FILSAFAT HUKUM
RESUME BAB 16
CRITICAL LEGAL STUDIES
Critical Legal Studies
GUYORA BINDER
16
Critical legal studies is a movement in legal scholarship
associated with the Conference on Critical Legal Studies,
an organization inaugurated by a small conference at
the University of Wisconsin in 1977 (Schlegel, 1984 ). As
an intellectual movement, critical legal studies
combined the concerns of legal realism, critical Marxism,
and structuralist or poststructuralist literary theory.
Many of its members identifi ed with the leftist politics of
the student movements of the 1960s (Binder, 1987 ;
Tushnet, 2005 ). The movement s most infl uential
writings were published in the 1970s and 1980s.
By the early 1990s, the Conference had dissolved.
Nevertheless, the critical legal studies movement has
had continuing infl uence on the work of numerous legal
scholars, particularly in the fi elds of legal and
constitutional theory, legal history, labor and
employment law, international law, local government
law, and administrative law. It contributed to the
emergence of other intellectual movements critiquing
the role of law in maintaining hierarchies based on sex,
race, and sexual orientation. It also infl uenced
Studi Hukum Kritis
GUYORA BINDER
16
Studi hukum kritis adalah gerakan dalam beasiswa hukum
terkait dengan Konferensi Studi Hukum Kritis, sebuah
organisasi diresmikan oleh sebuah konferensi kecil di
University of Wisconsin pada tahun 1977 (Schlegel, 1984).
Sebagai sebuah gerakan intelektual, studi hukum kritis
dikombinasikan keprihatinan realisme hukum, Marxisme
kritis, dan strukturalis atau teori sastra pascastrukturalis.
Banyak anggotanya mengindentifikasi ed dengan politik
sayap kiri gerakan mahasiswa tahun 1960-an (Binder,
1987; Tushnet, 2005). Gerakan 's tulisan berpengaruh
paling infl diterbitkan pada 1970-an dan 1980-an.
Pada awal 1990-an, Konferensi telah dibubarkan. Namun
demikian, gerakan studi hukum kritis telah infl pengaruh
penerus pada karya sejumlah sarjana hukum, khususnya di
ladang teori hukum dan konstitusi, sejarah hukum, hukum
perburuhan dan ketenagakerjaan, hukum internasional,
hukum pemerintah daerah, dan hukum administrasi. Ini
memberikan kontribusi terhadap munculnya gerakan
intelektual lainnya mengkritisi peran hukum dalam
menjaga hierarki berdasarkan jenis kelamin, ras, dan
orientasi seksual. Hal ini juga dipengaruhi infl beasiswa
dalam studi hukum interdisipliner menggunakan metode
scholarship in interdisciplinary legal studies using the humaniora dan ilmu-ilmu sosial interpretatif.
methods of the humanities and the interpretive social
sciences. Studi Hukum Kritis sebagai Yurisprudensi Analytic:
Kritik dari Liberal Hak Teori
Critical Legal Studies as Analytic Jurisprudence: Beberapa sarjana hukum kritis ditampilkan minat
The Critique of Liberal Rights Theory keprihatinan tradisional yurisprudensi analitik. Para sarjana
A few critical legal scholars displayed interest in the ini mengikuti jejak realis hukum Wesley Hohfeld (1913),
traditional concerns of analytic jurisprudence. These Walter Wheeler Masak (1918), Robert Hale (1943), dan
Morris Cohen (1927), mengkritik teori hak liberal dengan
scholars followed in the footsteps of legal realists
menekankan saling ketergantungan ekonomi dan sosial
Wesley Hohfeld (1913) , Walter Wheeler Cook (1918) ,
dari badan hukum. Mereka berpendapat bahwa saling
Robert Hale (1943) , and Morris Cohen (1927) ,
ketergantungan seperti frustrasi aspirasi liberal klasik
criticizing liberal rights theory by stressing the economic
untuk mengamankan bola maksimum kebebasan yang
and social interdependence of legal persons. They
sama dengan mendefinisikan hak. Seperti leluhur realis
argued that such interdependence frustrated the hukum mereka, para sarjana hukum kritis melihat hak
classical liberal aspiration to secure a maximum sphere sebagai:
of equal liberty by defining rights. Like their legal realist [H]ubungan antara orang-orang tentang kontrol sumber
forebears, critical legal scholars saw rights as: daya dihargai ... hak hukum yang korelatif; setiap hak
[R]elations among persons regarding control of valued hukum individu menyiratkan kerentanan korelatif di orang
resources Legal rights are correlative; every legal lain, dan setiap hak dibatasi oleh hak orang lain
entitlement in an individual implies a correlative bersaing ... Hak milik ditafsirkan sebagai delegasi
vulnerability in someone else, and every entitlement is kekuasaan berdaulat untuk individu oleh negara; Oleh
limited by the competing rights of others Property karena itu hak-hak ini harus ned defi mengakomodasi
rights are interpreted as delegations of sovereign power kepentingan yang saling bertentangan dari aktor sosial.
to individuals by the state; these rights should therefore (Singer, 1993, hal. 20)
be defi ned to accommodate the confl icting interests of
social actors. Jika hak milik dipahami untuk memberikan kekuatan, itu
(Singer, 1993 , p. 20) sama berikut bahwa perundingan kontrak tidak pernah
benar-benar sama dan semua persetujuan kontrak yang
If property rights are understood to confer power, it
similarly follows that contractual bargaining is never
truly equal and all contractual consent is coerced
through the exercise of superior bargaining power.
Because they identified entitlements with power over
others, critical legal scholars argued that the liberal
ideals of freedom to act without harming others, and
freedom to transact with consenting others, are self -
defeating. Accordingly, these ideals cannot be realized
in a legal regime and efforts to realize them will yield
doctrinal systems that are structured by recurrent,
irresolvable debates. Doctrinal systems that are liberal
in this sense may include precise - sounding rules, but
the rules will generally confront, or even contain,
counter - rules that contradict them. Accordingly, in
such a system, the rules do not determine results and
cannot explain whatever ability legal practitioners have
to predict results (Balkin, 1986 ; Kennedy, 1991 ).
Liberal rights theory, then, is not formally realizable.
Judicial application of a liberal rights regime involves
political discretion; it can never be the mere formality
demanded by the liberal ideal of the rule of law. The
meaning and validity of rights will always be subject to
further political contestation.
This indeterminacy thesis, as it came to be called,
was a claim about classical liberalism and its aspiration
to secure liberty through a rule of law. The claim was
dipaksa melalui latihan daya tawar unggul. Karena mereka
diidentifikasi hak dengan kekuasaan atas orang lain,
sarjana hukum kritis berpendapat bahwa cita-cita liberal
kebebasan untuk bertindak tanpa merugikan orang lain,
dan kebebasan untuk bertransaksi dengan menyetujui
orang lain, diri - mengalahkan. Dengan demikian, cita-cita
ini tidak dapat diwujudkan dalam sebuah rezim dan upaya
untuk mewujudkan mereka akan menghasilkan sistem
doktrinal yang terstruktur oleh berulang, perdebatan tak
terpecahkan hukum. Sistem doktrinal yang "liberal" dalam
pengertian ini mungkin termasuk yang tepat - aturan
terdengar, tetapi aturan umumnya akan menghadapi, atau
bahkan mengandung, kontra - aturan yang bertentangan
dengan mereka. Dengan demikian, dalam sistem tersebut,
aturan tidak menentukan hasil dan tidak bisa menjelaskan
kemampuan apapun praktisi hukum harus memprediksi
hasil (Balkin, 1986; Kennedy, 1991). Teori hak liberal,
maka, tidak secara resmi realisasi. Aplikasi peradilan dari
rezim hak liberal melibatkan kebijaksanaan politik; tidak
pernah dapat menjadi formalitas belaka dituntut oleh yang
ideal liberal aturan hukum. Arti dan validitas hak akan
selalu tunduk pada kontestasi politik lebih lanjut.
Ini "tesis ketidakpastian," seperti yang kemudian disebut,
adalah klaim tentang liberalisme klasik dan aspirasi untuk
mengamankan kebebasan melalui aturan hukum. Klaim
adalah bahwa tidak ada sistem aturan determinate bisa
mengamankan kebebasan. Masukan cara ini, tesis
ketidakpastian ternyata diterima secara luas di kalangan
sarjana hukum dari pandangan yang berbeda. Misalnya,
that no determinate rule system can secure liberty. Put
this way, the indeterminacy thesis turns out to be widely
accepted among legal scholars of disparate views. For
example, legal economist Ronald Coase s influential
analysis of social cost argues that transaction costs
preclude any allotment of rights from internalizing all
external costs and preventing mutual interference
(Coase, 1960 ). If the critical legal studies indeterminacy
thesis largely repeated the familiar and widely accepted
legal realist critique of classical liberalism, why was it so
controversial? This controversy was partly the result of a
misunderstanding. Observers mistakenly ascribed to
critical legal scholars a categorical claim that all legal
rules are ecessarily indeterminate (Solum, 1987 ;
Altman, 1990 ). Yet critical legal scholars sometimes
invited such misunderstanding by gratuitously
associated liberal rights theory with foundationalist
metaphysics and philosophy of language (Peller, 1985 ;
Tushnet, 1988). This created the impression that they
thought the indeterminacy of liberal rights jurisprudence
somehow followed necessarily from pragmatist,
poststructuralist, or hermeneutic ideas about language.
Eventually critical legal scholars scaled back these more
dubious claims about the sources of indeterminacy
(Tushnet, 2005).
Further confusion arose because critical legal scholars
infl analisis berpengaruh ekonom hukum Ronald Coase 's
biaya sosial berpendapat bahwa biaya transaksi
menghalangi setiap peruntukan hak dari internalisasi
semua "eksternal" biaya dan mencegah gangguan
bersama (Coase, 1960). Jika tesis studi hukum
ketidakpastian kritis sebagian besar mengulangi realis
kritik hukum akrab dan diterima secara luas dari
liberalisme klasik, mengapa begitu kontroversial?
Kontroversi ini adalah sebagian hasil dari kesalahpahaman.
Pengamat keliru dianggap berasal dari sarjana hukum
kritis klaim kategoris bahwa semua aturan-aturan hukum
yang ecessarily tak tentu (Solum, 1987; Altman, 1990).
Sarjana hukum namun kritis kadang-kadang diundang
kesalahpahaman tersebut dengan teori hak liberal cuma-
cuma terkait dengan metafisika fondasionalis dan filsafat
bahasa (Peller, 1985; Tushnet, 1988). Hal ini menciptakan
kesan bahwa mereka pikir ketidakpastian yurisprudensi
hak liberal entah bagaimana diikuti tentu dari pragmatis,
pascastrukturalis, atau ide hermeneutik tentang bahasa.
Akhirnya sarjana hukum kritis turunkan klaim lebih
meragukan tentang sumber-sumber ketidakpastian
(Tushnet, 2005).
Kebingungan lebih lanjut muncul karena para sarjana
hukum kritis diidentifikasi sumber tambahan
ketidakpastian dalam doktrin hukum Amerika di luar
perwujudan nya teori hak liberal. Sarjana hukum sehingga
penting juga berpendapat bahwa standar doktrinal
membutuhkan identifikasi kepentingan pelaku hukum atau
identified additional sources of indeterminacy in
American legal doctrine beyond its embodiment of
liberal rights theory. Thus critical legal scholars also
argued that doctrinal standards requiring identification
of the interests of legal actors or populations are
indeterminate. This second claim took critical legal
scholars beyond their legal realist predecessors; indeed
it implied a critique of the instrumentalist approach to
legal decision making embraced by many legal realists.
This second indeterminacy thesis was the more
original and interesting contribution of critical legal
studies. Taken together, critical legal scholars
indeterminacy critiques of liberal rights theory and of
instrumental jurisprudence attributed indeterminacy to
a good deal of
American legal doctrine. The combined scope of their
two indeterminacy theses contributed to the
misapprehension that critical legal scholars were making
general claims about the indeterminacy of language. Yet
their two indeterminacy theses did not amount to a
categorical claim that no rule or rule system can yield
determinate results. Instead, the indeterminacy of rights
and the indeterminacy of interests connected in a less
abstract way. The indeterminacy of rights results from
their correlative character and from the
interdependence of economic actors. Because economic
actors cannot exercise freedom without mutual
interference, rights do not secure a sphere of individual
populasi yang tak tentu. Klaim kedua ini mengambil
sarjana hukum kritis di luar pendahulu realis hukum
mereka; memang itu tersirat kritik dari pendekatan
instrumentalis untuk pengambilan keputusan hukum yang
dianut oleh banyak realis hukum. Ini kedua "ketidakpastian
tesis" adalah kontribusi lebih asli dan menarik dari studi
hukum kritis. Secara bersama-sama, sarjana hukum kritis
'kritik ketidakpastian teori hak liberal dan yurisprudensi
berperan dikaitkan ketidakpastian untuk banyak dari
Doktrin hukum Amerika. Ruang lingkup gabungan dari dua
tesis ketidakpastian mereka berkontribusi pada
kesalahpahaman bahwa sarjana hukum kritis membuat
klaim umum tentang ketidakpastian bahasa. Namun dua
tesis ketidakpastian mereka tidak berjumlah klaim
kategoris bahwa tidak ada aturan atau aturan sistem
dapat menghasilkan hasil yang determinate. Sebaliknya,
ketidakpastian hak dan ketidakpastian kepentingan
terhubung dalam cara yang kurang abstrak. Ketidakpastian
hak dihasilkan dari karakter korelatif mereka dan dari
saling ketergantungan pelaku ekonomi. Karena pelaku
ekonomi tidak dapat melaksanakan kebebasan tanpa
gangguan bersama, hak tidak mengamankan bola dari
otonomi individu di luar pengawasan sosial. Sebaliknya,
hak adalah klaim untuk dukungan sosial untuk mengejar
diri - bunga dengan biaya orang lain. Ketika sistem hukum
mengakui hak, mereka sehingga mendukung beberapa
konsepsi diri - bunga layak dukungan sosial. Dengan cara
ini, hukum dapat mempengaruhi sangat kepentingan
bahwa yurisprudensi berperan akan memilikinya melayani.
autonomy beyond social scrutiny. Instead, rights are
claims to social support for the pursuit of self - interest
at others expense. When legal systems recognize
entitlements, they thereby endorse some conceptions of
self - interest as worthy of social support. In this way,
law may influence the very interests that an
instrumental jurisprudence would have it serve.
Critical Legal Studies as Social Theory
The indeterminacy critique of interests developed by
critical legal scholars is best seen as a contribution to
social and political theory rather than analytic
jurisprudence. It is essentially a claim that society and
politics are legally constructed. Thus it is an original and frustrasi upaya instrumentalis untuk menjelaskan atau
philosophically important claim about the relationship
between law and society.
Critical scholars did not see legal language as
indeterminate relative to the social context to which it
refers. Rather, they saw legal language as indeterminate
because of the indeterminacy of the social context to
which it refers (Kennedy, 1973). The indeterminacy of
the social world frustrates instrumentalist efforts to
explain or prescribe legal rules on the basis of their
service to certain interests.
The remainder of this chapter will explicate this critique
of instrumentalism by reviewing the work of several
critical legal scholars. As we shall see, critical legal sebagai cangkang kosong, diam-diam ditentukan oleh
scholars have deployed this critique not only against konteks sosial; mereka mencari saja, dengan cara analisis
Studi Hukum Kritis sebagai Teori Sosial
Ketidakpastian kritik dari kepentingan yang dikembangkan
oleh para sarjana hukum kritis bisa dipandang sebagai
kontribusi untuk teori sosial dan politik daripada hukum
analitik. Ini pada dasarnya adalah klaim bahwa masyarakat
dan politik yang dibangun secara legal. Oleh karena itu
klaim asli dan filosofis penting tentang hubungan antara
hukum dan masyarakat.
Sarjana kritis tidak melihat bahasa hukum sebagai tak
tentu relatif terhadap konteks sosial yang mengacu.
Sebaliknya, mereka melihat bahasa hukum sebagai tak
tentu karena ketidakpastian dari konteks sosial yang
mengacu (Kennedy, 1973). Ketidakpastian dari dunia sosial
meresepkan aturan hukum atas dasar layanan mereka
untuk kepentingan tertentu.
Sisa dari bab ini akan menjelaskan kritik ini
instrumentalisme dengan meninjau karya beberapa
sarjana hukum kritis. Seperti yang akan kita lihat, para
sarjana hukum kritis telah dikerahkan kritik ini tidak hanya
terhadap lembaga-lembaga hukum yang ada, tetapi juga
terhadap proposal instrumental didorong untuk
mereformasi atau menggulingkan mereka.
Kritik instrumentalisme
Realis hukum cenderung untuk melihat doktrin hukum
existing legal institutions, but also against kebijakan, untuk membuat tekad kontekstual terbuka dan
instrumentally driven proposals to reform or overthrow self - sadar. Ulama penting, seperti kebanyakan sarjana
them. hukum modern, diinternalisasi ini konsepsi realis argumen
hukum sebagai analisis kebijakan. Mereka memperluas
The critique of instrumentalism proyek kritis realis untuk menyertakan kebijakan analisis
Legal realists tended to see legal doctrine as an empty realis menganjurkan.
shell, covertly determined by social context; they sought Berbeda dengan realis, sarjana hukum kritis tidak
only, by means of policy analysis, to make that memperlakukan doktrin hukum sebagai khusus atau
bahkan kasus yang berbeda antara bentuk-bentuk
contextual determination overt and self - conscious.
pengetahuan sosial, unik kurang dalam kebenaran atau
Critical scholars, like most modern legal scholars,
determinasi. Sebaliknya, mereka diperlakukan sebagai
internalized this realist conception of legal argument as
contoh khas dari penggunaan metode ilmu sosial untuk
policy analysis. They expanded the realist critical project
mempromosikan tujuan kebijakan, sehingga ketidakpastian
to include the policy analysis realists advocated.
yang hanya dicontohkan ketidakpastian dan nilai - kualitas
Unlike the realists, critical legal scholars did not treat sarat pengetahuan sosial yang didasarkan.
legal doctrine as a special or even a distinct case among Dengan demikian, banyak beasiswa hukum kritis dipahami
forms of social knowledge, uniquely lacking in truth or sebagai kritik realisme hukum daripada rekapitulasi itu.
determinacy. Instead, they treated it as a typical Dalam "The Metafisika Hukum Amerika," Gary Peller
instance of the use of social science methods to membuat penolakan ini realisme eksplisit, sementara
promote policy ends, so that its indeterminacy simply membuat jelas bahwa itu tidak berarti mensyaratkan
exemplifi ed the indeterminacy and value - laden quality kembali ke formalisme teori hak liberal (Peller, 1985).
of the social knowledge on which it is based. Sebaliknya, ia berpendapat bahwa realisme mengabadikan
Accordingly, much critical legal scholarship is properly aw fl dasar formalisme: komitmennya untuk determinasi.
understood as a critique of legal realism rather than a Alih-alih melihat dunia sosial yang ditentukan oleh hukum,
recapitulation of it. In The Metaphysics of American realisme bersikeras bahwa keputusan hukum yang dan
Law, Gary Peller made this rejection of realism explicit, harus ditentukan oleh konteks sosial mereka. Alih-alih
while making clear that it by no means entailed a return mensubordinasi fakta untuk aturan, Peller berpendapat,
to the formalism of liberal rights theory (Peller, 1985 ). realisme hukum subordinasi aturan untuk fakta.
Instead, he argued that realism perpetuated the basic fl Setiap terlibat struktur yang sama dan iman yang sama
aw of formalism: its commitment to determinacy.
Instead of seeing the social world as determined by law,
realism insisted that legal decisions are and should be
determined by their social context. Instead of
subordinating facts to rules, Peller argued, legal realism
subordinated rules to facts.
Each involved the same structure and the same faith in
the ability of experts to know and control the social
world. Peller invoked poststructuralist literary theory in
equating the legal analysis embraced by liberal
formalists with the policy analysis embraced by legal
realists; both are simply discourses or disciplines
practices of observation, classification, argument, and
judgment that do not simply describe human beings, but
also shape them. Accordingly, these concepts seemed to
encompass both formal doctrinal analysis and
instrumental policy analysis.
One of the key arenas in which this link was forged was
in the critics transformation of legal history. This
revision began with Morton Horwitz s The
Transformation of American Law (1977) . This study of
antebellum jurisprudence demonstrated that by the
middle of the nineteenth century the jurisprudence of
natural law had been replaced by the sort of
instrumentalist jurisprudence that the realist scholars
favored. By arguing that this instrumentalist regime
served the interests of merchants and industrial elite,
Horwitz challenged the assumptions of realists that this
dalam kemampuan ahli untuk mengetahui dan mengontrol
dunia sosial. Peller dipanggil teori sastra pascastrukturalis
di menyamakan analisis hukum yang dianut oleh formalis
liberal dengan analisis kebijakan yang dianut oleh realis
hukum; keduanya hanya "wacana" atau "disiplin" - praktik
observasi, kation klasifi, argumen, dan penilaian yang
tidak hanya menggambarkan manusia, tetapi juga
membentuk mereka. Dengan demikian, konsep-konsep ini
tampaknya mencakup baik analisis doktrin formal dan
analisis kebijakan instrumental.
Salah satu arena utama di mana link ini ditempa dalam
transformasi para kritikus sejarah hukum. Revisi ini dimulai
dengan Morton Horwitz 's Transformasi Hukum Amerika
(1977). Studi ini sebelum perang yurisprudensi
menunjukkan bahwa pada pertengahan abad kesembilan
belas yurisprudensi hukum alam telah digantikan oleh
semacam instrumentalis yurisprudensi bahwa ulama realis
disukai. Dengan alasan bahwa rezim instrumentalis ini
melayani kepentingan pedagang dan elit industri, Horwitz
menantang asumsi realis bahwa gaya ini yurisprudensi
adalah tentu lebih demokratis daripada yurisprudensi hak
alami. Ulama penting lainnya, yang paling menonjol
Duncan Kennedy dan Robert Gordon, memperpanjang
serangan terhadap realisme tersirat dalam karya Horwitz 's
dengan mempertanyakan beberapa tempat instrumentalis
tersirat dalam metodenya. Dengan demikian, Gordon
mempertanyakan kemungkinan menjelaskan perubahan
doktrin dalam hal kepentingan elit, ketika doktrin hukum
dan pemikiran hukum yang sebagian konstitutif
style of jurisprudence was necessarily more democratic
than a jurisprudence of natural rights. Other critical
scholars, most prominently Duncan Kennedy and Robert
Gordon, extended the attack on realism implicit in
Horwitz s work by questioning some of the
instrumentalist premises implicit in his method. Thus,
Gordon questioned the possibility of explaining doctrinal
change in terms of elite interests, when legal doctrine
and legal thought are partly constitutive of those
interests (Gordon, 1984 ). Kennedy severely complicated
our notion of doctrinal change by presenting liberal legal
doctrine as a contradictory framework embracing
positivism and natural rights, instrumentalism and
formalism.
In this context, the selection of one or another pole by a
legal decision maker deploys, but does not alter, the
doctrinal framework (Kennedy, 1976, 1979 ). If doctrinal
frameworks are this malleable, we may say that doctrine
expresses or articulates confl icting interests, rather
than serving them. Other critical scholars stressed the
malleability of the notion of interest itself as a barrier to
doctrinal determinacy. Writing about decision criteria
that call for the balancing or representing of interests, Al
Katz argued that the concept of interest disguises but
does not resolve the tension between natural rights
and popular sovereignty in liberal jurisprudence.
Moreover, the interests balanced or represented are
products of the techniques by which they are measured
kepentingan-kepentingan (Gordon, 1984). Kennedy sangat
rumit gagasan kita tentang perubahan doktrinal dengan
menghadirkan doktrin hukum liberal sebagai kerangka
bertentangan merangkul positivisme dan hak alami,
instrumentalisme dan formalisme.
Dalam konteks ini, pemilihan satu atau tiang lain oleh
pembuat keputusan hukum menyebarkan, tapi tidak
mengubah, kerangka doktrinal (Kennedy, 1976, 1979). Jika
kerangka doktrinal yang ini mudah dibentuk, kita dapat
mengatakan doktrin yang mengungkapkan atau
mengartikulasikan kepentingan yang saling bertentangan
confl, daripada melayani mereka. Ahli kritis lainnya
menekankan kelenturan dari gagasan yang menarik diri
sebagai penghalang untuk determinasi doktrinal. Menulis
tentang kriteria keputusan yang panggilan untuk
menyeimbangkan atau mewakili kepentingan, Al Katz
berpendapat bahwa konsep penyamaran bunga tetapi
tidak menyelesaikan ketegangan antara "hak alami" dan
"kedaulatan rakyat" dalam yurisprudensi liberal. Selain itu,
kepentingan skor atau diwakili adalah produk teknik
dengan mana mereka diukur atau diamati. Dengan
demikian, praktek pembuat keputusan modern s dari
balancing dan mewakili dapat dicirikan sebagai
Foucaultian "disiplin" yang membatasi identitas individu
dan kelompok dalam proses mengenali "kepentingan"
mereka (Katz, 1979, 1987).
Beberapa sarjana kritis digunakan ketidakpastian
kepentingan sebagai dasar untuk menyerang analisis
kebijakan yang mendominasi beasiswa hukum postrealist.
or observed. Accordingly, the modern decision maker s
practices of balancing and representing may be
characterized as Foucaultian disciplines that
constrain the identities of individuals and groups in the
process of recognizing their interests (Katz, 1979,
1987 ).
Several critical scholars used the indeterminacy of
interests as a basis for attacking the policy analysis that
dominates postrealist legal scholarship. Most such
scholarship explores three models of social choice: the
adversary process, the electoral process, and the
market. Critical scholarship interpreted these models as
attempts to reconstruct the normative certainty on
which classical liberalism rested without adopting its
naive assumption that social actors can exercise
freedom without infringing the freedom of others. Each
model of social choice rests on an image of society as a
competition among antagonists. Nevertheless, each
model identifies normative truth as the fairly compiled
aggregate of the subjective preferences or interests
of these antagonists. Postwar legal process scholarship
focused on two issues: which of these models should be
employed for the resolution of a particular controversy,
and how the decision - making process modeled by each
can be made fairer. Critical legal scholars, by contrast,
argued that no mere combination of the adversary
process, the electoral process, and the market can
automatically produce legitimate social choice. They
Kebanyakan beasiswa tersebut mengeksplorasi tiga model
pilihan sosial: proses musuh, proses pemilihan, dan pasar.
Keilmuan kritis ditafsirkan model ini sebagai upaya untuk
merekonstruksi kepastian normatif yang liberalisme klasik
beristirahat tanpa mengadopsi asumsi naif nya yang aktor
sosial dapat melaksanakan kebebasan tanpa melanggar
kebebasan orang lain. Setiap model pilihan sosial
bersandar pada gambar masyarakat sebagai kompetisi di
antara antagonis. Namun demikian, masing-masing model
mengidentifikasi kebenaran normatif sebagai agregat
cukup dikompilasi dari preferensi subjektif atau
"kepentingan" dari antagonis ini. Pascaperang proses
beasiswa hukum difokuskan pada dua isu: yang model ini
harus digunakan untuk resolusi kontroversi tertentu, dan
bagaimana keputusan - proses pembuatan model oleh
masing-masing dapat dibuat lebih adil. Sarjana hukum
kritis, sebaliknya, berpendapat bahwa tidak ada kombinasi
hanya dari proses musuh, proses pemilihan, dan pasar
secara otomatis dapat menghasilkan pilihan sosial yang
sah. Mereka menolak gagasan bahwa kepentingan individu
dan kelompok berkembang secara mandiri dari proses-
proses yang agregat mereka.
William Simon membuat argumen ini sehubungan dengan
proses musuh. Dalam Ideologi Advokasi, ia berpendapat
bahwa pengacara tidak dapat mewakili klien mereka tanpa
menghubungkan kepada mereka "kepentingan" yang
diakui oleh sistem hukum yang sah dan realisasi (Simon,
1978). Dengan cara ini pengacara - pengacara kemiskinan
terutama - bisa bersosialisasi dan menambah anggota atas
rejected the notion that the interests of individuals and
groups develop independently of the processes that
aggregate them.
William Simon made this argument with respect to the
adversary process. In The Ideology of Advocacy, he
argued that lawyers cannot represent their clients
without attributing to them interests that are
recognized by the legal system as legitimate and
realizable (Simon, 1978 ). In this way lawyers poverty
lawyers especially could socialize and coopt their
clients in the very process of zealous representation.
They could learn to live with this because the ideology
of advocacy reassured them that truth was the
outcome of the adversary process. At the same time,
this conception of truth allowed their opponents to
abdicate moral responsibility for the impact of their
arguments on the lives of the poor. The adversarial ethic
allowed lawyers for both sides to act on the basis of
interests manufactured by the legal system itself,
rather than their own values.
Critical legal scholars similarly attacked economic
analysis of law, on the grounds that it mistakenly treats
individual economic preferences as independent of legal
rules. Where legal economists urged that courts should
allocate resources to those who value them more in
order to escape transaction costs, Edwin Baker, Mark
Kelman, and Duncan Kennedy have countered that the
value each disputant places on a resource depends
persetujuan anggota lain klien mereka dalam proses yang
sangat representasi bersemangat. Mereka bisa belajar
untuk hidup dengan ini karena "ideologi advokasi"
meyakinkan mereka bahwa kebenaran adalah hasil dari
proses musuh. Pada saat yang sama, konsepsi ini
kebenaran memungkinkan lawan mereka untuk
melepaskan tanggung jawab moral untuk dampak
argumen mereka pada kehidupan orang miskin. Etika
permusuhan memungkinkan pengacara untuk kedua belah
pihak untuk bertindak atas dasar "kepentingan" yang
diproduksi oleh sistem hukum itu sendiri, bukan nilai-nilai
mereka sendiri. Sarjana hukum kritis sama menyerang
analisis ekonomi hukum, dengan alasan bahwa hal itu
keliru memperlakukan preferensi ekonomi individu sebagai
independen dari aturan-aturan hukum. Di mana ekonom
hukum mendesak agar pengadilan harus mengalokasikan
sumber daya untuk orang-orang yang menghargai mereka
lebih untuk menghindari biaya transaksi, Edwin Baker,
Mark Kelman, dan Duncan Kennedy telah membantah
bahwa nilai masing-masing tempat pihak yang
bersengketa pada sumber daya sangat tergantung pada
apakah atau tidak dia sudah memiliki dan mungkin
tergantung lebih pada apa lagi dia memiliki. Dengan
demikian, sumber daya tidak dapat didistribusikan atas
dasar perhitungan alokasi efisiensi karena perhitungan
tersebut selalu bergantung pada asumsi sebelumnya
tentang distribusi sumber daya. Dengan demikian, ini para
ahli kritis berpendapat, pertanyaan dari alokatif efi siensi
tidak pernah lepas dari persoalan keadilan distributif
heavily on whether or not she already possesses it and
may depend even more on what else she possesses.
Thus, resources cannot be distributed on the basis of
calculations of allocative efficiency because such
calculations always depend on prior assumptions about
the distribution of resources. Accordingly, these critical
scholars argued, questions of allocative effi ciency can
never be separated from questions of distributive justice
(Baker, 1975 ; Kelman, 1979 ; Kennedy, 1981 ).
Critical scholars also objected to scholarship invoking
political science in an effort to reconcile adjudication
with majoritarian decision making. By treating voter
preferences as given, such scholarship is able to treat
the problem of democratic decision making as a matter
of aggregating those preferences, without exploring how
they are arrived at. By contrast, Richard Parker argued
that even a judicially supervised electoral process
cannot represent the interests of the poor because
poverty precludes people from formulating and pursuing
their own political goals (Parker, 1981 ).
The critique of instrumental reformism
(Baker, 1975; Kelman, 1979; Kennedy, 1981).
Ulama penting juga keberatan dengan beasiswa memohon
ilmu politik dalam upaya untuk mendamaikan ajudikasi
dengan pengambilan keputusan mayoritas. Dengan
memperlakukan preferensi pemilih seperti yang diberikan,
beasiswa tersebut mampu mengobati masalah
pengambilan keputusan yang demokratis sebagai masalah
menggabungkan preferensi mereka, tanpa menggali
bagaimana mereka tiba di. Sebaliknya, Richard Parker
berpendapat bahwa bahkan proses pemilu secara hukum
diawasi tidak dapat mewakili "kepentingan" dari orang
miskin karena kemiskinan menghalangi orang dari
merumuskan dan mengejar tujuan politik mereka sendiri
(Parker, 1981).
Kritik reformisme berperan
Ada gunanya dalam meningkatkan kemampuan pasar,
proses pemilihan, dan sistem musuh untuk mewakili
kepentingan jika kepentingan-kepentingan yang
merupakan dalam sangat proses representasi. Dengan
demikian, para ulama kritis 'anti - instrumentalisme
ditujukan tidak hanya terhadap lembaga-lembaga ini,
tetapi juga terhadap reformasi liberal yang dirancang
untuk meningkatkan mereka. Kritik seperti gerakan
reformasi liberal diikuti salah satu dari dua jalur. Salah satu
jalan seperti dicontohkan oleh Alan Freeman "Diskriminasi
Rasial melegitimasi melalui UU Antidiskriminasi" (1978)
dan Karl Klare "deradikalisasi Yudisial UU Wagner" (1978).
Potongan-potongan ini mengkritik hukum putusan (hukum
There is little point in improving the ability of the
market, the electoral process, and the adversary system
to represent interests if those interests are constituted
in the very process of representation. Accordingly, the
critical scholars anti - instrumentalism is aimed not
only against these institutions, but also against liberal
reforms designed to improve them. Such criticism of
liberal reform movements followed one of two paths.
One such path is exemplified by Alan Freemans
Legitimizing Racial Discrimination through Anti
discrimination Law (1978) and Karl Klares Judicial
Deradicalization of the Wagner Act (1978) . These
pieces criticized decisional law (antidiscrimination law
after Brown) and legislation (the National Labor
Relations Act) that are commonly thought to be major
achievements of progressive politics. They criticized
these products of progressive politics as ineffectual
because, while they made minor adjustments to provide
the appearance of protection for persons of color and
working people, these legal changes, in practice, left the
decision - making institution of the market intact.
Many readers understood these articles to imply that it
is the market that chiefly oppresses the poor, whose
ranks include substantial numbers of workers and
persons of color. Some readers went on to assume that
such Marxist scholarship took the institution of a market
as a given, and presumed that unless capitalism is
overthrown, struggles for civil or labor rights are futile
anti diskriminasi setelah Brown) dan undang-undang
(National Labor Relations Act) yang umumnya dianggap
prestasi utama dari politik progresif. Mereka mengkritik
produk ini dari politik progresif sebagai tidak efektif
karena, sementara mereka membuat penyesuaian kecil
untuk memberikan penampilan perlindungan bagi orang-
orang dari warna dan orang yang bekerja, perubahan
hukum, dalam praktek, meninggalkan keputusan -
lembaga membuat pasar utuh.
Banyak pembaca memahami artikel ini menyiratkan
bahwa itu adalah pasar yang terutama menindas orang
miskin, yang termasuk jajaran jumlah besar pekerja dan
orang-orang dari warna. Beberapa pembaca melanjutkan
untuk menganggap bahwa beasiswa Marxis seperti
mengambil institusi pasar sebagai diberikan, dan dianggap
bahwa kecuali kapitalisme ditumbangkan, berjuang untuk
hak-hak sipil atau tenaga kerja yang sia-sia dan salah
arah. Namun potongan ini lebih adil dibaca sebagai
merayakan perjuangan politik yang membawa reformasi
liberal. Apa yang mereka menyesalkan adalah kelelahan
gerakan politik seperti hasil dari perwujudan mereka di
lembaga-lembaga, khususnya di penyesuaian aturan-
aturan dasar untuk tawar-menawar dalam pasar. Menurut
Klare dan Freeman, gerakan-gerakan ini tidak gagal karena
mereka menerima institusi pasar; sebaliknya, mereka
menantang institusi pasar dengan mewujudkan suatu
bentuk asosiasi dan keputusan - membuat tidak konsisten
dengan itu. Gerakan-gerakan ini yang dikandung oleh
pasar, namun, ketika perjuangan mereka diwujudkan
and misdirected. Yet these pieces are more fairly read as
celebrating the political struggles that brought about
these liberal reforms. What they lamented was the
exhaustion of such political movements as a result of
their embodiment in institutions, specifically in
adjustments to the ground rules for bargaining within a
market. According to Klare and Freeman, these
movements did not fail because they accepted the
institution of the market; to the contrary, they
challenged the institution of the market by embodying a
form of association and decision - making inconsistent
with it. These movements were contained by the
market, however, when their struggles were embodied
in legal institutions.
The labor movement was the setting for collective
participation in political decision making about the
meaning and shape of work; labor law reduced it to a
common economic interest. The civil rights movement
was a forum for passion, participation, interracial
understanding, solidarity, and sacrifice: civil rights law
eventually reduced it to a right to governmental
indifference. In short, these articles did not urge
contempt for the labor and civil rights movements as
irrelevant because they did not pursue world revolution
against capitalism. They celebrated these movements
as forms of association and decision making that were,
in and of themselves, good and sufficient alternatives to
instrumentalism.
dalam lembaga-lembaga hukum.
Gerakan buruh adalah pengaturan untuk partisipasi
kolektif dalam pengambilan keputusan politik tentang arti
dan bentuk kerja; hukum perburuhan dikurangi untuk
kepentingan ekonomi umum. Gerakan hak-hak sipil adalah
sebuah forum untuk gairah, partisipasi, pemahaman antar-
ras, solidaritas, dan pengorbanan: hukum hak-hak sipil
akhirnya dikurangi untuk hak untuk ketidakpedulian
pemerintah. Singkatnya, artikel ini tidak mendesak
penghinaan bagi tenaga kerja dan gerakan hak-hak sipil
sebagai tidak relevan karena mereka tidak mengejar
revolusi dunia melawan kapitalisme. Mereka merayakan
gerakan-gerakan ini sebagai bentuk asosiasi dan
pengambilan keputusan yang, dalam dan dari diri mereka
sendiri, yang baik dan alternatif yang cukup untuk
instrumentalisme.
Perspektif ini mungkin sedikit lebih jelas dalam pola kedua
kritik dari reformisme liberal. Pola ini, dicontohkan oleh
William Simon "Legalitas, Birokrasi dan Kelas dalam Sistem
Kesejahteraan" (1983) dan Derrick Bell "Melayani Dua
Master" (1976), mengarahkan perhatian penting pada
keputusan strategis yang dibuat oleh pengacara reformis
liberal atas dasar mendistorsi asumsi tentang kelompok
klien mereka '"kepentingan. "Dalam setiap kasus, para
pengacara dikritik tidak begitu banyak untuk mengganggu
situasi yang lebih baik ditinggalkan sendirian tetapi untuk
memungkinkan konsepsi abstrak dari klien mereka
'kepentingan untuk membutakan mereka untuk klien
mereka potensi untuk berkontribusi pada proses
This perspective was perhaps a little clearer in a second
pattern of critique of liberal reformism. This pattern,
exemplifi ed by William Simons Legality, Bureaucracy
and Class in the Welfare System (1983) and Derrick
Bells Serving Two Masters (1976) , directed critical
attention at the strategic decisions made by liberal
reformist lawyers on the basis of distorting assumptions
about their client groups interests. In each case, the
lawyers were criticized not so much for interfering with a
situation better left alone but for allowing abstract
conceptions of their clients interests to blind them to
their clients potential to contribute to the process of
social change.
Accordingly, Bell argued that integrationist lawyers
failed to recognize one black community s desire for
quality neighborhood schools over which they could
exert some control and which could serve as vehicles of
opportunity for black educators. The result was that
these lawyers were so busy pursuing their clients
interests that they ignored their desires. They also failed
to learn from their clients to the detriment of the
lawyers own political vision. Finally, they squandered
an opportunity to mobilize an aroused community to defi
ne its own goals, not only in the litigation process, but
also in the administration of its own schools.
perubahan sosial.
Dengan demikian, Bell berpendapat bahwa pengacara
integrasi gagal untuk mengenali satu keinginan
masyarakat s hitam untuk sekolah lingkungan kualitas di
mana mereka bisa mengerahkan beberapa kontrol dan
yang bisa dijadikan sebagai kendaraan kesempatan bagi
pendidik hitam. Hasilnya adalah bahwa pengacara ini
begitu sibuk mengejar kepentingan klien mereka bahwa
mereka mengabaikan keinginan mereka. Mereka juga
gagal belajar dari klien mereka untuk merugikan visi politik
sendiri pengacara '. Akhirnya, mereka menyia-nyiakan
kesempatan untuk memobilisasi komunitas terangsang
untuk defi ne tujuan sendiri, tidak hanya dalam proses
litigasi, tetapi juga dalam administrasi sekolah sendiri.
William Simon mengungkapkan masalah terkait yang
dihadapi oleh pengacara kemiskinan berusaha untuk
membuat birokrasi kesejahteraan lebih murah hati dan
kurang merendahkan oleh memformalkan keputusan
mereka - prosedur pembuatan. Ini hampir tidak bisa
terkejut siapapun yang hasilnya adalah untuk membuat
birokrasi kesejahteraan lebih birokratis. Tapi apa
pengacara telah gagal untuk mempertimbangkan adalah
dampak dari birokratisasi pada pekerja kesejahteraan dan
pada kemungkinan masa depan bagi penerima
kesejahteraan untuk mempengaruhi para pekerja.
Melepaskan kebijaksanaan pekerja kesejahteraan
terdegradasi pekerjaan mereka dan menghancurkan
kesempatan bagi mereka untuk mengejar panggilan sipil,
bahkan karena hancur peluang bagi kesewenang-

William Simon revealed a related problem encountered
by poverty lawyers endeavoring to render welfare
bureaucracies more generous and less degrading by
formalizing their decision - making procedures. It could
hardly have surprised anyone that the result was to
make the welfare bureaucracy more bureaucratic. But
what lawyers had failed to consider was the impact of
bureaucratization on welfare workers and on the future
possibilities for welfare recipients to infl uence those
workers. Removing the discretion of welfare workers
degraded their work and destroyed opportunities for
them to pursue civil vocations, even as it destroyed
opportunities for arbitrariness, condescension, and
discrimination. It dehumanized welfare recipients
contact with the welfare bureaucracy, which
perpetuated the dehumanization of welfare recipients in
a new, more impersonal form. It sometimes created new
forms of personal degradation as well, substituting infl
exible skepticism for invasive curiosity. While recipients
received new rights to constrain agency behavior,
they found that they could not avail themselves of these
rights without the indulgence of other poverty
professionals lawyers. Thus poverty lawyers solved the
problem of welfare worker abuse of welfare recipients by
disempowering welfare workers instead of by
empowering welfare recipients. As a result, they
wenangan, merendahkan, dan diskriminasi. Ini manusiawi
kontak penerima kesejahteraan 'dengan birokrasi
kesejahteraan, yang mengabadikan dehumanisasi
penerima kesejahteraan dalam bentuk baru, lebih
impersonal. Kadang-kadang menciptakan bentuk-bentuk
baru dari degradasi pribadi juga, menggantikan
skeptisisme tidak fleksibel untuk rasa ingin tahu invasif.
Sementara penerima "menerima" hak baru untuk
membatasi perilaku agen, mereka menemukan bahwa
mereka tidak bisa menyediakan sendiri hak-hak ini tanpa
mengumbar profesional kemiskinan lainnya - pengacara.
Jadi pengacara kemiskinan memecahkan masalah
pelecehan pekerja kesejahteraan penerima kesejahteraan
dengan menguatkan petani pekerja kesejahteraan bukan
dengan memberdayakan penerima kesejahteraan.
Akibatnya, mereka diambil alih kemungkinan bahwa
penerima kesejahteraan akan ditemukan dalam suatu
hubungan berubah dengan pekerja kesejahteraan sumber
daya politik daripada kewajiban. Dengan asumsi bahwa
kepentingan penerima dan pekerja menentang, pengacara
kemiskinan mengabaikan kemungkinan bahwa mereka
bisa berkembang dan kepentingan berkumpul sebagai
hasil dari aktivitas politik. Dan dengan mengambil begitu
saja bahwa penerima 'kepentingan dapat dikejar tanpa
penerima' partisipasi, pengacara kemiskinan mengabaikan
kemungkinan bahwa penerima kesejahteraan mungkin
memiliki kepentingan nonekonomi dalam partisipasi politik
dan kontrol atas keadaan mereka.
foreclosed the possibility that welfare recipients would Keempat penilaian kritis dari strategi hukum untuk
have found in such a transformed relationship with reformasi liberal yang disarankan keraguan serius tentang
welfare workers a political resource rather than a keinginan reformasi sosial yang direncanakan, diarahkan,
liability. By assuming that the interests of recipients anddan dilembagakan oleh para ahli. Dengan demikian,
workers were opposed, poverty lawyers ignored the masalah mereka mengindentifikasi ed dalam gerakan hak-
possibility that those interests could evolve and hak sipil, gerakan reformasi kesejahteraan, dan gerakan
converge as a result of political activity. And by taking buruh tidak kegagalan mereka untuk menyerang
for granted that the recipients interests could be kapitalisme. Masalah dengan gerakan reformasi ini adalah
bahwa mereka membuat terlalu banyak asumsi tentang
pursued without the recipients participation, poverty
masalah yang akan dipecahkan dan terlibat juga beberapa
lawyers ignored the possibility that welfare recipients
orang di keputusan - proses pembuatan. Singkatnya,
might have a noneconomic interest in political
mereka tidak suffi sien demokratis. Serangan sarjana
participation and control over their circumstances.
hukum kritis 'pada instrumentalisme terinspirasi oleh
komitmen mereka untuk demokrasi partisipatif. Namun
demikian, studi hukum kritis menuai kritik dari kiri, dan
terutama dari ulama minoritas, untuk yg menghina nilai
hak sebagai retorika untuk memobilisasi kelompok
subordinasi untuk mempertahankan komitmen untuk
These four critical assessments of legal strategies for perjuangan dalam menghadapi kesulitan pribadi dan
liberal reform suggested serious misgivings about the kekalahan politik (Crenshaw, 1995) . Bahkan jika, sebagai
desirability of social reforms planned, directed, and Freeman berpendapat, hak antidiskriminasi menjadi
institutionalized by experts. Thus, the problem they senjata laki-laki putih bisa digunakan untuk mengalahkan
identifi ed in the civil rights movement, the welfare affi tindakan rmative, mereka tetap simbol penting dari
reform movement, and the labor movement was not solidaritas bagi masyarakat dari warna. Sarjana hukum
their failure to attack capitalism. The problem with these kritis akhirnya akan menarik pada teori pemerintahan
reform movements was that they made too many Foucaultian dan teori feminis untuk membela hak-hak
assumptions about the problem to be solved and mereka terhadap kritik respon multikulturalis ini. Sebuah
involved too few people in the decision - making volume 2002 yang berjudul Kiri Legalisme / Kiri Kritik
process. In short, they were not suffi ciently democratic. mengumpulkan sejumlah esai dengan alasan bahwa upaya
Critical legal scholars attack on instrumentalism was
inspired by their commitment to participatory
democracy. Nevertheless, critical legal studies drew
criticism from the left, and especially from minority
scholars, for slighting the value of rights as a rhetoric for
mobilizing subordinated groups to sustain commitment
to a struggle in the face of personal hardship and
political defeat (Crenshaw,1995). Even if, as Freeman
argued, antidiscrimination rights became weapons white
males could use to defeat affi rmative action, they
remained important symbols of solidarity
communities of color. Critical legal scholars would
eventually draw on Foucaultian governance theory and
feminist theory to defend their rights critique against
this multiculturalist response. A 2002 volume entitled
Left Legalism/Left Critique collected a number of essays
arguing that efforts to indicate rights against
subordination often promote confi ning identities as
paradigmatic victims, and render some dimensions of
oppression invisible (Brown & Halley,2002 ).
While some critical legal scholars continue to critique
rights oriented reformism, others have developed
proposals aimed at democratizing the administrative
state. Industrial organization theorist Charles Sabel has
joined with William Simon, Michael Dorf, and other legal
scholars to promote a more participatory model of
regulation and social service delivery they call
democratic experimentalism (Dorf & Sabel, 1998 ;
untuk menunjukkan hak terhadap subordinasi sering
mempromosikan kerahasiaan ning identitas sebagai
korban paradigmatik, dan membuat beberapa dimensi
penindasan tak terlihat (Brown & Halley, 2002).
Sementara beberapa sarjana hukum kritis terus mengkritik
hak reformisme berorientasi, orang lain telah
mengembangkan proposal yang bertujuan untuk
demokratisasi negara administrasi. Organisasi industri
teori Charles Sabel telah bergabung dengan William
Simon, Michael Dorf, dan sarjana hukum lainnya untuk
mempromosikan model yang lebih partisipatif regulasi dan
for
pelayanan sosial yang mereka sebut "experimentalism
demokratis" (Dorf & Sabel, 1998; Sabel & Simon, 2004).
Menggambar pada kritik pragmatis Dewey 's dari hirarki
tujuan lebih berarti karena keduanya tidak demokratis dan
unscientifi c, sistem ini bertujuan untuk merekrut
penghakiman empiris mereka yang secara langsung
memberikan dan menderita kebijakan dalam proses yang
berkesinambungan reformasi. Menggabungkan
desentralisasi dengan pemantauan, informasi - berbagi
dan fleksibel pengaturan standar, experimentalism
demokrasi bertujuan untuk mendorong persaingan dalam
mengembangkan praktik terbaik, sambil memberikan
mekanisme kelembagaan dan insentif praktis untuk
mereka yang terkena dampak kebijakan untuk
berpartisipasi dalam pembangunan dan penilaian. Apakah
ini semacam "pemerintahan baru" strategi reformasi
dipertemukan dengan kecurigaan terinspirasi oleh teori
tata Foucaultian masih harus dilihat.
Sabel & Simon, 2004 ). Drawing on Dewey s pragmatic
critique of the hierarchy of ends over means as both Kritik dari instrumentalisme revolusioner
undemocratic and unscientifi c, this system aims to Menulis dalam dekade penutupan perang dingin, sarjana
recruit the empirical judgment of those who directly hukum kritis menyatakan keraguan tentang program
deliver and suffer policy in a continuous process of ambisius radikal untuk perubahan sosial serta program
reform. Combining decentralization with monitoring, reformis liberal. Jika direncanakan dan dilakukan oleh para
information sharing and fl exible standard setting, ahli berdasarkan fi xed asumsi tentang "kepentingan" yang
democratic experimentalism aims to foster competition tertindas, program revolusioner setidaknya sebagai tidak
demokratis dan sesat sebagai gerakan reformasi liberal.
in developing best practices, while providing
Dalam "Proses Perubahan dan Liberty Teori Amandemen
institutional mechanisms and practical incentives for
Pertama" Ted Baker diidentifikasi instrumentalisme sebagai
those affected by policy to participate in its
pemisahan sarana dan tujuan (Baker, 1981). Dengan
development and assessment. Whether this sort of
alasan bahwa perbedaan adalah artifi resmi dan tidak
new governance reform strategy is reconcilable with
dapat dipertahankan, ia menyerang gagasan bahwa akhir
the suspicions inspired by Foucaultian governance progresif perubahan sosial justifi ed kekerasan atau
theory remains to be seen. pemaksaan berarti. Tujuan utama Baker 's adalah untuk
menyatakan bahwa bahkan perubahan radikal ke kolektivis
atau komunal membutuhkan perlindungan ketat dari
kebebasan individu pendapat.
Sarjana hukum kritis Roberto Unger berpendapat bahwa
teori Marxis revolusi itu dirusak oleh ketergantungan pada
jenis yang sama penalaran instrumental yang
The critique of revolutionary instrumentalism menginformasikan analisis kebijakan utama. Marx
Writing in the closing decades of the cold war, critical mengindentifikasi revolusi ed sebagai perubahan dari satu
legal scholars expressed the misgivings about cara produksi yang lain. Tapi bagaimana defi Marx ne
ambitiously radical programs for social change as well konsep kapitalisme, paradigma untuk semua moda
as liberal reformist programs. If planned and conducted produksi? Setidaknya tiga faktor yang penting untuk kation
by experts based on fi xed assumptions about the identifi dari "kapitalis" ekonomi: (1) dominasi "kerja
interests of the oppressed, revolutionary programs bebas," dipahami sebagai kondisi yang buruh memiliki
were at least as undemocratic and misguided as the
movements for liberal reform.
In The Process of Change and the Liberty Theory of the
First Amendment Ed Baker identifi ed instrumentalism
as the separation of means and ends (Baker, 1981 ).
Arguing that the distinction is artifi cial and cannot be
maintained, he attacked the notion that the end of
progressive social change justifi ed violent or coercive
means. Baker s chief purpose was to argue that even
the radical change to a collectivist or communal requires
strict protection of individual freedom of opinion.
Critical legal scholar Roberto Unger argued that the
Marxist theory of revolution was undermined by
reliance on the same kind of instrumental reasoning that
informs mainstream policy analysis. Marx identifi ed
revolution as the change from one mode of production
to another. But how did Marx defi ne the concept of
capitalism, the paradigm for all modes of production? At
least three factors were crucial for the identifi cation of a
capitalist economy: (1) a predominance of free
labor, understood as the condition which a laborer
owns all of her own labor and none of the means of
production; (2) commodity production for private
accumulation of wealth; and (3) suffi cient accumulation
of wealth to enable industrialization. But Unger pointed
out that there is no necessary connection between
commodity production and the development of a labor
market, or between a labor market and industrialization,
semua tenaga kerja dan tidak ada alat-alat produksi
sendiri; (2) produksi komoditas untuk akumulasi kekayaan
pribadi; dan (3) akumulasi suffi memadai kekayaan untuk
mengaktifkan industrialisasi. Tapi Unger menunjukkan
bahwa tidak ada hubungan yang diperlukan antara
produksi komoditas dan pengembangan pasar tenaga
kerja, atau antara pasar tenaga kerja dan industrialisasi,
atau antara industrialisasi dan akumulasi pribadi. Apa
kriteria untuk mengenali masyarakat kapitalis berdasarkan
kriteria ini akan baik di bawah - dan overinclusive (Unger,
1987).
Asumsi penting yang mendasari konsepsi Marx kapitalisme
adalah bahwa "kerja bebas" secara ekonomi diperlukan
untuk industrialisasi. Asumsi ini dirusak oleh ambiguitas
dapat diperbaiki dari konsep kerja bebas dan kebutuhan
ekonomi. Masing-masing konsep yang analitis terkait
dengan konsep keinginan, varian dari konsep bunga. Untuk
mengatakan bahwa "buruh bebas" memiliki properti di
tenaga kerja nya mengatakan bahwa tenaga kerja nya
hanya dapat dimanfaatkan dengan persetujuannya. Untuk
mengatakan bahwa "kerja bebas" pasar memungkinkan
industrialisasi dengan memanfaatkan tenaga kerja lebih
efisien adalah dengan mengatakan bahwa itu lebih baik
memenuhi keinginan. Karena teori Marx revolusi adalah
varian dari determinisme ekonomi, itu saham
kecenderungan ekonomi liberal untuk mengobati
keinginan individu sebagai variabel independen. Pasar
adalah sarana menggabungkan keinginan. Jika salah satu
mengklaim bahwa pengenalan pasar kerja bebas yang
or between industrialization and private accumulation.
Any criterion for recognizing capitalist societies based
on these criteria will be both under - and overinclusive
(Unger, 1987 ).
The crucial assumption underlying Marx s conception
of capitalism was that free labor is economically
necessary to industrialization. This assumption is
undermined by the irreparable ambiguity of the
concepts of free labor and economic necessity. Each of
these concepts is analytically related to the concept of
desire, a variant of the concept of interest. To say that
the free laborer has property in her labor is to say
that her labor can only be utilized with her consent. To
say that a free labor market makes possible
industrialization by utilizing labor more effi ciently is to
say that it better fulfi lls desires. Because Marx s
theory of revolution is a variant of economic
determinism, it shares the tendency of liberal economics
to treat individual desire as an independent variable. A
market is a means of aggregating desires. If one claims
that the introduction of a free labor market better fulfi lls
desires, one wrongly assumes that desires are
independent of the means by which they are aggregated
into social choice.
The instability of desire over time renders the concept of
free labor indeterminate. Are specifically enforceable
contracts for personal service expressions of free labor
or involuntary servitude? In respecting the laborer s
lebih baik memenuhi keinginan, salah satu salah
mengasumsikan bahwa keinginan independen terhadap
sarana yang mereka dikumpulkan ke dalam pilihan sosial.
Ketidakstabilan keinginan dari waktu ke waktu membuat
konsep tak tentu kerja bebas. Adalah kontrak khusus
berlaku untuk ekspresi layanan pribadi dari "kerja bebas"
atau kerja paksa? Dalam menghormati buruh 'kebebasan s
pada saat kontrak, kita harus sacrifi ce kebebasannya
pada saat dia ingin meninggalkan layanan, sehingga
menunjuk mantan penjaga diri dari diri kemudian dia' s
kepentingan. Dalam mengenali buruh 'kebebasan s pada
saat meninggalkan layanan, kami mengurangi kebebasan
pada saat kontrak, efektif menunjuk kustodian diri
kemudian dia mantan dirinya' kepentingan.
Ketidakstabilan keinginan menghalangi kita dari hanya
menghormati preferensi buruh. Karena kita tidak bisa
uncontroversially mengidentifikasi preferensi individu, kita
bisa memberi determinate berarti dengan konsep kerja
bebas yang mendasari konsep Marx kapitalisme.
Ketidakstabilan keinginan juga merusak determinasi dari
konsep seperti efi siensi ekonomi yang agregat keinginan
individu. Jadi bahkan jika Marx bisa defi kerja bebas ne, dia
harus culty diffi menunjukkan bahwa kerja bebas adalah
ekonomi yang diperlukan untuk industrialisasi. Dan klaim
ini sangat penting untuk konsepsi Marx kapitalisme baik
sebagai sistem dan tahap yang diperlukan dalam
pengembangan "kekuatan produktif. "Marx akan
membantah bahwa konsepsi tentang kebutuhan ekonomi
didasarkan pada gagasan apapun keinginan. Bagi Marx,
freedom at the time of contracting, we must sacrifi ce
her freedom at the time she wishes to leave service,
thereby designating her former self custodian of her
later self s interests. In recognizing the laborer s
freedom at the time of leaving service, we reduce her
freedom at the time of contracting, effectively
designating her later self custodian of her former self s
interests.
The instability of desire precludes us from simply
respecting the preferences of the laborer. Because we
cannot noncontroversially identify individual
preferences, we can give no determinate meaning to the
concept of free labor that underlies Marx s concept of
capitalism. The instability of desire also undermines the
determinacy of concepts like economic effi ciency that
aggregate individual desires. Thus even if Marx could
defi ne free labor, he would have diffi culty
demonstrating that free labor was economically
necessary to industrialization. And this claim is crucial to
Marx s conception of capitalism as both a system and a
necessary stage in the development of the productive
forces. Marx would have denied that his conception of
economic necessity was based on any notion of desire.
For Marx, economic life consisted in production rather
than consumption, and the value of products was a
function of labor rather than consumer demand. Thus
economic necessity would have meant necessary to
production, not necessary to the satisfaction of
kehidupan ekonomi terdiri dalam produksi ketimbang
konsumsi, dan nilai produk adalah fungsi kerja daripada
permintaan konsumen. Jadi "kebutuhan ekonomi" akan
berarti "yang diperlukan untuk produksi," tidak "diperlukan
untuk kepuasan permintaan konsumen. "" Buruh Gratis
"kemudian, adalah" diperlukan "dalam arti yang diperlukan
untuk pengembangan produksi industri. Namun
"keharusan" dari "kerja bebas" untuk industrialisasi
tergantung pada budaya kontingen "konsumen" preferensi.
Dalam mencirikan perbudakan sebagai "belenggu" pada
pengembangan kekuatan produktif, Marx berarti bahwa itu
menghambat produksi misallocating kerja: buruh terikat
tidak memiliki insentif untuk mencari tugas lebih produktif.
Dan produksi kurang berarti kelebihan kurang sosial untuk
berinvestasi dalam pengembangan industri. Tapi kecuali
kita tentukan "konsumen" preferensi buruh dan pengusaha
untuk hubungan kerja yang berbeda, kita tidak dapat
menyimpulkan bahwa pasar tenaga kerja bebas akan
mengalokasikan pekerjaan yang lebih efi sien dari pasar
tenaga kerja terikat. Ini mengikuti dari klaim Coase 's itu,
biaya transaksi absen, alokatif efi siensi tidak tergantung
pada distribusi hak (Coase, 1960). Dari sudut pandang efi
siensi, pilihan obat untuk kontrak layanan pribadi adalah
sebagai relevan sebagai pilihan obat untuk kontrak
apapun.
Pilihan antara buruh bebas dan terikat hanyalah sebuah
pilihan antara obat kerusakan dan obat kinerja spesifik
untuk kontrak untuk layanan pribadi. Ini mengikuti bahwa
distribusi untuk pengusaha properti yang tepat di layanan
consumer demand. Free labor then, was
necessary in the sense of necessary to the
development of industrial production. Yet the necessity
of free labor to industrialization depends on
culturally contingent consumer preferences. In
characterizing bondage as a fetter on the
development of the productive forces, Marx meant that
it inhibited production by misallocating labor: bound
laborers have no incentive to seek more productive
tasks. And less production means less social surplus to
invest in the development of industry. But unless we
specify the consumer preferences of laborers and
employers for different labor relations, we cannot
conclude that a market in free labor will allocate work
more effi ciently than a market in bound labor. This
follows from Coase s claim that, absent transaction
costs, allocative effi ciency does not depend on the
distribution of entitlements (Coase, 1960 ). From the
standpoint of effi ciency, the choice of remedy for
personal service contracts is as irrelevant as the choice
of remedy for any contract.
The choice between free and bound labor is simply a
choice between a damage remedy and a specifi c
performance remedy for contracts for personal service.
It follows that the distribution to employers of a property
right in their laborer s services does not necessarily
prevent the effi cient allocation of those resources. A
worker learning of a more productive position can buy
buruh 's mereka tidak selalu mencegah alokasi efi sien dari
sumber daya tersebut. Sebuah pembelajaran pekerja dari
posisi yang lebih produktif dapat membeli majikannya
keluar, meninggalkan kedua lebih baik. Demikian pula,
majikan menemukan penggunaan yang lebih produktif
bagi karyawan dapat menyewa jasa untuk majikan lain,
atau untuk karyawan sendiri.
Kita hanya bisa menyimpulkan bahwa tenaga kerja
perbudakan dialokasikan tidak efisien dengan melihat
kerja sebagai konsumen yang baik daripada faktor
produksi. Banyak guru menolak untuk memerdekakan
budak mereka pada harga pasar, atau untuk mengizinkan
mereka untuk menyewa waktu mereka. Beberapa master
diinvestasikan dalam pendidikan dan Skilling budak
mereka, atau diizinkan budak mereka untuk jadi
berinvestasi. Banyak guru merasa bahwa itu direndahkan
otoritas mereka untuk tawar-menawar dengan budak
mereka. Dan master benar takut bahwa budak diizinkan
untuk berkeliaran untuk mencari pekerjaan yang produktif
akan lari. Tapi ini berarti bahwa sistem budak gagal
mengalokasikan tenaga kerja efi sien karena tidak master
atau budak dianggap budak hanya sebagai faktor
produksi, yang akan dihargai sesuai dengan pendapatan
dia mungkin menghasilkan. Masters dimiliki budak
sebagian untuk nilai konsumsi kehormatan petugas,
seperti budak sering bersedia, meskipun tidak selalu
mampu, membayar lebih dari nilai pasar mereka sendiri
untuk mengkonsumsi kehormatan diri - kepemilikan. Jadi
kekhawatiran Marx dengan alokasi efi sien tenaga kerja
her employer out, leaving both better off. Similarly, an
employer discovering a more productive use for an
employee can lease her services to another employer,
or to the employee herself.
We can only conclude that bondage allocated labor
inefficiently by viewing labor as a consumer good rather
than a factor of production. Many masters refused to
manumit their slaves at market price, or to permit them
to hire their time. Few masters invested in the education
and skilling of their slaves, or permitted their slaves to
so invest. Many masters felt that it demeaned their
authority to bargain with their slaves. And masters
correctly feared that slaves allowed to wander in search
of productive employment would run away. But this
means that the slave system failed to allocate labor effi
ciently because neither the master nor the slave
regarded the slave merely as a factor of production, to
be valued according to the income she might yield.
Masters owned slaves partly for the consumption value
of the attendant honor, just as slaves were often willing,
though not always able, to pay more than their own
market value to consume the honor of self - ownership.
Thus Marx s concern with the effi cient allocation of
labor for production cannot be separated from the
question of its efficient allocation for consumption.
We have seen that critical legal scholars argued that the
concept of efficiency is thoroughly indeterminate when
applied to the allocation of resources for consumption.
untuk produksi tidak dapat dipisahkan dari pertanyaan
alokasi efisien untuk konsumsi.
Kita telah melihat bahwa para sarjana hukum kritis
berpendapat bahwa konsep efisiensi secara menyeluruh
tak tentu bila diterapkan alokasi sumber daya untuk
konsumsi. Karena kita sering menggabungkan harta kita
menjadi rasa diri kita, berapa banyak kita menghargai baik
sering tergantung pada apakah kita sudah memilikinya.
Hal ini berlaku untuk properti dalam persalinan. Pengusaha
yang identitasnya sudah diinvestasikan dalam status guru
lebih cenderung untuk membayar premi untuk tenaga
kerja budak; budak miskin bisa menawarkan sedikit untuk
kebebasan mereka, sementara kita akan terkejut untuk
belajar dari budak dibebaskan menjual diri mereka kembali
ke dalam perbudakan setiap harga moneter. Sehingga
alokasi efi sien dari hak untuk membuang tenaga kerja
sebagian bergantung pada bagaimana hukum
mendistribusikan itu.
Kontingensi efisiensi alokasi pada norma-norma hukum
dan budaya berarti bahwa perubahan hukum dan budaya
dapat membuat alokasi yang efisien tidak efisien dan
sebaliknya. Sejarawan hukum kritis Robert Steinfeld
menunjukkan bahwa perbudakan tidak lagi menjadi cara
meja profi untuk mempekerjakan tenaga kerja ketika para
pekerja tidak lagi berdiri untuk itu, dan pengadilan menjadi
kurang bersedia untuk menegakkannya (Steinfeld, 1991).
Daripada rasionalitas ekonomi berakhir tenaga kerja
terikat, penolakan budaya kerja yang terikat membuatnya
tidak efisien secara ekonomi. Apa yang membuat belenggu
Because we often incorporate our possessions into our
sense of self, how much we value a good often depends
on whether we already have it. This point applies to
property in labor. Employers whose identities are
already invested in master status are more likely to pay
a premium for slave labor; penniless slaves could offer
little for their freedom, while we would be surprised to
learn of freed slaves selling themselves back into
slavery at any monetary price. Thus the effi cient
allocation of the entitlement to dispose of labor depends
in part on how the law distributes it.
The contingency of allocative effi ciency on legal and
cultural norms means that legal and cultural changes
can make an effi cient allocation inefficient and vice
versa. Critical legal historian Robert Steinfeld showed
that indentured servitude ceased to be a profi table way
to employ labor when workers would no longer stand for
it, and courts became less willing to enforce it (Steinfeld,
1991 ). Rather than economic rationality ending bound
labor, the cultural rejection of bound labor made it
economically inefficient. What made bondage a fetter
on the productive forces was the fact that the
productive forces included laborers who saw it as
demeaning. What bound free wage labor to the
service of industrialization and accumulation to form
capitalism was culture.
This means that capitalism can never be separated from
the superstructure it is supposed to explain. It also
"belenggu" pada kekuatan produktif adalah fakta bahwa
kekuatan produktif termasuk buruh yang melihatnya
sebagai merendahkan. "Bebas" upah buruh ke layanan
industrialisasi dan akumulasi apa terikat untuk membentuk
"kapitalisme" adalah budaya.
Ini berarti bahwa kapitalisme tidak dapat dipisahkan dari
"superstruktur" yang seharusnya untuk menjelaskan. Ini
juga berarti bahwa tidak ada hubungan antara diperlukan
salah satu ning elemen defi dari cara produksi, dan tidak
ada ketidakcocokan yang diperlukan antara apa yang
seharusnya menjadi unsur modus yang berbeda dari
produksi. Ketidakpastian kepentingan membuat konsepsi
Marxis revolusi koheren.
Tentu saja beberapa panggilan untuk revolusi Marxis telah
terdengar sejak akhir perang dingin. Namun demikian,
kritik ketidakpastian dari "kapitalisme" dijamin skeptisisme
bahwa runtuhnya komunisme mengisyaratkan konsensus
global pada lembaga liberal atau diramalkan suatu "akhir
sejarah" (Binder, 1993).
Kesimpulan
Ketidakpastian kepentingan, seperti yang dikembangkan
oleh studi hukum kritis, merusak konsepsi instrumental
masyarakat yang telah menginformasikan analisis
kebijakan banyak di seluruh spektrum politik. Meskipun
kritik ketidakpastian teori hak liberal yang dihasilkan lebih
banyak perhatian dan kontroversi, kritik ketidakpastian
dari instrumentalisme lebih asli dan signifikan klaim
filosofis studi hukum kritis '.
means that there is no necessary connection among any
of the defi ning elements of a mode of production, and
no necessary incompatibility between what are
supposed to be elements of different modes of
production. The indeterminacy of interests renders the
Marxist conception of revolution incoherent.
Of course few calls for Marxist revolution have been
audible since the end of the cold war. Nevertheless, the
indeterminacy critique of capitalism warranted
skepticism that the collapse of communism signaled a
global consensus on liberal institutions or presaged an
end of history (Binder, 1993 ).

Conclusion
The indeterminacy of interests, as developed by critical
legal studies, undermines the instrumental conception
of society that has informed much policy analysis across
the political spectrum. Although the indeterminacy
critique of liberal rights theory generated more attention
and controversy, the indeterminacy critique of
instrumentalism was critical legal studies more original
and significant philosophical claim.