You are on page 1of 87

PENGELOLAAN MULTISPESIES SUMBER DAYA

IKAN DEMERSAL PADA PERIKANAN JARING ARAD


DI PERAIRAN SELAT SUNDA

SISKA AGUSTINA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengelolaan Multispesies


Sumber Daya Ikan Demersal pada Perikanan Jaring Arad di Perairan Selat Sunda
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, September 2015

Siska Agustina
NIM C252140436
RINGKASAN

SISKA AGUSTINA. Pengelolaan Multispesies Sumber Daya Ikan Demersal pada


Perikanan Jaring Arad di Perairan Selat Sunda. Dibimbing oleh MENNOFATRIA
BOER dan NURLISA A BUTET.

Potensi sumberdaya ikan di Perairan Selat Sunda terdiri dari ikan pelagis, ikan
demersal, ikan karang, kerang-kerangan, cumi-cumi dan udang. Ikan demersal di
Kabupaten Pandeglang merupakan produksi tertinggi kedua dengan jumlah total
produksi pada tahun 2013 sebesar 9361.724 ton. Jaring arad atau pukat pantai
adalah salah satu alat tangkap yang dominan menangkap ikan demersal di Selat
Sunda. Perikanan jaring arad bersifat multispesies, dengan hasil tangkapan terdiri
dari 6 kelompok ikan yaitu biji nangka (Upeneus moluccensis), peperek
(Eubleekeria splendens), kurisi (Nemipterus nematophorus), tiga waja (Otolithes
ruber), layur (Lepturacanthus savala), dan kelompok spesies lainnya. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui laju eksploitasi aktual sumber daya ikan demersal,
mengetahui status pemanfaatan ikan demersal oleh alat tangkap jaring arad dengan
model bioekonomi multispesies, dan mengidentifikasi alternative pengelolaan yang
tepat bagi ikan demersal pada perikanan jaring arad di Selat Sunda. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Mei-Oktober 2014 dan Maret 2015 di PPP Labuan Banten.
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer (panjang total
ikan, bobot ikan, jenis kelamin, TKG, dan wawancara dengan nelayan jaring arad)
dan data sekunder (data statistik perikanan dari DKP Pandeglang. Analisis data
meliputi parameter pertumbuhan, penentuan ukuran rata-rata tertangkap, penentuan
ukuran rata-rata matang gonad, mortalitas dan laju eksploitasi, analisis bioekonomi
multipsesies, analisis bioekonomi kompetisi, analisis laju degradasi dan depresiasi,
dan analisis stakeholder.
Hasil menunjukkan bahwa laju eksploitasi untuk ikan biji nangka, peperek,
kurisi, dan ikan layur telah melebihi eksploitasi optimumnya (50%), artinya secara
biologi sumber daya tersebut telah mengalami overexploited. Rata-rata ukuran
pertama kali tertangkap lebih kecil dibandingkan ukuran pertama kali matang
gonad (Lc<Lm), hal ini berarti ikan yang tertangkap lebih banyak pada usia muda
dan immature. Status pemanfaatan ikan demersal oleh jaring arad adalah fully
exploited (>70% dari MSY) dengan nilai upaya dan produksi aktual (E= 8950 trip,
h= 1374 ton and = Rp. 11370 juta) lebih kecil dibandingkan kondisi optimum (E=
10811 trip, h= 1811 ton and = Rp. 14477 juta). Sehingga peningkatan hasil
tangkapan dan upaya tangkapan masih dapat ditingkatkan sampai pada batas
optimumnya. Berdasarkan hasil analisis pemangku kepentingan, nelayan menjadi
pelaksana untuk pengelolaan ikan demersal di Selat Sunda. Pengelolaan ikan
demersal di perairan Selat Sunda dapat dilakukan dengan penambahan upaya
tangkapan sampai pada batas upaya MEY, menetapkan kuota penangkapan,
melakukan pengaturan mata jaring, dan penentuan daerah pemijahan ikan.

Kata kunci: fully exploited, ikan demersal, jaring arad, overexploited, Selat Sunda
SUMMARY

SISKA AGUSTINA. Management Resources of Multispecies Demersal Fish on


Small Bottom Trawl Fisheries in the Sunda Strait Waters. Supervised by
MENNOFATRIA BOER and NURLISA A BUTET.

Fish diversity in the Sunda Strait waters consists of pelagic fish, demersal fish,
reef fish, shells, squids, and shrimp. Demersal fish in Pandeglang Regency is the
second largest catches amounting to 9361.724 tons. Small bottom trawl is one of
the fishing gear for demersal fish in the Sunda Strait. Character of demersal fish
resources in tropical waters is multispecies consisting of six group of fish i.e.,
Goldband goatfish (Upeneus moluccensis), Splendid ponyfish (Eubleekeria
splendens), Threadfin bream (Nemipterus nematophorus), Tigertooth croaker
(Otolithes ruber), Savalai hairtail (Lepturacanthus savala), dan other species. The
research was aimed at determining actual exploitation rate of demersal fish,
utilization status of demersal fish caught by small bottom trawl using bioeconomic
multispesies model, and identifying more suitable and sustainable alternative
management for small bottom trawl fisheries. This research was conducted during
May-October 2014 and May 2015 at Coastal Fishing Port (PPP) of Labuan, Banten.
Data used in this research consisted of primary data (total length, weight, sex, TKG,
and interview on the small bottom trawl fishermen) and secondary data (statistic
data of fisheries acquired from Marine and Fishery Ministry of Pandeglang
District). Data analysis consisted of growth parameters, determination of length at
first capture, determination of length at first maturity, mortality and exploitation
rate, bioeconomic multispesies analysis, bioeconomic competition analysis,
degradation and depretiation rate analysis, and stakeholders identification analysis.
The result showed that value of exploitation rates for Goldband goatfish,
Splendid ponyfish, Threadfin bream, Tigertooth croaker, and Savalai hairtail
exceeded optimum exploitation (50%), consequently, demersal fish had already
been overexploited. Value of length at first capture lower then the value of length
maturity (Lc<Lm), as a consequence, the fishes landed in PPP Labuan were
dominated by immature fish. Utilization status of demersal fish caught by small
bottom trawl was fully exploited (>70% from MSY), value of effort and production
on actual condition (E= 8950 trips, h= 1374 tons and = Rp. 11370 million) was
lower than the optimum condition (E= 10811 trips, h= 1811 tons and = Rp. 14477
million). Fishing activity using small bottom trawl could still be increased until to
optimum condition. Based on stakeholder analysis, fishermen become the executor
for management of demersal fish in Sunda Strait. Restriction on fishing effort, as
well as quota, mesh size, and spawning ground determination are of concern for
management for demersal fish.

Keywords: Demersal fish, fully exploited, overexploited, small bottom trawl,


Sunda strait
Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGELOLAAN MULTISPESIES SUMBER DAYA
IKAN DEMERSAL PADA PERIKANAN JARING ARAD
DI PERAIRAN SELAT SUNDA

SISKA AGUSTINA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji luar komisi pada ujian tesis: Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc
PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, hidayah, serta
inayah yang diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini.
Karya ilmiah ini berjudul Pengelolaan Multispesies Sumber Daya Ikan Demersal
pada Perikanan Jaring Arad di Perairan Selat Sunda.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
atas biaya penelitian melalui Biaya Operasional Perguruan Tinggi Negeri
(BOPTN), Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), DIPA IPB Tahun
Ajaran 2013, kode Mak : 2013. 089. 521219, Penelitian Dasar untuk Bagian,
Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitan dan Pengabdian
kepada Masyarakat, IPB dengan judul Dinamika Populasi dan Biologi
Reproduksi Sumberdaya Ikan Ekologis dan Ekonomis Penting di Perairan Selat
Sunda, Provinsi Banten yang dilaksanakan oleh Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer,
DEA (sebagai ketua peneliti) dan Dr. Ir. Rahmat Kurnia, M Si (sebagai anggota
peneliti).
2. Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr.
Ir. Nurlisa A Butet, MSc sebagai anggota komisi pembimbing yang telah
memberikan arahan dan masukan dalam penulisan karya ilmiah ini.
3. Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, MSc selaku penguji luar komisi.
4. Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku wakil dari Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
5. Keluarga: Bapak Ibu, Kakak-kakak, Ade, dan Chandra Syayid Bani atas
dukungan dan kasih sayang yang diberikan.
6. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pandeglang atas bantuan
memperoleh data penelitian.
7. Unit Pelaksana Teknis (UPT) PPP Labuan, Banten atas sarana dan prasarana
selama penelitian dilakukan.
8. Tim BOPTN 2014: Nurul Mega, Widyanti, Boy Beni, Rosita, Risti, M. Yunus,
dan seluruh tim lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas
kerjasamanya selama penelitian berlangsung.
9. Teman-teman: Febi, Anandinta, Inggar, Laras, Ruri, Werdhiningtyas,
Rezaninda, Agus, Yuyun, Dewi, Luffisari, Lusita, Akrom, Ayu, Annisa, Nina,
teman-teman MSP 47, SPL 2013, dan SPL 2014 yang tidak dapat disebutkan
satu persatu atas segala bentuk bantuan yang telah diberikan.
10. Teman-teman Laboratorium biologi molekuler MSP: Lalu Panji, Wahyu,
Findra, Lela, Lita, Yustin, Fajrin.
11. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tesis.

Bogor, September 2015

Siska Agustina
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN vii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
Ruang Lingkup Penelitian 3
2 METODE 4
Waktu dan Lokasi Penelitian 4
Pengumpulan Data 5
Prosedur Analisis Data 7
3 HASIL DAN PEMBAHASAN 18
Hasil 18
Pembahasan 36
4 SIMPULAN DAN SARAN 50
Simpulan 50
Saran 50
DAFTAR PUSTAKA 50
LAMPIRAN 55
RIWAYAT HIDUP 73
DAFTAR TABEL

1 Rangkuman kebutuhan data dan analisis data penelitian pengelolaan


multispesies sumber daya ikan demersal di Selat Sunda 6
2 Penentuan Tingkat Kematangan Gonad secara morfologi 7
3 Hubungan timbal balik antarspesies ikan 15
4 Kategori skala Likert dalam penentuan tingkat pengaruh dan kepentingan
stakeholder 17
5 Pendugaan parameter pertumbuhan ikan dominan tertangkap jaring arad
di Perairan Selat Sunda 24
6 Panjang ikan pertama kali tertangkap (Lc) ikan dominan tertangkap
jaring arad di Perairan Selat Sunda 24
7 Panjang ikan pertama kali matang gonad (Lm) ikan dominan tertangkap
jaring arad di Perairan Selat Sunda 25
8 Mortalitas dan laju eksploitasi ikan demersal 25
9 Nilai parameter biologi multispesies sumber daya ikan dominan
tertangkap jaring arad di Perairan Selat Sunda dengan model
Schaefer 26
10 Koefisien ketergantungan antarspesies ikan dominan tertangkap jaring
arad di Perairan Selat Sunda dengan model Schaefer 26
11 Biaya penangkapan riil ikan dominan tertangkap jaring arad di Perairan
Selat Sunda 27
12 Harga riil multispesies ikan dominan tertangkap jaring arad di Perairan
Selat Sunda 28
13 Nilai EMSY, hMSY,MSY, EMEY, hMEY, MEY multispesies sumber daya ikan
dominan tertangkap jaring arad di Perairan Selat Sunda 28
14 Nilai EOPT, hOPT,OPT multispesies sumber daya ikan dominan
tertangkap jaring arad di Perairan Selat Sunda 29
15 Hubungan kompetisi ikan biji nangka dengan ikan peperek 30
16 Hubungan kompetisi ikan biji nangka dengan ikan kurisi 30
17 Hubungan kompetisi ikan biji nangka dengan ikan tiga waja 31
18 Hubungan kompetisi ikan biji nangka dengan ikan layur 31
19 Implementasi model bioekonomi kompetisi ikan biji nangka dengan
ikan peperek 32
20 Implementasi model bioekonomi ikan biji nangka dengan ikan
kurisi 32
21 Implementasi model bioekonomi ikan biji nangka dengan ikan tiga
waja 33
22 Implementasi model bioekonomi ikan biji nangka dengan ikan
layur 34
23 Tingkat dan status pemanfaatan ikan dominan tertangkap jaring
arad 42
DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran penelitian pengelolaan multispesies sumber daya


ikan demersal di Selat Sunda 4
2 Lokasi penelitian di PPP Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten 5
3 Matriks pengaruh dan kepentingan (Eden dan Ackerman 1998 in Bryson
2004) 18
4 Mata pencaharian penduduk Desa Teluk tahun 2014 19
5 Komposisi alat tangkap di Selat Sunda tahun 2013 19
6 Perkembangan armada jaring arad tahun 2008-2013 20
7 Perkembangan upaya penangkapan arad tahun 2008-2013 21
8 Produksi multispesies jaring arad tahun 2013 22
9 Hasil tangkapan jaring arad tahun 2013 22
10 Grafik perkembangan produksi multispesies sumber daya perikanan
demersal di Selat Sunda tahun 2008-2013 23
11 Grafik hubungan antara upaya tangkapan dan hasil tangkapan pada
kondisi MSY 30
12 Koefisien degradasi ikan demersal di Selat Sunda 35
13 Koefisien depresiasi ikan demersal di Selat Sunda 35
14 Matriks pengaruh dan kepentingan antar stakeholder 36
15 Status pemanfaatan sumber daya ikan menurut Kepmen KP RI No.
45/MEN/2011 moderate exploited (hijau), fully exploited (kuning), dan
over exploited (merah) 42
16 Perbandingan upaya penangkapan optimal pada kondisi MEY
multispesies dan MEY multispesies kompetisi 44
17 Perbandingan jumlah upaya penangkapan optimal pada setiap kondisi
pengusahaan multispesies sumber daya perikanan 45

DAFTAR LAMPIRAN

1 Proses penentuan laju mortalitas total (Z) melalui kurva yang dilinerakan
berdasarkan data panjang 55
2 Frekuensi panjang ikan dominan tertangkap jaring arad 57
3 Pemisahan kelompok ukuran ikan dominan tertangkap jaring arad di
perairan Selat Sunda 59
4 Pendugaan parameter pertumbuhan ikan dominan tertangkap jaring arad
di perairan Selat Sunda 63
5 Pendugaan ukuran rata-rata pertama kali ikan tertangkap (Lc) ikan
dominan tertangkap jaring arad di perairan Selat Sunda 64
6 Tingkat kematangan gonad (TKG) dan pendugaan panjang ikan pertama
kali matang gonad (Lm) ikan dominan tertangkap jaring arad 66
7 Pendugaan laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan dominan tertangkap
jaring arad di perairan Selat Sunda 68
8 Estimasi parameter biologi ikan dominan tertangkap jaring arad di
perairan Selat Sunda dengan model Schaefer. 69
9 Jenis makanan biji nangka, peperek, kurisi, tigawaja, dan layur. 70
10 Pendugaan parameter ekonomi (biaya dan harga) ikan dominan
tertangkap jaring arad di perairan Selat Sunda. 70
11 Pendugaan produksi aktual dan lestari ikan biji nangka, peperek, kurisi,
tigawaja, dan layur di perairan Selat Sunda 71
12 Stakeholder dalam perikanan demersal di PPP Labuan, Banten. 72
1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dugaan potensi sumber daya perikanan di Selat Sunda pada Wilayah


Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPPRI) 572 adalah 565.30 ribu
ton/thn dan pada tahun 2011 penangkapan sudah mencapai 558.60 ribu ton/tahun
yang didaratkan di Provinsi Lampung dan Provinsi Banten (Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap/ DJPT 2011). Total produksi perikanan di Provinsi Banten
sebesar 30% berasal dari Selat Sunda (Boer dan Aziz 2007). Menurut Irhamni
(2009) Kabupaten Pandeglang merupakan salah satu pusat produksi perikanan di
Provinsi Banten karena letaknya yang berbatasan langsung dengan Selat Sunda dan
Samudera Hindia dengan produksi sekitar 30 ribu ton (20%) atau 117 milyar rupiah
pada tahun 2003 (BRKP 2003). Kabupaten Pandeglang memiliki satu Pelabuhan
Perikanan Pantai (PPP) yaitu PPP Labuan dan tujuh Tempat Pendaratan Ikan (TPI)
yaitu TPI Panimbang, Carita, Citeureup, Sidamuki, Sumur, Tamanjaya, dan Pulu
Merak (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten 2006).
Potensi sumberdaya ikan di Kabupaten Pandeglang terdiri dari ikan pelagis,
ikan demersal, ikan karang, kerang-kerangan, cumi-cumi dan udang (DKP
Pandeglang 2013). Ikan demersal di Kabupaten Pandeglang merupakan produksi
tertinggi kedua setelah ikan pelagis kecil dengan jumlah total produksi pada tahun
2013 sebesar 9361.724 ton yang terdiri dari ikan kurisi, biji nangka, kuniran, layur,
peperek, bambangan, kuwe, tiga waja dan ikan lainnya. Menurut DKP Pandeglang
(2013), ikan demersal ditangkap berbagai jenis alat tangkap, antara lain payang,
pukat cincin, pukat pantai, bagan, jaring insang, jaring rampus, dan dogol. Jaring
arad atau pukat pantai adalah salah satu alat tangkap yang dominan menangkap ikan
demersal di PPP Labuan Banten. Jaring arad merupakan jaring modifikasi dari alat
tangkap trawl. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 2/ PERMEN/-
KP/ 2015 tentang larangan penggunaan alat tangkap pukat hela dan pukat Tarik
pada pasal 4 menyebutkan dogol, cantrang, dan lampara dasar sebagai salah satu
alat tangkap yang dilarang. Sehingga operasi penangkapan ikan dengan alat tangkap
dogol perlahan mulai dikurang dan beralih ke alat tangkap demersal lainnya.
Jaring arad atau pukat pantai adalah salah satu alat tangkap yang dominan
menangkap ikan demersal di PPP Labuan Banten. Jaring arad adalah alat tangkap
yang dioperasikan secara aktif dengan cara ditarik oleh perahu. Mengacu pada
Tatalaksana Perikanan yang Bertanggung Jawab (Code of Conduct for Responsible
Fisheries) (FAO 1995), permasalahan utama pada perikanan jaring arad adalah
ketidakselektifan alat tangkap ini terhadap hasil tangkapan sehingga hasil tangkap
sampingan (HTS) yang tertangkap jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan
dengan udang sebagai target spesies. Manadiyanto et al. (2000) menjelaskan hasil
tangkapan utama jaring arad adalah udang dan ikan demersal. Ikan demersal
merupakan ikan yang pergerakannya lambat, sehingga sangat rentan terhadap
tekanan penangkapan. Jenis ikan ini hidup di dasar perairan dengan,ruaya terbatas
pada lokasi tertentu (Muhammad 2011). Hasil tangkapan ikan demersal oleh alat
tangkap jaring arad adalah 2602.58 ton pada tahun 2013.
Untuk menjamin kelestarian sumber daya ikan demersal diperlukan suatu
strategi pengelolaan dari berbagai aspek baik ekologi maupun ekonomi bagi para
2

pelaku perikanan. Menurut Zulbainarni (2012) model pengelolaan ekonomi yang


umum digunakan adalah menggunakan spesies tunggal. Menurut Pauly (1979)
pendekatan spesies tunggal sering kali tidak cukup dalam pengelolaan sumber daya
perikanan tropikal yang ekosistemnya sangat kompleks. Kompleksitas sumber daya
perikanan di Indonesia menyebabkan perlunya pengkajian pengelolaan sumber
daya perikanan dengan menggunakan pendekatan multispesies. Analisis
bioekonomi multispesies adalah suatu analisis bioekonomi yang berorientasi pada
banyak spesies (Zulbainarni et al. 2011).
Pendekatan bioekonomi multispesies adalah pendekatan yang memadukan
kekuatan ekonomi yang mempengaruhi industri penangkapan dan faktor biologi
yang menentukan produksi suplai ikan dengan berorientasi pada banyak spesies.
Hingga pada akhirnya informasi yang didapatkan dari analisis tersebut dapat
dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan alternatif pengelolaan
penangkapan ikan demersal di wilayah Kabupaten Pandeglang sehingga terciptanya
pemanfaatan yang optimal dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya ikan serta
memberikan keuntungan yang optimum bagi masyarakat dan nelayan.

Perumusan Masalah

Berdasarkan KEPMEN No. 45 tahun 2011 tingkat pemanfaatan ikan


demersal di Selat Sunda sudah Fully-Exploited. Hal ini disebabkan peningkatan
penangkapan dari tahun ke tahun karena peningkatan permintaan terhadap jenis
tersebut. Menurut Sumirat (2011) produksi perikanan di Provinsi Banten terus
meningkat untuk setiap tahunnya, yang dikhawatirkan akan mengalami tangkap
lebih apabila dibiarkan terus terjadi (Sumirat 2011). Ikan demersal di Kabupaten
Pandeglang ditangkap dengan menggunakan banyak alat tangkap (multigear).
Berdasarkan peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 2/PERMEN/-
KP/2015 tentang larangan penggunaan alat tangkap pukat hela dan pukat Tarik pada
pasal 4 menyebutkan bebrapa alat tangkap seperti payang, pukat pantai, dogol,
cantrang, dan lampara dasar sebagai salah satu alat tangkap yang dilarang. Dengan
adanya peraturan tersebut akan berdampak pada penurunan hasil tangkapan ikan
demersal oleh alat tangkap dogol, sehingga kemungkinan nelayan akan mengganti
alat tangkap menjadi alat tangkap yang diperbolehkan seperti jaring dan dapat
meningkatkan armada penangkapan alat tangkap tersebut sehingga tekanan
penangkapan diduga akan meningkat.
Selama ini pemanfaatan sumberdaya ikan berorientasi pada pemanfaatan
jangka pendek yaitu ikan ditangkap sebanyak-banyaknya agar mendapatkan
keuntungan yang besar tanpa memikirkan dampaknya dalam jangka panjang.
Perolehan izin yang mudah menyebabkan nelayan-nelayan skala kecil meningkat.
Akibatnya adanya peningkatan jumlah nelayan dan upaya tangkap menyebabkan
tekanan yang semakin tinggi terhadap sumberdaya ikan tersebut.
Permasalah dalam perikanan diantaranya tekanan yang masif terhadap
sumber daya ikan yang disebabkan oleh adanya dua hal yaitu overfishing (secara
ekonomi maupun biologi) dan terjadinya overcapacity (ekses kapasitas) (Fauzy
2010). Selain itu, masalah lain yang cukup penting dalam perikanan adalah
degradasi dan pencemaran perairan yang berakibat pada penurunan produktivitas
perikanan. Untuk dapat menyelesaikan masalah tersebut diperlukan suatu
3

pengelolaan (management) dalam perikanan. Menurut Beddington et al. (2007) in


Fauzy (2010) kegagalan dalam pengelolaan dapat menyebabkan terjadinya krisis
dalam perikanan dan mengancam kelestarian sumber daya ikan.
Berdasarkan dengan hal tersebut, maka permasalahan yang akan dikaji pada
penelitian ini meliputi komposisi hasil tangkapan ikan demersal, status
pemanfaatan sumber daya ikan demersal melalui laju eksploitasi sumber daya,
tingkat produksi, upaya dan rente ekonomi optimal sumberdaya ikan, laju degradasi
dan depresiasi, serta kontribusi perikanan tersebut terhadap pendapatan nelayan di
Kabupaten Pandeglang. Berdasarkan analisis data tersebut dapat dirancang
alternatif kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan demersal di Kabupaten
Pandeglang yang tertangkap oleh alat tangkap jaring arad.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai


berikut :
1. Menginventarisasi dan mengkaji komposisi hasil tangkapan ikan demersal
yang tertangkap oleh jaring arad.
2. Mengkaji tingkat eksploitasi optimal dan aktual multispesies ikan demersal
yang tertangkap jaring arad berdasarkan data hasil tangkapan di PPP
Labuan, Banten.
3. Mengkaji tingkat pemanfaatan multispesies sumber daya ikan demersal
yang tertangkap oleh jaring arad secara biologi dan ekonomi berdasarkan
data hasil tangkapan PPP Labuan, Banten dengan model bioekonomi
multispesies.
4. Mengusulkan kebijakan yang dapat berlaku dalam pengelolaan sumberdaya
ikan demersal oleh jaring arad di Kabupaten Pandeglang.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi ilmiah dalam rangka


mengontrol kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan yang tertangkap dengan alat
tangkap jaring arad dengan memadukan dua sektor disiplin ilmu yaitu biologi dan
ekonomi. Informasi ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam
menentukan kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan demersal yang berkelanjutan.
Sehingga kegiatan pemanfaatan tidak memberikan ancaman terhadap kelestarian
ikan dan mampu meningkatkan kesejahteraan nelayan dengan mengoptimalkan
keuntungan yang mungkin diperoleh.

Ruang Lingkup Penelitian

Perikanan demersal di Indonesia merupakan tipe perikanan yang multispesies


akan tetapi jumlah individu dari masing-masing jenis tersebut relatif rendah. Ikan
ini biasanya dieksploitasi dengan menggunakan berbagai jenis alat tangkap
(multigears). Jaring arad adalah salah satu alat tangkap yang dominan dalam
menangkap ikan demersal. Peningkatan pemanfaatan sumber daya ikan demersal
4

setiap tahunnya dikhawatirkan akan mengancam kelestariannya dan mengalami


overfishing. Selain masalah tersebut, kegiatan usaha penangkapan juga
menimbulkan masalah lain yang terkait dengan ekonomi dan kesejahteraan
nelayan. Kegiatan penangkapan yang tinggi tidak mampu memberi keuntungan
yang maksimal kepada nelayan sehingga pertumbuhan ekonomi tidak mengalami
perkembangan. Oleh karena itu dibutuhkan suatu pengelolaan yang menggunakan
pendekatan ekonomi bukan hanya aspek biologi dari sumberdaya ikan tersebut.
Pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan aspek biologi dan ekonomi. Alur
lengkap kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar1 Kerangka pemikiran penelitian pengelolaan multispesies sumber daya


ikan demersal di Selat Sunda

2 METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dibagi menjadi dua bagian yaitu pengambilan data primer dan
data sekunder. Pengambilan data primer dilaksanakan pada bulan Mei hingga
Oktober 2014 dan pengambilan data sekunder dilaksanakan pada bulan Maret 2015.
Lokasi peneilitian adalah Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan, Kabupaten
Pandeglang, Provinsi Banten (Gambar 2). Data ikan yang diambil berasal dari
pendaratan ikan di PPP Labuan . Berdasarkan wawancara dengan nelayan ikan-ikan
5

tersebut tertangkap dari fishing ground di wilayah Selat Sunda yang ditunjukkan
oleh titik-titik penangkapan pada Gambar 2. Wawancara dilaksanakan di TPI I yang
berada di muara Cipunteun sebagai tempat pendaratan ikan-ikan demersal. Analisis
contoh dilakukan di Laboratorium Biologi Perikanan untuk identifikasi biologi
perikanannnya. Laboratorium tersebut merupakan bagian dari Departemen
Manajemen Sumber Daya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.

Gambar2 Lokasi penelitian di PPP Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten

Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis data yaitu data
primer dan data sekunder. Data merupakan data yang diperoleh langsung di
lapangan yang meliputi data biologi dan hasil wawancara dengan pihak-pihak
terkait. Pengumpulan data biologi dilakukan melalui pengukuran panjang total,
bobot basah, jenis kelamin, dan TKG ikan demersal di PPP Labuan Banten.
Pengumpulan data primer lainnya seperti informasi mengenai alat tangkap, ukuran
mata jaring, ukuran kapal, hasil tangkapan, biaya operasi, pendapatan, dan musim
penangkapan didapatkan melalui responden yang dipilih dengan metode purposive
sampling. Pemilihan responden melalui purposive sampling yaitu penetapan
responden secara sengaja oleh peneliti dengan kriteria atau pertimbangan (Faisal 2010).
Responden yang dipilih sebanyak 17 nelayan yang menangkap ikan demersal dengan
menggunakan jaring arad.
Ikan yang digunakan dalam penelitian adalah ikan-ikan yang dominan
ditangkap oleh jaring arad (small bottom trawl). Spesies ikan ini dikelompokkan
6

kedalam 6 kelompok, yaitu spesies biji nangka (Upeneus moluccensis), peperek


(Eubleekeria splendens), kurisi (Nemipterus nematophorus), tiga waja (Otolithes
ruber), layur (Lepturacanthus savala), dan kelompok spesies lainnya. Ikan contoh
diidentifikasi menggunakan FAO species identification guide for fishery purposes
(1999). Ikan-ikan yang dianalisis secara biologi adalah ikan biji nangka (Upeneus
moluccensis), peperek (Eubleekeria splendens), kurisi (Nemipterus nematophorus),
dan layur (Lepturacanthus savala). Sedangkan ikan yang dianalisis secara ekonomi
adalah ikan spesies biji nangka (Upeneus moluccensis), peperek (Eubleekeria
splendens), kurisi (Nemipterus nematophorus), tiga waja (Otolithes ruber), dan
layur (Lepturacanthus savala).
Ikan contoh masing-masing dipilih secara acak dari tumpukan ikan yang
didaratkan. Jumlah ikan contoh yang diambil pada setiap pengambilan contoh
berkisar 50-200 setiap ekor. Data sekunder merupakan data statistik perikanan
tangkap yang diperoleh dari instansi-instansi terkait seperti DKP Kabupaten
Pandeglang dan kantor UPT Labuan. Rangkuman kebutuhan data dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1 Rangkuman kebutuhan data dan analisis data penelitian pengelolaan
multispesies sumber daya ikan demersal di Selat Sunda
No Tujuan Data Analisis Data
1. Mengkaji parameter pertumbuhan 1. Panjang ikan (P) Model von Bertalanffy
ikan demersal 2. Sebaran frekuensi dan Ford Walford,
panjang (P) metode Pauly
2. Menganalisis ukuran rata-rata 1. Sebaran frekuensi Proporsi gonad yang
matang gonad panjang (P) matang (Spearman
2. Frekuensi ikan TKG IV Karber)
(P)
3. Menganalisis ukuran pertama kali 1. Sebaran frekuensi covered conden
tertangkap panjang (P) method

4. Mengkaji laju mortalitas dan 1. Panjang ikan (P) Metode kurva


eksploitasi ikan demersal 2. Frekuensi panjang (P) tangkapan yang
3. Nilai parameter dilinierkan
pertumbuhan berdasarkan data
komposisi panjang
5. Mengetahui pola produksi ikan 1. Produksi ikan (S) Analisis time series
demersal yang didaratkan di PPP 2. Harga ikan (S)
Labuan
6. Mengidentifikasi model 1. Produksi ikan demersal 1. Model Produksi
pengelolaan yang tepat bagi ikan (S) Surplus
demersal di PPP Labuan 2. Biaya operasi 2. Model bioekonomi
penangkapan (P) multispesies
3. Harga ikan (P) 3. Model bioekonomi
4. Discount rate (S) kompetisi
7. Menganalisis pengaruh dan tingkat Peran dan fungsi Analisis Stakeholder
kepentingan antar stakeholder stakeholder (P)
Keterangan : P: Data Primer
S: Data Sekunder

Ikan contoh yang diperoleh kemudian diukur panjang dan ditimbang


bobotnya. Setelah itu ikan dibedah untuk mengetahui jenis kelamin dan tingkat
kematangan gonad dari ikan tersebut. TKG ditentukan secara morfologi
7

berdasarkan bentuk, warna, ukuran, dan perkembangan isi gonad. Penentuan TKG
ikan tembang mengacu pada penentuan TKG ikan Effendie (2002) pada Tabel 2.
Tabel 2 Penentuan Tingkat Kematangan Gonad secara morfologi

TKG Betina Jantan


Ovari seperti benang, panjangnya sampai Testis seperti benang,warna jernih, dan
I
ke depan rongga tubuh, serta ujungnya terlihat di rongga tubuh
permukaannya licin
Ukuran ovari lebih besar. Warna ovari Ukuran testis lebih besar pewarnaan
II
kekuning-kuningan, dan telur belum seperti susu
terlihat jelas
Ovari berwarna kuning dan secara Permukaan testis tampak bergerigi,
III morfologi telur mulai terlihat warna makin putih dan ukuran makin
besar
Ovari makin besar, telur berwarna Dalam keadaan diawet mudah putus,
IV kuning, mudah dipisahkan. Butir minyak testis semakin pejal
tidak tampak, mengisi 1/2-2/3 rongga
perut
V Ovari berkerut, dinding tebal, butir telur Testis bagian belakang kempis dan
sisa terdapat didekat pelepasan dibagian dekat pelepasan masih berisi

Prosedur Analisis Data

Identifikasi kelompok ukuran ikan


Sebaran frekuensi panjang digunakan untuk menentukan kelompok ukuran
yang dapat menduga kelompok umur ikan. Data panjang total ikan dikelompokkan
ke dalam beberapa kelas panjang sedemikian, sehingga kelas panjang ke-i memiliki
frekuensi (fi). Pendugaan kelompok umur dilakukan dengan analisis frekuensi
panjang ikan menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) (FISAT II,
FAO-ICLARM Stock Assesment Tool) untuk menentukan sebaran normalnya.
Menurut Boer (1996), jika fi adalah frekuensi ikan dalam kelas panjang ke-i (i = 1,
2, , N), j adalah rata-rata panjang kelompok umur ke-j, j adalah simpangan baku
panjang kelompok umur ke-j, dan pj adalah proporsi ikan dalam kelompok umur
ke-j (j = 1, 2, , G), maka fungsi objektif yang digunakan untuk menduga { j ,
j , pj } adalah fungsi kemungkinan maksimum (maximum likelihood function):
= =1 =1 (1)
qij dihitung dengan persamaan:
2
1 1
= ( 2 ( ) (2)
2

qij adalah fungsi kepekatan sebaran normal dengan nilai tengah j dan simpangan
baku j, dan xi adalah titik tengah kelas panjang ke-i. Fungsi objektif L ditentukan
dengan cara mencari turunan pertama L masing-masing terhadap j, j, pj sehingga
diperoleh dugaan j , j , dan p j yang akan digunakan untuk menduga parameter
pertumbuhan.
8

Pendugaan parameter pertumbuhan sumber daya ikan


Koefisien pertumbuhan yang digunakan mengikuti model von Bertalanffy
(Sparre dan Venema 1999) yang dirumuskan sebagai:

= [1 ((0)) ] (3)

Lt adalah ukuran ikan pada umur t (cm), L adalah panjang asimptotik (cm), K
adalah koefisien pertumbuhan (tahun-1), dan t0 adalah umur hipotesis ikan pada
panjang nol (tahun).
Koefisien pertumbuhan K dan L pada (2) diduga dengan menggunakan
metode Ford Walford yang diturunkan berdasarkan pertumbuhan von Bertalanffy
untu Lt pada saat t + t dan t sedemikian sehingga:

+ = (1 () + ) (4)

Persamaan diatas diduga melalui persamaan regresi linear y=b0 +b1 x, dengan Lt
sebagai absis (x), Lt+t sebagai ordinat (y), b0= L (1-b), dan b1= exp (-Kt). Nilai
K dan L diduga dengan rumus:
1
= () (5)

dan

L = 10 (6)
1

Pendugaan umur teoritis dihitung melalui persamaan empiris Pauly (1984), yaitu:

Log (-t0 ) = -0.3922-0.2752 Log L -1.0380 Log K (7)

Panjang rata-rata pertama kali ikan tertangkap


Rata-rata ukuran pertama kali tertangkap (Lc) dilakukan dengan metode
kantung berlapis (covered conden method). Hasil dari perhitungan tersebut
membentuk kurva ogif selektifitas alat berbentuk sigmoid yang menyerupai kurva
distribusi normal komulatif yang mengacu pada Beverton dan Holt (1957) in Sparre
dan Venema (1999) dengan formula:
1
= 1+(12) (8)

Sl adalah jumlah esstimasi, L adalah interval titik tengah panjang kel, S1 dan S2
adalah konstanta.

Ukuran rata-rata pertama kali ikan matang gonad


Metode yang digunakan untuk menduga ukuran rata-rata ikan mencapai
matang gonad (M) adalah Metode Spearman-Karber yang menyatakan bahwa
logaritma ukuran rata-rata mencapai matang gonad adalah (Udupa 1986):

= [ + (2)] ( ) (9)
dengan
9

M = antilog m (10)
dan selang kepercayaan 95% bagi log m dibatasi sebagai:

( 1.96 2 1) (11)

m adalah log panjang ikan pada kematangan gonad pertama, xk adalah log nilai
tengah kelas panjang yang terakhir ikan telah matang gonad, x adalah log
pertambahan panjang pada nilai tengah, pi adalah proporsi ikan matang gonad pada
kelas panjang ke-i dengan jumlah ikan pada selang panjang ke-i, ni adalah jumlah
ikan pada kelas panjang ke-i, qi adalah 1 pi, dan M adalah panjang ikan pertama
kali matang gonad.

Laju mortalitas dan laju eksploitasi sumber daya ikan


Menurut Sparre dan Venema 1999 parameter mortalitas meliputi mortalitas
alami (M), mortalitas penangkapan (F), dan mortalitas total (Z). Laju mortalitas
total (Z) diduga dengan kurva tangkapan yang dilinearkan berdasarkan data panjang
sedemikian sehingga diperoleh hubungan:

(+2) 1+2)
ln (1,2) = h Z t( ) (11)
2

Persamaan (11) diduga melalui persamaan regresi linear sederhana y=b0 +b1 x ,
C (LI+L2) L1+L2)
dengan y= ln t (L1,L2) sebagai ordinat, x = ( 2 ) sebagai absis, dan Z =-b1
(Lampiran 1).
Laju mortalitas alami (M) diduga dengan menggunakan rumus empiris Pauly
(1980) in Sparre dan Venema (1999) sebagai berikut:

M = exp (-0.0152 0.279 ln L + 0.6543 ln K + 0.463 ln T) (12)

M adalah mortalitas alami (per tahun), dan T adalah suhu rata-rata perairan (0C).
Setelah laju mortalitas total (Z) dan laju mortalitas alami (M) diketahui
maka laju mortalitas penangkapan dapat ditentukan melalui hubungan:

F=ZM (13)

Selanjutnya Pauly (1984) menyatakan laju eksploitasi dapat ditentukan


dengan membandingkan F dengan Z sebagai berikut:
F
E= Z (14)

F adalah laju mortalitas penangkapan (per tahun), Z adalah laju mortalitas total
(per tahun), dan E adalah tingkat eksploitasi.

Catch per unit effort (CPUE) sumber daya ikan


Pendekatan pengukuran jumlah stok ikan dapat dilakukan dengan
mempergunakan teknik monitoring hasil tangkapan per upaya tangkap (catch per
unit effort = CPUE) dari alat tangkap yang digunakan atau beroperasi untuk
melakukan pengambilan contoh pada daerah yang bersangkutan. Menurut Gulland
10

(1983), penghitungan CPUE bertujuan untuk mengetahui kelimpahan dan tingkat


pemanfaatan sumberdaya perikanan pada suatu daerah perairan tertentu. Menurut
Gulland (1983), penghitungan CPUE bertujuan untuk mengetahui kelimpahan dan
tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan pada suatu daerah perairan tertentu.
Untuk mendapatkan nilai CPUE maka terlebih dahulu kita menentukan proporsi
upaya tangkap untuk masing-masing spesies. Kemudian nilai CPUE untuk konsep
multispesies diperoleh melalui:

= (15)

di mana :
= (16)

Ent adalah proporsi effort atau upaya tangkap (trip) spesies ke-n tahun t, hnt adalah
hasil tangkapan spesies ke-n tahun t, n adalah spesies 1, 2,n dan E adalah total
upaya dengan alat tangkap contohnya jaring arad.

Estimasi parameter biologi sumber daya ikan


Nilai parameter biologi terdiri dari intrinsic growth (r), catchability coefficient
(q) dan carrying capacity (k). Estimasi parameter biologi multispesies sumberdaya
ikan demersal dapat dilakukan dengan beberapa model produksi surplus. Pemilihan
model yang tepat dilakukan melalui evaluasi model secara statistik meliputi nilai
R2 dan t statistik. Model yang digunakan mengikuti model Schaefer (1954). Model
Schaefer menurut Fauzi (2010) pada saat tidak ada kegiatan penangkapan, tingkat
perubahan stok ditulis:

= (1 ) (17)

Produksi penangkapan ikan bisa diasumsikan sebagai fungsi dari usaha perikanan
dan stok ikan. Secara matematis ditulis:

= ( , ) (18)

ht adalah produksi perikanan periode t, Et adalah usaha perikanan (effort) periode t.


Fungsi ( , ) diatas menghubungkan faktor produksi yakni x dan E (usaha
perikanan) dengan produksi. Secara eksplisit, fungsi produksi yang sering
digunakan dalam manajemen perikanan adalah:

= (19)

Jika proses produksi dinamis dimasukkan dalam model stok dinamis, dapat
dinyatakan secara matematis pada persamaan berikut:

= (1 ) (20)

Dengan mengasumsikan persamaan diatas pada kondisi keseimbangan jangka


panjang, hasil tangkapan dan usaha perikanan lestari dari fungsi dinamis secara
matematis adalah:
11


= = (1 ) (21)

Berdasarkan persamaan tersebut, nilai biomassa (xt) diperoleh:



= (1 ) (22)

fungsi tangkap lestari sebagai berikut:



= (1 ) (23)

fungsi kuadratik pada persamaan diatas secara matematis ditulis:



= (1 ) (24)

Persamaan diatas menyatakan bahwa asusmsi model Schaefer dalam keseimbangan


antara hasil tangkapan per unit upaya (CPUE) dan upaya tangkap adalah linear,
dengan persamaan regresi:
= + + (25)
di mana:

= (26)

= (27)
2
= (28)

= dan = _. adalah biomassa ikan tahun ke-t (ton), K adalah


daya dukung lingkungan (ton/tahun), r adalah laju pertumbuhan alami (ton/tahun),
q adalah koefisien daya tangkap (ton/tahun), adalah upaya penangkapan tahun
ke-t (trip), adalah hasil tangkapan tahun ke-t (ton), dan adalah konstanta.
Menurut Fauzi (2010) nilai dan dapat diduga nilainya, namun akan
terjadi masalah curse of dimensionality yang artinya ada tiga parameter (K, r, dan
q) yang akan diduga dengan dua konstanta ( dan ), sehingga tidak mungkin K, r,
dan q dapat diduga. Menurut Fauzi (1999) in Fauzi (2010) untuk menghindari
curse of dimensionality, salah satu nilai harus diduga terlebih dahulu. Parameter
yang diduga adalah nilai q melalui Algoritma Fox sebagai berikut:

1 1 1
= [|( 1 + ) / ( +1 + )|] /( ) (29)

dimana

= = (30)


= ()/ (31)

++1
= ( ) (32)
2
12

adalah rata-rata geometric dari nilai q. Nilai dan adalah koefisien regresi
CPUE dengan effort (E) dan nilai = 2 untuk fungsi logistik. Setelah nilai q diduga
maka nilai K dan r dapat diduga dengan rumus:

= (33)

2
= (34)

Estimasi parameter ekonomi sumber daya ikan


Estimasi biaya input sumber daya ikan
Pada penelitian ini data biaya penangkapan diperoleh dari hasil wawancara
terhadap responden yang menangkap ikan demersal di Kabupaten Pandeglang.
Biaya penangkapan per upaya tangkap terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel.
Dalam kajian bioekonomi model Gordon Schaefer biaya penangkapan didasarkan
pada asumsi bahwa hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan dan dianggap
konstan, sehingga dalam penelitian ini biaya penangkapan didefinisikan sebagai
biaya variabel per trip.
Selain upaya tangkap, biaya penangkapan juga dihitung secara proporsional
dengan rumus (Zulbainarni 2012):

= (35)

di mana :
= (36)

cn adalah proporsi biaya penangkapan spesies ke-n, dan c adalah total biaya
penangkapan.

Biaya penangkapan yang diperoleh dari data primer dibuatkan data series biaya
penangkapan riil tahunnya dengan cara:

= [ ] (37)

Cnt adalah biaya rill pada tahun ke-t, Cstd adalah biaya nominal pada tahun standar
(tahun 2013), IHKt adalah Indeks Harga Konsumen komoditas ikan pada tahun t,
dan IHKstd adalah Indek Harga Konsumen komoditas ikan pada tahun standar
(tahun 2013)

Estimasi harga output sumber daya ikan


Estimasi harga output ditentukan berdasarkan data wawancara dengan
nelayan ikan demersal sebagai respondennya. Data harga output yang diperoleh
kemudian dikonversi ke pengukuran riil dengan cara menyesuaikan dengan IHK
yang berlaku di Pandeglang, Banten. Secara matematis dinotasikan sebagai berikut
(Fauzi dan Anna 2005):

= [ ] (38)

13

Pnt adalah biaya rill pada tahun ke-t, Pstd adalah biaya nominal pada tahun standar
(tahun 2015), IHKt adalah Indeks Harga Konsumen komoditas ikan pada tahun t,
IHKstd adalah Indek Harga Konsumen komoditas ikan pada tahun standar (tahun
2015)

Pengelolaan dengan model bioekonomi multispesies sumber daya ikan


Pengelolaan sumber daya ikan pada kondisi Maximum Sustainable Yield
(MSY)
Fungsi produksi lestari sumber daya ikan merupakan persamaan kuadratik.
Tingkat upaya tangkap yang dilakukan untuk mencapai hasil tangkapan optimum
(MSY) dapat diketahui dengan menyamakan turunan pertama persamaan regresi
linear di atas terhadap tingkat upaya tangkap sama dengan nol. Secara matematis
ditulis (Fauzi 2010):

= (39)
2


= (40)
4


( )
4
= = = (41)
( ) 2
2

adalah upaya lestari, adalah hasil tangkapan lestari, tinggkat


biomass pada level MSY.

Pengelolaan sumber daya ikan pada kondisi Maximum Economic Yield


(MEY)
Kegiatan penangkapan ikan demersal di Selat Sunda dengan menggunakan
alat tangkap jaring arad menangkap ikan biji nangka, peperek, kurisi, tiga waja,
layur, dan ikan lainnya. Menurut Zulbainarni (2012) secara matematis dituliskan
sebagai:


= (1 ) (42)

n adalah spesies ke-1, 2, ., 6, xn adalah biomassa spesies ke-n, rn adalah intrinsic
growth rate spesies ke-n, Kn adalah carrying capacity spesies ke-n, qn adalah
koefisien kemampuan tangkap spesies ke-n, En adalah upaya penangkapan (effort)
ke-n. Dimana spesies ke-1 ikan biji nangka, spesies ke-2 ikan peperek, spesies ke-
3 ikan kurisi, spesies ke-4 ikan tiga waja, spesies ke-5 ikan layur, dan spesies ke-6
ikan lainnya.
Tingkat upaya penangkapan pada kondisi maximum economic yield (MEY)
yang diperoleh dari turunan pertama rente ekonomi terhadap upaya tangkap sama
dengan 0 sebagai berikut:

= (1 ) (43)
2


= (1 + ) (44)
2

= (45)
14

dengan keuntungan kondisi MEY sebagai berikut:


( , ) = (46)

Analisis kebijakan penangkapan optimal sumber daya ikan


Optimalisasi bermaksud menemukan jalan keluar terbaik dalam melakukan
kegiatan. Menurut Hatwick (1990) pengetahuan mengenai perbedaan antara tingkat
tangkapan, upaya aktual, dan optimal, diperlukan dalam penentuan kebijakan.
Eksploitasi optimal dapat diketahui dengan menggunakan teori capital ekonomi
sumber daya yang dikembangkan oleh Clark dan Munro (1975) in Zulbainarni
(2012) sebagai beriuk:

= 0 [ ]() (47)
PV adalah present value rente ekonomi sumber daya perikanan, p adalah harga
output per satuan unit, c adalah biaya per satuan input, adalah social discount rate
(konstan).
Berdasarkan persamaan diatas diturunkan sedemikian rupa sehingga
didapatkan biomassa optimal (x*) yang dapat digunakan untuk menghitung tingkat
upaya penangkapan dan hasil tangkapan yang optimal, secara matematis dapat
ditulis:
8
= [( + 1 ) + ( +1 )+ ] (48)
4

Hasil tangkapan optimal dapat ditulis:

( )[ (12 / )]
= (49)

Upaya tangkapan optimal dapat ditulis:


= (50)

Dengan demikian rente ekonomi sumber daya perikanan dapat diperoleh dengan
persamaan:

= ( ) (51)

Pengelolaan dengan model bioekonomi multispesies kompetisi sumber daya


ikan
Hubungan ketergantungan antarspesies ikan
Berdasakan hasil parameter biologi dari masing-masing spesies, dalam penelitian
ini juga melihat hubungan timbal balik antarspesies atau ketergantungan
antarspesies. Terdapat beberapa hubungan timbal balik antar spesies menurut
Anderson dan Seijo (2010) disajikan pada tabel 3. Spesies-spesies yang saling
berkompetisi dalam kegiatan penangkapan dengan jaring arad, secara matematis
ditulis sebagai berikut:
15


= (1 , 2 , 3 4 , 5 ) = (1 ) + 5=1 (52)

Apabila nilai koefisien lebih kecil dari nol, hubungan ketergantungan


antarspesiesnya adalah kompetisi (Tabel 3).
Tabel 3 Hubungan timbal balik antarspesies ikan

Hubungan timbal balik Spesies 1 Spesies 2


Kompetisi X1/ X2 < 0 X1/ X2 < 0
Predator prey (X1: predator, X2: prey) X1/ X2 > 0 X1/ X2 < 0
Mutualisme X1/ X2 > 0 X1/ X2 > 0
Komensalisme (X1: commensal) X1/ X2 > 0 X1/ X2 = 0
Amensalisme (X1: amensal) X1/ X2 < 0 X1/ X2 = 0

Spesies-spesies yang saling berkompetisi dalam kegiatan penangkapan dengan


jaring arad, secara matematis ditulis sebagai berikut:


= (1 , 2 , 3 4 , 5 ) = (1 ) + 5=1 (52)

Apabila nilai koefisien lebih kecil dari nol, hubungan ketergantungan


antarspesiesnya adalah kompetisi (Tabel 1).

Analisis model bioekonomi kompetisi sumber daya ikan


Berdasarkan hasil analisis ketergantungan antarspesies yang tertangkap oleh
jaring arad saling berkompetisi. Dalam pengelolaan sumber daya perikanan
dinamis, persamaan yang dapat menjelaskan perubahan setiap stok yang saling
berkompetisi dapat diperoleh dengan memodifikasi model logistik menggunakan
model Lotka-Volterra (Anderson dan Seijo 2010):
1 1 1. 12 2

= 1 1 ( ) (53)
1

2 2 2. 21 1

= 2 2 ( ) (54)
2

1. adalah kelimpahan spesies ke-1 yang berkompetisi waktu ke waktu, 2. adalah


spesies ke-2 yang berkompetisi waktu ke waktu, 12 adalah koefisien
ketergantungan kompetisi untuk spesies ke-1 yang menunjukkan efek dari spesies
2 terhadap spesies 1, 21 adalah koefisien ketergantungan kompetisi untuk spesies
ke-2 yang menunjukkan efek dari spesies 1 terhadap spesies 2.
Apabila 12 <1 maka efek spesies 2 pada spesies 1 kurang dari efek spesies 1
pada anggotanya sendiri. Sebaliknya apabila 12 >1, efek spesies 2 pada spesies 1
lebih besar daripada pengaruh spesies 1 pada anggotanya sendiri. Dengan model
Lotke-Volterra terdapat 4 kasus yang dapat terjadi tergantung daya dukung dan
koefisien ketergantungan sehingga dengan diturunkan sedemikian rupa dapat
dihitung biomassa spesies ke-1 dan spesies ke-2 pada kondisi kompetisi:
1 1 2 1 1 1 2 2 12 1 2 +2 2 12 2 1
1 = (55)
1 2 12 21 1 2
16

2 1 2 2 2 2 1 1 21 1 2 +1 1 21 1 2
2 = 1 2 12 21 1 2
(56)

Tingkat upaya penangkapan yang optimal dengan mempertimbangkan


ketergantungan ekologi perikanan (kompetisi) dapat diperoleh dari turunan pasrsial
rente ekonomi masing-masing spesies terhadap proporsi upaya penangkapan
masing-masing spesies sama dengan nol, maka diperoleh upaya pada kondisi MEY
sebagai berikut (Zulbainarni 2012):
12 21 c1 r1 r2 -c1 r1 r2 +K 1 p1 q 1 r1 r2 -K 2 12 p1 q 1 r1 r2 +E2 K 2 12 p1 q 1 q 2 r1
+2 1 21 2 1 2 2
E1MEY = 21 1 12 2
(57)

12 21 c2 r1 r2 -c1 r1 r2 +K 2 p2 q 2 r1 r2 -K 1 21 p2 q 2 r1 r2 +E1 K 2 12 p1 q 1 q 2 r1
+ 1 1 21 2 1 2 2
E2MEY = (58)
22 2 22 1

Analisis laju degradasi sumber daya ikan


Degradasi dapat diartikan sebagai tingkat atau laju penurunan kualitas dan
kuantitas sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources).
Kondisi ini dapat terjadi karena pengaruh kondisi alam maupun karena pengaruh
aktivitas manusia. Degradasi sumberdaya alam dapat dihitung berdasarkan Anna
(2003):
1
DG= h (59)
1+EXP( )
ho

adalah laju degradasi, adalah produksi lestari pada periode t, dan


adalah produksi aktual pada periode t.

Analisis laju depresiasi sumber daya ikan


Analisis depresiasi sumberdaya ditujukan untuk mengukur perubahan nilai
moneter dari pemanfaatan sumberdaya alam, atau dengan kata lain depresiasi
merupakan pengukuran degradasi yang dirupiahkan. Menurut Anna (2003) formula
pengukuran depresiasi dinotasikan sebagai berikut:
1
DP= (60)
1+EXP( )
0

adalah laju depresiasi, adalah rente lestari pada periode t, dan 0 adalah
rente aktual pada periode t.

Analisis stakeholder pada pengelolaan sumber daya ikan


Brown et al. (2001) menyatakan analisis stakeholder adalah sistem
pengumpulan informasi dari individu atau sekelompok orang yang berpengaruh di
dalam memutuskan, mengelompokkan informasi dan menilai kemungkinan konflik
yang terjadi antara kelompok-kelompok berkepentingan. Analisis stakeholder
merupakan analisis yang dilakukan untuk mengidentifikasi dan memetakan aktor
(tingkat kepentingan dan pengaruhnya) dalam pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya di wilayah pesisir serta potensi kerjasama dan konflik antar aktor.
17

Menurut Pomeroy dan Douvere (2008) analisis stakeholder atau kelembagaan


adalah pendekatan dan prosedur untuk memperoleh pemahaman tentang system
dengan cara mengidentifikasi pelaku utama dan pemegang kepentingan dalam
system dengan menilai kepentingan masing-masing. Aktor ini dapat dikategorikan
sesuai dengan banyak atau sedikitnya pengaruh dan kepentingan relatif terhadap
keberhasilan pengelolaan SDA. Langkah-langkah analisis stakeholder menurut
Grimble (1995) dan Bryson (2004):
1. Identifikasi stakeholder yang berperan dalam pemanfaatan sumber daya
perikanan demersal.
2. Menentukan kategori stakeholder dalam kelompok prioritas sebagai
primary stakeholders, secondary stakeholders, dan external stakeholders.
3. Mengidentifikasi kepentingan dan karakteristiksetiap stakeholder.
4. Mengidentifikasi pola dan konteks interaksi antar stakeholder.
5. Menetapkan pilihan untuk pengelolaan.
Pengambilan data dilakukan melalui wawancara dengan mengajukan
beberapa pertanyaan untuk mengidentifikasi tingkat kepentingan dan pengaruh
masih-masing stakeholder. Penentuan skor menggunakan skala Likert. Menurut
Azwar (1995) skala Likert berwujud kumpulan pertanyaan-pertanyaan sikap yang
ditulis, disusun, dan dianalisis sedemikian rupa sehingga respons seseorang
terhadap pertanyaan tersebut dapat diberikan angka (skor) dan kemudian dapat
diinterpretasikan. Biasanya dalam skala Likert terbagi dalam lima kategori yang
digunakan (Tabel 4).
Setelah penentuan skor setiap stakeholder, kemudian skor diplotkan ke dalam
sebuah matriks berdasarkan tingkat pengaruh dan kepentingan masing-masing
stakeholder. Matriks tersebut membentuk empat kuadran yaitu kuadran I (subject),
kuadran II (players), kuadran III (crowd), dan kuadran IV (context setters) (Eden
dan Ackerman 1998 in Bryson 2004). Matriks tersebut disajikan pada Gambar 3.
Tabel 4 Kategori skala Likert dalam penentuan tingkat pengaruh dan kepentingan
stakeholder

Skor Kriteria Keterangan


Kepentingan stakeholder
5 Sangat tinggi Sangat bergantung pada keberadaan sumber daya
4 Tinggi Ketergantungan tinggi pada keberadaan sumber daya
3 Cukup tinggi Cukup bergantung pada keberadaan sumber daya
2 Kurang tinggi Kurang bergantung pada keberadaan sumber daya
1 Rendah Tidak bergantung pada keberadaan sumber daya
Pengaruh stakeholder
5 Sangat tinggi Sangat mempengaruhi pengelolaan sumber daya
4 Tinggi Pengaruhnya tinggi pada pengelolaan sumber daya
3 Cukup tinggi Cukup berpengaruh pada pengelolaan sumber daya
2 Kurang tinggi Kurang berpengaruh pada pengelolaan sumber daya
1 Rendah Tidak berpengaruh pada pengelolaan sumber daya
18

Gambar 3 Matriks pengaruh dan kepentingan (Eden dan Ackerman 1998 in


Bryson 2004)

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Kondisi umum lokasi penelitian di PPP Labuan, Kabupaten Pandeglang,


Banten
Pusat perekonomian Kabupaten Pandeglang terletak di dua kota yakni
Pandeglang dan Labuan. Pandeglang merupakan wilayah pesisir dengan panjang
pantai 307 km dan yang dapat dimanfaatkan diluar kawasan lindung sepanjang 240
km, sehingga merupakan kabupaten dengan produksi perikanan yang tinggi.
Kecamatan Labuan merupakan pusat perekonomian di Kabupaten Pandeglang
berasal dari sektor perikanan. Labuan berbatasan langsung dengan perairan Selat
Sunda dan memiliki pelabuhan pendaratan ikan dengan produktivitas yang tinggi
yaitu Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan
PPP Labuan memiliki tiga tempat pendaratan ikan (TPI) yaitu TPI 1 untuk
pendaratan ikan demersal, TPI 2 dan 3 untuk pendaratan ikan pelagis. Selain itu
pembagian TPI tersebut didasarkan pada ukuran kapal-kapal yang berlabuh. PPP
Labuan terletak di Desa Teluk, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang,
Provinsi Banten. Berdasarkan Profil Desa tahun 2014, Desa Teluk merupakan
daerah daratan rendah dengan ketinggian 1,5 meter diatas permukaan laut. Selain
perikanan, di Desa Teluk juga terdapat kegiatan pertanian namun dalam luasan
yang sempit. Sebagian besar penduduk Desa Teluk berprofesi sebagai nelayan baik
nelayan penuh atau paruh waktu. Mata pencaharian penduduk Desa Teluk menurut
sensus tahun 2014 disajikan pada Gambar 4.
19

Jasa Karyawan/
Pemulung 1% ABRI/ PNS
1% 6%
Wiraswasta/
Pedagang
17%
Tani
2%
Pertukangan
2%
Nelayan
70% Buruh Tani
1%

Gambar 4 Mata pencaharian penduduk Desa Teluk tahun 2014


Sumber: Profil Desa Teluk (2014)

PPP Labuan merupakan pelabuhan perikanan yang memiliki fasilitas yang


baik. Fasilitas pokok digunakan untuk menjamin keselamatan umum dan dapat
dibedakan menjadi fasilitas pelindung (breakwater), fasilitas tambat (dermaga),
fasilitas penghubung (jalan) dan fasilitas lahan (lahan pelabuhan). Fasilitas fungsional
secara langsung dimanfaatkan untuk keperluan sendiri maupun diusahakan lebih lanjut
dan dapat dikelompokkan menjadi fasilitas penanganan hasil tangkapan dan
pemasarannya (gedung TPI, pasar ikan, cold storage), fasilitas suplai air bersih, es dan
tangki BBM, fasilitas pemeliharaan kapal dan alat tangkap (bengkel), fasilitas
perkantoran, dan fasilitas transportasi (alat-alat angkut ikan dan es). Penggunaan alat
tangkap di PPP Labuan cukup beragam. Gambar 5 menunjukkan jenis alat tangkap
yang dioperasikan di PPP Labuan Banten.
Alat Payang
penangkap 12%
kerang Dogol
Pancing
3% 10%
lainnya
17%
Arad
Bagan tancap
7%
7%

Pukat cincin
Bagan perahu/rakit 3%
16% Jaring insang
Jaring insang tetap hanyut
Jaring klitik
14% 10%
1%
Gambar 5 Komposisi alat tangkap di Selat Sunda tahun 2013
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pandeglang (2014)

Berdasarkan gambar 5 alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan


demersal di wilayah ini adalah alat tangkap dogol yang termasuk didalamnya
cantrang dan lampara dasar dan alat tangkap jaring arad atau small bottom trawl.
Jaring arad yang beroperasi di Kabupaten Pandeglang sebesar 7% dari total armada
yang beroperasi. Tahun 2013 hasil tangkapan jaring arad sebesar 2602.58 ton,
sedangkan hasil tangkapan total ikan demersal sebesar 9361.724 ton. Alat tangkap
20

jaring arad di Desa Teluk Labuan dikenal dengan sebutan jaring apolo. Jaring arad
merupakan jaring modifikasi dari alat tangkap trawl.
Jaring arad adalah alat tangkap yang dioperasikan secara aktif dengan cara
ditarik oleh perahu. Mengacu pada Tatalaksana Perikanan yang Bertanggung Jawab
(Code of Conduct for Responsible Fisheries) (FAO 1995), permasalahan utama
pada perikanan jaring arad adalah ketidakselektifan alat tangkap ini terhadap hasil
tangkapan sehingga hasil tangkap sampingan (HTS) yang tertangkap jumlahnya
jauh lebih besar dibandingkan dengan udang sebagai target spesies. Manadiyanto
et al. (2000) menjelaskan hasil tangkapan utama jaring arad adalah udang dan ikan
demersal. Target penangkapan utama jaring arad di Kabupaten Pandeglang adalah
ikan demersal, hal ini dikarenakan udang tidak banyak tersedia di wilayah perairan
sekitar PPP Labuan. Jaring arad memiliki daerah penangkapan yang cukup dekat
dari pantai, yaitu di Pulau Papole, Panimbang, dan Perairan Carita dengan jarak
tempuh dari pelabuhan sekitar 0.5-2 jam.

Perkembangan alat tangkap jaring arad di PPP Labuan, Kabupaten


Pandeglang, Banten
Menurut data statistik perikanan Kabupaten Pandeglang, alat tangkap jaring
arad mulai tercatat datanya sejak tahun 2004. Jaring arad sebagai alat tangkap ikan
sudah lama digunakan di Kabupaten Pandeglang namun sebelum tahun 2004
diklasifikasikan sebagai jaring trawl atau pukat harimau. Hal ini sejalan dengan
dikeluarkannya Undang-undang No.31/2004 pasal 9 ayat (1) tentang perikanan
yang menyebutkan larangan kepemilikan dan penggunaan alat tangkap ikan yang
mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di wilayah Indonesia
termasuk didalamnya jaring trawl atau pukat harimau, dan/ atau kompressor.
Setalah dikeuarkan UU tersebut maka nelayan melakukan berbagai modifikasi
terhadap alat tangkap jaring trawl menjadi jaring arad atau pukat pantai atau jaring
apolo, yang dimaksudkan agar lebih ramah lingkungan. Perkembangan armada atau
kapal jaring arad di Kabupaten Pandeglang disajikan pada Gambar 6.
180
160
140
Jumlah armada (unit)

120
100
80
60
40
20
0
2008 2009 2010 2011 2012 2013
Tahun

Armada Poly. (Armada)

Gambar 6 Perkembangan armada jaring arad tahun 2008-2013


Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pandeglang (2014)
21

Jumlah armada jaring arad yang beroperasi di Kabupaten Pandeglang dalam


waktu 6 tahun mengalami peningkatan pada tahun 2009 dan kembali menurun pada
tahun 2010. Tren perubahan jumlah armada cenderung menurun. Armada jaring
arad yang beroperasi di Kabupaten Pandeglang memiliki kapasitas yang kecil yaitu
<5 dan 5-10 GT. Tahun 2013 jumlah armada yang aktif beroperasi sebanyak 113
armada, terdiri dari 48 armada berkapasitas <5 GT dan 65 armada berkapasitas 5-
10 GT. Kapasitas kapal yang beroperasi relatif kecil sehingga operasi penangkapan
yang dilakukan one day trip atau sehari melaut. Kapal ini dioperasikan oleh 3 orang
termasuk juru mudi kapal. Kapal berangkat ke fishing ground pada pagi hari dan
kembali pada sore hari. Hasil tangkapan biasanya tidak diikutsertakan dalam
pelelangan, namun langsung diambil oleh tengkulak.
Selama satu bulan nelayan melakukan operasi penangkapan 20 hari dan 10
hari digunakan untuk istirahat dan memperbaiki kerusakan alat tangkap dan kapal.
Perkembangan jumlah trip melaut armada jaring arad selama tahun 2008-2013
disajikan pada Gambar 7. Perkembangan jumlah trip melaut alat tangkap jaring arad
memiliki tren yang sama dengan perkembangan jumlah armadanya yaitu cenderung
menurun mengikuti penurunan jumlah armadanya. Jumlah armada mengalami
penurunan sejak tahun 2009. Hal ini diikuti pula dengan penurunan trip
penangkapan, namun trip penangkapan pada tahun 2011 kembali pengalami
peningkatan meskipun tidak signifikan. Peningkatan ini diduga karena pada tahun
2011 nelayan meningkatkan operasi penangkapannya dari 20 hari dalam sebulan
menjadi hingga 25 hari dalam sebulan. Berdasarkan keterangan dari nelayan
setempat pada tahun 2011 banyak kapal yang kepemilikannya bukan pribadi
sehingga nelayan dapat bergantian menggunakan kapal tersebut. Hal ini
menyebabkan nelayan yang pergi melaut dapat berbeda untuk setiap harinya
sehingga nelayan tersebut tidak membutuhkan waktu khusus untuk istrirahat.
25000
upaya penangkapan (trip)

20000

15000

10000

5000

0
2008 2009 2010 2011 2012 2013
Tahun

upaya penangkapan (trip) Poly. (upaya penangkapan (trip))

Gambar 7 Perkembangan upaya penangkapan jaring arad tahun 2008-2013


Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pandeglang (2014)
22

Komposisi hasil tangkapan jaring arad di PPP Labuan, Kabupaten


Pandeglang, Banten
Sumber daya ikan demersal di Selat Sunda merupakan tipe perikanan yang
multispesies. Begitupula jenis ikan yang tertangkap oleh jaring arad terdiri dari 19
spesies (ikan, cumi-cumi, dan udang) namun jumlah setiap spesiesnya relatif
sedikit. Spesies ikan yang tertangkap jaring arad dikelompokkan kedalam 6
kelompok, yaitu spesies biji nangka (Upeneus moluccensis), peperek (Eubleekeria
splendens), kurisi (Nemipterus nematophorus), tiga waja (Otolithes ruber), layur
(Lepturacanthus savala), dan kelompok spesies lainnya. Produksi multispesies
sumber daya ikan demersal yang ditangkap dengan jaring arad di perairan Selat
Sunda ditunjukkan oleh Gambar 8.
Peperek
14%

Biji Nangka
18%
Ikan lainnya
47%

Kurisi
13%

Layur Tiga Waja


2% 6%

Gambar 8 Produksi multispesies jaring arad tahun 2013


Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pandeglang (2014)

Hasil tangkapan jaring arad diwakili oleh lima spesies dominannya yaitu ikan
biji nangka, peperek, kurisi, tiga waja, dan layur. Ke 5 spesies ikan ini memiliki
presentase 53% dari hasil tangkapan totalnya dan 47% termasuk ikan lainnya yang
terdiri dari 15 spesies. Perbandingan hasil tangkapan dominan 5 spesies ikan
dengan hasil tangkapan total jaring arad disajikan pada Gambar 9.
4000
3500
Hasil tangkapan (ton)

3000
2500
2000
1500
1000
500
0
2008 2009 2010 2011 2012 2013
Tahun
Total tangkapan arad 5 spesies
Poly. (Total tangkapan arad) Poly. (5 spesies)

Gambar 9 Hasil tangkapan jaring arad tahun 2013


Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pandeglang (2014)
23

Tren perkembangan hasil tangkapan 5 spesies dominan dan hasil tangkapan


total menurun dari tahun 2008 hingga 2013. Sedangkan perbandingan hasil
tangkapan 5 spesies dominan terhadap hasil tangkapan total cenderung stabil,
artinya ke 5 spesies dominan ini sedikitnya dapat mewakili keseluruhan spesies
yang tertangkap. Perkembangan hasil tangkapan dominan jaring arad dari tahun
2008 hingga 2013 disajikan pada Gambar 10.
4000
3500
Hasil tangkapan (ton)

3000
2500
2000
1500
1000
500
0
2008 2009 2010 2011 2012 2013
ikan lainnya layur Tahun tiga waja
kurisi biji nangka peperek

Gambar 10 Grafik perkembangan produksi multispesies sumber daya perikanan


demersal di Selat Sunda tahun 2008-2013
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pandeglang (2014)

Gambar 10 menunjukkan hasil tangkapan ikan demersal oleh alat tangkap


jaring arad menurun mulai dari tahun 2008-2013. Hasil tangkapan dominan adalah
ikan biji nangka dan ikan peperek. Penurunan hasil tangkapan ikan ini dapat
disebabkan adanya peningkatan alat tangkap lain yang lebih produktif dalam
penangkapan ikan demersal.

Parameter pertumbuhan ikan demersal ikan dominan tertangkap jaring arad


di Perairan Selat Sunda
Parameter pertumbuhan ikan mula-mula diduga melalui analisis pemisahan
kelompok ukuran. Analisis pemisahan kelompok ukuran panjang ikan dilakukan
dengan metode NORMSEP dengan bantuan program FISAT II. Pemisahan
kelompok ukuran ikan pada didasarkan pada sebaran kelas frekuensi panjang
terdapat pada Lampiran 2. Berdasarkan data kelompok ukuran ikan (Lampiran 3)
maka dapat dilakukan pendugaan parameter pertumbuhan meliputi nilai koefisien
pertumbuhan (k), panjang asimptotik tubuh ikan (L), dan umur teoritik ikan pada
saat panjang ikan nol (t0) yang dianalisis dengan menggunakan model von
Bertalanffy disajikan dalam Lampiran 4. Pendugaan parameter pertumbuhan
disajikan pada Tabel 5.
Jenis ikan yang dianalisis parameter pertumbuhannya adalah ikan biji nangka,
peperek, kurisi, dan layur. Ikan peperek memiliki nilai k yang lebih besar
dibandingkan ikan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa ikan peperek dapat tumbuh
lebih cepat mencapai L, sehingga ukuran ikannya lebih kecil dibandingkan ikan
lainnya. Ikan biji nangka dan ikan layur betina memiliki L yang lebih kecil
dibandingkan jantanya, sedangkan ikan peperek dan kurisi L betina lebih besar
24

dibandingkan ikan jantannya. Perbedaan nilai L dipengaruhi oleh nilai k masing-


masing spesies.
Tabel 5 Pendugaan parameter pertumbuhan ikan dominan tertangkap jaring arad
di Perairan Selat Sunda

Parameter pertumbuhan
Jenis ikan Jenis kelamin
k (bulan-1) L (mm) t0 (bulan)
Biji nangka Betina 0.34 175.06 -0.53
Jantan 0.11 197.32 -4.55
Peperek Betina 0.65 183.23 -0.15
Jantan 1.40 162.23 -0.07
Kurisi Betina 0.17 271.63 -0.54
Jantan 0.34 262.50 -0.27
Tiga waja Betina - - -
Jantan - - -
Layur Betina 0.30 710.41 -0.23
Jantan 0.23 869.52 -0.29

Panjang rata-rata pertama kali tertangkap (Lc) ikan dominan tertangkap


jaring arad di Perairan Selat Sunda
Panjang pertama kali ikan tertangkap adalah panjang ikan yang sebanyak 50%
ditangkap di suatu perairan. Analisis panjang ikan demersal pertama kali tertangkap
(Lc) disajikan pada Lampiran 5 dan Tabel 6 dengan grafik panjang pertama kali
tertangkap pada Lampiran 3.
Tabel 6 Panjang ikan pertama kali tertangkap (Lc) ikan dominan tertangkap jaring
arad di Perairan Selat Sunda
Jenis ikan Jenis kelamin Lc (mm) estimasi growth overfishing (%)
Biji nangka Betina 113.39 51
Jantan 106.16 38
Peperek Betina 106.44 59
Jantan 107.98 58
Kurisi Betina 160.78 45
Jantan 159.59 49
Tiga waja Betina - - -
Jantan - - -
Layur Betina 460.46 52
Jantan 454.66 69

Panjang rata-rata pertama kali matang gonad (Lm) ikan dominan tertangkap
jaring arad di Perairan Selat Sunda
Panjang ikan pertama kali matang gonad (Lm) dianalisis berdasarkan data
tingkat kematangan gonad ikan (TKG) yang mengacu pada klasifikasi Cassie
(1956) in Effendie (2002). TKG adalah tahap tertentu perkembangan gonad
sebelum dan sesudah ikan memijah. Grafik TKG dan analisis Lm untuk ikan
demersal disajikan pada Lampiran 6. Nilai Lm menunjukkan ikan-ikan tersebut
rata-rata 50% telah mengalami matang gonad pada sebaran ukuran nilai Lm
masing-masing jenisnya. Berdasarkan data TKG maka dapat dilakukan analisis
untuk menghitung panjang ikan pertama kali matang gonad (Lm) yang disajikan
25

pada Tabel 7. Setiap jenis ikan memiliki nilai Lm yang berbeda, salah satunya
dikarenakan ukuran ikan setiap jenisnya berbeda. Selain itu, faktor lingkungan juga
sangat mempengaruhi perbedaan nilai Lm untuk setiap jenis ikan.
Tabel 7 Panjang ikan pertama kali matang gonad (Lm) ikan dominan tertangkap
jaring arad di Perairan Selat Sunda
Jenis ikan Jenis kelamin Lm (mm) estimasi recruitmen overfishing (%)
Biji nangka Betina 117.95 40
Jantan 107.91 28
Peperek Betina 93.11 83
Jantan 111.94 33
Kurisi Betina 165.94 44
Jantan 176.33 28
Tiga waja Betina - -
Jantan - -
Layur Betina 567.24 12
Jantan 599.73 2

Laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan demersal


Pendugaan laju mortalitas total (Z) dilakukan dengan metode kurva hasil
tangkapan yang dilinearkan sehingga berbasis data panjang. Mortalitas (Z) terdiri
dari mortalitas akibat kematian alami (M) dan mortalitas akibat adanya
penangkapan (F). Laju eksploitasi sumber daya ikan diduga melalui hubungan
antara mortalitas alami (M) dan mortalitas penangkapan (F). Perhitungan laju
mortalitas dan laju eksploitasi disajikan pada Lampiran 7. Laju eksploitasi
dianalisis dengan menggunakan data panjang ikan, sehingga perhitungannya
berdasarkan pada data primer biologi. Data primer biologi yang digunakan
merupakan data dari hasil tangkapan ikan yang didaratkan di PPP Labuan, Banten.
Nilai mortalitas alami (M), penangkapan (F), total (Z), dan laju eksploitasi (E)
disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Mortalitas dan laju eksploitasi ikan demersal

Mortalitas
Jenis ikan Jenis kelamin
Z (/tahun) M (/tahun) F (/tahun) E (%)
Biji nangka Betina 1.20 0.45 0.75 63
Jantan 1.19 0.21 0.98 82
Peperek Betina 0.60 0.32 0.28 47
Jantan 1.13 0.50 0.64 56
Kurisi Betina 2.50 0.84 1.66 66
Jantan 5.39 1.43 3.95 73
Tiga waja Betina - - - -
Jantan - - - -
Layur Betina 1.25 0.27 0.97 72
Jantan 1.60 0.22 1.38 83

Berdasarkan Tabel 8 diketahui bahwa rata-rata nilai mortalitas penangkapan


lebih besar dibandingkan mortalitas alaminya. Artinya, ikan demersal yang
didaratkan di PPP Labuan lebih banyak mati akibat aktivitas penangkapan
26

(eksploitasi). Laju eksploitasi yang melebihi nilai optimum 0.5 menurut Gulland
(1971) in Pauly (1984) mengindikasikan suatu sumber daya mengalami
overeksploitasi.

Analisis pendekatan model biologi multispesies sumber daya ikan dominan


tertangkap jaring arad di Perairan Selat Sunda
Estimasi parameter biologi ikan dominan tertangkap jaring arad
Estimasi parameter biologi multispesies sumber daya perikanan demersal
menggunakan model surplus produksi Schaefer (Lampiran 8). Model ini dipilih
berdasarkan nilai koefisien determinasi (R2) paling tinggi. Parameter biologi yang
dianalisis terdiri dari intrinsic growth rate (r) atau tingkat pertumbuhan alami
multispesies sumber daya perikanan demersal, cathcability coefficient (q) atau
koefisien kemampuan tangkap jaring arad dan carrying capacity (K) atau daya
dukung lingkungan perairan Selat Sunda. Nilai masing-masing parameter biologi
disajikan Tabel 9.
Tabel 9 Nilai parameter biologi multispesies sumber daya ikan dominan tertangkap
jaring arad di Perairan Selat Sunda dengan model Schaefer

No Spesies r (%/tahun) q (1/unit upaya standar) K (ton/tahun)

1 Biji nangka 0.0415 7.21E-06 48840.84


2 Peperek 0.0408 8.29E-06 43560.56
3 Kurisi 0.0425 11.27E-06 33319.07
4 Tiga waja 0.0435 7.28E-06 36150.53
5 Layur 0.0428 23.91E-06 10638.20
Berdasarkan Tabel 9 terlihat bahwa tingkat pertumbuhan alami ikan tiga waja
paling tinggi dan dan yang paling rendah ikan peperek. Hal ini berarti ikan tiga waja
lebih cepat tumbuh dibandingkan spesies yang lainnya. Ikan biji nangka memiliki
daya dukung tertinggi, artinya spesies ini dapat hidup lebih banyak di perairan Selat
Sunda. Koefisien kemampuan tangkap spesies kurisi dan layur lebih tinggi
dibandingkan spesies lainnya yang artinya ikan kurisi dan layur peluang tertangkap
oleh jaring aradnya lebih tinggi.

Ketergantungan antarspesies ikan dominan tertangkap jaring arad


Sumber daya ikan demersal yang ditangkap dengan jaring arad memiliki
interaksi-interaksi yang terjadi antar spesies ikan biji nangka, peperek, kurisi, tiga
waja, dan layur yang akan saling berpengaruh satu dengan yang lainnya. Hasil
perhitungan koefisien ketergantungan antarspesies disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10 Koefisien ketergantungan antarspesies ikan dominan tertangkap jaring
arad di Perairan Selat Sunda dengan model Schaefer

No Spesies Koefisien ketergantungan


1 Biji nangka -1.7581E-28
2 Peperek -1.9843E-28
3 Kurisi -2.8119E-28
4 Tiga waja -1.8596E-28
5 Layur -6.0128E-28
27

Nilai koefisien ketergantungan yang negatif menunjukkan bahwa spesies biji


nangka, peperek, kurisi, tiga waja, layur, dan ikan lainnya yang ditangkap oleh
jaring arad saling berkompetisi (Anderson dan Seijo 2010). Kompetisi dalam hal
ini dapat berupa berkompetisi dalam mendapatkan makanan. Jenis makanan ikan
biji nangka, peperek, kurisi, tiga waja, dan layur disajikan dalam Lampiran 9.

Analisis pendekatan model ekonomi multispesies sumber daya sumber daya


ikan dominan tertangkap jaring arad di Perairan Selat Sunda
Analisis biaya penangkapan ikan dominan tertangkap jaring arad
Biaya penangkapan multispesies sumber daya ikan demersal berasal dari
biaya operasi penangkapan jaring arad. Biaya penangkapan dalam penelitian ini
diperoleh melalui wawancara dengan nelayan dan data sekunder dari dinas
Kabupaten Pandeglang. Data biaya dikonversi ke pengukuran riil dengan cara
menyesuaikan dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) jenis makanan (food) untuk
wilayah Provinsi Banten untuk mengeliminir pengaruh dari inflasi. Pendugaan
biaya penangkapan pada kelima jenis ikan disajikan pada Lampiran 10. Biaya
penangkapan riil sumber daya ikan demersal disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11 Biaya penangkapan riil ikan dominan tertangkap jaring arad di Perairan
Selat Sunda

Biaya riil (juta ton)


Tahun IHK*
Biji nangka Peperek Kurisi Tiga waja Layur
2008 124.73 0.09 0.07 0.07 0.03 0.01
2009 126.99 0.09 0.07 0.07 0.03 0.01
2010 144.89 0.11 0.08 0.08 0.04 0.01
2011 151.78 0.11 0.09 0.08 0.04 0.01
2012 157.67 0.12 0.09 0.08 0.04 0.01
2013 175.66 0.13 0.10 0.09 0.04 0.01
Rata-rata 146.95 0.11 0.08 0.08 0.04 0.01
*) Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Pandeglang (2015) (diolah)

Berdasarkan Tabel 11, dapat dilihat bahwa biaya penangkapan riil nelayan di
PPP Labuan mengalami kenaikan setiap tahunnya. Biaya penangkapan riil tertinggi
adalah untuk menangkap ikan biji nangka sebesar Rp 0.11 juta ton atau Rp 110 000.
Biaya penangkapan untuk ikan lainnya merupakan dari gabungan ikan-ikan hasil
tangkapan ikan jaring arad kecuali 5 kelompok jenis ikan yang dominan.

Analisis harga ikan hasil tangkapan ikan dominan tertangkap jaring arad
Aspek ekonomi yang diperlukan selanjutnya adalah faktor harga. Harga
berpengaruh terhadap penerimaan atau keuntungan yang diperoleh dari kegiatan
penangkapan. Sama halnya dengan biaya penangkapan, data harga juga dikonversi
ke pengukuran riil dengan cara menyesuaikan dengan Indeks Harga Konsumen
(IHK) jenis makanan (food) untuk wilayah Provinsi Banten untuk mengeliminir
pengaruh dari inflasi. Harga riil multispesies sumber daya ikan demersal disajikan
pada Tabel 12. Pendugaan harga riil pada kelima jenis ikan disajikan pada Lampiran
10.
28

Berdasarkan Tabel 12 harga riil multispesies sumber daya perikanan demersal


berfluktuatif namun kecenderungan mengalami peningkatan. Rata-rata harga ikan
tertinggi yaitu ikan layur sebesar Rp 12.77 juta/ ton atau Rp. 12 700 000/ ton. Ikan
peperek dan tiga waja merupakan ikan yang memiliki harga jual terendah, harga
jual yang disajikan adalah harga jual untuk ikan segar. Ikan peperek, ikan tiga waja,
dan ikan layur ukuran kecil lebih banyak dijual dalam bentuk kering atau yang
sudah dilakukan penggaraman (ikan asin), sehingga harganya menjadi lebih tinggi
dibandingkan dijual dalam bentuk segar. Ikan layur ukuran besar lebih banyak
dijual ke produsen industri makanan, sedangkan ikan biji nangka dan ikan kurisi
dijual dalam bentuk segar.
Tabel 12 Harga riil multispesies ikan dominan tertangkap jaring arad di Perairan
Selat Sunda

Harga riil (juta/ ton)


Tahun IHK*
Biji nangka Peperek Kurisi Tiga waja Layur
2008 124.73 7.43 9.60 10.84 4.93 9.01
2009 126.99 7.57 4.72 11.04 5.02 9.17
2010 144.89 8.64 5.39 12.59 5.73 10.46
2011 151.78 9.05 5.64 13.19 6.00 10.96
2012 157.67 9.40 5.86 13.70 6.23 11.39
2013 175.66 10.47 6.53 15.27 6.94 12.69
Rata-rata 146.95 8.76 6.29 12.77 5.81 10.61
*) Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Pandeglang (2015) (diolah)

Analisis model bioekonomi multispesies sumber daya ikan dominan


tertangkap jaring arad di Perairan Selat Sunda
Analisis bioekonomi multispesies sumber daya perikanan demersal dalam
penelitian ini dilakukan dalam kondisi pengelolaan Maximum Sustainable Yield
(MSY), Maximum Economic Yield (MEY), dan kebijakan penangkapan optimal
(OPT). Nilai parameter biologi dan parameter ekonomi digunakan untuk menduga
hasil tangkapan optimum (h), upaya tangkapan optimum (E), dan keuntungan
optimum () pada kondisi MSY, MEY, dan OPT. Hubungan antara upaya
penangkapan jaring arad dan hasil tangkapan multispesies sumber daya perikanan
demersal menggunakan model Schaefer. Nilai EMSY, hMSY,MSY, EMEY, hMEY, MEY, dan
pada kondisi aktual disajikan dalam Tabel 13.
Tabel 13 Nilai EMSY, hMSY,MSY, EMEY, hMEY, MEY multispesies sumber daya ikan
dominan tertangkap jaring arad di Perairan Selat Sunda
MSY MEY Aktual
No Spesies (Rp (Rp (Rp
h (ton) E (trip) h (ton) E (trip) h (ton) E (trip)
Juta) Juta) Juta)
1 Biji nangka 507 2878 4129 506 2777 4135 466 3036 3751
2 Peperek 444 2461 2588 444 2370 2592 361 2351 2071
3 Kurisi 354 1885 4373 354 1854 4375 337 2199 4135
4 Tiga waja 393 2991 2174 393 2918 2176 160 1040 889
5 Layur 114 896 1199 114 892 1199 50 324 524
Total 1812 11111 14463 1811 10811 14477 1374 8950 11370
Sumber: DKP Kabupaten Pandeglang tahun 2008-2013 (diolah)
29

Berdasarkan Tabel 13 terlihat bahwa upaya optimum kondisi MSY untuk alat
tangkap jaring arad adalah 11 111 trip yang menghasilkan 1 812 ton yang terdiri
dari 507 ton ikan biji nangka, 444 ton ikan peperek, 354 ton ikan kurisi, 393 ton
ikan tiga waja, dan 114 ikan layur. Upaya optimum kondisi MEY untuk alat tangkap
jaring arad adalah 10 811 trip dengan hasil tangkapan 1 811 ton. Keuntungan ()
ekonomi tertinggi terdapat pada kondisi pengelolaan MEY. Keuntungan aktual
(2013) ekonomi perikanan untuk lima jenis ikan lebih kecil dibandingkan dengan
keuntungan saat kondisi MSY dan MEY. Kondisi hasil tangkapan (h) aktual untuk
ikan biji nangka, peperek, kurisi, tiga waja, dan layur lebih kecil dibandingkan nilai
MSY ataupun MEY masing-masing jenis. Upaya (E) aktual penangkapan jaring
arad sebesar 8950 trip lebih kecil dibandingkan pada kondisi MSY sebesar 11111
trip dan kondisi MEY sebesar 10811 trip. Pada spesies biji nangka dan kurisi upaya
(E) aktual lebih tinggi dibandingkan pada kondisi MSY dan MEYnya.
Sementara itu, kodisi pengelolaan multispesies sumber daya ikan demersal
secara optimal (OPT) pada tingkat social discount rate () sebesar 7.5% dan 11.5%.
Tingkat discount rate yang digunakan mengikuti suku bunga acuan Bank Indonesia
dan suku bunga beberapa bank di Indonesia. Analisis pada kondisi pengelolaan
optimal disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14 Nilai EOPT, hOPT,OPT multispesies sumber daya ikan dominan tertangkap
jaring arad di Perairan Selat Sunda

= 7.5% = 11.5%
Selisih keuntungan (Rp
No Spesies h E (Rp h E (Rp Juta)
(ton) (trip) Juta) (ton) (trip) Juta)
1 Biji 466 3695 3683 154 8337 440 3243
nangka
2 Peperek 127 4887 387 92 4652 191 196
3 Kurisi 49 3697 335 35 3674 160 175
4 Tiga 81 5913 251 57 5755 120 132
waja
5 Layur 3 1394 21 3 1780 12 9
Total 726 19586 4677 341 24198 923 3755
Sumber: DKP Kabupaten Pandeglang tahun 2008-2013 (diolah)

Berdasarkan Tabel 14 dapat terlihat bahwa perbedaan discount rate


mengakibatkan terjadinya perbedaan yang cukup besar terhadap hasil tangkapan (h)
dan upaya penangkapan (E), sehingga berpengaruh juga terhadap keuntungan yang
diperoleh. Selisih keuntungan dari kedua discount rate cukup tinggi yang artinya
komoditas ikan demersal peka terhadap inflasi. Hal ini juga dapat terlihat dari
ketidakstabilan harga ikan. Hubungan antara upaya dan hasil tangkapan pada rezim
pengelolaan MSY disajikan pada Gambar 14. Berdasarkan Gambar 14 terlihat
bahwa uapaya tangkapan MSY total untuk seluruh ikan hasil tangkapan lebih tinggi
dibandingkan pada masing-masing jenis yang diteliti.
30

1800
1600
1400
1200
Hasil tangkapan (ton)

1000
800
600
400
200
0
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 10000 11000 12000 13000 14000 15000
Upaya penangkapan (trip)
Total jaring arad MSY total Biji nangka Peperek
Kurisi Tiga waja Layur

Gambar 11 Grafik hubungan antara upaya tangkapan dan hasil tangkapan pada
kondisi MSY
Analisis pendekatan model bioekonomi kompetisi ikan dominan tertangkap
jaring arad di Perairan Selat Sunda
Berdasarkan analisis ketergantungan antarspesies pada Tabel 10 dibuktikan
bahwa hubungan atau ketergantungan antarspesies biji nangka, peperek, kurisi, tiga
waja, layur, dan ikan lainnya adalah saling berkompetisi. Model bioekonomi
kompetisi dihitung dengan melihat empat kondisi kompetisi yaitu kompetisi antara
ikan biji nangka dengan peperek, ikan biji nangka dengan kurisi, ikan biji nangka
dengan tiga waja, dan ikan biji nangka dengan layur. Kompetisi ini didasarkan pada
jenis makanan yang sama pada Lampiran 9 dengan biji nangka sebagai spesies
utamanya, karena merupakan hasil tangkapan dominan jaring arad. Hubungan
kompetisi antar spesies ikan biji nangka dengan peperek, ikan biji nangka dengan
kurisi, ikan biji nangka dengan tiga waja, dan ikan biji nangka dengan layur
bertutut-turut disajikan pada Tabel 15, Tabel 16, Tabel 17, dan Tabel 18.
Tabel 15 Hubungan kompetisi ikan biji nangka dengan ikan peperek
Parameter Simbol Nilai Satuan
Carrying Capacity - Spesies 1 (Biji nangka) K1 48840.8401 Ton
Carrying Capacity - Spesies 2 (Peperek) K2 43560.5600 Ton
Intrinsic Growth Rate- Spesies 1 r1 0.0415 1/tahun
Intrinsic Growth Rate- Spesies 2 r2 0.0408 1/tahun
Parameter kompetisi ketergantungan - Spesies 1 12 1.1212 1/ton
Parameter kompetisi ketergantungan - Spesies 2 21 0.8919 1/ton

Tabel 16 Hubungan kompetisi ikan biji nangka dengan ikan kurisi


Parameter Simbol Nilai Satuan
Carrying Capacity - Spesies 1 (Biji nangka) K1 48840.8401 Ton
Carrying Capacity - Spesies 3 (Kurisi) K3 33319.0670 Ton
Intrinsic Growth Rate- Spesies 1 r1 0.0415 1/tahun
Intrinsic Growth Rate- Spesies 3 r3 0.0425 1/tahun
Parameter kompetisi ketergantungan - Spesies 1 13 1.4659 1/ton
Parameter kompetisi ketergantungan - Spesies 3 31 0.6822 1/ton

Berdasarkan Tabel 15 koefisien ketergantungan ikan biji nangka (12) sebesar


1.1212 (bernilai >1). Hal ini berarti efek kompetisi dari spesies 1 (biji nangka)
31

terhadap spesies 2 (peperek) lebih besar dibandingan efek kompetisi biji nangka
dengan anggotanya. Sedangkan koefisien ketergantungan ikan peperek (21)
sebesar 0.8919 (bernilai <1), yang artinya efek kompetisi spesies 2 (peperek)
terhadap spesies 1 (biji nangka) lebih kecil dibandingkan efek kompetisi peperek
dengan anggotanya sendiri.
Berdasarkan Tabel 16 koefisien ketergantungan ikan biji nangka (12) sebesar
1.4659 (bernilai >1). Hal ini berarti efek kompetisi dari spesies 1 (biji nangka)
terhadap spesies 2 (kurisi) lebih besar dibandingan efek kompetisi biji nangka
dengan anggotanya. Sedangkan koefisien ketergantungan ikan kurisi (21) sebesar
0.6822 (bernilai <1), yang artinya efek kompetisi spesies 2 (kurisi) terhadap spesies
1 (biji nangka) lebih kecil dibandingkan efek kompetisi kurisi dengan anggotanya
sendiri.

Tabel 17 Hubungan kompetisi ikan biji nangka dengan ikan tiga waja
Parameter Simbol Nilai Satuan
Carrying Capacity - Spesies 1 (Biji nangka) K1 48840.8401 Ton
Carrying Capacity - Spesies 4 (Tiga waja) K4 36150.5310 Ton
Intrinsic Growth Rate- Spesies 1 r1 0.0415 1/tahun
Intrinsic Growth Rate- Spesies 4 r4 0.0435 1/tahun
Parameter kompetisi ketergantungan - Spesies 1 14 1.3510 1/ton
Parameter kompetisi ketergantungan - Spesies 4 41 0.7402 1/ton

Berdasarkan Tabel 17 koefisien ketergantungan ikan biji nangka (12) sebesar


1.3510 (bernilai >1). Hal ini berarti efek kompetisi dari spesies 1 (biji nangka)
terhadap spesies 2 (tiga waja) lebih besar dibandingan efek kompetisi biji nangka
dengan anggotanya. Sedangkan koefisien ketergantungan ikan tiga waja (21)
sebesar 0.7402 (bernilai <1), yang artinya efek kompetisi spesies 2 (tiga waja)
terhadap spesies 1 (biji nangka) lebih kecil dibandingkan efek kompetisi tiga waja
dengan anggotanya sendiri.

Tabel 18 Hubungan kompetisi ikan biji nangka dengan ikan layur


Parameter Simbol Nilai Satuan
Carrying Capacity - Spesies 1 (Biji nangka) K1 48840.8401 Ton
Carrying Capacity - Spesies 5 (Layur) K5 10638.2038 Ton
Intrinsic Growth Rate- Spesies 1 r1 0.0415 1/tahun
Intrinsic Growth Rate- Spesies 5 r5 0.0428 1/tahun
Parameter kompetisi ketergantungan - Spesies 1 15 4.5911 1/ton
Parameter kompetisi ketergantungan - Spesies 5 51 0.2178 1/ton

Berdasarkan Tabel 18 koefisien ketergantungan ikan biji nangka (12) sebesar


4.5911 (bernilai >1). Hal ini berarti efek kompetisi dari spesies 1 (biji nangka)
terhadap spesies 2 (layur) lebih besar dibandingan efek kompetisi biji nangka
dengan anggotanya. Sedangkan koefisien ketergantungan ikan layura (21) sebesar
0.2178 (bernilai <1), yang artinya efek kompetisi spesies 2 (layur) terhadap spesies
1 (biji nangka) lebih kecil dibandingkan efek kompetisi layur dengan anggotanya
sendiri.
Koefisien ketergantungan, parameter biologi, dan parameter ekonomi
selanjutnya dapat digunakan untuk menduga upaya optimum (EMEY) akibat adanya
32

kompetisi tersebut. Pendugaan upaya optimum dilakukan untuk melihat ada


tidaknya perubahan upaya optimum setelah faktor kompetisi dimasukkan dalam
perhitungannya. Implementasi model bioekonomi untuk setiap kompetisi spesies
yang dominan tertangkap jaring arad secara berturut-turut disajikan pada Tabel 19,
Tabel 20, Tabel 21, dan Tabel 22.
Tabel 19 Implementasi model bioekonomi kompetisi ikan biji nangka dengan ikan
peperek
Parameter Simbol Nilai Satuan
Carrying Capacity - Spesies 1 (Biji nangka) K1 48840.8401 Ton
Carrying Capacity - Spesies 2 (Peperek) K2 43560.5600 Ton
Intrinsic Growth Rate- Spesies 1 r1 0.0415 1/tahun
Intrinsic Growth Rate- Spesies 2 r2 0.0408 1/tahun
Parameter kompetisi ketergantungan - Spesies 1 12 1.1212 1/ton
Parameter kompetisi ketergantungan - Spesies 2 21 0.8919 1/ton
Upaya penangkapan aktual - Spesies 1 E1 3035.8271 Trip
Upaya penangkapan aktual - Spesies 2 E2 2350.5743 Trip
Catchability coefficient - Spesies 1 q1 7.2142E-06 1/trip/tahun
Catchability coefficient - Spesies 2 q2 8.2874E-06 1/trip/tahun
Biaya penangkapan rill (2013) - Spesies 1 c1 0.1082 juta Rp
Biaya penangkapan rill (2013) - Spesies 2 c2 0.0838 juta Rp/trip
Harga rill (2013) - Spesies 1 p1 8.7592 Juta Rp/ton
Harga rill (2013) - Spesies 2 p2 6.2898 Juta Rp/ton
Initial Biomass - Spesies 1 x1 24420.4201 Ton
Initial Biomass - Spesies 2 x2 21780.2800 Ton
Biomassa - Spesies 1 x1 23278.0561 Ton
Biomassa - Spesies 2 x2 22941.7985 Ton
Upaya penangkapan MEY - Spesies 1 E1MEY 1729.3492 Trip
Upaya penangkapan MEY - Spesies 2 E2MEY 1298.2458 Trip
Sumber: DKP Kabupaten Pandeglang tahun 2008-2013 (diolah)

Tabel 20 Implementasi model bioekonomi ikan biji nangka dengan ikan kurisi
Parameter Simbol Nilai Satuan
Carrying Capacity - Spesies 1 (Biji nangka) K1 48840.8401 Ton
Carrying Capacity - Spesies 3 (Kurisi) K3 33319.0670 Ton
Intrinsic Growth Rate- Spesies 1 r1 0.0415 1/tahun
Intrinsic Growth Rate- Spesies 3 r3 0.0425 1/tahun
Parameter kompetisi ketergantungan - Spesies 1 13 1.4659 1/ton
Parameter kompetisi ketergantungan - Spesies 3 31 0.6822 1/ton
Upaya penangkapan aktual - Spesies 1 E1 3035.8271 Trip
Upaya penangkapan aktual - Spesies 3 E3 2198.5711 Trip
Catchability coefficient - Spesies 1 q1 7.2142E-06 1/trip/tahun
Catchability coefficient - Spesies 3 q3 1.1274E-05 1/trip/tahun
Biaya penangkapan rill (2013) - Spesies 1 c1 0.1082 juta Rp
Biaya penangkapan rill (2013) - Spesies 3 c3 0.0784 juta Rp/trip
Harga rill (2013) - Spesies 1 p1 8.7592 Juta Rp/ton
Harga rill (2013) - Spesies 3 p3 12.7715 Juta Rp/ton
Initial Biomass - Spesies 1 x1 24420.4201 Ton
Initial Biomass- Spesies 3 x3 16659.5335 Ton
Biomassa - Spesies 1 x1 28438.9506 Ton
Biomassa - Spesies 3 x3 17539.3497 Ton
Upaya penangkapan MEY - Spesies 1 E1MEY 1708.6996 Trip
Upaya penangkapan MEY - Spesies 3 E3MEY 994.2078 Trip
Sumber: DKP Kabupaten Pandeglang tahun 2008-2013 (diolah)
33

Berdasarkan Tabel 19 nilai biomassa awal (initial biomass) terjadi penurunan


biomassa untuk ikan biji nangka sebesar 1142.4 ton, sedangkan untuk biomass ikan
peperek mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan eksploitasi
lebih banyak menangkap ikan biji nangka dibandingkan ikan peperek. Penurunan
biomassa mempengaruhi nilai upaya optimumnya (EMEY). Upaya optimum
penangkapan ikan biji nangka lebih besar dibandingkan ikan peperek. Hal ini
menunjukkan bahwa ikan biji nangka di perairan Selat Sunda tersedia lebih banyak
dibandingkan ikan peperek.
Tabel 20 menunjukan bahwa berdasarkan koefisien ketergantungan spesies
biji nangka dengan spesies kurisi dapat mempengaruhi penurunan dari biomassa
awal untuk ikan kurisi, namun meningkatkan biomassa untuk ikan biji nangka.
Perubahan nilai biomassa dapat mempengaruhi penentuap upaya optimumnya.
Upaya optimum penangkapan ikan biji nangka lebih besar dibandingkan ikan
kurisi. Hal ini menunjukkan bahwa ikan biji nangka di perairan Selat Sunda tersedia
lebih banyak dibandingkan ikan kurisi.
Tabel 21 Implementasi model bioekonomi ikan biji nangka dengan ikan tiga waja
Parameter Simbol Nilai Satuan
Carrying Capacity - Spesies 1 (Biji nangka) K1 48840.8401 Ton
Carrying Capacity - Spesies 4 (Tiga waja) K4 36150.5310 Ton
Intrinsic Growth Rate- Spesies 1 r1 0.0415 1/tahun
Intrinsic Growth Rate- Spesies 4 r4 0.0435 1/tahun
Parameter kompetisi ketergantungan - Spesies 1 14 1.3510 1/ton
Parameter kompetisi ketergantungan - Spesies 4 41 0.7402 1/ton
Upaya penangkapan aktual - Spesies 1 E1 3035.8271 Trip
Upaya penangkapan aktual - Spesies 4 E4 1040.3615 Trip
Catchability coefficient - Spesies 1 q1 7.2142E-06 1/trip/tahun
Catchability coefficient - Spesies 4 q4 7.2778E-06 1/trip/tahun
Biaya penangkapan rill (2013) - Spesies 1 c1 0.1082 juta Rp
Biaya penangkapan rill (2013) - Spesies 4 c4 0.0371 juta Rp/trip
Harga rill (2013) - Spesies 1 p1 8.7592 Juta Rp/ton
Harga rill (2013) - Spesies 4 p4 5.8085 Juta Rp/ton
Initial Biomass - Spesies 1 x1 24420.4201 Ton
Initial Biomass- Spesies 4 x2 18075.2655 Ton
Biomassa - Spesies 1 x1 8447.6322 Ton
Biomassa - Spesies 4 x4 19056.0118 Ton
Upaya penangkapan MEY - Spesies 1 E1MEY 515.1454 Trip
Upaya penangkapan MEY - Spesies 4 E4MEY 1577.6273 Trip
Sumber: DKP Kabupaten Pandeglang tahun 2008-2013 (diolah)

Tabel 21 bahwa berdasarkan koefisien ketergantungan spesies biji nangka


dengan spesies tiga waja dapat mempengaruhi biomassanya. Terjadi penurunan
biomassa ikan biji nangka sebesar 15 973 ton. Hal ini menunjukkan bahwa ikan biji
nangka ditangkap dengan upaya penangkapan lebih tinggi dibandingkan dengan
ikan tiga waja. Sedangkan ikan tiga waja mengalami kenaikan biomassa sebesar
981 ton. Perubahan nilai biomassa dapat mempengaruhi upaya optimumnya. Upaya
optimum penangkapan ikan biji nangka lebih kecil dibandingkan ikan layur. Hal ini
dipengaruhi oleh adanya penurunan biomassa yang besar dari ikan biji nangka
dibandingkan ikan tiga waja.
34

Tabel 22 Implementasi model bioekonomi ikan biji nangka dengan ikan layur
Parameter Simbol Nilai Satuan
Carrying Capacity - Spesies 1 (Biji nangka) K1 48840.8401 Ton
Carrying Capacity - Spesies 5 (Layur) K5 10638.2038 Ton
Intrinsic Growth Rate- Spesies 1 r1 0.0415 1/tahun
Intrinsic Growth Rate- Spesies 5 r5 0.0428 1/tahun
Parameter kompetisi ketergantungan - Spesies 1 15 4.5911 1/ton
Parameter kompetisi ketergantungan - Spesies 5 51 0.2178 1/ton
Upaya penangkapan aktual - Spesies 1 E1 3035.8271 Trip
Upaya penangkapan aktual - Spesies 5 E5 324.0823 Trip
Catchability coefficient - Spesies 1 q1 7.2142E-06 1/trip/tahun
Catchability coefficient - Spesies 5 q5 2.3911E-05 1/trip/tahun
Biaya penangkapan rill (2013) - Spesies 1 c1 0.1082 juta Rp
Biaya penangkapan rill (2013) - Spesies 5 c5 0.0116 juta Rp/trip
Harga rill (2013) - Spesies 1 p1 8.7592 Juta Rp/ton
Harga rill (2013) - Spesies 5 p5 10.6139 Juta Rp/ton
Initial Biomass - Spesies 1 x1 24420.42005 Ton
Initial Biomass- Spesies 5 x5 5319.10188 Ton
Biomassa - Spesies 1 x1 8787.6677 Ton
Biomassa - Spesies 5 x5 5607.6846 Ton
Upaya penangkapan MEY - Spesies 1 E1MEY 283.5052 Trip
Upaya penangkapan MEY - Spesies 5 E5MEY 472.5775 Trip
Sumber: DKP Kabupaten Pandeglang tahun 2008-2013 (diolah)

Tabel 22 bahwa berdasarkan koefisien ketergantungan spesies biji nangka


dengan spesies layur dapat mempengaruhi biomassanya. Terjadi penurunan
biomassa ikan biji nangka sebesar 15 633 ton. Hal ini menunjukkan bahwa ikan biji
nangka ditangkap dengan upaya penangkapan lebih tinggi dibandingkan dengan
ikan layur. Sedangkan ikan layur mengalami kenaikan biomassa sebesar 288 ton.
Perubahan nilai biomassa dapat mempengaruhi upaya optimumnya. Upaya
optimum penangkapan ikan biji nangka lebih kecil dibandingkan ikan layur.

Laju degradasi sumber daya ikan dominan tertangkap jaring arad di Perairan
Selat Sunda
Nilai-nilai parameter biologi dapat digunakan untuk memperoleh produksi
(hasil tangkapan) lestari setiap spesies dapat dilihat pada Lampiran 13. Berdasarkan
data produksi lestari dan produksi aktual dapat diperoleh laju degradasi dan laju
depresiasi. Laju degradasi merupakan laju penurunan kualitas suatu sumber daya
perikanan. Laju degradasi bernilai dari nol dan kurang dari satu. Gambar 12
menunjukkan laju degradasi sumber daya ikan demersal di Selat Sunda.
Berdasarkan Gambar 12 koefisien degradasi 5 spesies ikan berkisar antar 0.1-
0.32 dengan nilai koefisien degradasi tertinggi adalah ikan tiga waja. Suatu sumber
daya dikatakan sudah terdegradasi kualitasnya apabila koefisien degradasi lebih
dari 0.5. Sehingga sumber daya ikan demersal yang ditangkap dengan jaring arad
belum mengalami degradasi atau penurunan kualitas. Laju degradasi cenderung
mengalami penurunan untuk kelima jenis ikan. Hal ini terjadi dikarenakan hasil
tangkapan jaring arad yang juga mengalami penurunan, sehingga produksi
lestarinya mengalami peningkatan.
35

0.5000

Koefisien degradasi
0.4000

0.3000

0.2000

0.1000

0.0000
2008 2009 2010 2011 2012 2013
Tahun
Biji nangka Peperek Kurisi
Tiga waja Layur Batas
Gambar12 Koefisien degradasi ikan demersal di Selat Sunda

Laju depresiasi sumber daya ikan dominan tertangkap jaring arad di


Perairan Selat Sunda
Analisis depresiasi sumber daya ditujukan untuk mengukur perubahan nilai
moneter dari pemanfaatan sumber daya alam. Laju depresiasi juga merupakan
pengukuran degradasi atau laju penurunan kualitas sumber daya yang dirupiahkan.
Sama halnya dengan laju degradasi, perhitungan laju depresiasi memperhitungkan
keuntungan lestari dan keuntungan aktual berdasarkan produksi lestari, produksi
aktual, harga riil ikan, dan biaya penangkapannya. Gambar 13 menunjukkan laju
depresiasi untuk sumber daya ikan demersal yang ditangkap dengan jaring arad.
0.5
Koefisien depresiasi

0.4

0.3

0.2

0.1

0
2008 2009 2010 2011 2012 2013
Tahun
Biji nangka Peperek Kurisi
Tiga waja Layur Batas
Gambar13 Koefisien depresiasi ikan demersal di Selat Sunda
Berdasarkan Gambar 8 koefisien depresiasi 5 spesies ikan berkisar antar 0.05-
0.30 dengan nilai koefisien degradasi tertinggi adalah ikan tiga waja. Suatu sumber
daya ikan dikatakan telah mengalami penurunan keuntungan yang signifikan atau
mengarah pada kerugian apabila laju depresiasinya > 0.5. Sehingga untuk ke-5
spesies ikan demersal yang tertangkap oleh jaring arad belum terdepresiasi.
36

Analisis stakeholder dalam pengelolaan sumber daya ikan demersal yang


dominan tertangkap jaring arad di Perairan Selat Sunda
Menurut Pomeroy dan Douvere (2008) analisis stakeholder atau kelembagaan
adalah pendekatan dan prosedur untuk memperoleh pemahaman tentang system
dengan cara mengidentifikasi pelaku utama dan pemegang kepentingan dalam
system dengan menilai kepentingan masing-masing. Hasil analisis stakeholder
yang terkait dengan kegiatan penangkapan ikan demersal di PPP Labuan Desa
Teluk disajikan pada Gambar 14. Penentuan skoring hasil wawancara pada setiap
stakeholder disajikan pada Lampiran 12.
Gambar 14 menunjukkan hubungan antara pengaruh dan kepentingan untuk
setiap stakeholder yang terkait dengan kegiatan penangkapan perikanan demersal
di PPP Labuan, Desa Teluk, Kabupaten Pandeglang. Kuadran I merupakan subjek
yang memanfaatkan keberadaan sumber daya ikan demersal, terdiri dari pedagang
ikan, pengepul, bakul, konsumen, dan pengusaha perikanan. Kuadran II merupakan
pemain atau pelaksana untuk pengelolaan perikanan demersal, terdiri dari nelayan,
ABK, dan juragan pemilik kapal. Kuadran III merupakan pengikut, terdiri dari
masyarakat, agen, dan pedagang non ikan. Kuadran IV merupakan penentu
kebijakan dalam pengelolaan sumber daya perikanan demersal, terdiri dari Dinas
Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Pandeglang, Perangkat Desa, Petugas
TPI, Balai Pelabuhan Perikanan Pantai (BPPP) Provinsi Banten.

5
4.5
4
3.5 I II
Kepentingan

3
2.5
2
1.5 III IV
1
0.5
0
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5
ABK Juragan
Pengepul Pengaruh Bakul
Agen Pengusaha perikanan
Pedagang ikan Pedagang non ikan
Konsumen Masyarakat
Manajer TPI Perangkat Desa
DKP Kab Pandeglang Dinas BPPT Prov. Banten
Dinas Perhubungan (syahbandar) Batas

Gambar 14 Matriks pengaruh dan kepentingan antar stakeholder


Keterangan:
I : kuadran I subjek III : kuadran III pengikut
II : kuadran II pemain IV : kuadran IV penentu kebijakan

Pembahasan

Parameter pertumbuhan sumber daya ikan dominan tertangkap jaring arad


di Perairan Selat Sunda
Ikan demersal merupakan ikan dominan kedua yang didaratkan di PPP
Labuan Banten setelah ikan pelagis. Alat tangkap yang digunakan untuk
37

menangkap ikan demersal di daerah Labuan, Banten terdiri dari dogol, cantrang,
lampara dasar, jaring arad, payang, dan jaring insang. Hal ini mengindikasikan ikan
demersal bersifat multigear dan multispesies. Ikan demersal bersifat multispesies
akan tetapi jumlah individu dari masing-masing jenis tersebut relatif rendah. Jaring
arad adalah salah satu alat tangkap ikan demersal yang dominan dan masih
dioperasikan di wilayah Labuan, Banten. Berdasarkan data DKP Kabupaten
Pandeglang (2013) jumlah jaring arad yang beoperasi di wilayah Labuan, Banten
sebesar 7% dari keseluruhan alat tangkap (Gambar 5). Jaring arad di perairan Selat
Sunda di operasikan menggunakan tenaga kerja dengan posisi sebagai nakhoda,
juru mudi, dan anak buah kapal. Jumlah tenaga kerja tiap kapal terdiri dari 3-5 orang
dengan kegiatan penangkapan dalam sehari (one day trip).
Hasil tangkapan ikan demersal dominan oleh jaring arad dikelompokkan
kedalam 5 kelompok, yaitu spesies biji nangka, peperek, kurisi, tiga waja, dan ikan
layur. Spesies ikan yang terdiri dari 5 kelompok, 4 diantaranya dilakukan analisis
sebaran frekuensi panjang untuk mengetahui aspek pertumbuhan dan
pemanfaatannya. Empat kelompok ikan tersebut adalah ikan biji nangka, peperek,
kurisi, dan layur. Aspek pertumbuhan yang dianalisis meliputi nilai koefisien
pertumbuhan (k), panjang asimptotik tubuh ikan (L), dan umur teoritik ikan pada
saat panjang ikan nol (t0). Ketiga aspek pertumbuhan tersebut dianalisis
menggunakan metode von Bertalanffy dengan terlebih dahulu dilakukan pemisahan
kelompok ukuran. Pemisahan kelompok ukuran ikan didasarkan pada sebaran kelas
frekuensi panjang (Lampiran 2). Pertumbuhan yang terjadi pada ikan digambarkan
dengan adanya pergeseran modus ukuran panjang ikan ke arah kanan (Lampiran 2).
Menurut Sparre dan Venema (1999) kajian pertumbuhan merupakan ukuran tubuh
sebagai fungsi dari umur.
Berdasarkan Tabel 5 ikan demersal yang memiliki pertumbuhan paling tinggi
adalah ikan peperek dengan nilai k sebesar 0.65 untuk betina dan 1.40 untuk jantan.
Hal ini menunjukkan ikan peperek dapat tumbuh lebih cepat untuk mencapai L
dibandingkan ikan biji nangka, kurisi, dan layur, sehingga ikan ini cenderung
berukuran lebih kecil dibandingkan ikan lainnya. Ikan-ikan berukuran lebih kecil
cenderung memiliki umur yang pendek. Secara umum untuk ketiga jenis ikan,
spesies betina memiliki nilai k yang lebih kecil dibandingkan jantannya, sehingga
lebih lama dalam mencapai L. Hal ini sesuai dengan pernyataan dalam Sparre dan
Venema (1999) bahwa semakin rendah koefisien pertumbuhan (k) maka semakin
lama waktu yang dibutuhkan ikan untuk mencapai panjang asimptotiknya (L)
begitupun sebaliknya. Perbedaan parameter pertumbuhan ikan untuk setiap jenis
dipengaruhi oleh struktur panjang ikan yang sering tertangkap. Menurut Aziz et al.
(1992) in Prihatiningsih et al. (2013) disebabkan perbedaan ukuran ikan, lama
waktu, alat tangkap yang digunakan, musim penangkapan dan daerah penangkapan
pada saat sampling. Sehingga untuk spesies yang sama parameter pertumbuhan ikan
jantan dan betina akan berbeda, begitupun juga spesies yang sama pada kolom
perairan yang berbeda.

Panjang pertama kali tertangkap (Lc) dan pertama kali matang gonad (Lm)
sumber daya ikan dominan tertangkap jaring arad di Perairan Selat Sunda
Berdasarkan data sebaran kelas frekuensi panjang ikan pada Lampiran 2 dapat
diketahui juga panjang ikan pertama kali tertangkap (length capture; Lc) dengan
menggunakan metode covered conden method. Tabel 6 menunjukkan nilai Lc untuk
38

ikan betina dan jantan pada masing-masing spesies ikan yaitu berturut-turut untuk
jantan dan betina ikan biji nangka 113.39 mm dan 106.16 mm, ikan peperek 106.44
mm dan 107.98 mm, ikan kurisi 160.78 mm dan 159.59 mm, dan ikan layur 460.46
mm dan 454.66 mm. Hal ini menunjukkan bahwa 50% ikan tertangkap pada kisaran
ukuran Lc masing-masing spesies. Ukuran rata-rata pertama kali ikan tertangkap
untuk ikan biji nangka, kurisi, dan layur jenis kelamin betina lebih besar
dibandingkan ikan jantannya. Sedangkan ukuran pertama kali tertangkap ikan
peperek jenis kelamin betina lebih kecil dibandingkan ikan jantannya.
Tabel 7 menunjukkan ukuran ikan pertama kali matang gonad (Lm) yang
dianalisa berdasarkan data tingkat kematangan gonad (TKG). Hasil perhitungan
nilai Lm pada masing-masing spesies ikan untuk betina dan jantan berturut-turut
untuk ikan biji nangka 117.95 mm dan 107. 91 mm, ikan peperek 93.11 mm dan
111.94 mm, ikan kurisi 165.94 mm dan 176.33 mm, dan ikan layur 567.24 mm dan
599.73 mm. Berdasarkan nilai Lm, maka dapat diasumsikan sebanyak 50% ikan
telah mencapai matang gonad pada kisaran panjang Lm masing-masing spesies
(Krissunari dan Hariati 1994). Ukuran dan usia pertama kali matang gonad untuk
setiap spesies ikan dapat berbeda-beda, hal ini dikarenakan adanya perbedaan
seperti suhu, makanan, hormon, sex, dan kondisi perairan. Selain itu peningkatan
populasi akan mengakibatkan penurunan ketersediaan makanan per-individu dan
dapat memberikan pengaruh terhadap penurunan ukuran matang gonad (Karna dan
Panda 2011). Menurut Affandi dan Tang (2002) tiap-tiap spesies ikan memiliki
waktu dan ukuran pertama kali matang gonad yang berbeda meskipun spesiesnya
sama.
Nilai Lc untuk ikan biji nangka, kurisi dan layur lebih kecil dibandingkan nilai
Lm (Lc<Lm) yang menunjukkan sebagian besar ikan yang ditangkap belum
mengalami matang gonad atau memijah. Menurut Wudji et al. 2013, apabila nilai
Lc<Lm maka penangkapan ikan didominasi ikan muda dan immature. Menurut
Najamuddin et al. (2004), secara biologis kalau hal tersebut dibiarkan terus menerus
akan berdampak buruk pada berkelanjutan populasi ikan layur. Penangkapan ikan
yang didominasi oleh ikan-ikan kecil, maka akan terjadi overfishing. Menurut
Mosse dan Hutubessy (1996) untuk menjaga kelestarian sumber daya perikanan,
maka ikan yang ditangkap sebaiknya ikan-ikan yang lebih besar dari ukuran Lm
(Lc> Lm). Hal ini bertujuan agar ikan yang tertangkap sedikitnya telah mengalami
satu kali pemijahan. Kondisi hasil tangkapan pada ukuran kecil pada penelitian ini
mengindikasikan bahwa penggunaan alat tangkap jaring arad pada saat bersifat
tidak ramah lingkungan dan berpeluang menimbulkan terjadinya biology
overfishing di perairan tersebut. Menurut Pauly (1994) biology overfishing terdiri
dari growth overfishing dan recruitment overfishing.
Growth overfishing terjadi apabila hasil tangkapan didominasi oleh ikan-ikan
kecil atau ikan muda pada ukuran pertumbuhan dan pemanenan tersebut tidak
bersifat efisien (Diekert 2010; Saputra et al. 2009; Widodo dan Suadi 2006).
Sehingga dapat diasumsikan bahwa ikan-ikan yang mengalami growth overfishing
adalah ikan-ikan yang ukurannya lebih kecil dari ukuran pertama kali tertangkap.
Pendugaan terjadinya growth overfishing untuk ikan betina dan jantan pada ikan
biji nangka berturut-turut sebesar 51% dan 38%, ikan peperek sebesar 59 % dan
58%, ikan kurisi sebesar 45% dan 49%, dan ikan layur sebesar 52% dan 69%.
Recruitment overfishing terjadi apabila kegiatan eksploitasi lebih banyak
menangkap ikan yang siap memijah (spawning stok) atau ikan dewasa matang
39

gonad (Saputra et al. 2009; Widodo dan Suadi 2006). Menurut Allen et al. (2012)
recruitment overfishing adalah bentuk penangkapan ikan yang lebih buruk dan
terjadi ketika proses pemijahan berlangsung dan biasanya lebih menggangu
keberadaan stok ikan dibandingkan growth overfishing. Ikan-ikan yang mengalami
recruitment overfishing diperkirakan adalah ikan-ikan yang tertangkap sebelum
ukuran pertama kali matang gonad. Pendugaan terjadinya recruitment overfishing
untuk ikan betina dan jantan pada ikan biji nangka berturut-turut sebesar 40% dan
28%, ikan peperek sebesar 83 % dan 33%, ikan kurisi sebesar 44% dan 28%, dan
ikan layur sebesar 12% dan 2%.
Alat tangkap jaring arad yang beroperasi saat ini bersifat tidak ramah
lingkungan, karena banyak menangkap ikan pada ukuran kecil dan belum matang
gonad. Hal ini dikaerenakan nelayan jaring arad di Kabupaten Pandeglang sebagian
besar menggunakan mata jaring yang kecil yakni 0.5-1 inchi. Hal ini dapat dapat
diatasi dengan memodifikasi alat tangkap dengan mata jaring yang lebih selektif.
Ukuran mata jaring yang digunakan harus lebih besar dibandingkan tinggi ikan
pertama kali matang gonad. Berdasarkan analisis data tinggi ikan, ukuran mata
jaring yang disarankan adalah 50-55 mm, atau 1.96-2.16 inci. Nilai tersebut
didapatkan dari nilai tinggi ikan kurisi pada panjang pertama kali matang gonadnya.
Ikan kurisi dijadikan spesies acuan dikarenakan memiliki tinggi ikan yang relatif
lebih tinggi dibandingkan spesies yang diteliti lainnya.

Laju mortalitas dan laju eksploitasi sumber daya ikan dominan tertangkap
jaring arad di Perairan Selat Sunda
Penurunan hasil tangkapan ikan demersal yang ditunjukkan oleh Gambar 10
menunjukkan terjadinya penurunan hasil tangkapan jaring arad di perairan Selat
Sunda. Hal ini juga dapat dilihat dari tingginya tingkat mortalitas atau tingkat
kematian ikan baik secara alami ataupun akibat kegiatan eksploitasi. Nilai
mortalitas penangkapan (F) untuk ikan peperek, kurisi, dan layur (Tabel 8) lebih
tinggi dibandingkan mortalitas alaminya (M), artinya ikan tersebut lebih banyak
mati akibat aktivitas penangkapan dibandingkan mati secara alami. Mortalitas
alami adalah parameter dinamis yang akan berubah akbiat predators (pemangsaan)
yang secara tidak langsung akan merubah size cohort (kelompok ukuran) dan usia
ikan (Powers 2014). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kematian
diantaranya fase telur dan larva, faktor lingkungan misalnya suhu dan salinitas,
predasi, kelaparan, dan penyakit (Houde 2002 in Houde 2008), perubahan fisiologi
(Geffen et al. 2007), serta kepadatan suatu populasi ikan (Jorgensen dan Holt 2013;
Nash dan Geffen 2012).
Menurut Widodo dan Suadi (2006) tingginya laju mortalitas penangkapan
dapat mengindikasikan terjadinya growth overfishing. Hal ini juga dapat dilihat dari
perbandingan nilai Lc dan Lm yang menunjukkan rata-rata ukuran ikan tertangkap
lebih kecil dibandingkan ukuran pertama kali matang gonad untuk ikan kurisi dan
layur. Laju eksploitasi untuk ikan peperek, kurisi, dan layur baik jantan maupun
betina telah melebihi batas eksploitasi optimum sebesar 50% (Gulland 1971 in
Pauly 1984). Ikan peperek merupakan ikan dengan ukuran yang relatif lebih kecil
dibandingkan ikan demersal lainnya, sehingga ikan ini dapat tertangkap lebih
banyak. Hal ini dapat dilihat dari nilai eksploitasinya yang mencapai 83%. Salah
satu faktor yang mendukung tingginya eksploitasi ikan peperek adalah
pemanfaatanya sebagai bahan baku ikan asin dengan nilai ekonomis lebih tinggi
40

dibandingkan apabila dijual sebagai ikan segar. Pemasaran ikan asin jenis ini tidak
hanya secara lokal di kawasan Labuan saja tapi dikirim sampai ke luar daerah
seperti Jakarta dan Jawa Barat.

Estimasi parameter biologi dan parameter ekonomi sumber daya ikan


dominan tertangkap jaring arad di Perairan Selat Sunda
Estimasi parameter biologi multispesies sumber daya perikanan demersal
menggunakan model surplus produksi Schaefer berdasarkan nilai koefisien
determinasi (R2) tertinggi. Berdasarkan Tabel 8 terlihat bahwa tingkat pertumbuhan
alami (r) tertinggi adalah ikan tiga waja, dan yang terendah adalah ikan peperek.
Artinya populasi ikan tiga waja lebih cepat tumbuh dibandingkan dengan spesies
lainnya. Laju pertumbuhan alami (r) merupakan pertumbuhan alamiah (kelahiran
dikurangi kematian), atau sering juga dikatakan sebagai laju pertumbuhan tercepat
dimiliki oleh suatu jenis ikan (Zulbainarni 2012).
Daya dukung lingkungan (K) spesies biji nangka lebih tinggi dibandingkan K
ikan yang lainnya. Hal ini berarti ikan biji nangka adalah ikan demersal yang dapat
hidup lebih banyak di perairan Selat Sunda dibandingkan spesies ikan dominan
lainnya yang ditangkap oleh jaring arad. Menurut Sulistiono (2013) nilai daya
dukung lingkunagn menunjukkan bahwa secara aspek biologis, lingkungan mampu
mendukung hasil tangkapan ikan sebesar nilai tersebut per tahun, yaitu sebesar
48840.84 ton per tahun untuk ikan biji nangka.
Koefisien kemampuan penangkapan (q) tertinggi adalah ikan layur. Tubuh
ikan layur yang pipih, memanjang, dan berbentuk pita membuat ikan layur menjadi
lebih mudah untuk tertangkap. Menurut Zulbainarni (2012) nilai koefisien
penangkapan menggambarkan tingkat efisiensi teknis dari penangkapan suatu alat
tangkap dan sebagai proporsi stok ikan yang dapat ditangkap oleh satu unit upaya
tangkap (effort). Artinya penangkapan ikan layur lebih efisien dibandingkan ikan
lainnya.
Estimasi parameter biologi diatas bisa saja menimbulkan kesalahan dalam
estimasi baik kelebihan ataupun kekurangan estimasi. Karena sumber daya
perikanan bersifat bergerak maka analisis ekonomi dapat memberikan gambaran
lebih nyata mengenai mengenai kondisi multispesies sumber daya ikan demersal.
Analisis ekonomi memerlukan data berupa biaya penangkapan dan harga ikan
masing-masing jenis. Biaya penangkapan multispesies ikan demersal berasal dari
biaya operasi jaring arad. Biaya penangkapan hasil wawancara dengan nelayan
jaring arad dikonversikan dengan cara menyesuaikan dengan Indeks Harga
Konsumen (IHK) jenis makanan untuk wilayah Provinsi Banten untuk
mendapatkan biaya pendapatan riilnya.
Berdasarkan Tabel 11 dapat dilihat biaya penangkapan riil untuk masing-
masing spesies mulai tahun 2008 hingga 2013. Biaya penangkapan terbesar adalah
ikan biji nangka sebesar Rp 0.11 juta ton, hal ini dikarenakan ikan biji nangka
merupakan hasil tangkapan dominan sehingga proporsi biaya penangkapannya
tertinggi. Biaya penangkapan terkecil adalah ikan layur sebesar Rp 0.01 juta ton.
Sama halnya dengan biaya penangkapan, harga ikan hasil tangkapan jaring arad
juga dikonversikan ke pengukuran riil dengan menyesuaikan IHK. Ikan yang
memiliki harga riil tertinggi adalah ikan kurisi sebesar Rp 12.77 juta/ton. Harga riil
pada tahun 2013 (Tabel 12) untuk semua jenis ikan sangat tinggi, hal ini dapat
dikarenakan adanya kenaikan harga pada sumber daya ikan tersebut. Kenaikan
41

harga akan mempengaruhi hasil tangkapan nelayan (Simarmata 2015), semakin


tinggi harga ikan, maka nelayan akan berusaha meningkatkan hasil tangkapannya
demi mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Biaya dan harga penangkapan riil
selanjutnya digunakan untuk perhitungan bioekonomi. Menurut Knowler (2002)
Model bioekonomi digunakan untuk mencari tingkat stok dan jumlah tangkapan
yang tepat dalam rangka optimalisasi pengusahaan sumber daya perikanan secara
berkelanjutan dimana kondisi lingkungan dianggap konstan

Bioekonomi multispesies sumber daya ikan dominan tertangkap jaring arad


di Perairan Selat Sunda
Untuk menjamin kelestarian sumber daya ikan demersal diperlukan suatu
strategi pengelolaan dari berbagai aspek baik ekologi maupun sektor ekonomi bagi
para pelaku perikanan. Seteleh menganalisis berbagai aspek biologi maka informasi
tersebut dilengkapi dengan aspek ekonomi. Menurut Zulbainarni (2010) estimasi
parameter biologi dapat saja kelebihan estimasi (over estimate) ataupun kekurangan
estimasi (under estimate) dikarenakan sumber daya perikanan bersifat tidak tetap,
sehingga diperlukan analisis estimasi parameter ekonomi karena hasilnya dapat
dilihat (kasat mata). Analisis ekonomi mengacu pada data produksi hasil tangkapan
dan upaya penangkapan berdasarkan data dari DKP Kabupaten Pandeglang tahun
2008-2013. Hal ini dimaksudkan karena sumber daya perikanan memiliki peranan
penting dalam perekonomian di Kabupaten Pandeglang. Menurut Sumirat (2011)
sektor perikanan merupakan penyumbang produk domestik bruto (PDB) terbesar di
Kabupaten Pandeglang.
Kajian ekonomi sumber daya ikan menurut Zulbainarni (2012) lebih banyak
menggunakan pendekatan spesies tunggal yang hanya berorientasi pada satu spesies
ikan saja. Namun kenyataannya pengelolaan perikanan khususnya untuk perairan
Indonesia bersifat gabungan atau multispesies. Menurut Hollowed et al. (2000)
salah satu keuntungan pendekatan multispesies adalah dapat meningkatkan estimasi
dari mortalitas dan pengerahan alam. Pendekatan multispesies juga digunakan oleh
Fauzi (1998) untuk sumber daya perikanan pelagis yang ditangkap oleh purse seine
(skala besar/ komersil) dan gill net (skala kecil/ artisanal) di pantai Utara Jawa,
Zulbainarni (2012) untuk sumber daya ikan pelagis yang di tangkap oleh purse
seine di perairan Selat Bali. Pengelolaan multispesies ikan demersal yang
digunakan dalam penelitian ini adalah berdasarkan alat tangkap jaring arad atau
small bottom trawl yang termasuk perikanan skala kecil atau artisanal.
Untuk mengkonfirmasi kondisi tangkap lebih suatu sumber daya dilakukan
perhitungan potensi sumber daya ikan menggunakan pendekatan maximum
sustainable yield (MSY). Scott dan Sampson (2011) menyatakan MSY telah
banyak digunakan oleh beberapa lembaga perikanan negara (misalnya IWC,
ICCAT, dan IATTC). Menurut Zulbainarni (2012) pengelolaan dengan pendekatan
MSY banyak dikritik oleh berbagai pihak sebagai pendekatan yang sederhana dan
tidak mengikutsertakan aspek ekonomi. Menurut Widodo dan Suadi (2006) konsep
MSY didasarkan pada gambaran sederhana dan mudah dimengerti, namun bersifat
tidak stabil yang dapat mengakibatkan kesalahan dalam estimasi status
pemanfaatan dan tidak memperhitungkan nilai ekonomisnya, sehingga diperlukan
suatu pendekatan lain yaitu pendekatan secara ekonomi dengan maximum economic
yield (MEY). Konsep MSY hanya mempertimbangkan aspek biologi, sedangkan
42

MEY adalah pendekatan pengelolaan untuk mengoptimalkan keuntungan yang


diperoleh dari perikanan (Kompas 2005; Grafton 2007; Guillen et al. 2013).
Analisis model bioekonomi digunakan untuk menentukan tingkat
pengusahaan maksimum bagi pelaku perikanan (Zulbainarni 2010). Analisis
bioekonomi multispesies sumber daya perikanan demersal dalam penelitian ini
dilakukan dalam kondisi pengelolaan Maximum Sustainable Yield (MSY) dan
Maximum Economic Yield (MEY). Hasil perhitungan disajikan dalam Tabel 13
yang menunjukkan kondisi hasil tangkapan aktual untuk ikan biji nangka, peperek,
kurisi, tiga waja, layur, dan ikan lainnya lebih kecil dibandingkan nilai MSY
ataupun MEY masing-masing jenis. Secara keseluruhan hasil tangkapan (h) aktual
hasil tangkapan jaring arad sebesar 1 374 ton lebih kecil dibandingkan pada kondisi
MSY sebesar 1 812 ton dan kondisi MEY sebesar 1 811 ton.
Status pemanfaatan sumber daya ikan dapat diketahui dengan melihat
perbandingan tingkat upaya (E) pada kondisi aktual dengan kondisi pengelolaan
MSY dan MEY (Ulrich et al. 2002). Upaya aktual penangkapan jaring arad sebesar
8 950 trip lebih kecil dibandingkan pada kondisi MSY sebesar 11 111 trip dan
kondisi MEY sebesar 10 811 trip. Namun pada spesies biji nangka dan kurisi upaya
(E) aktual lebih tinggi dibandingkan pada kondisi MSY dan MEYnya. Berdasarkan
klasifikasi status pemanfaatan menurut Kepmen KP RI No. 45/MEN/2011 status
pemanfaatan ikan dibagi menjadi moderate exploited (hijau), fully exploited
(kuning), moderate to fully exploited, dan over exploited (merah). Penentuan status
pemanfaatan tersebut mengikuti grafik pada Gambar 15. Tingkat pemanfaatan
untuk setiap spesies yang tertangkap jaring arad secara rinci disajikan pada Tabel
19.

Gambar 15 Status pemanfaatan sumber daya ikan menurut Kepmen KP RI No.


45/MEN/2011 moderate exploited (hijau), fully exploited (kuning), dan over
exploited (merah)
Tabel 23 Tingkat dan status pemanfaatan ikan dominan tertangkap jaring arad

Hasil tangkapan (ton) Tingkat


Spesies pemanfaatan Status pemanfaatan
Aktual (ton) MSY (ton) (%)
Biji nangka 466 507 92 Fully exploited
Peperek 361 444 81 Fully exploited
Kurisi 337 354 95 Fully exploited
Tiga waja 160 393 41 Moderate exploited
Layur 50 114 44 Moderate exploited
Total 1374 1812 76 Fully exploited
43

Status pemanfaatan ikan demersal oleh jaring arad yaitu fully exploited,
artinya sumber daya ikan sedang dieksploitasi penuh dengan hasil optimal tanpa
adanya peningkatan. Hal ini ditandai dengan tingkat pemanfaatan ikan demersal
oleh jaring arad telah mencapai 76% (> 70% dari MSY). Status pemanfaatan ikan
biji nangka, peperek, dan kurisi juga fully exploited dengan tingkat pemanfaatan
berturut-turut 92%, 81%, dan 95%. Ikan tiga waja dan ikan layur yang tertangkap
jaring arad memiliki status stok moderately exploited, artinya spesies ini sedang
dieksploitasi penuh. Menurut FAO (1995) pada kondisi pemanfaatan fully
exploited, peningkatan penangkapan tidak disarankan walaupun secara umum
kondisi hasil tangkapan aktual masih lebih kecil dibandingkan upaya
penangkapannya.
Hasil perhitungan tingkat pemanfaatan melalui laju eksploitasi pada data
biologi yang menunjukkan sumber daya ikan telah overexploited. Hasil perhitungan
secara ekonomi menunjukkan bahwa pemanfaatan sumber daya ikan demersal oleh
jaring arad adalah fully exploited. Perbedaan penentuan status pemanfaatan tersebut
dipengaruhi oleh data yang digunakan dalam analisis berbeda, sehingga acuan
dalam penentuan status juga berbeda. Kesamaan dari kedua status pemanfaatan ini
adalah sumber daya ikan demersal telah dimanfaatankan lebih dari 50% baik secara
bilogi (data panjang) ataupun secara ekonomi (MSY dan MEY).
Berdasarkan nilai keuntungan, secara ekonomi keuntungan aktual pada tahun
2013 untuk operasi penangkapan ikan dengan jaring arad sebesar Rp 11.37 M lebih
kecil dibandingkan pada kondisi MEY yaitu sebesar Rp 14.47 M. Secara ekonomi
pengusahaan perikanan jaring arad belum mencapai keuntungan optimalnya, dan
masih dimungkinkan untuk peningkatan hasil tangkapan. Namun apabila
peningkatan penangkapan terus berlangsung tanpa adanya pengelolaan dan regulasi
akan mengalami tangkap lebih. Regulasi perikanan diperlukan untuk mendorong
terjadinya efisiensi dalam pengelolaan yang bersifat barang publik, meningkatkan
bobot dan ukuran ikan yang ditangkap, dan mencegah pemborosan tenaga kerja dan
modal, serta untuk mendorong alokasi sumber daya yang efisien (Scott 1979).

Bioekonomi kompetisi multispesies sumber daya ikan dominan tertangkap


jaring arad di Perairan Selat Sunda
Jenis ikan target penangkapan jaring arad adalah ikan demersal yang
pergerakannya cenderung rendah atau pasif. Ikan yang tertangkap jaring arad terdiri
dari banyak spesies (multispesies), sehingga memiliki interaksi-interaksi yang
terjadi antar spesiesnya dan saling berpengaruh terhadap yang lainnya. Menurut
Zulbainarni (2012) hubungan ketergantungan antar multispesies sumber daya
perikanan perlu diketahui agar kegiatan eksploitasi atau penangkapan tidak hanya
terfokus pada satu spesies. Berdasarkan Tabel 10 diketahui bahwa koefisien
ketergantungan antar spesies yang ditangkap jaring arad bernilai negatif. Artinya,
menurut Anderson dan Seijo (2010) ketergantungan antar spesies tersebut saling
berkompetisi. Kompetisi tersebut dapat berupa kompetisi dalam mencari makanan.
Ikan tiga waja memiliki tingkat pertumbuhan alami (r) tertinggi dibandingkan
spesies lainnya, sehingga diduga ikan tiga waja memiliki kemampuan kompetisi
yang lebih tinggi (Zulbainarni 2012).
Hubungan ketergantungan antarspesies yang tertangkap jaring arad
berdasarkan Tabel 10 teridentifikasi memiliki hubungan saling berkompetisi.
Model bioekonomi kompetisi yang dihitung adalah melihat empat kondisi
44

kompetisi dengan spesies biji nangka sebagai spesies pertama karena merupakan
ikan yang dominan tertangkap oleh alat tangkap jaring arad. Berdasarkan Tabel 15,
16, 17, dan 18 terlihat bahwa koefisien ketergantungan kompetisi antara ikan biji
nangka dan peperek, ikan biji nangka dan kurisi, ikan biji nangka dan tiga waja, dan
ikan biji nangka dengan layur bernilai >1, artinya efek kompetisi dari ikan peperek,
kurisi, tiga waja, dan layur terhadap ikan biji nangka lebih besar dibandingkan efek
kompetisi ikan biji nangka terhadap anggotanya sendiri (Zulbainarni 2012). Nilai
koefisien ketergantungan untuk empat kondisi kompetisi yang terbesar adalah
kompetisi antara ikan biji nangka dan layur yaitu sebesar 4.5911. Artinya,
kompetisi antara ikan biji nangka dan layur lebih tinggi dibandingkan kompetisi
dengan ikan lainnya. Hal ini diduga karena ikan layur merupakan ikan yang jumlah
tangkapannya terkecil dibandingkan spesies dominan lainnya yang tertangkap
jaring arad sehingga keberadaanya dilingkungan (K) lebih sedikit dibandingkan
ikan lainnya. Kondisi ini menjadikan kompetisi terhadap ikan layur menjadi lebih
besar.
Nilai biomassa awal untuk ikan biji nangka pada ke empat kompetisi
mengalami penurunan setelah berkompetisi, dan untuk spesies kompetitornya
(peperek, kurisi, tiga waja, dan layur) mengalami peningkatan. Hal ini
menunjukkan bahwa kegiatan eksploitasi lebih banyak menangkap ikan biji nangka
dibandingkan spesies kompetitornya. Upaya penangkapan (E) ikan biji nangka baik
pada kondisi OA maupun MEY lebih tinggi dibandingkan ikan peperek, kurisi, tiga
waja, dan layur sehingga tingkat kematian ikan biji nangka dapat terjadi lebih cepat.
Nilai upaya optimal (EMSY) pada bioekonomi kompetisi lebih kecil dibandingkan
pada nilai EMSY pada kondisi tanpa melihat adanya kompetisi. Perbandingan nilai
upaya penangkapan optimal tersebut disajikan pada Gambar 16.

3500
2777 2918
3000
upaya penangkapan (trip)

2370
2500
1729 1854
2000 1577
1500 1298
994 892
1000
472
500
0
Biji nangka Peperek Kurisi Tiga waja Layur
jenis ikan

MEY MEY Kompetisi

Gambar 16 Perbandingan upaya penangkapan optimal pada kondisi MEY


multispesies dan MEY multispesies kompetisi
Berdasarkan Gambar 16 upaya penangkapan optimal (E) ikan biji nangka baik
pada kondisi MEY lebih tinggi dibandingkan ikan peperek, kurisi, tiga waja, dan
layur sehingga tingkat kematian ikan biji nangka dapat terjadi lebih cepat.
Perhitungan upaya optimal dengan adanya kompetisi dimaksudkan untuk
menghindari adanya overestimate pada penentuan upaya optimum. Faktor interaksi
antar spesies baik itu model kompetisi ataupun model prey-predator dapat
45

mempengaruhi keberadaan stok ikan diperairan. Tingginya tingkat kompetisi dapat


meningkatkan tingkat kematian alami pada spesies-spesies tertentu, misalnya
karena kompetisi makanan. Spesies yang tingkat kompetitornya rendah akan
mendapatkan makanan yang lebih sedikit dibandingkan ikan yang tingkat
kompetitornya tinggi. Hal ini dpat meningkatkan tingkat kematian alami ikan,
akibat dimangsa ataupun kekurangan suplai makanan.

Bioekonomi pada kondisi kebijakan optimal sumber daya ikan dominan


tertangkap jaring arad di Perairan Selat Sunda
Pada penelitian ini perhitungan model bioekonomi juga dihitung pada kondisi
kebijakan optimal (OPT). Perhitungan pada kondisi optimal menyertakan unsur
discount rate, pada dua kondisi discount rate yang berbeda yaitu pada 7.5% dan
11.5% (Tabel 14). Discount rate merupakan suatu tingkat untuk mengukur manfaat
masa kini dibanding manfaat yang akan datang dari eksploitasi sumber daya (Riana
2006). Namun para ekonom sampai saat ini belum sepenuhnya sepakat tentang
penentuan rate yang tepat karena kompleksitas dari eksploitasi atau pemanfaatan
sumber daya alam serta interaksi ekonomi yang ada didalamnya (Fauzi 2004).
Menurut Riana (2006), semakin tinggi discount rate maka akan menstimulus
perburuan sumber daya, sehingga akan menyebabkan terjadinya degradasi, dengan
demikian kemungkinan terjadinya kepunahan akan semakin besar.
Hasil penangkapan (h), upaya penangkapan (E), dan keuntungan yang
dihasilkan lebih kecil dibandingkan pada kondisi MSY dan MEY (Tabel 14).
Selisih keuntungan dari kedua discount rate cukup tinggi yang artinya komoditas
ikan demersal peka terhadap inflasi. Hal ini juga dapat dilihat dari ketidakstabilan
harga ikan demersal. Menurut Fauzi (2004) nilai discount rate yang tinggi akan
menyebabkan tingkat upaya OPT mendekati nilai open acces. Perbandingan jumlah
upaya penangkapan secara agregat pada setiap kondisi pengusahaan multispesies
sumber daya perikanan demersal di Selat Sunda disajikan pada Gambar 17.

35000
Upaya penangkapan (trip)

30000
25000
20000
15000
10000
5000
0
Aktual
MSY
MEY
OPT 7.5%
Kondisi pengusahaan multispesies

Gambar 17 Perbandingan jumlah upaya penangkapan optimal pada setiap kondisi


pengusahaan multispesies sumber daya perikanan
Jumlah upaya penangkapan pada kondisi aktual masih berada dibawah upaya
penangkapan pada kondisi MSY, MEY, dan OPT. Sehingga penambahan jumlah
46

upaya penangkapan masih dimungkinkan sampai pada batas MSY atau MEY.
Nelayan akan terus meningkatkan upaya penangkapan untuk dapat memperoleh
keuntungan sebanyak-banyaknya. Penambahan upaya penangkapan akan terus
terjadi hingga mencapai suatu titik dimana keuntungan yang didapatkan adalah 0
(open acces). Menurut Imeson et al. (2002) rezim pengelolaan open access terjadi
dimana tidak ada pembatasan jumlah nelayan dan sejauh mana mereka dapat
mengeksploitasi sumber daya ikan.

Laju degradasi dan laju depresiasi sumber daya ikan dominan tertangkap
jaring arad di Perairan Selat Sunda
Estimasi parameter biologi (K, q, dan r) dan data series hasil tangkapan dan
upaya penangkapan ikan demersal digunakan untuk menduga produksi lestari setiap
spesiesnya. Berdasarkan data produksi lestari dan produksi aktual pada Lampiran
11 dapat diperoleh koefisien laju degradasi dan laju depresiasi. Laju degradasi
merupakan laju penurunan kualitas suatu sumber daya perikanan. Menurut Fauzi
dan Anna (2005) sumber daya terbarukan seperti perikanan, apabila dilakukan
pemanfaatan terus menerus akan mengalami degradasi. Laju degradasi terendah
adalah ikan layur, dan tertinggi adalah ikan biji nangka. Laju degradasi untuk
multispesies sumber daya ikan demersal cenderung pengalami pennurunan. Suatu
sumber daya dikatakan telah mengalami degradasi sumber daya apabila telah
melebihi batas optimumnya (0.5) menurut Fauzi dan Anna (2005). Laju degradasi
menunjukan penurunan kualitas suatu sumber daya perikanan, dan apabila
penurunan tersebut dirupiahkan maka disebut dengan laju depresiasi.
Laju depresiasi merupakan pengukuran degradasi atau laju penurunan kualitas
sumber daya yang dirupiahkan. Sama halnya dengan laju degradasi, perhitungan
laju depresiasi memperhitungkan keuntungan lestari dan keuntungan aktual
berdasarkan produksi lestari, produksi aktual, harga riil ikan, dan biaya
penangkapannya. Berdasarkan hasil perhitungan laju depresiasi sumber daya ikan
demersal cenderung mengalami penurunan. Menurut BRKP (2009) salah satu
faktor yang dapat meningkatkan laju degradasi dan depresiasi sumber daya ikan
adalah tingginya eksploitasi akibat penangkapan dan adanya penurunan harga ikan
akibat inflasi.

Analisis stakeholder dalam pengelolaan sumber daya ikan demersal yang


dominan tertangkap jaring arad di Perairan Selat Sunda
Upaya pengelolaan suatu sumber daya tidak dapat dilakukan dengan
mengelola sumberdayanya saja melainkan para pelaku yang berperan didalamnya
juga perlu dievaluasi. Hal ini dikarenakan para pelaku inilah yang berperan dalam
pengambilan keputusan dan yang bergantung terhadap keberadaan sumber daya
perikanan. Pemanfaatan sumberdaya perikanan menyerap tenaga kerja dalam
jumlah banyak, menurut data dari KKP (2011) tenaga kerja sektor kelautan dan
perikanan sebanyak kurang lebih 11.6 juta orang di Indonesia. Di desa penelitian
yaitu desa Teluk, Labuan, Banten terdapat 2 237 nelayan atau sekitar 70% dari
jumlah penduduk (Profil Desa Teluk 2014). Mengingat hal tersebut maka
pembangunan berbasis perikanan dapat dijadikan arus utama pembangunan
nasional (Dahuri 2003). Kegiatan perikanan tangkap adalah salah satu usaha
perikanan yang bertujuan mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, dan
47

terkadang tidak menghiraukan kondisi ketersedian stok ikan di alam sehingga


rentan terjadinya tangkap lebih dan overeksploitasi.
Berdasarkan Gambar 14 menunjukkan hubungan antara pengaruh dan
kepentingan untuk setiap stakeholder yang terkait dengan kegiatan penangkapan
perikanan demersal di PPP Labuan, Desa Teluk, Kabupaten Pandeglang. Kuadran
I merupakan subjek yang memanfaatkan keberadaan sumber daya ikan demersal,
terdiri dari pedagang ikan, pengepul, bakul, konsumen, dan pengusaha perikanan.
Ikan demersal ukuran kecil seperti ikan layur dan kurisi banyak diolah menjadi ikan
asin, sedangkan untuk ikan layur ukuran besar, biji nangka, dan tiga waja dijual
untuk bahan baku industri perikanan. Kuadran II merupakan pemain atau pelaksana
untuk pengelolaan perikanan demersal, terdiri dari nelayan, ABK, dan juragan
pemilik kapal. Hal ini berarti semua kegiatan dan ketersedian sumber daya ikan
demersal tergantung pada stakeholder dalam Kuadran II. Kuadran III merupakan
pengikut, terdiri dari masyarakat, agen, dan pedagang non ikan. Stakeholder pada
kuadran III tidak terlalu terpengaruh dengan keberadaan sumber daya perikanan
demersal. Kuadran IV merupakan penentu kebijakan dalam pengelolaan sumber
daya perikanan demersal, terdiri dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP)
Kabupaten Pandeglang, Perangkat Desa, Petugas TPI, Balai Pelabuhan Perikanan
Pantai (BPPP) Provinsi Banten. Stakeholder dalam kuadran IV berperan dalam
pengambilan kebijakan terkait penangkapan dan pengelolaan sumber daya ikan
demersal. Setiap dinas terkait memiliki peranan dan tugas masing-masing dalam
upaya pengelolaan sumber daya ikan baik dari aspek produksi ataupun fasilitas
pelabuhan.

Implikasi bagi pengelolaan sumber daya ikan pada perikanan jaring arad di
Perairan Selat Sunda
Kondisi pemanfaatan ikan demersal oleh alat tangkap jaring arad pada saat ini
memang masih dibawah kondisi pengusahaan MSY dan MEY sehingga masih
dimungkinkan untuk dilakukan peningkatan armada ataupun upaya penangkapan
ikan demersal. Namun apabila peningkatan penangkapan terus berlangsung tanpa
adanya pengelolaan dan regulasi akan mengalami tangkap lebih. Regulasi
perikanan diperlukan untuk mendorong terjadinya efisiensi dalam pengelolaan
yang bersifat barang publik, meningkatkan bobot dan ukuran ikan yang ditangkap,
dan mencegah pemborosan tenaga kerja dan modal, serta untuk mendorong alokasi
sumber daya yang efisien (Scott 1979).
Menurut Cochrane (2002) pengelolaan sumber daya perikanan didefinisikan
sebagai proses yang terpadu untuk mengatur aktivitas perikanan agar dapat
menjamin keberlanjutan produktivitas sumber daya dan pencapaian tujuan
perikanan lainnya. Adanya keuntungan dalam pengusahaan sumber daya ikan
menjadi salah satu faktor pendorong bagi nelayan untuk meningkatkan
penangkapan agar memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya, tanpa
mempertimbangkan akibat jangka panjang dari pemanfaatan yang berlebih. Namun
dasar dari pengelolaan sumber daya ikan adalah bagaimana memanfaatkan sumber
daya untuk menghasilkan manfaat ekonomi yang tinggi dan tetap menjaga
kelestariannya di alam (Fauzi dan Anna 2005). Pengelolaan sumber daya ikan
demersal meliputi strategi pengelolaan input dan output (Hoggart 2006). Strategi
input dilakukan melalui pengurangan trip penangkapan untuk mengurangi laju
mortalitas tangkapan (Post et al. 2003; Hoggart 2006), dan melindungi juvenil dan
48

ikan-ikan dewasa. Strategi pengelolaan output dilakukan dengan menetapkan


jumlah tangkapan yang diperbolehkan (total allowble catch/ TAC) sebesar 72%
dari MSY (Gulland 1983) dan pengaturan ukuran ikan boleh ditangkap sebagai
proteksi terhadap reproduksi ikan.
Status pemanfaatan ikan demersal dengan alat tangkap jaring arad secara
keseluruhan (total tangkapan) telah mengalami fully exploited. Penambahan upaya
masih dimungkinkan dilakukan sampai pada batas MEY sebesar 10 811 trip/tahun
agar rente ekonomi yang optimum dan kelestarian sumber daya perikanan demersal
tetap terjaga. Menurut Zulbainarni (2012) penambahan jumlah upaya pada kondisi
perikanan fully rexploited dapat ditolerir sampai pada upaya penangkapan kondisi
MSY (11 111 trip/tahun) atau MEY (10 811 trip/tahun) dengan keuntungan normal.
Namun apabila peningkatan upaya melebihi kondisi ini akan mengakibatkan
kerugian bagi nelayan.
Selain pembatasan upaya penangkapan, penentuan kuota hasil tangkapan
(Hoggart 2006) juga diperlukan untuk membatasi hasil tangkapan jaring arad yang
terus meningkat seiring peningkatan upaya penangkapannya yaitu pada kondisi
MSY sebesar 3256 ton/tahun agar kelestarian ikan terjaga atau pada kondisi MEY
yaitu 3253 ton/tahun agar mendapatkan keuntungan ekonomi optimum. Menurut
Engas et al. (1998) kuota merupakan salah satu alat untuk mengatur eksploitasi
multispesies sumber daya ikan. Kuota akan mendorong terjadinya efisiensi kapital
dan tenaga kerja yang digunakan karena kuota memberikan hak kepemilikan secara
parsial kepada nelayan (Fauzi 1998). Berdasarkan hasil penelitian ikan demersal
seperti ikan biji nangka, peperek, kurisi, dan layur panjang ikan pertama kali
tertangkap lebih kecil dibandingkan panjang pertama kali ikan matang gonad (Lc <
Lm). Artinya ikan banyak tertangkap pada ukuran sebelum matang gonad, sehingga
dapat mengganggu proses rekrutmen dalam populasinya. Apabila ini terus terjadi
dapat mengakibatkan rehabilitasi stok ikan menjadi lebih lambat. Salah satu upaya
yang dapat dilakukan untuk mencegah hal itu adalah dengan adanya pengaturan
mata jaring, sehingga dapat mengatur ukuran ikan yang tertangkap pada ukuran
setelah matang gonad. Dengan pengaturan matang jaring maka ikan-ikan kecil
dapat tumbuh dan melakukan pemijahan sebagai salah satu proses rekrutmen
individu baru di daerah penangkapan.
Permasalahan yang terjadi saat ini di PPP Labuan, Banten adalah tidak adanya
aturan yang jelas tentang alur pelayaran setiap alat tangkap. Sehingga terjadi
tumpang tindih pada area penangkapan. Ikan-ikan demersal secara dominan lebih
banyak tertangkap oleh alat tangkap pukat cincin (purse seine). Hal ini disebabkan
pengoperasian pukat cincin pada perairan dangkal, sehingga hasil tangkapannya
tidak hanya ikan-ikan bagian permukaan tetapi mengeruk ikan hingga bagian dasar.
Kondisi ini merugikan nelayan-nelayan dengan alat tangkap skala kecil seperti
jaring arad, karena mengoperasikan alat tangkap pada daerah yang sama. Selain itu
pukat cincin dioperasikan selama 10-15 hari dalam sekali trip sedangkan jaring arad
1 hari dalam sekali trip, sehingga hasil tangkapan jauh lebih rendah dibandingkan
pukat cincin. Armada pukat cincin mengalami peningkatan dikarenakan adanya
bantuan armada dari pemerintah. Hal ini semakin merugikan nelayan skala kecil
seperti jaring arad dengan ukuran kecil (< 10 GT).
Secara rinci, berdasarkan hasil penelitian beberapa rekomendasi alternatif
kebijakan yang diajukan adalah sebagai berikut:
49

1. Menyusun regulasi pembatasan upaya penangkapan jaring arad di Selat


Sunda pada kondisi MEY yaitu 10 811 trip/tahun agar mendapatkan rente
ekonomi yang optimum dan kelestarian sumber daya perikanan demersal
tetap terjaga.
2. Menetapkan kuota penangkapan jaring arad sebesar 1 811 ton/tahun agar
sumberdaya ikan tetap lestari dengan keuntungan yang didapatkan
nelayan optimum. Penetapan kuota ini harus seimbang antara daerah-
daerah yang memanfaatkan ikan demersal di Selat Sunda (Banten dan
Lampung).
3. Penerapan saran kebijakan poin (1) dan (2), dapat diterapkan apabila tidak
adanya penambahan alat tangkap ataupun nelayan baru. Sehingga
pemerintah perlu memberikan pembatasan atau pelarangan penambahan
alat tangkap dan nelayan baru di kawasan PPP Labuan, Banten.
penambahan alat tangkap baru dapat menyebabkan kondisi overcapacity.
4. Menentukan daerah-daerah pemijahan ikan dan dilakukan penutupan
lokasi penangkapan tersebut pada saat ikan memijah, sehingga rekrutmen
ikan baru dapat terjaga (open close system).
5. Menetapkan ukuran mata jaring selektif yaitu sebesar 1.96-2.16 inci untuk
jaring arad untuk menghindari ikan tertangkap sebelum pertama kali
memijah.
6. Menentapkan jalur penangkapan ikan bagi armada pukat cincin, agar tidak
beroperasi di wilayah dangkal (pantai). Sehingga hasil tangkapan untuk
alat tangkap lainnya seperti jaring arad meningkat. Hasil tangkapan ikan
dengan pukat cincin berukuran relatif lebih kecil.
7. Menghidupkan kembali peran KUD (Koperasi Unit Desa) yang selama
ini tidak berjalan. KUD dapat menjadi sarana bagi nelayan untuk
memperoleh keringanan dalam pengadaan dan perbaikan alat tangkap.
8. Memperbaiki sistem pencatatan dan inventarisasi data setiap TPI sebagai
basis data yang akurat.
9. Melakukan pendampingan nelayan agar setiap kebijakan yang dibuat dan
dikeluarkan pemerintah dapat tersampaikan dengan baik dan diikuti oleh
nelayan melalui peran penyuluh perikanan.
Kebijakan yang sudah dirancang dapat berjalan dengan baik apabila ditunjang
dengan sumber daya yang memadai baik sarana prasarana maupun manusia yang
berperan dalam kegiatan pemanfaatan sumber daya perikanan. Pemegang peranan
utama dalam kegiatan ini adalah nelayan, sehingga nelayanlah yang akan meraskan
dampak paling besar dari keberadaan sumber daya perikanan. Untuk mendapatkan
pendapatan sebesar-besarnya nelayan seringkali mengabaikan himbauan-himbauan
atas dasar kelestarian ikan. Disinilah peran penyuluh perikanan dan akademisi
terkait untuk menyampaikan akibat dari pemanfaatan yang terus menerus tanpa
menghiraukan kelestarian. Keuntungan yang dirasakan hanya jangka pendek.
Analisis ekonomi memberikan gambaran secara nyata dalam bentuk rupiah
kondisi pengusahaan perikanan pada saat ini, sehingga nelayan dapat melihat secara
nyata akibat dari pemanfaatan yang tidak dilakukan dengan pengelolaan yang
benar. Namun pemerintah juga harus bisa membantu nelayan bissa hidup sejahtera
dengan berbagai peraturan yang dibuat demi kelestarian sumber daya ikan. Salah
satunya dengan meningkatkan keahlian nelayan selain menangkap ikan, misalnya
melalui program penyuluhan atau usaha kecil mandiri (UKM).
50

4 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:


1. Hasil tangkapan jaring arad dikelompokkan menjadi 5 kelompok jenis ikan
yaitu ikan biji nangka, ikan peperek, ikan kurisi, ikan tiga waja, dan ikan
layur.
2. Berdasarkan data panjang hasil tangkapan di PPP Labuan menunjukkan
bahwa ikan yang tertangkap jaring arad di Perairan Selat Sunda telah
mengalami overexploited.
3. Status pemanfaatan ikan demersal oleh jaring arad berdsarkan data hasil
tangkapan adalah fully exploited, namun peningkatan hasil tangkapan dan
upaya tangkapan masih dapat ditingkatkan sampai pada batas optimumnya
yaitu Maximum economic yield (MEY) sebesar 10 811 trip/tahun dan 1 811
ton/ tahun.
4. Pengelolaan ikan demersal di perairan Selat Sunda dapat dilakukan dengan
penambahan upaya tangkapan sampai pada batas upaya MEY, menetapkan
kuota penangkapan, melakukan pengaturan mata jaring, penentuan daerah
pemijahan ikan, menetapkan jalur penangkapan bagi pukat cincin,
menghidupkan kembali KUD, pengawasan dan pencatatan data lebih
akurat, melakukan pengawasan terhadap kebijakan yang dijalankan serta
membangun kerjasama antara stakeholder.

Saran

Saran yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya berdasarkan


penelitian ini adalah:
1. Pengambilan data primer dilakukan untuk semua spesies yang dianalisis
secara ekonomi, sebagai pembanding dengan data biologi.
2. Analisis daerah pemijahan perlu dilakukan untuk menentukan kawasan
yang dilindungi ketika ikan sedang memijah.

DAFTAR PUSTAKA

Affandi R, Tang UM. 2002. Fisiologi Hewan Air. Pekanbaru: Unri Press.213hal.
Allen MS, Ahrens RNM, Hansen MJ, Arlinghaus R. 2010. Dynamic angling efort
influences the value of minimum-length limits to prevent recruitmen
overfising. Fisheries Management and Ecology Journal. doi: 10.1111/j.1365-
2400.2012.00871.x.
Anderson LG dan Seijo JC. 2010. Bioeconomics of Fisheries Management. Oxford:
Willey Blackwell.
51

Anna S. 2003. Model Embedded Dinamik Ekonomi Interaksi Perikanan-


Pencemaran. [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Program
Pascasarjana. 371 hal.
Azwar S. 1995. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Bafagih Aisyah. 2011. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pelagis Kecil di Kota
Ternate. [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Program Pascasarjana.113
hal.
Boer M, Aziz KA. 2007. Gejala tangkap lebih perikanan pelagis kecil di perairan
Selat Sunda. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 14 (2):
167-172.
[BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Banten. 2015. IHK dan Inflasi Banten Tahun
2014. Banten (ID): CV Dharma Putra. ISSN: 2355-7125.
Brown K, Tompkins E, dan Adger WN. 2001. Trade-Off Analysis for Participatory
Coastal Zone Decision Making. ODG DEA. Csserge. UEA Norwich.
[BRKP] Badan Riset Kelautan dan Perikanan. 2003. Daya Dukung Kelautan dan
Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta ISBN 979-97572-8-
2.
Bryson JM. 2004. What to do when stakeholdes matter: Stakeholder identification
and analysis techniques. Public Management Review/ online. 8: 21-53.
Cochrane JH. 2002. Stocks as money: convenience yield and the tech-stock bubble.
NBER Working Paper. No. 8987.
Dahuri R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi
ilmiah: Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan
Lautan. Bogro: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor.
Diekert FK. 2010. Growth overfishing. IIFET 2010 Montpellier Proceedings.
[internet]. Oslo (NO): Centre of Ecology and Evolutionary Synthesis (CEES).
1-12. [diunduh pada 11 Agustus 2015]. Tersedia pada:
http://www.webmeets.com/file/papers/WCERE/2010/892/Diekert_Growth_
overfishing.pdf.
[DJPT] Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2011. Peta Keragaan Perikanan
Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI).
Kementrian Kelautan dan Perikanan RI.[diunduh 21 Januari 2014]. Tersedia
pada: http//kkp.go.id.
[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pandglang. 2014. Statistik Perikanan
Tangkap Kabupaten Pandeglang Tahun 2003-2013. (Draft tahun 2013).
[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten. 2006. Rencana Pengelolaan
Perikanan Pelagis Kecil di Perairan Selat Sunda. Serang, Banten.
Effendie M I. 2002. Biologi Perikanan. Yogyakarta (ID): Yayasan Pustaka
Nusatama. 112 p.
Engas A, Jorgensen T, dan West CW. 1998. A species-selective trawl for demersal
gadoid fisheries. ICES Journal of Marine Science. 55: 835-845 p.
Faisal S. 2010. Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
FAO. 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries. FAO. Rome. 41 pp.
Fauzi A. 1998. The Management of Competing Multi Species Fisheries: A Case
Study of a Small Pelagic Fishery on The North Coast of Central Java. A Thesis
52

Submitted in Partial Fullfilment of The Requirement for the Degree of Doctor


of Philosophy. Departmen of Economics. Simon Fraser Univercity, Canada.
Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 259 hal.
Fauzi A dan S Anna. 2005. Permodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan
untuk Analisis Kebijakan. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. 343 hal.
Fauzi A. 2010. Ekonomi Perikanan: Teori, Kebijakan, dan Pengelolaan. Jakarta
(ID): PT Gramedia Pustaka Utama.
Fauzi S, Iskandar HI. Murdiyanto B, Wiyono ES. 2011. Kalayakan finansial usaha
perikanan tangkap di Selat Bali. Teknologi Perikanan dan kelautan. 1(2): 37-
46.
Geffen AJ, van der Veer HW, Nash RDM, 2007. The cost of metamorphosis in
flatfishes. Journal of Sea Research. 58:35-45.
Grafton RQ, Kompas T, dan Hilborn RW. 2007. Economics of overexploitation
revisited. Journal of Science. 318:1601 p.
Grimble R, Chan M, Aglionby J, dan Quan J. 1995. Trees and trade-offs: A
stakeholder to natural resource management. Gatekeeper series No. SA52.
Guillen J, Macher C, Merzereaud M, Bertignac M, Fifas S, dan Guyader O. 2013.
Estimating MSY and MEY in multi-species and multi-fleet fisheries
consequences and limits: an application to the Bay of Biscay mixed fishery.
Journal of Marine Lolicy. 40: 64-74 p.
Gulland JA. 1983. Fish Stock Assesment : Manual of Basic Method. New York :
Wiley and Sons Inter-science. Volume 1, FAO/Wiley Series on Food and
Agricultural. 233 p.
Hogart JM. 2006. Financial education and economic development. Improving
Financial Literacy International Conference hosted by the Russian G8
Presidency in Cooperation with the OECD. 29-30 November 2006.
Hollowed AB, J lanelli, P Livingston. 2000. Including Predation Mortality in Stock
Assessment: A Case Study For Gulf of Alaska Walleye Pollock. ICES Journal
of Marine Science. Vol 57:707-719.
Houde ED. 2008. Emerging from Hjorts Shadow. Journal Northw. Atl. Fish. Sci.
41:53-70.
Imeson RJ, Jeroen CJM, Van DB, Jeljer H. 2002. Integrated models of fisheries
management and policy. Environment Modeling and Assessment 7: 259-271.
Irhamni W. 2009. Potensi pengembangan usaha penangkapan ikan di Kabupaten
Pandeglang dan dukungan PPP Labuan [skripsi].Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Jorgensen C, Holt RE. 2013. Natural mortality: its ecology, how it shapes fish life
histories, and why it may be increased by fishing. Journal of Sea Research.
75: 8-18.
[KEPMEN] Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.45 tahun 2011. 2011.
[KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2011. Kelautan dan Perikanan dalam
Angka. Kementrian Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
Karna SK, Panda S. 2011. Growth Estimation and Length at Maturity of a
Commercially Important Fish Species i. e., Dayscieaena albida (Boroga) in
Chilika Lagoon, India. European Journal of Experimental Biology. 1(2):84-
91.
53

Kompas T. 2005. Fisheries management: economic efficiency and the concept of


Maximum Economic Yield. Journal of Aust Commod. 12:152160 p.
Manadiyanto, H, H. Latif dan S. Iriandi. 2000. Status dan Pemanfaatan Udang
Penaeid Pasca Pukat harimau di Perairan Laut Jawa. Jakarta: Balai Penelitian
Perikanan laut.
Mosse JW dan Hutubessy BG. 1996. Umur, pertumbuhan, dan ukuran pertama kali
matang gonad ikan kembung (Rastrelliger kanagurta) dari Perairan Pulau
Ambon dan sekitarnya. Jurnal Sains dan teknologi Universitas Patimura. 1:2-
13.
Muhammad S. 2011. Kebijakan Pembangunan Perikanan dan Kelautan:
Pendekatan Sistem. Malang (ID): Universitas Brawijaya.
Najamuddin. M, Achmar. Budimawa, N, Indar. 2004. Pendugaan ukuran pertama
kali matang gonad ikan layang beles (Decapterus macrosoma Bleeker).
Jurnal Sains dan Teknologi. 4 (1): 1-8.
Nash RDM, Geffen AJ. 2012. Mortality through the early life-history of fish: what
can we learn from European Plaice (Pleuronectes platessa L.)?. Journal of
Marine Systems. 93:58-68.
Pauly D. 1979. Theory and Management of Tropical Multispesies Stocks: A review
with emphasis on the Southeast Asia Demersal Fishery, ICLARM Stud.
Review 1.
Pauly D. 1984. Fish Population Dynamic in Tropical waters: a manual for use with
progfammable caLculators. ICLARS Stud, Rev.8: 325 p.
Pauly D. 1994. From growth to malthulism overfishing: stage of fisheries resources
misuse. ICLARM 4:14.
Pomeroy R, Douvere F. 2008. The engagement of stakeholder in the marine spatial
planning process. Marine Policy. 32(5):816-822.
Post JR, Mushens C, Paul A, dan Sullivani M. 2003. Assessment of alternative
harvest regulations for sustaining recreational fisheries: model development
and application to bull trout. North America Journal of Fisheries
Management. 23: 22-34.
Powers JE. 2014. Age-specific natural mortality rates in stock assessment: size-
based vs density-dependent. ICES Journal of Marine Science. Doi:10.1093.
Prihatiningsih. Sadhomotomo B, dan Taufik M. 2013. Dinamika Populasi Ikan
Swanggi (Priancathus tayenus) di Perairan Tanggerang-Banten. Jurnal
BAWAL. 5 (2): 81-87.
Profil Desa Teluk, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang Tahun 2014
Riana AD. 2006. Analisis Bioekonomi Ikan Karang Hidup Konsumsi di Kepulauan
Spermonde, Sulawesi Selatan [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sanger F, Nicklen S, Coulson AR. 1977. DNA sequencing with chainterminating
inhibitors. Proc Natl Acad Sci USA. 74: 5463-5467.
Saputra SW, Soedarsono P, Sulistyawati GA. 2009. Beberapa aspek biologi ikan
kuniran (Upeneus spp) di Perairan Demak. Jurnal Saintek Perikanan. 5(1): 1-
6.
Schaefer MB. 1954. Some aspect of the dynamics important to management of the
commercial marine species. Tnt. Am. T40p. Tuna Comm Bull. (2): 26-56
Schaefer M. 1957. A Study of the Dynamics of the Fishery for Yellowfin Tuna in the
Eastern Tropical pacific. Inter am. Trop. Comm. Bull. (2): 247-268.
54

Scott A. 1979. Development of economic theory of fisheries regulation. Journal


Fish. Res. Board. Canada. 36: pp725-741
Scott RD dan Sampson DB. 2011. The sensitivity of long-term yield targets to
change in fishery age-selectivity. Journal of Marine Policy. 35: 79-84 p.
Simarmata R. 2015. Pengelolaan Sumberdaya Ikan Tembang (Sardinella fimbriata)
di Perairan Selat Sunda [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Sparre P, dan Venema SC. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis, Buku I:
Manual. Widodo J, Meta IGS, Nurhakim S, Baharudin M, Penerjemah.
Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Terjemahan dari
Introduction to Tropical Fish Stock Assassment. Part I: Manual.
Sulistianto E. 2013. Analisis bioekonomi pemanfaatan sumber daya ikan kakap di
Kabupaten Kutai Timur. Jurnal Ilmu Perikanan Tropis 2: 42-46.
Sumirat E. 2011. Dampak kebijakan perikanan terhadap pemberdayaan masyarakat
nelayan (studi kasus wilayah Provinsi Banten) [tesis]. Jakarta (ID):
Pascasarjana Universitas Indonesia.
[UU] Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. 2004.
Ulrich C, Gallic BL, Dunn MR, Gascuel D. 2002. A multi-species multi-fleet
bioeconomic simulation model for the English Channel artisanal fisheries.
Journal of Fisheries Research 58: 319-401.
Umar Husein. 2004. Metode Penelitian untuk Skripsi dan Thesis Bisnis. Rajawali
Press, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Widodo J, Suadi. 2006. Pengelolaan Sumber daya Perikanan Laut. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Wudji A, Suwarso, Wudianto.2013. Biologi reproduksi dan musim pemijahan ikan
lemur (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Perairan Selat Bali. Jurnal
BAWAL. 5(1): 49-57.
Zulbainarni N, Tambunan M, Syaukat Y, Fahrudin A. 2011. Model bioekonomi
eksploitasi multispesies sumber daya perikanan pelagis di Perairan Selat Bali.
Marine Fisheries 2(2): 141-154.
Zulbainarni N. 2012. Teori dan Praktik Permodelan Bioekonomi dalam
Pengelolaan Perikanan Tangkap. Bogor: IPB Press
55

LAMPIRAN

Lampiran 1 Proses penentuan laju mortalitas total (Z) melalui kurva yang
dilinerakan berdasarkan data panjang
Berdasarkan persamaan tangkap atau persamaan Baranov (Baranov 1918 in Sparre
dan Venema 1992), tangkapan antara waktu t1 dan t2 sama dengan:

F
C (t1 ,t2 )= (N(t1 )-N(t2 )) (1)
Z

N(t1) adalah banyaknya ikan pada saat t1, N(t2) adalah banyaknya ikan pada saat t2,
F adalah mortalitas penangkapan, dan Z adalah mortalitas total. Fraksi ikan yang
F
mati akibat penangkapan, disebut laju eksploitasi. Oleh karena:
Z

N(t2 )=N(t1 )e(-Z(t1 - t2 )) (2)

persamaan Beranov di atas dapat ditulis menjadi

F
C (t1 ,t2 )=N(t1 ) (1-e-Z(t1 - t2 ) ) (3)
Z

N(t1 )=N(Tr)e(-Z(t1 -Tr)) (4)


sehingga
F
C (t1 ,t2 )=N(Tr)e(-Z(t1 -Tr)) Z (1-e-Z(t1- t2) ) (5)

N (Tr) adalah rekrutmen. Selanjutnya dengan menggunakan logaritma di kiri dan


kanan persamaan 5 diperoleh

ln C(t1 ,t2 )= d - Zt1 + ln(1-e-Z(t1 - t2) ) (6)

F
d = N(Tr)+ZTr+ln Z

jika t1 - t2 = t2 - t3 =.....= suatu konstanta dengan satuan waktu diperoleh konstanta


baru:
g =d+ln 1-e-Z(t1 - t2) (7)
sehingga persamaan (6) dapat ditulis menjadi

ln C(t1 ,t2 )= d - Zt1 (8)


Atau
ln C(t,t+) = g - Zt (9)

menurut Van Sickle (1977) in Sparre dan Venema (1992 ) cara lain dapat ditempuh
untuk menyelesaikan (6) melalui

ln (1-e-x) ln (X) - 2 (10)
56

untuk X yang bernilai kecil (X<1,0), sehingga

Z (t2-t1)
ln (1-e-Z(t1 - t2) ) =ln Z(t1 t2 ) (11)
2

dan persamaan (6) dapat ditulis

C(t1,t2) 1
ln t2-t1 = h - Z t1 - 2 Z (t1 t2 ) (12)
atau
C(t,t+t) 1
ln t = h Z (t+ 2 ) (13)

selanjutnya, bentuk konversi data panjang menjadi data umur dengan menggunakan
persamaan Von Bertalanffy
1 L
t(L)=t0 - (K ln (1- L )) (14)

Notasi tangkapan C(t1 ,t2 ) dapat diubah menjadi C(L1,L2)

C(t,t+t) = C (L1,L2) (15)


dan
1 L -L
t=t(L2 ) - t(L1 )= (K ln (L -L1 )) (16)
2
1
Bagian (t+ 2 ) pada persamaan (13) dapat dikonversi kedalam notasi L1 dan L2
sehingga
1 L1 +L2 1 L1 +L2
t(L1)+ 2 ) t( ) =t0 - (K ln (1- )) (17)
2 2L
sehingga
C(L +L ) (L1 +L2 )
ln t(L1 ,L2) =h-Zt ( ) (18)
1 2 2

C(L +L )
yang membentuk persamaan linear dengan y= ln t(L1 ,L2) sebagai ordinat dan x =
1 2
1+2)
( ) sebagai absis, dengan koefisien kemiringan persamaan (18) yaitu Z.
2
57

Lampiran 2 Frekuensi panjang ikan dominan tertangkap jaring arad


a. Ikan Biji nangka
Selang kelas Selang kelas batas kelas batas kelas Nilai tengah Frekuensi
bawah (mm) atas (mm) bawah (mm) atas(mm) (mm) Betina Jantan
67 71 66.5 71.5 69 2 0
72 76 71.5 76.5 74 0 3
77 81 76.5 81.5 79 2 7
82 86 81.5 86.5 84 2 20
87 91 86.5 91.5 89 8 28
92 96 91.5 96.5 94 13 54
97 101 96.5 101.5 99 17 52
102 106 101.5 106.5 104 14 63
107 111 106.5 111.5 109 20 43
112 116 111.5 116.5 114 14 32
117 121 116.5 121.5 119 20 24
122 126 121.5 126.5 124 25 9
127 131 126.5 131.5 129 16 23
132 136 131.5 136.5 134 15 9
137 141 136.5 141.5 139 4 5
142 146 141.5 146.5 144 6 1
147 151 146.5 151.5 149 7 2
152 156 151.5 156.5 154 4 3
157 161 156.5 161.5 159 0 2
162 166 161.5 166.5 164 0 2
167 171 166.5 171.5 169 0 1
Total 189 383

b. Ikan Peperek
Selang kelas Selang kelas batas kelas batas kelas Nilai tengah Frekuensi
bawah (mm) atas (mm) bawah (mm) atas(mm) (mm) Betina Jantan
70 79 69.5 79.5 74.5 6 2
80 89 79.5 89.5 84.5 18 36
90 99 89.5 99.5 94.5 15 34
100 109 99.5 109.5 104.5 55 58
110 119 109.5 119.5 114.5 60 79
120 129 119.5 129.5 124.5 51 63
130 139 129.5 139.5 134.5 14 31
140 149 139.5 149.5 144.5 9 11
150 159 149.5 159.5 154.5 1 1
160 169 159.5 169.5 164.5 1 0
170 179 169.5 179.5 174.5 0 1
Total 230 316
58

Lampiran 2 Lanjutan
c. Ikan Kurisi
Selang kelas Selang kelas batas kelas batas kelas Nilai tengah Frekuensi
bawah (mm) atas (mm) bawah (mm) atas(mm) (mm) Betina Jantan
100 114 99.5 114.5 107 11 8
115 129 114.5 129.5 122 23 29
130 144 129.5 144.5 137 20 61
145 159 144.5 159.5 152 35 67
160 174 159.5 174.5 167 33 47
175 189 174.5 189.5 182 37 32
190 204 189.5 204.5 197 33 40
205 219 204.5 219.5 212 14 16
220 234 219.5 234.5 227 15 19
235 249 234.5 249.5 242 0 4
250 264 249.5 264.5 257 0 2
Total 221 325

d. Ikan Layur
Selang kelas Selang kelas batas kelas batas kelas Nilai tengah Frekuensi
bawah (mm) atas (mm) bawah (mm) atas(mm) (mm) Betina Jantan
232 269 231.5 269.5 250.5 3 6
270 307 269.5 307.5 288.5 1 2
308 345 307.5 345.5 326.5 6 11
346 383 345.5 383.5 364.5 10 34
384 421 383.5 421.5 402.5 14 10
422 459 421.5 459.5 440.5 18 28
460 497 459.5 497.5 478.5 25 56
498 535 497.5 535.5 516.5 31 71
536 573 535.5 573.5 554.5 34 52
574 611 573.5 611.5 592.5 16 23
612 649 611.5 649.5 630.5 4 7
650 687 649.5 687.5 668.5 0 0
Total 162 300
59

Lampiran 3 Pemisahan kelompok ukuran ikan dominan tertangkap jaring arad di


perairan Selat Sunda

Pemisahan kelompok ukuran ikan peperek betina (a) dan jantan (b) dengan
metode NORMSEP
60

Pemisahan kelompok ukuran ikan peperek betina (a) dan jantan (b) dengan
metode NORMSEP
61

Pemisahan kelompok ukuran ikan kurisi betina (a) dan jantan (b) dengan metode
NORMSEP
62

Pemisahan kelompok ukuran ikan layur betina (a) dan jantan (b) dengan metode
NORMSEP
63

Lampiran 4 Pendugaan parameter pertumbuhan ikan dominan tertangkap jaring


arad di perairan Selat Sunda
Pendugaan parameter pertumbuhan yang disajikan hanya salah satu ikan yaitu ikan
kurisi. Prosedur yang sama digunakan untuk menduga parameter pertumbuhan ikan
biji nangka, peperek, dan layur.
a. Ikan kurisi
Pengambilan contoh Kelompok Standar populatio iseparation
ke- ukuran deviasi n Index
1 100.01 7.5 1 n.a.
147.12 12.54 21 4.7
2 120.9 7.5 12.89 0
168.43 17.633 33.11 3.782
3 110.58 8.361 11.57 0
142.15 7.5 18.66 3.981
178.23 16.994 25.77 2.946
4 180.36 17.572 14 0
5 112.14 10.752 8.19 0
186.01 25.199 31.81 4.109
6 112.07 10.689 8.17 0
186.32 24.924 34.83 4.17

Lt (x) Lt+1 (y) Parameter Nilai


100.01 120.9 a 43.17
120.9 142.15 b 0.84
142.15 180.36 K (bulan-1) 0.17
180.36 186.32 L (mm) 271.63
186.32 t0 (bulan) -0.54
64

Lampiran 5 Pendugaan ukuran rata-rata pertama kali ikan tertangkap (Lc) ikan
dominan tertangkap jaring arad di perairan Selat Sunda
Pendugaan nilai Lc yang disajikan hanya salah satu ikan yaitu ikan kurisi. Prosedur
yang sama digunakan untuk menduga nilai Lc ikan biji nangka, peperek, dan layur.
a. Betina
SKB SKA Xi (X) ni f Fk fk % 1/fk 1/fk-1 ln (1/fk-1) (Y)
100 114 107.00 11 0.05 0.05 4.98 20.09 19.09 2.95
115 129 122.00 23 0.10 0.15 15.38 6.50 5.50 1.70
130 144 137.00 20 0.09 0.24 24.43 4.09 3.09 1.13
145 159 152.00 35 0.16 0.40 40.27 2.48 1.48 0.39
160 174 167.00 33 0.15 0.55 55.20 1.81 0.81 -0.21
175 189 182.00 37 0.17 0.72 71.95 1.39 0.39 -0.94
190 204 197.00 33 0.15 0.87 86.88 1.15 0.15 -1.89
205 219 212.00 14 0.06 0.93 93.21 1.07 0.07 -2.62
220 234 227.00 15 0.07 1.00 100.00 1.00 0.00
235 249 242.00 0 0.00 1.00 100.00 1.00 0.00
250 264 257.00 0 0.00 1 100 1 0

S2*L S1-S2*L EXP(S1-S2*L) 1+EXP(S1-S2*L) 1/1+EXP(S1-S2*L)


5.42 2.72 15.21 16.21 0.06
6.17 1.96 7.12 8.12 0.12
6.93 1.20 3.33 4.33 0.23
7.69 0.44 1.56 2.56 0.39
8.45 -0.32 0.73 1.73 0.58
9.21 -1.07 0.34 1.34 0.75
9.97 -1.83 0.16 1.16 0.86
10.73 -2.59 0.07 1.07 0.93

S1 = a (intercept) = 8.13745894
S2 = b (slope) = 0.05061382

Lc 50% = S1/S2 = 160.77544


65

Lampiran 5 Lanjutan

1.20 1.20
1.00 1.00
0.80 0.80
Frekuensi

Frekuensi
0.60 Lc = 113.39 mm 0.60 Lc = 106.16 mm
0.40 0.40
0.20 0.20
0.00 0.00
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200
Nilai tengah panjang (mm) Nilai tengah panjang (mm)

Nilai Lc dengan metode covered conden method ikan biji nangka betina (a) dan
jantan (b)

1.20 1.20
1.00 1.00
0.80 0.80
Frekuensi

Frekuensi

0.60 Lc = 106.44 mm 0.60


Lc = 107.98 mm
0.40 0.40
0.20 0.20
0.00 0.00
0 40 80 120 160 0 40 80 120 160
Nilai tengah panjang (mm) Nilai tengah panjang (mm)

(a) (b)
Nilai Lc dengan metode covered conden method ikan peperek betina (a) dan
jantan (b)
1.00 1.20

0.80 1.00
0.80
Frekuensi

Frekuensi

0.60 Lc = 160.78 mm Lc = 159.59 mm


0.60
0.40
0.40
0.20 0.20
0.00 0.00
0 50 100 150 200 250 300 0 50 100 150 200 250 300
Nilai tengah panjang (mm) Nilai tengah panjang (mm)

(a) (b)
Nilai Lc dengan metode covered conden method ikan kurisi betina (a) dan jantan
(b)
66

1.00 1.00

0.80 0.80
Lc = 460,46 mm
Frekuensi

Frekuensi
0.60 0.60 Lc = 454,66 mm

0.40 0.40

0.20 0.20

0.00 0.00
0 100 200 300 400 500 600 700 0 100 200 300 400 500 600 700
Nilai tengah panjang (mm) Nilai tengah panjang (mm)

(a) (b)
Nilai Lc dengan metode covered conden method ikan layur betina (a) dan jantan
(b)

Lampiran 6 Tingkat kematangan gonad (TKG) dan pendugaan panjang ikan


pertama kali matang gonad (Lm) ikan dominan tertangkap jaring arad
100% 100%
90% 90%
80% 80%
70% 70%
frekuensi
frekuensi

60% 60%
50% 50%
40% 40%
30% 30%
20% 20%
10% 10%
0% 0%

Waktu Pengambilan Contoh Waktu Pengambilan Contoh

(a) (b)
Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ikan biji nangka betina (a) dan jantan (b)
100% 100%
90% 90%
80% 80%
70% 70%
Frekuensi

Frekuensi

60% 60%
TKG IV
50% 50%
TKG III
40% 40%
30% 30% TKG II

20% 20% TKG I

10% 10%
0% 0%

Waktu pengambilan contoh Waktu pengambilan contoh

(b) (b)
Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ikan peperek betina (a) dan jantan (b)
67

Lampiran 6 Lanjutan
100% 100%
90% 90%
Frekuensi 80% 80%
70% 70%

Frekuensi
60% 60%
50% 50% TKG I
40% 40%
30% TKG II
30%
20% TKG III
20%
10%
10% TKG IV
0%
0%

Waktu Pengambilan Contoh ke-


Waktu Pengambilan Contoh ke-

(a) (b)
Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ikan kurisi betina (a) dan jantan (b)

100% 100%
90% 90%
80% 80%
70% 70%
Frekuensi

60% 60%
Frekuensi

TKG IV
50% 50%
40% 40% TKG III
30% 30%
20% 20% TKG II
10% 10%
0% 0% TKG I

Waktu pengambilan contoh Waktu pengambilan contoh

(a) (b)
Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ikan kurisi betina (a) dan jantan (b)

Pendugaan nilai Lm yang disajikan hanya salah satu ikan yaitu ikan kurisi. Prosedur
yang sama digunakan untuk menduga nilai Lm ikan biji nangka, peperek, dan layur.
SKB SKA Nt Xi Ni Nb Pi Qi X Pi*Qi Ni-1 Pi*Qi/Ni-1
100 114 107 2.0293838 11 1 0.0909 0.9091 0.0570 0.0826 10 0.0083
115 129 122 2.0863598 23 4 0.1739 0.8261 0.0504 0.1437 22 0.0065
130 144 137 2.1367206 20 6 0.3000 0.7000 0.0451 0.2100 19 0.0111
145 159 152 2.1818436 35 6 0.1714 0.8286 0.0409 0.1420 34 0.0042
160 174 167 2.2227165 33 24 0.7273 0.2727 0.0374 0.1983 32 0.0062
175 189 182 2.2600714 37 21 0.5676 0.4324 0.0344 0.2454 36 0.0068
190 204 197 2.2944662 33 19 0.5758 0.4242 0.0319 0.2443 32 0.0076
205 219 212 2.3263359 14 9 0.6429 0.3571 0.0297 0.2296 13 0.0177
220 234 227 2.3560259 14 14 1.0000 0.0000 0.0000 0.0000 13 0.0000
68

Lampiran 6 Lanjutan

= [ + (2)] ( )

0.0362
= [2.3560 + ( )] (0.0362 4.2497)
2
Antilog m (M) = 165.93 mm ukuran ikan rata-rata mencapai matang gonad

Lampiran 7 Pendugaan laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan dominan tertangkap
jaring arad di perairan Selat Sunda

Pendugaan nilai laju mortalitas (M, F, dan Z) yang disajikan hanya salah satu ikan
yaitu ikan kurisi. Prosedur yang sama digunakan untuk menduga nilai M, F, dan Z
ikan biji nangka, peperek, dan layur.
t(L1/L2)/2 Ln((C(L1,L2)/t)
SB SA Xi C(L1,L2) t(L1) t
(x) (y)
100 114 107 11 2.12 0.49 2.36 3.11
115 129 122 23 2.65 0.54 2.91 3.75
130 144 137 20 3.23 0.60 3.52 3.50
145 159 152 35 3.87 0.68 4.20 3.95
160 174 167 33 4.60 0.77 4.98 3.75
175 189 182 37 5.44 0.90 5.87 3.71
190 204 197 33 6.41 1.09 6.93 3.41
205 219 212 14 7.58 1.36 8.23 2.33
220 234 227 15 9.06 1.83 9.90 2.11
235 249 242 0 11.04 2.78 12.27
250 264 257 0 14.09 6.02 16.34

a (intercept) = 7.33
b (slope) = -0.60
M (mortalitas alami) = 0.32
F (mortalitas tangkapan) = 0.28
E (laju eksploitasi) = 0.47
Z (mortalitas total) = 0.60
69

Lampiran 8 Estimasi parameter biologi ikan dominan tertangkap jaring arad di


perairan Selat Sunda dengan model Schaefer.
Nilai CPUE ikan biji nangka, peperek, kurisi, tigawaja, dan layur.

Peperek Biji nangka


Tahun
C (ton) E (trip) CPUE C (ton) E (trip) CPUE
2008 544,80 2359,92 0,23 589,10 2551,82 0,23
2009 462,30 2751,16 0,17 560,90 3337,93 0,17
2010 452,57 2508,24 0,18 468,80 2598,19 0,18
2011 423,75 2591,09 0,16 457,71 2798,74 0,16
2012 411,59 2564,88 0,16 473,22 2948,94 0,16
2013 360,62 2350,57 0,15 465,75 3035,83 0,15

Kurisi Tiga waja Layur


Tahun
C (ton) E (trip) CPUE C (ton) E (trip) CPUE C (ton) E (trip) CPUE
2008 346,30 1500,08 0,23 375,30 1625,70 0,23 101,00 437,50 0,23
2009 361,64 2152,13 0,17 348,40 2073,34 0,17 100,90 600,46 0,17
2010 336,34 1864,07 0,18 321,44 1781,49 0,18 84,30 467,21 0,18
2011 341,99 2091,16 0,16 262,40 1604,50 0,16 61,83 378,07 0,16
2012 354,16 2207,00 0,16 188,99 1177,72 0,16 55,01 342,80 0,16
2013 337,30 2198,57 0,15 159,61 1040,36 0,15 49,72 324,08 0,15

Pendugaan estimasi parameter biologi yang disajikan hanya salah satu ikan yaitu
yaitu ikan kurisi. Prosedur yang sama digunakan untuk menduga nilai parameter
biologi ikan biji nangka, peperek, tiga waja, dan layur.
Tahun Ct Ft CPUE CPUEt+1 Ft+1 Ft* Z
2008 346.30 1500.08 0.23 0.1680 2152.1280 1826.1019 -5269.8590
2009 361.64 2152.13 0.17 0.1804 1864.0698 2008.0989 -5921.9113
2010 336.34 1864.07 0.18 0.1635 2091.1554 1977.6126 -5633.8531
2011 341.99 2091.16 0.16 0.1605 2206.9989 2149.0771 -5860.9386
2012 354.16 2207.00 0.16 0.1534 2198.5711 2202.7850 -5976.7822
2013 337.30 2198.57 0.15

Z/CPUE Z/CPUEt+1 1/b X Y ln(X/Y) Q


-22827.5697 -31361.044 -10036.084 -32863.6539 -41397.1283 -0.2308 4.4E-05
-35241.4215 -32820.527 -10036.084 -45277.5056 -42856.6110 0.0550 -9.3E-06
-31224.0452 -34449.142 -10036.084 -41260.1294 -44485.2260 -0.0753 1.3E-05
-35837.6946 -36523.281 -10036.084 -45873.7788 -46559.3654 -0.0148 2.5E-06
-37245.1771 -38957.547 -10036.084 -47281.2612 -48993.6314 -0.0356 6.0E-06
70

Lampiran 8 Lanjutan
a= 0.3756 q= Rata-rata (Q) = 0.000011274
b= -0.0001 K= a/ q = 33319.0670
2
2
R = 0.9488 r= (q *K)/b = 0.0425

Lampiran 9 Jenis makanan biji nangka, peperek, kurisi, tigawaja, dan layur.
Jenis ikan Scooling Habitat Makanan
Biji nangka Bergerombol Perairan pantai Udang, cumi,
hingga kedalaman 80 benthos.
m
Peperek Membentuk Perairan pantai Zoobenthos,
gerombol besar
Kurisi Bergerombol Hidup hingga Zoobenthos, cacing,
kedalaman 100 m udang, cumi ikan
kecil.
Tiga waja Bergerombol besar Perairan pantai Cumi, ikan kecil,
hingga kedalaman 40 binatang dasar kecil.
m

Lampiran 10 Pendugaan parameter ekonomi (biaya dan harga) ikan dominan


tertangkap jaring arad di perairan Selat Sunda.
Pendugaan parameter ekonomi yang disajikan hanya salah satu ikan yaitu ikan
kurisi. Prosedur yang sama digunakan untuk menduga nilai parameter ekonomi ikan
biji nangka, peperek, tiga waja, dan layur.
a. Biaya penangkapan
Biaya penangkapan jaring arad dalam satu trip
Jenis Jumlah Harga Total
Solar 30 7000 210 000
bensin 2 9000 18 000
Es 5 25000 125 000
Air 2 10000 20 000
perbekalan 1 350000 350 000
Total 723 000

Tahun Produksi (ton) Total produksi (ton) Proporsi IHK Biaya rill (juta ton)
2008 346.3 3498.4 0.10 124.73 0.07
2009 361.64 3386.8135 0.11 126.99 0.07
2010 336.34 3113.735 0.11 144.89 0.08
2011 341.99 2955.189 0.12 151.78 0.08
2012 354.16 2801.829 0.13 157.67 0.08
2013 337.3 2602.58 0.13 175.66 0.09
Rata-rata 346.29 3059.76 0.11 146.95 0.08
71

Lampiran 10 Lanjutan

a. Harga rill
Jaring arad
Tahun IHK Harga rill (juta ton)
Volume( ton) Nilai (Rp)
2008 346.30 1217200 124.73 10.84
2009 361.64 2309164 126.99 11.04
2010 336.34 3771440 144.89 12.59
2011 341.99 3904570 151.78 13.19
2012 354.16 4190338 157.67 13.70
2013 337.30 5149330 175.66 15.27
Rata-rata 346.29 3423674 146.95 12.77

Lampiran 11 Pendugaan produksi aktual dan lestari ikan biji nangka, peperek, kurisi,
tigawaja, dan layur di perairan Selat Sunda

Biji nangka Peperek Kurisi


Tahun
PL (ton) PA (ton) PL (ton) PA (ton) PL (ton) PA (ton)
2008 577,13 589,10 527,48 544,80 378,4865 346,3
2009 658,54 560,90 567,95 462,30 456,75806 361,6401
2010 582,90 468,80 543,99 452,57 427,03727 336,34
2011 606,39 457,71 552,58 423,75 451,05419 341,99
2012 622,48 473,22 549,91 411,59 461,63517 354,16
2013 631,22 465,75 526,39 360,62 460,90159 337,3

Tigawaja Layur
Tahun
PL (ton) PA (ton) PL (ton) PA (ton)
2008 325,93 375,30 166,91 101,00
2009 385,71 348,40 165,82 100,90
2010 347,99 321,44 167,68 84,30
2011 322,83 262,40 166,70 61,83
2012 254,48 188,99 155,26 55,01
2013 230,02 159,61 148,08 49,72

Keterangan: PL adalah produksi lestari dan PA adalah produksi aktual.


72

Lampiran 11 Lanjutan
Pendugaan laju degradasi dan depresiasi yang disajikan hanya salah satu ikan yaitu
ikan kurisi. Prosedur yang sama digunakan untuk menduga laju degradasi dan
depresiasi ikan biji nangka, peperek, tiga waja, dan layur.
a. Laju degradasi
Tahun Produksi lestari (ton) Produksi aktual (ton) Upaya (trip) Koef degradasi
2008 378 346.3000 1500.0757 0.2511
2009 457 361.6401 2152.1280 0.2205
2010 427 336.3400 1864.0698 0.2193
2011 451 341.9900 2091.1554 0.2110
2012 462 354.1600 2206.9989 0.2136
2013 461 337.3000 2198.5711 0.2032

b. Laju depresiasi
Rente ekonomi (juta Rp)
Tahun Koef depresiasi
Aktual Lestari
2008 3654.1120 4003.0162 0.2506
2009 3845.4520 4895.2206 0.2187
2010 4091.1725 5233.2462 0.2177
2011 4341.8644 5780.5246 0.2089
2012 4667.3759 6140.0910 0.2116
2013 4943.3187 6830.2602 0.2007

Lampiran 12 Stakeholder dalam perikanan demersal di PPP Labuan, Banten.

Skor
Stakeholder
Kepentingan Pengaruh
ABK/ nelayan 5 5
Juragan 5 5
Pengepul 4 2
Bakul 5 2
Agen 2 2
Pengusaha perikanan 4 2
Pedagang ikan 4 2
Pedagang non ikan 1 1
Konsumen 3 2
Masyarakat 1 1
Manajer TPI 2 4
Perangkat Desa 2 3
DKP Kab Pandeglang 2 5
Dinas BPPT Prov. Banten 2 5
Dinas Perhubungan (syahbandar) 1 4
Keterangan: 5 (Sangat penting-berpengaruh), 4 (Penting-berpengaruh), 3 (Netral),
2 (Tidak penting-berpengaruh), 1 (Sangat tidak penting-berpengaruh).
73

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tasikmalaya pada tanggal 3 September


1992 sebagai anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan
Bapak Ruhiat dan Ibu Kokon. Pendidikan formal yang pernah
dijalani penulis berawal dari TK Al-Istiqomah (1997-1998), SD
Sundawenang (1998-2004), SMP N 1 Salawu (2004-2007), SMA
N 1 Singaparna (2007-2010). Penulis diterima menjadi mahasiswa
di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB
(USMI) pada tahun 2010 sebagai mahasiswa Departemen Sumber
Daya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor. Penulis berkesempatan melanjutkan studi
Magister melalui program Sinergi S1-S2 pada tahun 2013 pada program studi
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor.
Kegiatan akademik diluar perkuliahan penulis pernah menjadi asisten mata
kuliah Metode Statistika, koordinator asisten Metode Kuantitatif Sumber Daya
Perairan pada tahun 2012-2013 dan 2013-2014, mata kuliah Ekologi Perairan, Ekologi
Perairan Pesisir dan Laut Tropik tahun 2012-2013, mata kuliah Iktiologi dan Dasar-
dasar Biologi Populasi tahun 2013-2014, dan asisten kepala Bagian Manajemen
Sumber Daya Perikanan tahun 2013-2014. Penulis juga aktif dalam organisasi
kemahasiswaan serta turut aktif mengikuti seminar baik dalam lingkup universitas
maupun luar universitas. Penulis pernah menjadi pemakalah dalam Seminar Nasional
Iktiologi tahun 2014. Bagian dari tesis ini sedang dalam proses publikasi dengan judul
Dinamika Populasi Sumber Daya Ikan Layur (Lepturacanthus savala) di
Perairan Selat Sunda.

You might also like