You are on page 1of 11

formalin

December 24th 2010 in THP

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Senyawa kimia formaldehida merupakan aldehida dengan rumus kimia H2CO. Meskipun dalam
udara bebas formaldehida berada dalam wujud gas, akan tetapi bisa larut dalam air. Biasanya
dijual dalam kadar larutan 37% mengunakan merk dagang formol atau juga sering disebut
formalin. Penggunaan nya sering dipakai sebagai disinfektan dan pengawet (Djauhari 2008).

Kadar formaldehida di udara yang lebih dari 0,1 mh/kg dan terhisap akan menimbulkan bahaya
bagi manusia, seperti meningkatkan keasaman darah, hipotermia, koma, sampai pada kematian
(Putra 2009). Penggunaan formalin di kehidupan sehari-hari banyak ditemukan praktik yang
salah. Seperti produk-produk perikanan baik dalam bentuk segar, maupun produk olahannya.

Hal ini tentu sangat berbahaya bagi konsumen-konsumennya. Praktikum ini akan diteliti kadar
formaldehida yang terkandung dalam produk-produk olahan perikanan yang sering kita jumpai
dalam sehari-hari.

1.2 Tujuan

Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui kandungan formalin pada produk yang dan juga
mengetahui konsentrasi serta nilai absorbansinya.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bakso Ikan

Bahan pangan olahan daging umumnya mempunyai nilai gizi yang tinggi ditinjau dari
kandungan protein, asam amino, lemak, dan mineral. Bakso merupakan jenis makanan yang
sangat populer di Indonesia, terutama di Jawa. Bakso dibuat dari campuran daging tidak kurang
dari 50% dan pati atau tepung serealia, dengan atau tanpa bahan tambahan makanan yang
diizinkan. Umumnya bakso berbentuk bulat. Namun saat ini bentuk bakso makin variatif, begitu
pula rasanya. Umumnya bakso dibuat menggunakan daging untuk mendapatkan produk yang
kenyal dan kompak. Daging yang digunakan dapat berupa daging sapi, kerbau, kambing, domba,
unggas (ayam, itik), kelinci dan tentu saja ikan. Pada pembuatan bakso, disarankan
menggunakan daging yang masih segar (prerigor) agar bakso yang dihasilkan kenyal dan
kompak, meskipun tanpa penambahan bahan pengenyal (Usmiati 2009).

Gambar1. Bakso ikan

Sumber : Herti (2007)


Bahan pengisi berfungsi memperbaiki/menstabilkan emulsi, meningkatkan daya mengikat air,
memperkecil penyusutan, menambah berat produk, dan dapat menekan biaya produksi. Bahan
pengisi yang umum digunakan adalah tepung tapioka. Tepung tersebut mengandung karbohidrat
86,55%, air 13,12%, protein 0,13%, lemak 0,04%, dan abu 0,16%. Kandungan pati yang tinggi
membuat bahan pengisi mampu mengikat air tetapi tidak dapat mengemulsi lemak. Pati dalam
air panas dapat membentuk gel yang kental. Pati terdiri atas dua fraksi yang tidak dapat
dipisahkan, yaitu fraksi terlarut (amilosa) dan fraksi tidak terlarut (amilopektin).

Amilosa bersifat higroskopis (mudah menyerap air) sehingga mudah membentuk gel. Proporsi
kandungan amilosa dan amilopektin dalam pati menentukan sifat produk olahan; makin sedikit
kandungan amilosa, makin lekat produk olahannya. Penggunaan tapioka sebagai bahan pengisi
akan menambah keuntungan. Cita rasa dan tekstur bakso pun disukai konsumen. Namun, lama
pemasakan, meningkatkan keempukan, dan menstabilkan warna. Penggunaan STPP maksimal
adalah 0,5% pada daging yang telah disimpan dalam freezer atau pendingin lainnya (Usmiati
2009).

Penambahan es/air es dapat mempengaruhi tekstur bakso. Penambahan bumbu bergantung pada
cita rasa yang diinginkan. Garam berfungsi mengekstraksi protein miofibril daging dan
meningkatkan daya simpan karena dapat menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk. Garam
juga menentukan tekstur bakso karena dapat meningkatkan kelarutan protein daging. Garam
yang ditambahkan tidak kurang dari 2% atau sesuai selera. Jika garam kurang, protein yang
terlarut rendah. Rempah-rempah bermanfaat untuk meningkatkan cita rasa bakso (Usmiati 2009).

Besarnya manfaat formalin di bidang industri ini ternyata disalahgunakan untuk penggunaan
pengawetan industri makanan. Biasanya hal ini sering ditemukan dalam industri rumahan, karena
mereka tidak terdaftar dan tidak terpantau oleh Depkes dan Balai POM setempat. Bahan
makanan yang diawetkan dengan formalin biasanya adalah mi basah, tahu, bakso, ikan asin dan
beberapa makanan lainnya. Formalin adalah larutan yang tidak berwarna dan baunya sangat
menusuk. Di dalam formalin terkandung sekitar 37 persen formaldehid dalam air, sebagai bahan
pengawet biasanya ditambahkan metanol hingga 15 persen. Bila tidak diberi bahan pengawet
makanan seperti tahu atau mi basah seringkali tidak bisa tahan dalam lebih dari 12 jam
(Judarwanto 2010).

Formalin merupakan zat yang bersifat karsinogenik atau bisa menyebabkan kanker. Beberapa
penelitian terhadap tikus dan anjing pemberian formalin dalam dosis tertentu jangka panjang
secara bermakna mengakibatkan kanker saluran cerna seperti adenocarcinoma pylorus,
preneoplastic hyperplasia pylorus dan adenocarcinoma duodenum. Penelitian lainnya
menyebutkan pengingkatan resiko kanker faring (tenggorokan), sinus dan cavum nasal (hidung)
pada pekerja tekstil akibat paparan formalin melalui hirupan (Judarwanto 2010).

Menurut IPCS (International Programme on Chemical Safety), secara umum ambang batas aman di dalam
tubuh adalah 1 miligram per liter. IPCS adalah lembaga khusus dari tiga organisasi di PBB, yaitu ILO,
UNEP, serta WHO, yang mengkhususkan pada keselamatan penggunaan bahan kimiawi. Bila formalin
masuk ke tubuh melebihi ambang batas tersebut maka dapat mengakibatkan gangguan pada organ dan
system tubuh manusia. Akibat yang ditimbulkan tersebut dapat terjadi dalam waktu singkat atau jangka
pendek dan dalam jangka panjang, bisa melalui hirupan, kontak langsung atau tertelan (Judarwanto 2010).

2.2 Ikan Tongkol


Ikan tongkol terklasifikasi dalam ordo Goboioida, family Scombridae, genus Euthynnus, spesies
Euthynnus affinis. Ikan tongkol masih tergolong pada ikan Scombridae. Ikan tongkol mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut: badan berukuran sedang, memanjang seperti torpedo, mempunyai dua
sirip punggung yang dipisahkan oleh celah sempit, sirip punggung pertama diikuti oleh celah
sempit, sirip punggung kedua diikuti oleh 8-10 sirip tambahan, tidak memiliki gelembung
renang, warna tubuh pada bagian punggung gelap kebiruan dan terdapat tanda garis-garis miring
terpecah dan tersusun rapi. Hidup di perairan epipelagik, merupakan spesies neuritik yang
mendiami perairan dengan kisaran suhu antara 18C-29C. Euthynnus affinis merupakan
predator yang rakus memakan berbagai ikan kecil, udang, dan cepalopoda, sebaliknya juga
merupakan mangsa dari hiu dan marlin. Panjang baku maksimum 100 cm dengan berat 13,6 kg,
panjang umumnya 60 cm (Randall 2010).

Gambar 2. Ikan Tongkol (Euthynnus affinis)

Sumber : Randall (2010)

Formalin dan boraks merupakan bahan tambahan yang sangat berbahaya bagi manusia karena merupakan
racun. Bila terkonsumsi dalam konsentrasi tinggi racunnya akan mempengaruhi kerja syaraf. Berdasarkan
hasil penelitian BPOM (2005) penggunaan boraks dan formalin paling banyak adalah pada ikan dan hasil
laut, namun jumlah 16 persen dan 15 persen tetap merupakan jumlah yang besar. Ikan segar yang diberi
formalin tekstur tubuhnya akan menjadi kaku dan sulit dipotong dan tidak rusak sampai tiga hari pada suhu
kamar 25 C. Warna insang merah tua dan tidak cemerlang, bukan merah segar dan warna daging ikan
putih bersih (Bakosurtanal 2004).

2.3 Ikan Asin

Prinsip pengawetan dalam pembuatan ikan asin merupakan kombinasi penambahan garam dan
pengeringan. Garam dalam jumlah yang cukup dapat mencegah terjadinya autolisis, yaitu kerusakan ikan
yang disebabkan oleh enzim-enzim yang terdapat pada ikan, dan mencegah terjadinya pembusukan oleh
jasad renik. Daya pengawetan oleh garam disebabkan karena garam mempunyai kandungan NaCl
berosmotik tinggi yang dapat menarik air dari daging ikan dan menarik cairan sel mikroorganisme sehingga
sel mengalami plasmolisis. Konsentrasi garam yang tinggi akan mengakibatkan kematian bakteri patogen
dan pembusuk yang pada umumnya sangat sensitif terhadap garam. Pengeringan akan mengurangi
kandungan air pada ikan sehingga jasad renik tidak dapat tumbuh dan proses pembusukan dapat dicegah
(Teknologi Pangan dan Gizi 2010).

Gambar 3. Ikan asin jambal

Sumber: Berita jakarta (2008)

Cara pembuatan ikan asin sangat bervariasi tergantung pada jenis dan ukuran ikan, hasil yang
diinginkan, serta daerah produksinya. Pada jenis ikan besar terlebih dahulu dilakukan
pembelahan dan penyiangan, sedangkan jenis ikan berukuran kecil seperti teri diasin dalam
keadaan utuh. Pada dasarnya terdapat tiga cara penggaraman dalam pembuatan ikan asin, yaitu
penggaraman kering, penggaraman basah, dan kombinasi keduanya. Penggaraman kering
dilakukan dengan cara menaburkan atau melumurkan kristal garam pada seluruh bagian ikan dan
rongga perut. Garam memiliki sifat hidroskopis dan osmosis, maka air yang terdapat di dalam
daging ikan akan tertarik keluar dan membentuk larutan garam pekat yang berfungsi sebagai
larutan peredam ikan. Cara penggaraman kering biasanya diterapkan pada ikan berukuran besar
yang diakukan penyiangan dan pembelahan pada waktu pembuatannya, misalnya ikan gabus,
tenggiri, tongkol, pari, jambal dan cucut (Teknologi Pangan dan Gizi 2010).

Penggaraman basah dilakukan dengan cara meredam ikan di dalam larutan garam jenuh,
kemudian ditiriskan dan dikeringkan. Penggaraman basah sering diterapkan untuk menggarami
ikan-ikan yang berukuran kecil, misalnya teri (Teknologi Pangan dan Gizi 2010).

Bahan yang digunakan untuk pengasinan ikan adalah NaCl. Kemurnian garam akan sangat mempengaruhi
mutu ikan asin yang dihasilkan. Garam yang mengandung Cu dan Fe akan menyebabkan daging ikan
menjadi berwarna coklat kotor atau kuning. CaSO4 menyebabkan daging berwarna putih, kaku, dan agak
pahit. MgCl2 atau MgSO4 akan menimbulkan rasa pahit. Oleh karena itu, sebaiknya menggunakan garam
NaCl murni dengan konsentrasi 95% agar dapat dihasilkan ikan asin yang dagingnya berwarna putih
kekuningan dan lunak (Teknologi Pangan dan Gizi 2010).

Kelemahan produk ikan yang diolah dengan cara pengasinan adalah karena kandungan garamnya
yang tinggi, maka rasanya menjadi asin sehingga hanya dapat dikonsumsi dalam jumlah terbatas.
Keadaan ini mengakibatkan ikan asin tidak dapat digunakan sebagai makanan sumber protein
hewani. Selain itu, penjemuran yang kurag sempurna akan menyebabkan ikan asin akan lembek
dan tidak bertahan lama (Teknologi Pangan dan Gizi 2010).

Oleh karena itu, banyak nelayan yang menggunakan formalin untuk mengawetkan ikan asin.
Ikan asin yang mengandung formalin akan terasa kaku dan keras, bagian luar kering tetapi
bagian dalam agak basah karena daging bagian dalam masih mengandung air. Karena masih
mengandung air, ikan akan menjadi lebih berat daripada ikan asin yang tidak mengandung
formalin. Tubuh ikan bersih, cerah, dan tidak rusak sampai lebih dari 1 bulan pada suhu kamar
25C (Bakosurtanal 2004).

2.4 Formalin

Formalin adalah sebutan dari senyawa kimia formaldehida (juga disebut metanal), merupakan
aldehida berbentuknya gas dengan rumus kimia H2CO. Formalin mengandung sekitar 37 persen
formaldehid dalam air. Biasanya ditambahkan metanol hingga 15 persen sebagai pengawet.
Formalin merupakan cairan tidak berwarna dan berbau sangat menusuk yang digunakan sebagai
desinfektan, pembasmi serangga, dan pengawet yang digunakan dalam industri tekstil dan kayu.
Formaldehida bisa dihasilkan dari pembakaran bahan yang mengandung karbon. Terkandung
dalam asap pada kebakaran hutan, knalpot mobil, dan asap tembakau. Formaldehida dalam kadar
kecil sekali juga dihasilkan sebagai metabolit kebanyakan organisme, termasuk manusia
(Syamsul 2010).

Formaldehid juga dipakai untuk reaksi kimia yang bisa membentuk ikatan polimer, dimana salah
satu hasilnya adalah menimbulkan warna produk menjadi lebih cerah sehingga formalin dipakai
di industri plastik. bahan pembuatan sutra buatan, zat pewarna, cermin kaca. Sehingga formalin
juga banyak dipakai di produk rumah tangga seperti piring, gelas dan mangkuk yang berasal dari
plastik atau melamin. Piring atau gelas tersebut apabila terkena makanan atau minutan panas
maka bahan formalin yang terdapat dalam gelas akan larut. Formalin juga bersifat mudah larut
dalam air maupun alkohol. Adapun struktur kimia formalin dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Struktur formalin

Sumber: umesc 2010

Formalin sebagai bahan yang digunakan hanya untuk mengawetkan makanan, dosis yang
digunakan akan rendah sehingga efek samping dari mengkonsumsi makanan berformalin tidak
akan dirasakan langsung oleh konsumen. Dampak langsung formalin bagi tubuh manusia dapat
dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Dampak langsung formalin bagi tubuh manusia

Dampak langsung formalin bagi tubuh manusia


Kulit Iritatif, kulit kemerahan, kulit seperti terbakar, alergi kulit
Mata Iritatif, mata merah dan berair, kebutaan, hidung mimisan
Saluran Pernapasan Sesak napas, suara serak, batuk kronis, sakit tenggorokan
Saluran Pencernaan Iritasi lambung, mual muntah, mules
Hati Kerusakan hati
Paru-paru Radang paru-paru karena zat kimia (pneumonitis)
Saraf Sakit kepala, lemas, susah tidur, sensitif, sukar konsentrasi,

mudah lupa

Ginjal Kerusakan ginjal


Organ Reproduksi Kerusakan testis, ovarium, gangguan menstruasi, infertilitas

sekunder

Sumber: Pokphand (2010)

Formalin sangat berbahaya jika terhirup, mengenai kulit dan tertelan. Jika terhirup akan
menyebabkan rasa terbakar pada hidung dan tenggorokan, sukar bernafas, nafas pendek, sakit
kepala, dan dapat menyebabkan kanker paru-paru, iritasi pada saluran pernafasan, reaksi alergi
dan bahaya kanker pada manusia. Jika terkena kulit akan menyebabkan kemerahan pada kulit,
luka bakar pada kulit, gatal, dan kulit terbakar. Jika terkena mata akan menyebabkan mata
memerah, gatal, berair, kerusakan mata, pandangan kabur, bahkan kebutaan. Jika tertelan akan
menyebabkan mual, muntah-muntah, perut terasa perih, diare, sakit kepala, pusing, gangguan
jantung, kerusakan hati, kerusakan saraf, kulit membiru, hilangnya pandangan, kejang, bahkan
koma dan kematian. Formalin merupakan zat yang bersifat karsinogenik atau bisa menyebabkan
kanker. Jika kandungan dalam tubuh tinggi, akan bereaksi secara kimia dengan hampir semua zat
di dalam sel, sehingga menekan fungsi sel dan menyebabkan kematian sel yang menyebabkan
kerusakan pada organ tubuh (Syamsul 2010).
International Programme on Chemical Safety (IPCS) menyebutkan bahwa batas toleransi
formaldehida yang dapat diterima tubuh dalam bentuk air minum adalah 0,1 mg per liter atau
dalam satu hari asupan yang dibolehkan adalah 0.2 mg. Sementara formalin yang boleh masuk
ke tubuh dalam bentuk makanan untuk orang dewasa adalah 1,5 mg hingga 14 mg per hari.
Hampir semua jaringan di tubuh mempunyai kemampuan untuk memecah dan memetabolisme
formaldehida. Salah satunya membentuk asam format dan dikeluarkan melalui urine.
Formaldehida dapat dikeluarkan sebagai CO2 dari dalam tubuh. Tubuh juga diperkirakan bisa
memetabolisme formaldehida bereaksi dengan DNA atau protein untuk membentuk molekul
yang lebih besar sebagai bahan tambahan DNA atau protein tubuh. Formaldehida tidak disimpan
dalam jaringan lemak. NIOSH menyatakan formaldehida berbahaya bagi kesehatan pada kadar
20 ppm (Pokphand 2006).

2.5 Asam Kromatofat

Asam kromatofat digunakan untuk menentukan kadar formaldehid dalam 0,5 mg sampel yang
diuji. Selain itu, asam kromatofat juga dapat digunakan untuk menentukan fenol, etanol, alkohol
tingkat tinggi, olefin, hidrokarbon aromatik, dan sikloheksanon. Campuran asam kromatofat,
asam posfat, dan hidrogen peroksida akan dapat mempercepat reaksi penentuan formalin dalam
suatu bahan yang mengandung formalin. Formalin yang bereaksi dengan asam kromatofat akan
menghasilkan senyawa kompleks yang berwarna merah keunguan dalam suatu bahan yang
mengandung formalin (Peter dan Randolph 2006).

2.6 Spektrofotometer

Spektrofotometer adalah alat yang terdiri atas spektrometer dan fotometer. Spektrometer
menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat
untuk mengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau diabsorpsi. Jadi spektrofotometer
digunakan untuk mengukur energi secara relatif jika energi tersebut ditransmisikan, direfleksikan
atau diemisikan sebagai fungsi dari panjang gelombang (Setyowati 2009). Bentuk
spektrofotometer secara umum dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 5. Spektrofotometer

Sumber :Setiyowati (2009)

2.6.1 Spektrofotometer Visibel

Metode spektrofometri visibel merupakan metode modern yang lebih mengarah pada
penggunaan alat atau instrumen yang canggih. Metode spektrofotometri visibel merupakan
metode baru sehingga perlu dilakukan validasi metode yang meliputi akurasi, ripitabilitas dan
linieritas. Teknik spektroskopi adalah salah satu teknik analisis fisika-kimia yang mengamati
tentang interaksi antara atom atau molekul dengan radiasi elektromagnetik (REM). Radiasi
elektromagnetik panjang gelombang 380 mm 780 mm merupakan radiasi yang dapat diterima
oleh panca indera mata manusia, sehingga dikenal sebagai cahaya tampak (visibel) (Setyowati
2009). Skematis Spektrofotometer UV-Vis dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 6. Diagram Skematis Spektrofotometer UV-Vis

(Watson (1999) dalam Setyowati 2009)

Secara skematis pola kerja spektrofotometer UV-VIS (Gambar 6) adalah sebagai berikut:

a. Sumber-sumber lampu, lampu deuterium digunakan untuk daerah UV pada panjang


gelombang dari 190 350 nm, sementara lampu halogen kuarsa atau lampu tungsten digunakan
untuk daerah visibel pada panjang gelombang antara 350 800 nm.

b. Monokromator digunakan untuk mendipersikan sinar ke dalam komponen-komponen


panjang gelombangnya yang selanjutnya akan dipilih oleh celah.

c. Detektor berfungsi mengubah sinyal radiasi yang diterima menjadi sinyal elektronik.

Prinsip spektrofotometri didasarkan adanya interaksi dari energi radiasielektromagnetik dengan


zat kimia. Dengan mengetahui interaksi yang terjadi, dikembangkan teknik-teknik analisis kimia
yang memanfaatkan sifat-sifat dariinteraksi tersebut. Tahapan-tahapan dalam analisis
spektrofotometri secara garis besar menurut Setyowati (2009) adalah

a. Pembentukan molekul yang dapat menyerap sinar UV-VIS.

b. Waktu operasional (Operating Time)

c. Pemilihan panjang gelombang

d. Pembuatan kurva baku

e. Pembacaan absorbansi sampel atau cuplikan

2.6.2 Spektrofotometer UV-Vis

Salah satu contoh instrumentasi analisis yang lebih kompleks adalah spektrofotometer UV-Vis.
Alat ini banyak bermanfaat untuk penentuan konsentrasi senyawa-senyawa yang dapat
menyerap radiasi pada daerah ultraviolet (200 400 nm) atau daerah sinar tampak (400 800
nm) (Sastrohamidjojo 1991 dalam Thahir 2008). Analisis ini dapat digunakan yakni dengan
penentuan absorbansi dari larutan sampel yang diukur.

Spektrofotometer UV-Visibel adalah alat yang biasanya digunakan untuk analisa kimia
kuantitatif, namun adapat juga digunakan untuk analisa kimia semi kualitatif. Prinsip kerja
spektrofotometer UV-Vis didasarkan pada fenomena penyerapan sinar oleh spesi kimia tertentu
di daerah ultra lembayung (ultraviolet) dan sinar tampak (visible). Meskipun tuidak sepeka
analisa dengan menggunakan teknologiu nuklir, analisa dengan spektrofotometri sinar tampak
(colourimetry) memiliki kepekaan yang cukup tinggi dan relatif mudah dilakukan. Analisa
dengan cara ini digunakan secara meluas untuk menganalisa sampel dalam berbagai spesi, baik
ion maupun senyawaan (Huda 2001).
Menurut Huda (2010), analisa suatu spektrofotometri sinar tampak biasanya meliputi empat
tahap pengerjaan, yaitu :

1. Pembentukan molekul yang dapat menyerap sinar di daerah sinar tampak (pewarnaan)

2. Pemiloihan panjang gelombang

3. Pembuatan kurva kalibrasi

4. Pengukuran absorban cuplikan.

2.6.3 Spektrofotometer Serapan Atom

Metode spektrofotometer serapan Ataom sangat tepat untuk menganalisis zat pada konsentrasi
rendah. Teknik ini mempunyaio beberapa kelebihan dibandingkan dengan metode konvensional
spektroskopi emisi konvensional. Pada metode konvensional emisi tergantung pada sumber
eksitasi, bila eksitasi dilakukan secara termal maka ia akan tergantung pada temepratur sumber.
Metode serapan atom hanya tergantung pada perbandingan banyaknya atom yang tereksitasi
terhadap atom yang berada pada tingkat dasar harusncukup besar dan tidak tergantung pada
temperature (Cahyadi 2009).

Prinsip dasar spektrofotometri serapan atom adalah didasarkan pada penyerapan energy radiasi
oleh atom-atom netral pada keadaan dasar dengan panjang gelombang tertentu yang
menyebabkan tereksitasinya dalam berbagai tingkat energy. Keadaan eksitasi ini tidak stabil dan
kembali ke tingkat dasar dengan melepaskan sebagian atau seluruh eksitasinya dalam bentuk
radiasi. Sumber radiasi tersebut dikenal sebagai lampu katoda berongga (Cahyadi 2009).

2.7 Heksana

Heksana adalah sebuah senyawa hidrokarbon alkana dengan rumus kimia C6H14 dengan titk
didihnya 69 C. Pelarut heksana merupakan pelarut non polar, sehingga ekstraksi menggunakan
pelarut heksana. Diharapkan yang terekstrak senyawa-senyawa yang mempunyai kepolaran
yang rendah, sehingga diperoleh fraksi-fraksi ekstrak (Handayani dkk 2009). Struktur heksana
sendiri dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Struktur heksana

Sumber : Ophardt 2003

2.8 Ekstraksi

Pemilihan pelarut untuk proses ekstraksi tergantung dari sifat komponen yang akan diekstrak.
Salah satu sifat yang penting adalah polaritas suatu senyawa. Derajat polaritas tergantung pada
besarnya tetapan dielektrik, semakin besar tetapan dilektrik maka sifat pelarut akan semakin
polar (Houghton dan Rahman 1998 dalam iirc ipb).
Hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah selektivitas pelarut. Ketaren 1987
dalam iirc IPB menyatakan bahwa jenis dan mutu pelarut yang digunakan sangat menentukan
keberhasilan proses ekstraksi. Pelarut yang digunakan harus memenuhi persyaratanyakni harus
dapat melarutkan zat yang diinginkan, mempunyai titik didih yang cukup rendah dan seragam,
murah, tidak toksik, dan tidak mudah terbakar (iirc ipb).

Prinsip ekstraksi suatu komponen dengan menggunakan pelarut adalah dengan sistem
kepolarannya. Senyawa polar akan larut dalam pelarut polar, demikian juga senyawa nonpolar
akan larut dalam senyawa nonpolar. Pelarut yang baik adalah pelarut yang mampu mengekstraksi
komponen yang diinginkan dalam jumlah besar dan dan melarutkan sesedikit mungkin
komponen lain yang tidak diinginkan.

Metode ekstraksi tergantung pada polaritas senyawa yang yang akan diekstrak. Suatu senyawa
menunjukkan kelarutan yang berbeda dalam pelarut yang berbeda dimana hasil ekstraksi akan
akan tergantung pada kandungan komponen pada sampel dan jenis pelarut yang dipakai. Prinsip
kelarutan yang dipakai dalam metode ekstraksi ini adalah like dissolve like artinya pelarut polar
akan melarutkan senyawa polar dan pelarut nonpolar akan melarutkan senyawa nonpolar
(Khopkar 1990 dalam iirc ipb).

Proses ekstraksi yang umum digunakan ada tiga macam yakni maserasi, refluks, dan perkolasi.
Prinsip refluks mirip dengan soxhlet karena menggunakan sistem pemanasan dan suhu tertentu.
Ekstraksi dapat dilakukan menggunakan pelarut nonpolar (heksana, sikloheksana, dan toluen),
pelarut semi polar (kloroform, diklorometana, dietil eter, dan etil asetat) dan pelarut polar
(metanol, etanol, air). Ekstraksi dapat dilakukan secara bertahap menggunakan satu jenis pelarut
atau kombinasi beberapa pelarut (Houghton dan Rahman 1998 dalam iirc ipb).

Secara umum ekstraksi bertingkat dilakukan berturut-turut dimulai dengan pelarut nonpolar lalu
dengan pelarut yang kepolarannya menengah (semi polar). Setelah itu, ekstraksi dilakukan
degan dengan pelarut polar. Perlakuan ini akan menghasilkan ekstrak awal (crude extract) yang
berturut-turut mengandung senyawa nonpolar, semi polar, dan polar.

3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Pratikum identifikasi formalin pada produk dilaksanakan pada hari Jumat 1 Oktober 2010.
Pratikum ini dilakukan di Laboratorium Biokimia Hasil perairan, Departemen Teknologi Hasil
Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

3.2.1 Pembuatan larutan standar


Bahan-bahan yang digunakan pada pembuatan larutan standar ini terdiri dari larutan standar
10.000 ppm, akuades, dan asam kromatopat.

Alat-alat yang digunakan pada pembuatan larutan standar antara lain spektometer, tabung reaksi,
dan labu takar.

3.2.2 Prosedur Larutan Uji

Bahan-bahan yang digunakan pada pembuatan larutan standar ini terdiri dari larutan standar
10.000 ppm, akuades, dan asam kromatopat.

Alat-alat yang digunakan pada pembuatan larutan standar antara lain spektometer, tabung reaksi,
dan labu takar.

3.3 Prosedur Kerja

3.3.1 Pembuatan Larutan Standar

Pembuatan larutan standar menggunakan pengenceran dari larutan formaldehid 10.000 ppm
menjadi 10 ppm dengan cara formaldehid 10.000 ppm sebanyak 0,25 ml ditambahkan akuades
250 ml. larutan formaldehid 10 ppm diencerkan sebagai larutan standar dengan konsentrasi
0,1,2,3,4,5,6 ppm. Sebanyak 1 ml larutan formaldehid dimasukkan ke tabung reaksi dan
ditambahkan 5 ml asam kromatopat. Larutan dipanaskan selama 30 menit dan diukur panjang
gelombang menggunakan spektrometer. Prosedur kerja pembuatan standar dapat dilihat pada
Gambar 8.

Gambar 8. Diagram Alir Pembuatan Larutan Standar

3.3.2 Pengujian Sampel

Ikan tongkol (Auxis sp.) dicacah hingga halus, kemudian ditimbang hingga bobotnya 25 g. Ikan
tongkol yang halus dimasukkan ke erlenmeyer kemudian ditambahkan akuades 200 ml dan
kocok hingga merata. kemudian dituangkan ke labu ukur 250 ml dan ditambahkan akuades
dengan suhu 100 C. Larutan difiltrasi dan filtrat ditampung di erlenmeyer. Sebanyak 1 ml filtrat
dimasukkan ke tabung reaksi kemudian ditambahkan asam kromatopat dan dibiarkan selama 20
menit. Setelah 20 menit kemudian diukur panjang gelombang larutan standar. Prosedur kerja
pengujian sampel dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Diagram Alir Prosedur Larutan Uji

5. KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan

Formalin merupakan zat yang bersifat karsinogenik atau bisa menyebabkan kanker. Campuran
asam kromatofat, asam fosfat, dan hidrogen peroksida dapat mempercepat reaksi penentuan
formalin suatu bahan yang berformalin. Formalin yang bereaksi dengan asam kromatofat akan
menghasilkan senyawa kompleks yang berwarna merah keunguan. Semua sampel yang
digunakan dalam praktikum menunjukkan hasil reaksi yang positif (berwarna ungu). Kandungan
formalin terbanyak terdapat pada ikan tongkol 1 dengan nilai absorbansi 0,691 sedangkan
kandungan formalin terendah terdapat pada ikan tongkol 2 dengan nilai absorbansi
0,185.

5.2 Saran

Saran yang dapat dikemukakan untuk perbaikan praktikum ini sebaiknya setiap kelompok
memperoleh sampel yang berbeda agar hasil yang diperoleh lebih bervariasi. Selain itu, semua
praktikan sebaiknya dapat melakukan pengukuran nilai absorbansi dari sampel yang telah
tersedia.

You might also like