You are on page 1of 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Debu merupakan partikel padat berukuran 75 m yang dapat terhirup melalui

hidung (ISO 4225 - ISO, 1994) . Dalam debu rumah terdapat tungau debu rumah

yang dapat ditemukan pada kasur , bantal , guling , karpet serta perabotan lain .

Sumber terbanyak tungau debu rumah yaitu pada debu kamar terutama tempat

tidur ( Sungkar,2004).

Tungau Debu Rumah (TDR) merupakan tungau yang berasal dari filum

Arthropoda, kelas Arachnida, ordo Acarina, subordo Astigmata, dan famili

Pyroglyphidae (Colloff, 1998) yang biasanya hidup bersama debu rumah sehingga

sering disebut tungau debu rumah. Secara taksonomi terdapat 47 spesies dan 17

genus pada famili Pyroglyphidae. Enam di antaranya Dermatophagoides,

Euroglyphus, Hirstia, Malayoglyphus,Pyroglyphus dan Sturnophagoides yang

biasa terdapat pada Daerah beriklim sedang atau tropis di dunia (Bulletin of the

World Health Organization, 1988). Pyroglyphidae merupakan famili yang paling

sering ditemukan, empat di antaranya memiliki hubungan yang erat dengan

kejadian alergi: Dermatophagoides pteronyssinus, D. farinae, D. microceras, dan

E. maynei (El-Dib, 2009). Pertumbuhan dan perkembangan TDR dipengaruhi oleh

beberapa faktor utama yaitu suhu, kelembaban, dan persediaan makanan. Suhu

0
optimal bagi pertumbuhan dan perkembangan tungau adalah 25-30 C ,

kelembapan optimal >60% dan makanan TDR yang berasal dari serpihan kulit

manusia (Arlian et al, 1990)


Menurut WHO, sekitar 50-80 % asma dan rinitis di seluruh dunia disebabkan

oleh tungau debu rumah khususnya D. pteronyssinus dan D. farinae (WHO,

2015 ). Kasur merupakan habitat terbaik untuk perkembangan TDR karena TDR

menyukai lingkungan yang hangat dan lembab seperti di dalam kasur. Pada

kondisi tersebut tungau betina mampu bertelur hingga 100 butir sehingga pada 1

gram debu dapat ditemukan sampai 500 tungau didalamnya dan 1 tungau dapat

menghasilkan 2000 feses sepanjang hidupnya dan enzim yang sangat alergenik .

Hal ini menjadi dasar keyakinan bahwa 1 juta orang telah mengalami sensititasi

kronik oleh tungau debu rumah ( MAEDICA, 2014 ). TDR tidak menggigit akan

tetapi feses yang alergenik inilah yang akan terinhalasi atau tertelan sehingga

mengakibatkan penyakit alergi berupa rinitis alergi dan asma (International

Scholar Journals, 2015 ).Hal ini didukung oleh beberapa penelitian sebelumnya

menunjukkan bahwa prevalensi kejadian alergi yang disebabkan oleh tungau debu

rumah tinggi. Sebuah tesis yang komprehensif tentang tungau debu rumah

menunjukkan bahwa sekitar 65-130 juta orang atau 1-2% dari populasi dunia

kemungkhybfginan alergi terhadap tungau debu rumah (Calderon et al, 2015 )

,Selain itu juga didapatkan hasil penelitian bahwa 48 dari 51 (94%) pasien alergi

terhadap TDR menunjukan terdapatnya riwayat rhinitis alergi (International

Scholar Journals, 2015 )

Alergi menunjukan terdapatnya reaksi yang melibatkan imunolobulin E( Ig

E) , ig E akan berikatan dengan sel mast dan basofil yang selanjutnya akan

menyebabkan reaksi alergi atau hipersensitivita tipe 1 yang dipicu oleh adanya

alergen (Microbiology. Jakarta: EGC, 1996). Rhinitis alergi merupakan penyakit

terkait ig E yang paling sering ditemukan. Berdasarkan studi epidemiologi di


dapatkan prevalensi rhinitis alergi sekitar 10-20% dan meningkat secara konstan

dalam dekade terakhir ( ciprandi et al , 2005 ). Rhinitis didefinisikan sebagai

peradangan mukosa hidung, ditandai dengan bersin-bersin,hidung tersumbat dan

rhinorea . rhinitis alergi merupakan Kelainan umum yang mempengaruhi hingga

40% dari populasi yang memiliki keterkaitan signifikan terhadap kualitas hidup,

tidur dan bekerja (Small and Kim , 2011 ). Prevalensi rinitis alergi di Amerika

Utara sekitar 10-20%, di Eropa sekitar 10-15%, di Thailand sekitar 20%, di

Jepang sekitar 10% dan 25% di New Zealand . Prevalensi rhinitis alergi di

indonesia mencapai 1,5-12,4% dan cenderung mengalami peningkatan setiap

tahunnya ( andrina yunita et al , 2013). Di indonesia penyebab aeroalergen

terbanyak adalah tungau debu rumah (nurcahayanto , 2009 ). Rinitis alergi lebih

sering dijumpai pada anak usia sekolah, dijumpai pada sekitar 15% anak usia 6-7

tahun dan 40% pada usia 13-14 tahun. Sekitar 80% pasien rinitis alergi mulai

timbul gejala sebelum usia 20 tahun (Munasir Z et al , 1996)

International Study of Asthma and Allergies of Childhood (ISAAC)

merupakan organisasi dunia yang melakukan studi prevalensi rinitis

alergi dengan menggunakan kuesioner yang telah standarisasi.

Menurut studi ISAAC Phase three yang dilakukan di Asia kejadian

rinitis alergi meningkat pada beberapa negara berkembang dengan

pendapatan rendah-menengah. Sedangkan studi yang dilakukan oleh

World Allergy pada tahun 2008 melaporkan kejadian rinitis alergi

dan asma di Asia Pasifik berjumlah antara 10%-30% pada anak dan

dewasa (Abong JM et al , 2008)


Di Indonesia, ISAAC phase three juga melalukan penelitian di

beberapa daerah dengan menggunakan kuesioner, yaitu di Jakarta,

Bandung, Semarang, dan Bali. Dari hasil studi di Jakarta, didapatkan

26,71% anak usia 13-14 tahun mengalami gejala rinitis alergi. Di

Bandung dan Semarang, di dapatkan prevalensi rinitis alergi pada

anak-anak usia 13-14 tahun berjumlah 19,1% dan 18,4%. (ISAAC

Steering Committee, 2006)

Penelitian ini akan dilakukan di beberapa Panti asuhan kota

padang .Panti asuhan menjadi sasaran penelitian karena panti asuhan

pada umumnya menjadi sumber beberapa penyakit,Selain faktor

jumlah penghuni yang cukup padat,terdapat juga kurangnya

kesadaran akan kebersihan kam ar tidur,sehingga biasanya jarang

dilakukan penjemuran kasur,pergantian alas kasur yang kurang dari

2 minggu dan pembersihan debu dengan vacum clenner .

Kemudian , biasanya di panti asuhan terdapat beberapa anak dalam

satu tempat tidur.Kondisi diatas menjadi dasar perkembangan TDR

karena faktor lingkungan yang optimal dan mempengaruhi

kepadatan populasi TDR yang dicurigai berkontribusi dalam

timbulnya rhinitis alergi, yang nanti akan ditentukan berdasarkan

Instrumen penelitian kuesioner ISAAC (International Study of

Asthma and Allergies of Childhood ) dimana kuesioner ISAAC

cocok digunakan berdasarkan umur anak-anak di panti asuhan yaitu

6-7tahun dan 13-14 tahun.


Oleh kaerena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

mengenai hubungan kepadatan populasi Tungau Debu Rumah

(TDR) terhadap kejadian rhinitis alergi berdasarkan kriteria ISAAC

di Panti asuhan kota padang

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana hubungan kepadatan populasi Tungau Debu Rumah (TDR)

terhadap kejadian rhinitis alergi berdasarkan kriteria ISAAC di Panti asuhan kota

padang?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui hubungan kepadatan populasi Tungau Debu

Rumah (TDR) terhadap kejadian rhinitis alergi berdasarkan kriteria

ISAAC di panti asuhan kota Padang

1.3.2 Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui distribusi frekuensi tungau debu rumah di

Panti asuhan kota Padang

2. Untuk mengetahui gambaran kepadatan tungau debu rumah

pada ruang tidur di Panti asuhan kota Padang

3. Untuk mengetahui prevalensi rhinitis alergi berdasarkan

kriteria ISAAC di panti asuhan kota padang

4. Untuk mengetahui hubungan kepadatan populasi tungau debu

rumah dengan kejadian rhinitis alergi berdasarkan kriteria isaac

di panti asuhan kota padang


1.4 Manfaat penelitian

1. Bagi masyarakat

Menambah pengetahuan tentang penyakit alergi yang disebabkan oleh

tungau debu rumah sehingga masyarakat sadar akan pentingnya pencegahan

dan pemberantasan keberadaaan tungau debu rumah.

2. Bagi peneliti

Untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan dan pengalaman belajar

peneliti sebagai mahasiswa.

3. Bagi peneliti lain

Bahan acuan dan bahan perbandingan untuk penelitian sejenis di masa yang

akan datang

You might also like