Professional Documents
Culture Documents
Berikut ini kami akan menjawab satu persatu fitnah yang dihembuskan oleh pihak
sebagaimana dikemukakan pada halam pembukaan di atas.
Dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PDI Perjuangan, direkomendasikan
berdirinya ormas-ormas sayap PDI Perjuanagan, termasuk ormas Islam. Maka berdirilah
ormas Baitul Muslimin Indonesia (BAMUSI) dideklarasikan pada tanggal 29 Maret 2007, yang
bergerak di bidang dakwah Islamiyah menurut ajaran Islam rahmatan lil`alamin. Sampai
hari ini Ormas BAMUSI baru sempat membentuk cabangnya di 27 Provinsi. Dalam struktur
kepengurusan, BAMUSI merekrut tokoh-tokoh dan kader-kader dari ormas Islam terbesar
Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah pada setiap jenjang, di samping melibatkan juga
ormas-ormas Islam lokal setempat. Pada tingkat pusat, duduk sebagai Pembina Bamusi
adalah Prof.Dr.Syafi`i Ma`arif (Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah)
dan Prof.Dr.Said Aqil Syiraj (Ketua Umum PB NU).
Di tingkat pusat dan beberapa daerah, BAMUSI telah menyemarakkan syiar Islam, baik
dalam bentuk penerbitan serial khutbah (Bamusi DKI) dan sejumlah Edaran tentang pdoman
pelaksanaan ibadah, juga aktif dalam pelaksanaan Hari Besar Islam (HBI) bekerjasama
dengan partai. Sejak berdirinya Bamusi, PDI Perjuangan tidak pernah alpa memperingati
HBI (Tahun Baru Hijriyah, Nuzul Quran, Maulid, Isra Mi`raj, Idil Fitri dan Idil Adhha) yang
diisi dengan diskusi keislaman dan kebangsaan. Lapangan Parkir Kantor PDI Perjuangan di
Lenteng Agung menjadi saksi kesemarakan Idil Fitri dan Idil Adhha setiap tahunnya.
Termasuk Pemotongan hewan kurban, PDI Perjuangan pada tingkat pusat dan beberapa
daerah, tidak pernah alpa minimal 10 ekor. Bahkan pada tahun 2008, jumlah sapi kurban
mencapai 113 ekor pada tingkat DPP. Pada tingkat DPD dan DPC pun diinstruksikasn
beramal seperti itu.
2. Semua RUU yang diajukan ke DPR dan berbau Islam, pasti PDIP menolak.?
Termasuk UU Bank Syariah,UU Ekonomi Syariah benarkah PDI Perjuangan
tidak setuju?
Tidak benar bahwa setiap RUU yang berbau Islam ditolak oleh PDI Perjuangan. Kalau ada
sikap PDI Perjuangan yang terkesan menolak, maka sebenarnya, secara substansial PDI
Perjuangan tetap menerima konten (materi) nya, tetapi secara teknis PDI Perjuangan
memandang tidak perlu lagi diatur dalam UU baru karena telah diatur dalam UU lain yang
berkaitan dengannya. Misalnya UU Pornografi, telah diatur secara jelas dalam KUHP.
Begitupun misalnya Bank Syariah, tidak perlu lagi diatur secara khusus, karena telah diatur
dalam UU dan sejumlah peraturan menyangkut Keuangan dan Perbankan. Untuk memenuhi
maksud tersebut, Bank Syariah secara konstitusional telah diakui di Indonesia sejak tahun
1992 dengan berlakunya Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Selanjutnya terbit pula Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 yang memberi peluang lebih
luas bagi perbankan syari`ah, termasuk pemberian kesempatan kepada bank umum
konvensional untuk membuka kantor cabang khusus unit syari`ah. Bank Syariah sebagai
bahagian tak terpisahkan dari sistem perbankan nasional, payung hukumnya tetap mengacu
pada sistem perbankan nasional, sehingga dipandang belum memerlukan UU baru lagi.
Ekonomi syariah haruslah sejalan dengan kebijakan makro ekonomi nasional. Dengan
demikian, institusi ekonomi syariah tidak akan egoistik menghembuskan isu-isu keharaman
produk institusi ekonomi konvensional, karena hal tersebut dapat dinilai memperalat isu
agama untuk persaingan terhadap sistem konvensional. Biarlah masyarakat memilih
dengan kesadarannya sendiri tanpa penggiringan ke jenis dan sistem ekonomi tertentu atas
nama agama.
Dalam proses lahirnya UU yang berkaitan dengan keuangan syariah, jika memang sangat
dibutuhkan dan belum mempunyai payung hukum, PDI Perjuangan justru kadang pro aktif di
dalamnya. Misalnya RUU Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk yang disahkan
pada 7 April 2008 menjadi UU SBSN (sukuk). Sukuk menurut fatwa No. 32/DSN-MUI/IX/2002
yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia adalah semacam surat berharga jangka
panjang berdasarkan prinsip syariah dengan sistem bagi hasil. Untuk memproses RUU
SBSN (Sukuk) tersebut menjadi UU SBSN (Sukuk), Fraksi PDI Perjuangan mengambil inisiatif
dan menugaskan Olly Dondokambey sebagai Ketua Panja (Pnitia Kerja) RUU ersebut. Ini
bukti nyata bahwa PDI Perjuangan tidak alergi dengan UU yang berbau Syariah.
Akan halnya Perda Syariah menyangkut Jilbab, agaknya perlu dijelaskan bahwa UUD Negara
RI Tahun 1945 Pasal 29 ayat 2 berbunyi: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu. Pasal ini mengharuskan Negara dan pemerintah
memberi perlindungan atau jaminan keamanan dan kenyamanan bagi setiap umat
beragama dalam menjalankan ajaran agamanya, tetapi tidak berarti Negara dan Pemerintah
berfungsi mewajibkan warga negara untuk menjalankan agamanya masing-masing.
Misalnya ibadah shalat, Negara dan Pemerintah tidak berkewenangan memaksa warga
negara Muslim untuk bershalat, tetapi pada sisi lain negara harus memfasilitasi dan
menjamin keamanan warga negaranya yang ingin bershalat. Demikian pula ibadah haji,
Negara dan pemerintah tidak dapat memaksakan setiap Muslim yang mampu untuk berhaji.
Namun, Negara dan Pemerintah berkewajiban memfasilitasi dan melindungi keamanan umat
Islam yang ingin berhaji.
Dalam kontek dan analogi seperti shalat dan haji itulah PDI Perjuangan menyikapi setiap
gagasan untuk melahirkan perda syariah, misalnya jilbab. Negara dan pemerintah juga
tidak berkewenangan memaksa setiap umat Islam (perempuan) untuk berjilbab. Dengan
demikian Negara dan pemerintah (pemerintah daerah) tidak perlu membuat peraturan yang
mengharuskan setiap Muslimah untuk berjilbab. Akan tetapi di sisi lain, Negara akan
menjamin kebebasan wanita Muslimah untuk berjilbab, bagi mereka yang ingin
memakainya, misalnya di sekolah / kampus, termasuk sekolah / kampus swasta milik non
Muslim. Karena itu, wanita Muslimah yang ingin memakai jilbab di sekolah negeri dan
swasta, hak-hak mereka dijamin berdasarkan Peraturan Mendikbud No 45 Tahun 2014.
Perlu juga diingat bahwa Ketua Umum PDI Perjuangan Hj. Megawati Soekarnoputri, pada
saat tersebut juga menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Andai kata F-PDI P
memang benar-benar tidak setuju pada RUU Sisdiknas tersebut, maka akan pastilah
Presiden Megawati Soekarnoputri memerintahkan Menteri Pendidikan untuk menarik RUU
Sisdiknasd tersebut dan menggantinya dengan RUU Sisdiknas yang baru; namun hal
tersebut tidak dilakukan.
Singkatnya, kalau ada pihak yang mengatakan bahwa ketidak hadiran F-PDI P menunjukkan
sikap yang anti Islam, sangatlah melanggar kaedah logika, dengan dua
alasan. Pertama, bahwa seandainya memang benar PDI Perjaangan menolak RUU UU
Sisdiknas, tentu saja Presiden Megawati (selaku Ketua Umum PDI Perjuangan) menarik RUU
tersebut, tapi itu tidak dilakukannya. Kedua, bahwa RUU yang disahkan itu bukan produk
khusus syariah, tetapi UU Sistem Pendidikan Nasional, jadi tak ada kaitannya drengan soal
setuju atau tidak pada syariah.
5. UU Pornografi juga benarkah PDI Perjuangan tidak setuju.?
KUHP sendiri melarang keras perbuatan asusila, seperti menyebarkan gambar dan tulisan
porno (pasal 281, 282, 283). Demikian pula KUHP (pasal 290) melarang keras perbuatan
cabul, apalagi terhadap wanita di bawah umur, dan lebih-lebih jika wanita di bawah umur itu
disetubuhi di luar nikah. Semuanya diancam hukuman paling lama tujuh tahun. Jika
mengakibatkan penderitaan fisik, hukumannya paling lama dua belas tahun; dan jika wanita
sampai mati, hukumannya lima belas tahun. Hukuman lima belas tahun juga dijatuhkan
atas pelaku cabul terhadap sesama jenis kelamin di bawah umur (pasal 292).
Semangat anti perzinaan, pornografi dan pornoaksi menurut syariah sesungguhnya telah
menjadi semangat yang sama dalam sejumlah pasal KUHP. PDI Perjuangan merasa tidak
perlu ada UU atau Perda, karena payung hukumnya sudah ada, tinggal melakukan aksi yang
konkret.
Karena itulah kader PDI Perjuangan yang menjabat Walikota Surabaya berani mengambil
langkah konkret untuk membubarkan lokalisasi PSK. Ada yang mencoba memisahkan
langkah tersebut dengan PDI Perjuangan, seolah-olah hanya merupakan langkah murni dari
Walikota saja. Untuk itu, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini sendiri membantah kalau
rencana penutupan lokalisasi Dolly di Putat Jaya, Surabaya, tidak direstui Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan. Risma mengatakan mendapat dukungan dari Ketua Umum PDI P
Megawati Soekarnoputri. Demikian pernyataan Risma kepadaTempo, Kamis 20 Juni 2014.
Bahkan kata Risma, Ibu Megawati berpesan agar pemerintah kota Surabaya menangani
pekerja seks komersial yang mengidap HIV/AIDS.
Coba renungkan dengan akal budi yang sehat, siapakah selain Risma yang berani
melakukan tindakan spektakuler seperti itu. Banyak wali kota yang mungkin diusung oleh
partai-partai Islam yang justeru tidak berani melakukan pembersihan lokalisasi PSK di
daerah/kotanya, hal yang seharusnya dilakukan ketimbang hanya memperbanyak perda-
perda yang berwacana mengharamkan PSK, tanpa tindakan nyata menghapuskannya.
Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 82/Menkes /SK /I /1996, tentang Pencantuman
Tulisan Halal pada Label Makanan, dinyatakan bahwa makanan halal adalah semua jenis
makanan dan minuman yang tidak mengandung unsur atau bahan yang terlarang/haram
menurut hukum agama Islam (pasal 1 ayat 2). Tujuan tulisan halal pada label itu
dimaksudkan sebagai jaminan kehalalan suatu makanan bagi pemeluk agama Islam (pasal 1
ayat 3). Karena itu, produsen atau importir yang mencantumkan label halal harus
bertanggung jawab atas halalnya makanan tersebut (pasal 5).
Persoalan yang mencuat pula ialah pasokan daging dari luar negeri. Untuk memberi
jaminan kehalalan, Menteri Pertanian menerbitkan Surat Keputusan Nomor: 745/KPTS/TN.
240/ 12/ 1992 tentang Persyaratan dan Pengawasan Pemasukan Daging dari Luar Negeri. Di
dalamnya termuat ketentuan bahwa pemasukan daging untuk keperluan konsumsi umum
atau diperdagangkan harus berasal dari ternak yang pemotongannya dilakukan menurut
syariat Islam dan dinyatakan dalam sertifikat halal (pasal 8 ayat 1).
Selain itu terbit pula Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 306/ KPTS/ TN.330/4/1994,
tentang Pemotongan Unggas dan Penanganan Daging Unggas Serta Hasil Ikutannya. Di
dalamnya ditetapkan syarat-syarat dan tata cara pemotongan unggas, antara lain
ditegaskan bahwa penyembelihannya dilakukan menurut tata cara agama Islam (pasal 3
huruf d). Kemudian ditegaskan bahwa menyembelih unggas dilakukan oleh juru sembelih
Islam menurut tata cara agama Islam, yaitu membaca basmalah, memutus jalan napas,
memutus jalan makanan, dan memutus dua urat nadi (pasal 6 ayat 2). Sungguh luar biasa,
demikian terinci dan telitinya guna menyesuaikan ketentuan hukumnya dengan syariat
Islam.
Sebagai konsumen, umat Islam lebih memperoleh jaminan hak-haknya dengan terbitnya
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang ini
mengatur hak-hak konsumen, antara lain hak kenyamanan, keamanan dan keselamatan
dalam mengonsumsi barang dan atau jasa (pasal 4 huruf a.). Berkaitan dengan makanan
halal, pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan barang yang tidak
mengikuti ketentuan produksi secara halal, sebagaimana pernyataan halal yang
dicantumkan dalam label (pasal 8 huruf h). Mereka yang melanggar ketentuan ini, akan
dipidana penjara paling lama lima tahun (pasal 62 ayat 1).
Jika diperhatikan secara cermat, segenap produk perundang-undangan dan peraturan
tentang pangan dan yang berkaitan dengannya, seperti dikemukakan di atas, rasanya telah
sangat memenuhi ketentuan syariat Islam. Tak salah jika dikatakan bahwa Undang-Undang
dan peraturan tersebut telah menerapkan syariah secara kultural, tanpa menyebut dirinya
sebagai produk syariah, sehingga tidak menjadi Undang-Undang diskriminatif.
7. Yang mengusung Jokowi adalah PDIP, benarkah ada agenda di balik itu
tentunya yaitu Ideologi Sosialis, sangat tdk menguntungkan buat ummat
Islam di Indonesia,?
Adalah tidak benar bahwa jika Jokowi menjadi Presiden, sistem ekonomi Indonesia akan
menjadi sistem sosialis komunis. Jokowi selaku kader PDI Perjuangan tentu akan
menerapkan sistem ekonomi berdasarkan ideologi PDI Peruangan yakni ekonomi kerakyatan,
yang dibangun secara mandiri (berdikari) sesuai dengan ajaran Tri Sakti Bung Karno, yakni:
Berdaulat di bidang politik, Berdikari di bidan ekonomi dan Bermartabat di bidang budaya.
Sistem ekonomi kerakyatan justeru sejalan dengan sistem ekonomi yang diajarkan Islam,
yakni sama-sama berpihak pada rakyat kecil (ekonomi lemah). Pemberdayaan kaum lemah
(mustadh`afin) di bidang ekonomi merupakan ajaran Islam. Tujuan syariah mengenai ini
adalah agar harta benda itu dapat dinikmati secara adil oleh masyarakat sebagaimana
ditegaskan ayat berikut ini: Agar tidaklah harta itu beredar di kalangan orang kaya saja di
antara kamu (Q.S.al-Hasyr [59]: 7). Itulah hikmahnya, mengapa syariah menetapkan
kewajiban mengeluarkan zakat, agar rezeki orang kaya turut dinikmati pula oleh fakir
miskin. Berbagai sumber ekonomi yang potensil dan strategis dikategorikan dalam fikih
klasik sebagai harta yang wajib dizakati,
Sejalan dengan semangat keislaman tersebut, PDI Perjuangan merasa bertanggung jawab
untuk memberdayakakan rakyat di bidang ekonomi. Mereka perlu keterampilan,
penyuluhan dan pendampingan, perlu jaringan ekonomi bagi produk-produknya yang
melimpah dengan nilai ekonomi tinggi. Bahkan yang paling utama dari segalanya ialah
mereka butuh tanah garapan yang memadai. Apa yang terjadi, berupa penelantaran rakyat
kecil, pembiaran terjadinya kezaliman dan pembodohan, perampasan tanah milik,
rendahnya mutu dan harga hasil bumi dan kerajinan rakyat, semua adalah pelanggaran
prinsip ekonomi kerakyatan sekaligus penyimpangan syariah yang harus dicari solusinya.
Intinya ialah melepaskan kaum mustadh`afin (wong cilik) dari keteraniayaan dan ketidak
berdayaan melalui kebijakan ekonomi yang berpihak pada rakyat, dengan falsafah
kesejahteraan, bukan falsafah keuntungan dan pertumbuhan yang nyata-nyata lebih banyak
menguntungkan kaum kapitalis (pemodal atau pebisnis).
Maka adalah sangat ironis jika gagasan ekonomi kerakyatan yang menjadi inti perjuangan
PDI Perjuangan seperti diuraikan sepintas lalu di atas dipandang bertentangan dengan
ajaran Islam, bahkan dipandang membahayakan umat Islam. Bukankah rakyat kecil yang
menjadi tujuan pemberdayaan ekonomi kerakyatan adalah sebahagian besarnya umat Islam
di hampir seluruh pelosok negeri kita? Wahai para ulama dan tokoh Islam mari kita
memahami bahwa ajaran Islam soal ekonomi sangat sejalan dengan ideologi PDI Perjuangan
dan Tri Sakti Bung Karno yang bertujuan membangun kedaulatan ekonomi bagi rakyat, atas
dasar kegotong royongan dan secara mandiri (Berdikari). Wallahu Alam bi al-Shawab.