You are on page 1of 25

METODOLOGI EKONOMI ISLAM

(OVERVIEW TIGA MAZHAB EKONOMI ISLAM)

Bahrina Almas

Abstrak

Metodologi ekonomi Islam sangat penting dalam memaknai bangunan ekonomi


Islam sebagai suatu disiplin ilmu, meskipun mtodologi ekonomi Islam dalam
literatur ekonomi Islam kontemporer sangat terbatas. Para ahli ekonomi Islam,
seperti Abdul Mannan, Syed Nawab Haider Naqvi, Monzer Kahf, Choudhury, M.
Aslam Haneef, Umer Chapra telah mempertimbangkan bagaimana metodologi
ekonomi Islam dalam membangun teori ekonomi berdasarkan Al-Quran dan
Sunnah. Tiga mazhab ekonomi Islam, yakni mazhab Baqir as-Sadr, mazhab
mainstream dan mazhab alternatif-kritis masing-masing telah merumuskan
pengilmiahan ekonomi Islam dengan metode dan proses yang berbeda-beda.
Paper ini menggunakan metode literatur review, yakni mengumpulkan dan
menganalisis buku, jurnal maupun artikel yang berhubungan dengan metodologi
ekonomi Islam. Overview dimaksudkan untuk menafsirkan secara filosofis setiap
bangunan metodologi dari mazhab ekonomi Islam kontemporer sehingga
terbukalah cakrawala keilmuan baru bahwa Islam memiliki jalan sendiri untuk
memperbaiki sistem ekonomi saat ini.
Kata Kunci: Metodologi, Ekonomi Islam, Mazhab Ekonomi Islam

I. PENDAHULUAN

Dalam Ekonomi Islam, metodologi merupakan wilayah yang relatif jarang

disentuh dalam berbagai literatur. Para ahli ekonomi Islam, seperti Nasr (1987),

Sardar (1988), Haneef (1997) dan Choudury (1999) melihat kekurangan pada

studi-studi ekonomi Islam yang menjadi alasan ketergantungan, kesadaran atau

ketidaksadaran pada metodologi ekonomi Barat. Hal ini menjadi koreksi dan
1
2

perbaikan yang serius metodologi ekonomi Islam, sebagaimana fungsinya sebagai

asal-muasal dibangunnya teori keilmuan.

Choudhury (1999) menyimpulkan bahwa ekonomi Islam kehilangan tujuan

inti dari metodologi dan analisis karena para ekonomi Islam telah

mengkombinasikan dengan ekonomi mainstream. Oleh karena itu, saat ini

ekonomi Islam menjadi suatu studi yang sedikit demi sedikit dari metode

neoklasik untuk masyarakat Muslim. Haneef (1997) juga menghubungkan

kegagalan membangun suatu kestabilan kerangka keilmuan dan metodologi atau

metodologis yang dapat digunakan dalam membangun disiplin karena kurangnya

studi-studi filsafat oleh para ekonom Islam. Mengabaikan studi-studi filosofis

ekonomi Islam akan menghambat kemampuan untuk mempromosikan mazhab

yang koheren atau mazhab ekonomi yang koheren sebagai suatu disiplin ilmu

(Nasr, 1987; Sardar, 1988 dalam Haneef dan Furqani, 2009).

Ekonomi Islam hadir dari rahim kekritisan ekonom Muslim.

Keterbelakangan, rasa dihegemoni, hingga terabaikannya aspek transendental

ekonomi dalam kapitalisme diduga menjadi penyebab menguatnya pengilmiahan

ekonomi Islam di dalam masyarakat Islam. Pandangan ini kian kukuh ketika

kapitalisme lanjut memperlihatkan kontradiksi di dalam struktur ekonomi dan

begitu nyata. Ini kemudian yang mendorong ekonom Muslim menengok kembali

ke belakang, ke dalam jejak sejarah. Pada akar sejarahnya, ekonomi Islam telah

dipraktekkan pada masa Muhammad SAW, ketika berdiri dan dideklarasikannya

Negara Madinah (Solihin, 2013). Inilah awal mula kegiatan dan kebijakan

ekonomi lahir, dilaksanakan oleh Rasulullah SAW dan dilanjutkan oleh Khulafaur
3

Rasyidin, sehingga dapat dijadikan contoh empiris bagi ekonom-ekonom Muslim

untuk melahirkan teori-teori ekonomi.

Kesadaran, penggugah dan kebangkitan Islam didorong secara kuat oleh

krisis kapitalisme lanjut (karena ekonomi merupakan ilmu sosial yang luas

pengaruhnya terhadap manusia). Dari titik inilah kemudian lahir ekonomi Islam.

Ekonom Muslim kemudian merancang ulang bangunan ekonomi Islam tanpa

harus tercabut dari akar sejarah umat Islam itu sendiri. Pengilmiahan ekonomi

Islam berpijak kuat pada sumber segala sumber ilmu, yakni Al-Quran dan As-

Sunnah. Pemikiran ekonomi dalam Islam secara natural diinspirasi dengan

memahami Al-Quran dan As-Sunnah, khususnya menjadi landasan dasar untuk

kehidupan manusia (Siddiqi, 1992 dalam Solihin, 2013).

Tiga mazhab besar ekonomi Islam kontemporer, yakni: (1) Mazhab Baqir as-

Sadr; (2) Mazhab Mainstream; dan (3) Mazhab Alternatif-Kritis, masing-masing

memiliki sejarah, nalar dan mekanisme dalam metodologi ekonomi Islam

berdasarkan pada Al-Quran dan As-Sunnah. Paper ini akan mengulas: (1) Apa itu

metodologi ekonomi Islam dan Mengapa ada metodologi dalam ekonomi Islam?

(2) Bagaimana alur dan bangunan pemikiran ketiga mazhab besar ekonomi

Islam? (3) Bagaimana metodologi yang dibangun melalui epistemologi yang

diajukan oleh mazhab-mazhab tersebut?

Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut akan tergali alur historis terbentuknya

mazhab-mazhab ekonomi Islam kontemporer, bagaimana para ekonom Muslim

teru-menerus memperjuangkan ekonomi Islam yang menolak unsur-unsur

pemikiran ekonom Barat yang tidak sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah.
4

II. METODOLOGI EKONOMI ISLAM: APA DAN MENGAPA?

Metodologi dapat dilihat sebagai bagian dari cabang filsafat yang disebut

epistemologi. Epistemologi mempelajari teori pengetahuan (theory of knowledge),

sumber-sumber ilmu pengetahuan (sources of knowledge), penerapan ilmu

pengetahuan (application of knowledge) dan keterbatasan ilmu pengetahuan

(limitations of knowledge). Penerapan ilmu pengetahuan dan keterbatasan ilmu

pengetahuan dalam metodologi bermakna, studi atau penelitian lebih sempit dan

lebih spesifik tentang bagaimana mengembangkan pengetahuan (teori) dan

bagaimana untuk mengevaluasi pengetahuan (teori) yang dihasilkan (Haneef dan

Furqani, 2009).

Blaug (1993) dalam Haneef dan Furqani (2009), mendefinisikan metodologi

ekonomi sebagai cabang ekonomi dimana kita mempelajari bagaimana ekonomi

membenarkan teori mereka dan tujuan mereka untuk memberikan pilihan satu

teori kepada yang lain. Metodologi menurut Safi (1996) adalah bidang

penyelidikan ilmiah menuju suatu pembenaran, penggambaran dan penjelasan

mengenai aturan-aturan dan prosedur-prosedur yang merupakan metode ilmiah.

Fox (1997) memandang metodologi sebagai teori apraisal sementara Haneef

(2005) metodologi ekonomi sebagai diskusi dan analisa-analisa dari proses

membangun model, mengembangkan teori-teori, uji coba hipotesis (apabila

dibutuhkan), serta mendirikan dan menggunakan criteria untuk mengevaluasi

proses.

Banyak penulis ekonomi Islam melakukan diskusi proses dalam term umum,

akan tetapi tidak banyak yang berdiskusi mengenai criteria dan prinsip-prinsip

untuk mengevaluasi teori atau klaim terhadap pengetahuan yang telah dibuat.
5

Sejak ketertarikan terpusat pada pengembangan teori dan penilaian, studi

metodologi ekonomi Islam adalah subjek yang sangat penting dan harus

dipandang sebagai prasyarat untuk mengembangkan teori ekonomi. Meskipun

ekonomi Islam adalah ekonomi berdasarkan agama, yang menganggap petunjuk

normatif ada pada Al-Quran dan As-Sunnah sebagai dua sumber utama ilmu

pengetahuan, juga harus dilihat sebagai suatu disiplin ilmu yang membutuhkan

metodologi ilmiah yang tepat untuk dapat mengembangkan teori-teori sebagai

bagian dari rancang-bangun ilmu pengetahuan yang disebut, ekonomi Islam.

(Haneef dan Furqani, 2009).

Selain itu, berikut ini adalah alasan-alasan menurut Haneef dan Furqani

(2009) yang disimpulkan dari beberapa jurnal dan buku yang berkaitan dengan

bagaimana para ekonom Muslim kontemporer memangan pentingnya metodologi

ekonomi Islam, yakni: (1) Keberhasilan pengembangan ekonomi Islam sebagai

suatu disiplin sangat tergantung pada pengembangan metodologi yang akan

memberikan arah yang jelas tentang bagaimana mengembangkan teori-teori

ekonomi yang sesuai dengan doktrin ekonomi Islam; (2) Urgensi diskusi

metodologi adalah untuk menguraikan dan menentukan aturan, prosedur, standar

dan yang terpenting kriteria ilmiah, sebagai pembeda antara yang salah dan yang

benar dalam menilai dan mengevaluasi teori-teori ekonomi Islam; (3) Metodologi

ekonomi Islam sebagai penghubung antara aspek ontologi ekonomi Islam, yang

merupakan cita-cita dan prinsip-prinsip ekonomi Islam, dengan aspek aksiologis

(etika) yang merupakan penerapan dari ekonomi Islam.


6

III. SEJARAH PEMIKIRAN TIGA MAZHAB EKONOMI ISLAM

3.1 Baqir as-Sadr dan Doktrin Ekonomi Islam

Ihwal pemikiran Baqir As-Sadr menurut Chamid (2010), tidaklah sama

dengan pengertian ekonomi dan bukan sekedar terjemahan kata ekonomi dalam

bahasa Arab. Baqir As-Sadr sangat sadar bahwa ilmu ekonomi (baca:economics)

tidak mampu memecahkan masalah kemanusiaan yang ditimbulkan oleh doktrin

neoklasik. Krisis ekonomi yang semakin menjadi-jadi, tidak membaik dalam

berbagai aspek, ketimpangan distribusi kesejahteraan dan kesempatan ekonomi

yang terbatas dan menyempit ke arah konglomerasi ekonomimenjadi masalah

pelik turun-temurun yang ditimbulkan oleh manusia-manusia ilmu ekonomi.

Kondisi ini memicu luruhnya kepercayaan sebagian ekonom bahkan rakyat di

negara-negara dunia ketiga terhadap ilmu ekonomi untuk mendiagnosis hingga

meramu kebijakan-kebijakan yang tepat untuk krisis ekonomi global. Akibat

inilah yang menyebabkan Baqir as-Sadr tidak sepakat menggunakan kata

economics kemudian menggantinya dengan iqtishad sebagai sebutan untuk

ekonomi Islam.

As-Sadr (2008) dalam Solihin (2013), iqtishad berbeda dibandingkan ilmu

ekonomi, baik dari doktrin kapitalisme ataupun doktrin sosialisme. Iqtishad

sebagai bentuk dari keseimbangan antara doktrin Islam dan metode ilmiah

ekonomi memuat karakteristik dan spirit jauh melampaui karakteristik dan spirit

ilmu ekonomi. Ada penggabungan ilmiah Islam dalam studi-studi ekonomi, ikatan

doktrinal keislaman dan keseimbangan intelektual di dalamnya. Keseimbangan

yang dibangun anara metode ilmiah ekonomi dengan metode-metode ilmiah Islam
7

yang telah digunakan untuk memahami dan menggerakkan Islam sebagai sesuatu

yang hidup, termasuk dalam bidang ekonomi.

Kritik awal Baqir as-Sadr yakni terhadap teori distribusi konvensional, as-

Sadr mengemukakan teori distribusi dalam dua tingkatan. Pertama, distribusi

sumber-sumber produksi. Kedua, distribusi kekayaan produktif (Solihin, 2013).

Doktrin iqtishad tentang distribusi seperti yang ditekankan oleh Muhammad Baqir

as-Sadr mendasari pentingnya penegakan akses terbuka dan setara dalam

menggapai sumber-sumber kesejahteraan oleh karena itu, hal pertama yang ia

lakukan ketika menawarkan doktrin iqtishad yang mendekonstruksi teori

distribusi neoklasik.

Dalam Islam, masalah distribusi dibicarakan dalam skala yang lebih luas dan

lebih komprehensif. Islam tidak membatasi dirinya dengan hanya mengurusi

kekayaan produktif seraya mengabaikan begitu saja sisinya yang lebih dalam (As-

Sadr, 2008 dalam Solihin, 2013). Konsepsi iqtishad mendekonstruksikan ekonomi

neoklasik yang sekedar mengurusi distribusi sumber-sumber produktif, bahkan

menyerahkan begitu saja pada pasar dan terjun bebas di bawah adagium laissez

faire-laissez passer.

Sungguh tidak demikian dalam, Islam Baqir as-Sadr mengungkapkan bahwa

Islam menyarankan campur tangan negara secara positif dalam distribusi alam dan

apapun yang dikandungnya, serta membagi semua itu ke dalam beberapa kategori;

setiap kategori memiliki cap distribusinya seperti kepemilikan pribadi atau

kepemilikan publik, kepemilikan negara atau kepemilikan publik yang bebas

untuk semua (ibahatul ammah) (As-Sadr, 2008 dalam Solihin, 2013). Pernyataan
8

Baqir as-Sadr jelas bahwa Islam mengakui ragam kepemilikan dan menetapkan

hukum dalam distiribusi dan aturan kepemilikan sehingga aliran kekayaan tidak

menimbulkan kesenjangan sosial-ekonomi dalam masyarakat. Berbeda dengan

konsep ekonomi neoklasik yang menggantungkan sepenuhnya pada kebebasan

mutlak dan amat individualis.

Selain mempersoalkan dan mengkritisi teori distribusi ekonomi

konvensional, Baqir as-Sadr juga mengkritisi dua sistem produksi, yakni

kapitalisme dan sosialisme. As-Sadr (2008) dalam Solihin (2013), membedakan

dengan tegas doktrin produksi yang ditawarkannya dengan doktrin produksi yang

ada dalam sistem kapitalisme ataupun sosialisme. Baqir as-Sadr mengungkapkan

bahwa dalam aktivitas produksi terdapat dua aspek. Pertama, aspek objektif yang

terdiri atas sarana-sarana yang digunakan, kekayaan alam yang diolah dan kerja

yang dicurahkan dalam aktivitas produksi. Kedua, aspek subjektif yang terdiri atas

motif psikologis, tujuan yang hendak dicapai lewat aktifitas produksi dan evaluasi

aktifitas produksi menurut berbagai konsepsi keadilan yang dianut.

Dari berbagai macam kritik Baqir as-Sadr, pertanyaan yang kemudian

muncul adalah Bagaimana nalar dan tradisi ilmiah yang ditempuh Baqir as-Sadr

dalam membangun metode dan epistemologi baru dengan konsep iqtishad?

Sebagai sarjana Muslim Irak, seorang filsuf, pemikir dan politisi Baqir as-Sadr

sangat terikat oleh konsep berpikir tauhid sebagai kesadaran ideologisnya.

Kesadaran ini kemudian yang mendorongnya untuk melampaui batas-batas

ideologi kaum kapitalis dan sosialis. Al-Quran dan As-Sunnah merupakan dasar

bagi doktrin iqtishad yang ditawarkannya.


9

Ijtihad ekonomi Islam yang diistilahkan Baqir as-Sadr dalam merangkum

maksud dari teks-teks yang ada, kombinasi simetris antar teks dan keselarasan

pengertian-pengertian. Untuk memulai ijtihad sehingga muncul doktrin ekonomi

Islam, Baqir as-Sadr mengawalinya dari ruang kosong hukum ekonomi Islam.

Menurut Baqir as-Sadr, doktrin ekonomi Islam memiliki dua sisi, satu sisi

sempurna hingga tak memungkinkan adanya perubahan sedangkan satu sisi

lainnya merupakan kosong. Ruang kosong inilah yang mungkin dihadapkan pada

dinamika aktivitas ekonomi dalam masyarakat Muslim.

Baqir as-Sadr membangun beberapa dasar argumentasi penemuan doktrin

ekonomi Islam, sebagai berikut:

1. Pondasi doktrin ekonomi Islam tidak dapat ditemukan secara sempurna

tanpa mengikutsertakan kajian tentang ruang kosong dalam hukum Islam

di ranah ekonomi.

2. Legislasi yang dituangkan Nabi Muhammad SAW untuk mengisi ruang

kosong bukanlah aturan-aturan yang bersifat permanen.

3. Doktrin ekonomi Islam benar-benar terikat dengan sistem kekuasaan pada

tataran praktis.

Alhasil, dari kritik awal terkait distribusi dan produksi ekonomi

konvensional, argumentasi munculnya konsep iqtishad hingga ijtihad yang

melahirkan doktrin ekonomi Islam baru kemudian ditemukan bagaimana Baqir as-

Sadr membangun metodologi ekonomi Islam, yang didasari oleh Al-Quran dan

As-Sunnah.
10

3.2 Pengilmiahan Ekonomi Islam oleh Mazhab Mainstream

Beberapa tokoh ekonomi Muslim yang intens memperjuangkan mazhab

mainstream ini, lengkap dengan logika positivisme di dalamnya, yakni M. Umer

Chapra, Muhammad Nejatullah Siddiqi dan Muhammad Abdul Mannan, seperti

yang telah digolongkan Nur Chamid sebagai ekonom-ekonom yang menguatkan

mazhab mainstream. Umer Chapra menjadi ekonom Muslim yang sangat dihargai,

baik di negara-negara Islam maupun di negara-negara Barat. Umer Chapra

memiliki dua sisi yang berbeda sebagai ekonom Muslim, satu sisi penguasannya

sangat kuat terhadap tradisi ilmiah Islam sehingga menjadikan dirinya mudah

diterima dikalangan komunitas Islam dunia, sedangkan satu sisi lain karena

penguasaannya terhadap materi dan metode ilmiah ekonomi positivisme sehingga

ia memiliki nama dalam komunitas ekonom Internasional.

Mohammad Nejatullah Siddiqi adalah seorang ekonom Muslim

berkebangsaan India. Namanya mulai melejit ketika ia mendapatkan penghargaan

King Faizal International untuk kajian Islam (Islamic Studies). Ia telah menulis

banyak buku, seperti Recent Theories of Profit: A Critical Examination (1971),

Economic Enterprise in Islam (1983), Muslim Economic Thinking (1981),

Banking Without Interest (1983), Insurance in an Islamic Economy (1985),

Teaching Economics in Islamic Perspective (1996), Role of State in Islamic

Economy (1996), Dialogue in Islamic Economics (2002).

Dalam mazhab mainstream, ada juga Abdul Mannan menurut Chamid (2010)

lebih tampak sebagai penganut mazhab mainstream dalam ekonomi Islam. Ia

dikenal dalam lingkungan ekonom di Islamic Development Bank sebagai ekonom


11

Muslim senior. Dalam rentang waktu kurang lebih 30 tahun, Abdul Mannan

melahirkan berbagai kara-karya penting terkait ekonomi Islam, salah satu yang

paling komprehensif ialah Islamic Economics: Theory and Practice. Buku inilah

yang mengantarkan Abdul Mannan mendapat penghargaan Highest Academic

Award of Pakistan pada tahun 1974 yang setara dengan penghargaan Pulitzer.

Aliran mainstream menurut Chamid (2010), memiliki anggapan bahwa

perbedaan-perbedaan antara ilmu ekonomi konvensional dengan ekonomi Islam

adalah dalam hal cara mencapai tujuan. Moderat dan popular menjadi karakter

dari produk-produk pemikiran mazhab mainstream. Tidak hanya itu, logika-logika

positivism yang kuat dipraktikkan dalam aliran utama ekonomi ortodoks diterima

sebagai sebuah instrumen analisis. Hal ini dimaklumi karena doktrin ekonomi

Islam mazhab mainstream diawali dengan persepsi terhadap masalah ekonomi,

memiliki kesamaan dengan aliran ortodoks ekononomi (Solihin, 2013).

Ada benang merah antara mazhab mainstream dan mazhab ortodoks ekonomi

konvensional. Benang merah ini dapat dilihat dari kecenderungan yang sama

dalam mengeksploitasi logika-logika positivisme. Perbedaan terletak pada

sumber-sumber postulat yang digunakan. Dalam ekonomi orotodoks, postulat

menjadi elemen penting dalam proses pemodelan ekonomi.

Hoetoro (2007) mengungkapkan bahwa salah satu alat yang penting dalam

memahami berlakunya teori ekonomi ke dalam realitas adalah membuat sebuah

model yang mengabstrasikan kompleksitas fenomena ekonomi sehingga dengan

mudah dipahami. Pernyataan ini dipahami dengan baik oleh mazhab mainstream,

karena ekonomi Muslim yang menahbiskan diri ke dalam mazhab mainstream


12

tercurahkan pikiran dan tenaganya untuk membangun pemodelan ekonomi Islam.

Meskipun sangat mungkin terjadi sekedar pencangkokan teori ekonomi ortodoks

yang bahkan mungkin dirasa memaksakan. Hal ini ditolerir karna melihat bahwa

ekonomi Islam sebagai suatu disiplin ilmu yang baru sehingga kesulitan

membangun pemodelan ekonomi apalagi melibatkan Islam sebagai dasar-dasar

aksiomatiknya.

Hoetoro (2007) menjelaskan bahwa perumusan teori ekonomi merupakan

usaha untuk membangun teori-teori ekonomi Islam yang didasarkan kepada teks-

teks wahyu dan fakta-fakta empiris ekonomi. Dengan mekanisme ijtihad

sebagaimana yang sudah menjadi tradisi dalam intelektualisme Islam, kedua

sumber pengetahuan itu digunakan untuk menemukan premis-premis umum yang

dapat menjelaskan fenomena ekonomi tanpa adanya pelanggaran syariat. Tidak

mudah untuk menggabungkan antara apa yang dikehendaki teks-teks Al-Quran

dengan fakta-fakta empiris ekonomi, karena keduanya berada pada pilar yang

sederajat. Al-Quran berada pada tingkat kesakralan tertinggi, kalamullah yang

menundukkan dan mendorong realitas yang determinative dengannya berbeda

dengan fakta ekonomi yang berasal dari kehendak diri manusia. Pertanyaan yang

muncul kemudian adalah Bagaimana jika fakta-fakta empiris ekonomi

berseberangan, tidak satu kehendak dengan teks-teks wahyu?

Mengutip pendapat Hoetoro (2007), bahwa penerapan teori terhadap realitas

dalam konteks ini tugas ilmuwan ekonomi Islam adalah membuat sebuah model,

cetak biru (blue print) ekonomi yang tidak secara eksplisit dalam Al-Quran dan

As-Sunnah. Disinlah letak perbedaan antara ekonomi Islam dan ekonomi

konvensional, pembangunan model ekonomi Islam dilakukan dengan menangkap


13

makna dari ayat-ayat Al-Quran dan As-Sunnah sehingga terbentuk karakteristik

yang khas, karena transendental dengan Ilahi. Pemodelan ekonomi Islam

bertujuan mengabstraksi norma-norma ekonomi untuk diterapkan dalam struktur

ekonomi dan mempengaruhi tingkah laku serta kebijakan ekonomi Islam.

Proses yang terbilang rumit dan terkadang terkesan lebih mengedepankan

subjektivitas, bahkan anti-emiris membuat ekonomi Islam berbeda dengan

ekonomi ortodoks yang lebih mementingkan rasionalitas dan pragmatisme dalam

membangun model ekonomi. Dalam konteks ini, Choudhury (1986) dalam Solihin

(2013) menilai bahwa pembangunan model dan abstraksi teori-teori ekonomi

ortodoks tidak mampu menyelesaikan masalah ekonomi yang mengapung dalam

masyarakat. Meskipun memiliki dasar pengambilan teori yang berbeda, namun

ekonomi Islam dan ekonomi mazhab ortodoks memiliki kesamaan dalam

menggunakan instrument dan alat analisis, yakni matematika dan bahasa

tautologis.

3.3 Kritisisme sebagai Ihwal Lahirnya Mazhab Alternatif-Kritis

El-Ashker dan Wilson (2006) mengatakan bahwa sejak awal abad ke-21

proyek intelektual ekonomi Islam telah berpengaruh begitu kuatnya terhadap

corak dan struktur pemikiran ekonomi Islam. Tidak kurang dari 700 judul yang

orisinal dan komentar tentang ekonomi Islam ditulis dari tahun 1950-an hingga

akhir 1970-an. Solihin (2013), kenyataan ini mengukuhkan bahwa ilmu ekonomi

Islam terus berkembang seiring dengan tumbuhnya minat yang besar di kalangan

ekonom Muslim untuk mengkaji ekonomi Islam secara intens. Hal ini semakin

terasa ketika munculnya beberapa mazhab ekonomi Islam, yakni mazhab Baqir

as-Sadr, mazhab mainstream kemudian lahir mazhab alternatif-kritis yang menjadi


14

pertanda ekonomi Islam mulai mengarah pada dialektika pemikiran ekonomi,

tidak cenderung heterodoks.

Kapitalisme lanjut (The Late Capitalism) telah mencengkeram kehidupan

ekonomi dunia dengan caranya yang halus tapi kasar. Kapitalisme lanjut telah

melahirkan suatu sindrom yang terlihat sederhana akan tetapi memiliki fungsi

penting dalam ekonomi global. Stanford (2008) dalam Solihin (2013),

menyatakan bahwa kapitalisme telah berlangsung dan tumbuh dengan suburnya

selama 300 tahun. Ini menjadi pertanda bahwa kapitalisme lanjut telah menjadi

sesuatu yang kompleks dengan tingginya tingkat ketergantungan padanya,

lengkap dengan paradox serta kontradiksi yang dihasilkan oleh kapitalisme lanjut

ini sehingga lahirlah ekonomi sosialisme sebagai kritik atas ekonomi kapitalisme.

Akan tetapi, paradoks masih tetap ada dalam diri sosialisme sama seperti

kapitalisme. Meskipun Karl Marx mengkritik hal berbagai rupa dalam sistem

ekonomi kapitalis, seperti uang yang menurutnya akar dari krisis kapitalisme,

kebebasan pasar yang kebablasan sehingga menimbulkan kecanduan yang besar

terhadap perilaku monopolistik. Mises (1962) dalam Solihin (2013) pernah

menulis bahwa sosialisme hari ini hanyalah semboyan dan slogan. Sosialisme

disalahpahami dalam hal bekerjanya mekanisme ekonomi, yakni ketika sosialisme

tampaknya kurang paham tentang fuungsi berbagai institusi sosial yang berbasis

pada pembagian kerja dan kepemilikan privat.

Munculnya mazhab alternatif-kritis berkaitan dengan gempuran dan saling-

tuding kedua sistem ekonomi kapitalisme dan sosialisme tersebut. Layaknya

tradisi kritis yang ada dalam sosialisme dan kapitalisme, dalam ekonomi Islam
15

tradisi ini dapat ditelisik dan dirasakan ruhnya dalam mazhab alternatif-kritis

ekonomi Islam. Chamid (2010) menjelaskan bahwa mazhab alternatif-kritis

mengajak umat Islam untuk tidak saja bersikap kritis terhadap kapitalisme dan

sosialisme, tetapi juga terhadap ekonomi Islam yang saat ini sedang berkembang.

Kritisisme ini tidak hanya ditujukan untuk sistem ekonomi kapitalisme dan

sosialisme akan tetapi juga terhadap dua mazhab ekonomi Islam sebelumnya,

mazhab Baqir as-Sadr dan mazhab mainstream. Chamid (2010) menjabarkan

bahwa mazhab alternatif-kritis mengkritik mazhabBaqir as-Sadr karena langkah

mereka seringkali berusaha menemukan sesuatu yang baru yang seringkali

sebenarnya sudah ditemukaorang lain, sedangkal mazhab mainstream dirasa tidak

lebih dari pemikiran ekonomi klasik dengan beberapa modifiksi seperti

menghilangkan riba, menambah zakatdan memperbaiki niat.

Karim (2007) menulis dalam bukunya Ekonomi Mikro Islami bahwa mazhab

alternatif-kritis adalah sebuah mazhab yang kritis. Mereka berpendapat bahwa

analisis kritis bukan saja harus dilakukan terhadap sosialisme dan kapitalisme

tetapi juga terhadap ekonomi Islam. mazhab alternatif-kritis mengkritik dua

mazhab sebelumnya, yakni mazhab Baqir as-Sadr dan mazhab mainstream

sebagai mazhab yang berusaha untuk menemukan sesuatu yang baru yang

sebenarnya telah ditemukan orang lain: menghancurkan teori lama kemudian

menggantikannya dengan teori baru. Sementara itu, mazhab mainstream dikritik

sebagai penjiplakan ekonomi neoklasik dengan menghilangkan variable riba dan

memasukkan variable zakat serta niat.


16

Setidaknya, akar dari kritisisme mazhab alternatif-kritis adalah

kecenderungan memodifikasi; simplikasi ekonomi neoklasik dalam ekonomi

Islam kontemporer. Kritik yang tajam dari mazhab ini tidak bermaksud

menyalahkan mazhab-mazhab ekonomi Islam sebelumnya akan tetapi sebagai

dorongan untuk membangun teori-teori ekonomi Islam yang lebih orisinil dari

prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam.

Chamid (2010), mengatakan bahwa mazhab alternatif-kritis yang dipelopori

oleh Timur Kuran, Prof. Jomo dan Prof. Muhammad Arif ini memandang

pemikiran mazhab Baqir as-Sadr berusaha menggali dan menemukan paradigma

ekonomi Islam yang baru dengan meninggalkan paradigma ekonomi konvensional

sedangkan mazhab mainstream merupakan wajah baru dari pandangan neoklasik

dengan menghilangkan unsur bunga dan menambahkan zakat. Mazhab ini

menawarkan analisis kritis, tidak hanya kepada sistem kapitalisme dan sosialisme

akan tetapi juga mazhab ekonomi sebelumnya terhadap wacana perkembangan

ekonomi Islam.
17

IV. OVERVIEW METODOLOGI TIGA MAZHAB EKONOMI ISLAM

4.1 Metodologi Iqtishad Baqir as-Sadr

As-Sadr (1986) dalam Solihin (2013) menyebutkan bahwa al-istiqrai

merupakan metode yang khas dan spesifik yang berbeda dengan metode lainnya.

Metode al-istiqrai adalah metode yang berangkat dari teks-teks partikular (al-

juzi) dan dengannya melahirkan pernyataan umum (muqadimath akbar). Dalam

makna popular, al-istiqrai didefinisikan sebagai proses pencarian basis

argumentasi dari argumen-argumen khusus dan bergerak ke pernyataan umum.

Secara sederhana metode ini dapat dimaknai mengambil kesimpulan umum dari

fakta-fakta khusus.

Urgensi metode istiqrai ini ialah kemampuan untuk menganalisa,

mengungkap, mengurai dan mengkorelasikan secara intertekstual berbagai teks

yang terkait sehingga melahirkan makna tekstual yang koheren dan komprehensif.

Baqir as-Sadr menyebutnya dengan bertolak dari khusus ke umum. Metode yang

ditawarkan oleh Baqir as-Sadr dapat dinilai dan dipahami dari tesis-tesis ekonomi

Islam yang dibangunnya. Mallat dalam Solihin (2013) menetapkan lima tesis,

yakni: (1) perekonomian Islam adalah sebuah mazhab, sebuah doktrin bukan suatu

ilmu pengetahuan; (2) wilayah doktrin dan ilmu pengetahuan tersebut harus

dipisahkan; (3) perekonomian Islam didasarkan pada gagasan keadilan; (4) hukum

Islam adalah cara yang dianjurkan untuk perekonomian Islam; (5) perekonomian

Islam didasarkan pada penemuan, bukan pembentukan.

Selain metode al-istiqrai, Abbas Mirakhor (jaringan dari mazhab Baqir as-

Sadr) menawarkan penerapan hermeneutika ekonomi dalam penemuan doktrin-


18

doktrin ekonomi Islam. Mirakhor (2007) menawarkan dua hal yang mungkin

dapat membantu membangun ekonomi Islam, yakni sejarah pemikiran ekonomi

dan hermeneutika ekonomi. seperti yang ditegaskan oleh Baqir as-Sadr, ekonomi

Islam memiliki karakter subjektivitas dengan intensitas penyandaran diri yang

tinggi pada teks-teks Islam, terutama Al-Quran dan As-Sunnah.

Menurut Mirakhor (2007), sangatlah mungkin menggunakan hermeneutika

sebagai sebuah metode dalam ekonomi Islam. Aplikasi hermeneutika dalam

ekonomi Islam bisa diterima sebagai sebuah metode untuk melakukan investigasi

mendalam terhadap konsep-konsep penting dalam ekonomi Islam. Mirakhor telah

mengilustrasikan penerapan hermeneutika dalam ekonomi Islam. Menurutnya,

hermeneutika bisa dijadikan sebagai sebuah metode ketika seorang ekonom secara

langsung melakukan pengamatan secara gradual terhadap Al-Quran dan tindakan

ekonomi sekaligus.

Tujuan Mirakhor menawarkan pendekatan hermeneutika terhadap ayat

ekonomi dalam Al-Quran adalah agar makna produktif dapat dihasilkan dari Al-

Quran itu sendiri dan akhirnya akan menjadi doktrin ekonomi yang bersifat

umum. Proses epistemologi dalam hermeneutika agaknya terdiri atas beberapa

hal. Pertama, proses memahami, yaitu memahami suatu objek berupa realitas

yang menghasilkan pemahaman. Kedua, menafsirkan, yaitu menjelaskan atau

mengungkap pemahaman sehingga menafsirkan merupakan proses representasi

dari pemahaman (Almirzana dan Syamsudin, 2009 dalam Solihin, 2013). Hal ini

adalah tujuan dan orientasi dari hermeneutika-pengalaman bila diterapkan dalam

ekonomi Islam.
19

4.2 Metodologi Deduktif dan Indukif dalam Mazhab Mainstream

Ekonomi Islam, seperti yang dipersepsi mazhab mainstream, tidak bisa

terlepas dari perkembangan ilmu ekonomi modern. Ketidakterlepasan ini dapat

dilihat, dilacak, ditandai oleh penggunaan metodologi yang sama seperti yang ada

dalam ilmu ekonomi modern. Meski memiliki persamaan, akan tetapi

epistemologi keduanya berbeda, terpisah jauh.

Diagram 4.2.1
Kerangka Metodologis Ekonomi Islam

Quran dan
Sunnah
Ushul Fiqh
dan Qawaid
Akidah Syariah Syariah

Fiqh
Muamalah
Nilai Ekonomi Islam
Prinsip Ekonomi Islam
Konsumsi

Produksi
Metode
Deduksi
Distribusi

Metode
Realitas Teori Ekonomi Konsumsi
Induksi
Ekonomi

Sumber: Munrokhim, Misanam dkk. 2008. Ekonomi Islam. Yogyakarta:P3EI

Dari diagram tersebut dapat dimengerti bahwa dalam ekonomi Islam, ada dua

metode, yaitu induksi dan deduksi digunakan bersamaan dalam kasus berbeda

(Misanam, 2008). Dalam mazhab mainstream, kedua metode ini digunakan,

tentunya dalam kasus dan spesifikasi yang berbeda. Hanya sebagai alat atau
20

instrumen analisis, metode deduksi dan induksi ditradisikan oleh mazhab

mainstream, tetapi sumber utama dan tertinggi dari ekonomi Islam bagi mazhab

mainstream adalah Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW sehingga kedua

sumber rujukan ekonomi Islam menjadi pembeda dengan ilmu ekonomi

konvensional.

Mazhab mainstream ekonomi Islam layaknya ekonomi ortodoks lebih

cenderung menggunakan penalaran deduktif (deductive reasoning) agar dapat

menurunkan prediksi teoretis dan uji hipotesis (Solihin, 2013). Dijelaskan oleh

Dimyati (2005) bahwa penalaran deduktif adalah logika yang menarik kesimpulan

dari hal-hal umum ke hal khusus. Penalaran deduktif dalam mazhab ekonomi

Islam adalah dengan uji-hipotesis layaknya dalam tradisi ekonomi ortodoks. Akan

tetapi, kembali pada perbedaan keduanya, yakni hard core ekonomi Islam yang

terdiri dari postulat Al-Quran dan As-Sunnah. Keduanya menjadi pembeda antara

ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional karena postulat ekonomi Islam

dibentuk dari sumber ilmu pengetahuan yang mutlak kebenarannya.

Sedangkan metode empiris-induktif seperti yang dimaknai oleh Rashid

(1991) ialah pendekatan untuk observasi varietas institusi ekonomi Islam dengan

filsafat ekonomi Islam. Metode induktif dalam ekonomi Islam adalah keniscayaan

dari pandangan mazhab mainstream yang memandang bahwa ekonomi Islam tidak

mendikotomi aspek normatif dan positif dalam Islam. Ekonomi Islam

mempelajari yang akan dan telah terjadi pada individu dan masyarakat yang

tingkah lakunya merupakan manifestasi dari nilai-nilai Islam. Sehingga kebenaran

ilmiah dari ekonomi Islam didasarkan atas kebenaran mutlak dan kebenaran

relatif. Hal ini pula yang membedakan dengan mazhab mainstream ekonomi.
21

4.3 Bangunan Metodologi Mazhab Alternatif-Kritis

Metodologi mazhab alternatif-kritis berangkat dari teori fikih, menurut Zarqa

(2003) bahwa perbedaan mendasar antara fikih (jurisprudence of Islam) terletak

pada basis objektif dari fikih yang diderivasi dari pernyataan normatif. Zarqa

(2003) juga menyimpulkan bahwa jurisprudence pada dasarnya merupakan

pengetahuan tentang praktik dari aturan-aturan (rules) syariat. Aturan-aturan

syariat disini dikategorikan menjadi lima(menurut mazhab fikih Islam), yakni

wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Aturan-aturan syariat ini akan

membentuk struktur perilaku dan sistem keberagamaan dalam masyarakat Islam

dimanapun.

Dalam ekonomi Islam, fikih tidak saja menyediakan tolak ukur atas perilaku

ekonomi dalam mencukupi kebutuhan hidup akan tetapi dalam panndangan jauh

ke depan, fikih menjadi teori dasar ekonomi Islam. Dalam fikih, ada ushul fikih

yang merupakan metodologi untuk menghasilkan fikih. Al-Hanbali (1990) dalam

Solihin (2013) ushul fikih adalah sebuah ibara yang diatasnya masalah fikih

dibangun. Ushul fikih juga mempelajari hukum-hukum fikih. Membicarakan fikih

berarti membicarakan argument-argumen ushul fikih sendiri (adilatu al-fiqh)

sedangkan dalil fikih dapat dimaknai sebagai aplikasi, penggunaan lafaz-lafaz

umum, ataupun dengan kata lain bisa dikatakan sebagai metode ijtihad.

Menjadikan ushul fikih sebagai sebuah pendekatan tidak serta mengambil

dan memaksakan dalil-dalil hukum untuk disesuaikan dengan kejadian empiris.

Harus disadari bahwa wilayah fikih dan ekonomi berbeda, objeknya juga jelas

berbeda. Ekonomi dapat menjadi salah satu kajian fikih karena ekonomi berbicara
22

perilaku, sedangkan fikih ruang lingkupnya pada hukum syariat terkait amaliah

(perbuatan). Fikih memiliki objek hukum syariat dan perilaku manusia, ekonomi

memiliki objek persoalan ekonomi kaum Muslim.

Perbedaan objek ini otomatis berpengaruh terhadap struktur metodologi dari

ushul yang ditetapkan, baik pada fikih maupun ekonomi Islam. Penghubungan

ekonomi dengan Islam membuat disiplin ini dikategorikan sebagai ilmu naqliah-

aqliah (Al-Misri, 1999). Status naqliah-aqliah ini menjadikan ekonomi Islam

sebagai disiplin ilmu yang berbeda karena dilatarbelakangi oleh dua tradisi yang

berbeda, yakni tradisi Islam (ushul fiqh) dan tradisi ekonomi konvensional

(matematika ekonomi, ekonometrika, statistika). Alhasil, diperlukan revolusi

metodologi sebagai peleburan antar keduanya sehingga terbentuk metodologi

ekonomi Islam yang (setidaknya) mampu melahirkan teori-teori ekonomi yang

sama sekali berbeda dengan teori-teori ekonomi klasik maupun neoklasik.

Al Misri (1999) dalam Solihin (2013) mengutarakan bahwa metodologi ushul

fikih layak diterapkan dalam ekonomi Islam karena dengan metode ini

sesungguhnya maqashid syariah, kaidah-kaidah umum (al-qawaid kulliyah), dapat

dieksplanasikan dalam ekonomi Islam. Ushul fikih tidak sekedar menjadi

metodologi tambahan, tetapi juga dijadikan metode utama dalam menghasilkan

hukum-hukum umum dalam ekonomi Islam. Menurut Solihin (2013), ada tujuan

yang kuat dan niscaya yang ditawarkan oleh mazhab alternatif-kritis terkait hal

ini, yakni mengilmiahkan ekonomi Islam sekaligus mempertimbangkan

epistemologi klasik dalam mengembangkan ekonomi Islam sebagai disiplin yang

kritis dan humanis.


23

KESIMPULAN

Metodologi ekonomi Islam lahir karena para ekonom Muslim menilai bahwa

ada ketidakseimbangan antara nilai dan norma (Al-Quran dan As-Sunnah), cara

berpikir dan realitas ekonomi saat ini. Kemiskinan yang terus-menerus

menjangkiti masyarakat, tingkat kesenjangan antara si miskin dan si kaya,

masalah bunga bank dan lain sebagainya. Teori-teori ekonomi dihasilkan, ideologi

tumbuh dan berbagai macam penelitiann diproduksi. Kini khususnya, pada fase

kontemporer mazhab Baqir as-Sadr, mainstream dan alternatif-kritis telah

melahirkan berbagai gagasan ekonomi Islam yang berbeda meskipun mereka

bertolak dari satu titik yang sama, yakni Islam sebagai landasan dan sumber nilai-

nilai ilmiah.

Dalam ekonomi Islam dikenal tiga mazhab besar, yakni Baqir as-Sadr

(Iqtishaduna), mainstream dan alternatif-kritis. Ketiganya memiliki latar belakang

berbeda dalam mengkritisi konsep ekonomi sosialis dan kapitalis. Baqir as-Sadr

memilih untuk mengganti istilah ekonomi dengan iqtishaduna; mainstream

menyikapi pemikiran ekonomi Barat dengan hati lapang dan pikiran terbuka, tidak

serta merta menolak seutuhnya oleh karena itu perlu ada filterisasi dan perbaikan-

perbaikan konsep ekonomi, seperti kaidah fiqh maa yudroku kulluhu wa laa

yutsroku kulluhu (apa yang tidak dapat dicapai semuanya, maka janganlah

ditinggalkan semuanya); sedangkan alternatif-kritis adalah spirit kritisisme yang

mengajak bahwa tidak hanya sosialis dan kapitalis yang dikritik, pemikiran

ekonomi Islam selayaknya dikritisasi, karena mazhab ini berpendapat bahwa

Islam pasti benar, tetapi ekonomi Islam belum tentu benar.


24

DAFTAR PUSTAKA

Chamid, Nur. 2010. Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dimyati, A. 2005. Metodologi Ekonomika. Jurnal Dinamika Pembangunan Vol. 2

No. 1: Juli.

Haneef, Aslam Mohamed dan Hafas Furqani. 2011. Methodology of Islamic

Economics: Overview of Present State and Future Direction. International

Journal of Economics, Management and Accounting Vol. 19, No. 1.

Hoetoro, Arief. 2007. Ekonomi Islam: Pengantar Analisis Kesejarahan dan

Metodologi. Malang: BPFE Universitas Brawijaya.

Karim, Adiwarman. 2007. Ekonomi Mikro Islami. Jakarta: PT. Rajawali Press.

Mannan, M. Abdul. 1983. Islamic Economics as a Social Science: Some

Methodological Issues. Journal Research of Islamic Economics Vol. 1 No.1.

Mirakhor, Abbas. 2007. A Note on Islamic Economics. Jeddah: Islamic Research

and Training Institute.

Misanam, Munrokhim, Priyonggo Susesno dan M. Bhekti Hendrieanto. 2008.

Ekonomi Islam. Yogyakarta: P3EI.

Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam

Indonesia dan Bank Indonesia. 2014. Ekonomi Islam.Yogyakarta: PT. Raja

Grafindo Persada.
25

Rashid, Salim. 1991. An Agenda for Muslim Economist: A Historico-Inductive

Approach. J.KAU: Islamic Economics Vol. 3.

Solihin, Muhammad. 2013. Pengantar Metodologi Ekonomi Islam: Dari Mazhab

Baqir as-Sadr hingga Mazhab Mainstream. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Zarqa, Muhammad Anas. 2003. Islamization of Economics: The Concept and

Methodology. J.KAU: Islamic Economics Vol. 16, Vol. 1.

You might also like