You are on page 1of 24

REFERAT

KONJUNGTIVITIS GONORE

Pembimbing :

dr. Wahid Heru Widodo, Sp.M

Disusun oleh :
Windarto G4A015090
M. Danantyo Himawan G4A015091
Diah Rizky F. G4A015093

SMF ILMU PENYAKIT MATA


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2016
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
KONJUNGTIVITIS GONORE

Disusun oleh :
Windarto G4A015090
M. Danantyo Himawan G4A015091
Diah Rizky F. G4A015093

Diajukan untuk memenuhi syarat


Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik Senior
di bagian Ilmu Penyakit Mata RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo Purwokerto

Purwokerto, Oktober 2016

Pembimbing,

dr. Wahid Heru Widodo, Sp.M


BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit kelamin yang disebabkan oleh gonore merupakan penyakit yang


tersebar luas di seluruh dunia secara endemik. Salah satu penyakit yang
ditimbulkan yaitu konjungtivitis gonore. Konjungtivitis atau radang konjungtiva
adalah penyakit mata paling umum di dunia. Penyakit ini bervariasi mulai dari
hiperemia ringan dengan mata berair sampai konjungtivitis berat dengan banyak
sekret purulen kental. Penyebab umumnya eksogen, tetapi dapat endogen.
Konjungtivitis dapat disebabkan oleh berbagai macam hal, seperti bakteri, virus,
jamur, parasit, alergi dan kimia atau iritatif. Konjungtivitis memiliki klasifikasi,
yaitu konjungtivitis bakteri, konjungtivitis viral, dan konjungtivitis alergi.
Konjungtivitis gonore merupakan bagian dari konjungtivitis bakteri (Schwab, et
al., 2009).
Konjungtivitis bakteri memiliki dua bentuk, yaitu konjungtivitis bakteri
akut (termasuk hiperakut dan subakut) dan kronik. Konjungtivitis bakteri akut
biasanya jinak dan dapat sembuh sendiri, berlangsung kurang dari 14 hari.
Sebaliknya, konjungtivitis hiperakut (purulen) yang disebabkan oleh Neisseria
gonorrhoeae dapat menimbulkan komplikasi mata berat bila tidak diobati sejak
dini (Schwab, et al., 2009). Infeksi mata gonokokal dapat dibagi menjadi dua
bentuk yang berbeda, yaitu terjadi pada neonatus dan pada orang dewasa dengan
seksual aktif. Kebanyakan kasus terjadi pada neonatus atau orang dewasa yang
aktif secara seksual dan ditularkan melalui kontak dengan urine yang terinfeksi
atau cairan kelamin. Infeksi mata gonokokal pada orang dewasa relatif jarang,
diagnosis klinis mungkin tertunda. Baru-baru ini, kejadian konjungtivitis
gonokokal dewasa telah menunjukkan peningkatan, terutama adanya resistensi
terhadap penisilin dan terjadinya konjungtivitis PPNG (Lee, et al., 2002).
Konjungtivitis gonore memiliki masa inkubasi 2-5 hari. Namun, dapat
terjadi lebih awal pada kasus ketuban pecah dini. Biasanya terjadi bilateral.
Konjungtivitis ini ditandai dengan keluarnya cairan hiperakut purulen, edema
kelopak mata dan kemosis. Gonococci memiliki kapasitas untuk menembus epitel
kornea yang intak, menyebabkan edema epitel kornea dan ulserasi kornea, yang
dapat berkembang menjadi perforasi kornea dan endophthalmitis. Oleh karena itu
dalam semua kasus konjungtivitis neonatal, bayi harus di skrining gonokokus
untuk mencegah kornea menjadi buta dan terjadinya komplikasi (McCourt, 2016;
Premsenthil, et al., 2008).
Referat ini bertujuan untuk membahas secara lengkap mengenai
konjungtivitis gonore mulai dari definisi, etiologi, penegakan diagnosis,
tatalaksana dan berbagai macam hal lainnya agar pengetahuan mengenai
konjungtivitis gonore menjadi lebih berkembang dan pada akhirnya dapat
menegakkan diagnosis sedini mungkin.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Konjungtiva


Ukuran bola mata hampir sama dengan sebuah bola pingpong. Sinar
masuk ke dalam bola mata melalui kornea diteruskan oleh pupil dan berjalan
menembus lensa dan badan kaca menuju saraf penglihat. Saraf penglihat
meneruskan rangsangan bayangan ke otak untuk dilihat. Salah satu susunan
bola mata, yaitu konjungtiva atau selaput lendir mata.
a. Konjungtiva merupakan selaput tipis yang menutupi selaput putih
mata (sklera).
b. Melekat erat pada tarsus sehingga ikut melicinkan bola mata pada
waktu mengedip.
c. Pada bola mata atau dengan sklera hubungan ini sangat longgar
sehingga bola mata bebas bergerak.
d. Terdapat pembuluh darah (a. konjungtiva posterior) yang mudah
digerakkan bersama-sama pergerakan konjungtiva.
e. Di bawah konjungtiva terdapat pembuluh darah yang melekat pada
permukaan sklera.
f. Konjungtiva menghasilkan bagian air mata yang disebut musin
(Ilyas, 2004).
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak
bagian belakang. Bermacam-macam obat mata dapat diserap melalui
konjungtiva ini. Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan
oleh sel goblet. Musin bersifat membasahi bola mata terutama kornea.
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan prosterior kelopak mata (konjungtiva palpeblaris)
dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva
bersambungan dengan kulir pada tepi palpebra (suatu sambungan mukokutan)
dan dengan epitel kornea di limbus.
Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan
melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat
ke posterior (pada forniks superior dan inferior) dan membungkus jaringan
episklera menjadi konjungtiva bulbaris.
Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbitale di fornices dan
melipat berkali-kali. Adanya lipatan-lipatan ini memungkinkan bola mata
bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik. (duktus-duktus
kelenjar lakrimal bermuara ke forniks temporal superior). Konjungtiva
bulbaris melekat longgar pada kapsul tenon dan sklera dibawahnya, kecuali di
limbus (tempat kapsul tenon dan konjungtiva menyatu sepanjang 3mm).
Lipatan konjungtiva bulbaris yang tebal, lunak dan mudah berkerak (plica
semilunaris) terletak di cantus internus dan merupakan selaput pembentuk
kelopak mata dalam pada beberapa hewan kelas rendah. Struktur epidermoid
kecil semacam daging (caruncula) menempel secara superfisial ke bagian
dalam plica semilunaris dan merupakan zona transisi yang mengandung baik
elemen kulit maupun membran mukosa (Eva, 2009).
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :
a. Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar
digerakkan dari tarsus.
b. Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari
sclera di bawahnya.
c. Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan
tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan sangat longgar dengan
jaringan dibawahnya sehingga bola mata mudah bergerak. Konjungtiva bulbi
superior paling sering mengalami infeksi dan menyebar kebawahnya (Eva,
2009).
Gambar 2.1 Struktur Bagian Dalam Mata Manusia (Eva, 2009)

Gambar 2.2 Sudut Bilik Mata Depan dan Struktur di sekitarnya (Eva,
2009)
Gambar 2.3 Anatomi Konjungtiva

2.2 Histologi Konjungtiva


Lapisan epitel konjungtiva terdiri atas dua hingga lima lapisan sel epitel
silindris bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat
limbus, di atas caruncula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi
kelopak mata terdiri atas sel-sel epitel skuamosa bertingkat. Sel-sel epitel
superfisial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus.
Mukus yang terbentuk mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk
dispersi lapisan air mata prakornea secara merata. Sel-sel epitel basal
berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial dan di dekat limbus
dapat mengandung pigmen.
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisial) dan
satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan
limfoid dan dibeberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel
tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai
setelah bayi berumur dua atau tiga bulan. Hal ini menjelaskan mengapa
konjungtivitas inklusi pada neonatus bersifat papilare bukan folikulare dan
mengapa menjadi folikular. Lapisan fibrosa terdiri dari jaringan penyambung
yang melekat pada lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi
papilare pada radang konjungtiva. Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola
mata.
Kelenjar lakrimal aksesorius (kelenjar Krause dan Wolfring) yangstruktur
dan fungsinya menyerupai kelenjar lakrimal, terletak di dalam stroma.
Sebagian besar kelenjar Krause berada di forniks atas, sisanya ada di forniks
bawah. Kelenjar Wolfring terletak di tepi tarsus atas (Eva, 2009).

2.3 Pendarahan, Limfatik dan Persarafan Konjungtiva


Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteria ciliaris anteror dan arteria
palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan-bersama
banyak venakonjungtiva yangumumnya mengikuti pola arterinya-membentuk
jaring-jaring vaskular konjungtiva yang sangat banyak. Pembuluh limfe
konjungtiva tersusun di dalam lapisan superfisial dan profundus dan
bergabung dengan pembuluh limfa palpebra membentuk pleksus limfatikus
yang kaya. Konjungtiva menerima persarafan dan percabangan (oftalmik)
pertama nervus V. Saraf ini memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit (Eva,
2009).

Gambar 2.4 Pendarahan Mata


Gambar 2.5 Pendarahan Mata. Semua Cabang Arteri Berasal dari
Arteri Opthalmica. Drainase Vena Melalui Sinus Cavernosa Plexus
Pterygoideus (Eva, 2009)

2.4 Definisi
Konjungtivitis gonore merupakan radang konjungtiva akut dan hebat yang
disertai dengan sekret purulen yang disebabkan oleh kuman Neisseria
gonorrhoeae. Konjungtivitis gonore adalah penyakit menular seksual yang
dapat ditularkan secara langsung dari transmisi genital-mata, kontak genital-
tangan-mata, atau tansmisi ibu-neonatus selama persalinan (Ilyas, 2004; Eva,
2009).

2.5 Epidemiologi
Insiden infeksius konjungtivitis neonatal berkisar 1-2%, tergantung pada
karakter sosial ekonomi setiap daerah. Epidemiologi konjungtivitis neonatal
berubah ketika larutan silver nitrate diperkenalkan pada tahun 1800 untuk
mencegah oftalmia gonokokal. Kejadian ophthalmia gonokokal neonatorum
telah berkurang secara cepat dan menyebabkan presentase kejadian kurang
dari 1% dari kasus konjungtivitis neonatal (McCourt, 2016).
Di negara berkembang, baik klamidia dan gonore merupakan infeksi yang
lazim. Di Malaysia kejadian ini cukup tinggi karena kurangnya tindakan
profilaksis rutin dan munculnya strain penicillinase-producing Neisseriae
gonorrhoea (PPNG). Jumlah insiden yang sebenarnya tidak diketahui karena
kurangnya pelaporan dan data. Sebuah studi pada oftalmia gonokokal
neonatorum di negara bagian Kelantan telah menunjukkan peningkatan
persentase kasus resisten penisilin dari 6,4% menjadi 25,9% . Lockie P., et al
dalam studi retrospektif yang melibatkan 80 kasus yang dilaporkan 7,5%
karena PPNG. Strain PPNG diyakini berasal dari kawasan Asia Tenggara yaitu
dari Bangkok di mana 48,9% dari strain N. gonorrhea terisolasi adalah karena
PPNG. Prevalensi ophthalmia akibat infeksi gonokokal dilaporkan menjadi
0,04 per 1.000 hidup kelahiran di Belgia dan Belanda, dan 0,3 per 1.000
kelahiran hidup di United States. Prevalensi gonore antara di negara-negara
Afrika berkisar 4% sampai 15% . Sekitar 25% sampai 50% bayi terkena
infeksi Chlamydia trachomatis dan Neisseria gonorrhea yang berkembang
menjadi konjungtivitis neonatal, tanpa profilaksis (Premsenthil, et al., 2008).

2.6 Etiologi
Konjungtivis gonore disebabkan oleh kuman Neisseria gonorrhoeae.
Gonokok merupakan kuman yang sangat pathogen, virulen, dan bersifat
invasiv sehingga reaksi radang terhadap kuman ini sangat berat (Ilyas, et al.,
2010).
Neisseria gonorrhoeae adalah Diplococcus gram negatif dan dapat
mengakibatkan infeksi yang paling berbahaya dan mematikan yang
disebabkan konjungtivitis neonatal. Seperti klamidia, leher rahim dan uretra
mukosa merupakan reservoir untuk Neisseria gonorrhoeae, yang dapat
diperoleh selama persalinan. Gonococci dapat menembus sel-sel epitel utuh
dan membagi dengan cepat di dalamnya (McCourt, 2016).
Neiserria gonorrhoeae merupakan kuman kokus gram negatif, berukuran
0,6 sampai 1,5 m, berbentuk diplokokus seperti biji kopi dengan sisi yang
datar berhadap-hadapan. Kuman ini tidak motil dan tidak membentuk spora.
Neisseria gonorrheae dapat dibiakkan dalam media Thayer Martin dengan
suhu optimal 35- 37C, pH 6,5-7,5, dengan kadar C02 5%.
Gonococci hanya memfermentasi glukosa dan berbeda secara antigen dari
Neisseriae lain. Gonococci biasanya menghasilkan koloni yang lebih kecil
dibandingkan Neisseriae lainnya. Gonococci yang membutuhkan arginin,
hipoxantin dan urasil ( auksotipe Arg, Hyx+, Ura+ ) cenderung tumbuh
dengan sangat lambat pada kultur primernya.
Gonococci diisolasi dari spesimen klinis atau dipertahankan oleh subkultur
nonselektif yang memiliki ciri koloni kecil yang mengandung bakteri berpili.
Pada subkultur nonselektif, koloni yang lebih besar yang mengandung
gonococci nonpili juga terbentuk varian yang pekat dan transparan pada kedua
bentuk koloni (besar dan kecil) juga terbentuk, koloni yang pekat
berhubungan dengan keberadaan protein yang berada di permukaan, yang
disebut Opa. Gonokokkus terdiri dari 4 morfologi, tipe 1 dan 2 bersifat
patogenik dan tipe 3 dan 4 tidak bersifat patogenik.Tipe 1 dan 2 memiliki vili
yang bersifat virulen dan terdapat pada permukaannya, sedangkan tipe 3 dan 4
tidak memiliki vili dan bersifat non-virulen. Vili akan melekat pada mukosa
epitel dan akan menimbulkan reaksi radang.
Kellog membedakan Neisseria gonorrhoea berdasarkan pertumbuhan
koloninya pada media agar, yaitu:
a. T1 bentuk koloninya kecil, cembung dan lebih terang
b. T2 bentuk koloninya kecil, lebih gelap, tapi lebih terang
c. T3 bentuk koloninya besar, datar dan lebih gelap
d. T4 sama dengan T3 tetapi lebih terang (Ernawati, 2010).

Gambar 2.6 Kuman Neisseria gonorrheae (Ernawati, 2010)

2.7 Klasifikasi
Di dalam klinik terdapat penyakit yang disebabkan gonokok dalam bentuk:
a. Oftalmia neonatorum (bayi berusia 1-3 hari),
b. Konjungtivitis gonore infantum (lebih dari10 hari)
c. Konjungtivitis gonore adultorum (Ilyas, et al., 2010).
2.8 Patomekanisme
Konjungtiva adalah lapisan mukosa yang membentuk lapisan terluar mata.
Konjungtiva dapat dibagi menjadi palpebra, bulbar, dan forniks berdasarkan
lokasi. Konjungtiva mengandung non keratin, epitel skuamosa tipis, kaya
vaskularisasi. Substantia propria mengandung pembuluh dan sel-sel limfatik,
seperti limfosit, sel plasma, sel mast, dan makrofag. Konjungtiva juga
memiliki kelenjar lakrimal aksesori dan sel goblet. Iritasi apapun pada mata
dapat menyebabkan pembuluh darah di konjungtiva berdilatasi. Iritasi yang
terjadi ketika mata terinfeksi menyebabkan mata memproduksi lebih banyak
air mata. Sel darah putih dan mukus yang tampak di konjungtiva ini terlihat
sebagai discharge yang tebal kuning kehijauan. Gonococci menampakkan
beberapa tipe morfologi dari koloninya, tetapi hanya bakteri berpili yang
tampak virulen. Gonococci menyerang membran selaput lendir dari saluran
genitourinaria, mata, rektum dan tenggorokan, menghasilkan nanah yang akut
yang mengarah ke invaginasi jaringan, hal yang diikuti dengan inflamasi
kronis dan fibrosis (Ernawati, 2010; McCourt, 2016).
Patologi konjungtivitis neonatal dipengaruhi oleh anatomi jaringan
konjungtiva pada bayi baru lahir. Peradangan konjungtiva dapat menyebabkan
pelebaran pembuluh darah, berpotensi terjadinya kemosis, dan sekresi
berlebihan. Infeksi ini cenderung lebih serius pada neonatus karena kurangnya
kekebalan, tidak adanya jaringan limfoid di konjungtiva, dan tidak adanya air
mata saat lahir (McCourt, 2016).
Perjalanan penyakit pada orang dewasa secara umum, terdiri atas tiga
stadium, yaitu stadium infiltratif, stadium supuratif atau purulenta dan stadium
konvalesen (penyembuhan).

a. Stadium infiltratif
Berlangsung 34 hari, ditemukan kelopak dan konjungtiva
yang kaku disertai rasa sakit pada perabaan. Kelopak mata
membengkak dan kaku sehingga sukar dibuka. Terdapat
pseudomembran pada konjungtiva tarsal superior sedang
konjungtiva bulbi merah, kemotik, dan menebal. Pada orang
dewasa selaput konjungtiva lebih bengkak dan lebih menonjol.
Pada orang dewasa terdapat perasaan sakit pada mata yang dapat
disertai dengan tanda-tanda infeksi umum. Pada umumnya
menyerang satu mata terlebih dahulu dan biasanya kelainan ini
pada laki-laki didahului pada mata kanannya.
b. Stadium Supuratif atau Purulenta
Berlangsung 2-3 minggu. Gejala-gejala tidak begitu hebat
lagi. Palpebra masih bengkak, hiperemis, tetapi tidak begitu
tegang. Blefarospasme masih ada. Sekret campur darah, keluar
terus menerus. Pada bayi biasanya mengenai kedua mata dengan
dengan sekret kuning kental, terdapat pseudomembran yang
merupakan kondensi fibrin pada permukaan konjungtiva. Kalau
palpebra dibuka, yang khas adalah sekret akan keluar dengan
mendadak. Oleh karena itu harus hati-hati bila membuka palpebra,
jangan sampai sekret mengenai mata pemeriksa.
c. Stadium Konvalesen
Berlangsung 2-3 minggu. Gejala-gejala tidak begitu hebat
lagi. Palpebra sedikit bengkak, konjungtiva palpebra hiperemi,
tidak infiltratif. Konjungtiva bulbi terdapat injeksi konjungtiva
masih nyata, tidak kemotik. Sekret jauh berkurang. Pada neonatus
infeksi konjungtiva terjadi pada saat Bila tidak diobati, biasanya
tidak tercapai stadium III, tanpa penyulit, meskipun ada yang
mengatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh dengan spontan
(Ilyas, 2004; Wijana, 1993).

2.9 Manifestasi Klinis


Pada konjungtivitis gonore, terjadi sekret yang purulen padat dengan masa
inkubasi 12 jam-5 hari, disertai perdarahan subkonjungtiva dan kemosis
(Ilyas, 2004; Mansjoer, et al., 2000).
Pada bayi dan anak gambaran klinis konjungtivitis gonore, yaitu:
a. Gejala subyektif: (-)
b. Gejala obyektif:
1) Kelainan bilateral
2) Sekret kuning kental
3) Pada stadium sekret dapat bersifat serous tetapi kemudian
menjadi kuning kental dan purulen.
4) Kelopak mata membengkak dan sukar dibuka.
5) Terdapat pseudomembran pada konjungtiva tarsal.
6) Konjungtiva bulbi merah, kemotik dan menebal (Ilyas, et
al., 2010).

Gambar 2.7 Konjungtivitis Gonore Pada Bayi

Gambar 2.8 Sekret Purulen dan Edem Kelopak Mata Pada Bayi Baru
Lahir dengan Konjungtivitis Gonokokal (dikonfirmasi dengan
Pewarnaan Gram dan Kultur) (McCourt, 2016)
Gambar 2.9 Cloudy Cornea Tanpa Ulkus Pada Konjungtivitis Gonore
Neonatal (McCourt, 2016)
Pada orang dewasa gambaran klinis konjungtivitis gonore, yaitu:
a. Gejala subyektif:
1) Rasa nyeri pada mata.
2) Dapat disertai tanda-tanda infeksi umum.
3) Biasanya terdapat pada satu mata.
4) Lebih sering terdapat pada laki-laki dan biasanya mengenai
mata kanan.
b. Gejala obyektif:
1) Kelopak mata bengkak dan sukar dibuka
2) Konjungtiva yang kaku disertai sakit pada perabaan
3) Pseudomembran pada konjungtiva tarsal superior
4) Konjungtiva bulbi merah, kemosis dan menebal
5) Selaput konjungtiva yang terkena lebih berat dan menjadi
lebih menonjol
6) Gambaran hipertrofi papilar besar
7) Tanda-tanda infeksi umum
8) Berawal dari satu mata kemudian menjalar ke mata
sebelahnya
9) Tidak jarang ditemukan pembesaran kelenjar preaurikular
10) Tidak jarang kelenjar preaurikular terasa nyeri
11) Sekret semula serosa kemudian menjadi kuning kental
12) Sekret purulen yang tidak begitu kental dibandingkan pada
bayi
13) Konjungtiva bulbi superior paling sering mengalami infeksi
karena pada konjungtiva bulbi superior tertutup oleh
palpebra dan suhunya sama dengan suhu tubuh yang
mengakibatkan bakteri akan lebih mudah berkembang biak
14) Infeksi dapat terjadi berminggu-minggu (Ilyas, et al., 2010;
Mansjoer, et al., 2000)
Gambar 2.10 Konjungtivitis Gonore

Gambar 2.11 Konjungtivitis Gonokok. Eksudat Purulen Sangat


Banyak (Schwab, et al., 2009)
2.10 Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan penunjang dilakukan pemeriksaan sediaan langsung
sekret dengan pewarnaan gram atau Giemsa untuk mengetahui kuman
penyebab dan uji sensitivitas untuk perencanaan pengobatan.
Diagnosis pasti konjungtivitis gonore dengan membuat sediaan apus sekret
konjungtiva dengan pewarnaan Metilen Biru dan ditemukan diplokok
intraseluler (di dalam sel leukosit). Bila ditemukan diplokok ekstraseluler
menandakan bahwa proses sudah berjalan menahun. Bila ditemukan diplokok
pada pemeriksaan sediaan apus maka harus dilakukan biakan bakteriologik
Neisseria. Dapat dibedakan dengan Neisseria lain karena ia memberikan
peragian glukosa yang positif sedangkan sukrosa dan maltosa negatif (Ilyas, et
al., 2010). Pemeriksaan sensitivitas dilakukan pada agar darah dan coklat
(Mansjoer, et al., 2000).
a. Pewarnaan Metilen Biru
Pada pemeriksaan sekret dengan pewarnaan metilen biru, diambil
dari sekret atau kerokan konjungtiva yang diulaskan pada gelas objek,
dikeringkan dan diwarnai dengan metilen biru 1% selama 1 2 menit.
Setelah dibilas dengan air, dikeringkan dan diperiksa di bawah
mikroskop. Pada pemeriksaan dapat dilihat diplokok yang intraseluler
sel epitel dan lekosit, disamping diplokok ekstraseluler yang
menandakan bahwa proses sudah berjalan menahun. Bila pada anak
didapatkan gonokok (+), maka kedua orang tua harus diperiksa. Jika
pada orang tuanya ditemukan gonokok, maka harus segera diobati.
b. Pewarnaan Gram
Pada pemeriksaan pewarnaan gram pada konjungtivitis gonore
akan ditemukan gonococcus gram negatif. Cara pemeriksaan, yaitu:
1. Siapkan preparat dari sekret atau kerokan konjungtiva diatas
kaca objek Setelah itu difiksasi di atas api bunsen sebanyak 3
kali. Lalu didinginkan.
2. Tetesi preparat tersebut dengan zat warna Karbol Gentian
Violet. Diamkan selama 30 detik - 1 menit. Bilas dengan air
mengalir.
3. Tambahkan Lugol selama 30 detik - 1 menit. Kemudian cuci
dengan air.
4. Bilas preparat dengan alkohol 96% selama 2 detik hingga zat
warna larut kemudian bilas dengan akuades.
5. Tetesi preparat dengan karbol fuhsin/safranin. Diamkan selama
30 detik. Bilas dengan akuades.
6. Keringkan preparat dan diatasnya diberi satu tetes minyak
imersi. Amati di bawah mikroskop.
7. Hasil
a) Bakteri gram positif berwarna ungu
b) Bakteri gram negatif berwarna merah

Gambar 2.12 Diplokok Intraseluler (Neisseria gonorrhea) dengan


Pewarnaan Gram Negatif Pada Media Kultur (Lee, et al., 2002)
c. Kultur
Lempeng agar modifikasi Thayer-Martin yang telah diinokulasi
harus diinkubasi pada suhu 35o C dalam udara lembab yang diperkaya
dengan karbon dioksida (stoples lilin), dan harus diobservasi tiap hari
selama2 hari. Laboratorium yang mengerjakan sejumlah besar
spesimen untuk N. gonorrhoeae sering kali lebih suka menggunakan
agar coklat non-selektif yang diperkaya dengan Iso vitalex, atau
suplemen yang setara, selain media MTM yang selektif, karena
sebanyak 3-10% galur gonokokus di daerah tertentu mungkin peka
terhadap konsentrasi vancomycin yang digunakan dalam media
selektif. Koloni gonokokus mungkin masih belum tampak setelah 24
jam. Koloni tersebut timbul setelah 48 jam sebagai koloni kelabu
sampai putih, opak, menonjol, dan berkilau, dengan ukuran dan
morfologi yang berbeda.
d. Uji Resistensi
Isolat N. gonorrhoeae harus diskrining secara rutin untuk melihat
produksi R-laktamase dengan salah satu dari uji-uji yang disarankan,
seperti uji nitrocefin. Untuk uji nitrocefin, dibuat suspensi pekat dari
beberapa koloni dalam tabung kecil berisi 0,2 ml larutan saline,
kemudian 0,025 ml nitrocefin ditambahkan ke dalam suspensi dan
dicampur selama satu menit. Perubahan wama yang cepat dari kuning
menjadi merah muda atau merah, menunjukkan bahwa jalur tersebut
menghasilkan R-laktamase.

2.11 Penatalaksanaan
a. Pengobatan
1. Pengobatan biasanya dengan perawatan di Rumah Sakit dan
terisolasi
2. Penisilin tetes mata dapat diberikan dalam bentuk larutan
penisilin G 10.000-20.000 unit/ml setiap 1 menit sampai 30
menit
3. Kemudian salep diberikan setiap 5 menit selama 30 menit.
4. Disusul pemberian salep penisilin setiap 1 jam selama 3 hari.
5. Antibiotika sistemik diberikan sesuai dengan pengobatan
Neisseria gonorrhoeae sistemik.
6. Pengobatan diberhentikan bila pada pemeriksaan mikroskopik
yang dibuat setiap hari menghasilkan 3 kali berturut-turut
negatif (Ilyas, 2004).
7. Pada pasien yang resisten terhadap penisilin dapat diberikan
obat sefalosporin generasi ketiga yang digunakan selama 7
hari. Dosis tunggal ceftriaxone 50 mg/kg sebagai dosis tunggal
(maksimal 125 mg) sangat efektif dan direkomendasikan oleh
WHO.
8. Obat alternatif termasuk spektinomisin 25 mg/kg (maksimum
75 mg) sebagai dosis IM tunggal dan kanamisin 25 mg/kg
(maksimum 75 mg).
9. Ibu yang terinfeksi juga harus diobati dengan dosis tunggal
ceftriaxone (25-50 mg/kg) (Premsenthil, et al., 2008).
10. Pada konjungtivitis PPNG (penicillinase producing Nesseria
gonorrhoeae), The Centers for Disease Control
merekomendasikan pemberian 1 g cefoxitin atau 500 mg
cefotaxime secara intra vena (IV) empat kali sehari, atau 1 g
ceftriaxone secara intra musukular (IM) selama 5 hari. The
World Health Organization (WHO) merekomendasikan
pemberian 1 g cefotaxime secara intra vena empat kali sehari
selama 5 hari atau IM spectinomycin 2 g selama 3 hari.
Pengobatan dimulai dengan 1 g ceftriaxone IM per hari selama
5 hari, karena organisme PPNG sensitif terhadap golongan
sefalosporin generasi ke tiga.
11. Alternatif pengobatan yang dapat digunakan pada
keratokonjungtivitis gonoro dewasa, terutama dengan resisten
penisilin yaitu dengan pemberian norfloxacin per oral 1200 mg
selama 3 hari (Lee, et al., 2002).

(a) (b)
Gambar 2.13 (a) Injeksi Konjungtiva dengan Sekret Purulen pada
Mata Kiri (b) Setelah Pemberian Antibiotik Selama 3 Minggu
Konjungtiva terlihat Normal (Lee, et al., 2002)

b. Perawatan
1. Sekret dibersihkan dengan kapas yang dibasahi air bersih
(direbus) atau dengan garam fisiologik setiap jam
2. Kemudian diberikan salep penisilin setiap jam (Ilyas, 2004).
c. Pencegahan
1. Secara klasik diberikan obat tetes mata AgNO3 1% segera
sesudah lahir (harus diperhatikan bahwa konsentrasi AgNO3
tidak melebihi 1%).
2. Cara lain yang lebih aman adalah pembersihan mata dengan
solusio borisi dan pemberian kloramfenikol salep mata (Ilyas,
et al., 2010).

2.12 Prognosis
Konjungtivitis bakteri akut hampir selalu sembuh sendiri, kecuali pada
konjungtivitis gonore jika tidak diobati dapat berakibat perforasi kornea dan
endoftalmitis (Schwab, et al., 2009). Antibiotik telah secara signifikan
mengubah prognosis konjungtivitis neonatal, terutama dengan infeksi
Neisseria gonorrhoeae. Namun, menegakan diagnosis secara cepat dengan
isolasi organisme gonokokal dan pengobatan antibiotik parenteral sebelumnya
diperlukan, karena hasil dari konjungtivitis gonokokal berhubungan dengan
tingkat keparahan penyakit pada awal terapi (Lee, et al., 2002).

2.13 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah tukak kornea marginal terutama
bagian atas, yang dimulai dengan infiltrat, kemudian menjadi ulkus. Bisa
terjadi pada stadium 1 dan 2, dimana terdapat blefarospasme dengan
pembentukan sekret yang banyak. Sehingga sekret menumpuk dibawah
konjungtiva palpebra superior, ditambah lagi kuman gonokok mempunyai
enzim proteolitik yang merusak kornea dan hidupnya intraseluler, sehingga
dapat menimbulkan keratitis tanpa didahului kerusakan epitel kornea. Selain
itu, dapat menyebabkan perforasi kornea yang dapat mengakibatkan infeksi
dalambola mata (endoftalmitis) dan radang isi orbita (panoftalmitis). Sepsis,
arthritis dan dakrioadenitis dapat terjadi (Ilyas, 2004; Mansjoer, et al., 2000).
Infeksi gonokokal bayi baru lahir dapat menimbulkan komplikasi sistemik,
seperti stomatitis, arthritis, rhinitis, septikemia dan meningitis (Premsenthil, et
al., 2008).

BAB III
KESIMPULAN

Konjungtivitis gonore memiliki masa inkubasi 2-5 hari. Konjungtivitis ini


ditandai dengan keluarnya cairan hiperakut purulen, edema kelopak mata dan
kemosis. Diagnosis pasti konjungtivitis gonore dengan membuat sediaan apus
sekret konjungtiva dengan pewarnaan Metilen Biru dan ditemukan diplokok
intraseluler (di dalam sel leukosit). Penegakan diagnosis secara cepat dengan
isolasi organisme gonokokal dan pengobatan antibiotik parenteral sebelumnya
diperlukan, karena hasil dari konjungtivitis gonokokal berhubungan dengan
tingkat keparahan penyakit pada awal terapi. Gonococci memiliki kapasitas untuk
menembus epitel kornea yang intak yang dapat berkembang menjadi perforasi
kornea dan endophthalmitis. Oleh karena itu dalam semua kasus konjungtivitis
neonatal, bayi harus di skrining gonokokus untuk mencegah terjadinya
komplikasi serius.

DAFTAR PUSTAKA

Ernawati. 2010. Uretritis Gonore, Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas


Wijaya Kusuma Surabaya.

Eva, P. R. 2009. Anatomi dan Embriologi Mata. Dalam: OFtalmologi Umum. 17th
penyunt. Jakarta: Widya Medika.

Ilyas, S. 2004. Ilmu Perawatan Mata. Jakarta: Sagung Seto.


Ilyas, S., Tanzil , M., Salamun & Azhar, Z. 2010. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Lee, J. et al. 2002. Gonococcal keratoconjunctivitis in adults, Korea: The


Department of Ophthalmology College of Medicine, Pusan National
University.

Mansjoer, A. et al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. 3rd penyunt. Jakarta: Media
Aesculapius.

McCourt, E. A. 2016. Neonatal Conjunctivitis. [Online]


Available at: http://emedicine.medscape.com/article/1192190-overview?
pa=GFbVA3FsNLC0e3S5HcuDTDIocVLoBH8GyBjMBnPS1FgQ%2B
%2BhrDOExhga
%2BRP1PlBBWZR74vM99DbP8xlfxTKb52Mfkq9g2DPn5sb65MIOIqA4
%3D
[Diakses 15 November 2016].

Premsenthil, M. et al. 2008. Neonatal Conjunctivitis A Review. Malaysian


Family Physician, 3(2), pp. 77-81.

Schwab, I. R., Ferrer, F. J. G. & Shetlar, D. J. 2009. Konjungtiva. Dalam:


Oftalmologi Umum. 17th penyunt. Jakarta: Widya Medika.

Wijana, N. 1993. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Abadi Tegal.

You might also like