You are on page 1of 17

Tim Curry at least noted there are five characteristics of universal religions, there are :

a. The trust. It could be said that trust is the most basic things in every religion. Trust in all
things in religion are issues relating to the disciplines of theology. For example, trust in
the existence of heaven and hell become one of the factors that encourage people to do a
series of specific religious or communal ritual.
b. Sacred and Profane. According to Durkheim, all religions differentiate the world into
two major domains: sacred and profane. Something called the sacred is anything that has
meaning and supernatural qualities. As for the profane is something that is seen as part of
daily life. Because of the wide scope of the definition so it is very possible overlap in the
community about the classification of something as sacred or profane. It may be that in a
society or religion is seen as a sacred thing, but for the community or any other religion is
seen as something profane.
c. Ritual and ceremony. All religions have some form of behavior that is routinely
performed as an expression and reinforcement of faith. Therefore, all religions have the
ritual. For followers of the religion, ritual and ceremony are something important related
to the issue of worship. As for the sociologist, considered some of the rituals help bind
people together in society. Rituals allow the emergence of social solidarity even though
there are many differences between them.
d. Moral community. Religion is an organization formed by a group of people who have the
same beliefs and values. There is the same value which is then reinforced by the
institutionalization of sanctions for violations of these values have formed a community
that can survive from generation to generation.
e. Personal experience. Personal experience obtained through the faith can give meaning to
human life and even sometimes able to solve out the personal issues at hand, especially
related to mental therapy.
Although each religion has five characteristics above, but we must remember that every
religion has a different emphasis on the five characteristics. There are very rich in religious
rituals and ceremonies, but there is also a religion that gives less attention to it.
Permasalahan antar kelompok agama baru-baru ini menjadi perhatian dari berbagai pihak
dan kalangan di Indonesia. Pemerintah dan lembaga-lembaga tertentu yang berada di Indonesia
melakukan berbagai usaha dalam menjawab permasalah hubungan antar kelompok agama ini,
yang pada dasarnya adalah wilayah yang terbungkus oleh lingkungan multikultural. Akan tetapi,
dalam pandangan masyarakat awam, langkah yang ditempuh oleh pihak-pihak yang harus
bertanggung jawab tersebut, terkesan tidak memberikan hasil. Hal ini dinilai dari fakta dan
realita yang ada, terutama yang diketahui dari berbagai media massa, bahwa masalah konflik
antar kelompok ini tidak pernah menemukan titik temu untuk menyatakan damai.

Salah satu masalah yang sangat sensitif, berhubungan dengan konflik antar kelompok ini, adalah
permasalahan konflik antar pemeluk agama. Bahkan dalam beberapa kasus telah terjadi proses
kriminalisasi terhadap kelompok-kelompok minoritas oleh kelompok dominan, dengan
mempermasalahkan penodaan suatu agama dan mengganggu ketertiban umum.

Memang sungguh sangat meneydihkan hampir setiap hari menyaksikan berbagai persoalan
menyangkut hubungan antar agama didunia. Such as konflik Muslim dan Kristen di Mesir,
mulim rongya di Myanmar, muslim di Nigeria, and many other. Even in Indonesia.

After almost twenty years I stand on this country, Indonesia, that known as miniature krukunan
antar agama di dunia, suddenly kesan itu hancur setelah meledaknya berbagai konflik bernuansa
agama. Ditengah-tengah kerukunan, ternyata tersimpan bom waktu yang setiap saat bisa
meledak. Pemerintah memang sudah berupaya melakukan harmonisasi dan mencegah
terulanginya konflik antar agama. Namun justru berdampak sebaliknya. Jika yang diharapkan
dengan intervensi dan regulasi adalah keteraturan dan situasi harmonis, maka yang muncul justru
gejolak, konflik, dan makin maraknya radikalisasi agama. Penyerangan terhadap kaum muslim ,
pemerkosaan, pembakaran gereja, sampai ribuan nyawa melayang dengan mengatasnamakan
agama. Sungguh sangat irosnis. Sehingga kita mulai menanyakan :untuk apa ada agama kalau
para pengikutnya justru saling berperang dan menghancurkan ? dimana Tuhan ketika para
pekerjanya saling membunuh dan sling menghancurkan atas namanya ? bukankah Tuhan
memiliki kekuasaan untuk menghentikan semua ni ? agama kemudian berkembang dengan
rasionalitasnya sendiri yang sangat irrasional bagai penyebaran waham secara massif. Agama
seakan bangkit bukan untuk menebar kedamaian tapi justru menyebarkan kekerasan dan
permusuhan manusia.

For the first, I would like to tell more about the source of problem : Faith. If we just
Mendefinisikan agama secara komprehensif yang mampu merangkum semua aspek nampaknya
menjadi suatu permasalahan yang pelik bahkan mustahil untuk dilakukan mengingat luasnya
aspek yang terkandung dalam agama itu sendiri. Elizabeth K. Nottingham, misalnya,
menyatakan bahwa tidak ada definisi tentang agama yang benar-benar memuaskan karena agama
dalam keanekaragamannya yang hampir tidak dapat dibayangkan itu memerlukan deskripsi
(penggambaran) dan bukan definisi (batasan).
Roland Robertson, membagi definisi tentang agama yang telah dikemukakan oleh
kalangan ilmuan sosial kedalam dua model definisi: yang inklusif dan yang eksklusif. Definisi
inklusif memberikan suatu rumusan agama dalam arti yang seluas-luasnya, yang memandang
agama sebagai setiap sistem kepercayaan dan ritual yang diresapi dengan kesucian atau yang
diorientasikan kepada penderitaan manusia yang abadi. Kalangan ilmuan sosial yang memiliki
pandangan inklusif pada umumnya melihat agama bukan saja sebagai sistem-sistem teistik yang
diorganisasi seputar konsep tentang kekuatan supernatural, tetapi juga berbagai sistem
kepercayaan non-teistik seperti komunisme, nasionalisme, atau humanisme.
According to Durkheim, Suatu agama ialah suatu sistem kepercayaan yang disatukan
oleh praktek-praktek yang bertalian dengan hal-hal yang suci, yaitu hal-hal yang dibolehkan dan
dilarang kepercayaan dan praktek-praktek yang mempersatukan suatu komunitas moral yang
disebut Gereja, semua mereka yang terpaut satu sama lain. Artinya , salah satu karakteristik
agama yang penting adalah bahwa agama itu diorientasikan kepada sesuatu yang dirumuskan
oleh manusia sebagai sesuatu yang suci (sacred) yang berlawanan dengan dunia dalam
kehidupan sehari-hari (profan).
He also explained that Agama merupakan seperangkat bentuk dan tindakan simbolik
yang menghubungkan manusia dengan kondisi akhir wksistensinya. Agama dapat dirumuskan
sebagai suatu sistem kepercayaan dan praktek dimana suatu kelompok manusia berjuang
menghadapi masalah-masalah akhir kehidupan manusia. Artinya,, agama, diatas segala-galanya,
diorientasikan kepada penderitaan akhir (ultimate concerns) umat manusia. Dalam hal ini,
penderitaan akhir menurut konsepsi Yinger berarti bahwa keprihatinan yang berkaitan dengan
kenyataan adanya kematian, perlunya mengatasi frustasi, penderitaan, tragedi, permusuhan dan
egosentrisme serta kekuatan yangmembahayakan kehidupan kita, dan lain-lain, merupakan
esensi dari agama itu sendiri.
Sebaliknya definisi eksklusif membatasi istilah agama itu kepada sistem-sistem
kepercayaan yang mempostulatkan eksistensi makhluk, kekuasaan, atau kekuatan supernatural.
Agama adalah suatu sistem kepercayaan dan praktek yang terorganisasi, yang didasarkan pada
keyakinan yang tidak terbukti, yang mempostulatkan adanya makhluk-makhluk, kekuasaan, atau
kekuatan supernatural yang menguasai dunia fisik dan social . Ada 3 elemen pokok dalam
definisi eksklusif : Pertama, agama selalu meliputi seperangkat ritual atau praktek maupun
seperangkat kepercayaan yang terorganisasi secara sosial dan dierlakukan oleh anggota-anggota
suatu masyarakat. Kedua, kepercayaan tersebut dipandang benar hanya berdasarkan keyakinan,
sehingga pada umumnya tidak terdapat keinginan untuk memvaliditaskannya dalam arti empiris.
Ketiga, agama selalu mencakup konsep dunia eksistensi supernatural yang berada diatas dan
dibalik dunia kehidupan sehari-hari, yang dapat diketahui, dan alamiah.
Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata a berarti tidak dan gama berarti
kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan berarti sesuatu yang tidak kacau. Jadi fungsi agama
dalam pengertian ini memelihara integritas dari seorang atau sekelompok orang agar
hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam sekitarnya tidak kacau. Karena itu menurut
Hinduisme, agama sebagai kata benda berfungsi memelihara integritas dari seseorang atau
sekelompok orang agar hubungannya dengan realitas tertinggi, sesama manusia dan alam
sekitarnya. Ketidak kacauan itu disebabkan oleh penerapan peraturan agama tentang
moralitas,nilai-nilai kehidupan yang perlu dipegang, dimaknai dan diberlakukan.
Agama itu timbul sebagai jawaban manusia atas penampakan realitas tertinggi secara
misterius yang menakutkan tapi sekaligus mempesonakan Dalam pertemuan itu manusia tidak
berdiam diri, ia harus atau terdesak secara batiniah untuk merespons.Dalam kaitan ini ada juga
yang mengartikan religare dalam arti melihat kembali kebelakang kepada hal-hal yang berkaitan
dengan perbuatan tuhan yang harus diresponnya untuk menjadi pedoman dalam hidupnya.
Suatu agama ialah suatu sistem kepercayaan yang disatukan oleh praktek-praktek yang
bertalian dengan hal-hal yang suci, yaitu hal-hal yang dibolehkan dan dilarang kepercayaan
dan praktek-praktek yang mempersatukan suatu komunitas moral yang disebut Gereja, semua
mereka yang terpaut satu sama lain. Agama dapat dirumuskan sebagai suatu sistem kepercayaan
dan praktek dimana suatu kelompok manusia berjuang menghadapi masalah-masalah akhir
kehidupan manusia. Agama merupakan seperangkat kepercayaan dan simbol-simbol (dan nilai-
nilai yang secara langsung diperoleh dari situ) yang bertalian dengan pembedaan antara suatu
realitas transenden yang empiris dengan yang superempiris; masalah-masalah empiris disub-
ordinatkan artinya terhadap yang non-empiris.
Agama adalah jenis perilaku yang dapat digolongkan sebagai kepercayaan dan ritual yang
bersangkutan dengan makhluk, kekuasaan, dan kekauatan supernatural. Agama adalah suatu
sistem kepercayaan dan praktek yang terorganisasi, yang didasarkan pada keyakinan yang tidak
terbukti, yang mempostulatkan adanya makhluk-makhluk, kekuasaan, atau kekuatan supernatural
yang menguasai dunia fisik dan social.
Komaruddin Hidayat seperti yang dikutip oleh Muhammad Wahyuni Nifis (Andito ed,
1998:47) lebih memandang agama sebagai kata kerja, yaitu sebagai sikap keberagamaan atau
kesolehan hidup berdasarkan nilai-nilai ke Tuhanan. Dengan agama individu mencapai realitas
yang tertinggi. Brahman dalam Hinduisme, Bodhisatwa dalam Buddhisme Mahayana, sebagai
Yahweh yang diterjemahkan Tuhan Allah (Ulangan 6:3) dalam agama Kristen, Allah subhana
wataala dalam Islam. Sijabat telah merumuskan agama sebagai berikut : Agama adalah
keprihatinan maha luhur dari manusia yang terungkap selaku jawabannya terhadap panggilan
dari yang Maha Kuasa dan Maha Kekal. Keprihatinan yang maha luhur itu diungkapkan dalam
hidup manusia, pribadi atau kelompok terhadap Tuhan, terhadap manusia dan terhadap alam
semesta raya serta isinya
Islam juga mengadopsi kata agama, sebagai terjemahan dari kata Al-Din seperti yang
dimaksudkan dalam Al-Quran surat 3 : 19 ( Zainul Arifin Abbas, 1984 : 4). Agama Islam
disebut Din dan Al-Din, sebagai lembaga Ilahi untuk memimpin manusia untuk mendapatkan
keselamatan dunia dan akhirat. Secara fenomenologis, agama Islam dapat dipandang sebagai
Corpus syariat yang diwajibkan oleh Tuhan yang harus dipatuhinya, karena melalui syariat itu
hubungan manusia dengan Allah menjadi utuh. Cara pandang ini membuat agama berkonotasi
kata benda sebab agama dipandang sebagai himpunan doktrin.
. Tim Curry setidaknya mencatat ada lima karakteristik universal agama, yaitu:
a. Kepercayaan. Bisa dikatakan bahwa kepercayaan merupakan hal yang paling mendasar dalam
setiap agama. Kepercayaan terhadap segala sesuatu dalam agama merupakan permasalahan yang
berkaitan dengan disiplin ilmu teologi. Misalnya, kepercayaan akan adanya surga dan neraka
menjadi salah satu faktor yang mendorong manusia untuk melakukan serangkaiain ibadah atau
ritual tertentu secara komunal.
b. Sacred dan Profane. Menurut Durkheim, semua agama membedakan dunia kedalam dua
domain besar: sacred dan profane. Sesuatu yang disebut sacred adalah segala sesuatu yang
memiliki arti dan kualitas supernatural. Adapun yang profane adalah sesuatu yang dipandang
sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari . Karena begitu luasnya cakupan definisi tersebut
maka sangatlah mungkin terjadi tumpang-tindih di masyarakat tentang penggolongan sesuatu
sebagai yang sacred atau profane. Bisa jadi dalam suatu masyarakat atau agama sesuatu
dipandang sebagai yang sacred tapi bagi masyarakat atau agama lain dipandang sebagai sesuatu
yang profane.
c. Ritual dan Seremoni. Semua agama memiliki beberapa bentuk perilaku yang rutin
dilaksanakan sebagai ekspresi dan penguat iman. Oleh karenanya semua agama memilki ritual.
Bagi pemeluk agama, ritual dan seremoni merupakan sesuatu yang penting berkaitan dengan
masalah peribadatan. Adapun bagi kalangan sosiolog, beberapa ritual dipandang membantu
mengikat orang secara bersama-sama dalam masyarakat. Pelaksanaan ritual memungkinkan
munculnya solidaritas sosial meskipun terdapat banyak perbedaan diantara mereka.
d. Komunitas moral. Agama merupakan suatu organisasi yang dibentuk oleh sekelompok orang
yang memiliki kesamaan kepercayaan dan nilai-nilai. Adanya kesamaan nilai yang kemudian
diperkuat dengan pelembagaan sanksi-sanksi terhadap pelanggaran nilai-nilai tersebut telah
membentk suatu komunitas yang mampu bertahan dari generasi ke generasi berikutnya.
e. Pengalaman pribadi. Pengalaman pribadi yang diperoleh melalui agama dapat memberikan
makna bagi kehidupan manusia bahkan terkadang mampu memcahkan masalah-masalah pribadi
yang sedang dihadapi terutama berkaitan dengan terapi mental.
Meskipun setiap agama memiliki kelima karakteristik diatas, namun kita harus mengingat
bahwa setiap agama memiliki penekanan yang berbeda-beda terhadap kelima karakteristik
tersebut. Ada agama yang sangat kaya dengan ritual dan seremoni, namun ada juga agama yang
hanya memberikan sedikit perhatian pada hal tersebut. Oleh karena itu, berbagai macam
pendekatan telah dikembangkan oleh kalangan sosiolog untuk melihat fenomena keagaman di
masyarakat dengan mendasarkan pada fokus perhatian yang ingin dikaji dari fenomena tersebut.
Secara fundamental, masing-masing agama menawarkan konsep dan membiarkan orang yang
ditawari untuk menggunakan haknya: menerima atau menolak. Maka, akan menjadi irrelevan
ketika kemudian umat beragama mencoba memaksakan kehendak terhadap orang yang berlainan
agama, apalagi dengan jalan kekerasan, intimidasi, teror, agitasi, dan provokasi. atau
menciptakan suasana tidak kondusif yang merusak harmoni kehidupan yang heterogen.
Selamanya agama tidak akan bisa dipaksakan. Ketika agama dipaksakan, yang muncul adalah
sebauh perlawanan balik. Jika ini yang terjadi, yang terlihat dari agama justru wajah seramnya,
bukan wajah santunnya.
Antara ajaran agama dengan sikap pemeluk agama memang tidak selalu selaras. Apa yang
dilakukan oleh pemeluk agama tidak sepenuhnya dapat disebut sebagai representasi dari ajaran
agama yang dipeluknya. Antara ajaran agama dengan fakta umat beragama tidak selalu linear.
Seseorang yang mengaku beragama, tetapi akhlaknya terhadap sesama buruk merupakan sebauh
pertanyaan yang sangat menarik.
Tak dapat dipungiri bahwa agama berperan besar dalam sejumlah konflik di muka bumi.
Wajar bila kemudian AN Wilson menyebut bahwa agama dapat dianggap sebagai penyebab
terjadinya berbagai konflik sosial. Agama telah mendorong seseorang untuk mengagungkan
perasaan dan pendapat sendiri atas pendapat orang lain. Pemelik agama cenderung mengklaim
sebagai pemilik kebenaran. Intinya, dalam suasana ekstrem dan fanatik, agama bisa membawa
manusia terjebak pada situasi saling menganiaya antarsesama.
Kekerasan terhadap pemeluk agama, apalagi pelakunya beragama lain, dari agama mana pun
pelakunya, atau apa pun motifnya, jelas merupakan tindakan yang tidak bisa dibenarkan dan
tidak bisa ditolerir oleh ajaran semau agama.
Dalam bukunya yang berjudul Kekerasan Agama Tanpa Agama, Thomas Santoso
mengatakan bahwa menurut pendapat para ahli biologi, fisiologi, dan psikologi, manusia
melakukan kekerasan karena kecenderungan bawaan (innate) atau sebagai konsekuensi dari
kelainan genetik atau fisiologis. Kelompok pertama (ahli biologi) meneliti hubungan kekerasan
dengan keadaan biologis manusia, namun mereka gagal memperlihatkan faktor-faktor biologis
sebagai penyebab kekerasan. Juga belum ada bukti ilmiah yang menyimpulkan bahwa manusia
dari pembawaannya memang suka kekerasan.
Sebagai contoh, coba perhatikan kasus bentrokan antar muslim-kristen di Mesir. Pertikaian
antara umat Muslim mayoritas dengan minoritas Kristen Koptik memburuk di wilayah Kota
Dashur, 40 kilometer dari Ibu Kota Kairo, Mesir. Kedua pihak hingga berita ini dilansir masih
saling melempar bom molotov dan membakar rumah. Polisi Kota Dashur sampai harus
menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa muslim yang merangsek ke
perkampungan Kristen. Mereka sedianya hendak membakar gereja setempat. Hingga kemarin
malam, tercatat seorang pria tewas, 16 cedera, dan puluhan bangunan serta tiga mobil terbakar,
seperti dilansir BBC, Kamis (2/8). Kerusuhan pecah setelah pertikaian sejak pekan lalu
menyebabkan seorang muslim tewas dua hari lalu. Tidak lama setelah kabar itu menyebar, warga
mayoritas langsung menjarah toko dan rumah milik penganut Kristen Koptik.
Ironisnya, kerusuhan berbau SARA ini terjadi akibat kesalahpahaman kecil. Polisi menyatakan
konflik ini bermula saat seorang muslim mengamuk di binatu. Pegawai laundry itu beragama
Kristen, tidak sengaja membikin kaus milik si pelanggan Islam berlubang lantaran tidak hati-hati
saat menyetrika. Keduanya berkelahi. Rupanya, peristiwa itu berbuntut panjang. Masing-masing
membawa teman dan mulai menyebar isu ada penghinaan terhadap agama Islam.
Agama yang sesungguhnya memiliki arti sangat ideal sebagai perekat tali persaudaraan
ternyata berbalik arah menjadi alat legitimasi perilaku yang amat menakutkan dan mengerikan.
Dalam konteks ini, siapa yang sebenarnya bertanggung jawab atas aksi kekerasan tersebut?
Agama ataukah para penganutnya yang melakukan tindak kekerasan? Tidak ada satu pun agama
di dunia ini yang mengajarkan dan memperbolehkan kekerasan, termasuk di dalam Islam. Agama
hadir untuk menciptakan perdamaian di dunia.
Deretan konflik seakan menunjukkan bahwa agama memiliki peran ganda. Agama
sebagai jalan menuju kemuliaan sekaligus membawa pada jalan peperangan dan berujung pada
kehancuran. Hidup berselimut agama ibarat memeluk dua mata pisau yag sama-sama tajam,
berlawanan, dan berusaha saling menghujam. Dalam perspektif lebih luas, agama dianggap
sebagai penentu jalannya sejarah. Samuel Huntington dengan idenya tentang benturan peradaban
(clash of civilization) menganggap bahwa masa depan akan sangat ditentukan oleh benturan
antara Barat dan Islam, ideologi dan dan kekuasaan.
Realitas sosial menunjukkan bahwa agama kerap mendorong para pengikutnya untuk
membenarkan segala bentuk konflik terhadap agama lain. Konflik besar bisa ditimbulkan agama
manakala doktrin mengeras, yakni mengkristalnya perasaan dan sikap secara eksklusif pada diri
pemeluknya. Sikap ini mengondisikan para pemeluk agama untuk mengklaim bahwa dirinya
yang paling benar. Keyakinan inilah yang kemudian menjadi pemicu konflik.
Konflik sosial juga tidak lepas dari peran agama yang cenderung menerapkan standar ganda
dalam melihat agama lain. Para pemeluk agama kerap menganggap agamanya merupakan ukuran
tertinggi dari sebuah kebenaran. Hal ini kemudian dikontraskan dengan melihat agama lain
memiliki kekurangan atau tidak ideal. Standar ganda itu juga digunakan sebagai alasan pembenar
untuk segala bentuk tindak kekerasan bernuansa agama.
Kekerasan atas nama agama, atau kekerasan yang dimotori oleh embel-embel agama
setidaknya sering terjadi dan mudah sekali terjadi di Indonesia. Agama seolah menjadi titik akhir
harga martabat manusia. Agama perlu dibela, agama perlu dilindungidari intervensi, pengobok-
obakan dan pelecehan dari liyan. Agama seolah menjadi perawan yang harus dijaga oleh orang
tua dari tangan-tangan jahil. Sehingga, menurut penulis, agama bukanlah sumber kedamaian
tetapi agamalah yang harus didamaikan. Dan yang mendaimaikan tak lain adalah umatnya.
So, sebagai umat beragama, apa yang harus kita lakukan untuk meredakan, atau bahkan
melenyapkan konflik antar agama ?
The answer is : change our main set about the old paradigm to the new paradigm. What do you
know about paradigm ? here, let me explain you about what I found about paradigm.
Paradigma, pandangan, persepsi itulah kata bermakna sama yang sering
kita jumpai dalam keseharian. Setiap hari kita tentu memiliki banyak
paradigma/pandangan terhadap sesuatu maupun orang dalam dunia ini.
Tergambar jelas dari bagaimana sebuah respon kita berikan. Begitu
banyaknya sikap dan perilaku yang ditampilan mengkondisikan kehidupan
duniawi yang syarat dengan kompleksitas. Contoh sederhana ketika kita
mendapatkan informasi dari teman tentang seseorang, perilaku atasan
kepada bawahan di kantor, penampilan orang lain, kebiasaan yang
dilakukan orang lain, dan masih banyak lagi stimulus orang lain yang
seringkali merefleksikan sikap dan perilaku kita terhadap kondisi
tersebut. Baik atau buruknya sebuah respon yang kita berikan bergantung
bagaimana persepsi yang berada di otak kepala.
Pahamilah paradigma dan karakter adalah dua sisi yang saling mengikat
satu sama lain. Apa yang kita lihat sangat berkaitan dengan siapa
kita. Menjadi berarti melihat dalam dimensi kemanusiaan. Dan kita tidak
bisa mengubah dapat mengubah cara pandang kita tanpa sekaligus mengubah
keberadaan kita, dan sebaliknya.
Paradigma kita adalah sumber dari mana sikap dan perilaku kita mengalir.
Paradigma sama seperti kacamata, dia mempengaruhi cara kita melihat
segala sesuatu dalam hidup kita. Bila kita melihat sesuatu melalui
paradigma prinsip yang benar, apa yang kita lihat dalam hidup akan
berbeda secara dramatis dengan apa yang kita lihat melalui paradigma
dengan pusat yang lain.
Istilah paradigm pada awalnya berkembang dalam filsafat ilmu pengetahuan. Secara
terminologis, tokoh yang mengembangkan istilah tersebut dalam dunia ilmu pengetahuan adalah
Thomas S. Khun dalam bukunya yang berjudul The Structure of Scientifik Revolution. In his
book, he said that, Paradigm adalah suatu asumsi-asumsi dasar dn teoritis yang umum
( merupakan suatu sumber nilai ) sehingga merupakan suatu sumber hukum. Kuhn juga
menyatakan dalam bukunya bahwa ilmu pengetahuan terikat oleh ruang dan waktu. Artinya,,
suatu paradigm hanya cocok dan sesuia untuk permasalahan yang ada pada saat tertentu saja.
Artinya, paradigm ddapat berubah seiring dengan perkembangan zaman. Hanya saja harus tetap
memandang nilai-nilai murni untuk kepentingan bersama umat manusia.
Menyaisati konflik antar agama yang terjadi in this recent decade, kita mengenal
beberapa paradigm lama yang menjelaskan tentang kompetisi misi agama yang dilakukan untuk
menguasai pasar sendiri dan orang lainsecara tidak sehat dan sering melanggar etika social
bersama.
Dalam paradigm lama, misi sering kali mengundang pertentangan yang membawa
kekerasan dan membangkitkan jihat perang antar pemeluk agama. Agama-agama lebih
menekankan aspek formal, ritual, simbolik, dan karenanya dogmatis dari doktrin
agama. Dari semua paradigm lama itu, seharusnya kita memulai untuk memuat
suatu paradigm baru dalam hal agama dan antar agama.dan sekarang, timbul
suatu pertanyaan mengenai, apa yang seharusnya menjadi paradigm barau untuk
mengatasi konflik antar agama ? jawabannya adalah : pluralism.
pluralisme agama adalah suatu kenyataan bahwa kita adalah berbeda-beda,

beragam dan plural dalam hal beragama. Ini adalah kenyataan sosial, sesuatu yang

niscaya dan tidak dapat dipungkiri lagi. Dalam kenyataan sosial, kita telah memeluk

agama yang berbeda-beda. Pengakuan terhadap adanya pluralisme agama secara

sosiologis ini merupakan pluralisme yang paling sederhana, karena pengakuan ini

tidak berarti mengizinkan pengakuan terhadap kebenaran teologi atau bahkan etika

dari agama lain.

Konsep pluralisme agama bukan menyamakan ajaran semua agama, tetapi mengarahkan

pemeluk agama untuk menghargai dan menghormati pemeluk agama lain dengan memahami

bahwa pemeluk agama lain juga memiliki keyakinan yang sama tentang kebenaran agama

yang dipeluk atau dianutnya, seperti keyakinannya terhadap agama yang dipeluknya. Masing-

masing pemeluk agama itu meyakini adanya Tuhan, dan karena keyakinan itulah mereka

beragama. Tetapi, apakah dengan keragaman agama itu Tuhan berarti juga sebanyak itu?

Masing-masing agama meyakini bahwa Tuhan itu satu, tetapi memiliki sifat-sifat yang lebih dari
satu yang sering dianggap oleh orang yang berlainan agama sebagai Tuhan yang lain atau

Tuhan berbilang

Secara psikologis perkembangan atas gagasan pluralisme lahir sebagai trauma

Barat atas doktrin-doktrin yang ketat dari gereja Katolik, yang menyentuh tidak hanya

relung religius dari masyarakat melainkan sampai kepada kehidupan sosial dengan

mewujudkan dirinya dalam sebuah kekuasaan Negara. Hegemoni Paus dan gereja,

pada saat itu justru memunculkan semangat baru dari masyarakat untuk mewujudkan

dirinya dalam sebuah Nation-State. Dimulai dengan pemikiran filosofis Machiavelli (The

Prince), Gerakan ini kemudian memuncak pada pencarian bagi kebebasan sosial dan

politik dalam Revolusi Prancis yang agung (1789-1799) dengan semangat Liberte,

Egalite, Fraternite ou la mart. Sejak saat itulah pluralisme mengejawantah dalam

karya-karya dari Rousseau, Voltaire, De Secondat ataupun Montesqiueu.

Akan tetapi pendapat lain juga muncul berkaitan dengan kelahiran gagasan

pluralisme, bahwa pluralisme merupakan hukum Tuhan bagi umatNya yang berlaku

secara tetap dan abadi, sehingga tidak mungkin untuk dirubah ataupun diingkari.

Sebagaimana tercantum dalam Al Quran (49:13) : Manusia diciptakan berbangsa-

bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan menghargai. Pola

pluralitas selalu memerlukan adanya titik temu dalam nilai kesamaan dari semua

kelompok yang ada. Sementara dari sudut pandang Islam, mencari dan menemukan

titik kesamaan itu adalah bagian dari ajarannya yang sangat penting.

Pluralisme mengandung berbagai macam definisi yang berkembang terus sampai

saat ini. Sebagaimana Raimundo Panikkar yang memberikan penjelasan bahwa

pluralisme tidak hanya bermakna sebagai sebuah pluralitas belaka ataupun sebuah
reduksi pluralitas dari suatu unitas. Sehingga pluralisme bermakna lebih dari sekedar

menerima keberadaan realitas plural yang ada di dunia ataupun bukan sekedar

memandang pluralisme hanya sebagai sebuah paham tentang pluralitas. Pluralisme

agama, dengan demikian menerima aspek irreconcilable dari agama-agama dengan

tanpa menutup unsur common aspect yang dimiliki bersama. Sedangkan John Cobb

memaknai pluralisme agama dengan menjelaskan bahwa agama-agama lain mungkin

berbicara secara berbeda dengan agama kita tetapi tetap dimungkinkan bahwa mereka

juga memiliki kebenaran yang sama validnya dengan agama kita. Kebenaran agama,

oleh karenanya, tidak dimonopoli oleh satu agama saja akan tetapi bersifat plural.

Nurcholish Madjid menerjemahkan pluralisme sebagai suatu sistem nilai yang

memandang secara positif optimis terhadap kemajemukan itu sendiri, dengan

menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan

itu. Atau dengan kata lain pluralisme dapat dimaknai sebagai sebuah paham yang

menegaskan bahwa perbedaan-perbedaan yang ada di antara manusia merupakan

sebuah keniscayaan yang harus diterima. Sedangkan Osman lebih menegaskan bahwa

pluralisme adalah bentuk kelembagaan di mana penerimaan terhadap keragaman

melingkupi masyarakat tertentu atau dunia secara keseluruhan. Sehingga makna

pluralisme lebih dari sekedar toleransi moral atau koeksistensi pasif. Karena toleransi

adalah persoalan kebiasaan dan perasaan pribadi, sedangkan koeksistensi adalah

semata-mata penerimaan terhadap pihak lain yang tidak melampaui ketiadaan konflik.

Mungkin bisa dikatakan bahwa tidak ada sumber teologis yang dapat menggambarkan

secara pasti mengenai Tuhan itu sendiri, keinginan-Nya dan tujuan-Nya, sejak manusia

berhubungan dengan Tuhannya melalui wahyu.


John Hick yang memaknai pluralisme agama dengan menjelaskan bahwa agama-

agama lain adalah jalan yang sama validnya dengan agama yang kita anut, dalam

wujudnya untuk mencapai suatu kebenaran. Hicks justru lebih menekankan pentingnya

sisi soteriologis dari sumber-sumber teologis agama untuk memproduksi moralitas dan

etika positif bagi para penganutnya, dengan secara sesungguhnya menuju ke titik akhir

yang sama yakni kebenaran dan kebaikan,lebih daripada memperbesar jurang

keyakinan bersama. Pandangan Hicks mengenai pluralisme agama ini memiliki sisi lain,

selain sisi soteriologis, yakni pluralisme religius normatif sebagai suatu doktrin bahwa

secara moral, umat beragama wajib untuk menghargai sesama pemeluk agama

lainnya. Pada sisi ini Hicks mengajak seluruh umat beragama untuk mengembangkan

semangat toleransi. Sedangkan pada sisi berikutnya Hicks memfokuskan pada

pluralisme religius epistemologis, yang dimaknai sebagai tidak ada klaim tunggal atas

kebenaran dari sebuah agama saja. Sehingga secara keseluruhan, Hicks mencoba

menawarkan paham pluralisme sebagai sebuah pengembangan atas inklusivisme yang

dengannya seluruh agama adalah jalan yang berbeda-beda namun menuju satu tujuan

yang sama yakni kebenaran dan kebaikan.

Pengakuan pluralisme secara sosiologis ini juga dikemukakan oleh Mukti Ali.

Mukti Ali secara sosial tidak mempersoalkan adanya pluralisme, dalam pengakuan-

pengakutan sosial, tetapi ia sangat tegas dalam hal-hal teologis. Ia menegaskan

bahwa keyakinan terhadap hal-hal teologis tidak bisa dipakai hukum kompromistis.

Oleh karena itu, dalam satu persoalan (objek) yang sama, masing-masing pemeluk

agama memiliki sudut pandang yang berbeda-beda, misalnya pandangan tentang

al-Quran, Bibel, Nabi Muhammad, Yesus dan Mariam.


Agama adalah suatu ajaran tentang perdamaian. Jadi sangat mengherankan jika ada
suatu agama tertentu yang menghalalkan adanya kekerasan. Kekerasan hanya semakin
membuat kita menjauh dari esensi dasar ajaran ketuhanan. Dalam agama yang paling di
junjung tinggi adalah sikap toleransi antar sesama. Jadi jika ada agama yang mengajarkan
bukan sikap toleransi bisa jadi agama tersebut bukanlah dapat di sebut agama. Bisa jadi
mereka hanyalah aliran atau sekte-sekte yang menjauh dari ajaran dasar sebuah agama dan
berusaha menggangu kestabilan kehidupan bermasyarakat.
Indonesia adalah negara multietnis dan multiagama dengan ragam variasi budaya dan
model-model pemahaman dan praktikal keagamaan yang tidak homogen. Disharmoni dengan
begitu akan sangat rawan terjadi. Agama adalah kebenaran, demikian para pemeluknya
menyebutnya, sehingga berkonsekuensi pada anggapan ketersesatan seseorang yang tidak
memegang teguh agama atau orang di luar agamanya. Maka, terbentuklah semacam blok atau
wilayah-wilayah agama yang melahirkan dikotomi: kami atau mereka. Nyaris tidak ada
jembatan yang mengantarkan kami dan mereka pada satu titik persamaan.
Jadi dapat dikatakan bahwa agama dan pluralisme adalah suatu hal yang sangat

selaras dan relevan dengan konsep masyarakat di Indonesia sekarang ini. Meskipun

kenyataan yang ada di lapangan bahwa konsep pluralisme ini menjadi barang yang

mahal di temui di Indonesia yang dalam tanda kutip sedang krisis kepercayaan

terhadap orang lain. Meskipun begitu, pluralisme masih disuarakan oleh beberapa

kalangan walaupun masih menjadi opini yang belum di galakkan.

But, suddenly, timbul pertanyaan. Saya pernah menonton sebuah film, but I forgot

about the tittle. The actor said that : semua pekerja disini tidak bernah berdamai ( this

stiry was about buruh multietnis yang bekerja dalam pembangunan jalan dan jembatan

di Afrika ). Mereka tidak pernah bisa berdamai karena terdiri dari suku, ras, dan agama

yang berbeda-beda. Mulai dari hal yg specific, misalnya menurut suku Indian, sapi

adalah hewan suci dan dan dilarang untuk membunuhnya. sementara para orang

muslim justru mengkonsumsi sapi bahkan digunakan sebagai hewan kurban. So, thats
why, mereka tidak pernah berdamai dan selalu terlibat aksi perkelahian antara kedua

kubu ini.

So, what do you think about that case ? is it possible to make a pluralism ?? the

answer is : its depend. Jika kamu lebih memilih menyaksikan saudaramu mati karna

perang atas perbedaan agama, ataou menyaksikan ribuan chidren dan orang tua mati,

geraja, mesjid, wihara terbakar, or many things that I cannt mention here, because its

very hard for me to imagine the situation in my head, youl be my guest to answer : its

impossible for plurasim. But , jika kamu lebih memilih untuk berdamai, hidup

berdampingan bersama umat berbeda agama, ras, suku, bangsa, menerima segala

perbedaan, menghargai, menghormati satu sama lin, hidup dalam harmoni , silahan

stnd up on your chair, rise your right hand, dan teriakkan : Im possible for pluralism.

Ya, I know that Semua individu meyakini adanya Tuhan, bahkan orang yang menyebut

dirinya atheis sekali pun. Tetapi, dalam mempersepsikan Tuhan, masing-masing individu

berbeda. Ini hal natural dalam diri manusia. Dan keberadaaan agama-agama yang beragam

secara terang menunjukkan bagaimana persepsi tentang Tuhan yang berbeda-beda itu

menemukan relevansinya. Maka beragama tidak mungkin dipaksakan, karena itu berarti sama

dengan penjajahan atas nama Tuhan dalam persepsi orang lain.

Adanya perbedaan agama-agama itu bukan berarti tidak ada titik temu yang

dapat melahirkan mutual understanding di antara mereka. Titik temu itu bisa

berupa kesatuan yang bersifat social, teologis dan etis (moral). Selain itu, titik temu

bukan hanya berarti dimensi eksoteris (lahiriyah) agama-agama, tetapi juga

dimensi esoterisnya (batinnya).


Tantangan terbesar yang dihadapi oleh agama pada era modern ini bukanlah
datang dari kaum ateis, melainkan justru dari para penganutnya sendiri, yang
secara lantang meneriakkan Tuhan di berbagai momen-momen kekerasan. Dan
dengan atas nama Tuhan pula, para pengikut agama ini melakukan tindakan-
tindakan yang justru diharamkan oleh agama. Mulai dari pertarungan Katolik-
Protestan di Irlandia, Perang Bosnia-Serbia, Konflik Hindu-Islam di India, Teror gas
sharin Aum Shinrikyo di subway Tokyo, Peristiwa WTC 9/11, Teror bom di subway
London oleh Hizbut Tahrir, Bom Bali I & II dan Bom Marriot di Jakarta sampai dengan
kebangkitan fundamentalisme kristen Jesus camp di Texas, ceramah-ceramah Pat
Robertson, Jerry Falwell dan Billy Grahama di Amerika, dan semangat one nation
oleh Paulinne Hanson di Australia, yang kesemuanya mengatasnamakan Tuhan dan
memaknainya sebagai sebuah tugas suci yang harus dituntaskan, menjadikan
agama begitu agresif dan garang. Kekerasan dan agama menjadi sebuah sinonim
yang memberi warna hitam pada abad modern ini dengan semburan darah dan
hilangnya nyawa manusia secara sia-sia.

I do really agree tentang pendapat Mukti Ali yang menyatakan tentang agree in
disagreement (setuju dalam perbedaan), yaitu percaya bahwa agama yang dipeluk
itulah agama yang paling baik, dan mempersilahkan orang lain untuk mempercayai
bahwa agama yang dipeluknya adalah agama yang paling baik. Diyakini bahwa antara
satu agama dan agama lainnya, selain terdapat perbedaan, juga terdapat persamaan.
jalan inilah yang penting ditempuh untuk menimbulkan kerukunan hidup beragama.
Orang yang beragama harus percaya bahwa agama yang ia peluk itulah agama yang
paling baik dan paling benar, dan orang lain juga dipersilahkan, bahkan dihargai,
untuk percaya dan yakin bahwa agama yang dipeluknya adalah agama yang paling
baik dan paling benar.

Agama adalah hal-hal yang dapat melahirkan perdamaian antar sesama. Konsep
pluralisme mangatakan agama adalah alat penyatu bangsa dan bangsa yang besar adalah
bangsa yang lahir dari banyaknya perbedaan dalam hal ini adalah konsep multicultural dan
multietnis. Pluralisme dan agama menawarkan jalan hidup menuju peradaban yang serasi dan
seimbang. Pluralisme harus dipahami sebagai jalan hidup yang memaknai sebuah pertalian
sejati keberagaman dalam suatu peradaban. Yang tentunya berakhir pada jalan keselamatan
bersama umat manusia, dengan mendasarkan dirinya pada persaudaraan, kesetaraan,
pengawasan dan perimbangan guna memelihara keutuhan peradaban manusia. Jadi pluralisme
ini adalah satu kata yang sangat sederhana tapi dalam implementasi dikehidupan nyata
sangatlah sulit.

Konsep paradigm baru mengenai pluralism yang saya tawarkan meliputi : 1. kompetisi
harus berjalan secara sehat dan menaati hukum yang disepakati. Di tengah
perbedaan agama dan spiritualitas, setiap pemeluk dituntut berkompetisi
menjalankan kebaikan (fastabiqul khairat). Dalam paradigma baru orientasinya
adalah pengembangan internal umat (intensity of the quality of both devotion to
God and righteous living) dan konversi dalam komunitas serta tradisi sendiri
(conversion within ones own community and tradition). Dalam paradigma baru ini,
selama seseorang merasakan dia adalah obyek kepentingan terselubung (vested
interest) hanya demi alasan-alasan politis atau tujuan-tujuan konversi, maka tidak
akan ada kontak alami manusiawi (human natural contact), yang merupakan
prasyarat penting pertemuan antaragama. 2. dalam paradigma baru kegiatan misi
agama harus membawa persaudaraan universal (human brotherhood, ukhuwah
basyariah). Ajakan agama-agama harus lebih mengacu kepada keyakinan yang
fitrah dan sejati, tidak semu dan penuh kemunafikan. Ini juga seharusnya membawa
kepada wacana etika kemanusiaan global, untuk menjawab isu-isu global dan lintas
agama, seperti ekonomi, lingkungan, moral, HAM, dan sebagainya. 3. Imbauan
agama-agama sebaiknya mengacu pada platform bersama (common platform,
kalimatun sawa), bukan pada perbedaan-perbedaan. Bahkan sejalan dengan
paradigma baru ini, kini sedang dikembangkan theology of religions, yaitu teologi
yang tidak hanya milik satu agama, tetapi semua agama. Begitu pula sedang
dikembangkan teologi pluralis dan teologi transformatif, selain teologi eksklusif dan
inklusif yang sudah dipegang mayoritas umat beragama. 5. Peranan Tokoh.Dalam
mengatasi krisi toleransi antar umat beragama ini peranan para tokoh pemuka
agama maupun tokoh adat dan pemerintahan sangat diperlukan sebagai penengah
maupun menjadi panutan untuk para anggotanya, oleh karena itu sangat
diharapkan para pemuka agama untuk tidak bersifat fanatik atupun rasialis
terhadap agama maupun suku lainnya.

Perubahan paradigma baru mengubah kita ke arah yang positif,


entah bersifat spontan atau bertahap, perubahan paradigma ini akan menggerakan
dari satu cara melihat dunia ke cara yang lain. Dan perubahan paradigma
tersebut menghasilkan perubahan yang kuat.

As young generation, mari kita satukan kekuatan kita, bahu membahu berusaha
mencipkaan pluralism dalam keanekaragaman agama, suku, ras, dan budaya kita.
Yeah, I know it mustbe very hard to getting start, because if this is not from now,
when ? so just start change your mind set about old paradigm, to the the new
paradigm about pluralism. Starting after you read this text. Starting open your mind
to all the differences that you found, and try to accept them, feel , and enjoy it. Feel
the beauty of life in the peaceful.

Really wish that we will always mutualism in Semoga kita selalu dapat hidup
berdampingan dengan keimanan dan lindungan Tuhan, serta dalam harmonisasi
kedamaian.

You might also like