Professional Documents
Culture Documents
SISKA AGUSTINA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Siska Agustina
NIM C252140436
RINGKASAN
Potensi sumberdaya ikan di Perairan Selat Sunda terdiri dari ikan pelagis, ikan
demersal, ikan karang, kerang-kerangan, cumi-cumi dan udang. Ikan demersal di
Kabupaten Pandeglang merupakan produksi tertinggi kedua dengan jumlah total
produksi pada tahun 2013 sebesar 9361.724 ton. Jaring arad atau pukat pantai
adalah salah satu alat tangkap yang dominan menangkap ikan demersal di Selat
Sunda. Perikanan jaring arad bersifat multispesies, dengan hasil tangkapan terdiri
dari 6 kelompok ikan yaitu biji nangka (Upeneus moluccensis), peperek
(Eubleekeria splendens), kurisi (Nemipterus nematophorus), tiga waja (Otolithes
ruber), layur (Lepturacanthus savala), dan kelompok spesies lainnya. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui laju eksploitasi aktual sumber daya ikan demersal,
mengetahui status pemanfaatan ikan demersal oleh alat tangkap jaring arad dengan
model bioekonomi multispesies, dan mengidentifikasi alternative pengelolaan yang
tepat bagi ikan demersal pada perikanan jaring arad di Selat Sunda. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Mei-Oktober 2014 dan Maret 2015 di PPP Labuan Banten.
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer (panjang total
ikan, bobot ikan, jenis kelamin, TKG, dan wawancara dengan nelayan jaring arad)
dan data sekunder (data statistik perikanan dari DKP Pandeglang. Analisis data
meliputi parameter pertumbuhan, penentuan ukuran rata-rata tertangkap, penentuan
ukuran rata-rata matang gonad, mortalitas dan laju eksploitasi, analisis bioekonomi
multipsesies, analisis bioekonomi kompetisi, analisis laju degradasi dan depresiasi,
dan analisis stakeholder.
Hasil menunjukkan bahwa laju eksploitasi untuk ikan biji nangka, peperek,
kurisi, dan ikan layur telah melebihi eksploitasi optimumnya (50%), artinya secara
biologi sumber daya tersebut telah mengalami overexploited. Rata-rata ukuran
pertama kali tertangkap lebih kecil dibandingkan ukuran pertama kali matang
gonad (Lc<Lm), hal ini berarti ikan yang tertangkap lebih banyak pada usia muda
dan immature. Status pemanfaatan ikan demersal oleh jaring arad adalah fully
exploited (>70% dari MSY) dengan nilai upaya dan produksi aktual (E= 8950 trip,
h= 1374 ton and = Rp. 11370 juta) lebih kecil dibandingkan kondisi optimum (E=
10811 trip, h= 1811 ton and = Rp. 14477 juta). Sehingga peningkatan hasil
tangkapan dan upaya tangkapan masih dapat ditingkatkan sampai pada batas
optimumnya. Berdasarkan hasil analisis pemangku kepentingan, nelayan menjadi
pelaksana untuk pengelolaan ikan demersal di Selat Sunda. Pengelolaan ikan
demersal di perairan Selat Sunda dapat dilakukan dengan penambahan upaya
tangkapan sampai pada batas upaya MEY, menetapkan kuota penangkapan,
melakukan pengaturan mata jaring, dan penentuan daerah pemijahan ikan.
Kata kunci: fully exploited, ikan demersal, jaring arad, overexploited, Selat Sunda
SUMMARY
Fish diversity in the Sunda Strait waters consists of pelagic fish, demersal fish,
reef fish, shells, squids, and shrimp. Demersal fish in Pandeglang Regency is the
second largest catches amounting to 9361.724 tons. Small bottom trawl is one of
the fishing gear for demersal fish in the Sunda Strait. Character of demersal fish
resources in tropical waters is multispecies consisting of six group of fish i.e.,
Goldband goatfish (Upeneus moluccensis), Splendid ponyfish (Eubleekeria
splendens), Threadfin bream (Nemipterus nematophorus), Tigertooth croaker
(Otolithes ruber), Savalai hairtail (Lepturacanthus savala), dan other species. The
research was aimed at determining actual exploitation rate of demersal fish,
utilization status of demersal fish caught by small bottom trawl using bioeconomic
multispesies model, and identifying more suitable and sustainable alternative
management for small bottom trawl fisheries. This research was conducted during
May-October 2014 and May 2015 at Coastal Fishing Port (PPP) of Labuan, Banten.
Data used in this research consisted of primary data (total length, weight, sex, TKG,
and interview on the small bottom trawl fishermen) and secondary data (statistic
data of fisheries acquired from Marine and Fishery Ministry of Pandeglang
District). Data analysis consisted of growth parameters, determination of length at
first capture, determination of length at first maturity, mortality and exploitation
rate, bioeconomic multispesies analysis, bioeconomic competition analysis,
degradation and depretiation rate analysis, and stakeholders identification analysis.
The result showed that value of exploitation rates for Goldband goatfish,
Splendid ponyfish, Threadfin bream, Tigertooth croaker, and Savalai hairtail
exceeded optimum exploitation (50%), consequently, demersal fish had already
been overexploited. Value of length at first capture lower then the value of length
maturity (Lc<Lm), as a consequence, the fishes landed in PPP Labuan were
dominated by immature fish. Utilization status of demersal fish caught by small
bottom trawl was fully exploited (>70% from MSY), value of effort and production
on actual condition (E= 8950 trips, h= 1374 tons and = Rp. 11370 million) was
lower than the optimum condition (E= 10811 trips, h= 1811 tons and = Rp. 14477
million). Fishing activity using small bottom trawl could still be increased until to
optimum condition. Based on stakeholder analysis, fishermen become the executor
for management of demersal fish in Sunda Strait. Restriction on fishing effort, as
well as quota, mesh size, and spawning ground determination are of concern for
management for demersal fish.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGELOLAAN MULTISPESIES SUMBER DAYA
IKAN DEMERSAL PADA PERIKANAN JARING ARAD
DI PERAIRAN SELAT SUNDA
SISKA AGUSTINA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji luar komisi pada ujian tesis: Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, hidayah, serta
inayah yang diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini.
Karya ilmiah ini berjudul Pengelolaan Multispesies Sumber Daya Ikan Demersal
pada Perikanan Jaring Arad di Perairan Selat Sunda.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
atas biaya penelitian melalui Biaya Operasional Perguruan Tinggi Negeri
(BOPTN), Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), DIPA IPB Tahun
Ajaran 2013, kode Mak : 2013. 089. 521219, Penelitian Dasar untuk Bagian,
Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitan dan Pengabdian
kepada Masyarakat, IPB dengan judul Dinamika Populasi dan Biologi
Reproduksi Sumberdaya Ikan Ekologis dan Ekonomis Penting di Perairan Selat
Sunda, Provinsi Banten yang dilaksanakan oleh Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer,
DEA (sebagai ketua peneliti) dan Dr. Ir. Rahmat Kurnia, M Si (sebagai anggota
peneliti).
2. Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr.
Ir. Nurlisa A Butet, MSc sebagai anggota komisi pembimbing yang telah
memberikan arahan dan masukan dalam penulisan karya ilmiah ini.
3. Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, MSc selaku penguji luar komisi.
4. Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku wakil dari Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
5. Keluarga: Bapak Ibu, Kakak-kakak, Ade, dan Chandra Syayid Bani atas
dukungan dan kasih sayang yang diberikan.
6. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pandeglang atas bantuan
memperoleh data penelitian.
7. Unit Pelaksana Teknis (UPT) PPP Labuan, Banten atas sarana dan prasarana
selama penelitian dilakukan.
8. Tim BOPTN 2014: Nurul Mega, Widyanti, Boy Beni, Rosita, Risti, M. Yunus,
dan seluruh tim lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas
kerjasamanya selama penelitian berlangsung.
9. Teman-teman: Febi, Anandinta, Inggar, Laras, Ruri, Werdhiningtyas,
Rezaninda, Agus, Yuyun, Dewi, Luffisari, Lusita, Akrom, Ayu, Annisa, Nina,
teman-teman MSP 47, SPL 2013, dan SPL 2014 yang tidak dapat disebutkan
satu persatu atas segala bentuk bantuan yang telah diberikan.
10. Teman-teman Laboratorium biologi molekuler MSP: Lalu Panji, Wahyu,
Findra, Lela, Lita, Yustin, Fajrin.
11. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tesis.
Siska Agustina
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN vii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
Ruang Lingkup Penelitian 3
2 METODE 4
Waktu dan Lokasi Penelitian 4
Pengumpulan Data 5
Prosedur Analisis Data 7
3 HASIL DAN PEMBAHASAN 18
Hasil 18
Pembahasan 36
4 SIMPULAN DAN SARAN 50
Simpulan 50
Saran 50
DAFTAR PUSTAKA 50
LAMPIRAN 55
RIWAYAT HIDUP 73
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
1 Proses penentuan laju mortalitas total (Z) melalui kurva yang dilinerakan
berdasarkan data panjang 55
2 Frekuensi panjang ikan dominan tertangkap jaring arad 57
3 Pemisahan kelompok ukuran ikan dominan tertangkap jaring arad di
perairan Selat Sunda 59
4 Pendugaan parameter pertumbuhan ikan dominan tertangkap jaring arad
di perairan Selat Sunda 63
5 Pendugaan ukuran rata-rata pertama kali ikan tertangkap (Lc) ikan
dominan tertangkap jaring arad di perairan Selat Sunda 64
6 Tingkat kematangan gonad (TKG) dan pendugaan panjang ikan pertama
kali matang gonad (Lm) ikan dominan tertangkap jaring arad 66
7 Pendugaan laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan dominan tertangkap
jaring arad di perairan Selat Sunda 68
8 Estimasi parameter biologi ikan dominan tertangkap jaring arad di
perairan Selat Sunda dengan model Schaefer. 69
9 Jenis makanan biji nangka, peperek, kurisi, tigawaja, dan layur. 70
10 Pendugaan parameter ekonomi (biaya dan harga) ikan dominan
tertangkap jaring arad di perairan Selat Sunda. 70
11 Pendugaan produksi aktual dan lestari ikan biji nangka, peperek, kurisi,
tigawaja, dan layur di perairan Selat Sunda 71
12 Stakeholder dalam perikanan demersal di PPP Labuan, Banten. 72
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
2 METODE
Penelitian ini dibagi menjadi dua bagian yaitu pengambilan data primer dan
data sekunder. Pengambilan data primer dilaksanakan pada bulan Mei hingga
Oktober 2014 dan pengambilan data sekunder dilaksanakan pada bulan Maret 2015.
Lokasi peneilitian adalah Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan, Kabupaten
Pandeglang, Provinsi Banten (Gambar 2). Data ikan yang diambil berasal dari
pendaratan ikan di PPP Labuan . Berdasarkan wawancara dengan nelayan ikan-ikan
5
tersebut tertangkap dari fishing ground di wilayah Selat Sunda yang ditunjukkan
oleh titik-titik penangkapan pada Gambar 2. Wawancara dilaksanakan di TPI I yang
berada di muara Cipunteun sebagai tempat pendaratan ikan-ikan demersal. Analisis
contoh dilakukan di Laboratorium Biologi Perikanan untuk identifikasi biologi
perikanannnya. Laboratorium tersebut merupakan bagian dari Departemen
Manajemen Sumber Daya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis data yaitu data
primer dan data sekunder. Data merupakan data yang diperoleh langsung di
lapangan yang meliputi data biologi dan hasil wawancara dengan pihak-pihak
terkait. Pengumpulan data biologi dilakukan melalui pengukuran panjang total,
bobot basah, jenis kelamin, dan TKG ikan demersal di PPP Labuan Banten.
Pengumpulan data primer lainnya seperti informasi mengenai alat tangkap, ukuran
mata jaring, ukuran kapal, hasil tangkapan, biaya operasi, pendapatan, dan musim
penangkapan didapatkan melalui responden yang dipilih dengan metode purposive
sampling. Pemilihan responden melalui purposive sampling yaitu penetapan
responden secara sengaja oleh peneliti dengan kriteria atau pertimbangan (Faisal 2010).
Responden yang dipilih sebanyak 17 nelayan yang menangkap ikan demersal dengan
menggunakan jaring arad.
Ikan yang digunakan dalam penelitian adalah ikan-ikan yang dominan
ditangkap oleh jaring arad (small bottom trawl). Spesies ikan ini dikelompokkan
6
berdasarkan bentuk, warna, ukuran, dan perkembangan isi gonad. Penentuan TKG
ikan tembang mengacu pada penentuan TKG ikan Effendie (2002) pada Tabel 2.
Tabel 2 Penentuan Tingkat Kematangan Gonad secara morfologi
qij adalah fungsi kepekatan sebaran normal dengan nilai tengah j dan simpangan
baku j, dan xi adalah titik tengah kelas panjang ke-i. Fungsi objektif L ditentukan
dengan cara mencari turunan pertama L masing-masing terhadap j, j, pj sehingga
diperoleh dugaan j , j , dan p j yang akan digunakan untuk menduga parameter
pertumbuhan.
8
= [1 ((0)) ] (3)
Lt adalah ukuran ikan pada umur t (cm), L adalah panjang asimptotik (cm), K
adalah koefisien pertumbuhan (tahun-1), dan t0 adalah umur hipotesis ikan pada
panjang nol (tahun).
Koefisien pertumbuhan K dan L pada (2) diduga dengan menggunakan
metode Ford Walford yang diturunkan berdasarkan pertumbuhan von Bertalanffy
untu Lt pada saat t + t dan t sedemikian sehingga:
+ = (1 () + ) (4)
Persamaan diatas diduga melalui persamaan regresi linear y=b0 +b1 x, dengan Lt
sebagai absis (x), Lt+t sebagai ordinat (y), b0= L (1-b), dan b1= exp (-Kt). Nilai
K dan L diduga dengan rumus:
1
= () (5)
dan
L = 10 (6)
1
Pendugaan umur teoritis dihitung melalui persamaan empiris Pauly (1984), yaitu:
Sl adalah jumlah esstimasi, L adalah interval titik tengah panjang kel, S1 dan S2
adalah konstanta.
M = antilog m (10)
dan selang kepercayaan 95% bagi log m dibatasi sebagai:
( 1.96 2 1) (11)
m adalah log panjang ikan pada kematangan gonad pertama, xk adalah log nilai
tengah kelas panjang yang terakhir ikan telah matang gonad, x adalah log
pertambahan panjang pada nilai tengah, pi adalah proporsi ikan matang gonad pada
kelas panjang ke-i dengan jumlah ikan pada selang panjang ke-i, ni adalah jumlah
ikan pada kelas panjang ke-i, qi adalah 1 pi, dan M adalah panjang ikan pertama
kali matang gonad.
(+2) 1+2)
ln (1,2) = h Z t( ) (11)
2
Persamaan (11) diduga melalui persamaan regresi linear sederhana y=b0 +b1 x ,
C (LI+L2) L1+L2)
dengan y= ln t (L1,L2) sebagai ordinat, x = ( 2 ) sebagai absis, dan Z =-b1
(Lampiran 1).
Laju mortalitas alami (M) diduga dengan menggunakan rumus empiris Pauly
(1980) in Sparre dan Venema (1999) sebagai berikut:
M adalah mortalitas alami (per tahun), dan T adalah suhu rata-rata perairan (0C).
Setelah laju mortalitas total (Z) dan laju mortalitas alami (M) diketahui
maka laju mortalitas penangkapan dapat ditentukan melalui hubungan:
F=ZM (13)
F adalah laju mortalitas penangkapan (per tahun), Z adalah laju mortalitas total
(per tahun), dan E adalah tingkat eksploitasi.
Ent adalah proporsi effort atau upaya tangkap (trip) spesies ke-n tahun t, hnt adalah
hasil tangkapan spesies ke-n tahun t, n adalah spesies 1, 2,n dan E adalah total
upaya dengan alat tangkap contohnya jaring arad.
Produksi penangkapan ikan bisa diasumsikan sebagai fungsi dari usaha perikanan
dan stok ikan. Secara matematis ditulis:
= ( , ) (18)
= (19)
Jika proses produksi dinamis dimasukkan dalam model stok dinamis, dapat
dinyatakan secara matematis pada persamaan berikut:
= (1 ) (20)
= = (1 ) (21)
= (27)
2
= (28)
1 1 1
= [|( 1 + ) / ( +1 + )|] /( ) (29)
dimana
= = (30)
= ()/ (31)
++1
= ( ) (32)
2
12
adalah rata-rata geometric dari nilai q. Nilai dan adalah koefisien regresi
CPUE dengan effort (E) dan nilai = 2 untuk fungsi logistik. Setelah nilai q diduga
maka nilai K dan r dapat diduga dengan rumus:
= (33)
2
= (34)
di mana :
= (36)
cn adalah proporsi biaya penangkapan spesies ke-n, dan c adalah total biaya
penangkapan.
Biaya penangkapan yang diperoleh dari data primer dibuatkan data series biaya
penangkapan riil tahunnya dengan cara:
= [ ] (37)
Cnt adalah biaya rill pada tahun ke-t, Cstd adalah biaya nominal pada tahun standar
(tahun 2013), IHKt adalah Indeks Harga Konsumen komoditas ikan pada tahun t,
dan IHKstd adalah Indek Harga Konsumen komoditas ikan pada tahun standar
(tahun 2013)
Pnt adalah biaya rill pada tahun ke-t, Pstd adalah biaya nominal pada tahun standar
(tahun 2015), IHKt adalah Indeks Harga Konsumen komoditas ikan pada tahun t,
IHKstd adalah Indek Harga Konsumen komoditas ikan pada tahun standar (tahun
2015)
= (40)
4
( )
4
= = = (41)
( ) 2
2
= (1 + ) (44)
2
= (45)
14
( )[ (12 / )]
= (49)
= (50)
Dengan demikian rente ekonomi sumber daya perikanan dapat diperoleh dengan
persamaan:
= ( ) (51)
= (1 , 2 , 3 4 , 5 ) = (1 ) + 5=1 (52)
2 2 2. 21 1
= 2 2 ( ) (54)
2
2 1 2 2 2 2 1 1 21 1 2 +1 1 21 1 2
2 = 1 2 12 21 1 2
(56)
12 21 c2 r1 r2 -c1 r1 r2 +K 2 p2 q 2 r1 r2 -K 1 21 p2 q 2 r1 r2 +E1 K 2 12 p1 q 1 q 2 r1
+ 1 1 21 2 1 2 2
E2MEY = (58)
22 2 22 1
adalah laju depresiasi, adalah rente lestari pada periode t, dan 0 adalah
rente aktual pada periode t.
Hasil
Jasa Karyawan/
Pemulung 1% ABRI/ PNS
1% 6%
Wiraswasta/
Pedagang
17%
Tani
2%
Pertukangan
2%
Nelayan
70% Buruh Tani
1%
Pukat cincin
Bagan perahu/rakit 3%
16% Jaring insang
Jaring insang tetap hanyut
Jaring klitik
14% 10%
1%
Gambar 5 Komposisi alat tangkap di Selat Sunda tahun 2013
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pandeglang (2014)
jaring arad di Desa Teluk Labuan dikenal dengan sebutan jaring apolo. Jaring arad
merupakan jaring modifikasi dari alat tangkap trawl.
Jaring arad adalah alat tangkap yang dioperasikan secara aktif dengan cara
ditarik oleh perahu. Mengacu pada Tatalaksana Perikanan yang Bertanggung Jawab
(Code of Conduct for Responsible Fisheries) (FAO 1995), permasalahan utama
pada perikanan jaring arad adalah ketidakselektifan alat tangkap ini terhadap hasil
tangkapan sehingga hasil tangkap sampingan (HTS) yang tertangkap jumlahnya
jauh lebih besar dibandingkan dengan udang sebagai target spesies. Manadiyanto
et al. (2000) menjelaskan hasil tangkapan utama jaring arad adalah udang dan ikan
demersal. Target penangkapan utama jaring arad di Kabupaten Pandeglang adalah
ikan demersal, hal ini dikarenakan udang tidak banyak tersedia di wilayah perairan
sekitar PPP Labuan. Jaring arad memiliki daerah penangkapan yang cukup dekat
dari pantai, yaitu di Pulau Papole, Panimbang, dan Perairan Carita dengan jarak
tempuh dari pelabuhan sekitar 0.5-2 jam.
120
100
80
60
40
20
0
2008 2009 2010 2011 2012 2013
Tahun
20000
15000
10000
5000
0
2008 2009 2010 2011 2012 2013
Tahun
Biji Nangka
18%
Ikan lainnya
47%
Kurisi
13%
Hasil tangkapan jaring arad diwakili oleh lima spesies dominannya yaitu ikan
biji nangka, peperek, kurisi, tiga waja, dan layur. Ke 5 spesies ikan ini memiliki
presentase 53% dari hasil tangkapan totalnya dan 47% termasuk ikan lainnya yang
terdiri dari 15 spesies. Perbandingan hasil tangkapan dominan 5 spesies ikan
dengan hasil tangkapan total jaring arad disajikan pada Gambar 9.
4000
3500
Hasil tangkapan (ton)
3000
2500
2000
1500
1000
500
0
2008 2009 2010 2011 2012 2013
Tahun
Total tangkapan arad 5 spesies
Poly. (Total tangkapan arad) Poly. (5 spesies)
3000
2500
2000
1500
1000
500
0
2008 2009 2010 2011 2012 2013
ikan lainnya layur Tahun tiga waja
kurisi biji nangka peperek
Parameter pertumbuhan
Jenis ikan Jenis kelamin
k (bulan-1) L (mm) t0 (bulan)
Biji nangka Betina 0.34 175.06 -0.53
Jantan 0.11 197.32 -4.55
Peperek Betina 0.65 183.23 -0.15
Jantan 1.40 162.23 -0.07
Kurisi Betina 0.17 271.63 -0.54
Jantan 0.34 262.50 -0.27
Tiga waja Betina - - -
Jantan - - -
Layur Betina 0.30 710.41 -0.23
Jantan 0.23 869.52 -0.29
Panjang rata-rata pertama kali matang gonad (Lm) ikan dominan tertangkap
jaring arad di Perairan Selat Sunda
Panjang ikan pertama kali matang gonad (Lm) dianalisis berdasarkan data
tingkat kematangan gonad ikan (TKG) yang mengacu pada klasifikasi Cassie
(1956) in Effendie (2002). TKG adalah tahap tertentu perkembangan gonad
sebelum dan sesudah ikan memijah. Grafik TKG dan analisis Lm untuk ikan
demersal disajikan pada Lampiran 6. Nilai Lm menunjukkan ikan-ikan tersebut
rata-rata 50% telah mengalami matang gonad pada sebaran ukuran nilai Lm
masing-masing jenisnya. Berdasarkan data TKG maka dapat dilakukan analisis
untuk menghitung panjang ikan pertama kali matang gonad (Lm) yang disajikan
25
pada Tabel 7. Setiap jenis ikan memiliki nilai Lm yang berbeda, salah satunya
dikarenakan ukuran ikan setiap jenisnya berbeda. Selain itu, faktor lingkungan juga
sangat mempengaruhi perbedaan nilai Lm untuk setiap jenis ikan.
Tabel 7 Panjang ikan pertama kali matang gonad (Lm) ikan dominan tertangkap
jaring arad di Perairan Selat Sunda
Jenis ikan Jenis kelamin Lm (mm) estimasi recruitmen overfishing (%)
Biji nangka Betina 117.95 40
Jantan 107.91 28
Peperek Betina 93.11 83
Jantan 111.94 33
Kurisi Betina 165.94 44
Jantan 176.33 28
Tiga waja Betina - -
Jantan - -
Layur Betina 567.24 12
Jantan 599.73 2
Mortalitas
Jenis ikan Jenis kelamin
Z (/tahun) M (/tahun) F (/tahun) E (%)
Biji nangka Betina 1.20 0.45 0.75 63
Jantan 1.19 0.21 0.98 82
Peperek Betina 0.60 0.32 0.28 47
Jantan 1.13 0.50 0.64 56
Kurisi Betina 2.50 0.84 1.66 66
Jantan 5.39 1.43 3.95 73
Tiga waja Betina - - - -
Jantan - - - -
Layur Betina 1.25 0.27 0.97 72
Jantan 1.60 0.22 1.38 83
(eksploitasi). Laju eksploitasi yang melebihi nilai optimum 0.5 menurut Gulland
(1971) in Pauly (1984) mengindikasikan suatu sumber daya mengalami
overeksploitasi.
Berdasarkan Tabel 11, dapat dilihat bahwa biaya penangkapan riil nelayan di
PPP Labuan mengalami kenaikan setiap tahunnya. Biaya penangkapan riil tertinggi
adalah untuk menangkap ikan biji nangka sebesar Rp 0.11 juta ton atau Rp 110 000.
Biaya penangkapan untuk ikan lainnya merupakan dari gabungan ikan-ikan hasil
tangkapan ikan jaring arad kecuali 5 kelompok jenis ikan yang dominan.
Analisis harga ikan hasil tangkapan ikan dominan tertangkap jaring arad
Aspek ekonomi yang diperlukan selanjutnya adalah faktor harga. Harga
berpengaruh terhadap penerimaan atau keuntungan yang diperoleh dari kegiatan
penangkapan. Sama halnya dengan biaya penangkapan, data harga juga dikonversi
ke pengukuran riil dengan cara menyesuaikan dengan Indeks Harga Konsumen
(IHK) jenis makanan (food) untuk wilayah Provinsi Banten untuk mengeliminir
pengaruh dari inflasi. Harga riil multispesies sumber daya ikan demersal disajikan
pada Tabel 12. Pendugaan harga riil pada kelima jenis ikan disajikan pada Lampiran
10.
28
Berdasarkan Tabel 13 terlihat bahwa upaya optimum kondisi MSY untuk alat
tangkap jaring arad adalah 11 111 trip yang menghasilkan 1 812 ton yang terdiri
dari 507 ton ikan biji nangka, 444 ton ikan peperek, 354 ton ikan kurisi, 393 ton
ikan tiga waja, dan 114 ikan layur. Upaya optimum kondisi MEY untuk alat tangkap
jaring arad adalah 10 811 trip dengan hasil tangkapan 1 811 ton. Keuntungan ()
ekonomi tertinggi terdapat pada kondisi pengelolaan MEY. Keuntungan aktual
(2013) ekonomi perikanan untuk lima jenis ikan lebih kecil dibandingkan dengan
keuntungan saat kondisi MSY dan MEY. Kondisi hasil tangkapan (h) aktual untuk
ikan biji nangka, peperek, kurisi, tiga waja, dan layur lebih kecil dibandingkan nilai
MSY ataupun MEY masing-masing jenis. Upaya (E) aktual penangkapan jaring
arad sebesar 8950 trip lebih kecil dibandingkan pada kondisi MSY sebesar 11111
trip dan kondisi MEY sebesar 10811 trip. Pada spesies biji nangka dan kurisi upaya
(E) aktual lebih tinggi dibandingkan pada kondisi MSY dan MEYnya.
Sementara itu, kodisi pengelolaan multispesies sumber daya ikan demersal
secara optimal (OPT) pada tingkat social discount rate () sebesar 7.5% dan 11.5%.
Tingkat discount rate yang digunakan mengikuti suku bunga acuan Bank Indonesia
dan suku bunga beberapa bank di Indonesia. Analisis pada kondisi pengelolaan
optimal disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14 Nilai EOPT, hOPT,OPT multispesies sumber daya ikan dominan tertangkap
jaring arad di Perairan Selat Sunda
= 7.5% = 11.5%
Selisih keuntungan (Rp
No Spesies h E (Rp h E (Rp Juta)
(ton) (trip) Juta) (ton) (trip) Juta)
1 Biji 466 3695 3683 154 8337 440 3243
nangka
2 Peperek 127 4887 387 92 4652 191 196
3 Kurisi 49 3697 335 35 3674 160 175
4 Tiga 81 5913 251 57 5755 120 132
waja
5 Layur 3 1394 21 3 1780 12 9
Total 726 19586 4677 341 24198 923 3755
Sumber: DKP Kabupaten Pandeglang tahun 2008-2013 (diolah)
1800
1600
1400
1200
Hasil tangkapan (ton)
1000
800
600
400
200
0
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 10000 11000 12000 13000 14000 15000
Upaya penangkapan (trip)
Total jaring arad MSY total Biji nangka Peperek
Kurisi Tiga waja Layur
Gambar 11 Grafik hubungan antara upaya tangkapan dan hasil tangkapan pada
kondisi MSY
Analisis pendekatan model bioekonomi kompetisi ikan dominan tertangkap
jaring arad di Perairan Selat Sunda
Berdasarkan analisis ketergantungan antarspesies pada Tabel 10 dibuktikan
bahwa hubungan atau ketergantungan antarspesies biji nangka, peperek, kurisi, tiga
waja, layur, dan ikan lainnya adalah saling berkompetisi. Model bioekonomi
kompetisi dihitung dengan melihat empat kondisi kompetisi yaitu kompetisi antara
ikan biji nangka dengan peperek, ikan biji nangka dengan kurisi, ikan biji nangka
dengan tiga waja, dan ikan biji nangka dengan layur. Kompetisi ini didasarkan pada
jenis makanan yang sama pada Lampiran 9 dengan biji nangka sebagai spesies
utamanya, karena merupakan hasil tangkapan dominan jaring arad. Hubungan
kompetisi antar spesies ikan biji nangka dengan peperek, ikan biji nangka dengan
kurisi, ikan biji nangka dengan tiga waja, dan ikan biji nangka dengan layur
bertutut-turut disajikan pada Tabel 15, Tabel 16, Tabel 17, dan Tabel 18.
Tabel 15 Hubungan kompetisi ikan biji nangka dengan ikan peperek
Parameter Simbol Nilai Satuan
Carrying Capacity - Spesies 1 (Biji nangka) K1 48840.8401 Ton
Carrying Capacity - Spesies 2 (Peperek) K2 43560.5600 Ton
Intrinsic Growth Rate- Spesies 1 r1 0.0415 1/tahun
Intrinsic Growth Rate- Spesies 2 r2 0.0408 1/tahun
Parameter kompetisi ketergantungan - Spesies 1 12 1.1212 1/ton
Parameter kompetisi ketergantungan - Spesies 2 21 0.8919 1/ton
terhadap spesies 2 (peperek) lebih besar dibandingan efek kompetisi biji nangka
dengan anggotanya. Sedangkan koefisien ketergantungan ikan peperek (21)
sebesar 0.8919 (bernilai <1), yang artinya efek kompetisi spesies 2 (peperek)
terhadap spesies 1 (biji nangka) lebih kecil dibandingkan efek kompetisi peperek
dengan anggotanya sendiri.
Berdasarkan Tabel 16 koefisien ketergantungan ikan biji nangka (12) sebesar
1.4659 (bernilai >1). Hal ini berarti efek kompetisi dari spesies 1 (biji nangka)
terhadap spesies 2 (kurisi) lebih besar dibandingan efek kompetisi biji nangka
dengan anggotanya. Sedangkan koefisien ketergantungan ikan kurisi (21) sebesar
0.6822 (bernilai <1), yang artinya efek kompetisi spesies 2 (kurisi) terhadap spesies
1 (biji nangka) lebih kecil dibandingkan efek kompetisi kurisi dengan anggotanya
sendiri.
Tabel 17 Hubungan kompetisi ikan biji nangka dengan ikan tiga waja
Parameter Simbol Nilai Satuan
Carrying Capacity - Spesies 1 (Biji nangka) K1 48840.8401 Ton
Carrying Capacity - Spesies 4 (Tiga waja) K4 36150.5310 Ton
Intrinsic Growth Rate- Spesies 1 r1 0.0415 1/tahun
Intrinsic Growth Rate- Spesies 4 r4 0.0435 1/tahun
Parameter kompetisi ketergantungan - Spesies 1 14 1.3510 1/ton
Parameter kompetisi ketergantungan - Spesies 4 41 0.7402 1/ton
Tabel 20 Implementasi model bioekonomi ikan biji nangka dengan ikan kurisi
Parameter Simbol Nilai Satuan
Carrying Capacity - Spesies 1 (Biji nangka) K1 48840.8401 Ton
Carrying Capacity - Spesies 3 (Kurisi) K3 33319.0670 Ton
Intrinsic Growth Rate- Spesies 1 r1 0.0415 1/tahun
Intrinsic Growth Rate- Spesies 3 r3 0.0425 1/tahun
Parameter kompetisi ketergantungan - Spesies 1 13 1.4659 1/ton
Parameter kompetisi ketergantungan - Spesies 3 31 0.6822 1/ton
Upaya penangkapan aktual - Spesies 1 E1 3035.8271 Trip
Upaya penangkapan aktual - Spesies 3 E3 2198.5711 Trip
Catchability coefficient - Spesies 1 q1 7.2142E-06 1/trip/tahun
Catchability coefficient - Spesies 3 q3 1.1274E-05 1/trip/tahun
Biaya penangkapan rill (2013) - Spesies 1 c1 0.1082 juta Rp
Biaya penangkapan rill (2013) - Spesies 3 c3 0.0784 juta Rp/trip
Harga rill (2013) - Spesies 1 p1 8.7592 Juta Rp/ton
Harga rill (2013) - Spesies 3 p3 12.7715 Juta Rp/ton
Initial Biomass - Spesies 1 x1 24420.4201 Ton
Initial Biomass- Spesies 3 x3 16659.5335 Ton
Biomassa - Spesies 1 x1 28438.9506 Ton
Biomassa - Spesies 3 x3 17539.3497 Ton
Upaya penangkapan MEY - Spesies 1 E1MEY 1708.6996 Trip
Upaya penangkapan MEY - Spesies 3 E3MEY 994.2078 Trip
Sumber: DKP Kabupaten Pandeglang tahun 2008-2013 (diolah)
33
Tabel 22 Implementasi model bioekonomi ikan biji nangka dengan ikan layur
Parameter Simbol Nilai Satuan
Carrying Capacity - Spesies 1 (Biji nangka) K1 48840.8401 Ton
Carrying Capacity - Spesies 5 (Layur) K5 10638.2038 Ton
Intrinsic Growth Rate- Spesies 1 r1 0.0415 1/tahun
Intrinsic Growth Rate- Spesies 5 r5 0.0428 1/tahun
Parameter kompetisi ketergantungan - Spesies 1 15 4.5911 1/ton
Parameter kompetisi ketergantungan - Spesies 5 51 0.2178 1/ton
Upaya penangkapan aktual - Spesies 1 E1 3035.8271 Trip
Upaya penangkapan aktual - Spesies 5 E5 324.0823 Trip
Catchability coefficient - Spesies 1 q1 7.2142E-06 1/trip/tahun
Catchability coefficient - Spesies 5 q5 2.3911E-05 1/trip/tahun
Biaya penangkapan rill (2013) - Spesies 1 c1 0.1082 juta Rp
Biaya penangkapan rill (2013) - Spesies 5 c5 0.0116 juta Rp/trip
Harga rill (2013) - Spesies 1 p1 8.7592 Juta Rp/ton
Harga rill (2013) - Spesies 5 p5 10.6139 Juta Rp/ton
Initial Biomass - Spesies 1 x1 24420.42005 Ton
Initial Biomass- Spesies 5 x5 5319.10188 Ton
Biomassa - Spesies 1 x1 8787.6677 Ton
Biomassa - Spesies 5 x5 5607.6846 Ton
Upaya penangkapan MEY - Spesies 1 E1MEY 283.5052 Trip
Upaya penangkapan MEY - Spesies 5 E5MEY 472.5775 Trip
Sumber: DKP Kabupaten Pandeglang tahun 2008-2013 (diolah)
Laju degradasi sumber daya ikan dominan tertangkap jaring arad di Perairan
Selat Sunda
Nilai-nilai parameter biologi dapat digunakan untuk memperoleh produksi
(hasil tangkapan) lestari setiap spesies dapat dilihat pada Lampiran 13. Berdasarkan
data produksi lestari dan produksi aktual dapat diperoleh laju degradasi dan laju
depresiasi. Laju degradasi merupakan laju penurunan kualitas suatu sumber daya
perikanan. Laju degradasi bernilai dari nol dan kurang dari satu. Gambar 12
menunjukkan laju degradasi sumber daya ikan demersal di Selat Sunda.
Berdasarkan Gambar 12 koefisien degradasi 5 spesies ikan berkisar antar 0.1-
0.32 dengan nilai koefisien degradasi tertinggi adalah ikan tiga waja. Suatu sumber
daya dikatakan sudah terdegradasi kualitasnya apabila koefisien degradasi lebih
dari 0.5. Sehingga sumber daya ikan demersal yang ditangkap dengan jaring arad
belum mengalami degradasi atau penurunan kualitas. Laju degradasi cenderung
mengalami penurunan untuk kelima jenis ikan. Hal ini terjadi dikarenakan hasil
tangkapan jaring arad yang juga mengalami penurunan, sehingga produksi
lestarinya mengalami peningkatan.
35
0.5000
Koefisien degradasi
0.4000
0.3000
0.2000
0.1000
0.0000
2008 2009 2010 2011 2012 2013
Tahun
Biji nangka Peperek Kurisi
Tiga waja Layur Batas
Gambar12 Koefisien degradasi ikan demersal di Selat Sunda
0.4
0.3
0.2
0.1
0
2008 2009 2010 2011 2012 2013
Tahun
Biji nangka Peperek Kurisi
Tiga waja Layur Batas
Gambar13 Koefisien depresiasi ikan demersal di Selat Sunda
Berdasarkan Gambar 8 koefisien depresiasi 5 spesies ikan berkisar antar 0.05-
0.30 dengan nilai koefisien degradasi tertinggi adalah ikan tiga waja. Suatu sumber
daya ikan dikatakan telah mengalami penurunan keuntungan yang signifikan atau
mengarah pada kerugian apabila laju depresiasinya > 0.5. Sehingga untuk ke-5
spesies ikan demersal yang tertangkap oleh jaring arad belum terdepresiasi.
36
5
4.5
4
3.5 I II
Kepentingan
3
2.5
2
1.5 III IV
1
0.5
0
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5
ABK Juragan
Pengepul Pengaruh Bakul
Agen Pengusaha perikanan
Pedagang ikan Pedagang non ikan
Konsumen Masyarakat
Manajer TPI Perangkat Desa
DKP Kab Pandeglang Dinas BPPT Prov. Banten
Dinas Perhubungan (syahbandar) Batas
Pembahasan
menangkap ikan demersal di daerah Labuan, Banten terdiri dari dogol, cantrang,
lampara dasar, jaring arad, payang, dan jaring insang. Hal ini mengindikasikan ikan
demersal bersifat multigear dan multispesies. Ikan demersal bersifat multispesies
akan tetapi jumlah individu dari masing-masing jenis tersebut relatif rendah. Jaring
arad adalah salah satu alat tangkap ikan demersal yang dominan dan masih
dioperasikan di wilayah Labuan, Banten. Berdasarkan data DKP Kabupaten
Pandeglang (2013) jumlah jaring arad yang beoperasi di wilayah Labuan, Banten
sebesar 7% dari keseluruhan alat tangkap (Gambar 5). Jaring arad di perairan Selat
Sunda di operasikan menggunakan tenaga kerja dengan posisi sebagai nakhoda,
juru mudi, dan anak buah kapal. Jumlah tenaga kerja tiap kapal terdiri dari 3-5 orang
dengan kegiatan penangkapan dalam sehari (one day trip).
Hasil tangkapan ikan demersal dominan oleh jaring arad dikelompokkan
kedalam 5 kelompok, yaitu spesies biji nangka, peperek, kurisi, tiga waja, dan ikan
layur. Spesies ikan yang terdiri dari 5 kelompok, 4 diantaranya dilakukan analisis
sebaran frekuensi panjang untuk mengetahui aspek pertumbuhan dan
pemanfaatannya. Empat kelompok ikan tersebut adalah ikan biji nangka, peperek,
kurisi, dan layur. Aspek pertumbuhan yang dianalisis meliputi nilai koefisien
pertumbuhan (k), panjang asimptotik tubuh ikan (L), dan umur teoritik ikan pada
saat panjang ikan nol (t0). Ketiga aspek pertumbuhan tersebut dianalisis
menggunakan metode von Bertalanffy dengan terlebih dahulu dilakukan pemisahan
kelompok ukuran. Pemisahan kelompok ukuran ikan didasarkan pada sebaran kelas
frekuensi panjang (Lampiran 2). Pertumbuhan yang terjadi pada ikan digambarkan
dengan adanya pergeseran modus ukuran panjang ikan ke arah kanan (Lampiran 2).
Menurut Sparre dan Venema (1999) kajian pertumbuhan merupakan ukuran tubuh
sebagai fungsi dari umur.
Berdasarkan Tabel 5 ikan demersal yang memiliki pertumbuhan paling tinggi
adalah ikan peperek dengan nilai k sebesar 0.65 untuk betina dan 1.40 untuk jantan.
Hal ini menunjukkan ikan peperek dapat tumbuh lebih cepat untuk mencapai L
dibandingkan ikan biji nangka, kurisi, dan layur, sehingga ikan ini cenderung
berukuran lebih kecil dibandingkan ikan lainnya. Ikan-ikan berukuran lebih kecil
cenderung memiliki umur yang pendek. Secara umum untuk ketiga jenis ikan,
spesies betina memiliki nilai k yang lebih kecil dibandingkan jantannya, sehingga
lebih lama dalam mencapai L. Hal ini sesuai dengan pernyataan dalam Sparre dan
Venema (1999) bahwa semakin rendah koefisien pertumbuhan (k) maka semakin
lama waktu yang dibutuhkan ikan untuk mencapai panjang asimptotiknya (L)
begitupun sebaliknya. Perbedaan parameter pertumbuhan ikan untuk setiap jenis
dipengaruhi oleh struktur panjang ikan yang sering tertangkap. Menurut Aziz et al.
(1992) in Prihatiningsih et al. (2013) disebabkan perbedaan ukuran ikan, lama
waktu, alat tangkap yang digunakan, musim penangkapan dan daerah penangkapan
pada saat sampling. Sehingga untuk spesies yang sama parameter pertumbuhan ikan
jantan dan betina akan berbeda, begitupun juga spesies yang sama pada kolom
perairan yang berbeda.
Panjang pertama kali tertangkap (Lc) dan pertama kali matang gonad (Lm)
sumber daya ikan dominan tertangkap jaring arad di Perairan Selat Sunda
Berdasarkan data sebaran kelas frekuensi panjang ikan pada Lampiran 2 dapat
diketahui juga panjang ikan pertama kali tertangkap (length capture; Lc) dengan
menggunakan metode covered conden method. Tabel 6 menunjukkan nilai Lc untuk
38
ikan betina dan jantan pada masing-masing spesies ikan yaitu berturut-turut untuk
jantan dan betina ikan biji nangka 113.39 mm dan 106.16 mm, ikan peperek 106.44
mm dan 107.98 mm, ikan kurisi 160.78 mm dan 159.59 mm, dan ikan layur 460.46
mm dan 454.66 mm. Hal ini menunjukkan bahwa 50% ikan tertangkap pada kisaran
ukuran Lc masing-masing spesies. Ukuran rata-rata pertama kali ikan tertangkap
untuk ikan biji nangka, kurisi, dan layur jenis kelamin betina lebih besar
dibandingkan ikan jantannya. Sedangkan ukuran pertama kali tertangkap ikan
peperek jenis kelamin betina lebih kecil dibandingkan ikan jantannya.
Tabel 7 menunjukkan ukuran ikan pertama kali matang gonad (Lm) yang
dianalisa berdasarkan data tingkat kematangan gonad (TKG). Hasil perhitungan
nilai Lm pada masing-masing spesies ikan untuk betina dan jantan berturut-turut
untuk ikan biji nangka 117.95 mm dan 107. 91 mm, ikan peperek 93.11 mm dan
111.94 mm, ikan kurisi 165.94 mm dan 176.33 mm, dan ikan layur 567.24 mm dan
599.73 mm. Berdasarkan nilai Lm, maka dapat diasumsikan sebanyak 50% ikan
telah mencapai matang gonad pada kisaran panjang Lm masing-masing spesies
(Krissunari dan Hariati 1994). Ukuran dan usia pertama kali matang gonad untuk
setiap spesies ikan dapat berbeda-beda, hal ini dikarenakan adanya perbedaan
seperti suhu, makanan, hormon, sex, dan kondisi perairan. Selain itu peningkatan
populasi akan mengakibatkan penurunan ketersediaan makanan per-individu dan
dapat memberikan pengaruh terhadap penurunan ukuran matang gonad (Karna dan
Panda 2011). Menurut Affandi dan Tang (2002) tiap-tiap spesies ikan memiliki
waktu dan ukuran pertama kali matang gonad yang berbeda meskipun spesiesnya
sama.
Nilai Lc untuk ikan biji nangka, kurisi dan layur lebih kecil dibandingkan nilai
Lm (Lc<Lm) yang menunjukkan sebagian besar ikan yang ditangkap belum
mengalami matang gonad atau memijah. Menurut Wudji et al. 2013, apabila nilai
Lc<Lm maka penangkapan ikan didominasi ikan muda dan immature. Menurut
Najamuddin et al. (2004), secara biologis kalau hal tersebut dibiarkan terus menerus
akan berdampak buruk pada berkelanjutan populasi ikan layur. Penangkapan ikan
yang didominasi oleh ikan-ikan kecil, maka akan terjadi overfishing. Menurut
Mosse dan Hutubessy (1996) untuk menjaga kelestarian sumber daya perikanan,
maka ikan yang ditangkap sebaiknya ikan-ikan yang lebih besar dari ukuran Lm
(Lc> Lm). Hal ini bertujuan agar ikan yang tertangkap sedikitnya telah mengalami
satu kali pemijahan. Kondisi hasil tangkapan pada ukuran kecil pada penelitian ini
mengindikasikan bahwa penggunaan alat tangkap jaring arad pada saat bersifat
tidak ramah lingkungan dan berpeluang menimbulkan terjadinya biology
overfishing di perairan tersebut. Menurut Pauly (1994) biology overfishing terdiri
dari growth overfishing dan recruitment overfishing.
Growth overfishing terjadi apabila hasil tangkapan didominasi oleh ikan-ikan
kecil atau ikan muda pada ukuran pertumbuhan dan pemanenan tersebut tidak
bersifat efisien (Diekert 2010; Saputra et al. 2009; Widodo dan Suadi 2006).
Sehingga dapat diasumsikan bahwa ikan-ikan yang mengalami growth overfishing
adalah ikan-ikan yang ukurannya lebih kecil dari ukuran pertama kali tertangkap.
Pendugaan terjadinya growth overfishing untuk ikan betina dan jantan pada ikan
biji nangka berturut-turut sebesar 51% dan 38%, ikan peperek sebesar 59 % dan
58%, ikan kurisi sebesar 45% dan 49%, dan ikan layur sebesar 52% dan 69%.
Recruitment overfishing terjadi apabila kegiatan eksploitasi lebih banyak
menangkap ikan yang siap memijah (spawning stok) atau ikan dewasa matang
39
gonad (Saputra et al. 2009; Widodo dan Suadi 2006). Menurut Allen et al. (2012)
recruitment overfishing adalah bentuk penangkapan ikan yang lebih buruk dan
terjadi ketika proses pemijahan berlangsung dan biasanya lebih menggangu
keberadaan stok ikan dibandingkan growth overfishing. Ikan-ikan yang mengalami
recruitment overfishing diperkirakan adalah ikan-ikan yang tertangkap sebelum
ukuran pertama kali matang gonad. Pendugaan terjadinya recruitment overfishing
untuk ikan betina dan jantan pada ikan biji nangka berturut-turut sebesar 40% dan
28%, ikan peperek sebesar 83 % dan 33%, ikan kurisi sebesar 44% dan 28%, dan
ikan layur sebesar 12% dan 2%.
Alat tangkap jaring arad yang beroperasi saat ini bersifat tidak ramah
lingkungan, karena banyak menangkap ikan pada ukuran kecil dan belum matang
gonad. Hal ini dikaerenakan nelayan jaring arad di Kabupaten Pandeglang sebagian
besar menggunakan mata jaring yang kecil yakni 0.5-1 inchi. Hal ini dapat dapat
diatasi dengan memodifikasi alat tangkap dengan mata jaring yang lebih selektif.
Ukuran mata jaring yang digunakan harus lebih besar dibandingkan tinggi ikan
pertama kali matang gonad. Berdasarkan analisis data tinggi ikan, ukuran mata
jaring yang disarankan adalah 50-55 mm, atau 1.96-2.16 inci. Nilai tersebut
didapatkan dari nilai tinggi ikan kurisi pada panjang pertama kali matang gonadnya.
Ikan kurisi dijadikan spesies acuan dikarenakan memiliki tinggi ikan yang relatif
lebih tinggi dibandingkan spesies yang diteliti lainnya.
Laju mortalitas dan laju eksploitasi sumber daya ikan dominan tertangkap
jaring arad di Perairan Selat Sunda
Penurunan hasil tangkapan ikan demersal yang ditunjukkan oleh Gambar 10
menunjukkan terjadinya penurunan hasil tangkapan jaring arad di perairan Selat
Sunda. Hal ini juga dapat dilihat dari tingginya tingkat mortalitas atau tingkat
kematian ikan baik secara alami ataupun akibat kegiatan eksploitasi. Nilai
mortalitas penangkapan (F) untuk ikan peperek, kurisi, dan layur (Tabel 8) lebih
tinggi dibandingkan mortalitas alaminya (M), artinya ikan tersebut lebih banyak
mati akibat aktivitas penangkapan dibandingkan mati secara alami. Mortalitas
alami adalah parameter dinamis yang akan berubah akbiat predators (pemangsaan)
yang secara tidak langsung akan merubah size cohort (kelompok ukuran) dan usia
ikan (Powers 2014). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kematian
diantaranya fase telur dan larva, faktor lingkungan misalnya suhu dan salinitas,
predasi, kelaparan, dan penyakit (Houde 2002 in Houde 2008), perubahan fisiologi
(Geffen et al. 2007), serta kepadatan suatu populasi ikan (Jorgensen dan Holt 2013;
Nash dan Geffen 2012).
Menurut Widodo dan Suadi (2006) tingginya laju mortalitas penangkapan
dapat mengindikasikan terjadinya growth overfishing. Hal ini juga dapat dilihat dari
perbandingan nilai Lc dan Lm yang menunjukkan rata-rata ukuran ikan tertangkap
lebih kecil dibandingkan ukuran pertama kali matang gonad untuk ikan kurisi dan
layur. Laju eksploitasi untuk ikan peperek, kurisi, dan layur baik jantan maupun
betina telah melebihi batas eksploitasi optimum sebesar 50% (Gulland 1971 in
Pauly 1984). Ikan peperek merupakan ikan dengan ukuran yang relatif lebih kecil
dibandingkan ikan demersal lainnya, sehingga ikan ini dapat tertangkap lebih
banyak. Hal ini dapat dilihat dari nilai eksploitasinya yang mencapai 83%. Salah
satu faktor yang mendukung tingginya eksploitasi ikan peperek adalah
pemanfaatanya sebagai bahan baku ikan asin dengan nilai ekonomis lebih tinggi
40
dibandingkan apabila dijual sebagai ikan segar. Pemasaran ikan asin jenis ini tidak
hanya secara lokal di kawasan Labuan saja tapi dikirim sampai ke luar daerah
seperti Jakarta dan Jawa Barat.
Status pemanfaatan ikan demersal oleh jaring arad yaitu fully exploited,
artinya sumber daya ikan sedang dieksploitasi penuh dengan hasil optimal tanpa
adanya peningkatan. Hal ini ditandai dengan tingkat pemanfaatan ikan demersal
oleh jaring arad telah mencapai 76% (> 70% dari MSY). Status pemanfaatan ikan
biji nangka, peperek, dan kurisi juga fully exploited dengan tingkat pemanfaatan
berturut-turut 92%, 81%, dan 95%. Ikan tiga waja dan ikan layur yang tertangkap
jaring arad memiliki status stok moderately exploited, artinya spesies ini sedang
dieksploitasi penuh. Menurut FAO (1995) pada kondisi pemanfaatan fully
exploited, peningkatan penangkapan tidak disarankan walaupun secara umum
kondisi hasil tangkapan aktual masih lebih kecil dibandingkan upaya
penangkapannya.
Hasil perhitungan tingkat pemanfaatan melalui laju eksploitasi pada data
biologi yang menunjukkan sumber daya ikan telah overexploited. Hasil perhitungan
secara ekonomi menunjukkan bahwa pemanfaatan sumber daya ikan demersal oleh
jaring arad adalah fully exploited. Perbedaan penentuan status pemanfaatan tersebut
dipengaruhi oleh data yang digunakan dalam analisis berbeda, sehingga acuan
dalam penentuan status juga berbeda. Kesamaan dari kedua status pemanfaatan ini
adalah sumber daya ikan demersal telah dimanfaatankan lebih dari 50% baik secara
bilogi (data panjang) ataupun secara ekonomi (MSY dan MEY).
Berdasarkan nilai keuntungan, secara ekonomi keuntungan aktual pada tahun
2013 untuk operasi penangkapan ikan dengan jaring arad sebesar Rp 11.37 M lebih
kecil dibandingkan pada kondisi MEY yaitu sebesar Rp 14.47 M. Secara ekonomi
pengusahaan perikanan jaring arad belum mencapai keuntungan optimalnya, dan
masih dimungkinkan untuk peningkatan hasil tangkapan. Namun apabila
peningkatan penangkapan terus berlangsung tanpa adanya pengelolaan dan regulasi
akan mengalami tangkap lebih. Regulasi perikanan diperlukan untuk mendorong
terjadinya efisiensi dalam pengelolaan yang bersifat barang publik, meningkatkan
bobot dan ukuran ikan yang ditangkap, dan mencegah pemborosan tenaga kerja dan
modal, serta untuk mendorong alokasi sumber daya yang efisien (Scott 1979).
kompetisi dengan spesies biji nangka sebagai spesies pertama karena merupakan
ikan yang dominan tertangkap oleh alat tangkap jaring arad. Berdasarkan Tabel 15,
16, 17, dan 18 terlihat bahwa koefisien ketergantungan kompetisi antara ikan biji
nangka dan peperek, ikan biji nangka dan kurisi, ikan biji nangka dan tiga waja, dan
ikan biji nangka dengan layur bernilai >1, artinya efek kompetisi dari ikan peperek,
kurisi, tiga waja, dan layur terhadap ikan biji nangka lebih besar dibandingkan efek
kompetisi ikan biji nangka terhadap anggotanya sendiri (Zulbainarni 2012). Nilai
koefisien ketergantungan untuk empat kondisi kompetisi yang terbesar adalah
kompetisi antara ikan biji nangka dan layur yaitu sebesar 4.5911. Artinya,
kompetisi antara ikan biji nangka dan layur lebih tinggi dibandingkan kompetisi
dengan ikan lainnya. Hal ini diduga karena ikan layur merupakan ikan yang jumlah
tangkapannya terkecil dibandingkan spesies dominan lainnya yang tertangkap
jaring arad sehingga keberadaanya dilingkungan (K) lebih sedikit dibandingkan
ikan lainnya. Kondisi ini menjadikan kompetisi terhadap ikan layur menjadi lebih
besar.
Nilai biomassa awal untuk ikan biji nangka pada ke empat kompetisi
mengalami penurunan setelah berkompetisi, dan untuk spesies kompetitornya
(peperek, kurisi, tiga waja, dan layur) mengalami peningkatan. Hal ini
menunjukkan bahwa kegiatan eksploitasi lebih banyak menangkap ikan biji nangka
dibandingkan spesies kompetitornya. Upaya penangkapan (E) ikan biji nangka baik
pada kondisi OA maupun MEY lebih tinggi dibandingkan ikan peperek, kurisi, tiga
waja, dan layur sehingga tingkat kematian ikan biji nangka dapat terjadi lebih cepat.
Nilai upaya optimal (EMSY) pada bioekonomi kompetisi lebih kecil dibandingkan
pada nilai EMSY pada kondisi tanpa melihat adanya kompetisi. Perbandingan nilai
upaya penangkapan optimal tersebut disajikan pada Gambar 16.
3500
2777 2918
3000
upaya penangkapan (trip)
2370
2500
1729 1854
2000 1577
1500 1298
994 892
1000
472
500
0
Biji nangka Peperek Kurisi Tiga waja Layur
jenis ikan
35000
Upaya penangkapan (trip)
30000
25000
20000
15000
10000
5000
0
Aktual
MSY
MEY
OPT 7.5%
Kondisi pengusahaan multispesies
upaya penangkapan masih dimungkinkan sampai pada batas MSY atau MEY.
Nelayan akan terus meningkatkan upaya penangkapan untuk dapat memperoleh
keuntungan sebanyak-banyaknya. Penambahan upaya penangkapan akan terus
terjadi hingga mencapai suatu titik dimana keuntungan yang didapatkan adalah 0
(open acces). Menurut Imeson et al. (2002) rezim pengelolaan open access terjadi
dimana tidak ada pembatasan jumlah nelayan dan sejauh mana mereka dapat
mengeksploitasi sumber daya ikan.
Laju degradasi dan laju depresiasi sumber daya ikan dominan tertangkap
jaring arad di Perairan Selat Sunda
Estimasi parameter biologi (K, q, dan r) dan data series hasil tangkapan dan
upaya penangkapan ikan demersal digunakan untuk menduga produksi lestari setiap
spesiesnya. Berdasarkan data produksi lestari dan produksi aktual pada Lampiran
11 dapat diperoleh koefisien laju degradasi dan laju depresiasi. Laju degradasi
merupakan laju penurunan kualitas suatu sumber daya perikanan. Menurut Fauzi
dan Anna (2005) sumber daya terbarukan seperti perikanan, apabila dilakukan
pemanfaatan terus menerus akan mengalami degradasi. Laju degradasi terendah
adalah ikan layur, dan tertinggi adalah ikan biji nangka. Laju degradasi untuk
multispesies sumber daya ikan demersal cenderung pengalami pennurunan. Suatu
sumber daya dikatakan telah mengalami degradasi sumber daya apabila telah
melebihi batas optimumnya (0.5) menurut Fauzi dan Anna (2005). Laju degradasi
menunjukan penurunan kualitas suatu sumber daya perikanan, dan apabila
penurunan tersebut dirupiahkan maka disebut dengan laju depresiasi.
Laju depresiasi merupakan pengukuran degradasi atau laju penurunan kualitas
sumber daya yang dirupiahkan. Sama halnya dengan laju degradasi, perhitungan
laju depresiasi memperhitungkan keuntungan lestari dan keuntungan aktual
berdasarkan produksi lestari, produksi aktual, harga riil ikan, dan biaya
penangkapannya. Berdasarkan hasil perhitungan laju depresiasi sumber daya ikan
demersal cenderung mengalami penurunan. Menurut BRKP (2009) salah satu
faktor yang dapat meningkatkan laju degradasi dan depresiasi sumber daya ikan
adalah tingginya eksploitasi akibat penangkapan dan adanya penurunan harga ikan
akibat inflasi.
Implikasi bagi pengelolaan sumber daya ikan pada perikanan jaring arad di
Perairan Selat Sunda
Kondisi pemanfaatan ikan demersal oleh alat tangkap jaring arad pada saat ini
memang masih dibawah kondisi pengusahaan MSY dan MEY sehingga masih
dimungkinkan untuk dilakukan peningkatan armada ataupun upaya penangkapan
ikan demersal. Namun apabila peningkatan penangkapan terus berlangsung tanpa
adanya pengelolaan dan regulasi akan mengalami tangkap lebih. Regulasi
perikanan diperlukan untuk mendorong terjadinya efisiensi dalam pengelolaan
yang bersifat barang publik, meningkatkan bobot dan ukuran ikan yang ditangkap,
dan mencegah pemborosan tenaga kerja dan modal, serta untuk mendorong alokasi
sumber daya yang efisien (Scott 1979).
Menurut Cochrane (2002) pengelolaan sumber daya perikanan didefinisikan
sebagai proses yang terpadu untuk mengatur aktivitas perikanan agar dapat
menjamin keberlanjutan produktivitas sumber daya dan pencapaian tujuan
perikanan lainnya. Adanya keuntungan dalam pengusahaan sumber daya ikan
menjadi salah satu faktor pendorong bagi nelayan untuk meningkatkan
penangkapan agar memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya, tanpa
mempertimbangkan akibat jangka panjang dari pemanfaatan yang berlebih. Namun
dasar dari pengelolaan sumber daya ikan adalah bagaimana memanfaatkan sumber
daya untuk menghasilkan manfaat ekonomi yang tinggi dan tetap menjaga
kelestariannya di alam (Fauzi dan Anna 2005). Pengelolaan sumber daya ikan
demersal meliputi strategi pengelolaan input dan output (Hoggart 2006). Strategi
input dilakukan melalui pengurangan trip penangkapan untuk mengurangi laju
mortalitas tangkapan (Post et al. 2003; Hoggart 2006), dan melindungi juvenil dan
48
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Affandi R, Tang UM. 2002. Fisiologi Hewan Air. Pekanbaru: Unri Press.213hal.
Allen MS, Ahrens RNM, Hansen MJ, Arlinghaus R. 2010. Dynamic angling efort
influences the value of minimum-length limits to prevent recruitmen
overfising. Fisheries Management and Ecology Journal. doi: 10.1111/j.1365-
2400.2012.00871.x.
Anderson LG dan Seijo JC. 2010. Bioeconomics of Fisheries Management. Oxford:
Willey Blackwell.
51
LAMPIRAN
Lampiran 1 Proses penentuan laju mortalitas total (Z) melalui kurva yang
dilinerakan berdasarkan data panjang
Berdasarkan persamaan tangkap atau persamaan Baranov (Baranov 1918 in Sparre
dan Venema 1992), tangkapan antara waktu t1 dan t2 sama dengan:
F
C (t1 ,t2 )= (N(t1 )-N(t2 )) (1)
Z
N(t1) adalah banyaknya ikan pada saat t1, N(t2) adalah banyaknya ikan pada saat t2,
F adalah mortalitas penangkapan, dan Z adalah mortalitas total. Fraksi ikan yang
F
mati akibat penangkapan, disebut laju eksploitasi. Oleh karena:
Z
F
C (t1 ,t2 )=N(t1 ) (1-e-Z(t1 - t2 ) ) (3)
Z
F
d = N(Tr)+ZTr+ln Z
menurut Van Sickle (1977) in Sparre dan Venema (1992 ) cara lain dapat ditempuh
untuk menyelesaikan (6) melalui
ln (1-e-x) ln (X) - 2 (10)
56
Z (t2-t1)
ln (1-e-Z(t1 - t2) ) =ln Z(t1 t2 ) (11)
2
C(t1,t2) 1
ln t2-t1 = h - Z t1 - 2 Z (t1 t2 ) (12)
atau
C(t,t+t) 1
ln t = h Z (t+ 2 ) (13)
selanjutnya, bentuk konversi data panjang menjadi data umur dengan menggunakan
persamaan Von Bertalanffy
1 L
t(L)=t0 - (K ln (1- L )) (14)
C(L +L )
yang membentuk persamaan linear dengan y= ln t(L1 ,L2) sebagai ordinat dan x =
1 2
1+2)
( ) sebagai absis, dengan koefisien kemiringan persamaan (18) yaitu Z.
2
57
b. Ikan Peperek
Selang kelas Selang kelas batas kelas batas kelas Nilai tengah Frekuensi
bawah (mm) atas (mm) bawah (mm) atas(mm) (mm) Betina Jantan
70 79 69.5 79.5 74.5 6 2
80 89 79.5 89.5 84.5 18 36
90 99 89.5 99.5 94.5 15 34
100 109 99.5 109.5 104.5 55 58
110 119 109.5 119.5 114.5 60 79
120 129 119.5 129.5 124.5 51 63
130 139 129.5 139.5 134.5 14 31
140 149 139.5 149.5 144.5 9 11
150 159 149.5 159.5 154.5 1 1
160 169 159.5 169.5 164.5 1 0
170 179 169.5 179.5 174.5 0 1
Total 230 316
58
Lampiran 2 Lanjutan
c. Ikan Kurisi
Selang kelas Selang kelas batas kelas batas kelas Nilai tengah Frekuensi
bawah (mm) atas (mm) bawah (mm) atas(mm) (mm) Betina Jantan
100 114 99.5 114.5 107 11 8
115 129 114.5 129.5 122 23 29
130 144 129.5 144.5 137 20 61
145 159 144.5 159.5 152 35 67
160 174 159.5 174.5 167 33 47
175 189 174.5 189.5 182 37 32
190 204 189.5 204.5 197 33 40
205 219 204.5 219.5 212 14 16
220 234 219.5 234.5 227 15 19
235 249 234.5 249.5 242 0 4
250 264 249.5 264.5 257 0 2
Total 221 325
d. Ikan Layur
Selang kelas Selang kelas batas kelas batas kelas Nilai tengah Frekuensi
bawah (mm) atas (mm) bawah (mm) atas(mm) (mm) Betina Jantan
232 269 231.5 269.5 250.5 3 6
270 307 269.5 307.5 288.5 1 2
308 345 307.5 345.5 326.5 6 11
346 383 345.5 383.5 364.5 10 34
384 421 383.5 421.5 402.5 14 10
422 459 421.5 459.5 440.5 18 28
460 497 459.5 497.5 478.5 25 56
498 535 497.5 535.5 516.5 31 71
536 573 535.5 573.5 554.5 34 52
574 611 573.5 611.5 592.5 16 23
612 649 611.5 649.5 630.5 4 7
650 687 649.5 687.5 668.5 0 0
Total 162 300
59
Pemisahan kelompok ukuran ikan peperek betina (a) dan jantan (b) dengan
metode NORMSEP
60
Pemisahan kelompok ukuran ikan peperek betina (a) dan jantan (b) dengan
metode NORMSEP
61
Pemisahan kelompok ukuran ikan kurisi betina (a) dan jantan (b) dengan metode
NORMSEP
62
Pemisahan kelompok ukuran ikan layur betina (a) dan jantan (b) dengan metode
NORMSEP
63
Lampiran 5 Pendugaan ukuran rata-rata pertama kali ikan tertangkap (Lc) ikan
dominan tertangkap jaring arad di perairan Selat Sunda
Pendugaan nilai Lc yang disajikan hanya salah satu ikan yaitu ikan kurisi. Prosedur
yang sama digunakan untuk menduga nilai Lc ikan biji nangka, peperek, dan layur.
a. Betina
SKB SKA Xi (X) ni f Fk fk % 1/fk 1/fk-1 ln (1/fk-1) (Y)
100 114 107.00 11 0.05 0.05 4.98 20.09 19.09 2.95
115 129 122.00 23 0.10 0.15 15.38 6.50 5.50 1.70
130 144 137.00 20 0.09 0.24 24.43 4.09 3.09 1.13
145 159 152.00 35 0.16 0.40 40.27 2.48 1.48 0.39
160 174 167.00 33 0.15 0.55 55.20 1.81 0.81 -0.21
175 189 182.00 37 0.17 0.72 71.95 1.39 0.39 -0.94
190 204 197.00 33 0.15 0.87 86.88 1.15 0.15 -1.89
205 219 212.00 14 0.06 0.93 93.21 1.07 0.07 -2.62
220 234 227.00 15 0.07 1.00 100.00 1.00 0.00
235 249 242.00 0 0.00 1.00 100.00 1.00 0.00
250 264 257.00 0 0.00 1 100 1 0
S1 = a (intercept) = 8.13745894
S2 = b (slope) = 0.05061382
Lampiran 5 Lanjutan
1.20 1.20
1.00 1.00
0.80 0.80
Frekuensi
Frekuensi
0.60 Lc = 113.39 mm 0.60 Lc = 106.16 mm
0.40 0.40
0.20 0.20
0.00 0.00
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200
Nilai tengah panjang (mm) Nilai tengah panjang (mm)
Nilai Lc dengan metode covered conden method ikan biji nangka betina (a) dan
jantan (b)
1.20 1.20
1.00 1.00
0.80 0.80
Frekuensi
Frekuensi
(a) (b)
Nilai Lc dengan metode covered conden method ikan peperek betina (a) dan
jantan (b)
1.00 1.20
0.80 1.00
0.80
Frekuensi
Frekuensi
(a) (b)
Nilai Lc dengan metode covered conden method ikan kurisi betina (a) dan jantan
(b)
66
1.00 1.00
0.80 0.80
Lc = 460,46 mm
Frekuensi
Frekuensi
0.60 0.60 Lc = 454,66 mm
0.40 0.40
0.20 0.20
0.00 0.00
0 100 200 300 400 500 600 700 0 100 200 300 400 500 600 700
Nilai tengah panjang (mm) Nilai tengah panjang (mm)
(a) (b)
Nilai Lc dengan metode covered conden method ikan layur betina (a) dan jantan
(b)
60% 60%
50% 50%
40% 40%
30% 30%
20% 20%
10% 10%
0% 0%
(a) (b)
Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ikan biji nangka betina (a) dan jantan (b)
100% 100%
90% 90%
80% 80%
70% 70%
Frekuensi
Frekuensi
60% 60%
TKG IV
50% 50%
TKG III
40% 40%
30% 30% TKG II
10% 10%
0% 0%
(b) (b)
Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ikan peperek betina (a) dan jantan (b)
67
Lampiran 6 Lanjutan
100% 100%
90% 90%
Frekuensi 80% 80%
70% 70%
Frekuensi
60% 60%
50% 50% TKG I
40% 40%
30% TKG II
30%
20% TKG III
20%
10%
10% TKG IV
0%
0%
(a) (b)
Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ikan kurisi betina (a) dan jantan (b)
100% 100%
90% 90%
80% 80%
70% 70%
Frekuensi
60% 60%
Frekuensi
TKG IV
50% 50%
40% 40% TKG III
30% 30%
20% 20% TKG II
10% 10%
0% 0% TKG I
(a) (b)
Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ikan kurisi betina (a) dan jantan (b)
Pendugaan nilai Lm yang disajikan hanya salah satu ikan yaitu ikan kurisi. Prosedur
yang sama digunakan untuk menduga nilai Lm ikan biji nangka, peperek, dan layur.
SKB SKA Nt Xi Ni Nb Pi Qi X Pi*Qi Ni-1 Pi*Qi/Ni-1
100 114 107 2.0293838 11 1 0.0909 0.9091 0.0570 0.0826 10 0.0083
115 129 122 2.0863598 23 4 0.1739 0.8261 0.0504 0.1437 22 0.0065
130 144 137 2.1367206 20 6 0.3000 0.7000 0.0451 0.2100 19 0.0111
145 159 152 2.1818436 35 6 0.1714 0.8286 0.0409 0.1420 34 0.0042
160 174 167 2.2227165 33 24 0.7273 0.2727 0.0374 0.1983 32 0.0062
175 189 182 2.2600714 37 21 0.5676 0.4324 0.0344 0.2454 36 0.0068
190 204 197 2.2944662 33 19 0.5758 0.4242 0.0319 0.2443 32 0.0076
205 219 212 2.3263359 14 9 0.6429 0.3571 0.0297 0.2296 13 0.0177
220 234 227 2.3560259 14 14 1.0000 0.0000 0.0000 0.0000 13 0.0000
68
Lampiran 6 Lanjutan
= [ + (2)] ( )
0.0362
= [2.3560 + ( )] (0.0362 4.2497)
2
Antilog m (M) = 165.93 mm ukuran ikan rata-rata mencapai matang gonad
Lampiran 7 Pendugaan laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan dominan tertangkap
jaring arad di perairan Selat Sunda
Pendugaan nilai laju mortalitas (M, F, dan Z) yang disajikan hanya salah satu ikan
yaitu ikan kurisi. Prosedur yang sama digunakan untuk menduga nilai M, F, dan Z
ikan biji nangka, peperek, dan layur.
t(L1/L2)/2 Ln((C(L1,L2)/t)
SB SA Xi C(L1,L2) t(L1) t
(x) (y)
100 114 107 11 2.12 0.49 2.36 3.11
115 129 122 23 2.65 0.54 2.91 3.75
130 144 137 20 3.23 0.60 3.52 3.50
145 159 152 35 3.87 0.68 4.20 3.95
160 174 167 33 4.60 0.77 4.98 3.75
175 189 182 37 5.44 0.90 5.87 3.71
190 204 197 33 6.41 1.09 6.93 3.41
205 219 212 14 7.58 1.36 8.23 2.33
220 234 227 15 9.06 1.83 9.90 2.11
235 249 242 0 11.04 2.78 12.27
250 264 257 0 14.09 6.02 16.34
a (intercept) = 7.33
b (slope) = -0.60
M (mortalitas alami) = 0.32
F (mortalitas tangkapan) = 0.28
E (laju eksploitasi) = 0.47
Z (mortalitas total) = 0.60
69
Pendugaan estimasi parameter biologi yang disajikan hanya salah satu ikan yaitu
yaitu ikan kurisi. Prosedur yang sama digunakan untuk menduga nilai parameter
biologi ikan biji nangka, peperek, tiga waja, dan layur.
Tahun Ct Ft CPUE CPUEt+1 Ft+1 Ft* Z
2008 346.30 1500.08 0.23 0.1680 2152.1280 1826.1019 -5269.8590
2009 361.64 2152.13 0.17 0.1804 1864.0698 2008.0989 -5921.9113
2010 336.34 1864.07 0.18 0.1635 2091.1554 1977.6126 -5633.8531
2011 341.99 2091.16 0.16 0.1605 2206.9989 2149.0771 -5860.9386
2012 354.16 2207.00 0.16 0.1534 2198.5711 2202.7850 -5976.7822
2013 337.30 2198.57 0.15
Lampiran 8 Lanjutan
a= 0.3756 q= Rata-rata (Q) = 0.000011274
b= -0.0001 K= a/ q = 33319.0670
2
2
R = 0.9488 r= (q *K)/b = 0.0425
Lampiran 9 Jenis makanan biji nangka, peperek, kurisi, tigawaja, dan layur.
Jenis ikan Scooling Habitat Makanan
Biji nangka Bergerombol Perairan pantai Udang, cumi,
hingga kedalaman 80 benthos.
m
Peperek Membentuk Perairan pantai Zoobenthos,
gerombol besar
Kurisi Bergerombol Hidup hingga Zoobenthos, cacing,
kedalaman 100 m udang, cumi ikan
kecil.
Tiga waja Bergerombol besar Perairan pantai Cumi, ikan kecil,
hingga kedalaman 40 binatang dasar kecil.
m
Tahun Produksi (ton) Total produksi (ton) Proporsi IHK Biaya rill (juta ton)
2008 346.3 3498.4 0.10 124.73 0.07
2009 361.64 3386.8135 0.11 126.99 0.07
2010 336.34 3113.735 0.11 144.89 0.08
2011 341.99 2955.189 0.12 151.78 0.08
2012 354.16 2801.829 0.13 157.67 0.08
2013 337.3 2602.58 0.13 175.66 0.09
Rata-rata 346.29 3059.76 0.11 146.95 0.08
71
Lampiran 10 Lanjutan
a. Harga rill
Jaring arad
Tahun IHK Harga rill (juta ton)
Volume( ton) Nilai (Rp)
2008 346.30 1217200 124.73 10.84
2009 361.64 2309164 126.99 11.04
2010 336.34 3771440 144.89 12.59
2011 341.99 3904570 151.78 13.19
2012 354.16 4190338 157.67 13.70
2013 337.30 5149330 175.66 15.27
Rata-rata 346.29 3423674 146.95 12.77
Lampiran 11 Pendugaan produksi aktual dan lestari ikan biji nangka, peperek, kurisi,
tigawaja, dan layur di perairan Selat Sunda
Tigawaja Layur
Tahun
PL (ton) PA (ton) PL (ton) PA (ton)
2008 325,93 375,30 166,91 101,00
2009 385,71 348,40 165,82 100,90
2010 347,99 321,44 167,68 84,30
2011 322,83 262,40 166,70 61,83
2012 254,48 188,99 155,26 55,01
2013 230,02 159,61 148,08 49,72
Lampiran 11 Lanjutan
Pendugaan laju degradasi dan depresiasi yang disajikan hanya salah satu ikan yaitu
ikan kurisi. Prosedur yang sama digunakan untuk menduga laju degradasi dan
depresiasi ikan biji nangka, peperek, tiga waja, dan layur.
a. Laju degradasi
Tahun Produksi lestari (ton) Produksi aktual (ton) Upaya (trip) Koef degradasi
2008 378 346.3000 1500.0757 0.2511
2009 457 361.6401 2152.1280 0.2205
2010 427 336.3400 1864.0698 0.2193
2011 451 341.9900 2091.1554 0.2110
2012 462 354.1600 2206.9989 0.2136
2013 461 337.3000 2198.5711 0.2032
b. Laju depresiasi
Rente ekonomi (juta Rp)
Tahun Koef depresiasi
Aktual Lestari
2008 3654.1120 4003.0162 0.2506
2009 3845.4520 4895.2206 0.2187
2010 4091.1725 5233.2462 0.2177
2011 4341.8644 5780.5246 0.2089
2012 4667.3759 6140.0910 0.2116
2013 4943.3187 6830.2602 0.2007
Skor
Stakeholder
Kepentingan Pengaruh
ABK/ nelayan 5 5
Juragan 5 5
Pengepul 4 2
Bakul 5 2
Agen 2 2
Pengusaha perikanan 4 2
Pedagang ikan 4 2
Pedagang non ikan 1 1
Konsumen 3 2
Masyarakat 1 1
Manajer TPI 2 4
Perangkat Desa 2 3
DKP Kab Pandeglang 2 5
Dinas BPPT Prov. Banten 2 5
Dinas Perhubungan (syahbandar) 1 4
Keterangan: 5 (Sangat penting-berpengaruh), 4 (Penting-berpengaruh), 3 (Netral),
2 (Tidak penting-berpengaruh), 1 (Sangat tidak penting-berpengaruh).
73
RIWAYAT HIDUP