You are on page 1of 5

BAB IV

ANALISIS KASUS
Seorang wanita usia 52 tahun, ibu rumah tangga dan sudah menikah
mempunyai 2 orang anak perempuan, dibawa ke rumah sakit oleh anak
perempuannya dengan kondisi pasien compos mentis, dengan sebab utama sulit
tidur dan sering menangis
5 bulan yang lalu, pasien mulai merasa tidak bisa tidur. Pasien juga
merasa kepalanya terasa berat, dada sesak, dan badan tidak enak. Pasien juga
menjadi lebih pendiam, pemurung, dan sering menangis. Pasien bahkan sempat
beberapa kali mengatakan ingin bunuh diri kepada anak pasien. Pasien masih bisa
merawat diri dan melakukan aktivitas sehari-hari dengan baik.
3 minggu yang lalu, pasien tidak bisa tidur sama sekali. Saat tidak bisa
tidur pasien menangis histeris. Pasien juga terlihat semakin pendiam, murung dan
lebih sering melamun. Pasien masih bisa merawat diri tapi tidak memiliki
keinginan untuk melakukan apapun. Pasien merasa kesepian dan tidak disayang.
Pasien kemudian berobat ke Puskesmas Talang Kelapa lalu dirujuk ke RS Ernaldi
Bahar Palembang.
Saat dilakukan wawancara psikiatri, pasien bisa menyebutkan nama, umur,
alamat dan yang mengantar dengan benar. Pasien mengetahui bahwa dirinya sakit
dan alasan dibawa berobat. Pasien tampak terlihat sedih dan kehilangan minat.
Ketika ditanya yang dirasakannya saat ini, pasien mengaku sedih karena kesepian
dan lelah dengan hidupnya. Perubahan perilaku pasien dilihat pertama kali oleh
anak pasien saat suami pasien membawa anak dari istri kedua sedangkan pasien
tidak tahu bahwa suaminya telah menikah lagi. Semenjak itu pasien menjadi lebih
pendiam dan suka menyendiri. Ditambah lagi dengan cucunya yang telah pindah
rumah pasien juga merasa kesepian. Pasien juga terlihat memiliki perasaan
bersalah, tidak berguna, perasaan inferior dan sempat memiliki ide bunuh diri
karena masalahnya tersebut. Pasien sempat mendengar bisikan-bisikan yang tidak
jelas. Pasien dan keluarga mengatakan bahwa pasien tidak pernah memiliki
keluhan yang sama sebelumnya. Riwayat penyakit yang sama di keluarga
disangkal. Riwayat penyakit fisik lain disangkal. Pasien mengatakan bahwa dia

35
tidak merokok, tidak mengkonsumsi minuman keras atau menggunakan zat
terlarang.
Berdasarkan autoanamnesis dan pemeriksaan status mental, didapatkan
gejala klinis bermakna berupa pasien lebih pendiam, sering melamun, sering
menyendiri, suka mengurung diri, nafsu makan berkurang, susah memulai tidur
dan jika terbangun susah untuk tidur kembali, emosi yang labil, berbicara sendiri
dan sulit menentukan realita dan nonrealita. Status psikiatri, keadaan umum
kompos mentis terganggu, tampak sedih, perhatian dan konsentrasi berkurang,
kontak psikis yang menurun, mood/afek hipotimik/appropriate. Bentuk pikir logis
realis, arus pikir koheren, isi pikir preokupasi terhadap masalah yang dihadapi,
perasaan inferior, bersalah dan tidak berguna, ide bunuh diri ada. Persepsi
halusinasi auditorik tidak ada. Dapat disimpulkan pasien memiliki kelainan
kesadaran, kelainan perhatian, serta kelainan pikiran dan perasaan sehingga pasien
dapat disimpulkan mengalami gangguan jiwa. Gejala tersebut didominasi dengan
gejala non psikotik sehingga didiagnosis gangguan jiwa non psikotik.
Pada status internus tidak ditemukan adanya kelainan dan pada
pemeriksaan status neurologi juga tidak ditemukan adanya kelainan, sehingga
gangguan mental organik dapat disingkirkan dan didiagnosis gangguan jiwa non
psikotik non organik.
Dari autoanamnesis dan aloanamnesis serta pemerikan status mental,
pasien mengetahui bahwa dirinya sakit dan alasan dibawa berobat sehingga
discriminative insight dan judgement baik. Gangguan asosiasi seperti asosiasi
longgar, inkoherensi, atau neologisme juga tidak ada. Gangguan afek dan
ambivalensi juga tidak ada. Hanya terdapat gejala autism berupa penarikan diri
dari kehidupan nyata dan tidak ada halusinasi dan waham sehingga berdasarkan
kriteria Bleurer tidak dapat ditegakkan diagnosis skizofrenia pada kasus ini.
Gejala yang paling kuat kearah skizofrenia adalah gejala afek dan gangguan
asosiasi, bila hanya satu maka harus didukung oleg gejala khas lain. Oleh karena
itu, diagnosis banding skizofrenia dapat disingkirkan.
Dari autoanamnesis dan pemeriksaan status mental didapatkan 3 gejala
utama depresi yang dialami sejak beberapa bulan ini berupa kehilangan minat dan
kegembiraan, mudah lelah, dan afek depresif (hipotimia), disertai 5 gejala

36
tambahan berupa konsentrasi dan perhatian berkurang, gagasan tentang rasa
bersalah dan tidak berguna, gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri
(bunuh diri), tidur teganggu, dan nafsu makan berkurang. Berdasarkan PPDGJ III
dapat ditegakkan diagnosis aksis I sebagai Episode depresif berat dengan gejala
psikotik (F32.2). Diagnosis aksis II tidak ada diagnosis. Aksis III tidak ada
diagnosis. Aksis IV stressor berupa masalah primary support group (keluarga).
Aksis V GAF scale saat ini 70-61.
Kemudian dilakukan pemeriksaan penunjang menggunakan skala nilai
depresi dari Hamilton Depression Rating Scale (HDRS) yang teridiri dari 24
pertanyaan, didapatkan perasaan sedih yang ada hanya bila ditanya (1); perasaan
bersalah (1); keinginan bunuh diri berupa ide-ide atau gerak-gerak tentang bunuh
diri (3); insomnia (early), kadang-kadang mengeluh sulit tidur setiap malam (2);
insomnia (middle) mengeluh gelisah dan terganggu sepanjang malam (1);
Insomnia (late) bangun terlalu pagi tetapi dapat tidur kembali (1); Kerja dan
kegiatan pikiran dan perasaan tentang ketidakmampuan, keletihan atau kelemahan
sehubungan dengan kegiatan, kerja atau hobi (1); Retardasi jelas lamban dalam
wawancara (2); Agitasi tidak ada (0); Anxietas psikis ketegangan dan mudah
tersinggung yang bersifat subyektif (1); Anxietas somatik (0); gejala somatik
gastrointestinal (0); gejala somatik umum (0); gejala genital (0); hipokondriasis
(0); kehilangan berat badan kemungkinan berat badan berkurang sehubungan
dengan sakit sekarang (1); tilikan (0); vasiasi diurnal (0); depersonalisasi dan
derealisasi (0); gejala paranoid (0); gejala obsesif kompulsif (0); ketidakberdayaan
(2); keputusasaan (2); Perasaan tidak berharga menunjukkan perasaan tidak
berharga (kehilangan harga diri) secara spontan (2). Dari hasil perhitungan maka
didapatkan nilai 21 yang menunjukkan pasien mengalami depresi berat.
Depresi merupakan salah satu gangguan mood. Pasien dengan mood
terdepresi (yaitu, depresi) merasakan hilangnya energi dan minat, perasan
bersalah, sulit berkonsentrasi, hilang nafsu makan, dan pikiran tentang kematian
atau bunuh diri. Gangguan depresi berat merupakan suatu masa terganggunya
fungsi manusia yang berkaitan dengan perasaan yang sedih dan gejala
penyertanya, termasuk perubahan pada psikomotor, kemampuan kognitif,
pembicaraan dan fungsi vegetatif. Episode depresi berat dengan gejala psikotik

37
merupakan depresi yang parah walau bukan penderita psikotik. Diagnosis
gangguan ini ditegakkan berdasarkan adanya gejala episode depresif berat
ditambah dengan gejala psikotik.
Penyebab dari gangguan depresi terdiri dari faktor biologis, faktor
genetika dan faktor psikososial. Pada hipotesis timbulnya depresi dihubungkan
dengan peran beberapa neurotransmiter aminergik. Hipotesis tersebut menjadi
dasar penggunaan dan pengembangan obat-obat anti depresan.
Pada gangguan depresi yang sering terdapat pikiran-pikiran atau
rancangan bunuh diri, maka sebaiknya penderita dengan emosi yang tidak dapat
dikendalikan sebaikanya dirawat di rumah sakit dengan pemberian terapi
psikoterapi dan obat anti depresan. Psikoterapi bermanfaat untuk mengurangi atau
menghilangkan keluhan-keluhan dan mencegah kambuhnya pola perilaku
maladaptif atau gangguan psikologik. Psikoterapi dapat diberikan secara
individual, kelompok, atau pasangan sesuai dengan gangguan psikologis yang
dialaminya.
Pemberian anti depresan diberikan melalui tahapan-tahapan, yaitu dosis
initial, titrasi, stabilisasi, maintenance dan dosis tapering. Dimana dosis dan lama
pemberiannya berbeda-beda. Pada kasus ini, emosi pasien yang relatif stabil dan
masih dapat dikendalikan menurut keluarga, maka pasien dilakukan rawat jalan
dan diberi anti depresan amitriptyline tablet 1 x 25 mg dan clozapine tablet 2 x 25
mg. Amitriptylin merupakan antidepresi trisiklik. Amitriptylin bekerja dengan
menghambat pengambilan kembali neurotransmiter di otak. Amitriptylin
mempunyai 2 gugus metil, termasuk amin tersier sehingga lebih responsif
terhadap depresi akibat kekurangan serotonin. Senyawa ini juga mempunyai
aktivitas sedatif dan antikolinergik yang cukup kuat. Hipotesis sindrom depresi
disebabkan oleh defesiensi relatif salah satu atau beberapa aminergic
neurotransmitter seperti noradrenalin, serotonin, dan dopamine sehingga
pemberian amytriptilin cukup baik dipilih sebagai obat antidepresi. Dosis yang
diberikan merupakan dosis inisial terapi depresi. Sedangkan clozapine yang
diberikan sebagai pilihan obat antipsikotik karena mekanisme kerja dan efek
sindrom ekstrapiramidal yang rendah. Keuntungan efek sindrom ekstrapiramidal
yang rendah adalah tidak memberatkan gejala negatif yang sudah ada pasien ini,

38
meningkatkan kepatuhan, tidak menganggu kognisi, risiko dysphoria kurang, dan
efek samping motorik ringan.
Prognosis bergantung pada diagnosis yang tepat dan sedini mungkin,
terapi yang adekuat, serta dukungan dari keluarga. Pasien depresi membutuhkan
terapi jangka panjang agar dapat mengurangi relaps atau rekurensi. Karena
beragamnya penyebab depresi, beberapa modalitas terapi dapat digunakan.
Kombinasi farmakoterapi dengan psikoterapi lebih efektif untuk mengobati
depresi berat dan mencegah relaps atau rekurensi, dibandingkan dengan hanya far-
makoterapi atau psikoterapi.

39

You might also like