You are on page 1of 39

SEORANG LAKI-LAKI BERUSIA 49 TAHUN DENGAN ASMA

AKUT SEDANG PADA ASMA TIDAK TERKONTROL

Oleh:
Hasna Nuha F G0005013
Silviana Ira A.S G0005183
Achmad Abdulloh G0006029
Haris Agung Nugroho G0006088
Muna Amalia G0006122
Okky Hartanto G0006135
Tyas Ekasari G0006165
A.D.Rahmilia G0006172
Meirisa Ardianti G0006205
Muhammad Saifullah N G0007109
Meynita Putri R G0007212

Pembimbing: dr. Jatu, Sp. P

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT PARU


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
S U RAK AR TA
2011
BAB I
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS
Nama : Tn. T
Umur : 49 th
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Supir bus
Alamat : Kadokan 01/06, Grogol, Sukoharjo
No. RM : 01.02.76.95
Masuk RS : 23 April 2011
Pemeriksaan : 23 April 2011

B. DATA DASAR
ANAMNESIS (Auto dan Alloanamnesis, tanggal 23 April 2011)
1. Keluhan Utama

Sesak napas
2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak 1 minggu SMRS,

sesak dipengaruhi oleh cuaca, memberat ketika malam hari sampai


terbangun. Saat sesak pasien minum obat Neonapacyn, sesak berkurang
tetapi sesak lagi. Saat datang di IGD, pasien sesak sampai tidak kuat
berbaring, berbicara tidak utuh satu kalimat dalam satu nafas. Sesak
dirasakan memberat 1 hari SMRS. Sesak disertai batuk dengan dahak
kental berwarna putih, demam (-). Penurunan berat badan (-), penurunan
nafsu makan (-). BAK dan BAB tidak ada keluhan.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Asma : (+) Sejak 1989
Riwayat Alergi : (+) Amoxicilin
Riwayat DM : (-) disangkal
Riwayat Hipertensi : (-) disangkal
Riwayat Mondok : (-) disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat Asma : (+) pada Ayah


Riwayat Alergi : (-)
Riwayat DM : (-) Disangkal
Riwayat Hipertensi : (-) Disangkal

5. Riwayat Kebiasaan

Riwayat Merokok : (+) 15 tahun dan 12 batang per hari

6. Riwayat Sosial dan Ekonomi

Pasien adalah seorang laki-laki berusia 49 tahun dengan pekerjaan supir


Pasien memiliki seorang istri, dan 2 anak. Rumahnya berdinding semen
dan berlantai terbuat dari semen Pasien dirawat di RSDM dengan fasilitas
Jamkesmas.

7. Riwayat Gizi

Sebelum sakit, pasien makan teratur 3-4 kali sehari, sebanyak masing-
masing 1 piring nasi sayur dengan lauk tempe, tahu, kadang-kadang
daging atau ikan. Tetapi sejak pasien sakit nafsu makan berkurang,
porsinya menjadi dari sebelum sakit.

C. ANAMNESA SISTEMIK

Keluhan utama : Sesak nafas


Kulit : Sawo matang, kering (-), pucat (-), menebal
(-), gatal (-), luka (-), kuning (-).
Kepala : Sakit kepala (-), pusing (-), rambut mudah
dicabut (-), rambut mudah rontok (-)
Mata : Pandangan kabur (-/-), pandangan dobel
(-/-), pandangan berputar-putar (-/-),
berkunang-kunang (-/-).
Hidung : Pilek (-), mimisan (-), hidung tersumbat (-),
gatal (-).
Telinga : Berdenging (-), keluar cairan (-), darah (-).
Mulut : Terasa kering (-), bibir biru (-), pucat (-),
sariawan (-), gusi berdarah (-), gigi
berlubang (-), bibir pecah-pecah (-), luka
pada sudut bibir (-).
Tenggorokan : Sakit menelan (-), gatal (-).
Sistem Respirasi : Sesak nafas (+), batuk (+), dahak (+)
warna putih kental, mengi (+).
Sistem Cardiovaskuler : Nyeri dada (-), terasa tertekan (-), rasa
berdebar (-), sesak nafas karena aktivitas (-)
Sistem Gastrointestinal : Mual (-), muntah (-), nafsu makan menurun
(-), BAB (+) normal, perut sebah (-), nyeri
ulu hati (-), mbeseseg (-), kembung (-), tinja
warna kuning.
Sistem Genitourinaria : Nyeri saat BAK (-), panas (-), darah (-),
nanah (-), anyang-anyangan(-), sering
menahan kencing (-), BAK warna seperti
teh(-).
Sistem Muskuloskeletal : Lemas (+), nyeri otot (-), nyeri sendi (-),
bengkak sendi (-).
Ekstremitas : Atas Kanan/ Kiri: Luka (-), nyeri (-),
tremor (-), kesemutan (-), bengkak (-), ujung
jari dingin (-).
Bawah Kanan/Kiri: Luka (-), nyeri (-),
tremor (-), kesemutan (-), bengkak (-), ujung
jari dingin (-).
Neuropsikiatri : Kejang (-), emosi tidak stabil (-),
kesemutan (-), lumpuh (-), gelisah (-),
menggigau(-).

D. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 23 April 2011


Keadaan umun : sakit sedang tampak lemas, compos mentis, gizi kesan
cukup
Status gizi : BB = 165cm
TB = 55 kg
BMI = 20.2
Kesan: gizi cukup
Vital Sign : Tensi : 140/80 mmHg
Nadi : 112x/menit
Respiratory rate : 28x/menit
Temperature : 36,3 oC
Mata : Conjuntiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Leher : JVP meningkat, pembesaran limfonodi cervical (-), leher
kaku (-).
Thorax : Bentuk normochest, simetris, retraksi intercostal (-), spider
nevi (-), pernafasan thorakoabdominal, sela iga melebar
(-), pembesaran KGB axilla (-/-).
Cor : Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
Pulmo : I: Statis : Pengembangan dada kanan = kiri
Dinamis : Pengembangan dada kanan = kiri
P: Fremitus raba kanan = kiri
P: Sonor/sonor
A: SDV (+/+), wheezing (+/+)
Abdomen : Supel, nyeri tekan (-), hepar/lien teraba

Extremitas - - : Akral dingin


- -

- - Oedema
- -

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium Darah


23/04/11 Satuan nilai rujukan
Hb 16,2 Gr/dl 13,5-18,00
Hct 43,1 % 40-54
AE (uL) 4,65 106/uL 4,5-5,9
3
AL 7,5 10 /uL 4,5.103-11.103
AT 183 103/Ul 150-440
Gol darah B
GDS 142 Mg/dL 80-110
Ureum 20 Mg/Dl 10-50
Kreatinin 0,9 Mg/Dl 0,6-1,3
Na+ 143 mmol/L 136-146
K+ 3,2 mmol/L 3,5-5,1
Cl 107 mmol/L 98-106
HbsAg Negatif
SGOT 15 UI/L 10-40
SGPT 10 UI/L 10-37

F. RESUME
Pasien datang, seorang laki-laki berusia 49 tahun, dengan keluhan

sesak nafas sejak 1 minggu SMRS, sesak dipengaruhi oleh cuaca,

memberat ketika malam hari sampai terbangun. Saat sesak pasien minum obat
Neonapacyn, sesak berkurang tetapi sesak lagi. Saat datang di IGD, pasien
sesak sampai tidak kuat berbaring, berbicara tidak utuh satu kalimat dalam
satu nafas. Sesak dirasakan memberat 1 hari SMRS. Sesak disertai batuk
dengan dahak kental berwarna putih, demam (-). Penurunan berat badan (-),
penurunan nafsu makan (-). BAK dan BAB tidak ada keluhan.
Pada pemeriksaan fisik tanggal 23 April 2011 didapatkan keadaan
umum pasien tampak lemas, compos mentis, gizi kesan cukup. TD:
140/80mmHg, N: 112x/menit, RR: 28x/menit,t: 36,3C per axillar. Pada
pemeriksaan paru didapatkan auskultasi wheezing (+/+).
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan GDS= 142 Mg/L (80-
110); Cl=107 UI/L (98-106).

ABNORMALITAS
Anamnesis:
1. Sesak nafas dirasakan pengaruh dari cuaca, memberat ketika
malam hari sampai terbangun.

2. Bicara tidak utuh satu kalimat dalam satu nafas.

3. Batuk dengan dahak putih kental.

Pemeriksaan fisik:
4. Tampak lemas

5. TD= 140/80 mmHg

6. N= 112 x/menit

7. RR= 28 x/menit

8. t= 36,3 C per axillar


9. Wheezing (+/+)

Pemeriksaan Penunjang:
10. GDS= 142 Mg/L

11. Cl=107 UI/L

G. ANALISIS DAN SINTESIS

Abnormalitas 1, 2, 3, 5,6, 8 Klinis asma akut sedang pada asma tidak


terkontrol
K. DIAGNOSIS
Asma akut sedang pada asma tidak terkontrol
L. TERAPI
1. Pemberian O2 2-3 lpm
2. IVFD RL& aminophilin 1 amp/24 jam 20 tpm
3. Nebu B:A=0,8:0,2 mg/8jam
4. Dexametason 1 amp/8jam
5. OBH syr 3x CI
M. PLANNING
1. DR2, Liver Function Test
2. APE harian
3. Spirometri bila stabil
N. PROGNOSIS

Ad vitam : dubia ad bonam


Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

FOLLOW UP
24 April 2011
S : sesak berkurang
O : sakit sedang, compos mentis
VS : T= 110/80mmHg N=88x/mnt Rr=24x/mnt t=36oC
Mata : conjuntiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Leher : JVP meningkat, KGB membesar
Thorax : retraksi (-), tampak eritema seluruh dada
Cor : bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
Pulmo : I: pengembangan dada kanan = kiri
P: fremitus raba kanan = kiri
P: sonor/sonor
A: SDV (+/+), wheezing (-/-)
Abdomen: supel, nyeri tekan (-), hepar/lien teraba
W/D : Asma akut sedang pada asma tidak terkontrol
Terapi : Pemberian O2 2-3 lpm
IVFD RL& aminophilin 1 amp/24 jam
Nebu B:A=0,8:0,2mg/8jam
Dexametason 1 amp/8jam
OBH syr 3x C I

25 April 2011
S : (-)
O : baik, compos mentis
VS : T= 130/80mmHg N=88x/mnt Rr=24x/mnt t=36,9oC
Mata : conjuntiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Leher : JVP meningkat, KGB membesar
Thorax : retraksi (-), tampak eritema seluruh dada
Cor : bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
Pulmo : I: pengembangan dada kanan = kiri
P: fremitus raba kanan = kiri
P: sonor/sonor
A: SDV (+/+), wheezing (-/-)
Abdomen: supel, nyeri tekan (-), hepar/lien teraba
W/D : Asma akut sedang pada asma tidak terkontrol
Terapi : Pemberian O2 2-3 lpm
IVFD RL& aminophilin 1 amp/24 jam
Nebu B:A=0,8:0,2mg/8jam
Dexametason 1 amp/8jam
OBH syr 3x C I
Plan : APE harian
Spirometri bila stabil (besok), jam 06.00 nebu, aminophilin,
dexa stop

26 April 2011
S : (-)
O : baik, compos mentis
VS : T= 110/70mmHg N=64x/mnt Rr=24x/mnt t=35,8oC
Mata : conjuntiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Leher : JVP meningkat, KGB membesar
Thorax : retraksi (-), tampak eritema seluruh dada
Cor : bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
Pulmo : I: pengembangan dada kanan = kiri
P: fremitus raba kanan = kiri
P: sonor/sonor
A: SDV (+/+), wheezing (-/-)
Abdomen: supel, nyeri tekan (-), hepar/lien teraba
W/D : Asma akut sedang pada asma tidak terkontrol
Terapi : Pemberian O2 2-3 lpm
IVFD RL& aminophilin 1 amp/24 jam
Nebu B:A=0,8:0,2mg/8jam
Dexametason 1 amp/8jam
OBH syr 3x C I
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Asma
Definisi
Merupakan gangguan inflamasi kronik saluran nafas yang melibatkan
banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan
hiperesponsif jalan nafas yang menimbulkan gejala episodic berulang berupa
mengi, sesak nafas, dada terasa berat, dan batuk-batuk terutama pada malam
dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan
nafas yang luas, bervariasi, dan sering kali bersifat reversibel dengan atau
tanpa pengobatan.

B. Epidemiologi
Di Amerka serikat saat ini diperkirakan ada sekitar 6-8 juta penderita
asma. Di Indonesia sendiri merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan
kematian, hal ini tergambar dari data studi survey kesehatan rumah tangga
(SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. pada tahun 1986 menunjukkan
asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kematian (morbiditi) bersama-
sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, prevalensi
asma di seluruh Indonesia sebesar 13/1000, dibandingkan bronchitis kronik
11/1000 dan obstruksi paru 2/1000.
Ada 3 jenis prevalensi dari asma antara lain:
1. Prevalensi Berdasarkan Geografis
Secara geografis prevalensi asma bronchial, rendah pada bangsa
Eskimo, Indian di Amerika Utara dan Papua New Guinea. Walaupun ada
sarjana yang berpendapat bahwa keadaan ini bukan semata-mata karena
pengaruh lingkungan, tetapi lebih mengarah pada pengaruh genetik.
Prevalensi asma pada anak-anak Skandinavia berkisar antara 0,5-2,0%, di
Inggris dan Amerika 1,5 hingga 5,1 dan di Australia mencapai 5,4 hingga
7,4%.
2. Prevalensi Berdasarkan Umur Saat Serangan Pertama
Jika dilihat dari saat timbul serangan asma, maka 30% semua
serangan asma dimulai pada umur di bawah 10 tahun pada orang Inggris,
Amerika, dan Australia. Sedangkan di Skandinavia, India, dan Nigeria
serangan asma pertama yang timbul pada usia dewasa muda di Amerika
Serikat kurang dari 9%, di Finlandia dapat mencapai 42% dan di Inggris
sekitar 6 sampai 16%.
3. Prevalensi Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan jenis kelamin, perbandingan asma pada anak laki-laki
dan wanita sebesar 1,5:1 dan perbandingan ini cenderung menurun pada
usia yang lebih tua. Pada orang dewasa serangan asma dimulai pada
umur lebih dari 35 tahun, wanita lebih banyak daripada pria. Di Inggris
perbandingan tersebut 25% wanita dan 10%
C. Patogenesis

Asma merupakan inflamasi kronik saluran nafas. Berbagai sel inflamasi


berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil, dan
sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai
penyebab atau pencetus inflamasi saluran nafas pada penderita asma. Inflamasi
terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma intermiten maupun asma
persisten. Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk asma seperti asma
alergik, asma nonalergik, asma kerja dan asma yang dicetuskan aspirin.
Ada 2 jenis inflamasi yaitu:
1. Akut

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor


antara lain allergen, virus, iritan yang dapat menginduksi respons
inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma tipe cepat dan pada sejumlah
kasus diikuti reaksi asma tipe lambat.
Reaksi Asma Tipe Cepat : Alergen akan terikat pada IgE yang
menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi sel mast tersebut.
Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed mediator seperti
histamine, protease, dan newly generated mediator seperti leukotrin,
prostaglandin, dan PAF yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus,
sekresi mucus dan vasodilatasi.
Reaksi Fase Lambat : Reaksi ini dapat timbul antara 6-9 jam
setelah provokasi alergen dan melibatkan pengerahan serta aktivasi
eosinofil, sel T CD4+, neutrofil, dan makrofag.
2. Kronik

Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel


tersebut ialah limfosit T, eosinofil, makrofag, sel mast, sel epitel,
fibroblast dan otot polos bronkus.

D. Faktor Resiko

Resiko terjadinya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu


(host) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi
genetic yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu genetic asma,
alergik (atopi), hiperaktivitas bronkus, jenis kelamin, dan ras. Faktor
lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan / predisposisi
asma untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi
dan atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor
lingkungan yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi
udara, infeksi pernafasan (virus), diet, status sosialekonomi dan besarnya
keluarga. Interaksi faktor genetik / pejamu dengan lingkungan dipikirkan
melalui kemungkinan:
Pajanan lingkungan hanya meningkatkan resiko asma pada
individu dengan genetik asma.

Baik lingkungan maupun genetik masing-masing meningkatkan


resiko penyakit asma.

Faktor Pejamu
Asma adalah penyakit yang diturunkan telah terbukti dari berbagai
penelitian. Predisposisi genetik untuk berkembangnya asma memberikan
bakat / kecenderungan untuk terjadinya asma, dikaitkan dengan ukuran
subjektif (gejala) dan objektif (hiperaktivitas bronkus, kadar IgE serum) dan
atau keduanya. Karena kompleksnya gambaran klinis asma, maka dasar
genetic asma dipelajari dan diteliti melalui fenotip-fenotip perantara yang
dapat diukur secara objektif seperti hiperaktivitas bronkus, alergik / atopi,
walau disadari kondisi tersebut tidak khusus untuk asma. Banyak gen terlibat
dalam patogenesis asma, dan beberapa kromosom telah diidentifikasikan
berpotensi menimbulkan asma, antara lain CD28, IGPB5, CCR4, CD22,
IL9R, NOS1, reseptor agonis beta2, GSTP1; dan gen-gen yang terlibat dalam
menimbulkan asma dan atopi yaitu IRF2, IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, CSF2
GRL1, ADRB2, CD14, HLAD, TNFA, TCRG, IL-6, TCRB, TMOD, dan
sebagainya.
Genetik mengontrol respon imun
Gen-gen yang berlokasi pada kompleks HLA (Human leucocyte
antigen) mempunyai cirri dalam memberikan respons imun terhadap
aeroallergen. Kompleks gen HLA berlokasi pada kromosom 6p dan terdiri
atas gen kelas I,II, dan III dan lainnya seperti gen TNF-. Banyak studi
populasi mengamati hubungan antara respon IgE terhadap alergen spesifik
dan gen HLA kelas II dan reseptor sel T, didapatkan hubungan kuat antara
HLA alel DRB1*15 dengan respon terhadap alergen Amb av.
Genetik mengontrol sitokin proinflamasi
Kromosom 11,12,13 memiliki berbagai gen yang penting dalam
berkembangnya atopi dan asma. Fenotip alergik dikaitkan dengan kromosom
11, kromosom 12 mengandung gen yang mengkode IFN-, mast cell growth
factor, insulin-like growth factor, dan nitric oxide synthase. Studi
berkesinambungan menunjukkan ada ikatan positif antara petanda-petanda
pada lokus 12q, asma dan IgE, demikian pula kromosom 14 dan 19.
Faktor lingkungan
Alergen dan sensitisasi bahan lingkungan kerja dipertimbangkan
adalah penyebab utama asma, dengan pengertian faktor lingkungan tersebut
pada awalnya mensensitisasi jalan nafas dan mempertahankan kondisi asma
tetap aktif dengan mencetuskan serangan asma atau meyebabkan menetapnya
gejala.
E. Diagnosis dan Klasifikasi

Studi epidemiologi menunjukkan asma underdiagnosed di seluruh


dunia disebabkan berbagai hal, antara lain gambaran klinis yang tidak khas
dan beratnya penyakit yang bervariasi, serta gejala yang bersifat episodic
sehingga penderita tidak merasa perlu ke dokter. Diagnosis asma didasari oleh
gejala yang bersifat episodic, gejala berupa batuk, sesak nafas, mengi, rasa
berat di dada, dan variability yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang
baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan
jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibility kelainan faal paru,
akan lebih meningkatkan nilai diagnostic.
Riwayat penyakit/gejala:
Bersifat episodik, sering kali reversibel dengan atau tanpa pengobatan.

Gejala berupa batuk, sesak nafas, rasa berat di dada, dan berdahak.

Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari.

Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu.

Respon terhadap pemberian bronkodilator.

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit:


Riwayat keluarga (atopi).

Riwayat alergi/ atopi.

Penyakit lain yang memberatkan.


Perkembangan penyakit dan pengobatan.

Gejala asma dapat bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan


jasmani dapat normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering
ditemukan adalah mengi pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi
dapat terdengar normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah
terdapat penyempitan jalan napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot
polos saluran napas, edema, dan hipersekresi dapat menyumbat saluran napas;
maka sebagai kompensasi penderita bernapas pada volume paru yang lebih
besar untuk mengatasi menutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan kerja
penapasan dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas, mengi, dan
hiperinflasi.
Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi
paksa. Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada
serangan yang sanat berat, tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya
sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi, dan penggunaan otot
bantu napas.
Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan
persepsi mengenai asmanya, demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam
menilai dispnea dan mengi; sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu
faal paru antara lain untuk menyamakan persepsi dokter dan penderita, dan
parameter objektif menilai berat asma.
Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai obstruksi jalan
napas, reversibiliti kelainan faal paru, dan variabiliti faal paru sebagi
penilaian tidak langsung hiperesponsif jalan napas. Banyak parameter dan
metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah diterima secara luas
(standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan spirometri dan arus
puncak respirasi (APE).
Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma adalah
mengetahui obstruksi jalan napas dari nilai rasio VEP1/KVP < 75% atau VEP1
< 80% nilai prediksi. Selanjutnya spirometri dapat menilai reversibiliti, yaitu
perbaikan VEP1 15% secara spontan, atau setelah inhalasi bronkodilator (uji
bronkodilator), atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau
setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/oral) 2 minggu. Spirometri juga
dapat untuk menilai derajat asma.
Manfaat mengukur arus puncak respirasi (APE) adalah menilai
reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE 15% setelah inhalasi bronkodilator
(uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau respon terapi
kotikosteroid (inhalasi/oral, 2 minggu). Selain itu dapat untuk menilai
variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti APE
harian selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat digunakan menilai derajat
berat penyakit.
Derajat Asma Gejala Gejala Faal Paru
Malam
I. Intermitten Bulanan APE 80%
- gejala <1x/minggu 2x sebulan - VEP1 80%
nilai prediksi
APE 80% nilai
terbaik
- tanpa gejala di luar - variabiliti APE
serangan < 20%
- serangan singkat

II. Persisten Mingguan APE > 80%


Ringan
- gejala >1x/minggu, tetapi >2x sebulan - VEP1 80%
nilai prediksi
< 1x/hari
APE 80% nilai
terbaik
- serangan dapat - variabiliti APE
mengganggu aktivitas dan 20-30%
tidur

III. Persisten Harian APE 60-80%


Sedang
- gejala setiap hari >1x/minggu VEP1 60 - 80%
nilai prediksi
APE 60 - 80%
nilai terbaik
-serangan mengganggu Variabiliti APE >
aktivitas dan tidur 30%
-membutuhkan
bronkodilator setiap hari

IV. Persisten Kontinyu APE 60%


Berat
- gejala terus menerus Sering VEP1 60% nilai
prediksi
APE 60% nilai
terbaik
- sering kambuh Variabiliti APE >
30%
-aktivitas fisik terbatas
Diagnosis banding asma pada dewasa antara lain penyakit paru
obstruksi kronik, bronkitis kronik, gagal jantung kongestif, batuk kronik
akibat lain-lain, disfungsi larings, obstruksi mekanis, emboli paru. Diagnosis
banding asma pada anak adalah benda asing di saluran napas,
laringotrakeomalasia, pembesaran kelenjar limfe, tumor, stenosis trakea,
bronkiolitis.
Derajat berat asma dapat diklasifikasikan berdasarkan gambaran
klinis (sebelum pengobatan). Sedangkan derajat berat asma pada penderita
dalam pengobatan diklasifikasikan sebagai berikut:

Gejala dan Faal Tahapan pengobatan yang digunakan


Paru dalam saat penilaian
Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3
Pengobatan
Intermiten Persisten Persisten
Ringan Sedang
Tahap I:Intermitten Intermiten Persisten Persisten
Gejala <1x /minggu Ringan Sedang
Serangan singkat
Gejala malam
<2x /bulan
Faal paru normal di
luar serangan
Tahap II: Persisten Persisten Persisten Persisten
ringan Ringan Sedang Berat
Gejala >1x
/minggu, tetapi
<1x/hari
Gejala malam
>2x /bulan, tetapi
<1x/minggu
Faal paru normal di
luar serangan
Tahap III: Persisten Persisten Persisten Persisten
Sedang Sedang Berat Berat
Gejala setiap hari
Serangan mempe-
ngaruhi aktivitas
dan tidur
Gejala malam
>1x/minggu
60%<VEP1<80%
nilai prediksi
60%<APE<80%
nilai terbaik

Tahap IV: Persisten Persisten Persisten Persisten


Berat berat berat berat
Gejala terus
menerus
Serangan sering
Gejala malam
sering
VEP1 60% nilai
prediksi, atau
APE 60% nilai
terbaik
Status kontrol asma seseorang dapat diketahui dengan
menggunakan Asthma Control Test (ACT). ACT adalah sebuah tes sederhana
berbentuk kuisioner yang dapat membantu penyandang asma mengevaluasi
asma telah terkontrol dengan baik. Berikut adalah tabel ACT:

Sedian dan Dosis obat Pengontrol Asma


Medikasi Sediaan Obat Dosis Dosis anak Keterangan
dewasa
Kortikosteroid
sistemik
Metilprednisolon Tablet 4,8,16 mg 4-40 0,25-2 mg/ Pemakaian jangka
mg/hr, kgBB/hr, dosis panjang dosis 4-5
dosis tunggal atau mg/hr atau 8-10 mg
tunggal terbagi selang sehari untuk
atau mengontrol asma,
terbagi atau sebagai
pengganti steroid
inhalasi pada kasus
yang tidak dapat/
mampu
menggunakan
steroid inhalasi
Prednison Tablet 5 mg Short- Short-course:
course: 1-2
20-40 mg/kgBB/hr.
mg/hr Maks. 40
dosis mg/hr, selama
tunggal 3-10 hr
atau
terbagi
selama 3-
10 hari
Kromolin dan
Nedokromil
Kromolin IDT 5 mg/semprot 1-2 1 semprot, Sebagai alternatif
semprot, 3-4x/hr antiinflamasi
3-4x/hr
Nedokromil IDT 2 mg/semprot 2 semprot, 2 semprot, Sebelum exercise
2-4x/hr 2-4x/hr atau pajanan
alergen, profilaksis
efektif dlm 1-2 jam
Agonis beta-2
kerja lama
Salmoterol IDT 25 mcg/semprot 2-4 1-2 semprot, Digunakan
Rotadisk 50 mcg semprot, 2x/hr bersama/ kombinasi
2x/hr dengan steroid
inhalasi untuk
mengontrol asma
Bambuterol Tablet 10 mcg 1x10 --
mg/hr
Prokaterol Tablet 25, 50 mcg 2x50 2x25 mcg/hr Tidak dianjurkan
Sirup 5 mcg/ml mcg/hr 2x2,5 ml/hr untuk mengatasi
2x5 ml/hr pada gejala
eksaserbasi.
Kecuali formoterol
yang mempunyai
onset kerja cepat
dan berlangsung
lama, sehingga
dapat digunakan
mengatasi gejala
pada eksaserbasi
Formoterol IDT 4,5 ; 9 mcg, 4,5-9 mcg 2x1 semprot
1-2x/hr 1-2x/hr (>12 tahun)
Metilxantin
Aminofilin lepas Tablet 225 mg 2x1 tablet -1 tablet, Atur dosis sampai
lambat 2x/hr mencapai kadar
obat dalam serum
5-15 mcg/ml
Teofilin lepas Tablet 125,250,300 2x125-300 2x125 mg Sebaiknya
lambat mg-2x/hr mg (>6tahun) monitoring kadar
obat dalam serum
dilakukan rutin,
mengingat sangat
bervariasinya
metabolic
clearance dari
teofilin, sehingga
mencegah efek
samping
Antileukotrin
Zafirlukast Tablet 20 mg 2x20 -- Pemberian bersama
mg/hr makanan
mengurangi
bioavailabilitas.
Sebaiknya
diberikan 1 jam
sebelum atau 2 jam
setelah makan.
Steroid Inhalasi
Flutikason IDT 50,125 mcg/hr 125-500 50-125 mcg/hr Dosis bergantung
propionate mcg/hr pada derajat berat
asma
Budesonide IDT, Turbuhaler 100-800 100-200 Sebaiknya
100,200,400 mcg mcg/hr mcg/hr diberikan dengan
spacer
Beklometason IDT,Rotacap, 100-800 100-200
dipropionat Rotahaler,Rotadisk mcg/hr mcg/ht

Sediaan dan Dosis Obat Pelega untuk mengatasi gejala asma


Medikasi Sediaan Obat Dosis dewasa Dosis anak Keterangan
Agonis beta-2
kerja singkat
Terbutalin IDT 0,25 mg/ 0,25-0,5 mg, Inhalasi 0,25 Penggunaan obat
semprot 3-4x/hr mg, 3-4x/hr pelega sesuai
Turbuhaler 0,25 (>12 thn) kebutuhan bila perlu.
mg; 0,5 mg/hirup
Respule/ solution
5 mg/2ml
Tablet 2,5 mg Oral 1,5-2,5
Sirup 1,5 ; 2,5 mg/ mg, 3-4x/hr Oral 0,05
5 ml mg/kgBB/x, 3-
4x/hr
Salbutamol IDT 100 Inhalasi 200 100 mcg 3- Untuk mengatasi
mcg/semprot mcg, 3-4 x/hari 4x/hr eksaserbasi, dosis
Nebules/solutio 0,05 pemeliharaan
2,5 mg/2ml, mg/kgBB/x, 3- berkisar 3-4x/hr
5mg/ml Oral 1-2 mg, 4x/hr
Tablet 2mg, 4mg 3-4x/hr
Sirup
1mg,2mg/5ml
Fenoterol IDT 100, 200 200 mcg 3- 100 mcg, 3-
mcg/semprot 4x/hr 10-20 4x/hr 10 mcg.
Solutio 100 mcg.
mcg/ml
Prokaterol IDT 10 2-4x/hr 2x/hr
mcg/semprot 2x50 mcg/hr 2x25 mcg/hr
Tablet 25,50 mcg 2x5 ml/hr 2x2,5 ml/hr
Sirup 5 mcg/ml
Antikolinergik
Ipratropium IDT 20 40 mcg, 3- 20 mcg, 3-4x/hr Diberikan kombinasi
bromide mcg/semprot 4x/hr 0,25-0,5 mg dengan agonis beta-2
Solutio 0,25 0,25 mg, setiap tiap 6 jam kerja singkat, untuk
mg/ml (0,025%) 6 jam mengatasi serangan.
(nebulisasi) Kombinasi dengan
agonis beta-2 pada
pengobatan jangka
panjang, tidak ada
manfaat tambahan.
Kortikosteroid
sistemik
Metilprednisolon Tablet 4,8,16 mg Short course: Short course: Short course efektif
24-40 mg/hr 1-2 untuk mengontrol
dosis tunggal mg/kgBB/hr, asma pada terapi
atau terbagi maks. 40 mg/hr awal, sampai tercapai
selama 3-10 hr. selama 3-10 hr APE 80% terbaik
atau gejala mereda,
umumnya
membutuhkan 3-10
hr.

Prednison Tablet 5 mg
Metilxantin
Teofilin Tablet 130,150 mg 3-5 3-5 Kombinasi
mg/kgBB/x, 3- mg/kgBB/x, 3- teofilin/aminofilin
4x/hr 4x/hr dengan agonis beta-2
kerja singkat
(masing-masingdosis
minimal),
meningkatkan
efektivitas dengan
efek samping
minimal.
Aminofilin Tablet 200 mg

F. Penatalaksanaan Asma

Tujuan penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan


mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal
tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

1. Edukasi
Edukasi yang baik akan menurunkan morbiditas dan mortalitas.
Edukasi tidak hanya untuk pasien dan keluarganya, tetapi juga pemegang
keputusan kesehatan, profesi kesehatan, dan masyarakat luas. Tujuan dari
seluruh edukasi adalah membantu agara penderita dapat melakukan
penatalaksanaan dan mengontrol asma.

Edukasi harus dilakukan terus- menerus, pada prinsipnya edukasi


diberikan pada:

1. Kunjungan awal (I)

2. Kunjungan kemudian (II) yaitu 1-2 minggu dari kunjungan pertama

3. Kunjungan berikut (III)

4. Kunjungan-kunjungan berikutnya

Edukasi sebaiknya dilakukan dengan alat peraga lengkap, dengan


materi edukasi bisa mengenai cara sdan waktu penggunaan obat,
menghindari pencetus, mengenali efek samping obat dan fungsi kontrol
teratur pada pengobatan asma.

2. Penilaian dan Pemantauan Secara Berkala

Pemantauan tanda dan gejala asma sebaiknya meliputi 3 hal berikut ini:

1. Gejala asma sehari-hari (mengi, batuk, rasa berat di dada dan sesak
napas)

2. Asma malam terbangun pada malam hari karena gejala asma

3. Gejala asma pada dini hari tidak menunjukkan perbaikan setelah diberi
pengobatan agonis beta-2 kerja singkat

Pemeriksaan faal paru sangat bermanfaatkan dalam


mengindentifikasi dan pelaksanaan penyakit asma, bisa dilakukan dengan
spirometri atau pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE) menggunakan
peak flow meter.

3. Perencanaan dan Pengobatan Jangka Panjang


Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mengontrol penyakit
sehingga disebut asma terkontrol. Asma terkontrol adalah kondisi stabil
minimal dalam waktu satu bulan.

Medikasi asma

Pengontrol (Controller)

Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,


diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan kondisi asma
terkontrol pada asma terkontrol.

Macam-macam obat pengontrol adalah :

1. Glukokortikosteroid inhalasi : medikasi jangka panjang paling efektif


dalam mengontrol asma. Pilihan bagi pengobatan asma persisten (ringan
sampai berat). Kurva dosis- respons steroid inhalasi adalah datar, berarti
meningkatkan dosis tidak akan banyak menghasilkan manfaat dalam
mengontrol asma, sehingga apabila dengan dosis inhalasi tidak mencapai
asma terkontrol, dianjurkan untuk menambah obat pengontrol lainnya
daripada menambah dosis.

2. Glukokortikosteroid sistemik : digunakan sebagai pengontrol dalam kasus


asma persisten berat, tetapi pengunaannya terbatas mengingat resiko
sistemik.

3. Kromolin : sebagai AINS, menghambat pelepasan mediator inflamasi dari


sel mast yang diperantarai IgE, selain itu juga menghambat saluran
kalsium. Diberikan secara inhalasi, sebagai pengontrol pada asma
persisten ringan.

4. Metilxantin : bronkodilator yang juga memiliki efek antiinflamasi.


Teofilin juga diberikan sebagai bronkodilator tambahan pada serangan
asma berat.

5. Agonis beta-2 kerja lama : mempunyai efek relaksasi otot polos,


meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas
pembuluh darah dan memodulasi pelepasan mediator dari sel mast.
Pemberian secara inhalasi menghasilkan efek bronkodilasi lebih baik dari
preparat oral.

6. Leukotriens modifiers : merupakan anti asma terbaru dengan mekanisme


menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok semua sintesis
leukotrien. Efek yang dihasilkan adalah bronkodilator minimal dan
menurunkan bronkokontriksi.

Pelega (Reliever)

Prinsip kerjanya adalah pelebaran jalan napas melalui relaksasi jalan


napas, memperbaiki dan atau menghambat bronkokontriksi yang berkaitan
dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak
memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan
napas.

Macam-macam obat pelega adalah :

1. Agonis beta-2 kerja singkat : mempunyai onset kerja yang cepat.


Merupakan pilihan terapi pada serangan asma akut dan pratetapi pada
exercise-induced asthma.

2. Metilxantin : sebagai bronkodilator meski lebih lemah dan onset lebih lama
dari agonis beta-2 kerja singkat.

3. Antikolinergik : memblok pelepasan asetilkolin dari saraf kolinegik pada


jalan napas.

4. Adrenalin : pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat.

Pengobatan berdasarkan derajat berat asma

1. Asma intermitten

Pengobatan yang lazim adalahagonis beta-2 kerja singkat bila


dibutuhkan. Juga sebelum exercise pada exercise-induced asthmadengan
alternatf kromolin atau leukotriens modifiers. Bila terjadi serangan obat
pilihan adalah agonis beta-2 kerja singkat inhalasi, agonis beta-2 kerja
singkat oral, kombinasi teofilin kerja singkat dan agonis beta-2 kerja
singkat oral atau antikolinergik inhalasi. Bila perlu bronkodilator > 1
minggu selama 3 bulan, sebaiknya diperlakukan sebagai asma persisten
ringan.

2. Asma persisten ringan

Membutuhkan obat pengontrol setiap hari sehingga terapi utama adalah


antiinflamasi dengan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah. Terapi
lainnya adalah bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat) tidak lebih 4x
per hari. Jika > 4x perhari dipertimbangkan beratnya asma pada tahap
selanjutnya.

3. Asma persisten sedang

Obat idealnya adalah kombinasi inhalasi glukokortikosteroid terbagi


dalam 2 dosis dan agonis beta-2 kerja lama 2x sehari. Terapi lainnya
adalah bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat) inhalasi bila
perlu,tidak lebih 4x per hari. Alternatifnya adalah agonis beta-2 kerja
singkat oral atau kombinasi oral teofilin kerja singkat dan agonis beta-2
kerja singkat.

4. Asma persisten berat

Tujuannya adalah mencapai kondisi terbaik, gejala seringan mungkin,


kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal paru sebaik mungkin,
variabilitas APE seminimal mungkin sehingga obat pengontrolnya lebih
dari satu. Terapi utama adalah inhalasi glukokortikosteroid dosis tinggi
dan agonis beta-2 kerja lama 2x sehari. Alternatifnya adalah teofilin lepas
lambat, agonis beta-2 kerja lama oral dan leukotriens modifiers sebagai
alternatis agonis beta-2 kerja lama.

Pelangi Asma

Adalah sistem monitoring keadaan asma secara mandiri, terdiri dari :


Hijau : - kondisi baik, asma trerkontrol

- tidak ada/ gejala minimal

- APE 80-100 % nilai prediksi

Pengobatan tergantung berat asma, prinsipnya pengobatan dilanjutkan.


Bila tetap pada hijau minimal 3 bulan, pertimbangkan turunkan terapi

Kuning : - berhati-hati, asma tidak terkontrol, dapat terjadi eksaserbasi

- dengan gejala asma (asma malam, hambatan aktivitas, batuk, mengi, dada
terasa berat baik aktivitas maupun istirahat dan/atau APE 60-80 % nilai
prediksi.

Menbutuhkan peningkatan dosis terapi atau perubahan medikasi.

Merah : - berbahaya

- gejala asma terus menerus

- APE <60 % nilai prediksi

Penderita perlu pengobatan segera

G. Pencegahan Asma

Pencegahan meliputi pencegahan primer yaitu mencegah


tersensitisasi dengan bahan yang menyebabkan asma, pencegahan
sekunder adalah mencegah yang sudah tersensitisasi untuk tidak
berkembang menjadi asma; dan pencegahan tersier adalah mencegah agar
tidak terjadi serangan / bermanifestasi klinis asma pada penderita yang
sudah menderita asma.

Pencegahan Primer

Perkembangan respons imun jelas menunjukkan bahwa periode


prenatal dan perinatal merupakan periode untuk diintervensi dalam
melakukan pencegahan primer penyakit asma. Banyak faktor terlibat
dalam meningkatkan atau menurunkan sensitisasi alergen pada fetus,
tetapi pengaruh faktor-faktor tersebut sangat kompleks dan bervariasi
dengan usia gestasi, sehingga pencegahan primer waktu ini adalah
belum mungkin. Walau penelitian ke arah itu terus berlangsung dan
menjanjikan.

Periode prenatal

Kehamilan trimester ke dua yang sudah terbentuk cukup sel


penyaji antigen (antigen presenting cells) dan sel T yang matang,
merupakan saat fetus tersensisitasi alergen dengan rute yang paling
mungkin adalah melalui usus, walau konsentrasi alergen yang dapat
penetrasi ke amnion adalah penting. Konsentrasi alergen yang rendah
lebih mungkin menimbulkan sensitisasi daripada konsentrasi tinggi.
Faktor konsentrasi alergen dan waktu pajanan sangat mungkin
berhubungan dengan terjadinya sensitisasi atau toleransi imunologis.

Penelitian menunjukkan menghindari makanan yang bersifat


alergen pada ibu hamil dengan risiko tinggi, tidak mengurangi risiko
melahirkan bayi atopi, bahkan makanan tersebut menimbulkan efek
yang tidak diharapkan pada nutrisi ibu dan fetus. Saat ini, belum ada
pencegahan primer yang dapat direkomendasikan untuk dilakukan.

Periode postnatal

Berbagai upaya menghindari alergen sedini mungkin dilakukan


terutama difokuskan pada makanan bayi seperti menghindari protein
susu sapi, telur, ikan, kacang-kacangan. Sebagian besar studi
menunjukkan mengenai hal tersebut, menunjukkan hasil yang
inkonklusif (tidak dapat ditarik kesimpulan). Dua studi dengan tindak
lanjut yang paling lama menunjukkan efek transien dari menghindari
makanan berpotensi alergen dengan dermatitis atopik. Dan tindak
lanjut lanjutan menunjukkan berkurangnya bahkan hampir tidak ada
efek pada manifestasi alergik saluran napas, sehingga disimpulkan
bahwa upaya menghindari alergen makanan sedini mungkin pada bayi
tidak didukung oleh hasil. Bahkan perlu dipikirkan memanipulasi dini
makanan berisiko menimbulkan gangguan tumbuh kembang.

Diet menghindari antigen pada ibu menyusui risiko tinggi,


menurunkan risiko dermatitis atopik pada anak, tetapi dibutuhkan
studi lanjutan (bukti C).

Menghindari aeroelergen pada bayi dianjurkan dalam upaya


menghindari sensitisasi. Akan tetapi beberapa studi terakhir
menunjukkan bahwa menghindari pajanan dengan kucing sedini
mungkin, tidak mencegah alergi; dan sebaliknya kontak sedini
mungkin dengan kucing dan anjing kenyataannya mencegah alergi
lebih baik daripada menghindari binatang tersebut. Penjelasannya
sama dengan hipotesis hygiene, yang menyatakan hubungan dengan
mikrobial sedini mungkin menurunkan penyakit alergik di kemudian
hari. Kontroversi tersebut mendatangkan pikiran bahwa strategi
pencegahan primer sebaiknya didesain dapat menilai keseimbangan
sel Th1dan Th2, sitokin dan protein-protein yang berfusi dengan
alergen.

Pencegahan primer di masa datang akan berhubungan


imunomodulasi menggunakan sel Th1 ajuvan, vaksin DNA, antigen
yang berkaitan dengan IL-12 atau IFN-g, pemberian mikroorganisme
usus yang relevan melalui oral (berhubungan dengan kolonisasi flora
mikrobial usus). Semua strategi tersebut masih sebagai hipotesis dan
membutuhkan penelitian yang tepat.

Asap rokok lingkungan (Enviromental tobacco smoke/ ETS)

Berbagai studi dan data menunjukkan bahwa ibu perokok


berdampak pada kesakitan saluran napas bawah pada anaknya sampai
dengan usia 3 tahun, walau sulit untuk membedakan kontribusi
tersebut pada periode prenatal atau postnatal. Berbagai studi
menunjukkan bahwa ibu merokok selama kehamilan akan
mempengaruhi perkembangan paru anak, dan bayi dari ibu perokok, 4
kali lebih sering mendapatkan gangguan mengi dalam tahun pertama
kehidupannya.Sedangkan hanya sedikit bukti yang mendapatkan
bahwa ibu yang merokok selama kehamilan berefek pada sensitisasi
alergen. Sehingga disimpulkan merokok dalam kehamilan berdampak
pada perkembangan paru, meningkatkan frekuensi gangguan mengi
nonalergi pada bayi, tetapi mempunyai peran kecil pada terjadinya
asma alergi di kemudian hari. Sehingga jelas bahwa pajanan asap
rokok lingkungan baik periode prenatal maupun postnatal (perokok
pasif) mempengaruhi timbulnya gangguan/ penyakit dengan
mengi (bukti A).

Pencegahan sekunder

Sebagaimana di jelaskan di atas bahwa pencegahan sekunder


mencegah yang sudah tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi
asma. Studi terbaru mengenai pemberian antihitamin H-1 dalam
menurunkan onset mengi pada penderita anak dermatitis atopik. Studi
lain yang sedang berlangsung, mengenai peran imunoterapi dengan
alergen spesifik untuk menurunkan onset asma.

Pengamatan pada asma kerja menunjukkan bahwa


menghentikan pajanan alergen sedini mungkin pada penderita yang
sudah terlanjur tersensitisasi dan sudah dengan gejala asma, adalah
lebih menghasilkan pengurangan /resolusi total dari gejala daripada
jika pajanan terus berlangsung.

Pencegahan Tersier

Sudah asma tetapi mencegah terjadinya serangan yang


dapat ditimbulkan oleh berbagai jenis pencetus. Sehingga
menghindari pajanan pencetus akan memperbaiki kondisi asma dan
menurunkan kebutuhan medikasi/ obat.
Tabel 21. Mengontrol alergen di dalam dan di luar ruangan

Faktor Pencetus Asma Kontrol Lingkungan

Debu rumah (Domestik mite) Cuci sarung bantal, guling, sprei, selimut dengan air panas (55-60C) paling
lama 1 minggu sekali
Ganti karpet dengan linoleum atau lantai kayu
Ganti furnitur berlapis kain dengan berlapis kulit
Bila gunakan pembersih vakum, pakailah filter HEPA dan kantung debu 2
rangkap
Cuci dengan air panas segala mainan kain

Serpihan kulit (Alergen Pindahkan binatang peliharaan dari dalam rumah, atau paling tidak dari kamar
binatang) tidur dan ruang utama.
Gunakan filter udara (HEPA) terutama di kamar tidur dan ruang utama
Mandikan binatang peliharaan 2 x/ minggu
Ganti furniture berlapis kain dengan berlapis kulit
Ganti karpet dengan tikar atau lantai kayu
Gunakan pembersih vakum dengan filter HEPA dan kantung debu 2 rangkap

Eliminasi lingkungan yang disukai kecoa seperti tempat lembab, sisa


Kecoa makanan, sampah terbuka dll
Gunakan pembasmi kecoa

Perbaiki semua kebocoran atau sumber air yang berpotensi menimbulkan


Jamur jamur , misalnya dinding kamar mandi, bakmandi, kran air, dsb. Jangan
gunakan alat penguap.
Pindahkan karpet basah atau yang berjamur

Tepung sari bunga dan jamur di Bila di sekitar ruangan banyak tanaman berbunga dan merupakan pajanan
luar ruangan tepung sari bunga, tutup jendela rapat-rapat, gunakan air conditioning. Hindari
pajanan tepung sari bunga sedapat mungkin.
Tabel 22. Mengontrol polusi udara di dalam dan di luar ruangan

Faktor Pencetus Asma Kontrol Lingkungan


Polusi udara dalam ruangan Tidak merokok di dalam rumah
Asap rokok (perokok pasif) Hindari berdekatan dengan orang yang sedang merokok
Asap kayu/ masak Upayakan ventilasi rumah adekuat
Spray pembersih rumah Hindari memasak dengan kayu
Obat nyamuk Hindari menggunakan spray pembersih rumah
Dll Hindari menggunakan obat nyamuk yang menimbulkan asap
atau spray dan mengandung bahan polutan

Polusi udara di luar`ruangan Hindari aktiviti fisis pada keadaan udara dingin dan
Asap rokok kelembaban rendah
Cuaca Tinggalkan/ hindari daerah polusi
Ozon
Gas buang kendaraan bermotor
Dll

Pajanan di lingkungan kerja Hindari bahan polutan


Ruang kerja dengan ventilasi yang baik
Lindungi pernapasan misalnya dengan masker
Bebaskan lingkungan dari asap rokok

Tabel 23. Mengontrol faktor pencetus lain

Faktor Pencetus Asma Mengontrol Pencetus

Refluks gastroesofagus Tidak makan dalam 3 jam sebelum tidur.


Pada saat tidur, posisi kepala lebih tinggi dari badan.
Gunakan pengobatan yang tepat untuk meningkatkan tekanan esofagus
bawah dan mengatasi refluks

Obat-obatan Tidak menggunakan Beta-bloker (termasuk tetes mata, dsb)


Tidak mengkonsumsi aspirin atau antiinflamasi non-steroid

Infeksi pernapasan (virus) Menghindari infeksi pernapasan sedapat mungkin dengan hidup sehat,
bila terjadi minta bantuan medis/ dokter.
Vaksinasi influenza setiap tahun
PENATALAKSANAAN SERANGAN ASMA DI RUMAH SAKIT

Penilaian awal

Asma ringan Asma sedang/berat Asma mengancam jiwa

- Oksigenasi
- Nebulisasi agonis beta-2 kerja singkat 20 dalam 1jam atau agonis beta-2 injeksi
(terbutalin 0,5 mg sc atau adrenalin 1/1000 0,3 sc)
- Kortikosteroid sistemik
- Serangan asma berat
- Tidak ada respon, segera pengobatan bronkodilator
- Dalam kortikosteriod oral

Penilaian ulang 1 jam

Respon baik Respon tidak sempurna Respon buruk


- Respon baik dan stabil - Resiko tinggi distress - Resiko tinggi distress
dalam 1 jam - Px fisik :gejala ringan sedang - Px fisik : berat,
- Px fisik normal - APE> 50% < 70%
- APE >70% prediksi - Sa 02 tidak ada perbaikan gelisah, kesadaran
- Sa O2 >90% menurun
- APE < 30%
- PaCO2 > 45 mmHg
- PaO2 < 60 mmHg
Pulang
- Terapi lanjut inhalasi agonis Dirawat di RS
beta-2 - inhalasi agonis beta-2 +
- Kortikosteriod oral antikolinergik Dirawat ICU
- Edukasi - kortikosteroid sistemik - inhalasi agonis beta-2 +
aminofilin drip
antikolinergik
- terapi oksigen
- kortikosteroid IV
- pantau APE, SaO2,nadi, - pertimbangkan agonis beta-
kadar teofilin 2 inj sc/im/iv
- terapi oksigen
- aminofilin drip
- intubasi

Perbaikan Tidak perbaikan


Pulang Dirawat di ICU
bilaAPE>60% prediksi Bila tidak perbaikan
tetap berikan terapi oral dalam 6-12 jam
atau inhalasi
-

Algoritma penatalaksanaan asma di rumah sakit

PENATALAKSANAAN SERANGAN ASMA DIRUMAH

Penilaian berat serangan


-

Terapi awal
Inhalasi agonis beta-2 kerja
singkat 20 dalam 1 jam atau
bronkodilator oral

Respon baik Respon buruk


Gejala (batuk/berdahak/mengi/sesak) membaik Gejala menetap/bertambah buruk
Perbaikan dengan agonis beta-2 dan bertahan selama 4 jam. APE < 60% prediksi
APE > 80% prediksi Tambah kortikosteroid oral
Agonis beta-2 diulang

Lanjutkan agonis beta-2 inhalasi setiap 3-4 jam dalam 24-48 Segera ke dokter /IGD/RS
jam.alternatif bronkodilator oral tiap 6-8 jam
Steroid inhalasi diteruskan dengan dosis tinggi (bila
memakai)selama 2 minggu, kemudian kembali ke dosis
semula

Hubungi dokter

Algoritma penatalaksanaan asma di rumah


DAFTAR PUSTAKA

You might also like