You are on page 1of 55

BUKU KEGIATAN

SERAPAN DAN EMISI KARBON

DIREKTORAT INVENTARISASI DAN PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN


DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN DAN TATA LINGKUNGAN
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
2015
Penasehat
Dr. Ir. Ruandha Agung Sugardiman, M.Sc.,
(Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan)

Editor
Dr. Ir. Ruandha Agung Sugardiman, M.Sc.
Dr. Riva Rovani, S.Hut., M.Agr.

Penulis
Anna Tosiani, S.Si.,M.Sc.

Tim Pendukung Teknis


Ir. Triastuti Nugraheni, M.Si.
Ahmad Basyirudin Usman, S.Si.
Staf Sub Direktorat Pemantauan Sumber Daya Hutan

All right reserved published in 2015


KATA PENGANTAR

Perubahan iklim terjadi berkaitan dengan adanya perubahan komposisi


atmosfer, terutama karena adanya peningkatan konsentrasi gas rumah kaca
(GRK). Sekitar 20% dari peningkatan GRK disebabkan oleh pelepasan CO2
yang telah tersimpan selama ratusan hingga ribuan tahun sebagai biomassa
di atas permukaan tanah dan di dalam tanah gambut. Aktivitas
pembangunan yang cukup tinggi di Indonesia telah menempatkan
Indonesia sebagai salah satu emitter ketiga di dunia, terutama emisi yang
berasal dari deforestasi dan degradasi hutan serta lahan gambut.
Dalam rangka mendukung implementasi mekanisme pengurangan emisi dari
deforestasi dan degradasi hutan diperlukan baseline data untuk mengurangi
emisi dan meningkatkan serapan dari kawasan hutan Indonesia.
Pemahaman tentang perubahan iklim, Reducing Emission from
Deforestation and Forest Degradation (REDD), Reference Emission Level
/Reference Level (REL/RL), MRV, penggunaan teknologi penginderaan jauh
untuk pemantauan sumber daya hutan, penghitungan deforestasi dan
degradasi hutan, serta penghitungan emisi dan serapan karbon pada sektor
kehutanan sangat penting dalam kerangka mitigasi perubahan iklim di
Indonesia.
Buku Kegiatan Serapan dan Emisi Karbon disusun untuk menyajikan
kondisi cadangan, serapan dan emisi karbon dari perubahan penutupan
lahan Indonesia. Buku ini diharapkan dapat dimanfaatkan di lingkungan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan pihak terkait lainnya.
Kami menyampaikan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan buku ini.

Jakarta, Desember 2015


Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR TABEL iv
DAFTAR GAMBAR v
DAFTAR ISTILAH vii
I PENDAHULUAN 1
II DATA AKTIVITAS 4
III FAKTOR EMISI 6
IV METODOLOGI 10
4.1. Metode Penghitungan Perubahan Cadangan Karbon
(Stock Difference) 11
4.2. Metode Penghitungan Peningkatan dan Penurunan
Cadangan Karbon (Gain and Loss) 12
4.3. Penghitungan Cadangan Karbon (Stock Carbon) 14
4.4. Penghitungan Emisi dan Serapan Karbon 15
4.5. Pembuatan Peta Cadangan Karbon 20
V HASIL PERHITUNGAN 21
5.1. Cadangan Karbon 22
5.2. Emisi dan Serapan Karbon Pada Skala Nasional 25
5.3. Emisi dan Serapan Karbon Pada Skala Sub Nasional 27
5.4. Cadangan Karbon Berdasarkan Fungsi Kawasan Hutan 29
5.5. Ketidakpastian (Uncertainty) 41

DAFTAR PUSTAKA 44
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Cadangan Karbon Per Hektar untuk 23 Tipe


Penutupan Lahan Skala Nasional 8
Tabel 3.2. Cadangan Karbon Per Hektar untuk 7 Tipe Penutupan
Lahan Hutan Skala Regional (Pulau) 9
Tabel 4.1. Matriks Perubahan Penutupan Lahan Wilayah
Indonesia Tahun 2013-2014 16
Tabel 4.2. Matriks Emisi Bersih (Nett Emission) Tahun 2013-2014
Skala Nasional dari karbon di Atas Permukaan (Mt
CO2-eq/tahun) 19
Tabel 5.1. Luas Penutupan Lahan Tahun 2009-2014 23
Tabel 5.2. Cadangan Karbon Per Fungsi Kawasan Hutan
Berdasarkan Data Penutupan Lahan Tahun 2014 31
DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1. Kelompok (Pools) Penyimpanan Karbon 2014 7


Gambar 4.1. Perbandingan Metode Stock-Difference dan Gain-
Loss (Mudiyarso dkk, 2008) 14
Gambar 4.2. Deskripsi Penghitungan Cadangan Karbon 14
Gambar 4.3. Diagram Alir Tahapan Penghitungan Cadangan
Karbon Berdasarkan Fungsi Kawasan Hutan 16
Gambar 4.4. Diagram Penghitungan Serapan Karbon 17
Gambar 4.5. Diagram Penghitungan Emisi Karbon 18
Gambar 5.1. Grafik Cadangan Karbon Indonesia Tahun 2009-
2014 22
Gambar 5.2. Grafik Perbandingan Cadangan Karbon 7 Pulau
Besar Tahun 2009-2014 22
Gambar 5.3. Cadangan Karbon Berdasarkan Tipe Penutupan
Lahan Tahun 2009-2014 24
Gambar 5.4. Grafik Perbandingan Emisi Karbon dan Laju
Deforestasi Tahun 2009-2014 25
Gambar 5.5. Grafik Perbandingan Emisi dan Serapan Karbon
Tahun 2009-2014 26
Gambar 5.6. Grafik Perbandingan Emisi dan Serapan Karbon
Pulau Sumatera Tahun 2009-2014 28
Gambar 5.7. Grafik Perbandingan Emisi dan Serapan Karbon
Pulau Kalimantan Tahun 2009-2014 28
Gambar 5.8. Grafik Perbandingan Emisi dan Serapan Karbon
Pulau Jawa Tahun 2009-2014 28

.
28

Gambar 5.11.
28
Gambar 5.9. Grafik Perbandingan Emisi dan Serapan Karbon
Pulau Bali-Nusa Tenggara Tahun 2009-2014 28
Gambar 5.10. Grafik Perbandingan Emisi dan Serapan Karbon
Pulau Sulawesi Tahun 2009-2014 29
Gambar 5.11. Grafik Perbandingan Emisi dan Serapan Karbon
Pulau Maluku Tahun 2009-2014 29
Gambar 5.12. Grafik Perbandingan Emisi dan Serapan Karbon
Pulau Papua Tahun 2009-2014 29
Gambar 5.13. Grafik Cadangan Karbon Per Fungsi Kawasan
Hutan Tahun 2014 30
Gambar 5.14. Peta Cadangan Karbon Indonesia Tahun 2014 33
Gambar 5.15. Peta Cadangan Karbon Pulau Sumatera Tahun
2014 34
Gambar 5.16. Peta Cadangan Karbon Pulau Kalimantan Tahun 35
2014
Gambar 5.17. Peta Cadangan Karbon Pulau Jawa Tahun 2014 36
Gambar 5.18. Peta Cadangan Karbon Pulau Bali-Nusa Tenggara
Tahun 2014 37
Gambar 5.19. Peta Cadangan Karbon Pulau Sulawesi Tahun 2014 38
Gambar 5.20. Peta Cadangan Karbon Pulau Maluku Tahun 2014 39
Gambar 5.21. Peta Cadangan Karbon Pulau Papua Tahun 2014 40
DAFTAR ISTILAH

APL Area untuk Penggunaan Lain disebut juga Kawasan Budidaya Non Kehutanan
(KBNK). APL ini bisa masih berhutan dan bisa sudah tidak berhutan.
BCEF (Biomass Conversion and Expansion Factor) Faktor yang digunakan
untuk menggandakan biomassa batang per satuan luas suatu tegakan (
volume*berat jenis kayu) ke biomassa tegakan bagian atas.
Biomassa (Biomass) - Masa (berat) dari organisme yang hidup yang terdiri atas
tumbuhan dan hewan yang terdapat pada suatu areal. Satuannya adalah ton/ha.
Untuk buku ini, biomassa adalah berat kering tumbuhan dalam satu satuan luas.
Biomassa di atas permukaan tanah (Above Ground Biomass) - Masa
tumbuhan yang terdapat di atas permukaan tanah yang terdiri atas pohon, dahan,
ranting, dan daun tumbuhan.
Cadangan Karbon (Carbon Stock) Besaran karbon yang terakumulasi dalam
tampungan karbon (carbon pools) di darat dan laut dalam jangka waktu tertentu.
Data Aktivitas (Activity Data) Besaran kuantitatif kegiatan atau aktivitas
manusia yang dapat melepaskan dan/atau menyerap GRK.
Deforestasi Perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak
berhutan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia (Permenhut 30/2009).
Ekivalen Karbon Dioksida (Carbon Dioxide Equivalent/CO2eq) - Suatu
ukuran yang digunakan untuk membandingkan daya pemanasan global (global
warming potential, GWP) gas rumah kaca tertentu relatif terhadap daya pemanasan
global gas CO2.
Emisi (Emissions) - Proses terbebasnya gas rumah kaca ke atmosfir, melalui
dekomposisi bahan organik oleh mikroba yang menghasilkan gas CO2 atau CH4,
proses terbakarnya bahan organik menghasilkan gas CO2 dan proses nitrifikasi dan
denitrifikasi yang menghasilkan gas N2O.
Faktor Emisi (Emission Factor) Besaran emisi GRK yang dilepaskan ke
atmosfer per satuan aktivitas tertentu.
Faktor Serapan (Sequestration Factor) Besaran GRK di atmosfer yang
diserap per satuan aktivitas tertentu.
Gas Rumah Kaca (GRK) Gas yang terkandung dalam atmosfer, baik alami
maupun antropogenik, yang menyerap dan memancarkan kembali radiasi
inframerah.
Gt (Giga tonnes = 109 ton) Unit yang sering digunakan untuk menyatakan
jumlah karbon atau karbon dioksida di atmosfer.
Hutan Konservasi Kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai
fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya.
Hutan Lindung Kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah
banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan
tanah.
Hutan Produksi Kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi
hasil hutan.
IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) Suatu Panel ilmiah
yang didirikan pada tahun 1988 oleh pemerintah anggota Konvensi Perubahan Iklim
yang terdiri dari para ilmuwan dari seluruh dunia untuk melakukan kajian terhadap
perubahan iklim, menerbitkan laporan khusus tentang berbagai topik yang relevan
dengan implementasi Kerangka Konvensi PP untuk Perubahan Iklim.
Karbon (Carbon) - Unsur kimia bukan logam dengan simbol atom C yang banyak
terdapat di dalam semua bahan organik dan di dalam bahan anorganik tertentu.
Unsur ini mempunyai nomor atom 6 dan berat atom 12 g.
Laporan Komunikasi Nasional Perubahan Iklim (National Communication)
Laporan yang disusun oleh Pemerintah Indonesia sebagai kewajiban Negara Pihak
yang meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (United
Nations Framework Convention on Climate Change).
MAI (Mean Annual Increment) Pertumbuhan tahunan tanaman yang mengacu
pada rata-rata pertumbuhan per tahun pohon atau tegakan yang telah
memperlihatkan umur tertentu.
Mt (Million tones = 106 ton) Unit yang sering digunakan untuk menyatakan
jumlah karbon atau karbon dioksida di atmosfer.
NFI (National Forest Inventory) Inventarisasi hutan di tingkat nasional.
Penyerapan Karbon (Carbon Sequestration) - Proses penyerapan karbon dari
atmosfir ke penyimpan karbon tertentu seperti tanah dan tumbuhan. Proses utama
penyerapan karbon adalah fotosintesis.
Penyimpan Karbon (Carbon Pool) - Subsistem yang mempunyai kemampuan
menyimpan dan atau membebaskan karbon. Contoh penyimpan karbon adalah
biomassa tumbuhan, tumbuhan yang mati, tanah, air laut, dan atmosfir.
PSP (Permanent Sample Plot) Plot yang terletak di tengah klaster plot seluas
1 Ha yang dibagi ke dalam 16 Record Unit (RU) berukuran 25 m x 25 m, di tengah-
tengahnya diletakkan pusat RU sebagai pusat pengukuran.
RAN-GRK (Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca)
Dokumen rencana kerja untuk pelaksanaan berbagai kegiatan yang secara langsung
dan tidak langsung menurunkan emisi gas rumah kaca sesuai dengan target
pembangunan nasional, yang meliputi sektor kehutanan dan lahan gambut,
pertanian, limbah, industri, transportasi, dan energi.

REDD (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation)


Sebuah mekanisme untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan cara
memberikan kompensasi kepada pihak-pihak yang melakukan pencegahan
deforestasi dan degradasi hutan. REDD+ merupakan kerangka REDD yang lebih luas
dengan memasukkan konservasi hutan, pengelolaan hutan lestari, dan peningkatan
cadangan karbon.

Riap Pertumbuhan dimensi pohon (diameter dan tinggi) hingga masak batang.

Uncertainty (Ketidakpastian) Derajat kurangnya pengetahuan tentang nilai


sebenarnya dari variable yang digambarkan sebagai fungsi kepadatan probabilitas
termasuk bias dan kesalahan random.
BAB I
PENDAHULUAN
Perubahan iklim saat ini telah menjadi salah satu tema penting dalam
pembangunan kehutanan dan lingkungan hidup, baik di tingkat internasional
maupun di tingkat nasional. Hal ini wajar karena perubahan iklim
mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia. Perubahan iklim diyakini
sebagai akibat dari meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di permukaan
bumi sehingga menimbulkan pemanasan global yang pada gilirannya membuat
perilaku iklim berubah dari keadaan normalnya. Laporan Fourth Assessment of
IPCC (2007) juga menyebutkan kenaikan konsentrasi gas rumah kaca sebesar
70% dari tahun 1974-2005. Dalam laporan tersebut juga disebutkan bahwa
sektor kehutanan dunia dianggap memegang peran yang cukup signifikan
dalam emisi gas karbon dioksida karena menyumbang tidak kurang dari 17,4 %
dari total emisi di muka bumi ini.

Untuk dapat menentukan kebijakan dalam rangka mengantisipasi dampak


perubahan iklim maka perlu diketahui seberapa besar sebenarnya emisi gas
rumah kaca yang terjadi di Indonesia. Dengan mengetahui tingkat emisi yang
telah terjadi inilah selanjutnya dapat ditentukan kebijakan yang akan diambil
dalam kegiatan pembangunan sehingga pada satu sisi dapat tetap memenuhi
kebutuhan hidup manusia namun pada sisi lainnya dapat seoptimal mungkin
mengurangi dampak perubahan iklim.

Pada pertemuan G-20 di Pittsburgh tahun 2008, Pemerintah berkomitmen


untuk menurunkan emisi sebesar 26% dengan usaha sendiri dan 41% dengan
bantuan internasional pada tahun 2020. Komitmen pemerintah ini
ditindaklanjuti dengan Peraturan Presiden No. 61 tahun 2011 tentang Rencana
Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) dan Peraturan
Presiden No. 71 tahun 2011 tentang Inventarisasi Gas Rumah Kaca.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan adalah salah satu


Kementerian/Lembaga yang mempunyai tanggung jawab menyusun laporan
inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) dari sektor kehutanan. Pada Second
National Communication (2010), sektor kehutanan dan lahan gambut
menyumbang emisi 60% dari emisi nasional. Untuk mengetahui seberapa
besar penurunan emisi yang sudah dilakukan dari sektor kehutanan, perlu
dilakukan penghitungan laju emisi dan serapan karbonnya. Kegiatan
penghitungan emisi dan serapan karbon merupakan bagian dari inventarisasi
GRK yang memerlukan data aktivitas (activity data) dan faktor emisi (emission
factor).

Buku ini khusus membahas hasil penghitungan cadangan, emisi dan serapan
karbon tahun 2009-2014 skala nasional dan sub nasional (7 pulau besar), yang
meliputi Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara,
Maluku dan Papua. Penghitungan dilakukan berdasarkan perubahan
penutupan lahan pada 23 kelas penutupan lahan yang dibuat oleh Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Bahasan utama dalam buku ini adalah data aktivitas, faktor emisi/serapan,
metode penghitungan cadangan, emisi dan serapan karbon, dan hasil
penghitungannya serta ketidakpastian (uncertainty) dalam penghitungan ini.
BAB II
DATA AKTIVITAS
Data aktivitas (activity data) adalah data tentang besaran kuantitatif kegiatan
atau aktivitas manusia yang dapat melepaskan dan/atau menyerap gas rumah
kaca (GRK) pada periode waktu tertentu. Data ini menginformasikan kondisi
penutupan lahan yang umumnya diperoleh melalui data citra satelit.

Data aktivitas digunakan untuk mengestimasi besarnya nilai karbon suatu


wilayah (region). Penghitungan emisi pada buku ini menggunakan data
aktivitas berupa penutupan lahan dan perubahannya yang merupakan luas
suatu penutupan lahan yang dalam periode analisis tidak mengalami perubahan
atau penutupan lahan yang mengalami perubahan dari suatu kelas menjadi
kelas penutupan lahan lainnya.

Data penutupan lahan dan perubahannya disajikan dalam bentuk matriks


perubahan penutupan lahan.

Data aktivitas yang digunakan untuk penghitungan cadangan, emisi, dan


serapan karbon terdiri atas :

1. Data spasial penutupan lahan 23 kelas tahun 2009, 2011, 2012, 2013, dan
2014 yang dibuat oleh KLHK.

2. Data spasial kawasan hutan versi April 2015.


BAB III
FAKTOR EMISI
Faktor emisi/faktor serapan untuk perubahan penutupan lahan adalah
perbedaan jumlah cadangan karbon akibat perubahan suatu tipe penutupan
lahan tertentu menjadi penutupan lahan lain. Faktor emisi tersebut diperoleh
dengan menggunakan data acuan (default) cadangan karbon dari semua tipe
penutupan lahan. Angka acuan yang mewakili (representative) setiap tipe
penutupan lahan dibangun berdasarkan hasil penelitian atau inventarisasi
nasional di berbagai lokasi yang kemudian dirata-ratakan.

Cadangan karbon yang dihitung dalam buku ini adalah karbon di atas
permukaan (Above Ground Carbon).

(Sumber dari Watson C, 2009)

Gambar 3.1. Kelompok (9)Pools) Penyimpanan Karbon

Angka faktor emisi/faktor serapan yang digunakan di buku ini merupakan


angka cadangan karbon per penutupan lahan (22 kelas). Cadangan karbon di
atas permukaan tanah untuk tipe penutupan lahan hutan lahan kering dan
hutan rawa diperoleh dari hasil analisa data inventarisasi hutan hasil
pengukuran Permanent Sample Plot (PSP) pada periode 1996-2013 sebanyak
4.450 pengukuran di seluruh Indonesia. Untuk cadangan karbon kelas
penutupan lahan hutan mangrove dan hutan tanaman di atas permukaan tanah
menggunakan data hasil penelitian Badan Litbang Kehutanan.
Semua angka cadangan karbon tersebut diperoleh dengan menggunakan
konversi stok (Biomass Conversion and Expansion Factors/BCEF) sebesar 1,67
(IPCC, 2006). Nilai konversi dari biomassa ke karbon digunakan 0,50
sedangkan nilai konversi dari karbon ke CO2-eq digunakan 3,67. Kandungan
karbon pada penutupan lahan selain hutan diperoleh dari sumber-sumber data
sekunder seperti jurnal hasil penelitian dan sumber lainnya.

Cadangan karbon untuk setiap tipe penutupan lahan skala nasional disajikan
pada tabel 3.1. Untuk cadangan karbon kelas penutupan berhutan skala sub
nasional disajikan pada tabel 3.2.

Tabel 3.1. Cadangan Karbon Per Hektar Untuk 23 Tipe Penutupan Lahan Skala
Nasional
Tabel 3.2. Cadangan Karbon Per Hektar Untuk 7 Tipe Penutupan Lahan Hutan
Skala Regional (Pulau)

Sumber : *) Direktorat IPSDH (Hasil Pengukuran NFI 1996-2013), 2014


**) Badan Litbang Kehutanan, 2014

Penentuan faktor serapan karbon untuk semua perubahan penutupan lahan


diperoleh dari selisih angka kandungan karbon dari masing-masing penutupan
lahan yang berubah, dari tipe penutupan lahan dengan kandungan karbon
rendah ke tipe penutupan lahan dengan kandungan karbon tinggi, misalnya
semak belukar menjadi hutan sekunder. Penghitungan untuk serapan karbon
ini tidak memperhitungkan pertumbuhan riap pada penutupan lahan kelas
hutan sekunder dan hutan tanaman yang tetap pada tahun 2009-2014.
BAB IV
METODOLOGI
Penghitungan cadangan, serapan dan emisi karbon dilakukan dengan
menggunakan analisa spasial data aktivitas dan data cadangan karbon/faktor
emisi/faktor serapan untuk tiap tipe penutupan lahan. Perhitungan emisi gas
rumah kaca ini dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu (i) perubahan
cadangan karbon (stock difference) dan (ii) perhitungan peningkatan dan
penurunan cadangan karbon (gain and loss).

4.1. Metode Penghitungan Perubahan Cadangan Karbon (Stock


Difference)

Metode stock-difference merupakan metode untuk menghitung stok


karbon yang didasarkan pada stock-based approach, yaitu estimasi stok
karbon pada setiap pool karbon dengan mengukur stok aktual biomassa
pada periode awal dan akhir penghitungan. Metode ini cocok digunakan
pada negara-negara yang mempunyai sistem inventarisasi nasional untuk
hutan dan penggunaan lahan yang lain, di mana stok biomass setiap pool
dapat diukur secara periodik. Metode stock-difference menggunakan
persamaan sebagai berikut :

C = (Ct2 Ct1)/(t2 t1)


di mana :
C = perubahan stok karbon tahunan pada setiap
pool (tC/tahun)
Ct1 = stok karbon setiap pool di awal (tC)
Ct2 = stok karbon setiap pool di akhir (tC)

Metode ini memperkirakan perbedaan cadangan karbon pada suatu


selang waktu tertentu, misalnya satu siklus hutan tanaman. Lahan yang
penutupan lahannya tidak berubah dalam periode waktu tertentu,
diasumsi tidak mengemisi atau menyerap karbon (emisi dan serapan nol).
Untuk lahan yang mengalami perubahan penutupan lahan akan
mengemisikan/menyerap karbon sejumlah karbon yang dikandung oleh
tutupan lahan awal dikurangi dengan cadangan karbon tutupan lahan
berikutnya.

Untuk sistem dengan suatu siklus pertumbuhan teratur, cadangan karbon


yang digunakan adalah cadangan karbon rata-rata waktu (time average
carbon stock).

Jika penutupan lahan awal adalah hutan sekunder dengan cadangan


karbon 132,99 t/ha mengalami perubahan menjadi semak belukar
dengan cadangan karbon rata-rata 30 t/ha, maka perubahan tutupan
lahan tersebut mengemisikan karbon sebanyak (132,9-30) t/ha = 102,9
ton C/ha atau 377,6 ton CO2-eq/ha.

4.2. Metode Penghitungan Peningkatan dan Penurunan Cadangan


Karbon (Gain and Loss)

Metode Gain-Loss digunakan untuk menghitung perubahan stok karbon


tahunan pada setiap pool karbon yang berdasarkan pada process-based
approach, yaitu estimasi dengan mendasarkan pada angka penambahan
dan pengurangan stok karbon. Metode ini dapat diaplikasikan untuk
semua penambahan dan pengurangan stok karbon. Penambahan (gains)
dan pengurangan/kehilangan (losses) dari cadangan C diinventarisasi dan
diperhitungkan setiap tahun sehingga didapatkan riap tahunan (Mean
Annual Increment/MAI) dikurangi kehilangan C dari berbagai aktifitas
seperti penebangan, penjarangan, pengambilan kayu bakar, kebakaran
hutan dan lain-lain (IPCC 2006). Metode gain-loss menggunakan
persamaan sebagai berikut :

C = CG CL
di mana :
C = perubahan stok karbon tahunan pada setiap

pool (tC/tahun)
CG = penambahan karbon tahunan (tC/tahun)

CL = penurunan karbon tahunan (tC/tahun)

Berbagai kendala dalam penerapan metode gain and loss antara lain :

1. Data riap C berbagai jenis penutupan lahan sulit didihitung


(Bappenas, 2014), mengingat dalam pengelolaan hutan kita tidak
mengetahui secara tepat berapa sebenarnya riap pohonnya,
sehingga lebih sering digunakan angka asumsi untuk
penghitungannya.

2. Tidak ada informasi sampai berapa tahun angka riap dapat


dipertahankan.

3. Angka kehilangan cadangan karbon akibat kebakaran sulit


didapatkan, karena angka ini sangat bervariasi tergantung musim
dan iklim setempat.

4. Sistem gain and loss sangat sulit diterapkan pada skala provinsi dan
nasional. Sistem ini akan mudah diterapkan pada unit pengelolaan
dengan area yang tidak terlalu luas, sehingga pertumbuhan
pohon/tegakan lebih mudah dipantau dan diukur.

Berdasarkan uraian kedua metode di atas, penghitungan emisi karbon


pada buku ini menggunakan metode stock difference. Hal ini juga
disesuaikan dengan ketersediaan data yang digunakan untuk
penghitungan. Perubahan penutupan lahan dihitung berdasarkan
perbedaan cadangan karbonnya. Penutupan lahan tipe hutan lahan
kering, hutan mangrove dan hutan rawa primer diasumsikan sudah
mencapai klimaks, sehingga tidak terjadi penyerapan karbon, meskipun di
lapangan sebenarnya juga masih terjadi dinamika perubahan karbon
(pertumbuhan riap), namun jumlahnya tidak besar.
Gambar 4.1. Perbandingan Metode Stock-Difference dan Gain-Loss
(Murdiyarso dkk, 2008)

4.3. Penghitungan Cadangan Karbon (Stock Carbon)

Penghitungan cadangan karbon dilakukan dengan menghitung luas dari


masing-masing tipe penutupan lahan Indonesia pada tahun 2009-2014.
Luas setiap tipe penutupan lahan dikalikan dengan angka cadangan
karbonnya, kemudian dijumlah total cadangan karbon per tahun.

Gambar 4.2. Deskripsi Penghitungan Cadangan Karbon

Cadangan karbon juga dihitung berdasarkan luas penutupan lahan di


setiap fungsi kawasan hutan. Angka cadangan karbon ini dihitung dengan
analisa spasial menggunakan ArcGIS melalui tahapan seperti pada
gambar 4.3.
Gambar 4.3. Diagram Alir Tahapan Penghitungan Cadangan Karbon
Berdasarkan Fungsi Kawasan Hutan

4.4. Penghitungan Emisi dan Serapan Karbon

Penghitungan emisi dan serapan karbon menggunakan data penutupan


lahan tahun 2009-2014 yang telah ditumpangsusunkan (overlay) per dua
waktu perekaman, yaitu tahun 2009-2011, 2011-2012, 2012-2013, dan
2013-2014. Luas masing-masing penutupan lahan dan perubahannya
disajikan dalam bentuk matriks perubahan penutupan lahan 22 kelas
penutupan lahan, seperti pada tabel 4.1. Angka perubahan penutupan
lahan ini menunjukkan adanya peningkatan atau penurunan cadangan
karbon per hektar.
Penghitungan serapan karbon diperoleh perkalian antara luas kelas
penutupan lahan yang mengalami perubahan dari penutupan lahan yang
memiliki kandungan karbon per hektar yang rendah menjadi penutupan
lahan yang memiliki kandungan karbon per hektar yang lebih tinggi.
Luas perubahan penutupan lahan tersebut dikalikan dengan selisih
kandungan karbon per hektarnya. Secara singkat penghitungannya dapat
disajikan pada gambar 4.4.

Gambar 4.4. Diagram Penghitungan Serapan Karbon

Emisi karbon dihitung dengan aturan sebagai berikut:

1) Perubahan penutupan lahan berupa hutan menjadi non hutan


seperti belukar, lahan kosong, pertanian lahan kering dan lainnya
dihitung berdasarkan perbedaan cadangan karbonnya. Sebagai
contoh, hutan rawa sekunder menjadi belukar rawa adalah nilai
cadangan karbon hutan rawa sekunder dikurangi nilai cadangan
karbon belukar rawa dengan satuan ton/hektar.

2) Perubahan penutupan lahan non hutan yang memiliki cadangan


karbon lebih tinggi menjadi penutupan lahan yang memiliki
cadangan karbon lebih rendah seperti dari belukar menjadi lahan
kosong dihitung berdasarkan perbedaan cadangan karbonnya.
Misalnya belukar menjadi tanah kosong adalah nilai cadangan
karbon belukar dikurangi nilai cadangan karbon tanah kosong
dengan satuan ton/hektar.
3) Untuk menghitung total emisinya, emisi per hektar dikalikan dengan
luas perubahan yang terjadi, seperti disajikan pada gambar 4.5.

Gambar 4.5. Diagram Penghitungan Emisi Karbon

Buku ini juga menyajikan angka emisi bersih (nett emission) yang
dihitung berdasarkan selisih emisi karbon dan serapannya dengan
menggunakan matriks perubahan penutupan lahan, seperti disajikan
pada tabel 4.2.
4.5. Pembuatan Peta Cadangan Karbon

Peta cadangan karbon tahun 2014 dibuat melalui analisa spasial data
penutupan lahan dengan data cadangan karbon per penutupan lahan per
hektar. Peta ini dibuat dengan menggunakan fasilitas Geoprocessing pada
Software ArcGIS.
BAB V
HASIL PERHITUNGAN
Hasil perhitungan karbon pada buku ini adalah karbon di atas permukaan tanah
yang meliputi cadangan karbon, emisi dan serapan karbon untuk skala nasional
dan sub nasional (7 pulau besar). Hasil penghitungan disajikan dalam bentuk
tabel, grafik dan peta kandungan karbon. Pada bab V ini juga akan dibahas
tentang ketidakpastian (uncertainty) pada hasil perhitungannya.

5.1. Cadangan Karbon

Cadangan karbon yang dihitung dalam buku ini adalah dalam skala
nasional dan sub nasional (7 pulau besar) dengan menggunakan faktor
emisi nasional dan sub nasional.

Gambar 5.1. Grafik Cadangan Karbon Indonesia Tahun 2009-2014

DAFTAR PUSTAKA

Gambar 5.2. Grafik Perbandingan Cadangan Karbon 7 Pulau Besar Tahun 2009-
2014
Grafik cadangan karbon pada gambar 5.1 menunjukkan perubahan
cadangan karbon skala nasional dari tahun 2009 sampai dengan tahun
2014. Angka cadangan karbon ini dihitung dengan faktor emisi (cadangan
karbon per penutupan lahan) skala nasional. Gambar 5.2
menggambarkan perbandingan cadangan karbon pada 7 pulau besar
tahun 2009-2014 yang dihitung dengan menggunakan faktor emisi sub
nasional. Meskipun kedua gambar ini menunjukkan cadangan karbon
nasional, namun pola grafik perubahan cadangan karbon tahun 2009-
2014 berbeda. Hal ini disebabkan oleh perbedaan rata-rata cadangan
karbon per penutupan lahan yang digunakan untuk penghitungan,
khususnya untuk kelas berhutan pada skala nasional dan sub nasional.

Angka cadangan karbon untuk kelas berhutan pada skala nasional dan
sub nasional mempunyai rentang yang cukup panjang, sehingga dengan
luas penutupan lahan kelas hutan yang dominan seperti ditunjukkan pada
tabel 5.1., akan sangat berpengaruh terhadap perbedaan cadangan
karbon yang dihitung dengan angka faktor emisi yang berbeda.

Tabel 5.1. Luas Penutupan Lahan Tahun 2009-2014

Sumber : Hasil Penafsiran Citra Landsat 7 ETM+ dan Landsat 8 OLI Tahun 2009-2014
Gambar 5.3. menunjukkan cadangan karbon tertinggi terdapat pada tipe
penutupan lahan hutan lahan kering primer, yang diikuti dengan tipe
hutan lahan kering sekunder. Cadangan karbon pada periode tahun 2009-
2014 untuk tipe hutan lahan kering tersebut semakin menurun, seiring
dengan luas areanya yang juga berkurang, akibat deforestasi dan
degradasi hutan. Untuk tipe penutupan lahan non hutan yang mempunyai
cadangan karbon semakin meningkat dari tahun 2009-2014 adalah
perkebunan, semak belukar, dan pertanian lahan kering campur.

5.2. Emisi dan Serapan Karbon Pada Skala Nasional

Penurunan angka cadangan karbon di tingkat nasional berhubungan


dengan perubahan angka emisi tahun 2009-2014. Gambar 5.4
menunjukkan hubungan yang berbanding lurus antara emisi karbon
dengan laju deforestasi dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2014.
Dalam arti angka emisi karbon akan naik, jika angka deforestasi juga
naik.

Gambar 5.4. Grafik Perbandingan Emisi Karbon dan Laju Deforestasi Tahun
2009-2014
Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa pada periode tahun 2012-2013
angka emisi karbon sangat dipengaruhi oleh proses deforestasi
(perubahan tipe penutupan lahan berhutan menjadi non hutan). Untuk
emisi pada periode tahun 2009-2011 dan 2001-2012, deforestasi masih
berpengaruh terhadap kenaikan angka emisi. Namun pada periode tahun
2013-2014, selain deforestasi dan degradasi hutan, angka emisi karbon
juga dipengaruhi oleh perubahan penutupan lahan non hutan dengan
cadangan karbon tinggi menjadi penutupan lahan non hutan lainnya yang
mempunyai cadangan karbon lebih rendah.

Gambar 5.5. Grafik Perbandingan Emisi dan Serapan Karbon Tahun 2009-2014

Kecendurangan laju emisi karbon periode tahun 2009-2014 sebanding


dengan laju serapan karbonnya, seperti ditunjukkan pada gambar 5.4.
Emisi karbon yang cukup tinggi pada periode tahun 2012-2013
disebabkan oleh deforestasi yang merupakan perubahan dari penutupan
lahan tipe hutan lahan kering sekunder menjadi semak belukar,
perkebunan dan pertanian lahan kering campur, yang mencapai 50%
lebih. Untuk serapan karbon lebih banyak dihasilkan dari perubahan tipe
penutupan lahan dengan kandungan karbon rendah menjadi tipe
penutupan lahan lain yang mempunyai kandungan karbon tinggi, seperti
lahan terbuka menjadi perkebunan, semak belukar, dan pertanian lahan
kering campur. Ketiga tipe penutupan lahan tersebut mempunyai
cadangan karbon yang cukup tinggi.

Pada periode tahun 2012-2013 ini, reforestasi juga menghasilkan serapan


karbon yang cukup tinggi. Reforestasi terjadi dari lahan terbuka menjadi
hutan tanaman dan semak belukar.

5.3. Emisi dan Serapan Karbon Pada Skala Sub Nasional

Laju emisi dan serapan karbon tahun 2009-2014 di tingkat sub nasional
(7 pulau besar) sangat bervariasi, seperti yang ditunjukkan pada gambar
5.5 sampai dengan gambar 5.11. Secara umum emisi karbon di semua
pulau selalu lebih tinggi dibandingkan serapan karbonnya pada periode
tahun 2009-2014, kecuali periode tahun 2013-2014 di Pulau Kalimantan,
tahun 2011-2012 di Pulau Bali-Nusa Tenggara, dan tahun 2012-2013 di
Pulau Maluku.

Perbandingan antara angka serapan dan emisi karbon yang cukup


signifikan pada tahun 2012-2013 di Pulau Maluku disebabkan oleh
serapan karbon yang cukup tinggi dari perubahan tipe penutupan lahan
pertanian lahan kering menjadi pertanian lahan kering campur. Serapan
karbon dari perubahan penutupan lahan ini sebesar 70% dari total
serapan karbon yang terjadi pada periode tahun tersebut.

Angka serapan karbon yang lebih besar dibandingkan emisi di Pulau


Kalimantan tahun 2013-2014 disebabkan oleh serapan yang cukup tinggi
dari perubahan penutupan lahan lahan terbuka dan semak belukar
menjadi perkebunan. Untuk angka serapan yang tinggi di Pulau Bali-Nusa
Tenggara pada periode tahun 2011-2012 disebabkan oleh reforestasi dari
tipe penutupan lahan semak belukar menjadi tipe hutan lahan kering
sekunder dan perubahan penutupan lahan dari savanna (rumput)
menjadi semak belukar.

Gambar 5.6. Grafik Perbandingan Emisi Gambar 5.7. Grafik Perbandingan Emisi
dan Serapan Karbon Pulau Sumatera dan Serapan Karbon Pulau Kalimantan
Tahun 2009-2014 Tahun 2009-2014

Gambar 5.8. Grafik Perbandingan Emisi Gambar 5.9. Grafik Perbandingan Emisi
dan Serapan Karbon Pulau Jawa Tahun dan Serapan Karbon Pulau Bali-Nusa
2009-2014 Tenggara Tahun 2009-2014

Gambar 5.10. Grafik Perbandingan Emisi


dan Serapan Karbon Pulau Sulawesi Tahun Gambar 5.11. Grafik Perbandingan Emisi
2009-2014 dan Serapan Karbon Pulau Maluku Tahun
2009-2014

Keterangan:

Gambar 5.12. Grafik Perbandingan Emisi


dan Serapan Karbon Pulau Papua Tahun
2009-2014

5.4. Cadangan Karbon Berdasarkan Fungsi Kawasan Hutan


Pada buku ini juga dihitung cadangan karbon berdasarkan tipe penutupan
lahan di setiap fungsi kawasan hutan. Penghitungan cadangan karbon
hanya dilakukan pada penutupan lahan tahun 2014, dengan
pertimbangan data spasial kawasan hutan yang digunakan adalah data
tahun 2015, sedangkan setiap tahun ada perubahan (update) data
kawasan hutan di beberapa area.

Gambar 5.12 menunjukkan cadangan karbon tahun 2014 di setiap fungsi


kawasan hutan, yang dibedakan atas Areal Penggunaan Lain (APL),
Hutan Konservasi (HK), Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi (HP),
Tahura, dan Tubuh Air. Pada grafik tersebut dapat dilihat, bahwa hutan
produksi mempunyai cadangan karbon tertinggi yang diikuti cadangan
karbon di hutan lindung dan APL. Seperti diterangkan sebelumnya, angka
cadangan karbon ditentukan oleh luas tipe penutupan lahan dan angka
cadangan karbonnya.

Gambar 5.13. Grafik Cadangan Karbon Per Fungsi Kawasan Hutan Tahun 2014

Berdasarkan tabel matriks fungsi kawasan dengan data penutupan lahan,


kawasan hutan produksi didominasi dengan tipe penutupan lahan hutan
primer, hutan sekunder dan hutan tanaman. Di samping itu, tipe
penutupan lahan perkebunan dan semak belukar sebagian besar berada
di kawasan hutan produksi. Angka cadangan karbon kedua tipe
penutupan lahan tersebut juga cukup tinggi, sehingga memberikan angka
cadangan karbon pada kawasan hutan produksi sangat tinggi. Kawasan
hutan produksi ini meliputi hutan produksi, hutan produksi terbatas,
hutan produksi yang dapat dikonversi, hutan cadangan, dan hutan
pangonan.
Tipe penutupan lahan hutan lahan kering primer terluas berada di
kawasan hutan lindung. Kondisi ini menyebabkan angka cadangan karbon
di kawasan hutan lindung cukup tinggi, ditambah dengan luas hutan
lahan kering sekunder yang cukup luas.

Angka cadangan karbon di kawasan APL cukup tinggi dikarenakan


dominasi area pertanian lahan kering campur dan perkebunan yang
cukup luas. Cadangan karbon dari hutan lahan kering sekunder di
kawasan APL juga sangat besar. Data hasil penghitungan angka
cadangan karbon di setiap fungsi kawasan hutan berdasarkan data
penutupan lahannya secara detail disajikan pada tabel 5.2.

Data cadangan karbon berdasarkan data penutupan lahan per hektar


tahun 2014 juga disajikan dalam bentuk peta cadangan karbon skala
nasional dan sub nasional (Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, Pulau
Jawa, Pulau Bali-Nusa Tenggara, Pulau Sulawesi, Pulau Maluku, dan
Pulau Papua). Peta cadangan karbon disajikan pada gambar berikut.
5.5. Ketidakpastian (Uncertainty)
Estimasi uncertainty (ketidakpastian/tingkat kesalahan) merupakan
komponen penting dalam inventarisasi GRK yang terkait dengan akurasi
dan presisi estimasi. Uncertainty dapat terjadi pada estimasi tren dan
tingkat nasional seperti komponen faktor emisi, data aktivitas dan
parameter lainnya. Uncertainty tergantung pada dasar pengetahuan
analis dalam melaksanakan proses penghitungan, seperti kualitas dan
kuantitas data yang tersedia dan pengetahuan tentang prosesnya.

Identifikasi tentang sumber dan besarnya uncertainty dapat membantu


memahami pengaruh setiap parameter pada akurasi dan presisi dalam
estimasi REDD+ dan memprioritaskannya untuk perkembangan ke
depannya. Metode yang tepat dalam menangani uncertainty merupakan
hal yang mendasar dalam konteks IPCC dan UNFCCC.

Beberapa sumber uncertainty pada penghitungan cadangan karbon, emisi


dan serapan karbon pada buku ini diantaranya adalah :

1. Pada data penutupan lahan yang digunakan masih terdapat kelas


awan di tahun 2009 dan 2011. Hal ini disebabkan terbatasnya data
citra Landsat pada lokasi yang berawan, khususnya pada wilayah
yang mempunyai awan abadi seperti di Papua. Dalam kegiatan
inventarisasi GRK, obyek awan tidak dapat diperhitungkan nilai
cadangan karbonnya, karena obyek penutupan lahannya tidak
diketahui. Nilai cadangan karbon untuk kelas awan adalah nol,
sehingga tidak ada nilai cadangan karbonnya.

2. Data dasar (base) yang digunakan pada data penutupan lahan dan
data kawasan hutan berbeda, sehingga ada pergeseran obyek ketika
dilakukan proses analisa data. Hal ini berpengaruh pada luas data
penutupan lahan dan angka karbon yang dihasilkan, misalnya banyak
area penutupan lahan tipe hutan lahan kering primer yang berada di
kawasan hutan lindung bertampalan dengan tubuh air.

3. Masih ada perubahan penutupan lahan yang tidak logis pada data
penutupan lahan yang digunakan pada kegiatan penghitungan ini,
misalnya kelas lahan terbuka menjadi hutan lahan kering primer.

4. Faktor emisi yang digunakan untuk penghitungan pada data


penutupan lahan berhutan skala nasional dan sub nasional berbeda.
Rentang angka faktor emisi yang cukup besar antara data nasional
dan sub nasional akan berpengaruh besar terhadap hasil
penghitungan cadangan, emisi, dan serapan karbon.

5. Metode penghitungan yang digunakan merupakan metode umum,


yaitu perkalian antara data aktivitas (data penutupan lahan) dan
faktor emisi/faktor serapan (data cadangan karbon untuk 23 tipe
penutupan lahan) tanpa membedakan tanah mineral dengan tanah
gambut. Metode ini juga tidak memperhitungkan data aktivitas
lainnya, seperti data kebakaran, pertumbuhan riap tanaman,
dekomposisi gambut, iklim, intensitas gangguan hutan dan lain-lain.

Dari beberapa sumber penyebab uncertainty di atas, secara umum


uncertainty dapat dikurangi dengan beberapa cara sebagai berikut:

1. Peningkatan kualitas dan kesesuaian data satelit yang digunakan


untuk menghasilkan data penutupan lahan, yang meliputi resolusi
spasial, resolusi spektral dan resolusi temporal. Di samping itu, perlu
metode yang jelas untuk pemrosesan awal, prosedur interpretasi
data penginderaan jauh, pemrosesan akhir (post-processing) dalam
pembuatan peta, dan ketersediaan data acuan (reference data)
misalnya data lapangan untuk meningkatkan akurasi data penutupan
lahan.
2. Penggunaan data dasar (base) yang sama untuk berbagai peta,
sehingga tidak ada pergeseran data pada hasil analisis berbagai peta.

3. Perlu peningkatan kualitas dan kuantitas data dan metode


inventarisasi hutan untuk menghasilkan angka faktor emisi yang lebih
akurat untuk berbagai kelas penutupan lahan.

4. Dalam penghitungan angka cadangan karbon serta emisi dan


serapan karbon, perlu mempertimbangkan data aktivitas lainnya,
seperti data kebakaran, jenis tanah, iklim, pertumbuhan riap
tanaman, intensitas gangguan hutan dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). (2014). Buku I:


Landasan Ilmiah Pedoman Teknis Penghitungan Baseline Emisi dan Serapan
Gas Rumah Kaca Sektor Berbasis Lahan. Jakarta

Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan. (2014). Potensi


Sumber Daya Hutan Dari Plot Inventarisasi Hutan Nasional. Direktorat
Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, Jakarta.

Fittkau, E.J. and Klinge, N.H. (1973). On biomass and trophic structure of the
central Amazonian rainforest ecosystem. Biotropica 5: 2-14

Food And Agriculture Organization Of The United Nations. The Digital Soil Map
Of The World, Version 3.6, Completed January 2003

IPCC (1997). Revised 1996 IPCC Guidelines for National Greenhouse


Inventories. Houghton J.T., Meira Filho L.G., Lim B., Tranton K., Mamaty I.,
Bonduki Y., Griggs D.J. Callander B.A. (Eds). Intergovernmental Panel on
Climate Change (IPCC), IPCC/OECD/IEA, Paris, France.

IPCC. (2006), 2006 IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories,
Prepared by the National Greenhouse Gas Inventories Programme,
Eggleston H.S., Buendia L., Miwa K., Ngara T. and Tanabe K. (eds).
Published: IGES, Japan.

IPCC. (2007), IPCC Fourth Assessment Report Climate Change 2007, Pachauri,
R.K and Reisinger, A (eds). Published: Geneva, Swiss.

Kementerian Lingkungan Hidup. (2010). Indonesias Second National


Communication. Jakarta.

Machfudh. (2012), Istilah-Istilah dalam REDD+ dan Perubahan Iklim,


Kemenhut RI, UN-REDD, FAO, UNDP, UNEP, Jakarta
Ministry of Environment. (2009). Summary for Policy Makers: Indonesian
Second Communication Under The United Nations Framework Convention on
Climate Change (UNFCCC). Jakarta : Ministry of Environment, Republic of
Indonesia.

Mokany, K., Raison, J.R. and Prokushkin, A.S. (2006). Critical analysis of
root:shoot ratios in terrestrial biomes. Global Change Biology 12: 84-96.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. (2014).


Cadangan Karbon Pada Berbagai Tipe Hutan dan Jenis Tanaman di
Indonesia Seri 2. Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan, Bogor.

Van Noordwijk, M. Cadisch, G., Ong, C.K., (2004), Below Ground Biomass
Interaction in Tropical Agro Ecosystem Concept and Model with Multiple
Plant Component. The World Agroforestry Center. Nairobi.

Watson, C. (2009). Forest Carbon Accounting: Overview and Principles. CDM


Capacity Development in Eastern and South Africa. UNDP. UNEP. UNEP
Risoe Centre.

You might also like