan deprivasi tidur.
METODE
Penelitian ini dilakukan secara desain uji klinis acak (randomized controlled trial).
Data yang diperoleh dikumpulkan secara acak dari seluruh pasien tersangka epilepsi yang
memenuhi kriteria inklusi yang berobat di Poliklinik Epilepsi dan Sub Bagian EEG
Departemen Neurologi RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo setelah disetujui oleh komite etik
sampai jumlah mencukupi kebutuhan sampel.
Kriteria inklusi: (1). Pasien tersangka epilepsi yang berumur 15 tahun. (2). Bersedia
mengikuti penelitian. Kriteria eksklusi: (1). Terdapat stroke. (2). Terdapat cedera kepala. (3).
Terdapat infeksi intrakranial. (4). Terdapat lesi desak ruang intrakranial.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis Regresi
Logistik untuk mengetahui peranan deprivasi tidur terhadap kemungkinan timbulnya aktivitas
epileptiform. Untuk menguji apakah hipotesis yang diajukan diterima atau ditolak digunakan
uji Chi Square dan jika tidak memenuhi syarat uji Chi Square digunakan uji Fisher. Dengan
menggunakan interval kepercayaan (IK) 95% atau p = 0,05. Jika dalam pengujian p < 0,05,
berarti H0 ditolak, sedangkan jika p > 0,05 maka H0 diterima. Sedangkan kekuatan hubungan
dilihat dari nilai Risk Ratio (RR). Jika terdapat lebih dari satu faktor resiko yang
menunjukkan hubungan bermakna, maka diteruskan dengan analisa logistik regresi.
Pengujian-pengujian di atas dilakukan dengan menggunakan software pengolahan data
Statistical Package for Social Sciences (SPSS).
HASIL
Telah dilakukan penelitian terhadap pasien tersangka epilepsi yang berobat jalan di
Poliklinik Epilepsi dan Sub Bagian EEG Departemen Neurologi RSUPN dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta, didapatkan 44 sampel yang memenuhi kriteria inklusi untuk studi
deskriptif dan analisis.
Aktivitas epileptiform
Positif Negatif
Kelompok penelitian Jumlah
Persentase Persentase
Jumlah Jumlah
(%) (%)
EEG dengan deprivasi tidur 17 77.3 5 22.7 22
EEG tanpa deprivasi tidur 11 50 11 50 22
Total 28 16 44
Ket: p = 0.060; RR = 2.20 ( 0.92 5.29)
Pada tabel 1. terlihat pada kelompok yang dilakukan EEG dengan deprivasi tidur,
aktivitas epileptiform positif pada 17 orang sampel (77.3%) sementara pada kelompok tanpa
deprivasi tidur jumlah aktivitas epileptiform positif sama besar dengan yang negatif. Tabel
tersebut juga memperlihatkan EEG dengan deprivasi tidur mempunyai resiko mencetuskan
timbulnya aktivitas epileptiform positif sebesar 2.20 kali lebih tinggi dibanding EEG tanpa
deprivasi tidur.
Tabel sebaran subyek penelitian menurut karakteristik medik dan kelompok pada
pasien dengan aktivitas epileptiform positif (tabel 2) menunjukkan jenis bangkitan terbanyak
yang didapatkan pada kedua kelompok adalah bangkitan parsial berkembang menjadi
bangkitan umum sekunder. Pada kelompok EEG tanpa deprivasi tidur sebanyak 7 orang
sampel (31.8 %) dan pada kelompok EEG dengan deprivasi tidur sebanyak 15 orang sampel
(68.2 %). Pada variabel usia awal bangkitan didapatkan jumlah sampel yang lebih tinggi pada
kategori < 25 tahun, sebanyak 6 orang sampel (27.3%) pada EEG tanpa deprivasi tidur dan
12 orang sampel (54.5%) pada EEG dengan deprivasi tidur. Dengan frekuensi bangkitan pada
kedua kelompok didapatkan lebih banyak pada kategori > 1 kali/bulan dan interval waktu
perekaman pada kedua kelompok semuanya dilakukan setelah 24 jam setelah bangkitan
terakhir.
Berdasarkan hasil perhitungan di atas, perbandingan antara kelompok EEG tanpa
deprivasi tidur dengan EEG dengan deprivasi tidur ditinjau dari variabel (jenis bangkitan,
usia awal bangkitan, frekuensi bangkitan, dan interval waktu) didapatkan nilai p > 0.05
sehingga ke empat variabel tersebut dapat dilakukan uji analitik.
Pada tabel 3. terlihat bahwa variabel jenis bangkitan dan frekuensi bangkitan tidak
berhubungan bermakna dengan aktivitas epileptiform (p > 0.05). Sedangkan variabel usia
awal bangkitan berhubungan bermakna dengan aktivitas epileptiform dimana nilai p = 0.035
dengan RR = 2.41 (95% CI = 1.00-5.79). Sementara variabel interval waktu tidak dapat
disimpulkan sebagai faktor yang tidak bermakna walaupun memiliki nilai p = 0.364 karena
jumlah sampel 24 jam hanya 1 orang.
Berdasarkan hasil penghitungan di atas, didapatkan variabel deprivasi tidur dan usia
awal bangkitan memiliki nilai p > 0.25 sehingga kemudian dilakukan analisa regresi logistik.
95% CI
Variabel penentu p RR
Low High
Deprivasi tidur
0.066 3.67 0.92 14.66
Usia awal bangkitan
0.040 4.42 1.07 16.86
< 25 tahun
Dari hasil analisa regresi logistik didapatkan pada deprivasi tidur nilai p = 0.066
dengan RR = 3.67 (95% CI = 0.92-14.66) dan pada usia awal bangkitan < 25 tahun nilai p =
0.040 dengan RR = 4.42 (95% CI = 1.07-16.86)
PEMBAHASAN
Penelitian ini menunjukkan rentang usia pasien tersangka epilepsi meliputi antara 15
tahun sampai 70 tahun. Pada kelompok EEG tanpa deprivasi tidur didapatkan jumlah sampel
terbanyak pada kelompok usia < 25 tahun (45.5%) dengan rerata usia 34.2 18.9 tahun,
sementara pada kelompok EEG dengan deprivasi tidur didapatkan jumlah sampel terbanyak
pada kelompok usia 25 55 tahun (63.6%) dengan rerata usia 29.7 11.3 tahun. Nilai rerata
usia awal bangkitan pada kelompok EEG tanpa deprivasi tidur adalah 31.9 19.3 tahun dan
DAFTAR PUSTAKA
1. Harsono, Kustiowati E, Gunadharma S. Pedoman tatalaksana epilepsi. Edisi ketiga. Kelompok studi
epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). 2008
2. Engel J, Pedley TA. Epilepsy A Comprehensive textbook 2nd edition, volume one. USA,Lippincott
Williams and Wilkins, 2008: 809-812, 1093-1094
3. Shih T. Epilepsy and seizures. in: Current diagnosis and treatment. New York. McGraw Hill, 2008: 47-63
4. Browne Rt, Holmes GL. Handbook of Epilepsy. 2nd edition Burlington, Elsevier, 2003.1-17, 125-126
5. Leach JP, Stephen LJ, Salveta C et al. Which EEG for epilepsy? The relative usefulness of different EEG
protocols in patients with possible epilepsy. J.neurol.neurosurg.psychiatry. 2005;084871
6. Manford M. Practical guide to epilepsy. Burlington, Elsevier, 2003:113-125
7. Gumnit RJ. The epilepsy handbook, the practical management of seizures. NY 2nd edition, Raven press,
1995: 1-11
8. A Practical guide to childhood epilepties part 2. Oxford, medicinae, 2006: 79-85
9. Duncan JS. Antiepileptic drugs and the encephalogram. Epilepsia 1987;28(3):259-66
10. Miller JW, Turner GM, Gray BC. Anticonvulsant effect of the experimental induction of hippocampal theta
activity. Epilepsy research 1994; 18: 195-204
11. Cutting S, Lauchmeier, Barr W et al. Adult-onset idiopathic generalized epilepsy: clinical and behavioral
features. Epilepsia 2001; 42 (11): 1395-1398
12. Carpay JA, Weerd WD, Schimsheimer RJ et al. The diagnostic yield of a second EEG after partial sleep
deprivation: a prospective study in children with newly diagnosed seizures. Epilepsia 1997; 38 (5): 595-599
13. Badawy RAB, Curatolo JM, Newton M et al. sleep deprivation increases cortical excitability in epilepsy:
syndrome-specific effects. Neurology 2006; 67: 1018-1022
14. Olafsson E, Ludvigsson P, Gudmundsson G, et al. incidence of unprovoked seizures and epilepsy in iceland
and assesment of the epilepsy syndrome classification: a prospective study. Lancet Neurol. 2005;4(10):627-
634.
15. Hauser WA, Annegers JF, Kurland LT. Incidence of epilepsy and unprovoked seizures in Rochester,
Minnesota: 1935-1984. Epilepsia.1993;34(3):453-468.
16. Jallon P, Gourmaz M, Haenggeli C et al. Incidence of first epileptic seizures in the canton of Geneva,
Switzerland. Epilepsia. 1997;38(5):547-552.
17. Lavados J, Germain L, Morales A, et al. A descriptive study of epilepsy in the district of El Salvador, chile,
1984-1988. Acta Neurol Scand. 1992;85(4):249-256.
18. Ajmone-Marsan C, Zivin LS. Factors related to the occurence of typical paroxysmal abnormalities in the
EEG records of epileptic patients. Epilepsia.1970;11:361-381.
Pendahuluan
Dengan meningkatnya usia harapan hidup manusia di dunia terutama negara Indonesia,
akan menambah jumlah penduduk dengan usia di atas 60 tahun atau yang lebih sering kita kenal
sebagai warga senior (lanjut usia). Indonesia pada tahun 2010 diperkirakan mengalami kenaikan
jumlah warga senior menjadi 17,2 juta orang yang akan semakin meningkat hingga pada tahun
2020 akan terdapat 29 juta orang warga senior (BPS Profil Kesehatan Indonesia, DEPKES RI).
Dan tidak sedikit dari jumlah tersebut akan mengalami hendaya dalam kehidupan sehari-harinya,
dari mulai aktifitas pribadi hingga aktifitas yang berhubungan dengan masyarakat luas.
Keberadaan warga senior ini di satu sisi menunjukkan adanya perbaikan sistem kesehatan
di Indonesia. Namun begitu, keadaan tersebut juga dapat mempengaruhi pola penyakit di negara
kita yang bergeser ke pola penyakit degeneratif atau penurunan fungsi berbagai organ seperti
penglihatan, pendengaran, pencernaan, sistem perkemihan, sistim kardiovaskular, dan juga
kemunduran fungsi kognitif otak. Kemunduran fungsi kognitif otak dapat menimbulkan kelainan
berupa kepikunan. Hingga saat ini, masalah kepikunan menurut kebanyakan pandangan
masyarakat kita masih dianggap sebagai hal yang biasa saja dialami oleh warga senior.
Pandangan inilah yang harus kita luruskan, karena kepikunan (demensia) juga dapat berarti
terdapat suatu proses penyakit pada otak manusia yang memiliki faktor risiko yang dapat
dicegah.
Pada akhir tahun ini, dunia dikejutkan dengan adanya peningkatan jumlah penderita
demensia diseluruh dunia menjadi sekitar 24 juta orang. Jumlah tersebut terus meningkat ( kasus
demensia baru per tujuh detik ), jadi kita akan menghadapi sekitar 80 juta lebih orang dengan
demensia pada tahun 2040 di dunia.(The Lancet) Dan pada studi tersebut menyatakan bahwa
kebanyakan orang dengan demensia banyak yang hidup di Negara-negara yang sedang
berkembang : sekitar 60 % pada tahun 2001 dan meningkat hingga 71 % pada tahun 2040. Dan
diperkirakan akan terdapat peningkatan rata-rata menjadi tiga hingga empat kali lebih tinggi pada
negara berkembang dibanding negara yang telah maju.
Oleh karenanya deteksi dini gangguan fungsi organ khususnya fungsi kognitif otak
sangatlah penting karena sifatnya yang degeneratif sehingga terjadi kemunduran yang semakin
berat seiring bertambahnya umur.
Metode
Kami melakukan suatu penelitian deskriptif pada sampel para usia lanjut (usia diatas 60
tahun) dibeberapa wilayah DKI Jakarta. Subyek yang kami ambil adalah seluruh warga usia
lanjut (usia > 60 tahun) dan pengambilan sampel secara consecutive sampling.
Penelitian ini kami harapkan sebagai suatu studi pendahuluan yang dapat dilanjutkan ke
penelitian selanjutnya yang lebih luas terutama multisenter dan tersebar ke seluruh Indonesia.
Pola gangguan fungsi organ kami nilai menggunakan kuesioner yang kami buat dan
modifikasi sendiri. Berbagai pertanyaan yang kami buat bersifat subyektif. Untuk penilaian
fungsi kognitif kami menggunakan Mini Mental State Examination (MMSE) dengan mengambil
cut-off point lebih dari 24 sebagai nilai normal.
Telah kami kumpulkan sebanyak 56 subyek penelitian, berusia diatas 60 tahun. Jenis kelamin
perempuan (59% vs 41 %) mendominasi subyek kami, dan pada umumnya pasien adalah
pensiunan dan sudah tidak bekerja lagi ( 82 % ), serta tingkat pendidikan terbanyak yaitu
Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat (72 %), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan
sederajat (19%), Perguruan Tinggi (5%), dan Sekolah Dasar dan sederajat (4%). Status
perkawinan subyek yang masih memiliki pasangan ( 75 %) dan status janda/duda (hidup sendiri)
( 25% )
Berdasarkan kuesioner yang kami edarkan kami mendapat pola gangguan fungsi organ
pada usia lanjut berurutan dari yang terbanyak yaitu gangguan penglihatan (pandangan kabur)
pada 28 subyek (50 %), hipertensi pada 26 subyek (46,4 % ), riwayat vertigo pada 22 subyek
(39,3%), gangguan pendengaran pada 21 subyek (27,5%), dan neuropati (rasa baal) pada 17
subyek (30,4 %), untuk gangguan pada organ lainnya dapat dilihat pada grafik 3.
!"#"$%&'()*+*+,#)& '()(*+,,-#
!"# $"#
()#
&!"# ,-.)*()*+)$
!%/*-0/1
"&)/&&0.$
(n=56)
$!!"#
,!"#
+!"#
*!"#
)!"#
(!"#
'!"#
L375:#
&!"#
M5#
%!"#
$!"#
!"#
9#
#
/#
5#
3#
.#
52 #
#
?#
5/
5D
.B
GH
5/
/9
3:3
A/
59
85
=>
/K
8D
56
/5
BC
861
09
5;
.5
-3
/6
/#
234
E1
18
A8
8/
/#
1/
C1
36#
J5
-.
/.
/<
-.
@1
01
5:
36#
/7
F3
01
01
5:
/#
/I
01
-.
/#
/#
/I
01
/#
-.
-.
01
-.
Selain gangguan berbagai organ, juga kami evaluasi gangguan pada sistim saraf yaitu gangguan
sensoris dan gangguan fungsi kognitif. Untuk gangguan sensoris kami mengevaluasi timbulnya
gangguan nyeri yang banyak dikeluhkan oleh usia lanjut pada subyek penelitian yaitu sekitar 55
% subyek mengeluh adanya gangguan nyeri di berbagai lokasi. Gangguan nyeri terbanyak yaitu
di lokasi leher (18%) dan kepala (14%). Sedangkan untuk gangguan fungsi kognitif dikeluhkan
oleh sekitar 59 % subyek dengan kejadian terbanyak yaitu keluahan mudah lupa dalam berbagai
hal (54%).
Grafik
3.
Keluhan
Gangguan
Fungsi
Kognitif
Grafik
2.
Keluhan
Gangguan
Nyeri
(n=56)
(n=56)
!"#$$%"#&'()*+& !"#$$%"#&'($#)*+&
!"#$ ()*+,+$
"%#$
"'#$
!%#$ -).)/$ !"#$
01233+23$ &'()*$
!!#$ !#$ +',)$
!&#$ -'./0$
123,/4/3$
5637).$
(n=56)
$!!"#
,!"#
+!"#
*!"#
)!"#
(!"#
'!"#
E2F5:#
&!"#
%!"# G5#
$!"#
!"#
2#
2#
5#
9#
2#
@#
56
62 5
56
?1
56
15
/4
D5
9:;
B
3>
4
.26
A5
23
?6
85
#=
01
73
/#
6;
/#
-.
/#
99
/#
C2
<5
-.
-.
-.
/#
73
-.
/#
-.
Kesimpulan
Penelitian kami hanyalah suatu bentuk penelitian pendahuluan, yang kami harapkan
penelitian ini dapat dilanjutkan kembali dengan jumlah subyek yang lebih besar dan
menggunakan alat evaluasi yang lebih lengkap dan lebih sensitif untuk menilai gangguan fungsi
kognitif dan yang dapat mencerminkan prevalensi Nasional.
Telah kami dapatkan dari penelitian ini gangguan fungsi berbagai organ termasuk
didalamnya gangguan pada otak yaitu gangguan fungsi kognitif. Kecenderungan gangguan
fungsi kognitif pada usia lanjut tersebut perlu menjadi suatu perhatian khusus dalam
mendiagnosis dini akan kemungkinan penyebab dari gangguan tersebut serta adakan makna
korelatif dari penyakit multiorgan yang disandang bersamaan.
Daftar Pustaka
1.Sidiarto K, Sidiarto L, Samino, dkk. Konsensus Nasional: Pengenalan dan Penatalaksanaan
Demensia Alzheimer dan Demensia Lainnya. Asosiasi Alzheimer Indonesia. 2003
2.BPS Profil Kesehatan Indonesia, DEPKES RI
3.Wortmann M dan Lefevre Michael. New estimates of number of people with dementia
ABSTRAK
Trigeminal neuralgia adalah salah kondisi nyeri fasial yang paling mengganggu. Berbagai
penelitian membuktikan bahwa penyebab Neuralgia trigeminal terbanyak adalah konflik
neurovascular atau kompresi pembuluh darah pada nervus trigeminus yang menyebabkan
demielinisasi saraf dan gangguan hantaran saraf. Gejala klinis yang khas berupa nyeri
paroksismal di wajah dan respon yang baik terhadap pemberian obat tertentu dapat membantu kita
membedakan NT dengan tipe nyeri wajah yang lain. Penatalaksanaan farmakologi dengan
karbamazepin sebagai obat lini pertama merupaka lagkah pertama yang dilakukan. Tindakan
invasive minimal dan pembedahan adalah dua pilihan penatalaksanaan berikutnya bila terapi
farmakologi tidak menghasilkan perbaikan. Meskipun berbagai penelitian menunjukkan bahwa
prosedur tersebut memiliki keuntungan dan kerugian, namun tingkat kepuasan pasien terhadap
tindakan intervensi tetap tinggi. Dengan demikian, pemilihan obat dan keputusan tentang tindakan
intervensi yang dipilih harus berdasarkan kebutuhan individu setiap pasien.
Kata kunci: Trigeminal neuralgia, terapi farmakologi, tindakan invasive minimal, tindakan
pembedahan
ABSTRACT
Trigeminal neuralgia is one of the most painful condition in patient with facial pain problem.
Many evidence reveal that the likely etiology is neurovascular conflict or vascular compression of
the trigeminal nerve that leading to focal demyelination and aberrant neural discharge. Its
excruciating intensity , paroxysmal stabbing or electrical quality, facial location, phasic temporal
profile, and responsiveness to a specific drug can help us in distinguishing TN from other types of
facial pain. Pharmacological treatment with carbamazepin as the drug of choice is the first step of
trigeminal neuralgia treatment. Minimally invasive procedure and surgical approach are two options
when drugs admission do not make any improvements. Although
study
evoke
that
these
procedures
has
advantage
and
disadvantage,
nevertheless,
patients
satisfaction
by
using
interventional
procedure
is
still
high.
However,
the
choice
of
drug
and
decisions
regarding
interventional
or
surgery
treatment
must
be
individualized
to
the
needs
of
the
patient.
Keywords: trigeminal neuralgia, pharmacological treatment, minimally invasive, surgical
treatment
Specific activities provoke the pain in patient with TN. Patient report an attack of
neuralgia even just only by a lightly touched to the area which is called a trigger zone. The
simple activities that contact, mobilize, stretch and a even a slightly stimulate the trigger
zone, such as speaking, chewing, saving, brushing the teeth or a cool wind striking the face
can precipitate an attack.8
We should know that TN is one of many varieties of trigeminal nerve distribution
facial pain which differ in their etiopathology and treatment responsiveness. Burchiel has
divided TN into two subdivision : TN1, consisting of sharp, shooting, electrical shock-like,
episodic pain; and TN2, consisting of aching, throbbing, burning pain that is constant more
than 50% of the time. How ever, many patients will have the combination of TN1 and TN2
characteristic.. Normal Neurological examination and and subtle deficit of trigeminal
sensory can be found.8
Trigeminal neuralgia is sometimes caused by another illness. Symptomatic TN can be
associated with MS, postherpetic TN resulting from a facial outbreak of herpes zoster,
trigeminal neuropathic pain following unintentional trigeminal nerve injury (e.g., stroke or
dental procedures), and trigeminal differentiation pain following intentional denervating
procedures used to treat TN.11, 12