You are on page 1of 80

EDITORIAL

Edisi ini akan memuat 10 artikel terdiri dari tujuh artikel penelitian, satu
artikel tinjauan pustaka dan dua artikel laporan kasus.
Artikel-artikel yang dimuat ini, membahas berbagai macam aspek persoalan
neurologi.
Enam artikel penelitian yang dikirimkan oleh sejawat sejawat dari Jakarta,
berjudul Gambaran Biaya Perawatan Stroke di Ruang Perawatan, Bagian Ilmu
Penyakit Saraf, RSUPN Cipto Mangunkusumo, oleh Ferdila Mariam, Lyna
Soertidewi, Freddy Sitorus, Joedo Prihartono ; Lama Hari Rawat Pasien Stroke
di RSUPN Cipto Mangunkusumo dan Faktor Faktor Yang Mempengaruhi, oleh
Ranette Roza, Lyna Soertidewi, Freddy Sitorus, Joedo Prihartono; Hubungan
Hendaya Kognitif Non Demensia dengan Kendali Glikemik pada Penyandang
Diabetes melitus Tipe 2, oleh M. Kurniawan, Adre Mayza, Salim Harris,
Budiman; Gangguan Otonom pada Pekerja Terpajan Timbal Kronik
Berdasarkan Pemeriksaan SYMPATHETIC SKIN RESPONSE dan Faktor Faktor
Yang Mempengaruhi, oleh Ekawati Dani Yulianti, Fitri Octaviana, Manfaluthy
Hakim, Joedo Prihartono; Peranan Depriviasi Tidur Terhadap Perekaman EEG
pada Pasien Tersangka
Epilepsi oleh Radya Nurhamida Thayeb, Nizar Yamanie, Fitri Octaviana, Joedo
Prihartono; Pola Gangguan Fungsi Organ dan Fungsi Kognitif pada Usia
Lanjut, oleh
Taufik Mesiano, Samino. Sedangkan satu artikel penelitian, dikirimkan oleh
sejawat dari Medan berjudul Identifikasi Nyeri Neuropatik dengan Memakai
Skala Nyeri Leeds Assesment Of Neuropathic Symptoms And Signs (LANSS)
pada Penderita Nyeri Punggung Bawah Kronik, oleh Moya Dewi Marlenny,
Yuneldi Anwar, Hasan Sjahrir.
Dua artikel laporan kasus dikirimkan oleh sejawat dari Jakarta, dengan judul :
Low Level Neurological States pada SDH dan EDH pasca kraniotomi,Tinjauan
Terminologi, Diagnosis, Terapi, Prognosis, oleh Dini Fajri Hastuti, Al Rasyid,
Mursyid Bustami, Lyna Soertidewi; dan Gelastic Seizures pada Hemiatropi
Serebri Kiri, oleh Donny H. Hamid, Ridwan, Gotot Sumantri, Melita.
Satu artikel tinjauan pustaka oleh Jan Purba, berjudul Nyeri Fibromyalgia :
Nyeri Patologi Atau Nyeri Idiopatik?
Berbagai artikel tersebut diatas, baik artikel penelitian, artikel laporan kasus
maupun artikel tinjauan pustaka sangat menarik untuk dibaca dan semoga dapat
menjadi bahan bacaan yang bermanfaat bagi sejawat semua.
Selamat membaca.

Redaksi Neurona
GAMBARAN BIAYA PERAWATAN STROKE DI RUANG PERAWATAN
BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF RSUP CIPTO MANGUNKUSUMO

Ferdila Mariam*, Lyna Soertidewi**,Freddy Sitorus**, Joedo Prihartono***

ABSTRACT
Background
Stroke is one of the most health problem that causes economic burden. Healthcare services is
establishing to get a better stroke management and expectedly can reduce burden of direct stroke
costs in hospital.
Purpose
To determine description of direct costs of stroke and factors that influence it (subtype of stroke,
NIHSS, onset, type of payment, type of ward, length of stay, concomitant illness, complication)
Methods
This study is a cross sectional study using primary and secondary data of ischemic and
hemorrhagic stroke.
Results
From 97 subjects of stroke patients we found mean total direct stroke cost in male was Rp.
8,591.000 and female was Rp. 7.944.000, cortical hemorrhagic stroke with any difficulties was
Rp. 14.000.000 and patients with venous thrombosis ischemic stroke without any diffilculties was
Rp. 5,698.000, severe NIHSS score was Rp 10.449.000 and ipatients with mild NIHSS score was
Rp. 7,076.000) , onset > 24 hours was Rp. 8,487.000 and patients with onset <24 hours was Rp.
8,339.000 , patient with 4 or more concomitant illness was Rp. 13,470.000 and patients with 1
concomitant illness was Rp. 6,134.000), patient with 3 complication was Rp.18,462.000 and
patients without any complications was Rp.7,136.000), multiple technical difficulties was Rp.
8,709.000 and patients without any tecnical difficulties was Rp. 8,315.000, first class stroke unit
was Rp. 14,503.000 and patients who were hospitalized in third class of ward was Rp5,308.000),
jamkesmas payment was Rp. 10,088.000 and patients with SKTM payment was Rp.9,232.000.
Mean of length of stay in stroke patients was 14.6 7.5 days. Mean of ward cost was Rp.
2.469.000 Rp. 2.2092.000, mean of medical fee was Rp. 1.411.000 Rp. 1.721.000, mean of
imaging and laboratory cost was 2.135.000 1.097.000, mean of farmacy was Rp. 2.376.000
Rp. 2.426.000. Mean of total stroke cost was Rp.8.391.000 Rp.6.337.000.
Conclusion
Mean total direct stroke costs was higher in male, elderly, cortical hemorrhagic stroke, severe
NIHSS, patient with 4 or more concomitant illness, multiple complication, first class stroke unit,
and Jamkesmas payment. The highest mean of stroke cost was ward component and it had a
strong correlation with length of stay. The mean of imaging, laboratory cost and medical fee
relatively had no any changes.
Keyword
Stroke, costs, influencing factors

ABSTRAK
Latar belakang
Stroke sampai saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang
menimbulkan beban sosial ekonomi. Sistem kesehatan telah banyak dilakukan baik di negara
maju maupun berkembang bertujuan untuk memperoleh manajemen tata laksana yang tepat dan
efisien yang akhirnya diharapkan akan dapat mereduksi biaya langsung perawatan stroke di
rumah sakit..
Tujuan

NEURONA Vol 27 No.3 April 2010 1


Mengetahui gambaran total biaya medis langsung perawatan stroke serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya (subtipe stroke, nilai NIHSS awal, onset, jenis cara pembayaran, jenis ruang
rawat , lama perawatan, concomitant illness atau penyakit penyerta, komplikasi)
Metode
Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan menggunakan data primer dan
sekunder yang didapat dari semua penderita stroke baik iskemik maupun hemoragik yang
memenuhi kriteria inklusi
Hasil
Dari 97 sampel penelitian diperoleh rata-rata biaya total stroke pada laki-laki Rp. 8,591.000 dan
wanita Rp. 7,944.000, stroke hemoragik kortikal dengan penyulit Rp. 14.000.000 dan pada stroke
iskemik trombosis vena tanpa penyulit Rp. 5,698.000, NIHSS berat Rp 10.449.000 dan pada
NIHSS rendah Rp. 7,076.000, onset diatas 24 jam sebesar Rp. 8,487.000 dan pada onset <24jam
sebesar Rp. 8,339.000, pasien yang mempunyai penyakit penyerta lebih dari 4 Rp. 13,470.000
dan pada 1 jenis penyakit penyerta sebesar Rp. 6,134.000, pasien dengan 3 jenis komplikasi
Rp.18,462.000 dan pada tanpa komplikasi sebesar Rp.7,136.000, hambatan teknis multipel Rp.
8,709.000 dan pada tanpa hambatan sebesar Rp. 8,315.000, ruang unit stroke kelas I sebesar Rp.
14,503.000 dan pada kelas III sebesar Rp5,308.000., jamkesmas Rp. 10,088.000 dan pada SKTM
sebesar Rp.9,232.000. Rata-rata lama hari rawat pasien stroke adalah 14.6 7.5 hari. Rata-rata
biaya ruangan perawatan stroke adalah Rp. 2.469.000 Rp. 2.2092.000, rata-rata biaya jasa
medik Rp. 1.411.000 Rp. 1.721.000, rata-rata biaya penunjang 2.135.000 1.097.000, rata-rata
biaya farmasi Rp. 2.376.000 Rp. 2.426.000. Sedangkan untuk rata-rata total biaya adalah
sebesar Rp.8.391.000 Rp.6.337.000.
Kesimpulan
Rata-rata biaya total perawatan stroke lebih tinggi pada pria, usia lanjut, stroke hemoragik
kortikal dengan penyulit , nilai NIHSS berat, pasien dengan concomittant illness lebih dari 4
jenis, komplikasi mulitpel, ruang rawat unit stroke kelas I, cara pembayaran jamkesmas. Rata-rata
biaya tertinggi adalah komponen biaya ruangan yang berkorelasi kuat dengan bertambahnya hari
rawat, sedangkan komponen penunjang serta jasa medik relatif sama.
Kata kunci: Stroke, biaya perawatan, faktor-faktor yang mempengaruhi

* Peserta Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf, FKUI/RSCM, Jakarta


** Staf Departemen Ilmu Penyakit Saraf FKUI/RSCM, Jakarta
*** Staf Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Universitas Indonesia, Jakarta

NEURONA Vol 27 No.3 April 2010 2


PENDAHULUAN
Stroke sampai saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat
karena morbiditas dan mortalitasnya cukup tinggi. Di negara maju, stroke merupakan
penyebab kematian ketiga setelah kanker dan penyakit jantung koroner. Selain mortalitas,
kecacatan tertinggi terjadi pada kelompok usia produktif dan beban sosial ekonomi yang
ditimbulkannya merupakan masalah yang saling berkaitan. Banyak strategi kesehatan
yang dikembangkan untuk memperoleh efektifitas penggunaan alat diagnostik dan terapi.
Semua usaha itu bertujuan untuk memperoleh manajemen tata laksana yang tepat dan
efisien yang akhirnya diharapkan akan dapat mereduksi biaya langsung perawatan stroke
di rumah sakit. Manajemen yang berbeda ini akan menimbulkan suatu variasi biaya di
tiap rumah sakit yang berbeda dan kurun waktu yang berbeda. 1,2,3,4,5
Atas dasar adanya variasi kisaran total biaya tersebut, maka ingin diketahui
gambaran total biaya langsung perawatan stroke dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya (subtipe stroke, nilai NIHSS awal, onset, jenis cara pembayaran,
jenis ruang rawat , lama perawatan, concomitant illness atau penyakit penyerta,
komplikasi) di RSCM saat ini.

METODE
Penelitian ini menggunakan disain potong lintang dengan menggunakan data
primer dan sekunder yang didapat dari seluruh penderita stroke baik iskemik maupun
hemoragik yang dirawat di kamar perawatan neurologi gedung RITA A lantai 5 RSUPN
Cipto Mangunkusumo Jakarta dimulai setelah memperoleh izin dari komite etik sampai
jumlah sampel terpenuhi. Pengambilan sampel penelitian dilakukan menurut metode non-
random sampling jenis konsekutif. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah uji Chi Square.
Kriteria inklusi: (1)Penderita stroke akut baik iskemik maupun hemoragik yang
dirawat di ruang rawat neurologi sampai pulang, (2)Bersedia diikutsertakan dalam
penelitian. Kriteria eksklusi: (1) Penderita yang pulang paksa, pindah rumah sakit lain,
pindah dirawat di bagian lain (IPD), RITA A lantai 1 dan 3, (2)Penderita yang
meninggal, (3) Pasien yang dalam masa perawatan terjadi stroke berulang , (4)Pasien
dengan Transient Ischemic Attack (TIA). Analisa data dengan menggunakan software
pengolahan data Statistical Package for Social Sciences 14 (SPSS 14).

HASIL
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap pasien stroke iskemik dan hemoragik,
lesi akut maupun berulang yang datang berobat ke RSUPN Cipto Mangunkusumo
didapatkan 97 sampel yang memenuhi kriteria inklusi untuk studi deskriptif. Pada
penelitian ini didapatkan sampel sebanyak 97 pasien stroke iskemik dan hemoragik
dengan persentase terbanyak pada kelompok usia dibawah 46 - 64 tahun yaitu 49 orang
(50,5%). Enam puluh tujuh (69,1%) diantaranya adalah laki laki dan sebagian besar
berpendidikan tinggi sebanyak 48 orang (49.5%). Status pembayaran pasien yang
terbanyak adalah pembayaran umum sebanyak 43. orang (44.3%) dan berdasarkan ruang
perawatan 63 orang (64.9%) dirawat di ruang perawatan kelas 3.

NEURONA Vol 27 No.3 April 2010 3


Tabel 1. Sebaran subyek menurut karakteristik klinik (n=97)
Karakteristik klinik Jumlah Persen
Tipe stroke
- Stroke iskemik (SI) non emboli 36 37.1
tanpa penyulit 12 12.4
- SI non emboli dengan penyulit 10 10.3
- SI emboli 8 8.2
- SI trombosis vena tanpa penyulit 13 13.4
- SI trombosis vena dengan penyulit 9 9.3
- SH kortikal tanpa penyulit 4 4.2
- SH kortikal dengan penyulit 2 2.1
- SH subkortikal tanpa penyulit 3 3.1
- SH subkortikal dengan penyulit

Skor NIHSS
Ringan (4) 23 23,7
Sedang (5-14) 60 61,9
Berat ( 15) 14 14,4
Onset stroke
< 24 jam 63 64.9
24 + ...jam 34 35.1
Concomitant illness
Tak ada 2 2.1
1 jenis 17 17.5
2 jenis 35 36.1
3 jenis 34 35.1
>3 jenis 9 9.3
Komplikasi stroke
Tak ada 45 46.4
1 jenis 32 33.0
2 jenis 16 16.5
3 jenis 4 4.1
Serangan Stroke:
Pertama 69 71,1
Berulang 28 28,9

Tipe stroke terbanyak yang dijumpai pada pasien menurut pembagian tipe sesuai dengan
stroke clinical pathway RSCM adalah stroke iskemik non emboli sebanyak 36 orang
(37.1%). Enam puluh (61,9%) pasien datang dengan nilai NIHSS awal kategori sedang
(skor NIHSS 5 14), 63 orang (64.9%) pasien datang dengan onset sebelum 24 jam, dan
69 (71,1%) datang dengan serangan pertama kali stroke. Dilihat dari concomitant illness
sebelumnya atau komorbid, terdapat 35 orang (36.1%) yang memiliki 2 concomitant
illness sebelum terjadinya stroke. Dan diantara seluruh subjek yang dirawat, 45 orang
tidak terdapat komplikasi selama perawatan. Komplikasi yang sering ditemukan adalah
komplikasi tunggal atau 1 jenis penyakit saja yaitu 45 orang (46,4%). (Tabel 1)
Penelitian ini menunjukkan rata rata umur pasien yang menderita stroke baik
iskemik maupun hemoragik di RSUPN. Cipto Mangunkusumo yaitu 60.7 13.2.
Sementara rata-rata lama hari rawat pasien stroke adalah 14.6 7.5 hari. Rata-rata biaya

NEURONA Vol 27 No.3 April 2010 4


ruangan yang dikeluarkan oleh pasien untuk perawatan stroke adalah Rp. 2.469.000 Rp.
2.2092.000, untuk rata-rata biaya jasa medik yang dikeluarkan Rp. 1.411.000 Rp.
1.721.000 nilai SD yang tinggi disebabkan rentang jasa medik yang terlampau jauh (jasa
medik minimum Rp.75.000 maksimum Rp. 6.380.000). Rata-rata biaya penunjang
sebesar 2.135.000 1.097.000, rata-rata biaya farmasi Rp. 2.376.000 Rp. 2.426.000.
Sedangkan untuk rata-rata total biaya adalah sebesar Rp.8.391.000 Rp.6.337.000.
(Tabel 2)

Tabel 2 : Nilai rata-rata dan SD variabel subyek awal (n=97)

Variabel Mean SD 95% CI Median


Low High
Umur pasien 60.7 13.2 58.0 63.3 62.0
Lama rawat 14.6 7.5 13.1 16.1 13.0
Biaya ruangan* 2,469 2,092 1,848 2,681 1,564
Biaya jasa medik* 1,411 1,721 1,069 1,754 4,900
Biaya tes penunjang* 2,135 1,097 1,917 2,353 1,702
Biaya farmasi* 2,376 2,426 2,096 3,062 1,811
Total biaya* 8,391 6,337 7,129 9,652 6,274
Keterangan Tabel :
* Dalam satuan ribu

Concomitant illness yang sudah terdapat sebelumnya terbanyak ditemukan adalah


hipertensi sebanyak 59 orang (60.8%), diurutan kedua adalah riwayat stroke/TIA
sebelumnya sejumlah 28 orang (28.9%) dan setelah itu riwayat merokok ditemukan pada
27 orang (27.8%). Faktor komplikasi yang banyak ditemukan saat perawatan pasien
stroke di RSUPN. Cipto Mangunkusumo yaitu stress ulcer sejumlah 22 orang (22.7%).
Pneumonia merupakan urutan kedua komplikasi yang sering terjadi yaitu sejumlah 20
orang (20.7%).

Tabel 3. Total biaya rawat dengan faktor penentu (N= 97)


n Mean SD Median
Jenis kelamin
Laki-laki 67 8,591 6,531 6,396
Wanita 30 7,944 5,965 6,043
n Mean SD Median
Usia
45 12 5,521 3,296 4,060
46-64 49 8,346 7,051 6,048
65 36 9,407 5,887 7,193
n Mean SD Median
Jenis stroke
Stroke iskemik (SI) non emboli 36 5,896 3,955 4,367
tanpa penyulit
SI non emboli dengan penyulit 12 9,834 7,481 6,677
SI emboli 10 13,465 7,379 9,469

NEURONA Vol 27 No.3 April 2010 5


SI trombosis vena tanpa penyulit 8 5,698 4,041 4,664
SI trombosis vena dengan penyulit 13 11,242 7,380 7,290
SH kortikal tanpa penyulit 9 5,707 3,836 3,927
SH kortikal dengan penyulit 4 14,056 5,773 15,240
SH subkortikal tanpa penyulit 2 5,815 2,692 5,815
SH subkortikal dengan penyulit 3 12,681 11,778 6,243

Skor NIHSS n Mean SD Median


Rendah (0-4) 23 7,076 5,470 6,249
Sedang (5-14) 60 8,414 6,783 5,617
Berat ( 15) 14 10,449 5,430 8,345
n Mean SD Median
Onset stroke
< 24 jam 63 8,339 6,423 6,396
24 + jam 34 8,487 6,269 5,617
n Mean SD Median
Concomittant illness
Tanpa risiko 2 8,325 413 8,325
1 jenis risiko 17 6,134 6,358 3,591
2 jenis risiko 35 7,180 4,952 6,243
3 jenis risiko 34 9,424 6,893 6,615
4 + jenis risiko 9 13,470 7,077 13,014
n Mean SD Median
Komplikasi
Tanpa komplikasi 45 7,136 5,357 5,693
1 jenis komplikasi 32 8,343 6,598 6,160
2 jenis komplikasi 16 9,496 6,109 7,292
3 jenis komplikasi 4 18,462 7,907 18,126
n Mean SD Median

Hambatan teknis
Tanpa hambatan 54 8,315 6,301 6,461
1 jenis hambatan 29 8,378 7,121 5,525
2 jenis hambatan 14 8,709 5,037 7,258
n Mean SD Median
Kelas perawatan
Kelas 3 63 5,308 3,326 4,100
Kelas 1 27 14,503 6,530 14,557
VIP 7 12,560 7,441 8,218
n Mean SD Median
Cara pembayaran
Umum 43 9,232 7,433 6,926
Askes 29 9,525 6,224 7,630
Jamkesmas 2 10,088 4,048 10,088
SKTM 17 5,120 2,593 5,228
Gakin 6 5,575 2,167 5,055
Keterangan tabel: mean, SD, median dalam satuan ribu

NEURONA Vol 27 No.3 April 2010 6


Dari 97 sampel penelitian, dapat dilihat sebagian besar subyek terdiri dari laki-laki
dengan besar biaya rawat total sebesar Rp. 8,591.000. Menurut usia didapatkan kelompok
usia diatas 65 tahun mempunyai rata-rata total biaya yang paling tinggi sebesar Rp.
9,407,000. Biaya rawat menurut jenis stroke paling besar dikeluarkan oleh jenis stroke
hemoragik kortikal dengan penyulit, sedangkan biaya terendah dikeluarkan pada biaya
perawatan SI trombosis vena tanpa penyulit sebesar Rp. 5,698.000. Pada sampel dengan
nilai NIHSS berat (15) mengeluarkan biaya rawat yang paling besar dibandingkan
dengan NIHSS sedang dan ringan yaitu rata-rata total biaya rawat Rp 10,449,000. Pasien
yang datang dengan onset dibawah 24 jam memiliki rata-rata biaya rawat sebesar Rp.
8,339.000 dan onset diatas 24 jam sebesar Rp. 8,487.000. Pasien yang mempunyai
concomitant illness lebih dari 4 menunjukkan rata-rata biaya rawat paling tinggi yakni
sebesar Rp. 13,470.000, sedangkan rata-rata biaya terendah dikeluarkan pada kelompok
pasien dengan concomitant illness tunggal. Kelompok pasien tanpa komplikasi
menunjukkan rata-rata biaya rawat yang paling rendah yaitu sebesar Rp. 7,136.000
sedangkan rata-rata biaya tertinggi ditemukan pada kelompok pasien dengan 3 jenis
komplikasi. Besar biaya rawat pada kelompok tanpa hambatan teknis menunjukkan rata-
rata terendah yakni sebesar Rp. 8,315.000, rata-rata biaya tertinggi ada pada kelompok
dengan hambatan teknis multipel. Dilihat dari jenis kelas perawatan maka rata-rata biaya
terendah dikeluarkan oleh kelas perawatan kelas III sebesar Rp. 5,308.000, disusul
kemudian dengan unit stroke VIP sebesar Rp. 12,560.000, dan rata-rata biaya tertinggi
dikeluarkan oleh unit stroke kelas I sebesar Rp. 14,503.000. Pasien dengan cara
pembayaran jamkesmas menunjukkan rata-rata biaya rawat yang paling tinggi sebesar
Rp. 10,088.000, disusul kemudian dengan Askes sebesar Rp. 9,525.000, umum (pribadi)
sebesar Rp. 9,232.000, gakin sebesar Rp. 5,575.000, dan terendah SKTM sebesar Rp.
5,120.000. (Tabel 3)

Tabel. 4. Total biaya menurut jenis risiko (risiko tunggal)


n Mean SD Median
Jenis risiko
Hipertensi 7 8,857. 8,753 4,710
Diabetes Mellitus 2 4,430 2,817. 4,430
Penyakit jantung : AF - - - -
Penyakit jantung: CAD - - - -
Penyakit jantung: CHF - - - -
Riwayat Stroke/TIA 2 8,521 8,409 8,521
Dislipidemia 2 2,856 1,037. 2,856
Merokok 2 2,490. 301 2490
Obesitas 2 3,594 74 3,594
Stress - - - -
Keterangan tabel: mean, SD, median dalam satuan ribu

Pasien yang memiliki concomitant illness tunggal paling banyak adalah pasien hipertensi
sebanyak 7 orang dengan rata-rata total biaya yang paling tinggi sebesar Rp. 8.857.000.
(Tabel 4)

NEURONA Vol 27 No.3 April 2010 7


Tabel 5. Total biaya menurut jenis komplikasi (komplikasi tunggal)

Jenis komplikasi N Mean SD Median

Pneumonia 6 4,275 1,370 4,026


ISK 6 10,581 9,055 6,683
Stress ulcer 11 8,647 7,038 6,498
Trombosis vena dalam 1 21,716 - 21,716
Pain 5 8,6122 5,015 7,583
Dekubitus 0 - - -
Depresi 4 4,396 830 4,367
Keterangan tabel: mean, SD, median dalam satuan ribu

Pasien dengan komplikasi tunggal selama perawatan paling banyak adalah pasien dengan
stress ulcer sebanyak 11 orang dengan rata-rata biaya total Rp. 8.647.000. Rata-rata total
biaya paling tinggi ada pada 1 orang pasien dengan komplikasi tunggal trombosis vena
dalam sebesar Rp. 21.716.000. (Tabel 5)
Dari diagram tabur dapat dilihat bahwa korelasi paling kuat ditunjukkan oleh
hubungan antara lama hari rawat dengan biaya ruang rawat (gambar 1). Sedangkan
korelasi dan regresi biaya ruang dan lama rawat menurut jenis atau kelas perawatan
menunjukkan unit stroke VIP mempunyai korelasi paling kuat dengan biaya ruangan (R
= 0.996) disusul kemudian dengan unit stroke kelas I (R = 0,93) dan sudut stroke kelas III
(R= 0.86) (Tabel 6). Sedangkan pada diagram tabur hubungan antara lama hari rawat
dengan biaya total dan komponen biaya lain menunjukkan inkonsistensi.

Gambar 1 : Diagram tabur antara lama hari rawat dengan biaya ruangan rawat
10000000

8000000

6000000

4000000
RUANGAN

2000000

0
0 10 20 30 40

LHR

NEURONA Vol 27 No.3 April 2010 8


R = 0,34 p = 0,001
Biaya ruangan = 897 + 94 x lama rawat

Tabel 6. Korelasi dan regresi biaya ruang dan lama rawat menurut kelas
Kelas perawatan R p Inter Slope
Sudut stroke kelas 3 0.86 0.000 993 66
Unit stroke kelas 1 0.93 0.000 326 290
Unit stroke VIP 0.996 0.000 39 512

PEMBAHASAN
Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan menggunakan data primer dan
sekunder. Populasi penelitian adalah semua pasien stroke yang dirawat di kamar
perawatan gedung A lantai 5 neurologi RSUPNCM Jakarta dengan rentang waktu sekitar
4 bulan sejumlah 97 orang. Dari pasien-pasien ini didapatkan pasien stroke laki-laki lebih
banyak dari perempuan. Berdasarkan studi yang dilakukan Hallstrm dkk di Sweden
pada tahun 2001-2002 didapatkan hasil dari 456 pasien stroke sebagian besar penderita
adalah laki-laki.7
Dengan rentang umur 18 93 tahun, jumlah sampel terbanyak adalah dalam
kelompok umur 46-64 tahun sejumlah 49 orang (50,5%) diikuti umur diatas 65 tahun
sebanyak 36 orang (37,1%), dan kurang dari 45 tahun (12%) Anderson dkk dalam
penelitiannya pada tahun 2001 menyebutkan semakin bertambah usia maka insiden
stroke semakin meningkat, insiden terbanyak ditemukan pada kelompok usia > 75 tahun.8
Penelitian ini membagi golongan usia menjadi 3 kelompok yaitu dibawah 45 tahun, 46-
64 tahun dan diatas 65 tahun sesuai dengan survey yang dilakukan oleh ASNA di 28 RS
di Indonesia. Hasil survey tersebut adalah 11.8% kejadian stroke terdapat pada usia
dibawah 45 tahun, 54.2% pada rentang usia 46-64 tahun dan 33% pada kelompok usia
diatas 65 tahun. Sementara hasil penelitian ini menunjukkan kejadian stroke 12.4%
terdapat pada kelompok usia dibawah 45 tahun, 50.5% pada kelompok usia 46-64 tahun
dan 37.1% kelompok usia diatas 65 tahun. 9
Beberapa komponen biaya perawatan stroke pada penelitian ini adalah biaya
ruang perawatan dengan rentang kisaran total antara Rp.340.000 sampai dengan
Rp.8.700.000, biaya jasa medik antara Rp.75.000 sampai Rp. 6.380.000, biaya penunjang
antara Rp.773.900 sampai Rp. 5.500.000, biaya farmasi antara Rp. 231.700 sampai
11.472.000.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa besar biaya perawatan stroke berbeda-
beda dilihat dari jenis strokenya. Kelompok stroke hemoragik kortikal dengan penyulit
memperlihatkan besar biaya paling mahal dengan rata-rata total biaya Rp. 14.000.000.
Kelompok stroke iskemik emboli menunjukkan rata-rata biaya total sekitar
Rp.13.000.000, disusul kemudian dengan stroke hemoragik subkortikal dengan penyulit
Rp.12.000.000, stroke iskemik trombosis vena dengan penyulit Rp. 11.000.000, stroke
non emboli dengan penyulit Rp.9.000.000, stroke iskemik non emboli tanpa penyulit
Rp.5.800.000, stroke hemoragik subkortikal tanpa penyulit Rp. 5.800.000, stroke
hemoragik kortikal tanpa penyulit Rp.5.700.000, dan stroke trombosis vena tanpa
penyulit sebesar Rp. 5.600.000. Penelitian yang dilakukan Wendra (1997)6 menunjukkan
kelompok stroke dengan keluaran hidup yang paling mahal adalah PSA, dengan biaya

NEURONA Vol 27 No.3 April 2010 9


rerata sekitar Rp.1.500.000 per kali perawatan kemudian kelompok PIS sekitar
Rp.1.000.000 dan infark serebri dengan biaya rerata sekitar Rp.900.000. Studi yang
dilakukan Caro dkk pada 1341 pasien stroke iskemik menunjukkan subtipe stroke
merupakan determinan kuat terhadap besar biaya, dimana stroke kardioemboli dan oklusi
vena besar menunjukkan mean total biaya yang paling tinggi ( $.13 520 dan $.14 972)
sedangkan oklusi vena kecil mempunyai mean total biaya paling rendah ($.10 789).
Kelompok pasien dengan kardioemboli dan oklusi vena besar mempunyai lama hari
rawat paling panjang dibandingkan dengan kelompok pasien oklusi vena kecil sehingga
beban biaya pun bertambah.10
Dilihat dari jenis kelamin, pria mempunyai besar biaya rawat yang lebih tinggi
dibandingkan dengan wanita. Besaran biaya pada kelompok pria lebih tinggi
dimungkinkan karena adanya faktor-faktor lain yang mempengaruhi seperti komplikasi
dan concomitant illness yang lebih banyak. Pada penelitian Widoyono (2004)11 tidak
ditemukan hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan biaya rawat yang
populasinya di ambil di RS Abdoel Moeloek dengan jumlah sampel yang sedikit
sebanyak 23 orang. Sedangkan pada penelitian ini jumlah sampel lebih banyak dan
demografi yang berbeda. Biaya paling tinggi didapatkan pada kelompok pria yaitu Rp.
8.500.000, dan pada kelompok wanita sebesar Rp. 7.900.000.
Menurut usia didapatkan kelompok usia diatas 65 tahun mempunyai rata-rata total biaya
yang paling tinggi sebesar Rp. 9,407,000, disusul kemudian kelompok usia 46-64 tahun
sebesar Rp. 8,346.000, dan kelompok usia di bawah 45 tahun sebesar Rp. 5,521.000. Dari
literatur disebutkan bahwa bertambahnya usia berhubungan dengan derajat penyakit yang
lebih berat, concomitant illness dan komplikasi yang lebih banyak. Hal ini yang dapat
meningkatkan biaya perawatan. 12,13,14
Berdasarkan onset pasien yang datang dengan onset dibawah 24 jam memiliki rata-rata
biaya rawat sebesar Rp. 8,339.000 dan onset diatas 24 jam sebesar Rp. 8,487.000. Dari
penelitian Wendra Ali (1997)6 menunjukkan onset tidak mempunyai hubungan dengan
rata-rata total biaya stroke.
Berdasarkan nilai NIHSS dapat dilihat rata-rata total biaya stroke pada pasien
dengan NIHSS berat memerlukan biaya yang lebih mahal yaitu sebesar Rp.10.400.000,
dibandingkan dengan NIHSS sedang dan rendah yaitu Rp.8.400.000 dan Rp.7.000.000.
Penelitian Diringer menyatakan penderita stroke dengan nilai NIHSS >20 memerlukan
biaya dua kali lebih tinggi apabila dibandingkan dengan penderita dengan skor NIHSS
<20.15 Pada penelitian Caro didapatkan pasien dengan defisit neurologis mayor
mempunyai besar total biaya rawat yang lebih tinggi (mean biaya total $.19 618)
dibandingkan dengan pasien dengan defisit neurologis minor (mean biaya total $. 11
511). Hal ini dipengaruhi oleh tingginya biaya jasa rehabilitasi dan biaya ruangan karena
lama rawat pasien dengan defisit mayor lebih panjang. 10
Kelompok pasien yang mempunyai concomitant illness lebih dari 4 jenis
memperlihatkan rata-rata biaya rawat yang paling tinggi. Hal ini dimungkinkan pada
pasien-pasien dengan banyak concomitant illness memerlukan jasa konsultasi yang lebih
banyak, beban biaya farmasi serta penunjang yang lebih banyak sehingga beban biaya
pun bertambah. Namun pada penelitian ini juga terlihat pasien tanpa disertai concomitant
illness menunjukkan kisaran rata-rata biaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok pasien dengan 1-3 jenis komplikasi. Hal ini tidak dapat dihitung secara statistik

NEURONA Vol 27 No.3 April 2010 10


karena sampelnya hanya terdiri dari 2 orang pasien dan masih dapat dimungkin
dipengaruhi oleh faktor penentu lain seperti komplikasi dan hambatan teknis.
Komplikasi merupakan salah satu faktor penentu tingginya biaya perawatan
stroke. Secara potensial komplikasi yang terjadi dapat mengancam nyawa dan juga
menyebabkan bertambah panjangnya LHR yang tentunya diikuti dengan bertambah
tingginya biaya perawatan di RS. Pada penelitian ini pasien tanpa komplikasi
menunjukkan besar rata-rata biaya yang paling rendah yakni sebesar Rp. 7.000.000.
Disusul kemudian dengan kelompok pasien dengan 1 komplikasi sebesar 8.000.000, 2
komplikasi 9.000.000, dan 3 komplikasi sebesar Rp. 14.000.000. Pada komplikasi yang
serius biaya jasa medis, penunjang, serta kebutuhan farmasi juga bertambah, hal ini
memperbesar beban biaya perawatan secara keseluruhan. Christensen (2009)14
menyatakan manajemen dan kontrol terhadap adanya penyulit selama perawatan
meningkatkan biaya rawat. Pasien dengan perdarahan intraserebral disertai komplikasi
selama perawatan mempunyai beban biaya perawatan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien stroke iskemik yang disertai komplikasi.
Adanya hambatan teknis adalah salah satu faktor yang dapat memperpanjang
lama hari rawat, sehingga beban biaya perawatan juga bertambah. Pada penelitian ini
adanya hambatan teknis tidak terlalu membedakan besarnya rata-rata biaya perawatan
stroke. Terdapat keterbatasan literatur mengenai hubungan hambatan teknis dengan lama
hari rawat dan biaya rawat dikarenakan kebijakan di setiap negara dan masing-masing
rumah sakit berbeda-beda.
Jenis tempat atau kelas perawatan merupakan faktor penentu yang kuat dalam
menentukan besar rata-rata total biaya rawat. Penelitian oleh Launois di Perancis tahun
2004 mengemukakan biaya perawatan pasien di unit stroke lebih tinggi dibandingkan
dengan ruang rawat konvensional.15 Pada penelitian ini diambil sampel sebanyak 63
pasien sudut stroke kelas III, 27 pasien unit stroke kelas I, dan 7 pasien unit stroke kelas
VIP. Didapatkan rata-rata besar biaya rawat paling tinggi adalah unit stroke kelas I
sebesar Rp. 14.000.000, disusul kemudian dengan VIP sebesar Rp. 12.000.000, dan kelas
III Rp. 5.000.000. Biaya ruangan per hari di sudut stroke kelas III paling rendah, disusul
kemudian dengan unit stroke kelas I dan VIP. Lebih rendahnya biaya kelas VIP
dibandingkan dengan kelas I dikarenakan lama rawat kelas VIP pada penelitian ini lebih
pendek (mean 8.1) dibandingkan kelas I (mean 14.2).
Berdasarkan cara pembayaran didapatkan kelompok jamkesmas mempunyai rata-
rata biaya rawat yang paling tinggi sebesar Rp. 10.000.000. Hal ini dikarenakan jumlah
sampel jamkesmas hanya 2 orang dengan rata-rata lama hari rawat yang panjang yaitu 22
hari. Cara pembayaran umum atau pribadi memperlihatkan besar rata-rata total biaya
stroke Rp. 9.200.000, lebih rendah bila dibandingkan dengan pasien askes yang rata-rata
nya Rp. 9.500.000. Besar rata-rata biaya total kelompok gakin adalah sebesar
Rp.5.500.000 dan SKTM sebesar Rp. 5.120.000. Keterbatasan literatur mengenai
gambaran biaya perawatan dengan cara pembayaran menjadi kekurangan dalam
penelitian ini. Selain itu adanya perubahan kebijakan sistem manajerial kesehatan oleh
pemerintah dari waktu ke waktu juga berpengaruh dalam melakukan penelitian ini.
Pada penelitian ini didapatkan korelasi kuat antara lama hari rawat dengan
komponen biaya ruangan. Semakin panjang lama hari rawat maka biaya ruangan yang
harus dikeluarkan semakin besar. Rata-rata total biaya perawatan stroke pada penelitian
ini berkisar Rp. 8.391.000 dengan komponen biaya ruangan merupakan komponen biaya

NEURONA Vol 27 No.3 April 2010 11


paling tinggi yaitu Rp. 2.469.000 (29%). Diikuti dengan komponen biaya lain yaitu
biaya farmasi sekitar Rp. 2.376.000 (28%), biaya penunjang Rp. 2.135.000 (25%), dan
biaya jasa medik sekitar Rp. 1.411.000 (16%). Meskipun dari diagram tabur tidak
menunjukkan korelasi kuat antara biaya farmasi dengan lama hari rawat seperti yang
ditunjukkan oleh komponen biaya ruangan, ternyata komponen biaya farmasi merupakan
komponen biaya terbesar setelah biaya ruangan. Bertambahnya lama hari rawat
memperlihatkan kecenderungan komponen biaya penunjang dan jasa medik relatif sama
tidak mengalami penambahan biaya yang berarti. Studi yang dilakukan oleh McGowan
dkk (2003) menunjukkan rata-rata biaya perawatan stroke paling besar adalah komponen
biaya ruangan sebesar 168,326 atau 83% dari keseluruhan total biaya. Sedangkan biaya
yang dikeluarkan untuk penunjang hanya sebesar 8%, dan biaya farmasi sebesar 1%.
16,17,18

Tidak ditelitinya biaya medis tidak langsung adalah salah satu keterbatasan dalam
penelitian ini. Perhitungan biaya medis tidak langsung memerlukan komponen-
komponen biaya yang lebih banyak dan lebih bervariasi setiap individunya. Adanya
standar deviasi yang tinggi pada komponen jasa medik dikarenakan rentang biaya yang
terlalu jauh yang secara statistik ditunjukkan oleh grafik histogram, disebabkan
perbedaan ruang perawatan. Tingginya rata-rata biaya total pada kelompok dengan cara
pembayaran jamkesmas terlihat paling tinggi, hal ini dikarenakan jumlah pasien yang
sedikit yaitu 2 orang dengan lama hari rawat yang panjang. Penelitian ini hanya
menunjukkan suatu kecenderungan atau trends sebagai gambaran biaya stroke secara
total. Penelitian ini tidak melihat variable secara individu dikarenakan variasi per
individu yang terlalu luas sehingga apabila diteliti diperlukan sampel yang lebih banyak.
Karena itu diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai gambaran biaya perawatan stroke
dengan mengambil populasi yang lebih homogen.

KESIMPULAN DAN SARAN


Terdapat kecenderungan rata-rata biaya total perawatan stroke paling besar adalah
biaya perawatan stroke hemoragik kortikal dengan penyulit, disusul dengan stroke
iskemik emboli, stroke hemoragik subkortikal dengan penyulit, stroke iskemik trombosis
vena dengan penyulit, stroke non emboli dengan penyulit, stroke iskemik non emboli
tanpa penyulit, stroke hemoragik subkortikal tanpa penyulit, stroke hemoragik kortikal
tanpa penyulit, dan stroke trombosis vena tanpa penyulit.
Terdapat kecenderungan rata-rata biaya total perawatan stroke lebih tinggi pada
pria, usia lanjut, nilai NIHSS berat, pasien dengan concomittant illness (penyakit
penyerta) lebih dari 4 jenis, komplikasi mulitpel, ruang rawat unit stroke kelas I.
Terdapat kecenderungan rata-rata biaya total perawatan stroke berdasarkan cara
pembayaran, paling besar adalah jamkesmas, disusul dengan askes, umum, gakin dan
SKTM.
Terdapat kecenderungan lamanya hari rawat menentukan beban komponen biaya
ruangan. Lama hari rawat yang panjang akan semakin menambah beban biaya ruangan.
Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai biaya perawatan stroke dengan
jumlah sampel yang lebih banyak dan populasi subyek yang lebih homogen.
Penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan komponen biaya bagi manajerial
dalam menentukan besaran biaya perawatan stroke.

NEURONA Vol 27 No.3 April 2010 12


DAFTAR PUSTAKA
1. National Institute for Health and Clinical Excellence; Stroke: diagnosis and initial management of
acute stroke and transient ischaemic attack (TIA): Costing report; July 2008
2. Forrest. S, Goetghebeur.M; Forces Influencing Inpatient Hospital Costs in the United States; Blue
Cross Blue Shield Association; October 2002
3. Mamoli et al; An Analysis of the Costs of Ischemic Stroke in an Italian Stroke Unit; Neurology 1999;
53:112
4. Truelsen.T, Ekman.M, Boysen G . Cost of stroke in Europe. European Journal of Neurology 2005. 12
(Suppl. 1): 7884
5. Yoneda et al; Hospital-Based Study of the Care and Cost of Acute Ischemic Stroke in Japan; Stroke
2003;34;718-724
6. Ali.W; Analisis Identifikasi Biaya Medis Langsung Perawatan Stroke di Bangsal Neurologi kelas III
RSUPN CM Jakarta; 1997
7. Hallstrm B et al; Stroke Incidence and Survival in the Beginning of the 21st Century in Southern
Sweden. Comparisons With the Late 20th Century and Projections Into the Future ; Stroke 2007
8. Anderson et al ; Very Long-Term Outcome After Stroke in Auckland, New Zealand Stroke ; 2004;
35:1920
9. Misbach J. Rasyid A, Soertidewi L. 2007. Pandangan Umum Mengenai Stroke : Unit Stroke
Managemen Stroke Secara Komprehensif. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
10. Caro JJ et al ; Management Patterns and Costs of Acute Ischemic Stroke : An International Study ;
Stroke 2000;31;582-590
11. Widoyono.B; Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Tagihan Rawat Inap Pasien Stroke di RSUD
Dr. Abdoel Moeloek Lampung, 2004.
12. Christensena MC et al; Acute Treatment Costs of Stroke in Brazil; Neuroepidemiology 2009;32:142
149
13. Reed S, Dave K, Meyer K, Jeffrey GJ; Inpatient Costs, length of stay, and mortality for
cerebrovascular events in community hospitals; Neurology 2001; 57;305-314
14. Christensena MC, Munrob V ; Ischemic Stroke and Intracerebral Hemorrhage: The Latest Evidence on
Mortality, Readmissions and Hospital Costs from Scotland; Neuroepidemiology 2008;30:239-246
15. Diringer.N, Edwards D, Mattson BS et al; Predictors of Acute Hospital Costs for Treatment of
Ischemic Stroke in an Academic Center; Stroke 1999;30;724-728
16. McGowan et al; Cost of treating stroke in an Irish teaching hospital; IMJ Sept 2003;96(8):234-236
17. Exel V, Koopmanschap M.A, Scholte W et al. Cost-effectiveness of integrated stroke services. Q J
Med 2005; 98:415425
18. Phillips.J et al; Description and evaluation of an acute stroke unit; CMAJ 2002;167(6):655-60

NEURONA Vol 27 No.3 April 2010 13


DAFTAR PUSTAKA
1. Patrick L ND. Lead Toxicity, A Review of the Literature. Alternative Medicine Review 2006; 11(1): 2-22.
2. Skerfving S, Bergdahl IA. Lead in Handbook on the Toxicology of Metals 3E. Academic Press. Inc 2007; 31;
599-621.
3. Murata K, Araki S, Yokoyama K,Uchida E, Fujimura Y. Assessment of central, peripheral and autonomic
nervous system functions in lead workers,: neuroelectrophysiological studies. Environ Res 1993;61:323-36.
4. Rubens, Logina I, Kravale I, et al. Peripheral neuropathy in chronic occupational inorganic lead exposure: a
clinical and electrophysiological study. J Neurol Neurosurg Psyciatry 2001; 71:200-4.
5. Bilinska M, Brzezowska D, Koszewicz M, et al. Subclinical lead neuropathy. Pol Merkur Lekarski 2004;
17(99): 244-7.
6. Nora DB, Gomes I, Said G, Melo A. Modifications of the sympathetic skin response in worker chronically
exposed to lead. Braz J Med Biol Res 2007; 40: 81-7.
7. Mardjono M, Sidharta P, Neurologi Klinis dasar. Dian Rakyat. 2000:219-42.
8. Gal K, Uni L. Autonomic. Indian journal of Pharmacology, 2000; 32: S15-S24.
9. Kimura J. Electrodiagnosis in disease of nerve and muscle. 3rd ed. New York:oxford University Press.
2001.p.113-17.
10. Philip AT, Gerson B. Lead poisoning-Part 1.Incidence,etiology, and toxicokinetics. Clin Lab Med
1994;14:423-444.
11. Markowitz M. Lead Poisoning. Pediatr Rev 2000;21:327-335.
12. Bogden JD, Gertner SB, Christakos S, et al. Dietary calcium modifies concentrations of lead and other metals
and renal calbindin in rats. J Nutr 1992;122:1351-1360.
13. Zieger EE, Edwards BB, Jensen RL, et al. Absorption and retention of lead by infants. Pediatr Res
1978;12:29-34.
14. Garza A, Vega R, Soto E. Cellular Mechanism of Lead Neurotoxicity Med. Sci Monit, 2006.
15. Andriani, Wibowo, Hakim M. Pemeriksaan Elektroneurografi pada pekerja laki-laki yang Terpajan Timbal
untuk Menilai Risiko Neuropati Perifer.
16. Yeh CH, Chang YC, Wang JD. Combined electroneurographic and electromyographic studies in lead
workers. Occup Environ Med 1995; 52(6): 415.
17. Chuang Hy, Tsai SY, Chao KY, et al. Vibration perception thresholds in workers with long term exposure to
lead. Occup Environ Med 2000; 57(9): 588-94.
18. Thomson RM, Parry GJ. Neuropathies associated with excessive exposure to lead. Muscle Nerve 2006 Jun;
33(6):732-41.
19. Bleecker M. Ford D, Vaughan C, Walsh K. Effect of Leda Exposure and Ergonomic Stressors on Peripheral
Nerve Function. Environ Health Perspect 2005; 113(12):1730-1734.
20. Chironi A, Argyriou AA, Polychronopoulos P, SIrrou V. The effect of stimulation technique on symphatetic
skin responses in healthy subjects. Clinical Autonomic Res, 2006; 16:396-400.
21. Longmire DR. An electrical approach to the evaluation of regional sympathetic dycfunction: a proposed
classification. Pain Physician, 2006; 9: 69-82.
22. Cheshire WP. Anhidrosis, hyperhidrosis, and sudomotor testing, AAN, 2008.

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 15


Artikel Laporan Kasus
GELASTIC SEIZURES
PADA HEMIATROPI SEREBRI KIRI

Donny H. Hamid*, Ridwan*, Gotot Sumantri*, Melita**

ABSTRACT
Gelastic seizures are epileptic seizures characterized by pathologic laughter as a main clinical
manifestation and are uncommon among epilepsy. Gelastic seizures are also described in patients
without hypothalamic hamartoma, in whom a proven or suspected seizures focus lies in the frontal or
temporal lobes or where the origin of the seizures remains undetermined. Although inappropriate, it
can be so similar to the natural laughter and if laughter is the only symptom can be supposed as a
psychiatric disease.
This is a case report of gelastic seizures that occurred without the presence of hypothalamic
hamartoma but related to a left cerebral hemiatrophy.
Key words : gelastic seizures- without hypothalamic hamartoma-epilepsy

ABSTRAK
Gelastic Seizures adalah bangkitan epilepsi yang ditandai dengan tertawa patologis sebagai gejala
utama dan dapat merupakan manifestasi klinis utama yang jarang ditemukan pada penderita epilepsi.
Gelastic Seizures tidak hanya ditemukan pada hypothalamic hamartoma saja melainkan juga pada
bangkitan yang berasal dari lesi di frontal, temporal atau lesi lain yang tidak dapat ditentukan
fokusnya. Walaupun patologis, dapat menyerupai tertawa yang natural dan bila tidak disertai jenis
bangkitan lain dapat disangka sebagai kelainan psikiatrik.
Berikut ini dilaporkan suatu kasus gelastic seizures yang tidak disebabkan oleh suatu
hypothalamic hamartoma melainkan berkaitan dengan hemiatropi serebri kiri.
Kata kunci : gelastic seizures- tanpa hypothalamic hamartoma- epilepsi
__________________________________________________________________________

PENDAHULUAN
Tahun 1877 Trousseau dan Fere untuk pertama kalinya melaporkan kasus epileptic
laughter. Selanjutnya Daly dan Mulder pada tahun 1957 memperkenalkan istilah gelastic
epilepsy atau gelastic seizures dengan maksud untuk menonjolkan tertawa sebagai gejala
utama yang muncul.1 Gelastic berasal dari kata Yunani gelos atau gelastikos yang artinya
tertawa atau gembira1,2
Gelastic seizures ditandai dengan tertawa tiba-tiba yang tak wajar, stereotipik, tanpa
diprovokasi oleh rangsang spesifik (humor) atau stimulus non spesifik lain.3 Pada umumnya
gelastic seizures dihubungkan dengan suatu hypothalamic hamartoma, 1,2,3,4,5 namun ternyata
gelastic seizures dapat juga ditemukan pada bangkitan yang berasal dari lesi di frontal,
temporal atau pada lesi lain yang tidak dapat ditentukan fokusnya.1,2,4,
Berikut ini akan dilaporkan gelastic seizures pada anak laki-laki 13 tahun dengan
hemiatropi serebri kiri, tidak berkaitan dengan hypothalamic hamartoma.

* Staf Medik Fungsional Ilmu Penyakit Saraf RSUD Pasar Rebo Jakarta
** Staf Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 1


ILUSTRASI KASUS
Seorang anak laki-laki 13 tahun 6 bulan, kinan, datang ke poliklinik saraf dengan
keluhan sering tertawa sejak 1 bulan terakhir ini. Tiba-tiba tertawa dengan suara cukup keras
tanpa ada faktor stimulus yang adekuat, berulang-ulang dengan frekuensi sampai 6 kali
sehari. Lama tertawa bervariasi 30 detik sampai 1 menit, pada awalnya hanya tertawa saja
tanpa diikuti gejala lain. Akhir- akhir ini setelah penderita tertawa berlanjut menjadi tak
sadarkan diri, terjatuh, kemudian diikuti kejang tonik klonik. Bila tertawa berlanjut dengan
kejang, hampir selalu diikuti dengan buang air kecil (ngompol).
Penderita dilahirkan spontan, cukup bulan, langsung menangis. Tidak ada riwayat kejang
dalam keluarga. Riwayat tumbuh kembang normal.
Pada usia 3 tahun 6 bulan untuk pertama kalinya penderita mengalami kejang, kejang
cukup lama mulai kejang dirumah sampai di rumah sakit anak masih kejang, disertai panas
tinggi dan tak sadarkan diri selama 2 hari. Dirawat di ruang ICU salah satu rumah sakit
swasta. Pulang dalam keadaan membaik setelah dirawat selama 7 hari di rumah sakit
tersebut. Berangsur angsur sembuh, selanjutnya dapat melakukan aktifitas biasa sesuai
dengan usia saat itu. Penderita tidak pernah mengalami kejang lagi sampai pada usia 9 tahun.
Dan pada usia 9 tahun ini, penderita kembali mengalami kejang, yang disertai demam tinggi
dan dirawat di rumah sakit yang sama selama beberapa hari.
Setelah itu selalu berobat teratur ke dokter, minum obat anti kejang secara rutin sampai
usia 13 tahun. Obat anti kejang dihentikan setelah 2 tahun bebas kejang. Lima bulan
berselang penderita mulai menunjukkan gejala tiba-tiba tertawa tanpa alasan yang jelas.
Prestasi disekolah cukup baik, selalu 10 besar dan beberapa kali ranking 1 3 dikelas
dan dapat melakukan aktifitas fisik yang memerlukan keterampilan motorik yang memadai
untuk dapat bermain bersama teman- teman seusia.
Pemeriksaan fisik dalam batas normal, tidak ditemukan defisit neurologik fokal.
Pemeriksaan laboratorium rutin dalam batas normal. Hasil pemeriksaan EEG (gambar 1),
background normal sesuai usia, namun terlihat asimetri berupa atenuasi (amplitudo lebih
rendah) pada seluruh sisi hemisfer kiri yang konsisten sejak awal sampai akhir perekaman.
Tak terlihat aktifitas epileptiform patologis lain selama perekaman, demikian pula saat
dilakukan prosedur aktivasi hiperventilasi maupun fotik stimulasi intermiten. MRI kepala
memperlihatkan gambaran hemiatropi serebri kiri dan tak terlihat masa didaerah hipotalamus
(gambar2).

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 2


Gambar 1: Gambaran EEG ; double banana bipolar montage memperlihatkan asimetri
berupa atenuasi (amplitudo lebih rendah) pada sisi hemisfer kiri.

Gambar 2 : MRI kepala dengan sekuens T2 dan FLAIR terlihat atrofi hemisfer
kiri disertai dengan ventrikulomegali.

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 3


DISKUSI
Pembahasan gelastic seizures sulit dilepaskan dari pembahasan tentang hypothalamic
hamartoma karena pada awalnya gelastic seizure hanya dilaporkan berkaitan dengan
hypthalamic hamartoma seperti yang terlihat pada klasifikasi ILAE 1989.
Berbagai kepustakaan terdahulu banyak melaporkan kasus gelastic seizures yang
berkaitan dengan suatu hypothalamic hamartoma.6,7 Hypothalamic hamartoma merupakan
kelainan kongenital, berupa nodul non neoplastik yang secara morfologik melekat pada
hipotalamus posterior diantara tangkai hipotalamus dengan korpus mamilaris (gambar 3).
Secara histologis lesi ini terdiri dari jaringan saraf yang sama dengan struktur hipotalamus
terdiri dari neuron berbagai ukuran yang ditunjang oleh komplemen neuroglia normal.6
Gelastic seizures sangat jarang muncul sebagai manifestasi klinik pada penderita
epilepsi.2 Pengamatan selama 12 tahun pada 5000 penderita epilepsi disalah satu pusat
epilepsi, hanya ditemukan 0,16% kasus dengan gelastic seizures.2 Manifestasi klinik tertawa
dapat sangat singkat sekitar 30 detik sampai beberapa menit dan dapat merupakan satu-
satunya gejala yang ada. Walau patologis dapat mirip sekali dengan tertawa yang natural,
dapat hanya berupa senyum saja tanpa suara,4 sehingga dapat tidak terdiagnosis sampai
waktu yang lama.1,4 Seperti yang juga terjadi pada pasien ini, penderita baru datang kembali
kedokter setelah tertawa disertai dengan kejang.
Pada awalnya aktifitas tertawa patologis pada gelastic seizures diduga berasal dari
stimulasi mekanik oleh masa hamartoma pada dasar ventrikel III yang menimbulkan cetusan
listrik epileptiform.6 Tapi usaha mengangkat lesi di hipotalamus tidak selalu berhasil
menghentikan bangkitan.8 Seperti disebutkan sebelumnya gelastic seizures tidak hanya
ditemukan pada hypothalamic hamartoma melainkan juga pada lesi dibagian otak lain seperti
lesi dengan fokus difrontal, temporal, parietal. Bahkan Garg melaporkan satu kasus unik
yang diawali dengan tertawa patologis selama 15 menit sebelum timbul afasia dan
hemiparesis kanan pada penderita stroke akut usia 50 tahun dengan infark teritorial didaerah
arteri serebri media kiri.8 Oleh karena itu diduga proses tertawa melibatkan proses yang lebih
kompleks dan melibatkan sistim limbik.
Hipotesis menyatakan bahwa medullary effector center (pusat ketawa yang berada di
medula oblongata) diinhibisi oleh pusat inhibisi di korteks dan sistim limbik yang keduanya
terintegrasi oleh integrator yang berada didaerah hipotalamus.
Keinginan (korteks) dan emosi (sistim limbik) melalui jaras tertentu berinteraksi dengan
pusat ketawa dibagian bawah batang otak. Oleh karena itu kelainan dibatang otak bagian atas
yang mengakibatkan distorsi batang otak akan menimbulkan gangguan koneksi jaras
tersebut, mengakibatkan peran inhibisi oleh koteks dan sistim limbik terganggu sehingga
menimbulkan tertawa patologis, seperti yang sering terjadi pada chordoma di clivus atau
glioma di pons.8
Daerah dikorteks yang berperan dalam proses tertawa belum dapat ditentukan secara
pasti. Penelitian stimulasi listrik oleh Arroyo pada girus cinguli lobus frontal dan bagian
basal temporal manusia menimbulkan rasa gembira atau tertawa. Diperkirakan bahwa girus
cinguli bagian anterior berperan dalam aksi motorik tertawa sementara bagian basal lobus
temporal mempengaruhi proses emosional tertawa.8 Kemungkinan, hambatan terhadap
perasaan emosi juga dipengaruhi oleh peran korteks frontalis sebagai ilustrasi dari fakta
bahwa lesi difrontal sering menimbulkan gangguan emosi. Selanjutnya House meneliti
bahwa gangguan emosi sering terjadi pada stroke dengan lesi didaerah frontal atau temporal
kiri. Swash juga melaporkan kasus tertawa patologis pada infark di bagian lateral dan inferior
lobus temporal kiri.8 Hipothesis yang menyebutkan kecenderungan timbulnya gelastic
seizures akibat lesi unilateral dihemisfer cerebri kiri didukung oleh kasus ini dimana terlihat
NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 4


jelas adanya hemiatropi serebri kiri pada pemeriksaan MRI kepala. Sayang kebanyakan
laporan kasus gelastic seizures dengan kelainan patologis di hemisfer kiri tidak menjelaskan
perbedaan letak hemisfer dominan dan non dominan.

Gambar 3 : Hypothalamic Hamartoma, nodul isointens di daerah tuber cinerium6

DIAGNOSIS
Diagnosis gelastic seizures terutama ditegakkan berdasarkan anamnesis. Tertawa yang
patologis, berulang dan stereotipik, timbul tanpa provokasi rangsang spesifik, perlu
dipikirkan sebagai gelastic seizures. Gelastic seizures dapat diikuti dengan berbagai bentuk
bangkitan lain yakni myoklonik, atonik, parsial kompleks atau kejang umum,1,8 seperti pada
pasien ini tertawa yang pada perkembangan selanjutnya juga disertai dengan kejang umum
tonik klonik. Diagnosis akan menjadi mudah bila tertawa patologis diikuti dengan bentuk
bangkitan lain. Namun, karena tertawa dapat sangat singkat dan dapat mirip dengan tertawa
natural dan bila tertawa hanya sebagai satu-satunya gejala yang timbul, dapat disalah artikan
sebagai kelainan psikiatrik. Pilo melaporkan suatu kasus epilepsi lobus temporal dengan
tertawa patologis yang sempat dirawat di rumah sakit jiwa karena semula disangka
merupakan kelainan psikiatrik.2 Diagnosis Hypothalamic hamartoma dengan gelastic
seizures menurut ILAE 1989, demikian pula menurut ILAE Task Forced report
diklasifikasikan dalam kelompok disease frequently associated with epileptic seizures or
syndromes. Tetapi, sebaliknya skema diagnostik yang terbaru memasukkan gelastic seizures
dalam kelompok seizure type of various aetiologies.4,5
Gambaran EEG pada gelastic seizures baik ictal maupun interictal tidaklah khas,
tergantung letak lesi yang mendasari timbulnya bangkitan.1,7,8 Gambaran EEG awal pada
hypothalamic hamartoma dapat normal, namun pada perkembangan selanjutnya sering
menunjukkan abnormalitas yang progresif.7 Video monitoring EEG pada kasus yang
meragukan dapat membantu menegakkan diagnosis.1 Pada pasien ini gambaran EEG
memperlihatkan gambaran abnormal berupa atenuasi di hemisfer kiri. Tampaknya atenuasi
yang terlihat pada gambaran EEG berkorelasi dengan hemiatropi di hemisfer kiri yang
diperlihatkan oleh gambaran MRI.
NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 5


MRI resolusi tinggi lebih superior dari CT scan dan merupakan modalitas utama yang
dapat mengungkapkan berbagai kelainan anatomik yang menjadi penyebab timbulnya
gelastic seizures.1,2,7 Sulit memastikan penyebab timbulnya hemiatropi serebri kiri pada
pemeriksaan MRI penderita ini. Dari anamnesis yang didapat dan informasi yang diberikan
oleh dokter yang merawat sebelumnya kepada orang tua penderita, kemungkinan timbul
akibat encephalitis yang diderita sebelumnya.

PENATALAKSANAAN
Tatalaksana gelastic seizures tergantung pada etiologinya. Gelastic seizures dengan
hypothalamic hamartoma bila dtemukan pada stadium lanjut dapat disertai dengan gangguan
mental dan kognitif dan sering refrakter terhadap berbagai antikonvulsan. Hypothalamic
hamartoma dini tidak disertai gangguan kognitif dan mental dan bila dilakukan operasi
dengan tehnik khusus, transcallosal anterior interfomiceal approach dapat menghilangkan
bangkitan pada 52% kasus.9
Pada kasus lain yang bukan hypothalamic hamartoma pemberian antikonvulsan
merupakan pilihan. Carbamazepine merupakan pilihan utama pada epilepsi dengan lesi fokal
selain phenytoin, phenobarbital, gabapentin, pregabalin, oxcarbamazepine dan tiagabin.
Panagariya dkk melaporkan berbagai kasus gelastic seizures di India yang memberikan
respons yang baik terhadap pemberian carbamazepine, phenytoin, phenobarbital atau
vigabatrin dengan atau tanpa hypothalamic hamartoma, berbeda dengan berbagai laporan
kasus yang menyatakan gelastic seizures kebanyakan resisten terhadap farmakoterapi.7,10
Pada pasien ini pemberian awal asam valproat hanya mengurangi ferkuensi kejang saja
dan hanya sedikit mengurangi frekuensi tertawa. Penggantian secara bertahap dengan
phenytoin menghilangkan kejang dan sedikit mengurangi frekuensi tertawa. Penambahan
phenobarbital pada 10 hari terakhir memperlihatkan respons yang cukup baik baik terhadap
kejang maupun tertawa patologis yang timbul. Kami sangat berhati-hati dalam pemberian
carbamazepine karena tingginya insidens efek samping berupa sindroma Steven Johnson di
rumah sakit kami.

KESIMPULAN
Gelastic seizures merupakan manifestasi klinik yang sangat jarang muncul pada
penderita epilepsi. Gelastic seizure tidak hanya timbul pada hypothalamic hamartoma saja
tapi dapat timbul sebagai akibat dari lesi diberbagai daerah otak yang ikut berperan dalam
proses inhibisi timbulnya tertawa patologis. Perlu penelitian lebih lanjut untuk memperkuat
hipotesis terhadap kecenderungan lesi unilateral disisi hemisfer kiri yang dapat menimbulkan
gelastic seizures seperti yang juga terlihat pada penderita ini.
Perlu berhati-hati untuk tidak selalu menganggap bahwa tertawa patologis adalah suatu
kelainan psikiatrik saja.

DAFTAR PUSTAKA
1. Branberg G, Olofsson OE. Gelastic Seizures, Meadline, [cited 2001 February 1; 4 screens].
Available from URL : http://www.ilae-epilepsy.org/ctf/gelastic.htm/.
2. Pilo L. Gelastic Epilepsy- A Case Report, Singapore Med J 1990: 31: 78-79.
3. Conachie NS, King MD. Gelastic Seizures in a Child with Focal Cortical Dysplasia of the
Cingulate Gyrus. Springer- Verlag; Neuroradiology 1997: 39: 44-45
4. Panaylotopoulos. A Clinical Guide to Epileptic Syndromes and their Treatment. 2nd ed.
London: Springr-Verlag; 2007. p. 262-265.
5. Panaylotopoulos CP. The Epilepsies Seizures, Syndrome and Management. Oxfordshire:
Bladon Medical Publishing; 2005. p. 193-197.
NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 6


6. Robbani I, Ahmed TB. Gelastic Seizures in a Young Boy: Evaluation by MRI, Medical
Principle and Practice 2005: 14: 199-201.
7. Panagariya A, Sharma B, Tripathi G. Gelastic Epilepsy Associated with Lesions other than
Hypothalamic Hamartoma, Annals of Indian Academy Neurology 2007: 10 (2): 1-4.
8. Garg RK, Misra S, Verma R. Pathological Laughter as Heralding Manifestation of Left
Middle Cerebral Artery Territory Infarct: Case Report and Review of Literature, Neurology
India 2000: 48: 388-390.
9. Deopujari CE, Suhas U. Surgical Considerations in the Management of Gelastic Seizures,
Journal of Pediatric Neurosciences 2008: 3 (1): 88-93.
10. Freeman JL, Olofsson OE. Gelastic Seizures in: Engel J, Pedley TA. Editors. Epilepsy an
Comprehensive Textbook 2nd ed. Lippincott Williams and Wilkins; 2008. p. 619-622.

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 7


Artikel Penelitian

HUBUNGAN HENDAYA KOGNITIF NON DEMENSIA DENGAN


KENDALI GLIKEMIK PADA PENYANDANG DIABETES MELITUS TIPE 2

M. Kurniawan*, Adre Mayza*, Salim Harris*, Budiman**

ABSTRACT
Background : Patients with type 2 diabetes mellitus have been found to have cognitive dysfunction that can be
attributed to their disease. Longitudinal studies have shown the association of type 2 diabetes mellitus with both
dementia and mild cognitive impairment. One proposed factor which contribute to the pathophysiology of cognitive
dysfunction in patients with type 2 diabetes mellitus is chronic hyperglycemia through endothelial dysfunction and
neurotransmitter disturbance mechanisms. The objective of this study is to find out the association of mild cognitive
impairment and chronic hyperglycemia using glycemic control as the indicator in patients with type 2 DM.
Methods : A nested case-control study was parformed among subjects with type 2 diabetes mellitus in Endocrine
Outpatient Clinic of Cipto Mangunkusumo National Hospital. We obtained 106 subjects who met the inclusion
criteria which then divided and matched into 2 groups, normal and mild cognitive impairment group, according to
the result of neuropsychological test using Luria Nebraska Neuropsychological Battery Screening Test and Trial
Making Test B. Glycemic control of all subjects was evaluated from medical record of serial fasting glucose and
post prandial glucose test in the last 2 years.
Results : From 106 subjects we obtained, 50 (47,2%) was men and 56 (52,8%) women with mean age 56,26 7,0
years old and mean duration of suffered from type 2 diabetes mellitus 6,41 4,70 years. Mild cognitive impairment
was found in 58 subjects (54,72%). Glycemic control was highly associated with cognitive impairment with p = 0.00
and odds ratio 38.11 (95% CI 12.53-115.89). We found no association of cognitive impairment with duration of type
2 diabetes, types of medication and other chronic complications of type 2 diabetes mellitus, including coronary
artery disease, retinopathy, nephropathy and neuropathy.
Conclusions : Glycemic control is highly associated with mild cognitive impairment in subjects with type 2 DM
Keywords : mild cognitive impairment, type 2 diabetes mellitus, glycemic control

ABSTRAK
Latar Belakang: Telah diketahui bahwa pada penyandang diabetes mellitus tipe 2 dapat mengalami hendaya
kognitif yang berhubungan dengan DM tipe 2 yang disandangnya. Penlitian longitudinal menunjukkan adanya
hubungan antara DM tipe 2 dengan demensia maupun hendaya kognitif ringan (mild cognitive impairment). Salah
satu faktor yang dianggap berkontribusi terhadap patofisiologi hendaya kognitif pada penyandang DM tipe 2 adalah
hiperglikemia kronik yang mengakibatkan disfungsi endotel dan ganggaun neurotransmiter. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk membuktikan hubungan antara hendaya kognitif ringan dan hiperglikemia kronik dengan
menggunakan kendali glikemik sebagai indikator pada penyandang DM tipe 2.
Metode : Penelitian menggunakan disain kasus kontrol yang bersarang pada studi potong lintang pada penyandang
DM tipe 2 di Poliklinik Endokrine RS Cipto Mangunkusumo. Didapatkan 106 subyek yang memenuhi criteria
inklusi yang kemudian dibagi menjadi 2 kelompok dengan matching menjadi kelompok normal dan kelompok
hendaya kognitif ringan, berdasarkan hasil pemeriksaan neuropsikologi dengan menggunakan Skrining Tes Luria
Nebraska dan Tes Trial Making B. Kendali glikemik seluruh subjek dievaluasi dengan menggunakan data rekam
medis dari kadar gula darah puasa dan kadar gula darah 2 jam post prandial selama 2 tahun terakhir.
Hasil : Dari 106 subyek, 50 (47,2%) laki-laki dan 56 (52,8%) perempuan dengan rerata usia 56,26 7,0 tahun dan
rerata lama menyandang DM tipe 2 6,41 4,70 years. Hendaya kognitif ringan didapatkan pada 58 subyek
(54,72%). Kendali glikemik berhubungan erat dengan hendaya kognitif dengan nilai p = 0.00 dan odds ratio 38.11
(95% CI 12.53-115.89). Tidak ditemukan hubungan antara hendaya kognitif dengan lama menyandang DM tipe 2,
jenis pengobatan dan komplikasi kronik DM tpe 2 lain yang mencakup penyakit jantung koroner, retinopati,
nefropati dan neuropati.
Kesimpulan : Kendali glikemik berhubungan erat dengan hendaya kognitif ringan pada subyek dengan DM tipe 2.
Kata kunci : hendaya kognitif ringan, DM tipe 2, kendali glikemik

* Staf Departemen Neurologi FKUI-RSCM


** Staf Divisi Metabolik Endokrin, Departemen Penyakit Dalam FKUI-RSCM

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 1


LATAR BELAKANG
Saat ini di seluruh dunia diperkirakan terdapat 120 juta penyandang diabetes dan terus
bertambah dari tahun ke tahun. Menurut data WHO pada tahun 2050 diperkirakan terdapat 35%
penduduk seluruh dunia menyandang diabetes.1,2 Berdasarkan penelitian epidemiologi yang telah
dilakukan di Indonesia, kekerapan diabetes juga tampak semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Di Jakarta, prevalensi DM 1,7% (1982) meningkat menjadi 5,7% (1993), pada tahun 2001
kekerapannya adalah 12,8% (Depok).1,3
Diabetes melitus merupakan penyakit metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia akibat
defek sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya (American Diabetes Association, 2008).4
Hiperglikemia kronik pada diabetes dapat mengakibatkan kerusakan, disfungsi, dan kegagalan
berbagai organ, khususnya mata, ginjal, jantung, pembuluh darah, dan saraf. Beberapa literatur
mengemukakan tingginya angka komplikasi diabetes melitus akibat penyumbatan pembuluh
darah, baik pada pembuluh darah besar (makrovaskular) seperti penyakit kardiovaskuler, strok
dan penyakit pembuluh darah perifer, maupun pada pembuluh darah kecil (mikrovaskular)
seperti retinopati, nefropati dan neuropati. Selain komplikasi-komplikasi yang telah umum
diketahui seperti diatas, terdapat komplikasi lain yang dianggap merupakan kombinasi dari
mikro dan makrovaskular yang masih amat sedikit dibahas yakni gangguan fungsi kognitif.4,5,6
Gangguan fungsi kognitif pada pasien diabetes melitus pertama kali dikemukakan oleh
Miles dan Root tahun 1922. Mereka mengemukakan bahwa penyandang diabetes mellitus
memiliki gangguan memori dan atensi pada pemeriksaan kognitif dibandingkan dengan kontrol
yang sehat. Sejak saat itu, beberapa penelitian dilakukan untuk memperoleh gambaran yang jelas
mengenai cakupan dan derajat disfungsi kognitif pada diabetes.4
Penelitian-penelitian tersebut menyimpulkan bahwa defisit kognitif yang sering
diidentifikasi pada penyandang DM tipe 2 berhubungan dengan gangguan dalam ranah
kecepatan psikomotor, fungsi lobus frontalis/fungsi eksekutif, memori verbal, memori kerja
(working memory), immediate dan delayed recall, fungsi motorik kompleks, kefasihan verbal
(verbal fluency), retensi visual dan atensi.7,8,9 Gangguan fungsi kognitif diatas mulanya bersifat
ringan namun sudah dapat mengganggu aktivitas sehari-hari mengingat gangguan tersebut dapat
mengakibatkan depresi yang kemudian makin memperburuk fungsi kognitif. Pada derajat yang
lebih berat, gangguan kognitif pada penyandang DM tipe 2 dapat berupa demensia vaskular dan
penyakit Alzheimer.2,10
Penelitian kohort prospektif menunjukkan hubungan antara diabetes melitus tipe 2 dan
demensia, baik demensia vaskular maupun Alzheimer. Risiko demensia akan meningkat sebesar
50-200% pada penyandang diabetes.2 Selain itu, terdapat beberapa penelitian kecil yang menilai
hubungan antara DM dengan hendaya kognitif non demensia dengan hasil bervariasi, dimana
angka kejadian hendaya kognitif non demensia pada populasi DM berkisar dalam rentang yang
amat luas antara antara 8-87%.1,11-15
Pada berbagai studi diatas, upaya membuktikan ada tidaknya gangguan kognitif pada
penyandang diabetes dilakukan dengan pemeriksaan neuropsikologi. Diantara pemeriksaan
neuropsikologi yang umum digunakan dalam penelitian-penelitian tersebut adalah pemeriksaan
neuropsikologi penyaring seperti Mini Mental State Examination (MMSE) dan Skrining Tes
Luria Nebraska (STLNB). Disamping itu, dapat digunakan pemeriksaan neuropsikologi spesifik
untuk domain kognitif tertentu sperti Trial Making Test-B yang menilai atensi, visuomotor dan
fugsi eksekutif, dimana pemeriksaan ini memiliki nilai prediksi yang tinggi dalam
mendiagnoasis adanya gangguan kognitif pada penyandang DM tipe 2. 1,11-15

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 2


Salah satu faktor yang diduga berperan penting dalam patofisiologi gangguan fungsi
kognitif pada penyandang diabetes melitus adalah hiperglikemia kronik. Hiperglikemia kronik
dihipotesiskan berkontribusi dalam gangguan fungsi kognitif melalui mekanisme kerusakan
endotel dan gangguan pada neurotransmitter. Namun demikian, tidak seluruh studi dapat
membuktikan peran hiperglikemia kronik yang dinilai melalui kendali glikemik berhubungan
dengan gangguan fungsi kognitif. Bahkan di Indonesia, dalam studi prevalensi yang dilakukan
pada 2006 dan 2007 menunjukkan kendali glikemik tidak memiliki rasio prevalens yang
bermakna.1,15
Selain kendali glikemik, faktor-faktor lain yang diduga berhubungan dengan gangguan
kognitif pada penyandang DM tipe 2 meskipun penelitian-penelitian yang ada belum jelas
membuktikannya adalah faktor lama menyandang DM, jenis terapi yang digunakan apakah
insulin atau obat hipoglikemik oral, serta komplikasi kronik DM tipe 2 yang lain yakni coronary
artery disease/CAD, peripheral arterial disease/PAD, retinopati, nefropati, dan neuropati DM.5
Upaya untuk membuktikan bahwa kendali glikemik dan faktor-faktor lain seperti lama
menyandang DM, terapi insulin atau obat hipoglikemik oral, serta komplikasi coronary artery
disease (CAD), peripheral arterial disease (PAD), retinopati, nefropati, dan neuropati DM
berkontribusi dalam dalam gangguan fungsi kognitif amat penting demi upaya edukasi untuk
pencegahan dini maupun dalam hal tatalaksana mencegah perburukan gangguan kognitif
menjadi demensia.

METODE
Penelitian ini dilakukan menggunakan desain nested case control yang bersarang pada
penelitian potong lintang tanpa pembanding. Pasien dengan gangguan kognitif akan dimasukkan
sebagai kelompok kasus, sedangkan kelompok kontrol akan diambil dari pasien-pasien yang
tidak mengalami gangguan kognitif dengan matching. Penelitian dilakukan di Poliklinik
Endokrin Penyakit Dalam, RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, dari bulan Agustus sampai
November 2008. Penelitian dimulai setelah mendapat persetjuan dari komite etik. Populasi
penelitian adalah semua individu yang telah didiagnosis DM tipe 2 yang datang berobat ke
Poliklinik Endokrin Penyakit Dalam, RS Cipto Mangunkusumo Jakarta dan masuk dalam
kriteria inklusi selama periode penelitian.
Kriteria inklusi adalah penyandang DM yang telah didiagnosis dan digolongkan dalam
DM tipe 2, dengan usia maksimal 65 tahun, dapat membaca, menulis dan lulus Sekolah
Menengah Pertama serta bersedia diikutsertakan dalam penelitian. Sementara criteria eksklusi
adalah penyandang DM dengan riwayat strok, cedera kepala, infeksi/tumor otak, penyandang
epilepsi, riwayat minum alkohol, pengguna opiat/obat antidepresan, penyandang epilepsi yang
didapat dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, penyandang DM dengan defisit fokal neurologis
seperti hemiparesis, dan paresis saraf kranialis, penyandang dengan gangguan pendengaran atau
gangguan visus berat dan penyandang DM dengan gangguan depresi berat (skor Hamilton >17)
Semua pasien yang telah didiagnosis DM tipe 2 yang datang berobat ke Poliklinik
Endokrin - Penyakit Dalam, RS Cipto Mangunkusumo dilakukan anamnesis dan identifikasi
catatan medis berupa karakteristik penyandang seperti identitas, lamanya menyandang DM,
serta identifikasi riwayat penyakit dahulu seperti riwayat strok, trauma kepala, infeksi/tumor
otak, minum alkohol dan obat-obat yang dikonsumsi dalam 3 bulan terakhir. Selanjutnya
dilakukan pemeriksaan fisik umum (tekanan darah sistolik dan diastolik, pengukuran berat
badan dan tinggi badan) dan pemeriksaan neurologi rutin. Kemudian dilakukan pemeriksaan
fungsi penglihatan dengan tes membaca, dan pemeriksaan fungsi pendengaran. Setelah itu

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 3


dilakukan pemeriksaan skala Hamilton untuk menentukan apakah subyek sedang mengalami
depresi atau tidak. Bila skor Hamilton 10, pasien tidak diikutkan dalam penelitian.
Subyek yang terbukti termasuk dalam kriteria eksklusi tidak diikutkan dalam penelitian.
Sedangkan subyek yang memenuhi kriteria inklusi dilanjutkan dengan pemeriksaan Skrining Tes
Luria Nebraska (STLNB) dan Trail Making Test B (TMT-B). Setelah 106 pasien diperiksa, 35
orang dengan gangguan kognitif diambil secara acak sebagai kasus dan 35 orang dengan hasil
pemeriksaan normal sebagai kontrol dengan matching usia, pendidikan, indeks massa tubuh,
hipertensi dan dislipidemia terhadap kelompok kasus.
Dilakukan penelusuran dan pencatatan hasil pemeriksaan kendali glikemik (gula darah
puasa/GDP dan gula darah 2 jam post prandial/GDPP) selama 2 tahun terakhir, lama
menyandang diabetes, jenis terapi yang digunakan (insulin atau obat hipoglikemik oral/OHO)
serta ada tidaknya komplikasi kronik DM yang lain (CAD, PAD, retinopati, nefropati dan
neuropati) pada kelompok kasus dan kontrol.
Data penelitian dicatat pada formulir penelitian yang telah diuji coba. Setelah melalui
proses editing dan koding, data penelitian direkam dalam cakram magnetik untuk dilakukan
proses pembersihan data secara elektronik. Data yang telah teruji keabsahannya ini diolah dan
disusun dalam bentuk tabel distribusi maupun tabel silang sesuai tujuan penelitian
menggunakan perangkat SPSS versi 12.0.

HASIL PENELITIAN
Pada penelitian ini didapatkan sampel 106 pasien DM tipe 2 yang berobat di Poliklinik
Endokrin Penyakit Dalam RSCM antara Agustus-November 2008 dengan sebaran karakteristik
demografik dan medis seperti pada Tabel 1.
Proporsi laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda, terdiri dari 50 (47,2%) laki-laki dan
56 (52,8%) perempuan. Rentang usia subyek antara 34-65 tahun, dimana subyek berpendidikan
dasar sebanyak 27 orang (25,5%) dan berpendidikan lanjutan dan tinggi sebanyak 79 orang
(74,5%). Pada penelitian ini didapatkan 49% pasien memiliki durasi DM selama < 5 tahun.
Sebagian besar subjek (60,4%) memiliki indeks massa tubuh (IMT) dengan berat badan lebih
(IMT 23 kg/m). Sebanyak 52,8% subjek memiliki hipertensi atau sedang meminum obat
antihipertensi, 62,3% memiliki dislipidemia atau sedang meminum obat hipolipidemik, dan
63,2% menderita salah satu atau lebih komplikasi DM tipe 2 (retinopati, neuropati, nefropati atau
CAD). Kendali glikemik pada sebagian besar subjek (51,9%) termasuk dalam kategori buruk.
Terapi yang dikonsumsi sebagian besar subjek (48,1%) adalah terapi dengan obat hipoglikemik
oral (OHO).

Tabel 1. Sebaran Karakteristik Demografik & Medis Subyek penelitian

Karakteristik Jumlah Persentase (%)


Jenis Kelamin
Laki-laki 50 47,2
Perempuan 56 52,8
Usia
< 60 tahun 64 60,3
60 tahun 42 39,7
Pendidikan
Dasar 27 25,5

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 4


Lanjutan 79 74,5
Lama DM
2 tahun 27 25,5
2-5 tahun 27 25,5
> 5 tahun 52 49
Indeks Massa Tubuh
Berat badan kurang 2 1,9
Berat badan normal 40 37,7
Berat badan lebih 64 60,4
Riwayat Hipertensi
Ya 56 52,8
Tidak 50 47,2
Riwayat Dislipidemia
Ya 66 62,3
Tidak 40 37,7
Komplikasi DM lain
Ya 67 63,2
Tidak 39 36,8
Kendali glikemik
Baik 28 26,4
Sedang 23 21,7
Buruk 55 51,9
Terapi
OHO 51 48,1
Insulin 36 34
Campuran 19 17,9

Pada penelitian ini didapatkan rerata usia subyek adalah 56,26 7,0 tahun. Rerata lama
menyandang DM tipe 2 adalah 6,41 4,70 tahun. Sebaran rerata dan simpang baku variabel awal
subyek dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai rerata dan simpang deviasi (SD) subyek penelitian

95% CI
Mean SD Median
Low High
Usia 56,26 7,0 54,92 57,61 57,00
Lama sakit DM 6,41 4,70 5,50 7,31 5,00
Sistolik 124,72 15,25 121,78 127,66 120,0
Diastolik 77,36 7,34 75,94 78,77 80,00
IMT 24,30 3,79 23,58 25,04 24,20

Pemeriksaan fungsi kognitif pada penelitian ini menggunakan Skrining Tes Luria
Nebraska dan Trail Making Test-B. Niai rerata dan simpang baku hasil pemeriksaan dapat dilihat
dalam Tabel 3.

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 5


Tabel 3. Nilai rerata dan simpang deviasi (SD) pemeriksaan neuropsikologi

95% CI
Mean SD Median
Low High
STLNB 7,17 3,858 6,43 7,91 8,00
TMT-B 175,16 69,82 161,71 188,61 180

Sebaran gangguan fungsi kognitif berdasarkan tiap jenis pemeriksaan dapat dilihat dalam
kognitif secara keseluruhan terdapat pada 58 subyek (54,72%).

Tabel 4. Sebaran gangguan kognitif berdasarkan tes skrining neuropsikologi

Jumlah Persentase (%)


Ada gangguan 54 50,94
STLNB
Tidak ada 52 49,06
Ada gangguan 50 47,17
TMT-B
Tidak ada 56 52,83
STLNB dan / Ada gangguan 58 54,72
atau TMT-B Tidak ada 48 45,38

Pola sebaran gangguan kognitif berdasarkan pemeriksaan STLNB dapat dlihat pada
Tabel 5. Sebagian besar berupa gangguan memori (45,28%) dan gangguan fungsi eksekutif
(43,39%).

Tabel 5. Sebaran gangguan kognitif menurut tes STLNB berdasarkan domain

Jumlah Persentase (%)


Atensi 16 15,1
Kalkulasi 14 13,2
Memori 48 45,28
Visuospasial 24 22,64
Bahasa 27 25,47
Fungsi eksekutif 46 43,39
Kecepatan psikomotor 21 19,81

Pada penelitian ini kami juga mencoba untuk menlai hubungan berbagai faktor terhadap
gangguan kognitif, seperti dapat dilhat pada Tabel 6.

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 6


Tabel 6. Hubungan gangguan kognitif dengan faktor risiko

Gangguan Kognitif 95% CI


p OR
Ya Tidak Low High
Jenis kelamin
Laki-laki 27 23 0,02 0,974 0,44 2,03
Perempuan 31 25
Usia
< 60 tahun 33 31 0,42 1,38 0,63 3,04
60 tahun 25 17
Pendidikan
Dasar 19 8 0,058 2,43 0,95 6,21
Lanjutan 39 40
Indeks Massa Tubuh
BB kurang 2 0
BB normal 20 20 0,35
BB lebih 36 28
Riwayat Hipertensi
Ya 29 27 0,52 0,78 0,36 1,68
Tidak 29 21
Riwayat Dislipidemia
Ya 37 29 0,72 1,15 0,52 2,54
Tidak 21 19
Kendali glikemik
Baik 3 25
Sedang 6 17 0,00
Buruk 49 6
Lama menyandang DM
2 tahun 11 16
2-5 tahun 16 11 0,24
> 5 tahun 31 21
Terapi
OHO 25 26
Insulin 25 11 0,08
Campuran 8 11
Komplikasi DM lain
Ya 38 29 0,59 1,24 0,56 2,75
Tidak 20 19
Sebaran berdasarkan jenis kelamin, usia, pendidikan, indeks massa tubuh, hipertensi dan
dislipidemia pada kelompok dengan gangguan kognitif maupun kelompok tanpa gangguan
kognitif cukup berimbang sehingga tidak terdapat hubungan yang bermakna saat dilakukan
analisis statistik. Demikian pula dengan faktor lama menyandang diabetes, jenis terapi dan
komplikasi diabetes, tidak didapatkan hubungan yang bermakna dengan gangguan kognitif. Satu-
satunya faktor determinan yang berhubungan dengan gangguan kognitf pada penelitian ini
adalah kendali glikemik dengan p = 0,00. sehingga tidak dilanjutkan dengan analisis multivariat
terhadap faktor-faktor lain.
Selanjutnya dilakukan analisis spesifik menganai hubungan antara gangguan kognitif
dengan jenis dari komplikasi diabetes yang diderita oleh subjek seperti yang ditampilkan pada
Tabel 7.

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 7


Tabel 7. Hubungan antara gangguan kognitif dengan jenis komplikasi diabetes

Gangguan Kognitif 95% CI


p OR
Ya Tidak Low High
Komplikasi DM lain
Retinopati 10 4 0,18 2,29 0,67 7,84
Neuropati 20 13 0,41 1,41 0,62 3,27
Nefropati 4 9 0,07 0,32 0,92 1,12
CAD 9 9 0,66 0,79 0,29 2,19
Dari tabel diatas tidak didapatkan adanya hubungan yang bermakna antara komplikasi diabetes
retinopati, neuropati, nefropati maupun CAD dengan gangguan kognitif.

PEMBAHASAN
Pada penelitian ini, rerata usia subyek adalah 56,26 7,0 tahun. Rerata usia tersebut tidak
jauh berbeda dengan populasi pasien DM tipe 2 di Poli Endokrin RSCM pada penelitian yang
dilakukan oleh Octaviani yakni 52,7 5,8 tahun maupun pada penelitian oleh Nasrun yakni 58,5
2,0 tahun. Berbeda dengan penelitian Ryan dan Geckle yang menemukan adanya gangguan
kognitif terutama pada domain kecepatan psikomotor seiring dengan bertambahnya usia, pada
penelitian ini tidak ditemukan adanya hubungan antara usia dengan gangguan kognitif. Hal
tersebut dapat disebabkan karena perbedaan rerata usia antara kelompok dengan gangguan
kognitif (57,17 6,44 tahun) tidak jauh bebrbeda dibandingkan dengan rerata pada kelompok
tanpa gangguan kognitif (55,17 7,54). Selain itu, usia subjek yang dibatasi maksimal 65 tahun
juga menjadi slaah satu sebab tidak ditemukannya hubungan antara usia dengan gangguan
kognitif, sesuai dengan hasil penelitian Kumari dan Marmot pada Studi Whitehall II dimana pada
penyandang diabetes berusia <65 tahun tidak ditemukan adanya gangguan kognitif.
Pada penelitian ini, persentase jenis kelamin perempuan dan laki-laki hampir sebanding
dengan ratio 1,12. Perbandingan ini hampir serupa dengan rasio perbandingan perempuan dan
laki-laki pada penelitian Puspitasari (2006) yakni 1,3. Pada analisis tidak didapatkan adanya
hubungan antara jenis kelamin dengan gangguan kognitif. Hal ini sesuai dengan penelitian
Barnes yang menyatakan pola penyakit dan insidens demensia Alzheimer sama antara laki-laki
dan perempuan.
Tingkat pendidikan juga dapat mempengaruhi fungsi kognitif. Beberapa studi kohort
dengan populasi besar telah menunjukkan bahwa tingkat pendidikan rendah memiliki risiko lebih
tinggi untuk terjadinya demensia. Pada penelitian ini, tingkat pendidikan subjek ditentukan
minimal SMP (pada 27 orang atau 25,5% subjek). Hal tersebut menjadikan tingkat pendidikan
tidak mempengaruhi kejadian gangguan kognitif pada penelitian ini.
Pada penelitian ini indeks massa tubuh (IMT) subjek sebagian besar (60,4%) termasuk
dalam kategori berat badan lebih (IMT 23 kg/m). Hubungan antara IMT dengan gangguan
kognitif hingga saat ini masih kontroversial. Penelitian oleh Cournot, dkk (2006) menunjukkan
adanya hubungan antara berat badan lebih dengan risiko demensia, sementara penelitian oleh
Buchman, dkk (2006) menunjukkan IMT yang kurang justru meningkatkan risiko demensia.
Pada penelitian ini hubungan antara IMT dengan gangguan tidak bermakna. Hasil ini serupa
dengan hasil studi Sturman, dkk (2008).
Hipertensi ditemukan pada sebagian besar (52,8%) subjek pada penelitian ini. Prevalensi
hipertensi pada DM tipe 2 yang cukup tinggi ini hampir serupa dengan yang ditemukan pada

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 8


studi Nilsson, dkk (2003) sebesar 47-56% maupun penelitian oleh Chan (2005) di Malaysia
sebesar 67,7%. Hipertensi pada DM tipe 2 dapat merupakan suatu koinsidens atau akibat
sekunder dari diabetes dimana kondisi hiperglikemia mengakibatkan aktivasi protein kinase C
(PKC) yang memiliki efek pada berbagai ekspresi gen. Ekspresi endothelial Nitric Oxyde
Synthase (eNOS) yang berperan dalam vasodilatasi akan berkurang sementara ekspresi
endothelin-1 yang bersifat vasokonstriktor akan meningkat sehingga terjadilah peningkatan
tekanan darah. Hipertensi secara independen meningkatkan risiko terjadinya gangguan kognitif,
seperti yang telah dibuktikan oleh berbagai studi.5,16 Pada penelitian ini, tidak didapatkan
hubungan yang bermakna antara hipertensi dengan gangguan kognitif. Hal ini disebabkan karena
sebaran hipertensi baik pada kelompok dengan gangguan kognitif (29 orang atau 27,36% )
maupun pada kelompok tanpa gangguan kognitif (27 orang atau 25,47%) cukup seimbang.
Pada penelitian ini, dislipidemia ditemukan pada sebagian besar (62,3%) subjek. Hal ini
hampir serupa dengan laporan Canadian Diabetes Association (2006) dimana prevalensi
dislipidemia pada penyandang DM tipe 2 mencapai 55-66%. Salah satu teori yang menerangkan
tingginya angka dislipidemia pada penyandang diabetes adalah karena diabetes dan
hiperglikemia akan mengakibatkan peningkatan konsentrasi asam lemak bebas dalam sirkulasi
akibat pelepasan yang berlebihan dari jaringan adiposa dan berkurangnya uptake oleh sel otot.
Akibatnya organ hati akan berespon dengan meningkatkan produksi very low density lipoprotein
(VLDL) dan sintesis kolesterol ester. Keadaan tersebut disertai dengan berkurangnya aktivitas
lipoprotein lipase akan meningkatkan konsentrasi trigliserida dalam darah yang kemudian akan
menurunkan konsentrasi HDL. Pada beberapa penelitian, dislipidemia berhubungan dengan
risiko terjadinya gangguan kognitif, seperti yang dibuktikan oleh studi Farr, dkk (2008). Pada
penelitian ini, kami tidak menemukan hubungan yang bermakna antara dislipidemia dengan
gangguan kognitif. Hal ini disebabkan karena sebaran dislipidemia tidak jauh berbeda antara
kelompok dengan gangguan kognitif (37 orang atau 34,90% ) dan kelompok tanpa gangguan
kognitif (29 orang atau 27,36%).

Prevalensi dan pola gangguan kognitif


Prevalensi gangguan kognitif berdasarkan tes STLNB adalah 50,94% sementara
berdasarkan pemeriksaan Trial Making Test B adalah 47,17%. Secara keseluruhan, berdasarkan
batasan operasional yang telah ditetapkan, yakni dikatakan gangguan kognitif bila terdapat nilai
abnormal pada salah satu atau kedua pemeriksaan (STLNB dan TMT-B), maka prevalensi
gangguan kognitif sebesar 54,72%. Hasil ini hampir serupa dengan yang didapatkan pada
penelitian oleh Nasrun (2007) juga di RSCM, yakni sebesar 54,5%.
Pada subjek dengan hasil pemeriksaan STLNB yang terganggu, apabila di analisis lebih
lanjut, maka gangguan terbesar terdapat pada domain memori 45,28% dan fungsi eksekutif yakni
sebesar 43,39%. Selain itu, terdapat pula gangguan dalam ranah kognitif yang lain. Hasil ini
sesuai dengan studi-studi sebelumnya bahwa DM tipe 2 dapat mengakibatkan gangguan dalam
seluruh ranah kognitif, terutama ranah memori, fungsi eksekutif dan kecepatan psikomotor pada
pasien dengan kendali glikemik buruk seperti pada penelitian Munshi dkk pada tahun 2006.
Hasil yang didapatkan juga menunjukkan kesesuaian antara pemeriksaan STLNB dengan
pemeriksaan TMT-B dimana prevalensi gangguan kognitif secara keseluruhan didapatkan tidak
jauh berbeda dan secara lebih khusus, gangguan pada ranah fungsi eksekutif baik pada
pemeriksaan STLNB (43,39%) memiliki prevalensi yang hampir sama dengan pemeriksaan
TMT-B (47,17%).

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 9


Hubungan gangguan kognitif dengan kendali glikemik
Pada penelitian ini, analisis hubungan gangguan kognitif dengan kendali glikemik dapat
lebih kuat mengingat hampir seluruh faktor risiko lain seperti pendidikan, hipertensi,
dislipidemia dan indeks massa tubuh (IMT) tersebar merata baik pada kelompok yang
mengalami gangguan kognitf maupun yang tidak. Hal ini menjadikan analisis statistik lebih
akurat dengan hasil didapatkan hubungan bermakna antara kendali glikemik dengan gangguan
kognitif (p= 0,00). Semakin buruk kendali glikemik, maka semakin besar kemungkinan
mengalami gangguan kognitf. Pada analisis multivariat, kendali glikemik buruk akan
meningkatkan risiko (OR) kejadian gangguan kognitif sebesar 38,11 (95% CI 12,53-115,89).
Hasil ini sesuai dengan teori dimana kadar gula darah yang tinggi dalam jangka panjang akan
mengakibatkan disfungsi endotel sehingga terjadi gangguan vaskuler di otak maupun gangguan
pada neurotransmitter yang berujung pada kejadian disfungsi kognitif.
Berbeda dengan penelitian oleh Lowe, dkk (1994), serta studi prevalensi oleh Puspitasari
(2006) dan Nasrun (2007) dimana tidak ditemukan hubungan kendali glikemik dengan gangguan
kognitif pada penyandang DM, hasil penelitian kami menunjukkan adanya hubungan yang
bermakna antara kendali glikemik dengan gangguan kognitif. Hasil yang kami dapatkan sejalan
dengan hasil yang didapatkan oleh Yaffe, dkk (2006), Maraldi, dkk (2007) serta Gao, dkk
(2008). Penelitian oleh Loewe, Puspitasari maupun Nasrun yang tidak menemukan hubungan
bermakna antara kendali glikemik merupakan pemelitian prevalensi dimana faktor-faktor risiko
lain tidak disetarakan (matching).

Hubungan gangguan kognitif dengan lama menyandang DM tipe 2, jenis terapi dan
komplikasi kronik diabetes
Hubungan antara lama menyandang diabetes dengan gangguan kognitif masih
kontroversial. Penelitian Northam, dkk (1998) menunjukkan gangguan kognitif pada penyandang
diabetes dapat muncul dalam 2 tahun setelah pasien terdiagnosis. Pada penelitian Gregg, dkk
didapatkan penyandang diabetes dengan durasi >5 tahun memiliki risiko 1,5 kali lipat untuk
terjadinya gangguan kognitif. Pada penelitian kami tidak didapatkan hubungan yang bermakna
antara lama menyandang diabetes dengan gangguan kognitif. Hal ini sesuai dengan hasil yang
didapatkan oleh Mogi (2004).5,17 Tidak adanya hubungan yang bermakna antara lama
menyandang diabetes dengan gangguan kognitif dapat disebabkan karena onset diabetes melitus
bisa jadi tidak terdeteksi sejak awal, dimana pasien saat awal didiagnosis DM tipe 2 mungkin
sudah sejak lama menyandang diabetes
Jenis terapi pada penelitian kami juga tidak berhungan dengan gangguan kognitif.
Hubungan antara jenis terapi DM dengan gangguan kognitif juga masih belum jelas. Sebagian
studi menunjukkan bahwa pemakaian insulin memperburuk fungsi kognitif sementara sebagian
lain justru menghasilkan kesimpulan sebaliknya.
Pada penelitian kami juga tidak terdapat hubungan yang bermakna antara komplikasi
kronik diabetes melitus (baik retinopati, neuropati, nefropati maupun CAD) dengan gangguan
kognitif. Berbeda dengan studi yang dilakukan oleh Ferguson (2003) dan Brands (2005), hasil
yang kami dapatkan justru sesuai dengan penelitian Wessels (2006) dimana tidak ditemukan
hubungan antara komplikasi kronik diabetes dengan gangguan kognitif. Salah satu faktor yang
mungkin berperan terhadap hasil ini adalah jumlah sampel yang terlalu sedikit untuk komplikasi
kronik DM tipe 2 sehingga didapatkan hasil yang tidak bermakna.

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 10


KESIMPULAN DAN SARAN
Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Prevalensi hendaya kognitif non demensia berdasarkan pemeriksaan Skrining Tes Luria
Nebraska (STLNB) dan Trial Making Test B (TMT-B) adalah 54,72%.
2. Ranah kognitif yang terganggu menurut pemeriksaan STLNB adalah memori dan fungsi
eksekutif.
3. Terdapat hubungan antara kendali glikemik dengan kejadian hendaya kognitif non demensia
dengan pada penyandang DM tipe 2 dengan rasio odds 38,11 (IK 95% antara 12,53-115,89).
4. Tidak terdapat hubungan antara faktor lama menyandang DM tipe 2 dengan hendaya
kognitif non demensia.
5. Tidak terdapat hubungan antara penggunaan terapi insulin atau obat hipoglikemik oral
dengan hendaya kognitif non demensia.
6. Tidak terdapat hubungan antara komplikasi kronik DM tipe 2 (CAD, retinopati, nefropati
dan neuropati) dengan hendaya kognitif non demensia.

Dari penelitian ini disarankan hal-hal sebagai berikut :


1. Pada penelitian ini digunakan pemeriksaan Luria Nebraska versi skrining (STLNB). Kami
menyarankan untuk digunakan pemeriksaan Luria Nebraska versi lengkap (LNNB) untuk
menghasilkan analisis yang lebih akurat mengenai sebaran ranah kognitif yang terganggu
pada pasien DM tipe 2.
2. Dilakukan penelitian kasus kontrol dengan jumlah sampel yang lebih besar untuk menilai
hubungan antara penggunaan terapi insulin atau obat hipoglikemik oral dengan hendaya
kognitif non demensia.
3. komplikasi kronik DM tipe 2 (CAD, retinopati, nefropati dan neuropati) dengan hendaya
kognitif non demensia.

KEPUSTAKAAN
1. Nasrun MW. Deteksi dini hendaya kognitif non demensia pada penyandang diabetes melitus tipe 2: pendekatan
epidemiologi klinis, psikometrik dan spektroskopi resonansi magnetik. Disertasi. Program studi Doktor Ilmu
Kedokteran. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007.
2. Ott A, Stolk RP, Harskamp F, Pols HAP, Hofman A, Breteler. Diabetes mellitus and the risk of dementia: The
Rotterdam Study. Neurology. 1999;53:1937-43.
3. Suyono S. Kecenderungan peningkatan jumlah pasien diabetes. Dalam: Penatalaksanaan diabetes mellitus
terpadu. Pusat Diabetes dan Lipid RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, FKUI. Jakarta: Aksara Buana 1999. hal 1-
4.
4. American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes. Diabetes Care. 2008. 31;Suppl 1: S55-
60.
5. Kodl CT, Seaquist ER. Cognitive dysfunction and diabetes mellitus. Endocr. Rev. 2008;10:1210.
6. Waspadji S. Komplikasi Kronik Diabetes : Mekanisme Terjadinya, Diagnosis dan Strategi Pengelolaan. Dalam :
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta, 2007.
7. Gregg EW, Yaffe K, Cauley JA, Rolka DB, Blackwell TL, Narayan KM, Cummings SR. Is diabetes associated
with cognitive impairment and cognitive decline among older women? Study of Osteoporotic Fractures
Research Group. Arch Intern Med 2000;160:174-180.
8. Munshi M, Grande L, Hayes M, Ayres D, Suhl E, Capelson R, Lin S, Milberg W, Weinger K. Cognitive
dysfunction is associated with poor diabetes control in older adults. Diabetes Care. 2006;29:1794-1799.
9. Grodstein F, Chen J, Wilson RS, Manson JE. Type 2 diabetes and cognitive function in community-dwelling
elderly women. Diabetes Care. 2001;24:1060-1065.

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 11


10. Curb JD, Rodriguez BL, Abbott RD, Petrovitch H, Ross GW, Masaki KH, Foley D, Blanchette PL, Harris T,
Chen R, White LR. Longitudinal association of vascular and Alzheimer's dementias, diabetes, and glucose
tolerance. Neurology. 1999;52:971-975.
11. Gregg EW, Brown A. Cognitive and physical disabilities and aging-related complications of diabetes. Clinical
Diabetes. 2003; 21(3):113-118.
12. Luchsinger JA, Reitz C, Patel B, Tang MX, Manly JJ, Mayeux R. Relation of Diabetes to Mild Cognitive
Impairment. Arch Neurol. 2007;64:570-575.
13. Logroscino G, Kang JH, Grodstein F. Prospective study of type 2 diabetes and cognitive decline in women aged
70-81 years. BMJ. 2004;328;548-54.
14. Yaffe K, Blackwell T, Kanaya AM, Davidowitz N, Barrett-Connor E, Krueger K. Diabetes, impaired fasting
glucose, and development of cognitive impairment in older woman. Neurology. 2004;63:658-663.
15. Puspitasari V. Gambaran fungsi kognitif ringan pada penyandang diabetes mellitus tipe 2 di Puskesmas Tebet
dan Pasar Minggu. Tesis. Program pemdidikan dokter spesialis saraf. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2006.
16. Hassing LB, Hofer SM, Nilson SE, dkk. Comorbid type 2 diabetes mellitus and hypertension exacerbates
cognitive decline: evidence from longitudinal study. Age and Ageing 2004;33:355-361.
17. Mogi N, Umegaki H, Hattori A. Cognitive function in Japanese elderly with type 2 diabetes mellitus. Journal of
Diabetes and its complication. 2004;18:42-46

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 12


Artikel Penelitian

IDENTIFIKASI NYERI NEUROPATIK DENGAN MEMAKAI SKALA


NYERI Leeds Assesment Of Neuropathic Symptoms And Signs (LANSS)
PADA PENDERITA NYERI PUNGGUNG BAWAH KRONIK

Moya Dewi Marlenny*, Yuneldi Anwar**, Hasan Sjahrir**

ABSTRACT

Background : Low back pain (LBP) is one of the most common pain conditions, where
nociceptive and neuropathic components both contribute to pain. Little information is
available about the contribution of the neuropathic component to LBP. The aim of this study
was to assess the prevalence of neuropathic pain among chronic LBP patients by use of the
Leeds Assessment of Neuropathic Pain Symptoms and Signs (LANSS) Pain scale.
Methods : A cross sectional study with subjects consisted of 72 chronic LBP patients
aged > 18 years were studied. The LANSS pain scale was applied to each patient in an
interview format. Patients with a score 12 were considered to have neuropathic pain that
contributed to their low back pain, while patients with a score < 12 were considered as
having nociceptive pain.
Results : According to the LANSS pain scale, 45 patients of chronic LBP had
neuropathic pain and 27 patients had nociceptive pain. Factors that were associated with
neuropathic pain in this study were advanced age, increased weight and hypertension.
Conclusions : Neuropathic pain is a major contributor to chronic low back pain, and the
LANSS pain scale is a useful tool to distinguish patients with neuropathic pain from those
with nociceptive pain.
Key words : Low back pain - neuropathic pain - LANSS

ABSTRAK

Latar Belakang : Nyeri punggung bawah merupakan salah satu keadaan nyeri yang
paling sering dimana komponen nosiseptif dan neuropatik berkontribusi terhadap nyeri
tersebut. Sedikit informasi yang diperoleh tentang kontribusi elemen neuropatik terhadap
nyeri punggung bawah. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai prevalensi nyeri
neuropatik pada penderita nyeri punggung bawah kronik dengan memakai skala nyeri Leeds
Assessment Of Neuropathic Symptoms And Signs (LANSS).
Metode : Dilakukan suatu studi cross sectional yang terdiri dari 72 penderita nyeri
punggung bawah kronik berumur lebih dari 18 tahun. Skala nyeri LANSS digunakan untuk
tiap penderita dalam suatu format wawancara. Penderita dengan skor > 12 dianggap
mengalami nyeri neuropatik yang berkontribusi terhadap nyeri punggung bawahnya
sedangkan penderita dengan skor < 12 dianggap mengalami nyeri nosiseptif .
Hasil : Berdasarkan skala nyeri LANSS, 45 penderita nyeri punggung bawah kronik
mengalami nyeri neuropatik dan 27 penderita mengalami nyeri nosiseptif. Faktor-faktor
yang berhubungan dengan nyeri neuropatik dalam penelitian ini adalah usia lanjut,
peningkatan berat badan dan hipertensi.
Kesimpulan : Nyeri neuropatik merupakan suatu kontributor utama pada nyeri punggung
bawah kronik, dan skala nyeri LANSS adalah suatu alat yang sangat berguna dalam
membedakan penderita nyeri neuropatik dari penderita nyeri nosiseptif.
Kata Kunci : nyeri punggung bawah - nyeri neuropatik - LANSS

* Peserta Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf, FKUSU, Medan


** Staf Departemen Ilmu Penyakit Saraf FKUSU, Medan

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 1


LATAR BELAKANG
Nyeri punggung bawah (NPB) adalah nyeri yang dirasakan di daerah punggung
bawah, dapat merupakan nyeri lokal maupun nyeri radikular atau keduanya. Nyeri ini
terasa diantara sudut iga terbawah dan lipat bokong bawah yaitu di daerah lumbal atau
lumbo-sakral dan sering disertai dengan penjalaran nyeri ke arah tungkai dan kaki.1
Lebih dari satu abad, nyeri punggung bawah dikenal sebagai salah satu penyebab
ketidakmampuan bekerja yang paling sering dan saat ini mencapai biaya sekitar
seperempat dari biaya kompensasi pekerja.2
Hampir 80 % penduduk di negara-negara industri pernah mengalami nyeri
punggung bawah. Di Amerika Serikat prevalensinya dalam satu tahun berkisar antara
15 %-20 % sedangkan insidensi berdasarkan kunjungan pasien baru ke dokter adalah
14,3 %. Data epidemiologik mengenai NPB di Indonesia belum ada. Diperkirakan
40 % penduduk Jawa Tengah berusia diatas 65 tahun pernah menderita nyeri
punggung dan prevalensinya pada laki-laki 18,2 % dan pada wanita 13,6 %.
Prevalensi ini meningkat sesuai dengan meningkatnya usia insidensi berdasarkan
kunjungan pasien ke beberapa rumah sakit di Indonesia berkisar antara 3 %-17 %.1
Dari data epidemiologik faktor resiko yang positif untuk NPB adalah
usia/bertambahnya usia, kebugaran yang buruk, kondisi kesehatan yang jelek,
masalah psikologi dan psikososial, merokok, kecanduan obat, nyeri kepala, skoliosis
mayor (kurva lebih dari 80 0) serta faktor fisik yang berhubungan dengan pekerjaan
seperti duduk dan mengemudi, mengemudi truk, duduk dan berdiri berjam-jam (posisi
tubuh kerja yang stabil), getaran, mengangkat, membawa beban, menarik beban,
membungkuk dan memutar.1,3
Nyeri punggung bawah umumnya dikategorikan ke dalam akut, subakut dan
kronik. 4 Nyeri punggung bawah akut biasanya didefinisikan suatu periode nyeri 6
minggu, NPB subakut adalah suatu periode nyeri antara 6-12 minggu dan nyeri
punggung bawah kronik merupakan periode nyeri 12 minggu.5 Nyeri punggung
bawah kronik merupakan kondisi yang sangat mahal pada negara-negara industri dan
penyebab utama dalam pembatasan aktivitas pada usia diatas 45 tahun.3
Woolf dkk mengemukakan bahwa gejala, tanda, mekanisme dan sindrom nyeri
diklasifikasikan terhadap dua mekanisme nyeri berdasarkan kategori nyeri trauma
jaringan (nosiseptif) dan nyeri trauma sistem saraf (neuropatik).6 Nyeri neuropatik
adalah nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer pada
sistem saraf.7,8 Sedangkan nyeri nosiseptif adalah nyeri yang timbul akibat
serangkaian peristiwa yang terjadi di nosiseptor.9
Keberhasilan pengobatan nyeri neuropatik bergantung pada diagnosa dini,
identifikasi dari mekanisme yang terlibat dan penggunaan pendekatan terapi alternatif.
Kontribusi nyeri neuropatik terhadap nyeri punggung bawah tidak sepenuhnya
dimengerti. Baik yang paling penting dari kontribusi maupun profil klinis dan
demografi dari penderita belum tepat dievaluasi.10
Hassan dkk tahun 2004 di Saudi Arabia meneliti prevalensi nyeri neuropatik
pada penderita penderita nyeri punggung bawah kronik dengan menggunakan
Leeds Assessment of Neuropathic Symptoms and Signs (LANSS) pain scale. Dari 100
penderita dengan nyeri punggung bawah kronik didapati 41 % mengalami nyeri
neuropatik dan 59 % nyeri nosiseptif. 11
Kaki dkk tahun 2005 di Saudi Arabia melakukan suatu identifikasi nyeri
neuropatik pada penderita nyeri punggung bawah kronik dengan memakai LANSS,
diperoleh dari 1.169 penderita nyeri punggung bawah kronik, 54 % memiliki skor >12

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 2


yang mengarah suatu nyeri neuropatik dan 45,3 % memiliki skor < 12 yang mengarah
nyeri nosiseptif. Dikatakan bahwa nyeri neuropatik merupakan kontribusi utama
terhadap nyeri punggung bawah kronik dan skala nyeri LANSS merupakan alat yang
berguna untuk membedakan penderita dengan nyeri neuropatik dan nosiseptif.10
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk
membedakan penderita dengan nyeri neuropatik dan nyeri nosiseptif , mengetahui
berapa besarnya jumlah penderita nyeri neuropatik pada penderita nyeri punggung
bawah kronik serta faktor-faktor apa saja yang merupakan kontributor terhadap nyeri
neuropatik dengan memakai skala nyeri LANSS.

METODOLOGI
Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional dengan desain deskriptif
analitik yang menggunakan data primer pada penderita nyeri punggung bawah yang
berobat di Poliklinik Umum Departemen Neurologi RSUP H. Adam Malik Medan,
mulai tanggal 1 Januari 2007 sampai 31 Maret 2007. Besar sampel yang dipakai
dalam penelitian ini 72 orang.
Pengambilan sampel penelitian pada penderita nyeri punggung bawah kronik
yang berobat jalan di Poliklinik Umum di Departemen Neurologi FK USU dilakukan
dengan cara non-probability sampling dengan metode konsekutif yang memenuhi
kriteria inklusi sebagai berikut : semua penderita nyeri punggung bawah yang berobat
ke Poliklinik Neurologi FK-USU Medan , penderita berumur lebih dari 18 tahun dan
menderita nyeri punggung bawah > 3 bulan. Sedangkan kriteria eksklusinya adalah
penderita nyeri neuropatik yang etiologinya selain nyeri punggung bawah dan
penderita tersebut tidak mengalami gangguan mental, penurunan kesadaran, gangguan
pendengaran dan gangguan penglihatan.
Saat melakukan wawancara, data demografi , data atropometrik dan riwayat
kesehatan dari penderita yang memenuhi kriteria inklusi dikumpulkan, dan kuesioner
skala nyeri LANSS turut dilengkapi. Skala nyeri LANSS terdiri dari 2 lembar kertas
ukuran A4 yang dirancang untuk format wawancara dalam satu pertemuan.
Wawancara dilakukan oleh dokter pemeriksa, dimana dokter pemeriksa menanyakan
setiap item pertanyaan apakah deskripsi karakteristik nyeri penderita sesuai dengan
minggu terdahulu dan mengisikannya ke kuesioner. Pemeriksaan ini diikuti dengan
pemeriksaan bedside untuk menilai disfungsi sensorik dan secara spesifik untuk
allodynia dan perubahan pin prick threshold (PPT).
Allodynia dinilai ada saat nyeri timbul oleh goresan lembut dengan kapas diatas
daerah nyeri dan membandingkan dengan daerah tidak nyeri. PPT ditentukan dengan
membandingkan respon jarum suntik no. 23 pada kulit di daerah tidak nyeri dan
kemudian daerah nyeri selama beberapa kali. PPT didefinisikan sebagai sensasi tajam
dengan jarum tumpul pada daerah nyeri.
Menurut skala nyeri LANSS, frekuensi masing-masing pertanyaan dari 5 gejala
nyeri, sebagaimana 2 pemeriksaan sensorik, dihitung untuk setiap penderita. Jika
terdapat disestesia dan disfungsi autonomik diberi skor masing-masing 5. Nyeri
bangkitan diberi skor 3. Nyeri paroksismal diberi skor 2. Nyeri suhu diberi skor 1.
Jika ditemukan untuk tes disfungsi sensorik dan allodinia diberi skor 5 dan perubahan
Pin Prick Test (PPT) diberi skor 3. Berdasarkan penjumlahan keseluruhan maksimum
skor 24 poin. Penderita dengan skor kurang dari 12 tidak mungkin menderita nyeri
punggung bawah neuropatik, sebaliknya penderita dengan skor 12 atau lebih
dipertimbangkan untuk mempunyai elemen neuropatik yang mengkontribusi terhadap
nyeri punggung bawahnya.

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 3


Data demografi dan data antropometrik penderita nyeri punggung bawah yang
terkumpul secara deskriptif disajikan dalam bentuk tabel dengan menyertakan nilai
rerata dan simpangan deviasinya.
Dalam hal membedakan nyeri neuropatik dan nyeri nosiseptif serta berapa besar
perbedaan jumlah penderita diantara keduanya digunakan uji chi Square, dan untuk
mengetahui pengaruh faktor-faktor kontribusi yang berhubungan dengan kejadian
nyeri neuropatik digunakan uji anova, dengan batas kemaknaan (p) sebesar 5 % dalam
mengambil kesimpulan kemaknaan statistic. Pengolahan data penelitian dilakukan
secara elektronik menggunakan perangkat SPSS versi 10,0.

HASIL PENELITIAN
Karakteristik Demografi dan Antropometrik Penderita NPB Kronik
Dari hasil penelitian ini didapatkan sample 72 orang yang memenuhi kriteria
inklusi, 45 penderita NPB kronik mengalami nyeri neuropatik dan 27 penderita NPB
kronik mengalami nyeri nosiseptif.
Pada tabel -1 menunjukkan distribusi data antropometrik penderita nyeri
punggung bawah kronik. Dari 72 penderita NPB kronik, kelompok umur terbanyak
adalah 41-60 tahun (48,6%) dengan rata-rata umur 52,92. Peningkatan berat badan
dan tinggi badan terlihat untuk berat badan range 50-70 kg (58,58) dan tinggi badan
range 150-165 cm (160,93). Lamanya nyeri punggung bawah kronik yang dialami
penderita paling banyak pada 1-5 tahun dengan rerata 3,53.

Tabel 1. Karakteristik Demografi dan Atropometrik Penderita

Karakteristik Penderita Mean SD Range

Usia (thn) 52,92 13,51 21 - 75


Berat badan (n = 66) 58,58 5,41(kg) 50 - 75
Tinggi badan (n = 63) 160,93 3,70 (cm) 155 - 170
Lama NPB (thn) 3,53 1,86 3 bln - 7 thn

Tabel -2 menunjukkan bahwa penderita nyeri punggung bawah kronik pada penelitian
ini lebih banyak perempuan (62,5%) daripada laki-laki (37,5%). Selain itu terlihat
etiologi yang paling sering pada nyeri punggung bawah adalah spondilosis lumbalis
(51,4%). Sebagian besar penderita nyeri punggung bawah kronik dalam penelitian ini
tidak merokok (69,4%). Akan tetapi , hipertensi (34,7%) menjadi salah satu penyakit
penyerta paling banyak pada penderita ini, dan ditinjau dari segi pengobatan
sebelumnya, Cox-2 inhibitor menempati urutan pertama sebesar 63,9%.
Tabel 2. Karakteristik Demografi Penderita NPB

Karakteristik Penderita Jumlah %

Jenis kelamin
Laki-laki 27 37,5
Perempuan 45 62,5
Usia (thn)
20-40 16 22,2
41-60 35 48,6
61-80 21 29,2
Berat badan (kg)
50-70 66 91,7
>70 6 8,3
Tinggi badan (cm)

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 4


150-165 63 87,5
>165 9 12,5

Lama NPB (thn)


< 1 13 18,1
1-5 46 63,9
>5 13 18,1
Diagnosa NPB
Prolaps diskus 6 8,3
Spondilosis lumbal 37 51,4
Spinal canal stenosis 6 8,3
Trauma 5 6,9
Arthritis 14 19,4
Spondilolisthesis 4 5,6
Faktor Merokok
Perokok 15 20,8
Bekas Perokok 7 9,7
Tidak merokok 50 69,4
Penyakit Penyerta
Hipertensi 25 34,7
Diabetes mellitus (DM) 6 8,3
Hipertensi & DM 6 8,3
Tidak ada 35 48,6
Pengobatan Sebelumnya
Cox-2 inhibitor 46 63,9
NSAID 26 36,1

Pengaruh Variabel Bebas Pada Kejadian Nyeri Neuropatik dan Nyeri Nosiseptif
Berdasarkan latar belakang disebutkan bahwa faktor resiko yang positif untuk
NPB adalah bertambahnya usia, kebugaran yang buruk, kondisi kesehatan yang jelek,
masalah psikologi dan psikososial, merokok, kecanduan obat, nyeri kepala, skoliosis
mayor (kurva lebih dari 80 0) serta faktor fisik yang berhubungan dengan pekerjaan
seperti duduk dan mengemudi.1
Kaki dkk tahun 2004 tentang identifikasi nyeri neuropatik pada penderita NPB
kronik juga menyatakan bahwa dari hasil penelitian diperoleh adanya hubungan
bertambahnya usia, jenis kelamin, tinggi badan, riwayat merokok, hipertensi dan
diabetes melitus serta pengobatan sebelumnya dengan kejadian nyeri neuropatik.10
Tabel -3 menunjukkan bahwa nyeri neuropatik lebih sering ditemukan pada
penderita usia tua daripada nyeri nosiseptif. Nyeri neuropatik juga lebih sering pada
perempuan daripada nyeri nosiseptif. Peningkatan berat badan terlihat lebih
mengalami nyeri neuropatik daripada nyeri nosiseptif. Tinggi badan tampak tidak
begitu penting terhadap prevalensi dari nyeri neuropatik pada penderita NPB. Akan
tetapi, nyeri neuropatik lebih sering pada penderita NPB dengan hipertensi. Secara
statitik, dari tabel 3 dapat disimpulkan bahwa pertambahan usia, peningkatan berat
badan dan hipertensi adalah signifikan terhadap kejadian (prevalensi) nyeri
neuropatik.

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 5


Tabel 3. Pengaruh Variabel Bebas Pada Nyeri Neuropatik dan Nyeri Nosiseptif

Variabel Neuropatik Nosiseptif P


(n= 45) (n= 27) (0,05)
Usia(thn) 59,42 8,95 42,07 12,96 0,000 *
Jenis kelamin
Laki-laki/perempuan 17/28 10/17 0.951
Tinggi badan (cm) 161,60 3,77 159,81 3,36 0,057
Berat badan (kg) 59,58 6,01 56,93 3,75 0,043*
Lama NPB (thn) 3,81 1,79 3,06 1,90 0,095
Diagnosa LBP
- Prolapsus diskus 0 9 0,128
- Spondilosis lumbal 26 11
- Spinal canal stenosis 6 0
- Trauma 0 4
- Arthritis 9 3
- Spondilolisthesis 4 0
Faktor merokok
- Perokok 10 5 0,582
- Bekas perokok 5 2
- Tidak merokok 30 20
Penyakit penyerta
- Hipertensi 25 0 0,000*
- Diabetes melitus (DM) 6 0
- Hipertensi & DM 4 2
- Tidak ada 10 25
Pengobatan sebelumnya
- Cox-2 inhibitor 30 16 0,533
- NSAID 15 11

*P<0,05, diuji dengan ANOVA

Estimasi Item Skala Nyeri LANSS dan Hubungannya dengan Tipe nyeri
Tabel 4 menunjukkan bahwa pada semua penderita NPB, disestesia (87,5%)
merupakan gejala nyeri abnormal yang paling sering, diikuti dengan nyeri
paroksismal (84,7%) . Perubahan PPT (65,3%) lebih sering ditemukan daripada
allodynia (58,3%). Disfungsi otonom yang ditemukan paling sedikit (27,8%). Rerata
dan SD dari skor nyeri keseluruhan pada semua penderita adalah 15,19 5,94 dan
range berkisar dari 2 sampai 24. 72 sampel dalam penelitian ini dibagi ke dalam 2
kelompok, kelompok nyeri neuropatik meliputi penderita dengan skor total 12 atau
lebih (45 penderita[ 62,5%]) dan kelompok nyeri nosiseptif terdiri dari
penderita dengan skor total kurang dari 12( 27 penderita)[37,5%]). Rerata dan SD
dari skor total pada kelompok nyeri neuropatik adalah 18,69 3,84, nilai median 19
dan range berkisar antara 13-24. Rerata dan SD dari skor total nyeri nosiseptif adalah
9,37 4,40, nilai mediannya 10. Rasio Odds dari masing-masing item skala nyeri
LANSS juga dinilai untuk masing-masing kelompok. Adanya hubungan yang
signifikan dari masing-masing item dapat diketahui pada kelompok nyeri neuropatik
tapi tidak dengan kelompok nyeri nosiseptif. Range Resiko relatif (RR) tertinggi
dari gejala dan tanda nyeri neuropatik berkisar dari 4 (disestesia) sampai 1 (nyeri
paroksismal).

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 6


Tabel 4. Estimasi dari Item Skala Nyeri LANSS Penderita dan Hubungannya dengan Tipe
Nyeri

Item Skala Nyeri Neuropatik Nosiseptif Rasio Odds 95 % CI


LANSS Lower - Upper
Disestesia
- Ada (63) 42 21 4 2,8 5,1
- Tidak ada (9) 3 6

Disfungsi otonom
- Ada (20) 19 1 1,9 0,86 2,1
- Tidak ada (52) 26 26
Nyeri bangkitan
- Ada (51) 36 15 1,6 0,1 2,2
- Tidak ada (21) 9 12
Nyeri Paroksismal
- Ada (61) 38 23 1 0, 3 1,3
- Tidak ada (11) 7 4
Nyeri Suhu
- Ada (54) 39 15 2,1 0,5 2,7
- Tidak ada (18) 6 12
Allodynia
- Ada (42) 37 5 2,9 0,9 4.0
- Tidak ada (30) 8 22
Perubahan PPT
- Ada (47) 43 4 1,2 0,3 2,3
- Tidak ada (25) 2 23
*Uji Chi-Square

DISKUSI
Penderita pada nyeri kronik mengandalkan pada dokter mereka untuk
mengidentifikasi mekanisme khusus yang menyebabkan nyeri mereka dan memilih
pengobatan yang sesuai untuk nyeri tersebut. Baik nyeri nosiseptif maupun neuropatik
dapat berkontribusi terhadap NPB kronik. Walaupun dari literatur banyak terdapat
informasi tentang prevalensi dan insiden NPB, sedikit informasi yang diperoleh
tentang neuropatik sebagai suatu faktor kontributor.10
Mekanisme patofisiologi yang berbeda terlibat dalam pembangkitan NPB
neuropatik. Lesi dari nosiseptif yang bertunas sampai diskus degeneratif, kompresi
mekanik dari saraf atau pelepasan mediator inflamasi merupakan mekanisme yang
terlibat dengan NPB neuropatik.12 Diagnosis dini dari nyeri neuropatik merupakan
langkah pertama dalam terapi efektif. Untuk membedakan diantara dua tipe nyeri,
berbagai tes klinis sebaiknya digunakan. Skala nyeri LANSS adalah berdasarkan
analisa data yang diperoleh selama pemeriksaan bedside.13 Sistem skoring sederhana
berdasarkan rasio odds dari tiap item digunakan untuk memberikan informasi segera
pada para klinisi.
Dari hasil penelitian ini diperoleh 45 penderita NPB kronik mengalami nyeri
neuropatik, dimana 27 penderita lainnya mengalami nyeri nosiseptif. Insiden yang
tinggi dari nyeri neuropatik pada kasus-kasus NPB dapat menjadi temuan baru bagi
para klinisi dimana NPB radikulopati merupakan satu-satunya gejala dari nyeri
neuropatik. Kesalahan diagnosa dari NPB neuropatik kemungkinan akibat dari
pengamatan yang berlebihan terhadap serabut saraf sebagai satu-satunya penyebab

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 7


nyeri neuropatik pada NPB atau kesalahan diagnosa dari struktur saraf lain dan proses
inflamasi (sensitisasi sentral dan perifer). Penemuan ini dapat menjelaskan respon
yang jelek pada beberapa penderita NPB terhadap NSAID atau analgesik lain,
meskipun responnya baik terhadap pendekatan terapetik seperti antidepresan dan obat
antikonvulsan.10
Bennett dkk telah membuktikan bahwa skala nyeri LANSS merupakan suatu
alat ukur yang mudah untuk membedakan nyeri neuropatik dari nyeri nosiseptif. Pada
penelitiannya , disestesia merupakan gejala diskriminasi yang paling sering dan
disfungsi otonom serta nyeri suhu adalah yang paling sedikit.14 Hasil penelitian ini
juga menunjukkan bahwa disestesia merupakan gejala abnoral nyeri yang paling
sering (87,5%), yang diikuti dengan nyeri paroksismal (84,7%) dan perubahan PPT
(65,3%) lebih tinggi daripada allodynia(58,3%). Disfungsi otonom adalah yang paling
sedikit dijumpai (27,8%). Alasan lebih banyak disestesia karena gejala ini telah sering
ditemukan pada nyeri neuropatik daripada nyeri nosiseptif. Adanya beberapa gejala
dan juga disfungsi sensorik pada penderita nosiseptif, kemungkinan berhubungan
dengan kesalahpahaman antara penderita dengan klinisi atau diagnosa klinis yang
tidak tepat, atau kemungkinan akibat dari kesulitan memisahkan kedua tipe nyeri
secara jelas tanpa adanya overlapping.
Pada penelitian ini, nyeri neuropatik lebih sering dijumpai pada penderita usia
tua daripada nyeri nosiseptif. Akan tetapi, rerata usia pada kedua kelompok
adalah 52,92 13,51, dimana berhubungan dengan usia yang lazim pada NPB. Nyeri
neuropatik lebih sering pada perempuan daripada nyeri nosiseptif, sedangkan laki-laki
mengeluhkan kedua tipe nyeri dalam cara yang sama. Tinggi badan tampak tidak
penting terhadap prevalensi nyeri neuropatik pada penderita NPB. Akan tetapi berat
badan yang meningkat pada penderita NPB kelihatan berpengaruh terhadap nyeri
neuropatik daripada nyeri nosiseptif. Prevalensi yang rendah dari nyeri neuropatik
pada penderita diabetes melitus kemungkinan berhubungan dengan jumlah kasus yang
diambil atau kadar gula darah yang terkontrol dengan baik. Akan tetapi dalam
penelitian ini, hipertensi tampak berpengaruh terhadap nyeri neuropatik.
Beberapa keterbatasan dalam penelitian ini adalah jumlah sampel yang sedikit
dan waktu penelitian yang singkat. Selain itu, terdapat kesulitan dalam menentukan
persentase kontribusi pada nyeri neuropatik untuk semua NPB. Keterbatasan lainnya
adalah kesulitan dalam menentukan validitas tes pin prick dalam menimbulkan nyeri
neuropatik dan kekurangan randomisasi selama pengumpulan penderita.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa nyeri neuropatik merupakan
kontibutor utama terhadap NPB kronik sehingga dengan diketahuinya gejala nyeri
neuropatik lebih dini dapat memudahkan para klinisi untuk memberikan terapi yang
sesuai dan efektif pada penderita NPB kronik. Dengan adanya skala nyeri LANSS ,
para klinisi dapat dengan mudah mengidentifikasi gejala dan tanda nyeri neuropatik
lebih dini.

DAFTAR PUSTAKA
1. Sadeli HA, Tjahjono B. Nyeri Punggung Bawah. Dalam : Meliala L,Suryamiharja A, Purba JS,
Sadeli HA editor. Nyeri Neuropatik. Patofisiologi dan Penatalaksanaan. Kelompok Studi Nyeri
Perdossi 2001. Jakarta. hal 145
2. Waddell G. Low Back Pain. In : Merskey H, Loeser JD, Dubner R eds. The Paiths of Pain 1975-
2005. USA : IASP Press 2005; p. 379
3. Wheeler A. Pathophysiology of Chronic Back pain. Available from :
http://www.emedicine.com/html
4. Bogduk N, Van Tulder M, Linton SJ. Low back Pain. In : IASP Scientific Programm Committee.
Pain 2005 An Updated Review. USA : IASP Press 2005; p. 71

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 8


5. Cochran Back Group. Acute and chronic low back pain.Effective Health Care bulletins 2000; (5)
: 2-8
6. Woolf CJ, Bennett GJ, Doherty M et al. Towards a mechanism based classification of pain ?
Pain 1998;77:227-29
7. Ward SP. Neuropathic Pain. In : Dolin SJ, Padfield NL eds. Pain Medicine Manual 2nd edition.
Butterworth-Heinemann 2004; p. 37
8. Kelompok Studi Nyeri Perdossi. Konsensus Nasional Penanganan Nyeri Neuropatik. Jakarta.
2000
9. Meliala L. Terapi Rasional Nyeri. Tinjauan khusus nyeri neuropatik. Edisi ke-1. Yogyakarta.
Aditya Media 2004; hal 3
10. Kaki A, El-Yaski AZ, Youseif E. Identifying neuropathic pain among patients with chronic low
back pain : use of the Leeds assessment of neuropathic symptoms and signs pain scale. Regional
Anaesthesia and Pain Medicine 2005; 30(5): 422-28
11. Hassan AE, Saleh HA, Baroudy YM et al. Prevalence of neuropathic pain among patients
suffering from chronic low back pain in Saudi Arabia. Saudi Med J 2004; 25(12) : 1986-90
12. Baron R, Binder A. How neuropathic is sciatica ? The mixed pain concept (in German).
Orthopade 2004;33:568-575
13. Yucel A, Senocak M, Kocasoy Orhan E, et al. Results of the Leeds Assessment of neuropathic
symptoms and signs pain scale in Turkey : A validation study. J Pain 2004; 5: 427-432
14. Bennett M. The LANSS pain scale : The Leeds Assessment of neuropathic symptoms and signs.
Pain 2001; 92: 147-157

S-LANSS PAIN SCORE


Nama :
Jenis kelamin :
Umur :
Tanggal :
No. Rekam Medis :
Diagnosa :

Arsirlah diagram di bawah ini, dimana anda merasakan nyeri. Bila anda merasa nyeri
pada lebih dari satu tempat, hanya arsir pada daerah yang anda rasakan sakitnya
paling parah.

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 9


Pada skala di bawah ini, tentukanlah seberapa parah sakit yang anda rasakan (sesuai
dengan daerah yang anda tunjukkan pada gambar diatas), dimana 0 berarti tidak
sakit dan 10 berarti sakit yang paling parah.
TDAK SAKIT 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 SAKIT PALING
PARAH

S LANSS
1. Pada daerah yana anda rasa sakit, apakah anda juga merasakan sensasi
seperti tertusuk jarum atau jarum pentul , kesemutan, atau menusuk-
nusuk ?
a. TIDAK Saya tidak merasakan sensasi-sensasi tersebut (0)
b. YA Saya sering merasakan sensasi-sensasi tersebut (5)
2. Apakah daerah yang terasa sakit mengalami perubahan warna ( seperti
lebih kemerahan) saat sakitnya terasa sangat hebat?
a. TIDAK Rasa sakitnya tidak mempengaruhi warna kulit (0)
b. YA Saya telah melihat bahwa rasa sakitnya membuat kulit saya (5)
terlihat berbeda
3. Apakah sakitnya mengakibatkan kulit yang terlibat sangat sensitif
terhadap sentuhan ? Merasakan sensasi yang tidak menyenangkan atau
nyeri saat dengan lembut mengusap kulit dapat menjelaskan keadaan ini.
a. TIDAK Rasa sakitnya tidak menyebabkan kulit pada daerah (0)
tersebut menjadi sangat sensitif terhadap sentuhan
b. YA Kulit pada daerah tersebut menjadi sangat sensitif terhadap (3)
sentuhan
4. Apakah sakit yang anda rasakan datang secara tiba-tiba dan hebat tanpa
ada alasan yang jelas saat anda sedang berdiam diri ? Kata-kata kejut
listrik , melompat, dan renjatan dapat menjelaskan keadaan ini.
a. TIDAK Sakit yang saya rasakan tidak seperti itu (0)
b. YA Saya sering merasakan sensasi-sensasi itu (2)
5. Pada area dimana terasa sakit, apakah kulitnya terasa panas seperti
nyeri terbakar?
a. TIDAK Saya tidak merasakan nyeri terbakar (0)
b. YA Saya sering merasakan nyeri terbakar (1)
6. Dengan lembut usaplah daerah yang terasa sakit dengan jari telunjuk
anda kemudian usaplah daerah yang tidak sakit (contohnya daerah kulit
yang jauh atau berlawanan sisi dengan daerah yang nyeri). Bagaimana
rasa usapan pada daerah yang sakit tersebut?
a. Daerah yang sakit tidak terasa berbeda dengan yang tidak sakit (0)
b. Saya merasakan tidak nyaman, seperti tertusuk jarum dan (5)
jarum pentul, kesemutan atau terbakar pada daerah yang sakit
yang berbeda dengan daerah yang tidak sakit
7. Dengan lembut tekanlah daerah yang terasa sakit dengan ujung jari
anda, kemudian tekanlah dengan lembut juga pada daerah yang tidak
sakit. Bagaimana rasa usapan pada daerah yang sakit?
a. Daerah yang sakit tidak terasa berbeda dengan yang tidak sakit (0)
b. Saya merasakan kebas-kebas atau nyeri tekan pada daerah yang (3)

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 10


sakit yang berbeda dengan daerah yang tidak sakit

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 11


Artikel Laporan Kasus

Low Level Neurological States pada SDH dan EDH Post Kraniotomi
Tinjauan Terminologi, Diagnosis, Terapi, Prognosis

Dini Fajri Hastuti*, Al Rasyid**, Mursyid Bustami**,


Lyna Soertidewi**

ABSTRACT
Traumatic brain injury is the most often case. Intracranial bleeding such as epidural hematoma
(EDH) and subdural hematoma (SDH) is two things of brain hemorrhages that would be happen in
traumatic brain injury; and Low Level Neurological States (LLNSs) could be as an outcome in
traumatic brain injury, there remains much uncertainty in diagnosing LLNSs. In this article, we review
the terminology, diagnosis, therapy, and prognosis LLNSs in patien with history of traumatic brain
injury.

ABSTRAK
Cedera kepala merupakan kasus yang sangat sering. Perdarahan intrakaranial seperti epidural
hematom (EDH) dan subdural hematom (SDH) dapat terjadi pada cedera kepala; dan Low Level
Neurological States (LLNSs) dapat terjadi sebagai hasil akhir pada cedera kepala. Cukup sering terjadi
perdebatan dalam menegakkan diagnosis pasien dengan LLNSs. Tulisan ini berupa suatu laporan kasus
yang akan mencermati tentang terminologi, diagnosis, terapi, dan prognosis LLNSs pada pasien dengan
riwayat cedera kepala.

* Peserta Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf, FKUI/RSCM, Jakarta


** Staf Departemen Ilmu Penyakit Saraf FKUI/RSCM, Jakarta

PENDAHULUAN
Cedera kepala merupakan kasus yang sangat sering terjadi setiap harinya. Bahkan bisa dikatakan
merupakan kasus yang hampir selalu dijumpai di unit gawat darurat setiap rumah sakit. Istilah lain yang
sering digunakan adalah Traumatic Brain Injury (cedera kapala traumatik) yang umumnya didefinisikan
sebagai kelainan non-degeneratif dan non-kongenital yang terjadi pada otak, sebagai akibat adanya kekuatan
mekanik dari luar, yang berisiko menyebabkan gangguan temporer atau permanen dalam hal fungsi kognitif,
fisik, dan fungsi psikososial, dapat disertai dengan penurunan atau hilangnya kesadaran.1
Epidural hematom atau dalam beberapa literatur disebut juga sebagai ekstradural hematom, adalah
keadaan dimana terjadi penumpukan darah diantara duramater dan tabula interna tulang tengkorak.
Diperkirakan 2% dari seluruh kejadian cedera kepala. Sumber perdarahan yang paling lazim adalah dari
cabang arteri meningea media, akibat fraktur yang terjadi di bagian temporal tengkorak. Namun kadangkala
dapat pula dari arteri atau vena.Sedangkan subdural hematom (SDH) adalah perdarahan yang terjadi diantara
lapisan duramater dan arakhnoid. Perdarahan jenis ini relatif lebih banyak terjadi daripada epidural hematom,
dan memiliki angka mortalitas yang tinggi antara 60-70% untuk yang sifatnya akut. Perdarahan yang terjadi
dapat berasal dari pecahnya bridging vein (vena jembatan). Subdural hematom akut merupakan SDH dengan
gejala klinis yang timbul segera atau beberapa jam, bahkan sampai 3 hari setelah terjadinya trauma.
Sedangkan pada subdural hematom kronik gejala klinis muncul baru setelah lebih dari 10 hari, bahkan sampai
beberapa bulan setelah terjadinya cedera kepala.2
Low Level Neurological States (LLNSs) tidak jarang terjadi sebagai hasil akhir pada pasien dengan cedera
kepala. Namun, belum ada angka pasti mengenai insidens dan prevalensi LLNSs. Di Amerika Serikat, jumlah
individu yang mengalami Low Level Neurological States (LLNSs) setelah cedera kepala setiap tahunnya
sekitar 56 dan 170 per sejuta.3

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 1


Tidak jarang terjadi perdebatan dalam menegakkan diagnosis pasien dengan LLNSs, oleh karena
kerancuan dengan diagnosis lainnya, seperti : koma, status vegetatif, minimally conscious states (MCS),
akinetik mutisme, atau Locked-in Syndrome (LIS). Oleh karena itu, pada makalah ini akan digarisbawahi
pemaparan tentang terminologi, diagnosis, terapi, dan prognosis LLNSs pada pasien dengan riwayat cedera
kepala.4

ILUSTRASI KASUS
Tn. A, 27 tahun, seorang petugas keamanan datang dengan keluhan utama penurunan kesadaran sejak 2
bulan SMRS (melalui alloanamnesis).
Dua bulan SMRS pasien terjatuh dari ketinggian 5 meter (lantai 55 ke lantai 53 bangunan perusahaan).
Mekanisme kejadian tidak diketahui. Muntah (+) 1 kali, volume tidak jelas. Perdarahan THT (-), kejang (-).
Pasien langsung tak sadarkan diri dan segera dibawa ke RS setempat. Hasil CT-Scan kepala onset 24 jam
pertama: tampak gambaran subdural hematom di temporoparietal dextra. Volume perdarahan 23cc, terlihat
herniasi subfalcine 2 mm ke kanan. Pasien dilakukan operasi kraniotomi karena SDH pada hari yang sama.
Setelah operasi kesadaran pasien sama dengan keadaan sebelum operasi. CT-Scan kepala hari ke-4
perawatan: tampak gambaran EDH di daerah temporoparietal dekstra dengan volume 40cc, dan terdapat
subgaleal hematom di daerah temporoparietal dekstra. Tampak defek pada os temporoparietal dekstra (post
op).

11 Mei 2009 14 Mei 2009


Pada hari ke-4 perawatan dilakukan operasi kraniotomi kedua karena EDH. Sejak saat itu pasien dirawat di
ICU RS tersebut selama 2 minggu, dilakukan trakeostomi dan didapatkan kesan penurunan kesadaran pasca
kraniotomi ec. subdural hematom dan epidural hematom. Pasien tidak memiliki riwayat mengkonsumsi
alkohol dan obat-obatan yang dapat mengganggu pembekuan darah. Pasien dirujuk ke RCSM karena fasilitas
yang lebih lengkap.
Dari pemeriksaan fisik di IGD RSCM, tekanan darah 100/60mmHg, frekuensi nadi 92 x/menit, teratur,
frekuensi napas 20x/menit dan suhu 36oC. Pada pemeriksaan status generalis tidak didapatkan jejas di bagian-
bagian tubuh pasien, didapatkan jahitan bekas operasi kraniotomi di regio temporal kanan dan kiri. Terdapat
ronkhi di kedua lapangan paru. Terlihat ulkus dekubitus di area lumbosakral L4-5 dengan dasar otot, ukuran 5
x 8 cm, terdapat darah dan juga sedikit pus. Dari pemeriksaan neurologis, E3 M4 Vtrakeostomi, pupil bulat,
anisokor, diameter 4mm/6mm, RCL + / +, RCTL + / +. Pada pemeriksaan nervus kranialis didapatkan kesan
paresis N.VII dekstra dan kesan hemiparesis dupleks. Refleks fisiologis dalam batas normal dan tidak
didapatkan refleks patologis. Pemeriksaan sensorik belum dapat dinilai. Pasien terpasang kateter urine dan
pampers.
Pemeriksaan penunjang di IGD RSCM saat pasien masuk: pemeriksaan darah: Hb: 10.5, Ht: 33, Leukosit:
10.700, Trombosit: 428.000, Gula Darah Sewaktu: 93, Ureum: 13, Kreatinin: 0,5, Elektrolit
Na/K/Cl:130/3,54/101.0. Analisis Gas Darah: pH: 7,38, pO2: 167,4, pCO2: 38,4, HCO3: 23,4, Bec ef: -1,8,
Sat. O2: 98,3%. Rontgen toraks: infiltrat pada perihiler dan perikardial kanan dan kiri. CT-Scan kepala
dengan bone window:

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 2


Dibandingkan CT-Scan sebelumnya: masih tampak subdural hematom di parietal kiri, perdarahan di lobus
frontal kanan dan temporoparietal kanan kronik dengan hidrosefalus obstruktif, infark di thalamus kanan dan
frontal kanan, pneumoensefal temporal kanan, defek pada os temporoparietal bilateral (post op), mastoiditis
bilateral.
Hari perawatan ke-7, kesadaran pasien ditetapkan sebagai status vegetatif. Tekanan darah 100/70 mmHg,
frekuensi nadi 80 x/menit, teratur, frekuensi nafas 35 x/menit, suhu tubuh 38,7C. SKG E4 M4 Vtrakeostomi.
Pupil bulat, isokor, 4mm/6mm, RCL +/+ (menurun), RCTL +/+ (menurun). Hari perawatan ke-13, tekanan
darah 90/60 mmHg, frekuensi nadi 138 x/menit, frekuensi nafas 32 x/menit, suhu tubuh 38,6C. kesadaran
berdasarkan nilai Skala Koma Glasgow, E4 M4 V(trakeostomi). Pupil bulat anisokor, diameter 6 mm/ 4 mm,
RCL -/-, RCTL -/-.
Ditegakkan diagnosis, status vegetatif, hemiparesis dupleks, paresis N. VII dekstra.
Prognosis ad vitam dubia ad malam, ad functionam dubia ad malam, ad sanactionam malam.

DISKUSI
Pada ilustrasi kasus di atas telah digambarkan kasus penurunan kesadaran pada pasien pasca
kraniotomi ec. SDH dan EDH.
Masalah pertama pada pasien ini adalah penyebab terjadinya EDH pada hari keempat pasca evakuasi
SDH. Sejauh ini tidak diketahui secara pasti penyebab terjadinya EDH pada sisi kontralateral lesi awal (SDH)
pada pasien ini. Muncul beberapa kemungkinan penyebab. Kemungkinan pertama, bahwa mungkin sudah
terdapat EDH sejak onset hari pertama yang baru semakin lama semakin bertambah volumenya. Namun, pada
CT-Scan kepala pada 24 jam pertama tidak tampak gambaran EDH meskipun tipis pada sisi tersebut. Selain
itu, sejauh ini jarang didapatkan kasus terjadinya late EDH yang terjadi pada onset hari ke- empat.
Berdasarkan literatur, kemungkinan perdarahan intrakranial yang baru muncul pada hari keempat pada
pasien dengan riwayat cedera kepala adalah ICH atau SDH subakut. SDH kronis muncul setelah lebih dari 10
hari sampai beberapa bulan setelah terjadinya cedera kepala. Namun pada CT-Scan kepala pasien ini jelas
yang terlihat adalah EDH dengan gambaran bikonvek. Alasan-alasan ini menyingkirkan kemungkinan
pertama. Kemungkinan kedua adalah adanya gangguan hemostasis yang dapat diketahui pasti dari hasil
pemeriksaan hemostasis. Dari anamnesa tidak didapatkan riwayat penggunaan obat-obatan yang dapat
mempengaruhi hemostasis dan tidak didapatkan riwayat perdarahan yang menandakan adanya gangguan
hemostasis pada pasien ini. Pada pemeriksaan hemostasis, terjadi peningkatan kadar fibrinogen dan D-Dimer,
namun hal ini relatif normal pada kasus perdarahan. Sehingga kemungkinan penyebab dikarenakan gangguan
hemostasis dapat disingkirkan. Selain itu, kecil kemungkinan pasien dengan gangguan hemostasis dapat
terjadi EDH yang disertai dengan subgaleal hematom pada sisi ipsilateral tanpa adanya riwayat cedera kepala
pada sisi yang sama. Sehingga kemungkinan kedua juga disingkirkan.
Pada pemeriksaan neurologis, didapatkan kesan paresis N.VII dekstra dan kesan hemiparesis dupleks
dengan spastisitas pada keempat ekstremitas. Refleks fisiologis dalam batas normal dan tidak didapatkan
refleks patologis. Hemiparesis dupleks yang terjadi pada pasien ini disebabkan oleh SDH dan EDH.
Sedangkan paresis N. VII dekstra disebabkan oleh karena SDH, sesuai dengan topis perdarahan.

Status Vegetatif
Keadaan status vegetatif yang merupakan salah satu keadaan Low Level Neurological States (LLNSs).
Pasien dalam kasus ini, mengalami penurunan kesadaran yang kemudian dalam perawatan di RSCM
dinilai sebagai status vegetatif. Di Eropa, terminologi coma vigile yang berarti sama dengan keadaan status

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 3


vegetatif telah digunakan selama bertahun-tahun sebagai diagnosa untuk pasien yang membuka mata tapi
tidak memiliki respon terhadap stimulasi apapun. Pada pasien dengan status vegetatif terjadi degenerasi
korteks serebri yang difus dan bilateral, namun batang otak dan fungsinya relatif intak.5
Dikatakan persistent jika berlangsung 1 bulan setelah kerusakan otak traumatik atau non traumatik.
Dikatakan permanen jika berlangsung hingga 3 bulan setelah kerusakan otak non-traumatik atau 12 bulan
setelah cedera kepala. Menurut Jennet dan Plum, status vegetatif digambarkan sebagai keadaan pasien dapat
membuka mata secara spontan terhadap rangsang suara, dapat bernafas spontan, sistem kardiovaskular dan
otonom normal. Mayoritas pasien-pasien ini memiliki fungsi batang otak yang normal, meskipun dengan
gambaran EEG yang isoelektrik.5
Kriteria status vegetatif menurut American Neurological Association Committee on Ethical Affairs:
Membuka mata spontan. Tidak ada kepedulian terhadap diri sendiri ataupun lingkungan sekitarnya.
Tidak ada komunikasi sama sekali antara pasien dengan pemeriksa. Mata pasien mengikuti stimulus
visual, meskipun pergerakan bola mata (visual tracking) terkadang dapat saja terjadi. Tidak ada
respon emosional.
Tidak dapat berbicara ataupun mouthing of words.
Tersenyum, tangisan, mungkin saja muncul secara inkonsisten.
Didapatkan siklus tidur-bangun.
Refleks spinal dan refleks batang otak bervariasi. Refleks primitif mungkin saja muncul. Pupil
bereaksi terhadap cahaya, refleks oculocephalic, refleks genggam dan refleks tendon juga mungkin
muncul.
Munculnya gerakan yang disadari dan perilaku, tidak peduli seberapa kasar bentuknya, merupakan
tanda kognitif dan tidak sesuai dengan diagnosis status vegetatif persisten.
Kontrol tekanan darah dan fungsi kardiorespirasi intak. Inkontinens urin et alvi ditemukan.5,6
Terapi Status Vegetatif
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa obat-obatan dapat membantu pemulihan kesadaran pada
pasien dengan status vegetatif. Passler dan Riggs dalam penelitian retrospektifnya memaparkan bahwa
pengaruh dari intervensi rehabilitasi secara multidisiplin dan penggunaan bromokriptin terhadap outcome
pasien Traumatic Brain Injury (TBI) dengan status vegetatif dapat meningkatkan pemulihan kesadaran
pasien. Kelin et al memaparkan bahwa metylphenidate pada pasien dewasa dengan TBI akut ditoleransi
dengan baik, memperlihatkan peningkatan atensi, dan berkorelasi dengan pemulihan kesadaran yang lebih
cepat meskipun tidak bermakna secara statistik. Penggunaan Sinemet juga telah diteliti, tetapi belum
menunjukkan hasil yang jelas. Haig dan Ruess menyarankan penggunaan Sinemet oleh karena efek
sampingnya yang relatif sedikit. Mereka memaparkan suatu kasus pasien TBI, laki-laki 24 tahun dengan
status vegetatif selama 6 bulan, kesadaran pasien membaik beberapa hari setelah pemberian sinemet. Methaler
et al., meneliti secara tersamar ganda, acak, plasebo-kontrol, studi potong lintang terhadap 35 subjek TBI
dengan GCS 10 atau kurang, dengan onset dalam 24 jam pada saat masuk ke rumah sakit. Berdasarkan hasil
penelitian ini, terjadi pemulihan kesadaran yang cepat secara konsisten pada pasien-pasien tersebut (tanpa
memandang DAI-terkait TBI) setelah pemberian amantadin dalam 3 bulan pertama. Efek toksik amantadin
(koma, psikosis, kematian, masalah kardiovaskular) terjadi pada pasien dengan ganggguan fungsi ginjal.
Menurut Schneider et al. dalam penelitiannya tehadap 10 subjek TBI dewasa di unit rehabilitasi cedera kepala
akut, tidak terlihat perbedaan bermakna antara amantadin dibandingkan dengan plasebo.6
Prognosis Status Vegetatif
Minderhound dan Braakman menemukan bahwa 58% bertahan lebih dari 3 tahun, 34% lebih dari 6 tahun,
dan 22% lebih dari 8 tahun. Mereka yang dapat bertahan lebih lama, menunjukkan peningkatan kesadaran,
namun dengan kecacatan yang berat. Kualitas hidup pasien dengan status vegetatif tergantung kepada
perawatan yang diberikan, terutama karena sebagian besar mereka menjalani perawatan selanjutnya di rumah
dan dirawat oleh anggota keluarganya sendiri. Masalahnya, tidak semua anggota keluarga memiliki
pangetahuan dan kemampuan yang baik dalam merawat pasien dengan status vegetatif, begitu juga dengan
permasalahan dari segi keuangan keluarga.6

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 4


Penyebab utama kematian pada pasien dengan status vegetatif adalah infeksi traktus respiratorius (50%)
dan gagal jantung (30%). Prognosis tidak bergantung secara bermakna kepada umur dan penyebab status
vegetatif. Namun beberapa literatur menyatakan bahwa prognosis lebih buruk pada pasien status vegetatif
oleh karena non-TBI.6,7
Koma
Terminologi koma digunakan untuk kondisi pasien dengan mata tertutup terus-menerus dan tidak dapat
dibangunkan, tidak terjadi respon buka mata atau sadar secara spontan meskipun diberikan rangsangan
apapun. Koma biasanya terjadi akibat lesi luas di daerah batang otak, atau kedua hemisfer serebri, atau secara
bersamaan batang otak dan hemisfer serebri. Penyebab koma yang sering terjadi diffuse axonal pathology,
hipoksia, dan lesi di batang otak.6
Minimally Responsive State/Minimally Consiousness State (MCS)
Terminologi ini dipakai untuk menggambarkan keadaan pasien dengan penurunan kesadaran yang berat,
namun tidak memenuhi kriteria koma atau status vegetatif. Karakteristik utamanya adalah tingkat kesadaran
yang terkadang berubah-ubah. Perbedaan antara koma dan MCS sangat penting dalam mempertimbangkan
perencanaan terapi dan prognosis pasien. Menurut Giaciano et al., perbedaan khas MCS dengan koma dan
status vegetatif persisten adalah adanya behavioral awareness, meskipun tidak konsisten. Kriteria MCS
menurut Giaciano et al., yaitu:
Pasien dapat mengikuti perintah ringan.
Terlepas dari ketepatan jawaban yang diberikan, pasien dapat memberi respon terhadap pertanyaan ya
atau tidak.
Adanya kata-kata verbal yang cukup dapat dimengerti.
Pasien menunjukkan perilaku melalui gerakan yang bertujuan, dan adanya reaksi yang afektif
terhadap stimulus yang sesuai, seperti:
o Tersenyum atau menangis terhadap stimulus verbal yang sesuai
o Respon berupa fokal ataupun gestur terhadap pertanyaan verbal
o Mencoba meraih objek
o Menyentuh atau memegang benda sesuai ukuran dan bentuknya
o Mempertahankan tracking dan fiksasi visual6
Giacino dan Kalmar, pada penelitiannya menemukan bahwa prognosis pasien dengan MCS lebih baik
daripada pasien status vegetatif, terutama pasien TBI. 50% pasien TBI dengan MCS memperlihatkan
setelah 12 bulan, tidak menunjukkan disabilitas sama sekali, ataupun hanya disabilitas ringan.3
Akinetik Mutisme
Terminologi akinetik mutisme diperkenalkan oleh Cairns et al. untuk menggambarkan pasien yang
sadar dan dan memiliki visual tracking, namun terbatas dalam gerakan dan kemampuan berbicara. Pasien
dengan akinetik mutisme sama sekali tidak bergerak, tapi tidak mengalami paralisis total, dapat
mempertahankan pandangan berfokus terhadap benda yang menandakan bahwa pasien tersebut awas
terhadap lingkungan di dekatnya, namun tidak dapat berkomunikasi. Pasien-pasien ini memperlihatkan
sedikit gerakan otot, dan pada dasarnya memberikan respon terhadap stimulasi nosiseptif. Secara topis,
lesi terletak di daerah frontal-basal (sella tursica) dan daerah posterior mesencephalon. Beberapa literatur
terkadang menyamakan akinetik mutisme dengan status vegetatif.6
Sindrom Locked-in (Locked-in Syndrome/LIS)
LIS merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan tetraplegi dan melibatkan paresis nervus
kranialis, lateral gaze palsy dan mutisme paralitik. Pasien sadar penuh, dan sadar terhadap lingkungan
sekitarnya. Satu-satunya tanda komunikasi dengan lingkungan sekitar hanya dengan kedipan dan gerakan
bola mata secara vertikal. LIS terjadi akibat lesi di batang otak, biasanya terjadi di pons bagian ventral.
Kebanyakan pasien dengan postur deserebrasi, keempat anggota gerak kaku. Postur ini dapat terjadi
secara spontan atau sebagai respon terhadap nyeri. Pasien LIS juga mengalami gangguan pernafasan.
Ketika terjaga, pasien dapat membuka mata, mengedip, dan melakukan gerakan bola mata. Pasien TBI
dengan LIS berkisar 13.6%.6

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 5


Ada 3 kategori diagnosis LIS:
1. LIS komplit
Disebabkan oleh lesi luas di pons bagian ventral. Pasien sama sekali tidak dapat bergerak (terkecuali
dalam bentuk kedipan), dan gambaran EEG memperlihatkan fungsi kortikal normal.
2. LIS tidak komplit
Disebabkan oleh lesi primer di batang otak, namun dalam masa penyembuhannya pada satu minggu
pertama, pasien dapat melakukan gerakan-gerakan tertentu.
3. Pseudo-LIS
Terjadi ketika lesi di kortikal memberikan kerusakan sekunder ke batang otak. Gejalanya sama dengan
LIS, hanya ditambah dengan gejala akibat lesi primernya.

Pasien ini, ditagakkan diagnosa sebagai status vegetatif yang merupakan salah satu keadaan Low Level
Neurological States (LLNSs) oleh karena memenuhi kriteria status vegetatif menurut American Neurological
Association Committee on Ethical Affairs. Meskipun kriteria verbal (bicara/komunikasi) tidak dapat sepenuhnya
diperiksa (pasien dengan trakeostomi), tetapi tidak menggugurkan diagnosis status vegetatifnya.

KESIMPULAN
Pada kasus ini kemungkinan terjadinya late EDH belum dapat disingkirkan. Pasien berada pada keadaan
status vegetatif yang merupakan salah satu keadaan Low Level Neurological States (LLNSs), karena memenuhi
kriteria status vegetatif menurut American Neurological Association Committee on Ethical Affairs. Pasien dengan
LLNSs secara umum menjalani tata laksana jangka panjang harus intensif, holistik, dan mencakup mulitidisiplin
program rehabilitasi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Andradi S. Penatalaksanaan Konservatif Cedera Kepala. Dalam Wahjoepramono EJ, Siahaan YM, editor.
Kegawatdaruratan Saraf dan Bedah Saraf. Tangerang: Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan, Karawaci;
2004; 13-27.
2. Iskandar J. Cedera Kepala: Aspek Penting dalam Pengelolaan Penderita Cedera Kepala. Jakarta: Bhuana Ilmu
Populer-Kelompok Gramedia; 2004.
3. Giacino et al. The Minimally Conscious State: Definition and Diagnostic Criteria.
http://www.neurology.org/cgi/content/full/58/3/349/TBL1
4. Zasler N. Low Level Neurological States Following Traumatic Brain Injury. Washington: International Brain Injury
Association; 2006.
5. Leon-Carrion J, Rosario DM, Morales D, Roldan JMD. Low-level Responsive States. In: Leon-carrion J, von Wild
KRH, Zitnay GA, editor. Brain Injury Treatment Theories and Practices. New York: Taylor and Francis;2006.
6. Plum F. Posner JB. The Diagnosis of Stupor and Coma. Philadelphia: F. A. Davis; 2006
7. Giacino at all . Brain Function After Severe Brain Damage. 2004. Lancet Neurology 3: 537-46

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 6


Artikel Tinjauan Pustaka

NYERI FIBROMIALGIA :
NYERI PATOLOGI ATAU NYERI IDIOPATIK?

Jan S. Purba*

ABSTRACT
Fibromyalgia (FM) is a chronic, multidimensional, idiopathic pain syndrome defined by
widespread musculoskeletal pain. The FM refers to a collection of symptoms with no clear
pathologic cause, but the symptoms together constitute a clearly recognizable and distinct
pathologic entity.
Clinically, fibromyalgia involves muscle, ligament, and tendon (connective tissue) pain and
stiffness, which does not affect the joints. Most fibromyalgia sufferers experience chronic and
widespread pain that can get worse when they are exposed to certain aggravating factors. Many
recent studies have emphasized the role of central nervous system pain processing abnormalities
in FM, including central sensitization and inadequate pain inhibition.
The diagnosis is made through the examiners clinical observations. The differential
diagnosis must include other somatic syndromes as well as disease entities, including
hypothyroidism, diabetes mellitus, electrolyte imbalance, multiple sclerosis, and cancer. Because
fibromyalgia is chronic and may affect all areas of an individuals functioning, the physician
needs to also evaluate the social support systems of patients with fibromyalgia.
The approach to treatment should integrate patient education as well as nonpharmacologic
and pharmacologic modalities. Unfortunately, treating fibromyalgia pain isnt always easy.
Key words : fibromyalgia pathological pain or idiopathic pain

ABSTRAK
Fibromialgia (FM) adalah nyeri muskuloskletal yang kronik, multidimensi dan idiopatik.
Sebutan nyeri fibromialgia merupakan kumpulan simtoma yang penyebabnya tidak jelas
walaupun dengan keluhan yang nyata seperti nyeri otot, nyeri ligamentum dan tendon tanpa
keluhan persendian.
Beberapa studi membuktikan adanya keterlibatan sistem saraf sentral dalam patologi FM
dalam bentuk sensitasi sentral. Pada umumnya keluhan nyeri FM berlangsung kronik dan bisa
diperberat oleh keberadaan faktor pemicu seperti stres psikologik maupun stres biologik.
Untuk menentukan diagnosa dibutuhkan pemeriksaan dan observasi secara klinis. Diagnosa
diferensial antara lain hipotiroid, diabetes melitus, gangguan keseimbangan elektrolit, multiple
sclerosis, dan tumor. Fibromialgia adalah penyakit kronik oleh sebab itu penyakit ini akan
berdampak pada permasalahan biopsikososial.
Strategi terapi adalah dengan pendekatan edukasi disamping terapi farmakologik dan non-
farmakologik walaupun hasilnya tidak selalu memuaskan.
Kata kunci : fibromialgia nyeri patologik atau nyeri idiopatik

* Staf Departemen Ilmu Penyakit Saraf FKUI/RSCM, Jakarta

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 1


PENDAHULUAN
Fibromialgia (FM) adalah nyeri kronik muskuloskletal idiopatik, multi dimensi dan
bisa diperberat oleh beban stres yang berlebihan. FM merupakan penyebab utama yang
paling banyak diantara penderita nyeri musukoskletal 1, 2.
Disamping nyeri muskuloskletal sering juga ditemukan gangguan saraf otonom,
gangguan sistem neuroendokrin dan neuropsikiatrik seperti stres dan depresi yang
berdampak pada gangguan tidur, kelelahan yang berlebihan mengakibatkan gangguan
kualitas hidup sehari-hari 3,4,5.
Secara klinis ditandai dengan ditemukannya titik nyeri tekan yang sensitif dengan
jumlah paling sedikit 11 dari 18 titik sesuia diagnosis menurut American College of
Rheumatology, yang digambarkan berupa rasa panas terbakar dan menyebar keseluruh
tubuh 6.
Populasi penderita FM ditemukan antara umur 20-50 tahun dimana penderita wanita
dibanding pria berkisar 9:1 7.
Etiopatologi dari FM sampai sekarang ini belum diketahui dengan pasti namun
beberapa studi menemukan bahwa susunan saraf pusat (SSP) berperan dalam patogenesis
FM dengan munculnya sensitisasi nyeri 8,9.

TANDA KLINIK
Penderita FM secara umum mengalami keluhan nyeri difus yang dalam dan tersebar
luas pada keseluruhan tubuh, mulai dari kepala sampai ke ujung jari kaki. Nyeri pada
awalnya bisa tiba-tiba muncul dipicu oleh beban berupa fisik ataupun psikologik.
Penderita FM juga sangat peka terhadap beberapa pemicu tertentu seperti panas atau
dingin, cahaya, suara yang nyaring dan jenis bau-bauan7.Kondisi ini sering diiringi oleh
gangguan tidur dengan kesulitan memulai tidur, sering terbangun serta kelelahan dan
kekauan pada saat bangun pagi 10.
Keluhan lain yang sering ditemukan seperti fenomen Raynaud terutama di bagian
distal ekstremitas, kesulitan untuk berkemih, depresi, ansietas, nyeri kepala terutam tipe
tegang, parestesia nondermatomal dan disfungsi persendian temporomandibular11.
Sekitar 80% nyeri akan bisa menghilang dalam 2 minggu pertama akan tetapi bisa
saja berlanjut menjadi kronik.

PATOFISIOLOGI
Penderita FM sangat sensitif terhadap tekanan pada titik nyeri begitu juga rabaan,
panas, dingin, bahan kimiawi, cahaya, suara bising dan baubauan tertentu. Penyebab
reaksi yang berlebihan ini tidak diketahui dengan pasti kemungkinan akibat nilai ambang
sensorik yang rendah di sentral yakni SSP 12.
Kelainan di sentral selain pada nilai ambang sensorik juga ditemukan sensivitas yang
meningkat dari aksis hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) terhadap stresor,
peningkatan sekresi SP 13, serta peningkatan eksitatorik glutamat dan neutrofin di CSF 14,
15
. Beberapa peneliti membuktikan bahwa mekanisme yang terjadi di sentral berperan
dalam terjadinya nyeri berkaitan dengan penurunan neurotransmiter seperti serotonin (5-
HT), atau juga insulin-like growth factor (IGF) N-methyl-d-aspartate (NMDA) beserta
reseptornya dan norepinephrine 8, 16,17,18. Penurunan 5-HT ini diduga berkaitan dengan
terjadinya ansietas dan depresi, migren dan gangguan gastrointestinal yang sering dialami
penderita FM.

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 2


Selain itu ditemukan penurunan aliran darah ke talamus dan nukleus kaudatus
sebagai daerah yang berperan dalam kontrol terhadap jaras nyeri 19. Gangguan sirkulasi
ini kemungkinan diakibatkan oleh gangguan fungsi saraf otonom.
Pada FM dengan hiperalgesia hanya dengan noksius yang sedikit diatas normal
mengakibatkan perpanjangan respons dari nyeri evok. Hal ini terbukti pada pemeriksaan
fMRI untuk nyeri evok ternyata hanya membutuhkan stimulus yang sangat rendah
dibandingkan dengan yang sehat 16. Oleh sebab itu bisa disebutkan bahwa hipersensivitas
terhadap jaringan saraf pada penderita FM jauh lebih dominan di banding dengan kondisi
patologi nyeri dari otot itu sendiri 20. Keadaan hipersensif ini bisa merupakan penjelasan
nyeri yang persisten dan kronik pada FM 7.
Penderita FM juga sering mengalami gangguan tidur. Gangguan tidur sering
dikeluhkan penderita FM dengan ditemukan kelainan patron perobahan gelombang alfa
memasuki gelombang delta pada fase nonrapid eye movement (non-REM). Gangguan
ini mengakibatkan penderita tidak bisa mencapai fase non-REM stadium 4 tidur nyenyak
deep sleep 21.
Dari lokasi nyeri dikatakan bahwa adanya keterlibatan jaringan neuromuskuler
nosiseptor di perifer 22. Kelainan ini diduga terletak pada sensivitas titik nyeri dalam
seperti yang terlihat pada nyeri viskeral Irritable Bowel Syndrome (IBS), nyeri di dada
(yang bukan berasal dari jantung) dan begitu juga nyeri kepala dan iritasi kandung kemih
23,24
. Sistem nosisepsi merupakan petanda adanya kerusakan dari tubuh yang pada
keadaan normal secara intensif bisa menjadi lebih aktif 16. Penelitian dengan
menggunakan teknik mikrodialisa pada titik nyeri ditemukan peningkatan beberapa
neurotransmiter seperti proton, bradikinin, calcitonin gene-related peptide (CGRP),
substansi P, TNF alfa, IL-1b, 5-HT dan norepinefrin di jaringan ikat dan otot serta serum
pada penderita FM 25,26,27. Peningkatan dari transmiter ini akan mensensitasi nosiseptor di
otot dan secara tidak langsung berperan terhadap sensitasi sentral dan nyeri kronik karena
input nosiseptif di otot perperan sekali dalam menentukan sensitisasi sentral 28. Dengan
demikian kelainan di otot berperan sekali terhadap mekanisme nyeri yang sangat sensitif
di otot pada penderita FM. Proses nyeri nosiseptif yang intens berakibat pada perobahan
atau plastisitas dari medula spinalis dan otak menyebabkan sensitisasi sentral dan nyeri.

DIAGNOSIS
Fibromialgia bukanlah diagnosis. Diagnosis didasari oleh anamnesis dan
pemeriksaan fisik dengan menggunakan kriteria yang dibuat oleh American College of
Rheumatology (ACR) 29,30. Dengan menggunakan kriteria ini akan bisa mencapai
keakuratan sebesar 85% untuk membedakan antara FM dengan penderita kronik
muskulosketal lainnya 31.
Pemeriksaan laboratorium hanya untuk memastikan penyakit lain.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam mendiagnosa FM adalah faktor komorbiditas
seperti gangguan tidur, ansietas dan depresi, nyeri kepala tipe tegang yang bisa mencapai
50% dari jumlah penderita 9.
Penyakit lain yang bisa berasosiasi dengan FM antara lain IBS, dismenorrhea,
restless legs syndrome dan fenomen Raynaud.
Selain itu pertimbangan terhadap faktor pemicu seperti stres emosional, akibat
pembedahan atau trauma dapat digunakan untuk membantu pendekatan ke arah
penemuan diagnosis.

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 3


Diagnosa diferensial termasuk nyeri miofasial (myofascial syndrome), sindroma
kelelahan yang berlebihan, hipotiroid, metabolik dan inflamasi miopati, polimialgia
reumatika 9.

PENANGGULANGAN
Pada prinsipnya strategi penanggulangan FM terdiri dari a) reduksi input nosiseptid
dari perifer dalam hal ini dari otot, b) pencegahan sensitisasi sentral dan c) terapi
gangguan psikologis seperti depresi dan insomnia.
Oleh karena etiologi dari FM sampai sekarang ini belum diketahui dengan pasti
maka strategi penanggulangan yang dilakukan adalah dengan terapi opsional berdasarkan
keluhan 32,33.
Terapi opsional dengan terapi farmakologik harus didukung oleh terapi non-farmaka
seperti fisioterapi, cognitive-behavior therapy (CBT) 9, 31,34,35,36.
Terapi simptomatik untuk menanggulangi gangguan tidur dan nyeri dengan
menggunakan obat psikofarmaka seperti zolpidem 37, dan analgesik tenoxicam,
bromazepan 1.
Terapi trisiklik dan trisiklik analog juga merupakan pilihan utama hanya dengn dosis
rendah ternyata efektif untuk menurunkan rasa nyeri, kelelahan yang berlebihan serta
gangguan tidur 9. Hal ini kemungkinan melalui efek secara langsung terhadap
noradrenalin dan serotonin 8,31. Penggunaan selective serotonin and norepinephrine
reuptake inhibitors (SSRIs, SNRIs,) dan antikonvulsan seperti pregabalin merupakan
terapi pilihan utama 8,9,31.
Terapi non-farmakologik berupa fisioterapi juga menurunkan beban nyeri, perbaikan
gangguan kemurungan serta perbaikan kualitas hidup 8.
Pemberian otot relaksan ternyata juga efektif untuk perbaikan gangguan tidur serta
menurunkan rasa nyeri 9,33. Terapi dengan latihan Biofeedback dan terapi relaksasi
ternyata bisa menurunkan jumlah dari titik nyeri dalam dan meningkatkan nilai ambang
nyeri dari penderita itu sendiri 38. Selain itu terapi akupunktur juga berguna dalam proses
penyembuhan 31,39,40.

KESIMPULAN
Fibromialgia (FM) adalah nyeri muskuloskletal kronik, multidimensi dan idiopatik
dan bukan termasuk kelompok penyakit artritis karena tidak ditemukan proses inflamasi.
FM merupakan kumpulan simtoma dengan keluhan berupa nyeri otot, nyeri
ligamentum dan tendon yang penyebabnya tidak jelas.
Untuk menentukan diagnosa dibutuhkan pemeriksaan dan observasi secara klinis.
Beberapa penelitian menemukan adanya keterlibatan SSP. Diagnosa diferensial antara
lain hipotiroid, diabetes melitus, gangguan keseimbangan elektrolit, multiple sclerosis,
dan tumor.
Fibromialgia adalah penyakit kronik sehingga penyakit ini akan berdampak pada
permasalahan biopsikososial.
Oleh karena patologi FM sampai sekarang ini belum jelas diketahui maka strategi
penanggulangan didasari oleh terapi simptomatik baik melalui terapi farmaka maupun
non farmaka. Disamping itu perlu dengan pendekatan edukasi.

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 4


DAFTAR PUSTAKA
1. Quijada-Carrera J, Valenzuala-Castano A, Povedano-Gomez J. Comparison of tenoxicam and
bromazepan in the treatment of fibromylagia: A randomized, double-blind, placebo-controlled
trial. Pain 1996; 65: 221-225.
2. Wallace D. The fibromyalgia syndrome. Ann Med 1996; 29: 9-21.
3. Rossy L, Buckelew S. A Meta-Analysis of fibromyalgia treatment interventions. Ann Behav
Med 1999; 21: 180191.
4. Diatchenko L, Nackley AG, Slade GD, Fillingim RB, Maixner W. Idiopathic pain disorders
pathways of vulnerability. Pain 2006; 123: 226230.
5. Buskila D. Fibromyalgia, chronic fatigue syndrome, and myofascial pain syndrome. Curr Opin
Rheumatol 2001; 13: 117-127.
6. Wolfe F, Smythe H, Yunus MB, et al. The American College of Rheumatology 1990 criteria
for the classification of fibromyalgia: Report of the multi center criteria committee. Arthrit
Rheumatol.1990.
7. Staud R. Biology and therapy of fibromyalgia: pain in fibromyalgia syndrome. Arthrit Res
Ther. 2006; 8: 208.
8. Rooks DS. Fibromyalgia treatment update. Curr Opin Rheumatol 2007; 19: 111-117.
9. Chakrabarty S, Zoorob R. Fibromyalgia. Am Fam Physician 2007; 76: 247-254.
10. Wilke WS, Mackenzie AH. Proposed pathogenesis of fibrositis. Cleve Clin 1985; 52: 147-
154.
11. Vaeroy H, Helle R, Forre O, Kass E, Terenius L. Elevated CSF levels of substance P and high
incidence of Raynaud phenomenon in patients with fibromyalgia: new features for diagnosis.
Pain.1988; 32: 21-26.
12. Harris RE, Clauw DJ. How do we know that the pain in fibromyalgia is "real"? Curr Pain
Headache. Rep 2006; 10: 403407.
13. Russell IJ, Orr MD, Littman B, et al. Elevated cerebrospinal fluid levels of substance P in
patients with the fibromyalgia syndrome. Arthrit Rheumatol 1994; 37: 1593-1601.
14. Larson AA, Giovengo SL, Russell IJ, Michalek JE. Changes in the concentrations of amino
acids in the cerebrospinal fluid that correlate with pain in patients with fibromyalgia:
implications for nitric oxide pathways. Pain 2000; 87: 201-211.
15. Giovengo SL, Russell IJ, Larson AA. Increased concentrations of nerve growth factor in
cerebrospinal fluid of patients with fibromyalgia. J Rheumatol 1999; 26: 1564-1569.
16. Williams DA, Gracely RH. Functional magnetic resonance imaging findings in fibromyalgia.
Arthrit Res Ther 2006; 8: 224.
17. Bendtsen L, Norregaard J, Jensen R, Oleson J. Evidence of qualitatively altered nociception
in patients with fibromyalgia. Arthrit Rheumatol 1997; 40: 98-102.
18. Bennett RM, Cook DM, Clark SR, Burckhardt CS, Campbell SM. Hypothalamic-pituitary-
insulin-like growth factor-I axis dysfunction in patients with fibromyalgia. J Rheumatol
1997; 24: 1384-1389.
19. Mountz JM, Bradley LA, Alarcon GS. Abnormal functional activity of the central nervous
system in fibromyalgia syndrome. Am J Med Sci 1998; 315: 385- 396.
20. Dommerholt J. Fibromyalgia: Time to Consider a New Taxonomy? J Musc Pain 2000; 8: 41-
47.
21. Moldofsky H, Scarisbrick P. Induction of neurasthenic musculoskeletal pain syndrome by
selective sleep stage deprivation. Psychosom Med 1976; 38: 35- 44.
22. Weigent DA, Bradley LA, Blalock JE, Alarcon GA. Current concepts in the pathophysiology
of abnormal pain perception in fibromyalgia. Am J Med Sci 1998: 315: 405-412.
23. Shaver JL. Fibromyalgia syndrome in women. Nurs Clin North Am 2004; 39: 195-204.
24. Tuncer T, Butun B, Arman M, Akyokus A and Doseyen A. Primary fibromyalgia and allergy.
Clin Rheumatol 1997; 16: 9-12.

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 5


25. Ruster M, Franke S, Spath M, Pongratz DE, Stein G, Hein GE. Detection of elevated N-
epsilon-carboxymethyllysine levels in muscular tissue and in serum of patients with
fibromyalgia. Scand J Rheumatol 2005; 34: 460-463.
26. Shah JP, Phillips TM, Danoff JV, Gerber LH: An in vivo microanalytical technique for
measuring the local biochemical milieu of human skeletal muscle. J Appl Physiol 2005; 99:
1977-1984.
27. Rosendal L, Kristiansen J, Gerdle B, et al. Increased levels of interstitial potassium but
normal levels of muscle IL-6 and LDH in patients with trapezius myalgia. Pain 2005; 119:
201-209.
28. Wall PD, Woolf CJ. Muscle but not cutaneous C-afferent input produces prolonged increases
in the excitability of the flexion reflex in the rat. J Physiol Lond 1984; 356: 443-458.
29. McCain G. A cost-effective approach to the diagnosis and treatment of fibromyalgia. Rheum
Dis Clin North Am1996; 22: 323-349.
30. Wolfe F, Ross K, Anderson J, Russell I and Hebert L. The prevalence and characteristics of
fibromyalgia in the general population. Arthrit Rheumatol 1995; 38: 19-28.
31. Goldenberg DL, Burckhardt C, Crofford L. Management of fibromyalgia syndrome. JAMA
2004; 292: 2388-2395.
32. Quisel A, Gill J, Walters D. Exercise and antidepressants improve fibromyalgia. J Fam Pract
2004; 53: 280-91.
33. Rao SG. The neuropharmacology of centrally-acting analgesic medications in fibromyalgia.
Rheum Dis Clin North Am 2002; 28: 235-259.
34. Berman BM, Ezzo J, Hadhazy V, et al. Is acupuncture effective in the treatment of
fibromyalgia. J Fam Pract 1999; 48: 213-218.
35. Mayer DJ. Acupuncture: an evidence-based review of the clinical literature. Ann Rev Med.
2000; 51: 49-63
36. Vickers A, Zollman C. ABC of Complementary Medicine. Acupuncture BMJ 1999; 319: 973-
976.
37. Moldofsky H, Lue F, Mously C, Roth-Schecter B and Reynolds W. The effects of zolpidem
in patients with fibromyalgia: A dose ranging, double blind, placebo controlled, modified
crossover study. J Rheumatol 1996; 23: 529-533.
38. Minhoto G, Roizenblatt S and Tufik S. The effect of biofeedback in fibromyalgia. Sleep Res
1997; 26: 573.
39. Assefi NP, Sherman KJ, Jacobsen C, Goldberg J, Smith WR, Buchwald DA. Randomized
Clinical Trial of Acupuncture Compared with Sham Acupuncture in Fibromyalgia. Ann
Intern Med 2005; 143: 1019.
40. Leibing E, Leonhardt U, Koster G, et al. Acupuncture treatment of chronic low-back paina
randomized, blinded, placebo-controlled trial with 9-month follow-up. Pain 2002; 96: 189
196.

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 6


Artikel Penelitian
PERANAN DEPRIVASI TIDUR TERHADAP PEREKAMAN EEG
PADA PASIEN TERSANGKA EPILEPSI

Radya Nurhamida Thayeb*, Nizar Yamanie**, Fitri Octaviana**, Joedo Prihartono***

ABSTRACT
Background: EEG is an essential investigative tool for use in people with epilepsy, and up until
now still remains central in the diagnosis and classification of epilepsies. The yield of interictal
epileptiform discharges (IEDs) can be increased by many activation methods, among them is sleep
deprivation.
Objective: To determine the important effects of different EEG protocols on the yield of interictal
epileptiform discharges in people with possible new epilepsy.
Methods: A randomized controlled study was conducted. The population target was all possible
new epilepsy patients in the outpatient clinic of dr. Cipto Mangunkusumo Hospital in Jakarta. 44
patients underwent either a non- sleep deprived (NSD) EEG or a sleep deprived (SD) one.
Results: Out of 44 possible new epilepsy patients who demonstrated interictal epileptiform
discharges SD EEG provoked abnormalities in 77,3% while NSD EEG produced 50% . Within the
two groups, the most clinical characteristics are with partial seizure type with onset of seizure < 25
years of age, and seizure frequency more than once a month. SD EEG have the yield of interictal
epileptiform discharges 3.67 (95% CI = 0.92-14.66) with p = 0.066 and onset of seizure < 25 years of
age has RR = 4.42 (95% CI = 1.07-16.86) with p = 0.040.
Conclusion: Sleep deprivation increases the yield of interictal epileptiform discharges. The age
of onset < 25 years also increases the yield of IEDs with or without SD EEG.
Key word: Possible epilepsy - EEG - Sleep deprivation
_____________________________________________________________________
ABSTRAK
Latar Belakang : EEG merupakan alat penunjang diagnostik yang utama pada epilepsi. Peranan
EEG dalam membantu menegakkan diagnosis dan menentukan klasifikasi epilepsi sangatlah penting.
Terdapat banyak metode aktivasi untuk meningkatkan kemungkinan munculnya aktivitas epileptiform
interiktal pada perekaman EEG, salah satunya adalah dengan deprivasi tidur.
Tujuan : Mengetahui peranan deprivasi tidur terhadap kemungkinan timbulnya aktivitas
epileptiform pada pasien tersangka epilepsi.
Metode : Uji klinis acak. Populasi adalah pasien tersangka epilepsi yang berobat jalan di
Poliklinik Epilepsi dan Sub Bagian EEG RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Dilakukan salah
satu perekaman EEG tanpa deprivasi tidur atau EEG dengan deprivasi tidur pada 44 pasien tersangka
epilepsi.
Hasil : Persentase munculnya aktivitas epileptiform pada pasien tersangka epilepsi dengan
metode perekaman EEG tanpa deprivasi tidur adalah 50% dan sebesar 77.3% positif pada perekaman
EEG dengan deprivasi tidur. Pada kedua kelompok (EEG tanpa dan dengan deprivasi tidur) dengan
aktivitas epileptiform positif didapatkan terbanyak adalah jenis bangkitan parsial berkembang menjadi
bangkitan umum sekunder (31.8% dan 68.2%), usia awal bangkitan < 25 tahun (27.3% dan 54.5%)
dan frekuensi bangkitan lebih dari satu kali dalam sebulan (40.9% dan 59.1%). EEG dengan deprivasi
tidur mempunyai probabiltas mencetuskan timbulnya aktivitas epileptiform sebesar 3.67 (95% CI =
0.92-14.66) dengan nilai p = 0.066 dan pada usia awal bangkitan < 25 tahun didapatkan RR = 4.42
(95% CI = 1.07-16.86) dengan nilai p = 0.040.
Kesimpulan : Didapatkan EEG dengan deprivasi tidur mempunyai kemungkinan mencetuskan
timbulnya aktivitas epileptiform lebih tinggi dibandingkan dengan EEG tanpa deprivasi tidur dan usia
awal bangkitan < 25 tahun mempunyai kemungkinan cukup tinggi tanpa ataupun dengan deprivasi
tidur untuk mencetuskan timbulnya aktivitas epileptiform.
Kata Kunci : Tersangka epilepsi - EEG - deprivasi tidur
________________________________________________________________________
* Peserta Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf, FKUI/RSCM, Jakarta
** Staf Departemen Ilmu Penyakit Saraf FKUI/RSCM, Jakarta

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 1


*** Staf Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Universitas Indonesia, Jakarta

PENDAHULUAN
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan berulang
sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermitten, yang disebabkan oleh
lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara paroksismal, dan
disebabkan oleh berbagai etiologi.1 Menurut data hasil survei oleh WHO, epilepsi mengenai
50 juta orang di seluruh dunia, epilepsi merupakan 1% beban penyakit dunia. Angka kejadian
epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang.
Peranan EEG dalam membantu menegakkan diagnosis dan menentukan klasifikasi
epilepsi sangatlah penting. EEG merupakan alat penunjang diagnostik yang utama pada
epilepsi. Pemeriksaan ini cukup nyaman, dan murah untuk menggambarkan manifestasi
eksitabilitas abnormal, mendadak, dan berlebih di korteks yang mendasari terjadinya
epilepsi.2,3,4,5,6,7,8.
Banyak metode aktivasi yang dapat meningkatkan kemungkinan munculnya aktivitas
epileptiform interiktal pada perekaman EEG, dimana salah satunya adalah dengan deprivasi
tidur.2
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan deprivasi tidur terhadap
kemungkinan timbulnya aktivitas epileptiform pada pasien tersangka epilepsi. Serta
mengetahui sebaran faktor-faktor yang dapat mempengaruhi (usia awal bangkitan, jenis
bangkitan, frekuensi bangkitan, interval waktu bangkitan terakhir) pada pasien dengan
aktivitas epileptiform pada kelompok yang dilakukan perekaman EEG tanpa deprivasi tidur
dan EEG dengan deprivasi tidur.

METODE
Penelitian ini dilakukan secara desain uji klinis acak (randomized controlled trial).
Data yang diperoleh dikumpulkan secara acak dari seluruh pasien tersangka epilepsi yang
memenuhi kriteria inklusi yang berobat di Poliklinik Epilepsi dan Sub Bagian EEG
Departemen Neurologi RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo setelah disetujui oleh komite etik
sampai jumlah mencukupi kebutuhan sampel.
Kriteria inklusi: (1). Pasien tersangka epilepsi yang berumur 15 tahun. (2). Bersedia
mengikuti penelitian. Kriteria eksklusi: (1). Terdapat stroke. (2). Terdapat cedera kepala. (3).
Terdapat infeksi intrakranial. (4). Terdapat lesi desak ruang intrakranial.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis Regresi
Logistik untuk mengetahui peranan deprivasi tidur terhadap kemungkinan timbulnya aktivitas
epileptiform. Untuk menguji apakah hipotesis yang diajukan diterima atau ditolak digunakan
uji Chi Square dan jika tidak memenuhi syarat uji Chi Square digunakan uji Fisher. Dengan
menggunakan interval kepercayaan (IK) 95% atau p = 0,05. Jika dalam pengujian p < 0,05,
berarti H0 ditolak, sedangkan jika p > 0,05 maka H0 diterima. Sedangkan kekuatan hubungan
dilihat dari nilai Risk Ratio (RR). Jika terdapat lebih dari satu faktor resiko yang
menunjukkan hubungan bermakna, maka diteruskan dengan analisa logistik regresi.
Pengujian-pengujian di atas dilakukan dengan menggunakan software pengolahan data
Statistical Package for Social Sciences (SPSS).

HASIL
Telah dilakukan penelitian terhadap pasien tersangka epilepsi yang berobat jalan di
Poliklinik Epilepsi dan Sub Bagian EEG Departemen Neurologi RSUPN dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta, didapatkan 44 sampel yang memenuhi kriteria inklusi untuk studi
deskriptif dan analisis.

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 2


Subyek penelitian terdiri dari 21 orang laki-laki (47.7%) dan 23 orang perempuan
(52.3%), yang terbagi dalam dua kelompok yaitu kelompok yang dilakukan perekaman EEG
tanpa deprivasi tidur dan dengan deprivasi tidur.
Pada kelompok yang tanpa deprivasi tidur terdiri dari 11 orang laki-laki (50%) dan 11
orang perempuan (50%) dan jumlah sampel terbanyak pada kelompok usia < 25 tahun
(45.5%). Sedangkan pada kelompok dengan deprivasi tidur terdiri dari 10 orang laki-laki
(45.4%) dan 12 orang perempuan (54.5%) dengan jumlah sampel terbanyak pada kelompok
usia 25 55 tahun (63.6%).
Sebaran karakteristik medik subyek penelitian berdasarkan karakteristik medik dan
kelompok menunjukkan jenis bangkitan terbanyak yang didapatkan pada kedua kelompok
adalah bangkitan parsial berkembang menjadi bangkitan umum sekunder. Pada kelompok
EEG tanpa deprivasi tidur sebanyak 14 orang sampel (63.6%) dan pada kelompok EEG
dengan deprivasi tidur sebanyak 18 orang sampel (81.8%). Pada variabel usia awal bangkitan
didapatkan jumlah sampel yang sama banyaknya pada kelompok EEG tanpa deprivasi tidur
yaitu < 25 tahun (50%) dan 25 tahun (50%), sedangkan pada kelompok EEG dengan
deprivasi tidur didapatkan jumlah sampel yang lebih tinggi pada usia awal bangkitan < 25
tahun (54.5%). Dengan frekuensi bangkitan pada kedua kelompok didapatkan lebih banyak
pada kategori > 1 kali/bulan. Perekaman EEG pada kedua kelompok hampir semuanya
dilakukan dengan interval waktu > 24 jam setelah bangkitan terakhir, hanya satu orang
sampel saja yang dalam waktu 24 jam.
Berdasarkan hasil perhitungan di atas, perbandingan antara kelompok EEG tanpa
deprivasi tidur dengan EEG dengan deprivasi tidur ditinjau dari variabel (jenis kelamin,
kelompok usia, jenis bangkitan, usia awal bangkitan, frekuensi bangkitan, dan interval waktu)
didapatkan nilai p > 0.05 sehingga memperlihatkan bahwa terhadap kedua kelompok tersebut
dapat dilakukan perbandingan.

Tabel 1. Sebaran aktivitas epileptiform menurut kelompok penelitian

Aktivitas epileptiform
Positif Negatif
Kelompok penelitian Jumlah
Persentase Persentase
Jumlah Jumlah
(%) (%)
EEG dengan deprivasi tidur 17 77.3 5 22.7 22
EEG tanpa deprivasi tidur 11 50 11 50 22
Total 28 16 44
Ket: p = 0.060; RR = 2.20 ( 0.92 5.29)

Pada tabel 1. terlihat pada kelompok yang dilakukan EEG dengan deprivasi tidur,
aktivitas epileptiform positif pada 17 orang sampel (77.3%) sementara pada kelompok tanpa
deprivasi tidur jumlah aktivitas epileptiform positif sama besar dengan yang negatif. Tabel
tersebut juga memperlihatkan EEG dengan deprivasi tidur mempunyai resiko mencetuskan
timbulnya aktivitas epileptiform positif sebesar 2.20 kali lebih tinggi dibanding EEG tanpa
deprivasi tidur.

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 3


Tabel 2. Sebaran subyek penelitian menurut karakteristik medik dan kelompok pada
pasien dengan aktivitas epileptiform positif

Aktivitas Epileptiform (+)


EEG tanpa deprivasi EEG dengan deprivasi
Karakteristik medik tidur tidur p
Jumlah Persentase Jumlah Persentase
(N = 11) (%) (N = 17) (%)
Jenis bangkitan *)
Parsial sederhana 1 4.5 0 0
Parsial kompleks 1 4.5 2 9.1
Parsial berkembang 0.980
menjadi bangkitan umum 7 31.8 15 68.2
sekunder
Lena 2 9.1 0 0
Usia awal bangkitan **)
< 25 tahun 6 27.3 12 54.5 0.444
25 tahun 5 22.7 5 22.7
Frekuensi bangkitan
1 kali/bulan 2 9.1 4 18.2 1.000
> 1 kali/bulan 9 40.9 13 59.1
Interval waktu
24 jam 0 0 0 0 -----
> 24 jam 11 50 17 77.3
Ket: *) Uji Kolmogorov Smirnov
**) Uji Fisher

Tabel sebaran subyek penelitian menurut karakteristik medik dan kelompok pada
pasien dengan aktivitas epileptiform positif (tabel 2) menunjukkan jenis bangkitan terbanyak
yang didapatkan pada kedua kelompok adalah bangkitan parsial berkembang menjadi
bangkitan umum sekunder. Pada kelompok EEG tanpa deprivasi tidur sebanyak 7 orang
sampel (31.8 %) dan pada kelompok EEG dengan deprivasi tidur sebanyak 15 orang sampel
(68.2 %). Pada variabel usia awal bangkitan didapatkan jumlah sampel yang lebih tinggi pada
kategori < 25 tahun, sebanyak 6 orang sampel (27.3%) pada EEG tanpa deprivasi tidur dan
12 orang sampel (54.5%) pada EEG dengan deprivasi tidur. Dengan frekuensi bangkitan pada
kedua kelompok didapatkan lebih banyak pada kategori > 1 kali/bulan dan interval waktu
perekaman pada kedua kelompok semuanya dilakukan setelah 24 jam setelah bangkitan
terakhir.
Berdasarkan hasil perhitungan di atas, perbandingan antara kelompok EEG tanpa
deprivasi tidur dengan EEG dengan deprivasi tidur ditinjau dari variabel (jenis bangkitan,
usia awal bangkitan, frekuensi bangkitan, dan interval waktu) didapatkan nilai p > 0.05
sehingga ke empat variabel tersebut dapat dilakukan uji analitik.

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 4


Tabel 3. Hubungan faktor penentu dan aktivitas epileptiform (n=44)

Faktor penentu Aktivitas epileptiform p RR 95% CI


Positif Negatif Low High
Jenis Bangkitan
Parsial sederhana 1 3 0.973 ---- ---- ----
Parsial kompleks 3 1
Parsial berkembang 22 10
menjadi bangkitan
umum sekunder
Lena 2 1
Umum tonik-klonik 0 1
Usia awal bangkitan*)
< 25 tahun 18 5 0.035 2.41 1.00 5.79
25 tahun 10 11
Frekuensi bangkitan*)
1 kali 6 5 0.492 1.22 0.68 2.21
> 1 kali 22 11
Ket: *) uji mutlak Fisher

Pada tabel 3. terlihat bahwa variabel jenis bangkitan dan frekuensi bangkitan tidak
berhubungan bermakna dengan aktivitas epileptiform (p > 0.05). Sedangkan variabel usia
awal bangkitan berhubungan bermakna dengan aktivitas epileptiform dimana nilai p = 0.035
dengan RR = 2.41 (95% CI = 1.00-5.79). Sementara variabel interval waktu tidak dapat
disimpulkan sebagai faktor yang tidak bermakna walaupun memiliki nilai p = 0.364 karena
jumlah sampel 24 jam hanya 1 orang.
Berdasarkan hasil penghitungan di atas, didapatkan variabel deprivasi tidur dan usia
awal bangkitan memiliki nilai p > 0.25 sehingga kemudian dilakukan analisa regresi logistik.

Tabel 4. Analisa Regresi Logistik terhadap aktivitas epileptiform positif (n=44)

95% CI
Variabel penentu p RR
Low High
Deprivasi tidur
0.066 3.67 0.92 14.66
Usia awal bangkitan
0.040 4.42 1.07 16.86
< 25 tahun

Dari hasil analisa regresi logistik didapatkan pada deprivasi tidur nilai p = 0.066
dengan RR = 3.67 (95% CI = 0.92-14.66) dan pada usia awal bangkitan < 25 tahun nilai p =
0.040 dengan RR = 4.42 (95% CI = 1.07-16.86)

PEMBAHASAN
Penelitian ini menunjukkan rentang usia pasien tersangka epilepsi meliputi antara 15
tahun sampai 70 tahun. Pada kelompok EEG tanpa deprivasi tidur didapatkan jumlah sampel
terbanyak pada kelompok usia < 25 tahun (45.5%) dengan rerata usia 34.2 18.9 tahun,
sementara pada kelompok EEG dengan deprivasi tidur didapatkan jumlah sampel terbanyak
pada kelompok usia 25 55 tahun (63.6%) dengan rerata usia 29.7 11.3 tahun. Nilai rerata
usia awal bangkitan pada kelompok EEG tanpa deprivasi tidur adalah 31.9 19.3 tahun dan

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 5


pada kelompok EEG dengan deprivasi tidur adalah 24.9 13.3 tahun. Berkaitan dengan usia,
grafik prevalensi epilepsi menunjukkan pola bimodal. Prevalensi pada bayi dan anak-anak
cukup tinggi, menurun pada usia dewasa muda dan pertengahan, kemudian meningkat lagi
pada kelompok usia lanjut.1,2 Agak sedikit berbeda dari yang didapatkan pada penelitian ini,
hal ini sangat mungkin disebabkan oleh karena jumlah sampel yang tidak besar pada
penelitian ini.
Jenis bangkitan terbanyak yang didapatkan pada kedua kelompok adalah bangkitan
parsial berkembang menjadi bangkitan umum sekunder. Pada kelompok EEG tanpa deprivasi
tidur 63.6% dan pada kelompok EEG dengan deprivasi tidur sebanyak 81.8%. Hal ini sesuai
dengan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Olaffson et al, 1996 di Islandia14, oleh
Hauser WA et al, 1993 di Rochester, Minnesota15, oleh Joenson P, 1986 di kepulauan
Faeroe16 dan oleh Lavados J et al, 1992 di Chile17 mengenai insidensi kejang spesifik atau
proporsi kasus dengan tipe kejang spesifik berdasarkan klasifikasi internasional,
memperlihatkan bahwa jenis bangkitan terbanyak adalah tipe kejang parsial.
Pada penelitian ini dilakukan penggabungan kelompok variabel usia awal bangkitan
menjadi < 25 tahun dan 25 tahun, karena tidak didapatkan adanya subyek yang memenuhi
kategori > 55 tahun pada kelompok deprivasi tidur, sehingga penghitungan tidak dapat
dilakukan bila tidak dilakukan penggabungan menjadi dua kelompok tersebut.
Didapatkan jumlah sampel yang sama banyaknya pada kelompok EEG tanpa
deprivasi tidur yaitu < 25 tahun (50%) dan 25 tahun (50%), sedangkan pada kelompok EEG
dengan deprivasi tidur didapatkan jumlah sampel yang lebih tinggi pada usia awal bangkitan
< 25 tahun (54.5%), namun perbedaan ini tidak bermakna secara statistik. Sementara pada
pasien dengan aktivitas epileptiform positif tampak usia awal bangkitan < 25 tahun lebih
tinggi pada kedua kelompok yaitu 27.3% pada EEG tanpa deprivasi tidur dan 54.5% pada
EEG dengan deprivasi tidur.
Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ajmone-Marsan dan Zivin LS18,
didapatkan aktivitas epileptiform interiktal lebih sering muncul pada usia anak-anak
dibandingkan pada usia dewasa. Pada penelitian lain didapatkan aktivitas epileptiform
interiktal lebih sering muncul (80%) pada usia anak-anak (<10 tahun) dibandingkan dengan
usia dewasa (>40 tahun). Begitu juga penelitian lainnya yang didapatkan EEG abnormal pada
usia 15-25 tahun sebanyak 23% dan 19% pada usia diatas 55 tahun.
Frekuensi bangkitan pada kedua kelompok didapatkan lebih tinggi pada kategori > 1
kali dalam sebulan, baik secara keseluruhan pada EEG tanpa deprivasi tidur sebanyak 68.2%
dan 81.8% pada EEG dengan deprivasi tidur, maupun pada pasien dengan aktivitas
epileptiform positif saja yaitu pada EEG tanpa deprivasi tidur 40.9% dan EEG dengan
deprivasi tidur 59.1%. Faktor yang dapat mempengaruhi munculnya aktivitas epileptiform
interiktal salah satunya adalah frekuensi timbulnya bangkitan. Pasien dengan frekuensi
serangan 1 kali dalam sebulan akan lebih besar kemungkinan muncul pada perekaman
dibandingkan pada yang hanya mengalami serangan satu kali dalam setahun. 2,9,10,11,12 Yang
didapatkan pada penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ajmone-
Marsan dan Zivin LS,, yang mendapatkan bahwa frekuensi timbulnya serangan berhubungan
dengan lebih tingginya kemungkinan timbulnya aktivitas epileptiform interiktal pada
perekaman EEG.18
Pada penelitian ini perekaman EEG pada kedua kelompok hampir semuanya
dilakukan dengan interval waktu lebih dari 24 jam setelah bangkitan terakhir, hanya satu
orang sampel saja yang dalam waktu kurang dari 24 jam. Sementara pada pasien dengan
aktivitas epileptiform positif malah tidak ada yang melakukan perekaman EEG dalam waktu
kurang dari 24 jam setelah mengalami bangkitan terakhir.
Penelitian oleh Gottman J dan Marciani MG, 1985 mendapatkan bahwa perekaman
yang dilakukan segera atau tidak lama setelah terjadinya bangkitan akan lebih besar

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 6


kemungkinannya memunculkan aktivitas epileptiform interiktal.19 Pada beberapa penelitian
lain juga didapatkan waktu perekaman EEG yang dilakukan dalam waktu 24 jam pasca
bangkitan akan memunculkan aktivitas epileptiform sebanyak 51% dibandingkan pada
perekaman yang dilakukan setelah lebih dari 24 jam sebanyak 34%. Perbedaan yang
didapatkan pada penelitian ini sangat mungkin penyebabnya adalah karena tidak
sebandingnya distribusi jumlah sampel pada kedua kelompok tersebut akibat jumlah sampel
yang tidak besar.
Pada penelitian ini didapatkan munculnya aktivitas epileptiform positif pada
perekaman EEG dengan deprivasi tidur pada 17 orang sampel (77.3%), sementara pada
kelompok EEG tanpa deprivasi tidur jumlah aktivitas epileptiform positif sama besar dengan
yang negatif (50%). Juga tampak EEG dengan deprivasi tidur mempunyai resiko
mencetuskan timbulnya aktivitas epileptiform positif sebesar 2.20 kali lebih tinggi dibanding
EEG tanpa deprivasi tidur.
Hal ini sesuai penelitian yang dilakukan oleh Badawy RAB et al, 2006, didapatkan
dari 15 pasien tersangka epilepsi yang dilakukan perekaman EEG awal tanpa deprivasi tidur
didapatkan 20% aktivitas epileptiform positif dan dengan EEG deprivasi tidur menjadi 66.7%
positif. 13 Penelitian oleh Leach JP et al, 2005 terhadap 85 pasien tersangka epilepsi, dengan
metode dilakukan tiga protokol pemeriksaan yang berbeda pada masing-masing pasien yaitu,
perekaman EEG tanpa deprivasi tidur, EEG dengan deprivasi tidur, dan EEG dengan drug
induced sleep, didapatkan hasil perekaman EEG dengan deprivasi tidur memiliki persentase
timbulnya aktivitas epileptiform umum sebesar 92%, fokal 73%, dengan EEG drug induced
umum 58%, fokal 27% dan EEG tanpa deprivasi umum 44%, fokal 40%. Hal ini
memperlihatkan adanya perbedaan yang signifikan pada EEG dengan deprivasi tidur
dibandingkan dengan dua protokol lainnya.5
Berdasarkan hasil perhitungan di atas, perbandingan antara kelompok EEG tanpa
deprivasi tidur dengan EEG dengan deprivasi tidur ditinjau dari variabel (jenis bangkitan,
usia awal bangkitan, frekuensi bangkitan) didapatkan nilai p > 0.05 sehingga ke empat
variabel tersebut dapat dilakukan uji analitik. Variabel interval waktu bangkitan terakhir tidak
dilakukan uji analitik karena jumlah sampel yang tidak sebanding (jumlah sampel interval
waktu < 24 jam sangat kecil = 0 1).
Penelitian ini juga tidak mendapatkan adanya hubungan yang bermakna antara jenis
bangkitan dan frekuensi bangkitan terhadap timbulnya aktivitas epileptiform, sedangkan
variabel interval waktu tidak dapat disimpulkan sebagai faktor yang tidak bermakna
walaupun memiliki nilai p = 0.364 karena jumlah sampel yang dilakukan perekaman EEG
dalam waktu 24 jam setelah bangkitan terakhir hanya 1 orang saja. Namun pada variabel
usia bangkitan awal didapatkan berhubungan bermakna dengan aktivitas epileptiform dimana
nilai p = 0.035 dengan RR = 2.41 (95% CI = 1.00-5.79), hal ini berarti usia awal bangkitan <
25 tahun mempunyai resiko 2.41 kali lebih tinggi dibanding usia 25 tahun untuk
menimbulkan cetusan aktivitas epileptiform. Bangkitan akan tampak lebih sering lagi muncul
bila epilepsi dialami pada usia dini.2,12 Sesuai juga dengan penelitian yang dilakukan oleh
Ajmone-Marsan dan Zivin LS, yang mendapatkan bahwa aktivitas epileptiform interiktal
lebih mungkin timbul pada perekaman EEG bila epilepsi dimulai pada usia dini.18
Untuk menyingkirkan dari pengaruh variabel lain yang juga bermakna, dalam hal ini
variabel usia awal bangkitan terhadap deprivasi tidur maka dilakukan analisa regresi logistik,
dimana didapatkan hasil pada deprivasi tidur nilai p = 0.066 dengan RR = 3.67 (95% CI =
0.92-14.66) dan pada usia awal bangkitan < 25 tahun didapatkan nilai p = 0.040 dengan RR =
4.42 (95% CI = 1.07-16.86). Hal ini membuktikan bahwa pada deprivasi tidur akan
meningkatkan kemungkinan untuk timbulnya cetusan aktivitas epileptiform pada perekaman
EEG. Dan didapatkan juga bahwa pada usia awal bangkitan < 25 tahun dengan ataupun tanpa

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 7


tindakan deprivasi tidur mempunyai kemungkinan timbulnya cetusan aktivitas epileptiform
yang lebih tinggi pada perekaman EEG.

KESIMPULAN DAN SARAN


Persentase munculnya aktivitas epileptiform pada pasien tersangka epilepsi dengan
metode perekaman EEG tanpa deprivasi tidur adalah 50% dan sebesar 77.3% positif pada
perekaman EEG dengan deprivasi tidur.
Didapatkan pada kelompok perekaman EEG tanpa deprivasi tidur dan kelompok
perekaman EEG yang dilakukan deprivasi tidur, masing-masing dengan aktivitas epileptiform
positif, terbanyak adalah jenis bangkitan parsial berkembang menjadi bangkitan umum
sekunder, usia bangkitan awal kurang dari 25 tahun dan frekuensi bangkitan lebih dari satu
kali dalam sebulan.
Didapatkan usia awal bangkitan kurang dari 25 tahun mempunyai kemungkinan
cukup tinggi untuk mencetuskan timbulnya aktivitas epileptiform (RR=4.42) dan EEG
dengan deprivasi tidur mempunyai kemungkinan mencetuskan timbulnya aktivitas
epileptiform lebih tinggi dibandingkan dengan EEG tanpa deprivasi tidur (RR=3.67).
Sebaiknya dilakukan perekaman EEG awal standar berupa EEG deprivasi tidur pada
pasien tersangka epilepsi dengan usia awal bangkitan < 25 tahun.
Diperlukan penelitian lebih lanjut dalam jumlah sampel yang lebih besar untuk
meninjau apakah terdapat hubungan bermakna antara variabel-variabel penentu lainnya (jenis
bangkitan, frekuensi bangkitan, dan interval waktu).

DAFTAR PUSTAKA
1. Harsono, Kustiowati E, Gunadharma S. Pedoman tatalaksana epilepsi. Edisi ketiga. Kelompok studi
epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). 2008
2. Engel J, Pedley TA. Epilepsy A Comprehensive textbook 2nd edition, volume one. USA,Lippincott
Williams and Wilkins, 2008: 809-812, 1093-1094
3. Shih T. Epilepsy and seizures. in: Current diagnosis and treatment. New York. McGraw Hill, 2008: 47-63
4. Browne Rt, Holmes GL. Handbook of Epilepsy. 2nd edition Burlington, Elsevier, 2003.1-17, 125-126
5. Leach JP, Stephen LJ, Salveta C et al. Which EEG for epilepsy? The relative usefulness of different EEG
protocols in patients with possible epilepsy. J.neurol.neurosurg.psychiatry. 2005;084871
6. Manford M. Practical guide to epilepsy. Burlington, Elsevier, 2003:113-125
7. Gumnit RJ. The epilepsy handbook, the practical management of seizures. NY 2nd edition, Raven press,
1995: 1-11
8. A Practical guide to childhood epilepties part 2. Oxford, medicinae, 2006: 79-85
9. Duncan JS. Antiepileptic drugs and the encephalogram. Epilepsia 1987;28(3):259-66
10. Miller JW, Turner GM, Gray BC. Anticonvulsant effect of the experimental induction of hippocampal theta
activity. Epilepsy research 1994; 18: 195-204
11. Cutting S, Lauchmeier, Barr W et al. Adult-onset idiopathic generalized epilepsy: clinical and behavioral
features. Epilepsia 2001; 42 (11): 1395-1398
12. Carpay JA, Weerd WD, Schimsheimer RJ et al. The diagnostic yield of a second EEG after partial sleep
deprivation: a prospective study in children with newly diagnosed seizures. Epilepsia 1997; 38 (5): 595-599
13. Badawy RAB, Curatolo JM, Newton M et al. sleep deprivation increases cortical excitability in epilepsy:
syndrome-specific effects. Neurology 2006; 67: 1018-1022
14. Olafsson E, Ludvigsson P, Gudmundsson G, et al. incidence of unprovoked seizures and epilepsy in iceland
and assesment of the epilepsy syndrome classification: a prospective study. Lancet Neurol. 2005;4(10):627-
634.
15. Hauser WA, Annegers JF, Kurland LT. Incidence of epilepsy and unprovoked seizures in Rochester,
Minnesota: 1935-1984. Epilepsia.1993;34(3):453-468.
16. Jallon P, Gourmaz M, Haenggeli C et al. Incidence of first epileptic seizures in the canton of Geneva,
Switzerland. Epilepsia. 1997;38(5):547-552.
17. Lavados J, Germain L, Morales A, et al. A descriptive study of epilepsy in the district of El Salvador, chile,
1984-1988. Acta Neurol Scand. 1992;85(4):249-256.
18. Ajmone-Marsan C, Zivin LS. Factors related to the occurence of typical paroxysmal abnormalities in the
EEG records of epileptic patients. Epilepsia.1970;11:361-381.

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 8


19. Gottman J, Marciani MG. Electroencephalographic spiking activity, drug levels, and seizure occurrence in
epileptic patients. Ann Neurol.1985;17:597-603.

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 9


Pola Gangguan Fungsi Organ dan Fungsi Kognitif pada Usia Lanjut
Taufik Mesiano*, Samino*
Asosiasi Alzheimer Indonesia ( AAzI )

Pendahuluan
Dengan meningkatnya usia harapan hidup manusia di dunia terutama negara Indonesia,
akan menambah jumlah penduduk dengan usia di atas 60 tahun atau yang lebih sering kita kenal
sebagai warga senior (lanjut usia). Indonesia pada tahun 2010 diperkirakan mengalami kenaikan
jumlah warga senior menjadi 17,2 juta orang yang akan semakin meningkat hingga pada tahun
2020 akan terdapat 29 juta orang warga senior (BPS Profil Kesehatan Indonesia, DEPKES RI).
Dan tidak sedikit dari jumlah tersebut akan mengalami hendaya dalam kehidupan sehari-harinya,
dari mulai aktifitas pribadi hingga aktifitas yang berhubungan dengan masyarakat luas.
Keberadaan warga senior ini di satu sisi menunjukkan adanya perbaikan sistem kesehatan
di Indonesia. Namun begitu, keadaan tersebut juga dapat mempengaruhi pola penyakit di negara
kita yang bergeser ke pola penyakit degeneratif atau penurunan fungsi berbagai organ seperti
penglihatan, pendengaran, pencernaan, sistem perkemihan, sistim kardiovaskular, dan juga
kemunduran fungsi kognitif otak. Kemunduran fungsi kognitif otak dapat menimbulkan kelainan
berupa kepikunan. Hingga saat ini, masalah kepikunan menurut kebanyakan pandangan
masyarakat kita masih dianggap sebagai hal yang biasa saja dialami oleh warga senior.
Pandangan inilah yang harus kita luruskan, karena kepikunan (demensia) juga dapat berarti
terdapat suatu proses penyakit pada otak manusia yang memiliki faktor risiko yang dapat
dicegah.
Pada akhir tahun ini, dunia dikejutkan dengan adanya peningkatan jumlah penderita
demensia diseluruh dunia menjadi sekitar 24 juta orang. Jumlah tersebut terus meningkat ( kasus
demensia baru per tujuh detik ), jadi kita akan menghadapi sekitar 80 juta lebih orang dengan
demensia pada tahun 2040 di dunia.(The Lancet) Dan pada studi tersebut menyatakan bahwa
kebanyakan orang dengan demensia banyak yang hidup di Negara-negara yang sedang
berkembang : sekitar 60 % pada tahun 2001 dan meningkat hingga 71 % pada tahun 2040. Dan
diperkirakan akan terdapat peningkatan rata-rata menjadi tiga hingga empat kali lebih tinggi pada
negara berkembang dibanding negara yang telah maju.
Oleh karenanya deteksi dini gangguan fungsi organ khususnya fungsi kognitif otak
sangatlah penting karena sifatnya yang degeneratif sehingga terjadi kemunduran yang semakin
berat seiring bertambahnya umur.

Metode
Kami melakukan suatu penelitian deskriptif pada sampel para usia lanjut (usia diatas 60
tahun) dibeberapa wilayah DKI Jakarta. Subyek yang kami ambil adalah seluruh warga usia
lanjut (usia > 60 tahun) dan pengambilan sampel secara consecutive sampling.
Penelitian ini kami harapkan sebagai suatu studi pendahuluan yang dapat dilanjutkan ke
penelitian selanjutnya yang lebih luas terutama multisenter dan tersebar ke seluruh Indonesia.
Pola gangguan fungsi organ kami nilai menggunakan kuesioner yang kami buat dan
modifikasi sendiri. Berbagai pertanyaan yang kami buat bersifat subyektif. Untuk penilaian
fungsi kognitif kami menggunakan Mini Mental State Examination (MMSE) dengan mengambil
cut-off point lebih dari 24 sebagai nilai normal.

NEURONA Vol. 27 No. 3 April 2010 1


Hasil Penelitian

Telah kami kumpulkan sebanyak 56 subyek penelitian, berusia diatas 60 tahun. Jenis kelamin
perempuan (59% vs 41 %) mendominasi subyek kami, dan pada umumnya pasien adalah
pensiunan dan sudah tidak bekerja lagi ( 82 % ), serta tingkat pendidikan terbanyak yaitu
Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat (72 %), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan
sederajat (19%), Perguruan Tinggi (5%), dan Sekolah Dasar dan sederajat (4%). Status
perkawinan subyek yang masih memiliki pasangan ( 75 %) dan status janda/duda (hidup sendiri)
( 25% )
Berdasarkan kuesioner yang kami edarkan kami mendapat pola gangguan fungsi organ
pada usia lanjut berurutan dari yang terbanyak yaitu gangguan penglihatan (pandangan kabur)
pada 28 subyek (50 %), hipertensi pada 26 subyek (46,4 % ), riwayat vertigo pada 22 subyek
(39,3%), gangguan pendengaran pada 21 subyek (27,5%), dan neuropati (rasa baal) pada 17
subyek (30,4 %), untuk gangguan pada organ lainnya dapat dilihat pada grafik 3.

Grafik 1. Status Pekerjaan dan pendidikan(n=56)

!"#"$%&'()*+*+,#)& '()(*+,,-#

!"# $"#
()#

''"# %&"# (*+#


(*,#
+-./0#123//2#
!"#
$$"# !"#$
%"#
!%&'$#()*+)$

&!"# ,-.)*()*+)$

!%/*-0/1
"&)/&&0.$

NEURONA Vol. 27 No. 3 April 2010 2


Grafik 3. Pola Gangguan Fungsi Organ

(n=56)
$!!"#
,!"#
+!"#
*!"#
)!"#
(!"#
'!"#
L375:#
&!"#
M5#
%!"#
$!"#
!"#
9#
#

/#

5#

3#

.#

52 #
#

?#
5/

5D

.B

GH
5/

/9
3:3

A/
59
85

=>

/K
8D
56

/5

BC

861
09

5;
.5

-3
/6
/#
234

E1
18

A8
8/
/#
1/

C1

36#
J5
-.
/.

/<
-.

@1
01

5:
36#
/7

F3
01

01

5:
/#

/I
01

-.
/#

/#

/I

01
/#
-.

-.

01
-.

Selain gangguan berbagai organ, juga kami evaluasi gangguan pada sistim saraf yaitu gangguan
sensoris dan gangguan fungsi kognitif. Untuk gangguan sensoris kami mengevaluasi timbulnya
gangguan nyeri yang banyak dikeluhkan oleh usia lanjut pada subyek penelitian yaitu sekitar 55
% subyek mengeluh adanya gangguan nyeri di berbagai lokasi. Gangguan nyeri terbanyak yaitu
di lokasi leher (18%) dan kepala (14%). Sedangkan untuk gangguan fungsi kognitif dikeluhkan
oleh sekitar 59 % subyek dengan kejadian terbanyak yaitu keluahan mudah lupa dalam berbagai
hal (54%).
Grafik 3. Keluhan Gangguan Fungsi Kognitif
Grafik 2. Keluhan Gangguan Nyeri
(n=56)
(n=56)
!"#$$%"#&'()*+& !"#$$%"#&'($#)*+&

!"#$ ()*+,+$
"%#$
"'#$
!%#$ -).)/$ !"#$

01233+23$ &'()*$
!!#$ !#$ +',)$
!&#$ -'./0$
123,/4/3$
5637).$

NEURONA Vol. 27 No. 3 April 2010 3


Gangguan kognitif yang terjadi pada subyek kemudian kami evaluasi menggunakan alat periksa
penapis dasar fungsi kognitif yaitu dengan mini mental state examination (MMSE). Kami
dapatkan rerata nilai MMSE dari 56 subyek yaitu 28.30 (SD 1.73) dengan nilai terkecil 22 dan
terbesar 30 poin. Abnormalitas hasil MMSE kami temukan pada 2 subyek dengan masing-
masing nilai MMSE 22 dan 23 (tabel 1).
Komponen fungsi kognitif yang terganggu dari 56 subyek yaitu gangguan pada recall
memory pada 32 subyek ( 57,1%), gangguan atensi atau kalkulasi pada 15 subyek (26,8 %),
gangguan orientasi pada 12 subyek (21,4 %) dan gangguan bahasa pada 5 subyek (8,9%).

Tabel 1. Skor MMSE masing-masing subyek (n=56)


Skor MMSE Jumlah Persentase (%)
22 1 1.8
23 1 1.8
26 4 7.1
27 11 19.6
28 9 16.1
29 13 23.2
30 17 30.4
Total 56 100.0

Grafik 4. Pola Gangguan Fungsi Kognitif

(n=56)

$!!"#
,!"#
+!"#
*!"#
)!"#
(!"#
'!"#
E2F5:#
&!"#
%!"# G5#
$!"#
!"#
2#

2#

5#

9#
2#

@#
56

62 5
56

?1

56
15
/4

D5
9:;

B
3>
4
.26

A5
23

?6
85

#=
01

73

/#

6;
/#

-.
/#

99
/#

C2
<5
-.
-.

-.

/#
73

-.
/#
-.

NEURONA Vol. 27 No. 3 April 2010 4


Pembahasan
Di Negara berkembang seperti Indonesia, pelayanan kesehatan pada usia lanjut akan
menjadi isu yang penting. Semakin meningkatnya jumlah warga usia lanjut di Indonesia
diperkirakan akan menjadi tantangan para praktisi kesehatan dimasa yang akan datang, karena
banyaknya berbagai masalah khususnya masalah kesehatan dan pendidikan.
Gangguan kesehatan tersebut akibat berbagai gangguan fungsi organ yang timbul
berhubungan dengan bertambahnya usia seseorang. Gangguan fungsi organ akibat penuaan dapat
disebabkan oleh berbagai faktor seperti perubahan pada struktur berbagai makromolekul pada
DNA, RNA, dan protein sebagai molekul terkecil penyusun organ.
Gangguan pada berbagai fungsi organ kami fokuskan pada gangguan fungsi kognitif pada
usia lanjut. Masyarakat Indonesia mengenalnya sebagai gejala kepikunan dan hal ini banyak
disepelekan oleh masyarakat Indonesia karena dianggap sesuatu yang wajar. Gejala pikun atau
istilah medisnya demensia harus dievaluasi lebih lanjut apakah hal ini disebabkan oleh proses
penuaan yang normal atau mengarah ke suatu bentuk patologi atau penyakit seperti demensia
akibat penyakit Alzheimer yang hingga kini belum ada obat-obatan untuk mengatasinya dengan
tuntas.
Demensia memiliki prevalensi berbeda-beda, dimana prevalensinya semakin meningkat
berdasarkan pertambahan umur. Prevalensi sekitar 5 % pada usia 70 tahun, 20 % pada usia 80
tahun.
Pada penelitian ini didapatkan dari 56 subyek usia lanjut terdapat 2 (dua) orang subyek
mengalami gangguan fungsi kognitif berdasarkan hasil pemeriksaan MMSE nilainya kurang dari
24. Namun setelah kami lihat lebih rinci lagi untuk subyek lainnya dengan nilai MMSE nya
kurang dari 30, terlihat sudah terdapat kecenderungan gangguan fungsi kognitif pada warga usia
lanjut secara berurutan yaitu gangguan recall memory (recent memory), gangguan
kalkulasi/atensi, gangguan orientasi, dan gangguan bahasa. Kita tahu bahwa gejala demensia
akibat Alzheimer sering diawali dengan gangguan kehilangan memori. Namun gangguan
tersebut perlu diteliti lebih lanjut.

Kesimpulan
Penelitian kami hanyalah suatu bentuk penelitian pendahuluan, yang kami harapkan
penelitian ini dapat dilanjutkan kembali dengan jumlah subyek yang lebih besar dan
menggunakan alat evaluasi yang lebih lengkap dan lebih sensitif untuk menilai gangguan fungsi
kognitif dan yang dapat mencerminkan prevalensi Nasional.
Telah kami dapatkan dari penelitian ini gangguan fungsi berbagai organ termasuk
didalamnya gangguan pada otak yaitu gangguan fungsi kognitif. Kecenderungan gangguan
fungsi kognitif pada usia lanjut tersebut perlu menjadi suatu perhatian khusus dalam
mendiagnosis dini akan kemungkinan penyebab dari gangguan tersebut serta adakan makna
korelatif dari penyakit multiorgan yang disandang bersamaan.

Daftar Pustaka
1.Sidiarto K, Sidiarto L, Samino, dkk. Konsensus Nasional: Pengenalan dan Penatalaksanaan
Demensia Alzheimer dan Demensia Lainnya. Asosiasi Alzheimer Indonesia. 2003
2.BPS Profil Kesehatan Indonesia, DEPKES RI
3.Wortmann M dan Lefevre Michael. New estimates of number of people with dementia

NEURONA Vol. 27 No. 3 April 2010 5


worldwide in Global Perspective. A newsletter for Alzheimers Disease International.
December. 2008. Vol18 No.3.
4.Gershman K, McCullough DM. Primary Care Essentials: Geriatric. 2nd ed. America.
Blackwells Science. 2002.
5.Malamut BL. Dementia disorder: Behavioral and cognitive aspects in Clinical neurology of
the older adult. Philadelphia.Lippincott Williams & Wilkins. 2002.p 273-291.

NEURONA Vol. 27 No. 3 April 2010 6


Artikel Tinjauan Pustaka

MANAGEMENT OF NEURALGIA TRIGEMINAL


Dessy R Emril*

ABSTRAK

Trigeminal neuralgia adalah salah kondisi nyeri fasial yang paling mengganggu. Berbagai
penelitian membuktikan bahwa penyebab Neuralgia trigeminal terbanyak adalah konflik
neurovascular atau kompresi pembuluh darah pada nervus trigeminus yang menyebabkan
demielinisasi saraf dan gangguan hantaran saraf. Gejala klinis yang khas berupa nyeri
paroksismal di wajah dan respon yang baik terhadap pemberian obat tertentu dapat membantu kita
membedakan NT dengan tipe nyeri wajah yang lain. Penatalaksanaan farmakologi dengan
karbamazepin sebagai obat lini pertama merupaka lagkah pertama yang dilakukan. Tindakan
invasive minimal dan pembedahan adalah dua pilihan penatalaksanaan berikutnya bila terapi
farmakologi tidak menghasilkan perbaikan. Meskipun berbagai penelitian menunjukkan bahwa
prosedur tersebut memiliki keuntungan dan kerugian, namun tingkat kepuasan pasien terhadap
tindakan intervensi tetap tinggi. Dengan demikian, pemilihan obat dan keputusan tentang tindakan
intervensi yang dipilih harus berdasarkan kebutuhan individu setiap pasien.
Kata kunci: Trigeminal neuralgia, terapi farmakologi, tindakan invasive minimal, tindakan
pembedahan

ABSTRACT

Trigeminal neuralgia is one of the most painful condition in patient with facial pain problem.
Many evidence reveal that the likely etiology is neurovascular conflict or vascular compression of
the trigeminal nerve that leading to focal demyelination and aberrant neural discharge. Its
excruciating intensity , paroxysmal stabbing or electrical quality, facial location, phasic temporal
profile, and responsiveness to a specific drug can help us in distinguishing TN from other types of
facial pain. Pharmacological treatment with carbamazepin as the drug of choice is the first step of
trigeminal neuralgia treatment. Minimally invasive procedure and surgical approach are two options
when drugs admission do not make any improvements. Although study evoke that these
procedures has advantage and disadvantage, nevertheless, patients satisfaction by using
interventional procedure is still high. However, the choice of drug and decisions regarding
interventional or surgery treatment must be individualized to the needs of the patient.
Keywords: trigeminal neuralgia, pharmacological treatment, minimally invasive, surgical
treatment

*Staf Departemen Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, Aceh

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 1


INTRODUCTION
Neuralgia is an idiopatic pain sensasion of peripheral nerve. It mostly occur on the
head and neck. Trigeminal neuralgia, or TN, is by far the most frequently diagnosed form
of neuralgia. About 4 cases founded amongs 100.000 populations.1 The bigest insidence is
in age 50 years, and mainly occurs in women with ratio 1:2 to 2:3 1,3 In addition to
female gender, there is an association between hypertension and multiple sclerosis with an
elevated relative risk of TN.1
Trigeminal neuralgia is associated with decreased quality of life and impairment of
daily function. TN impacted employment in 34 % of patients and depressive symptoms are
not uncommon in patients with TN.4,5
Many evidence reveal that the pain occurs because of the pressure on trigeminal
nerve root, which is next to its way into the pons.This may occure due to the abnormality
of vascular circular pathway .6
Pain sensasion during TN attack spreads out from trigeminal nerve brancehs. The
condition may be severely disabling, and morbidity may be high, particularly in the
elderly.7 Its excruciating intensity , sharp or electrical quality, facial location, phasic
temporal profile, and responsiveness to a specific drug can help us in distinguishing TN
from other types of facial pain.8
CLINICAL CHARACTERISTIC OF TRIGEMINAL NEURALGIA
The characteristic of TN is electrical shock- like sensation which is limited in
trigeminal nerve are. It is happened unilaterally, usually on the right side of the face.
Mandibular and maxillary branch are common branchs that effected, while it rare effect
optalmic branch.9 Pain last up to two minutes and appears spontaneously. Pain may relaps
and repeated at short interval. Sometimes , pain can overlap which is known as a lingering.
9,10

Specific activities provoke the pain in patient with TN. Patient report an attack of
neuralgia even just only by a lightly touched to the area which is called a trigger zone. The
simple activities that contact, mobilize, stretch and a even a slightly stimulate the trigger
zone, such as speaking, chewing, saving, brushing the teeth or a cool wind striking the face
can precipitate an attack.8
We should know that TN is one of many varieties of trigeminal nerve distribution
facial pain which differ in their etiopathology and treatment responsiveness. Burchiel has
divided TN into two subdivision : TN1, consisting of sharp, shooting, electrical shock-like,
episodic pain; and TN2, consisting of aching, throbbing, burning pain that is constant more
than 50% of the time. How ever, many patients will have the combination of TN1 and TN2
characteristic.. Normal Neurological examination and and subtle deficit of trigeminal
sensory can be found.8
Trigeminal neuralgia is sometimes caused by another illness. Symptomatic TN can be
associated with MS, postherpetic TN resulting from a facial outbreak of herpes zoster,
trigeminal neuropathic pain following unintentional trigeminal nerve injury (e.g., stroke or
dental procedures), and trigeminal differentiation pain following intentional denervating
procedures used to treat TN.11, 12

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 2


TREATMENT
The treatment of patients with idiopathic trigeminal Neuralgia is often a challenge in
clinical practice.. Many studies are still needed to unreveal management of TN in clinical
pactice. Invasive procedure and surgical approach are two options when drugs admission
do not make any improvements.
Pharmacological tretament
Treatment starts with drug admission and Carbamazepin as the first choice. 7,9
Carbamazepin has higher efficacy level (level A) than oxcarbazepin (level B) in treating
CTN pain.Baclofen, lamotrigine and pimozied are assumed to likely have result in
controling pain in patient with CTN (level C). Carbamazepin is given 200-1200 mg daily
while oxcarbazepin is given 600-1800 mg daily.This agent shows light side effects compare
to CBZ which is higher in it efficacy level.14
There are still lack of studies that proved efficacy of combination therapy with
lamotrigine and baclofen. Meanwhile, the result of using other neurapathic pain reliever
drugs such as gabapentin, pregabalin, serotonin-noradrenaline reuptake inhibitor, or
tricyclic antidepressants is not yet identified.14
As spontaneous recovery in typical CTN is rare and the condition is cyclical with
periods of partial or complete remission and recurrence, it is recommended to encourage
patients to modify the dose of the drugs depents on how frequent the attack occurs adjust
the dosage to the frequency of attacks.14
If any of these sodium-channel blockers is ineffective, referral for a surgical
consultation would be a reasonable next step. But we should have done an adequate trial of
at least three drugs including carbamazepine before we decide the surgical treatment.8
How to adjust the dose
There is an art to dose titration that does not have to according to the usual rate of
titration. The choice of drug, rate of titration, and the duration of therapy must be
individualized to the need of the patients. The physician must balanced the need to achieve
rapid pain relief with the dose-related medication side effects. Too rapid an increasing of
the dose could risk unpleasant dose dependent side effects and persuading the patient never
again to try the drug even thought it have been proven remarkably helpful if it was started
more slowly.8
The expected time for efficacy of the drug to be achieved is relatively short and we can
usually judge the efficacy of the drug within days of reaching biological steady state. We
should asses the patients response within the time a drug has reached steady state. If the
response is not adequate, the dose should be increased within reasonable limits of safety
and tolerability.8 If side effects occur, the physician must judge whether the side effects are
potentially serious and determine whether to slow the rate of titration, reduce the dose for a
few days, or discontinue the drug altogether and proceed to another treatment option.8
How to Stop the medication
The patient who remains pain-free or nearly so for some time may wish to taper off of
medication. But We should determine whether absence of pain is due to remission of TN or
to medication unless the dose is decreased, since the natural history of TN is characterized
by spontaneous remissions. Once patient has no pain for a full month, the drug can be
tapered gradually week by week, until we found the lowest dose that necessary to maintain
control of pain.8

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 3


A slow tapering off the dose is advisable, and after the pain doesnt reappear, the drug
can be stopped. Patient may be advise to keep a small supply of medicine as the pain can
return suddenly. Occasionally, patient prefer to remain on medication since they have a
fear that the pain might return. Doctor usually permit the patient to continue medication on
the lowest dose of medication on a precautionary basis.8
Interventional/surgical treatment
When the pharmacological treatment fails, a choice between a minimally invasive
technique and a surgical approach should be made.13 Trigeminal ganglion block and
percutaneous rhizotomy are the minimally invasive procedure that can be the choice. While
microvascular decompression and gamma knife surgery are the surgical technique which is
more invasive.
Trigeminal ganglion block
Purpose of this procedure is to alleviate pain sensasion by obstructing trigeminal
ganglion. Nowaday, thermoangiolysis has changed terminal ganglion block procedure
which has been widely used beforehand.
Procedure should be performed under fluoroscopic guidance. It is applied to get
fluroscopic view of submental in lateral and PA posiition where the needle will be inserted.
The direction marked by entry point 2 to 3 lateral to the commissura labialis (angle of the
mouth) ; needle should be directed 3 cm anterior to the external auditory meatus when seen
from the side; and needle should be directed toward the pupil when seen from the front of
the face. Cannula insertion should be performed following the bisector (450) of the sagittal
plane, which passes through the pupil and the frontal-mentonian plane. When the needle
enters the foramen ovale, we have to verify the depth of the needle inside the Meckels
cave with the lateral view of fluoroscopy. A 0.5 ml iohexol solution helps determine that
the needle has not penetrated the dura. Local anesthetic is given up to 1 ml after negative
aspiration. If the pain is produce by terminal ganglion compression , this procedure may
succesfully relief the pain.15
Complication of trigeminal ganglion block is rare. There is a risk of meningitis if the
needle enters the mucosa. Placed the fingers inside the mouth can help to guide the needle
and prevents penetrations of the oral mucosa. Brain stem function can be affected if the
local anesthetic reached it. The patient will complains of bilateral headache, or fourth or
sixth nerve palsy, or pupillary change.15
Percutaneous rhizotomy
This procedure use a canulla which is inserted through foramen ovale. This means to
treat lesion on terminal ganglion or root by using Radiofrequency thermocoagulation (RFT)
, chemical (injection of glycerol) or mechanical approach such as using an inflating baloon
to compress the lession.14
RF is the most common procedure to treat TN especially in elderly patients. It has high
efficacy in eliminating pain. However, it also has disadvantages such as numbness and
ansthesia dolorosa.Thus,many studies have been conducted to searching for better
approach in idioathic trigeminal neuralgia treatement.13
The procedure consist of convensional RF (CRF) technique and pulsed RF technique
(PRF). CRF use electrode tip that produce heat in surrounding tissue. Pulsed RF use pulsed
current. It is sent at 2 bursts for 20 ms each. There is a periode when circulation and

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 4


thermal conductivity remove the heat produced by the currents and this what makes, the
temperature is keep maintained at low level.13
There have been several experimental researches to assess the efficacy of PRF in
comparison with CRF. A prospective, randomized, double blinded study which evaluate the
effect of PRF in comparison with CRF reported that CRF is more effective than PRF in the
treatment of idiopathic TN. 13 The result shown that The VAS scores decreased
significantly (p < 0.001) and PSS improved significantly after the CRF procedure . The
VAS score decreased in only 2 of 20 patients from the PRF group and the patients in this
group get pain recurrence in 3 months after the procedure.13
Procedure
Patient who will undergo for the procedure for the procedure should be verified for an
appropriate preoperative fasting and prophylactic antibiotics that cover skin and intraoral
flora should be administered 1 hour before procedure. Vasofagal episodes are rarely occur,
so it is not considered to do the routine premedication with symphatetic agonist. Patent
intravenous access, physiologic monitoring including electrocardiogram, blood monitoring
and pulse oximetry are mandatory throughout the procedure.16
The electrode enters the skin at 2 to 3 cm lateral to the lateral angle of the mouth. A 22-
gauge, 4-inch, 2- to 5-mm active tip RF electrode, with a slight curve place in the distal 1
cm is ideal. Despite the availability of some specialty electrodes (eg, Tew), comparable
success can also be achieved by the use of smaller profile electrodes. It is important to
ensure that the electrode is parallel and advanced in a coaxial manner to the radiograph
beam. V3 distribution paresthesiae will usually occur as the electrode approaching the
petrous portion of temporal bone. Intraoral examination should be done prior to advancing
the electrode as to avoid false of the electrode through buccal mucosa. The patient is asked
to hyperventilate then deeply sedated with 1.25 to 2 mg/Kg isopropyl phenol given
intravenously by anesthesiologist. On reaching the apneic treshold, the electrode is
advanced to enter foramen ovale at its mid point. Lateral image of midface is obtained by
repositioning of the fluoroscope and the electrode is advanced 2 to 4 mm further to reach
the junction of the petrous mass and clivus. Dural penetration and electrode position in
Meckels cavern is confirmed by a slow drip of CSF after removal of the stylet of the
electrode.16
Test stimulation is mandatory before radiofrequency lesioning. Reproduction of
concordant symptoms isolated to the trigeminal distribution of the patients usual
symptoms (V1,V2, V3) at 50-Hz, 1-millisecond pulse duration should be reproducible at
0.05 to 0.1 V.15, 16 If this sensation is obtained after 0.5-V stimulation. Then the needle
should be redirected to get the same response at a lower voltage. Residual sensorial deficits
from previous lesioning might present.15
After the desired stimulation parameters verified, isopropyl phenol is once again given
intravenously until the apneic threshold is reached. Thermal lesioning is then initiated again
with a target temperature of 58C to 60C to create two 60- to 120-second lesion lesions.
The use of advanced high verniation lesioning techniques allow the use of pulsed RF
energy so that the chances of temperature overshoot can bi minimalized and extremely
stable temperature lesions are obtained. One author prefers the generator set to deliver 4
pulses per second, with each pulse of 30 milliseconds duration. Typical voltages necessary

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 5


for lesion temperature in the 58C to 60C range from 45 to 80 V. Electrode is removed
after lesioning completed and the patient is allowed to awaken.16
The creation of lower temperature lesions has obviated the need to verify the presence
of dense immediate postprocedure hypoesthesia or anesthesia. Protective measures to the
cornea (with saline eye drop, viscous lubricant or ophthalmologic eye patch) should be
undertaken if corneal sensation decreased upon patients emergence from anesthesia. By
the advent of minimally invasive surgical technique and short-acting intravenous
anesthetics, the procedure can now be done in an outpatient setting. However, in this
setting, responsible adult supervision and patient monitoring in the early postoperative
period is necessary. If such condition can not be obtained, 24 to 48 hours admission should
be done.16
Complete recovery is achieved soon after surgery, though some of the patients still
experience postoperative pain in 2 to 3 weeks. This could be managed by giving
neuromodulator agents (eg carbamazepine, gabapentine and so on) continuously untill
postoperative follow up day begin. Initial treatment with additional analgetic agents be may
needed in the beginning of postoperative period.16
Basically this procedure has good result.After percutaneous RF gasserian rhizotomy,
about 80 % patients completely recover from the attack, and about 15% to 20% experience
reccurency in 12 months. This procedure could be reperformed if patients experience
reccurence attack. In an unmanageable trigeminal neuralgia, patient who have failed repeat
RF neurotomy or when RF can not be performed, microvascular decompression should be
an alternative choice.16
Complication can be diminished by carefully selected of the patient with attention to
both somatic and psychosocial factors, and the procedure must be performed by a trained
clinician in the optimal environment.17
The risks include anesthesia dolorosa in 0.6-6% of patients. Transient or permanent
cranial nerve palsies may occur. More serious complication such as meningitis, abscess,
blindness, carotid-cavernous fistula and even brainstem injury may occur but very rare.
Corneal anesthesia that lead to keratitis may occure as the complication of ophthalmic
division lesion. Lesion of mandibular division may reduce lingual sensation and slur
speech.17,8
Microvascular decompression
Since Dandy theorized that vascular compression of the trigeminal neuralgia is
responsible for TN, microvascular decompression (MVD) has been widely used with
favorable outcomes.18
Craniotomy is performed in the procedure, where trigeminal nerve in posterior fossa
which is compressed by the vesel is taken off and still maintaining the nerve function.14
Several report on this procedure result has reported that almost all of the patient is
recovered. Meanwhile 80% of patients feel free from pain at one year, , 75% at three years
and 73% at five years. Mortality rate from this procedure is low ; 02% to 0,5%. Post
operative adverse events such as CFS leaks, infarct or hematomas occur in 4% patients.
Other complication such as diplopia and bells palsy is uncommon. But 7% of patients have
reported the sensory loss. Ipsilateral hearing loss may be the prolonged complication that
occurs in 10% patients.14

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 6


A study from Jian Hai shows that patient with atypical neuralgia attains recovery by
decompression on the whole trigeminal root.26 patients with vascular decompressien were
detected using magnetic resonance tomographic angiography, they then were diagnosed
with atypical trigeminal neuralgia. Up to 46,2 % patients have contradictory arterial or
venous formation. Predilection areas respectively are supero-medial , supero lateral and
inferior arround circumference of trigeminal root. Almost half of patients achieve recovery
after complete decompression, while the rest who do no have complete decompression
have partial relief (30.8%) and recurency (19,2%).18
Although study evoke that this procedure has advantage and disadvantage.
Nevertheless, patients satisfaction by using this procedure is still high.
Gamma knife surgery
For medically refractory idiopathic TN, stereotactic radiosurgery with gamma knife
surgery (GKS) has accepted to be the good treatment. It is non invasive and using beam of
radiation at the root of trigeminal nerve.
Different results of this procedure have been reported from several studies.However,
the interpretation of the studies is still unclear because the reports do not have the same
standar outcome.19
In Kostas et al study, stereotactic surgery is found to be valuable in idiopatic TN treatment
beside its safety. Result was collected from two groups.Group one is patients with no
previous surgery.This group has respones rate 92,9%. Group 2 is patients who had
undergone surgery with response rate 85,7%. Group one has better outcome either in first
and second year post treatment (82,5% and 78%) while group 2 has only 69,4% in first
year and 63,5% in second year.19
Some complications such as post treatment facial numbness, sensory loss or
parasthesias have been reported. Facial numbness is commonly found after the procedure
(9-37%) while sensory loss/or parasthesia only reported by 6-13% of patients. No
anesthesia dolorosa has been reported.14
REFERENCES
1. Katusic S, Beard CM, Bergstralh E, Kurland LT. I ncidence and clinical features of trigeminal
neuralgia, Rochester, Minnesota, 1945- 1984. Ann Neurol 1990;27:89-95.
2. Darlow LA, Brooks ML, Quinn PD. Magnetic resonance imaging in the diagnosis of trigeminal
neuralgia. J Oral Maxillofac Surg. 1992;50:621-6.
3. Turp JC, Gobetti JP. Trigeminal neuralgia versus atypical facial pain: a review of the literature and
case report. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod. 1996;81:424-32
4. Tlle T, Dukes E, Sadoysky A. Patien burden of trigeminal neuralgia: results from a cross-sectional
survey of health state impairment and treatment patterns in six European countries, Pain Pract.
2006;6:153-60
5. Marbach JJ, Lund P. Depression, anhedonia and anxiety in temporomandibular joint and other facial
pain syndromes, Pain.1981; 11(1): 73-84
6. Love S, Coakham HB, Trigeminal neuralgia: pathology and pathogenesis. Brain. 2002;124:247
7. Stannard C, Booth S. Pain. 2nd ed. 2004: 318
8. Cheshire WP. Trigeminal neuralgia: For one nerve a multitude of treatments. Expert Rev Neurother
2007;7(11):1565-75
9. Bagher SC, Farhidvash F, Perciaccante VJ. Diagnosis and treatment of patients with neuralgia
trigeminal neuralgia. JADA 2004;135: 1713-15
10. Benneto L, Patel NK, Fuller G. Trigeminal neuralgia and its management. British medical journal.
2007; 334: 201-4
11. Burchiel KJ. A new classification for facial pain. Neurosurgery.2005; 53(5): 1164-66
12. Eller JL, Raslan AM, Burchiel KJ. Trigeminal neuralgia: definition and classification. Neurosurg.
Focus 18(5), E3 (2005)

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 7


13. Erdine S, Ozyalcin NS, Cimen. Comparison of pulsed radiofrequency with conventional
radiofrequency in the treatment of idiopathic trigeminal neuralgia. European Journal of Pain.
2007;11:309
14. Cruccu G, Gronseth G, Alksne J. AAN-EFNS guidelines on trigeminal neuralgia management.
European Journal of Neurology. 2008;15:1013-4
15. Erdine S, Racz GB, Noe C. Somatic blocks of the head and neck. In: Raj PP, editor. Interventional pain
management. 2nd ed. Philadelphia: Saunders- Elsivier; 2008: 82-7.
16. Yin W. Radiofrequency gasserian rhizotomy: The role of RF lesioning in the management of facial
pain.Techniques in Regional Anastesia and Pain Management 2004;8:31
17. Zundert JV, Sluijter M, Kleef MV. Thermal and pulsed radiofrequency. In: Raj PP, editor.
Interventional pain management. 2nd ed. Philadelphia: Saunders- Elsivier; 2008: 61
18. Jion Hai, Shi-Ting, Qing-Gang Pan. Treatment of atypical trigeminal neuralgia with microvascular
decompression. Neurology India. 2006;54:53-57
19. Fauntas KN, Smith JR, Lee GR. Gamma Knife stereotactic radiosurgical treatment of idiopathic
trigeminal neuralgia: long-term outcome and complications. Neurosurg Focus. 2007;23:1

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 8

You might also like