You are on page 1of 10
INFLEKSI DAN DERIVASI: Kemungkinan Penerapannya dalan Morfologi Bahasa Indonesia D, Edi Subroto Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta 1 Pengantar 2 Konsep Infleksi dan Derivasi 3. Kemungkinan Penerapan Konsep Infleksi dan Derivasi untuk Memerikan Morfolo~ gi Bahasa Indonesia 4. Penutup 51 INFLEKSI DAN DERIVASI: Kemungkinan Penerapannya dalam Morfologi Bahasa Indonesia D, Edi Subroto Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta 1, Pengantar Istilah "kata" di dalam linguistik ternyata meninbulkan kekaburan-kekaburan. Apakah yang dimaksud dengan kata itu? Sehubungan dengan itu, Matthews (1974) menbedakan kata menurut arti 1, arti 2, dan arti 3. Kata menurut arti 1 falah apa yang disebut “phonological word" menurut arti 2 ialah apa yang disebut “Jexeme", menurut arti 3 ialah apa yang disebut “grammatical word" (1974:20— 26). Kata menurut arti 2 dan 3 di sini bersesuaian dengan apa yang disebut derivasi dan infleksi, sedangkan menurut arti 1 derivasi dan infleksi dapat diabaikan. Infleksi dan derivasi merupakan persoalan klasik di dalam tata~-bahasa tradisional dan selalu dibedakan di dalam pemerian morfologi bahasa-bahasa In- do-Eropa, Hal itu wajar karena bahasa-bahasa itu memang tergolong fleksi atau infleksi. Hal itu berbeda dari bahasa Indonesia yang tezmasuk aglutinasi. Oleh karena itu wajar apabila terdapat linguis Indonesia yang menyangsiken ke~ gunaan pembedaan kedua konsep itu (infleksi dan derivasi) dalam rangka pemeri- an sistem morfologi bahasa Indonesia, di antaranya ialah Harimurti (1984). Harimurti menolak pemisahan itu karena bahasa Indonesia tidak tergolong inflek- sional. Alasan itu tampaknya wajar dan dapat diterima, namun dengan memahani konsep-konsep derivasi dan infleksi yang semakin dipertajam oleh kepustakaan yang lebih mutakhir (Matthews 1974: Verhaar 1977; Aronoff 1981, Bauer 1983; Sudaryanto 1983) kita dapat memanfaatkan konsep-konsep itu untuk mempertajam perian kita terhadap morfologi bahasa Indonesia dan kita juga tidak hendak memaksa-maksakan bahwa bahasa Indonesia itu termasuk infleksional karena me- mang tidak gayut (relevan). Matthews (1974:38) menbagi bidang morfolopt atas dua subbidang, (a) proses infleksi, dan (b) proses pembentukan kata (word-formation). Proses pembentukan kata dibedakan lebih lanjut atas (1) derivasi (tipe: generate (verba) 'membang- kitkan’ ---- generation (nomina) 'pembangkitan generasi') dan (i1) proses Komposisi atau pemajemukan. Sehubungan dengan itu, Matthews membagi morfologi atas dua cabang, yaitu (1) morfologi infleksional (inflectional morphology) dan morfologi leksikei (lexical morphology) (1974:41). Yang termasuk morfologi leksikal ialah derivasi dan komposisi. Mozfologi leksikal mengkaji kaidah~ kaidah pembentukan kate yang menchasilkan kata~kata yang secara leksikal ber- identitas baru atau berbeda dari kata yang menjadi dasarnya. Hal itu berses suaian dengan rumusan Marchand yang menyatakan “Word formation is that branch of the science of languaze which studies the pattern on which a language forms new lexical units, i.e. word" (1969:2). Jadi, pembentukan kata adalah cabang ilmu bahasa yang mengkaji pola-pola pembentukan unit-unit leksikal (kata-kata) baru dalam sebuah bahasa. Schubungan dengan rumusan Matthews dan Marchand itu, kita hendaknya lebih kritis dalam menggunakan istilah "pembentukan kata”. Di sini ditekankan bahwa pembentukan kata itu menghesilkan kata-kate baru atau kata-kata yang secara leksikal beridentites berbeda dari dasarnya. Pembentukan kata secara demikian digolongkan derivasional, Demikianlah, setidak-tidaknya pemahaman mengenai konsep infleksi dan derivasi yang dipertajam akan mempermudah kita untuk memerikan pembentukan kata yang bersifat derivasional dalam bahasa Indonesia. 2, Konsep Infleksi dan Derivasi Proses infleksi menghasilkan pembentukan infleksional dan proses derivasi meng- hasilkan pembentukan derivasional. Perihal perbedaan antara keduanya, Nida 53 menguraikan sebagai berikut (1949:99). (1) Pembentukaa derivasional termasuk jenis kata yang sama dengan kata tunggal (dari suatu sistem jenis kata tertentu) (misalnya, singer (nomina) dari (to) sing (verba)) termasuk jenis kata yang sama dengan boy (nomina)), sedangkcn penb infleksional tidak (misalnya, verba kompleks atau poli- norfemis walked ticek termasuk jenis kata yang sama dengan verba tunggal yang mana pin). (2) Secara statistik, afike derivasional lebih beragan (ntastnya, dalan bahasa Inggris terdepat afiks~afiks penbentuk nomina: ~ ~fon, ~ation, zness (singer, arzangement, correction, nasionalization, « atablence 39); cedangkan Afies inflebsivnal dala botins Inggrie kurang beragam atau tertentu: ~s, ~ed, ed), ~ing (wa?ks, walked), walked), walking) (3) Afik--afiks deritasional jae eee ee ‘at mengubah jonis kata, sedangkan afiks- afiks infleksicna! tidak. (4) Afiks-aftis derivasional mempunyai distribusi yang lebih terbatas (mi- salnya, ~er tic2k capat direnalkan selalu terdapat pada dasar verba), sedangkan afiks inflckeic1a1 mempunyai distribusi yang lebih luas. (5) Pember:tukan derivasional dapat menjadi dasar bagi pembentukan berikut- nya (singer ~-> singers), sedangkan penbentukan infleksional tidak. Beberapa bepvs:akaan yang lebih mutakhir, yang menguraikan masalah deriva- si dan infleksi di antaranya dalah Verhaar (1977), Matthews (1974), Aronoff (1981), Bauer (1983), Sudaryanto (1983). Verhaar menyatelen bahwa derivasi alah semua perubahan afiksasi yang me- lampaui identitas keia, sedangkan semua perubahan yang mempertahankan identitas kata dicebut inf cksi (1977:65). Prineip yang diikuti ialah setiap berpindah jenis kata (perbentukan yang menghasilkan jenis kata berbeda) selalu berarti pula berpindai icentitas leksikalnya (menulis termasuk verba, penulis termasuk nomina), teteri ‘{da‘: sebaliknya setiap berpindah identitas leksikal berarti pula berptudal: jonis kata. Misalnya, berangkat @erba) dan memberangkatkan (verba). Keduaaya turmasuk verba, tetapi identitas leksikalnya berbeda sehing- ga termasuk derivasionel, Kata berengkat termasuk tak-transitif, sedangkan memberenckatken terrisuk transitif. Identitas leksikel kedua verba itu berbeda arena referen ote a yang ditunjuknya berbeda. Dengan demikian, dapat dinyatakes habs: - 2 nenberengkatkan adalah afiks yang nentransitifkan. Perihal ofits (ii: vide nenSerengkatkan, yang depat diramalian dapat di genti- kan di~, by- & Poouada gramatikal, yadtu menyatakan bahwa kali~ matnya berfokue so Ju. (Lihat urcian di beweh.) Bauer (1983)-- ion juga Matthews (1974)—-melengkapi uraiannya dengan se- perangkat kriteria operasional untuk menbedaken derivasi dari inflekei. Bauer menyatakan bah: derivasi adalsh proses morfemis yang menghasilkan leksem baru (1983:26--27, bundiagkan pula Matthews 1974:37), sedangkan infleket telah pro- ses morfenis yciig zotghasilkan bentuk-bentuk kata yang berbeda dari sebuah lek~ sem yang sema (.985:22). Atau, menurut rumusan Marchand morfem-morfem inflek- sional mosbentu:- ber tvk-beatuk yang berbeda dari sebuah kata yang sama, tidak menbentuk ebuct: vrdt leksiltal yeng baru. Dengan denikian, norfem inflekeional tidak relevan bczi reabentukan kata (1969:4). Dengan rumusan lain, inflekst adalah bentuk-bertuk kata yang berbeda dari paradiema yang sama, sedangkan deri- vasi adalah bentk-bzatuk kata yang derbeda dari paradigma yang berbeda (Matthews 1974.38). Yang dinaisud dengan leksem dalam rumusan itu alah satuan leksikal abstrak, yang to:keci1--baik tunggal maupun kompleks--dari bentuk-bentuk kata dalam sebuah pareigna (Matthevs 1974:38). Leksem itu biasanya dilambangkan dengan huruf beeer, tisalnya, bentuk-bentuk verba dalam bahasa Inggris (1) work, (He) works 54 (He has) worked, (He 4s) working, adalah bentuk-bentuk kata yeng berbeda dari leksem WORK. Dari leksem itu da~ pat dibentuk leksem baru WORKER yang termasuk nomina. Pembentukan dari work =-> worker 'buruh, pekerja, karyavan' termasuk derivasional. Kata benda de~ rivatif worker dapat dibentuk menjadi kategori janak workers. Bentuk-bentuk kata worker (tunggal) dan vorkers adalah bentuk-bentuk kata yang berbeda dari leksem WORKER. ‘bentuk-bentuk kata yang berbeda itu (work, works, worked, working; worker, workers) adalah untuk memenuhi kaidah-kaidah grama- tikal yang bersifat dapat ‘ diramalkan., Misalnya, kelau terdapat verba talk, maka terdapatnys bentuk-bentuk kata: talks, talked, talking bersifat dapat diramalkan, kalau terdepat speaker terdanatnya bentuk speakers bersifat dapat diramalken. Ciri keteramalan itu merupakan penanda pembentukan infleksional yang penting (bandingkan pula Aronoff 198172). Leksem WORK termasuk tunggal, sedanckan leksem WORKER termasuk komplkes. Leksem WORK terdapat dalam paradisma verba sedangkan leksem WORKER terdapat dalam paradigma nomina. Ciri keteramalan pada nembentukan infleksional itu juga sangat ditekan- kan oleh Baver. Sebaliknya, pembentukan derivasional bersifat tak teramalkan, sekalipun diakui adanya beberapa pejala yang sistematis. Bagaimanapun jua diakui adanya sifat ideosinkretis (keanehan-keanehan, tak pasti) pada pemben- tuken derivasional. Misalnya, apabila terdapat pola pembentukan WORK verba ~~> WORKER (nomina). SPEAK (vera) -- SPEAKER (nomina), tetapi tidak terdapat AGREE (verba) >*AGREER, Atau. misalnya, kata worker di samping berarti Yyang bekerja', jusa berarti ‘buruh, karyawan’, Afiks-afiks infleksional di dalam paradigms infleksional davat diramalkan dapat digantikan oleh afiks in- fleksional yan: lain (~s nada walks diramalkan dapat digantikan oleh ~ed, atau oleh ing), sebaliknya afiks derivasional tidak (Bauer 1983:23). Misalnya, afiks derivasional -er pada worker tidak dapat digantikan oleh ~ion seperti halnya dalam decide ~-> decision "keputusan'. Rumusan Sudaryanto (1983) mengenai infleksi den derivasi agak sulit di- terapkan secara operasional. Dinyatakannya bahwe peng~ nada pengintai (dan juga pe~, pem-, peny~, pen- pada kata-kata yang lain) itu kecuali ... juga terlebih-lebih mengisyaratkan adanya pelambangan tertentu terhadap unsur si~ tuasi (baru) yang tertentu pula (pembohong menunjuk "orang" atau "sifat") (1983:200). Sebaliknya, kan pada nombelikan tidak mengubah unsur situasi yang dilambangkan: baik membeli maupun m liken menunjuk pada unsur situasi yang sama (1983:201). Dinyatakannya lebih lanjut "Bila afiks peng~- masih bo~ leh dikatakan mengisyaratkan bahwa kata yang bersangkutan melambangkan unsur situasi tertentu, mak2 -kan seperti dalam membelikan tidak’ (1983:202). Oleh karena itu, peng- disebut afiks derivatif karena melambangkan unsur situasi tertentu, sedongkan -kan (pada membelikan) adalsh inflektif karena mengganbar- kan ‘satuan lingual mental’ (1983:203). Saya kira agak sulit untuk mengiden- tifikasi masalch “satuan lingual mental” ion masalah “unsur situasi baru" se~ hingga kurang onerasional. 3. Kemungkinan Peneranan Konsep Inflcksi den Derivasi untuk Memerikan Morfo~ Jogi Bahasa Indonesia Rumusan mengenai infleksi dan derivasi yang senakin dizertajam tersebut di atas barangkali dapat menberi tuntunan kevada kita untuk memerikan morfologi bahasa Indonesia secera lebih tajam ula. Sebagaimana tampak yada rumusan di dalan paragraf 2 bahwa setiap proses morfemis yang menchasilkan jenis kata yan3 herbeda dapat dipastikan menghasil- kan kata yang beridentitas berbeda (nenbentuken derivasional). Dalam pada itu, setiap proses norfolozis yang termasuk pembentukan derivasional tidak 35 selalu ditandai dengan berpindahnya jenis kata. Misalnya, kata Jurah dan kelurahan. Kedua kata itu termasuk nomina, tetapi identitas leksikalnya ber~ eda, Kata lurah mengacu pada seseorang (insan) yang menjabat jabatan ter- tentu, sedangkan kelurahan tidak mengacu kepada seseorang, melainkan pada "seluk-beluk atau perihal urusan kedinasan'. Jadi, bersifat bukan insani. Oleh karena itu, referen kedua kata itu pasti berbeda atau sesuatu (yang ber~ sifat luar bahasa) yang ditunjuk kedua kata itu borheda. Oleh karena itu, pembentukan kate kelurahan itu termasuk derivasional. Sebuah afiks termasuk infleksional kalau di dalam suatu paradigma dira~ malkan dapat digantikan afiks infleksional yang lain. Dengan demikian, juga terdapat keteraturan makna gramatikal di dalan paradigma infleksional. Ciri- ciri yang demikian tidak terdapat vada paradigna derivasional. Dengan titik tolak itu akan dicoba untuk memerikan paradigna inflcksional dan derivasional dalam bahasa Indonesia. Misalnya, paradigma dari dasar PETIK. B A c -PETIKI < -PETIK ~~ ~PETIKKAN menetikt 1, memetik memetikkan dipetiki 2, dipetik dipetikkan kupetiki 3. kupetik kupetikkan Kaupetiki 4, kaupetik kaupetikkan I diapetikt 5. diapetik diapetikkan - 6. terpetik - pemetik pemetikan petikan Ir Paradigna I adalah paradigna verba yang dibentuk dari dasar “petik", sedang- kan paradigna II termasuk naradigma nomina deverbal. Paradigma verba terbagi atas tiga kolom: kolom -PETIK (A), kolom -PETIKI (B), kolom -PETIRKAN (C). Masing-masing kolom merupakan paradigna infleksio~ nel dan masing-masing memounyai bentuk kata baris ]—6 (kecuali kolom B dan C karena alasan senantis). Terlihat pada masing~masing kolom bahwa bentuk kata dengan prefiks me(N)~ (sebagai bentuk pertama) (baris 1) diremalkan dapat di- gantikan dengan prefiks di~ (baris 2), ku- (baris 3), kau- (baris 4), dia (baris 5), atau ter- (baris 6, khusus Kolom A). Oleh karena itu, nasing-ma- sing kolom merupakan paredigma infleksional. Kolom A nerupakan bentuk~bentuk kata dari leksem PETIK, kolom B dari leksem PETIKI, kolom C dari leksem PE~ TIKKAN, Kemunculan masing-masing bentuk (me(N)~, di~, ku-, dan seterusnya) dari setiap kolom dapat diramalkan berdasarkan kaidah gramatikal tertentu. Bentuk baris 1 terdepat apabila kalimat berfokus pada agen, sedangkan baris 2—6 (kolom A) terdapat bila berfokus pada pasien. Perbedaan antara baris 2—6 satu sama lain dalah bahwa baris 6 menyataken 'keaksidentalan, hal tak disengaja, tak dikehendaki', sedanzkan baris 2—5 menyatakan ‘kesengajaan'. Baris 2 berbeda dari 3—5 karena ¢i dalan baris 3—5 'pelaku tampak di dalam bentuk', sedangkan baris 2 'pelaku tidak tampak di dalam bentuk'; baris 3 pelaku adalah persona pertama (nenbicara), baris 4 pelakw adalah persona kedua, dan baris 5 pelaku adalah persona ketiga, Karena bentuk baris 6 menyatakan "keaksidentalan, ketaksengajaan, hal tak dikehendaki', maka tidak terdapat pada kolom B, yang terutama menyatakan 'keberkali-kalian’ dan kolom C, yang terutama menyatakan 'kebenefaktifan’ (berarti pula menyatakan "kesengajaan'). Adalah tidak wajar, apabile sesuatu yang ‘tak disengaja, tak dikehendaki' ter~ jadi atau dilakukan berkali-kali. Bagaimanakah perbedaan antara lcksem PETIK (A), PETIKI (B), PETIRKAN (C)? Perbedaannya dala di dalan PETIKI terdanat ciri makna ‘perbuatan yang ber— ulang-ulang’ (dalam oposisinya dengan PETIK), sedengkan di dalam PETIKKAN terdapat ciri makna 'kebenefatifan’ (netikkan saya mengga itu) (di dalam opo~ 56 sisinya dengan PETIK). Atas dasar itu, kata memetik, memetiki, memetikkan secara leksikal adalah tiga kata yang berbeda (derivasional) sekalipun sama~ sama ternasuk verba (bandingkan dengan membeli dan membelikan, menurut Verhaar 1977:66: Simatupang 1983:54), Terdavatnya ciri makna atau nilai kategorial "berkali-kali* nada memetiki karena hadirnya sufiks ~i dan terdapatnya nilai *benefaktif' karena hadirnya -kan pada memetikkan, Di samping perbedaan dalam hal ciri makna, juga kemunculan ~4 pada PETIKE dan -kan nada PETIKKAN dengan ciri makna secara denikian bersifat tak dapat diramalkan (bandingkan TULIS, TULISI, TULISKAN). Ciri 'tak teromalkan' merupakan salah satu penanda pemben- tukan derivasional. Kata kata pemetik, pemetikan, dan petikan (II) termasuk nomina derivasio- nal deverba atau uomina yang diturunkan atau diderivasikan dari verba, Berda- sarkan pertimbangan semantis, ketiga kate itu diderivasikan dari verba memetik, (penetik ialah ‘orang yang menetik', penetikan ielzh ‘hal menetik’, petikan ialsh “hesil memetik').? Berdasarkan perbedaan referennya. ketiga kata itu berbede secara leksikel sekalipun sama~sama termasuk nomina. Referen pemetik falah ‘orang yang ...‘, pemetikan ialah ‘hal atau abstraksi dari ...', petikan falah 'hasil ...' Beberapa dasar verba lain yang paradigmanya serupa dengan petik—di antaranya—ialah: ambil, pungut, jual, tarik, PekNjckareng, kita perikan paradigna dari dasar tulis. B A c ~TULIST -TULIS : ~TULISKAN menulist 1, menulis menuliskan ditulist 2, ditulis dituliskan 1 kutulist 3, kutulis kutuliskan dst. 4. dst. dst. penulis penulisan tulisan IL Apabila kita bandingkan dengan varadigma yang dibuat dari dasar petik, maka perbedaan antara menulis (surat) dengan menulisi (tembok) (atau antara leksem TULIS X TULISI) ialah menulis menyatakan ‘ketransitifan’ (surat berperan 'pesien') sedangken menviisi di sampfng menyatakan ketransitifan juga 'keloketd€an’ nulisi tembok ‘menulis di tenbok'), Atau barangkali perian podel tagmemtk lebih ‘tepat, yaitu tenbok (dalam nenulisi tenbok) berfungsi“objek” tetapi berperan “lokatif". Adanya peran itu, jelas dinyatakan oleh sufiks -i dalam menulisi. Seperti halnya, verba menetikkan, verba menuliskan ‘kebenefaktifan' (menulis- kan ibu surat). Seperti halnya, dari dasar petik, kata penulis, penulisan, tulisan ter~ masuk nomina derivasional deverba. Ketiganya juga berbeda secara leksikal karena referernya berbeda sekalipun sama-sana termasuk nomina. Dasar verba yang paradigmanya serupa dengan tulis—di antaranya—ialeh gambar. Suatu hal yeng perlu dijelaskan di sini ialah dasar gambar itu ter~ masuk verba atau nomina, Di dalam paradigma verba (gambar rumah itu!, meng~ gambar, diganbar, dst.), dasar gambar ternasuk verbs. Namun, di dalam hal la~ in (buken gambar, scbuah gambar, gambarku, dst.), dasar gambar termasuk nomina. Cejala perubahan jenis kata secara sinkronis yang tidak dinyatakan dengan pro- sede morfemis tertentu (seperti gambar nomina den gembar verba) itu disebut oleh Schultink scbagai transposisi implisit atau hipostasis (1962:34), disebut olch De Groot sebagai transposisi (saja) (1963;131), disebut oleh Quirk dkk. sebagai konversi (conversion) (1978:978). Dalam menghadapi kasus yang demiki- an (gambar nomina dan ganbar verba) kategori mana yang dianggap sebagai dasar. Dalam hal ini Marchand (1969) meaberi jalan keluar, yaitu kategori yang arti leksikalnya atau definisinya bergantung pada kategori lain dianggap sebagai ha- sil. Karena gambar verba (gambar rumah itu!) berarti ‘perintah membuat gambar 3s7 +', maka 1a tergolong sebagai hasil, sedangkan gambar nomina sebagai dasar. selanjurnya,kite’bust fatadigna’dari dasar Leupar. ee B A c -LEMPARI ~LEMPAR -LEMPARKAN melempari 1, melenpar nelemparkan dilempari 2, dilempar dilemparkan = T kulerpert 3. knlempar kulemporkon, dst. dst. dst. pelempar pelemparen —Lemparan. IL Perbeda;n aataza melempar dengan melempari (atau antara Leksem LEMPAR dengan LEMPARL) severarnya ccrupa dengan perbedaan antara memetik dengan menetiki yaitu terdapat ciri makna 'berkali~kali' pada melenpari. Perbedaan antara melempar: derga1 m>!emparkan (atau antara LEMPAR dengan LEMPARKAN) ialah ter- dapat ciri mekra ‘direktif atau objeknya digerakkan ke ...' pada nelemparkan (aelenparkan patu ke sungad), Ferbedaan yang sunghin dapat ditangkap antara Gas werctik ialah bahwa memetik termasuk tipe monotransitif, se~ dangken nelenr sr : Fermaguk bitransitif (melenpar batu (1) adiknya (2) 'melenper adiimya dengza batu').3 Kata-kata polempar, pelemparan, lemparan juga termasuk nomina deverbal. Ketiganya juga larb-da secara leksikal karena refereanya berbeda. Sekcrang «ta tunjukkan paradigma dari dasar angkat. Dasar itu juga ter- rasuk verba trarsitif (angkat batu itu). IIL B A c BERANGKAT ~ANGKATI + ANGKAT --—-—~ —> -ANGKATAN mengangkati, 1, mengangkat mengangkatkan BERANGKATSAN diangkatd, 2, ddangkat dfangkatkan 1 1, menberengkatian dst. 3. dst. dot. 2. diberangkatcan 3. kubezangkatkan —— 4. dst. pengangkat —_ pengangkatan Ir angkatan Ww pemberargkatan v Paradigna yong dibcctuk dari dasar angkat memperlihatkan sejarah pembentukan kata yarg lebih ucik. Pembentukan paradigma I dan II seperti halnya paradigma yang dibontuk cari dasar petik, Perbedaan antara mengangkati dengan mengangkat (atau artara iskse2 ANGKATI dan ANGKAT) serupa dengan perbedaan antara memetiki tik. lemisien pula, perbedaan antara mengangkatkan (batu Amir) dengan if ser:ipa dengan memetikkan dan memetik, Yang perlu dikemukakan di si- f pembertukan leksem BERANGKAT dari Leksem ANGKAT. Leksem BERANGKAT termasvk taktzcasitif. Leksem BERANGKAT kemudian diderivasikan lagi menjadi leksem PEPANCKATKAN dengan sufiks -kan. Leksem BERANGKATKAN termasuk transi~ tif, Bentuk-beatuk kata yang diranalkan terdapat berdasarkan lcksem itu alah menberanrkatkan, diberangkatkan, dan seterusnya. Kata pemberangkatan termasuk nomina derivascnal dari verba memberangkatken. Pemberangkatan berarti ‘hal memberangkatla7". Poradigna berikutnya dari dasar jatuh, yang termasuk verba taktransitif. se B c ~JATURE ~JATUBKAN menjatuhi 1, menjatuhkan dijatuhi 2. dijatuhkan kujatuhi 3. kujatuhkan dst. 4. dst. kejatuhan Perbedaannya dari paradigma yang telah diperiken di atas ialah paradigma dari dasar jatuh tidak mempunyai bentuk-bentuk kata infleksional (*menjatuh, *dija- tuh, dst.) pada kolom A. Alasannya, leksem JATUF termasuk taktransitif. Lek- ‘sem JATUHT dan JATUBKAN, yang masing-masing termasuk transitif, merupakan de- rivasi dari leksem JATUR. Sufiks ~i pada JATUSI menyatakan ‘ketransitifan’ (jatuhi_dia buah kelapa), sedangkan ~ken vada JATURKAN menyatakan kausatif Gatuhicen "perbuat egar jetuh'). Verbs menjatuhi (B, 1) termasuk tipe bitran- sitif (Genjatuhi dia (1) bush kelapa (2) ‘menjatuhi dia dengan buah kelapa’), sedangkan menjatuhkan termasuk tipe monotransitif dan menyatakan ‘kausatif'. Di samping itu, di dalam kolom B terdapat verba kejatuhan yang menyatakan ke~ aksidentalan ateu ketaksengajaan. Misalnya, dia kejatuhan buah kelapa. "Dia" berperan sebagai 'pasien’, sedangkan "buah kelapa” berveran ‘instrumental’. Hal itu berbeda dari verba kedatangan tamu yang juga menyatakan ‘hal yang tak diharapkan atau diduga'. Dalam kasus itu, “tamu’ berperan sebagai 'pelaku’. Verba yang tidek mempunyai bentuk-bentuk: me(N)~D, di-D, ku-D, dan seterusnya itu barangkali dapat dimasukkan ke dalam kelas yang berbeda dari yang mempu~ nyainya (D = dasar). Terakhir, kami kemukakan paradigma yang dibentuk dari dasar lari. Verba Jari termasuk taktransitif. A c TARL ~IARIKAN lari melarikan berlarian berlari dilarikan dst. pelari, pelarian Dari leksem IARI dibentuk bentuk~bentuk kata lari, berlari. Pada dasarnya, tida!: “ccdapat perbedaan referen antara Jari dan berlari sehingga termasuk infleksional. Sebaliknya, leksem IARIKAN termasuk transitif dan merupakan derivasi dari leksem IARI. Terdanatnya bentuk-bentuk kata melarixan dila kan, kularikan bersifat dapat diramalkan. Verba berlarian merupakan pemben- tukan derivasional dari IARI karena berlsrien menyatakan "keberkali-kalian (deagan iirama yang bervariasi) (baik pelakunya seorang maupun lebih)'. Dengan demikian, situasi yang ditunjuk oleh berlarian berbeda dari lari maupun berla~ rh. Kata-kata pelari, pelarian termasuk nomina derivasional deverbal. Berda- sarkan pertinbangan semantisnye, kedua kata itu merupakan derivasi dari KK berlari (pelari ‘orang yang tergolong jago leri atau profesinya berlari’, pe~ darian 'bersangkut-paut dengan perbuatan berlsri'), 4, Perutup Bagainanapun juga, pemerian ini masih dalam tahap aval untuk memerikan sistem norfologi bahasa Indonesia secara lebih tuntag, Dengan adanya pemahaman terha~ dap konsep infleksi dan derivasi yang lebih dipertajam berdasarkan kepustakaan lingvistik mutakhir, kite berharap dapat menangkap jiva dan semangat dari kon- sep itu den menerapkannya pada bahasa kita sesuai dengan sistem yang terdapat 59 i dalam bahasa itu sendiri. Setidak-tidaknya, pemahaman terhadap pembentuk- an kata yang bersifat derivasional di dalam bahasa kita dapat lebih diperta~ jam. Saya harapkan pula adanya penelitien yang lebih mendalem terhadap sistem morfologi verba bahasa Indonesia berdasarkan paradigmanya sehingga dimungkin~ kan dibuat klasifikasi dan subklasifikasi verba itu. Dalam pada itu, untuk memerikan dan menjelaskan lebih lenjut identitas verba bahasa Indonesia saya sarankan pula kit memanfaatkan beberapa segi tertentu pendekatan semantis berdasarkan Chafe (1970), sebagaimana sejauh ini telah mulai dicoba oleh Dar- Ajowidjojo (1983). CATATAN Jyengertian keta menurut Marchand di sini sama dengan pengertian lekeem me~ nurut Matthews (1974), yaitu satuan atau unit yang fundamental dari leksikon suatu bahasa. Misalnya, dalam bahasa Inggris bentuk-bentuk kata: die, dies, died, dying adalah bentuk-bentuk kata yang berbeda dari leksem DIE ‘mati (1974222). -sebagaimana telah diisyaratkan oleh Uhlenbeck (1978.117) untuk dapt memeri- kan identitas kata secara morfemis, kita harus memisahkan fenomena morfemis dari fenomena yang semata-mata morfofonemis., Nomina petikan secara morfemis dapat dinyataken scbagai nomina derivasi dari verba memetik, di mana ~an me~ nyatakan "hasil ...', tetapi secara morfofonemis dapat diperikan sebagai: peti? + an yang di dalam mengalami variasi alofonis 1 --> { di dalam pat{?an, seperti halrya tari? -> tar{?an. 3sebuah verba termasuk tipe bitransitif atau ditransitif apabila berkemungkin- an didikuti dua konplemen frasa nomina (bandingkan Quirk dkk., 1978:39). Urutan kedua komplemen itu dapat saling dibalikkan tanpa mengubah informasi kalimat atau salah sebuah menjadi subjek di dalam pemasifan, ‘pertan lebih 1aaji+ perihal verba bentuk ke-D-an lihat tulisan Dardjowidjojo (1983, Bab IV). Sperian secara denikian, sejauh ini diketahui baru dilakukan oleh Edi Subroto mengenai bahasa Jawa (1985). 60 SUMBER RUJUXAN PUSTAKA Aronoff, Mark 1981, Word Formation in Generative Grammar. Cambridge, Massachussetts: The MIT Press Bauer, L. 1983. English Word Formation. Cambridge: Cambridge Univ. Press. Chafe, W.L. 1970, Meaning and the Structure of Language. Chicago: Univ. of Chicago Press. Dardjowidjojo, S, 1983, Beberapa Aspek Linguistik Indonesia, Jakarta: Djambatan. Edi Subrto, D. 1982. "Verba Bentuk Me (N)--D, Me(N)~D-i, Me (N)-D-kan dalam Bahasa Indonesia". Dalam Harimurti dridalaksana dan Anton H. Moeliono (editor). Pelangi Bahasa. Jakarta: Bhratara. - 1985. Transposisi dari Adjektiva Menjadi Verba dan Scbaliknya dalam Bahasa Jawa. Disertasi Universitas Indonesia. Harimurti Kridaiaksana 1984, Rintisan dalam Linguistik Indonesia I. Jaker- ta: Fak. Sastra Universitas Indonesia. Matthews, P.H. 1974, Morphology, An Introduction to the Theory of Word- structure. Cambridge: Cambridge University Press. Maa, E . Morphology, The Descriptive Analysis of Words. Ann Arbor: The University of Michigan Press. Sudaryanto 1984. Linguistik. Esai tentang Bahasa dan Pengantar ke dalam Ilmu Bahasa. “Yogyakarta? Gadjah Mada University Press. Simatupang, M.D.S. 1963, Reduplikasi Morfemis Bahasa Indonesia. Jakarta: Djambatan. Unlenbeck, E.M. 1978 Studies in Javanese Morphology. The Hague: Koninklijk Inst. voor Taal-, Land- en Volkenkunde. Verhaar, J.W.M. 1977. Pengantar Linguistik I. Yogyakarta: Gadjah Mada Uni~ versity Press. 61

You might also like