You are on page 1of 25

Clinical Pathways dalam Mutu Layanan Rumah Sakit

Dr. Dody Firmanda, Sp.A, MA


Ketua Komite Medik
RSUP Fatmawati, Jakarta.

Pendahuluan

Mutu/Kualitas dapat ditinjau dari berbagai perspektif baik itu dari


perspekstif pasien dan penyandang dana, manajer dan profesi dari pemberi
jasa rumah sakit maupun pembuat dan pelaksana kebijakan layanan kesehatan
di tingkat regional, nasional dan institusi. (Quality is different things to
different people based on their belief and norms). 1

Perkembangan evolusi mengenai bidang mutu (Quality), kaidah tehnik


mekanisme pengambilan keputusan untuk profesi seperti Evidence-based
(Medicine, Nursing, Healthcare, Health Technology Asssessment), dan
Sistem Layanan Kesehatan di rumah sakit sangat perlu dan penting untuk
diketahui terlebih dahulu sebelum menetapkan arah pengembangan suatu
sarana layanan kesehatan (rumah sakit) sehingga akan lebih mudah dalam
menilai progresivitas dan kinerja (performance) dalam bentuk indikator
indikator yang mencerminkan keadaan yang sesungguhnya.

Secara ringkasnya bagan dalam Gambar 1 berikut menunjukkan evolusi mutu


dari inspection, quality control, quality assurance hingga total quality serta
komponen komponennya; dan evolusi epidemiologi klinik, evidence-based,
health technology assessment sampai information mastery. 2,3,4,5, 6


Disampaikan dalam Pelatihan Penyusunan Clinical Pathways RSUD Tulungagung Jawa Timur,
2-3 Agustus 2010.
1
Adams C, Neely A. The performance prism to boost success. Measuring Health Business Excellence
2000; 4(3):19-23.
2
Firmanda D. Clinical Governance: Konsep, konstruksi dan implemen tasi manajemen medik. Disampaikan
pada seminar dan business meeting “Manajemen Medis: dari Kedokteran Berbasis Bukti (Evidence-
ased Medicine/EBM) menuju Clinical Governance” dalam rangka HUT RSUP Fatmawati ke 40 di Gedung
Bidakara Jakarta 30 Mei 2000.
3
Firmanda D. Professional continuous quality improvement in health care: standard of procedures,
clinical guidelines, pathways of care and evidence-based medicine. What are they? J Manajemen &
Administrasi Rumah Sakit Indonesia 1999; 1(3): 139-144.
4
Firmanda D. Dari penelitian ke praktik kedokteran. Dalam Sastroasmoro S dan Ismael S. Dasar dasar
metodologi penelitian klinis. Edisi ke-2. Jakarta: Sagung Seto, 2002.

1
Gambar 1. Evolusi bidang mutu dan epidemiologi klinik. 2-6

Sedangkan evolusi sistem layanan kesehatan di rumah sakit secara prinsipnya


mulai dari yang bercirikan ’doing things cheaper’ dalam hal ini efficiency pada
tahun 1970an pada waktu krisis keuangan dan gejolak OPEC, kemudian
ekonomi mulai pulih dan masyarakat menuntut layanan kesehatan bercirikan
’doing things better’ dalam hal ini quality improvement.

Selama dua dekade tersebut manajemen bercorak ’doing things right’ yang
merupakan kombinasi ’doing things cheaper’ dan ’doing things better’.
Ternyata prinsip ’doing things right’ tidak memadai mengikuti perkembangan
kemajuan teknologi maupun tuntutan masyarakat yang semakin kritis; dan
prinsip manajemen ‘doing things right’ tersebut telah ketinggalan zaman dan
dianggap sebagai prinsip dan cara manajemen kuno.

5
Firmanda D. Clinical governance dan aplikasinya di rumah sakit. Disampaikan pada Pendalaman materi
rapat kerja RS Pertamina Jaya, Jakarta 29 Oktober 2001.
6
Firmanda D. Professional CQI: from Evidence-based Medicine (EBM) towards Clinical Governance.
Presented at the plenary session in World IPA, Beijing 23rd July 2001.

2
Pada abad 21 ini menjelang era globalisasi dibutuhkan tidak hanya ’doing
things right’, akan tetapi juga diperlukan prinsip manajemen ‘doing the right
things’ (dikenal sebagai increasing effectiveness) sehingga kombinasi
keduanya disebut sebagai prinsip manajemen layanan modern ‘doing the right
things right’. (Gambar 2). 7,8,9,

Gambar 2. Evolusi prinsip manajemen layanan kesehatan.7-9

10
Pada saat ini kita sedang mengalami periode krisis keuangan global. Istilah
akan krisis keuangan global itu sendiri mempunyai batasan dan persepsi yang
berbeda untuk setiap individu dan bersifat relatif tergantung sudut pandang
11,12,13
dari berbagai dimensi.

7
Firmanda D. Key to success of quality care programs: empowering medical professional. Global
Health Journal 2000; 1(1) http://www.interloq.com/a26.htm
8
Firmanda D. The pursuit of excellence in quali ty care: a review of its meaning, elements, and
implementation. Global Health Journal 2000;1(2) http://www.interloq.com/a39vlis2.htm
9
Firmanda D. Total quality management in health care (Part One). Indones J Cardiol Pediatr 1999;
1(1):43-9.
10
Pisani-Ferry J, Santos I. The world in crisis – reshaping the global economy. Finance and
Development March 2009; 8-13.
11
Cottarelli C. Paying the piper. Finance and Development March 2009; 27-30.
12
Hoffman D. Deep impact. Finance and Development March 2009; 13-4.

3
Berdasarkan data World Bank yang disajikan pada pertemuan G20 di London
Inggris terjadi penurunan prediksi pertumbuhan ekonomi tahun 2009 dari
14
6.4% menjadi 4.5% bahkan ada yang sampai 0.1% (Gambar 3). Kerugian dan
dana talangan (bailouts) untuk mengatasi akibat krisis keuangan global di
Amerika dan Eropa sebagaimana dalam Gambar 4 berikut.

Sedangkan di dalam negeri saat terakhir ini kondisi nilai tukar rupiah dalam
posisi konsolidasi karena imbas dari kebijakan pemerintah Amerika yang
mencetak mata uang USD beredar lebih banyak (M1) sehingga menekan
indeks nilai tukar USD, dan secara tidak langsung meningkatkan nilai tukar
rupiah sebagai leading economics index meskipun tidak harus paralel dengan
real effective exchange rate index sebagaimana dalam Gambar 5.

Gambar 3. GDP Growth 1980 t0 2010.5

13
Higgot R, Robotti P. Reshapping globalization – multilateral dialogues and new policy
initiatives. Budapest: Central European University, 2001
14
World Bank Group G20 Summit on Financial Markets and the World Economy. Background
Paper - G20 Global Financial Crisis: Responding Today, securing Tomorrow. Wahington DC,
November 15, 2008.

4
Gambar 4. Kerugian dan dana talangan di Amerika dan Eropa akibat krisis
keuangan global

5
Gmabar 5. Peredaran USD dan kaitannya dengan Rupiah.

15
Pada tanggal 12 November 2008 WHO mengimbau seluruh anggotanya untuk
mengambil langkah langkah sebagai berikut:
1. Melindungi rakyat miskin (protecting the poor)
2. Mempromosikan perbaikan ekonomi (promoting economic recovery)
3. Mempromosikan stabilitas sosial (promoting social stability)
4. Menganjurkan efisiensi (generating efficiency)
5. Menganjurkan pembangunan jejaring pengamanan kesehatan (building
security)
Pada tanggal 19 Januari 2009 lalu, hasil konsultasi tingkat tinggi WHO16
menganjurkan kerangka kerja tindak lanjut meliputi bidang sebagai berikut:

15
WHO Director General statement. Impact of the global financial economic crisis on
health. Geneva; November 12, 2008.

6
1. Kepemimpinan (leadership)
2. Pelaksanaan monitoring dan analisis (monitoring and analysis)
3. Kebijakan publik biaya berorientasi keberpihakan kepada rakyat
miskin (pro-poor and pro-health public spending)
4. Kebijakan sektor kesehatan (policies for the health sector)
5. Perilaku usaha bidang layanan kesehatan internasional (new ways of
doing business in international health)

Seiring dengan perkembangan era globalisasi, terbukanya arus informasi dan


semakin meningkatnya tuntutan pengguna jasa layanan kesehatan akan mutu,
keselamatan serta biaya. Maka prinsip prinsip ’good corporate governance’
(dalam hal ini mencakup hospital governance dan clinical governance) – yakni
transparency, responsiveness dan accountable akan semakin menonjol serta
mengedepankan akan efesiensi dan efektifitas suatu layanan.

Istilah efesiensi sangat berhubungan erat antara inputs dan proses,


sedangkan efektifitas berhubungan dengan proses dan hasil. Sedangkan
istilah, definisi dan dimensi akan efisiensi juga belum ada kesepakatan yang
jelas dan eksplisit – tergantung dari berbagai perspektif. Efisiensi dapat
digolongkan kepada efisiensi tehnik (technical efficiency), efisiensi
produksi/hasil (productive efficiency) dan efisiensi alokatif
(allocative/societal efficiency) termasuk didalamnya bidang market dan
kesehatan.

Oleh karena saat ini dibutuhkan tidak hanya ’doing things right’, akan tetapi
juga diperlukan prinsip manajemen ‘doing the right things’ (dikenal sebagai
increasing effectiveness) sehingga kombinasi keduanya disebut sebagai
prinsip manajemen layanan modern ‘doing the right things right’. (Gambar 2).
17, 18,19,

16
WHO. The financial crisis and global health. Report of a High-Level Consultation WHO, Geneva;
January 19, 2009.
17
Firmanda D. Key to success of quality care programs: empowering medical professional. Global
Health Journal 2000; 1(1) http://www.interloq.com/a26.htm
18
Firmanda D. The pursuit of excellence in quality care: a review of its meaning, elements, and
implementation. Global Health Journal 2000;1(2) http://www.interloq.com/a39vlis2.htm
19
Firmanda D. Total quality management in health care (Part One). Indones J Cardiol Pediatr 1999;
1(1):43-9.

7
Maka bila ketiga filosofi dan konsep di atas dipadukan serta
diimplementasikan dalam praktek layanan kesehatan di rumah sakit melalui
suatu sistem yang terintegrasi dinamakan clinical governance.

Berbagai tantangan dari luar saat ini adalah era globalisasi pasar terbuka
yang telah memasuki modus operandi tahap empat ( resources) dengan cara
harmonizations of reciprocal agreement (dalam hal standarisasi dan
indikator). Profesi medis berperan penting dalam melaksanakan analisis
efektivitas klinis, sedangkan pihak manajerial dan direksi dalam bidang
analisis ekonomi dan pemerintah (dalam hal ini Departemen Kesehatan dan
Dinas Kesehatan) selaku pembuat kebijakan dan regulator berperan dalam
melakukan analisis dampak terhadap sistem layanan kesehatan (Gambar 5 dan
6) termasuk sistem pembiayaan dan keamanan pasien (patient safety).

Gambar 5. Strata pemanfaatan pendekatan Health Technology Assessment


(HTA) dari tingkat pembuat kebijakan/regulator, pelaksana kebijakan dan
instrumen aplikasinya pada tingkat layanan kesehatan (rumah sakit) dalam
rangka kendali mutu dan biaya.20 -21

20
Firmanda D. Pedoman implementasi HTA di RS Fatmawati. Disampaikan pada Sidang Pleno Komite
Medik RSUP Fatmawati, Jakarta 2 Juni 2008.

8
Gambar 6. Kerangka konsep implementasi evidence-based medicine dan HTA
dalam penyusunan SPM, Clinical Pathways dan Audit Medis dikaitkan dengan
sistem pembiayaan Casemix (INA DRG) dan Undang Undang Nomor 29 tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran, Undang Undang Nomor 25 tahun 2009
tentang Pelayanan Publik dan Undang Undang Nomor 39 tahun 2009 tentang
Rumah Sakit .

Menjaga mutu layanan medis (dalam hal ini quality assurance di bidang profesi
medis) yang mencakup standar pelayanan medis, audit medis dan peningkatan
mutu berkesinambungan. Maka diperlukan suatu instrumen yang dapat

21
Firmanda D. Pedoman HTA di Rumah Sakit. Disampaiakan pada pada Pertemuan Finalisasi Pedoman
dan Draft Rekomendasi Hasil HTA 2008, diselenggarakan oleh Direktorat Bina Pelayanan Medik
Spesialistik, Dirjen Bina Pelayanan Medik Depkes RI di Hotel dan Apartemen Majesty, Bandung 27 –
30 Agustus 2008.

9
merangkum seluruh kegiatan dan upaya tersebut di atas dalam
penyelenggaraan layanan kesehatan di rumah sakit melalui Clinical Pathways.

Kendala utama adalah kemauan untuk ikut berpartisipasi dan kemampuan akan
dalam menguasai evidence-based, tehnik health technology assessment dan
membuat standar pelayanan medis, audit medis serta menyusun clinical
pathways sesuai bidang keahliannya serta mampu mengakomodir perbedaan
pendapat antar profesi.

Maka dalam rangka antisipasi kendala di atas dan dalam rangka


mempersiapkan kader kepemimpinan Komite Medik RSUP Fatmawai telah
menyusun buku Kepemimpinan Klinis dan Manajemen Medik (Medical
Leadership and Medical Management) yang terdiri dari 16 modul berikut22 ;
1. Clinical Governance
2. Medical Staff Bylaws
3. Evolusi Mutu bidang kesehatan dan kedokteran
4. Sistem Mutu (Quality Systems)
5. Standar (Setting the standards)
6. Sistem Komite Medik dan Sistem SMF di rumah sakit.
7. Mekanisme Kerja Sub Komite dan Tim Klinis Komite Medik
8. Manajemen Risiko Klinis dan Keamanan Pasien (Clinical Risks Management and
Patient Safety)
9. Layanan berkesinambungan dan fokus kepada pasien (Patient focussed and
continouos care)
10. Efektifitas Klinis (Clinical Efectivity)
11. Audit Medis dan High Impact interventions (HII)
12. Clinical Pathways
13. Evidence-based Medicine/Healthcare and Health technology Assessment
14. Tatakelola obat dan alat kesehatan (Drugs and Therapeutics Committee)
15. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Nosokomial I
16. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Nosokomial II

Serta melakukan berbagai pelatihan berjenjang kepada seluruh anggota


profesi yang diselenggarakan oleh Sub Komite Pendidikan/Pelatihan, Sub
komite Etik dan Mutu Profesi dan Sub Komite Pengedalian Infeksi
Nosokomial Komite Medik secara terintegrasi dan terjadwal. Diharapkan

22
Firmanda D. Kepemimpinan Klinis dan Manajemen Medik (Medical Leadership and Medical
Management) RSUP Fatmawati, Jakarta 2004.

10
dengan pembekalan tersebut setiap anggota dan ketua SMF dapat ’menguasai’
ilmu dan ketrampilan dalam pengambilan keputusan sebagai pemimpin.

Standar Pelayanan Medis/Kedokteran

Standar Pelayanan Medis/Kedokteran tidak identik dengan Buku Ajar, Text-


books ataupun catatan kuliah yang digunakan di perguruan tinggi. Karena
Standar Pelayanan Medis merupakan alat/bahan yang diimplementasikan pada
pasien; sedangkan buku ajar, text-books, jurnal, bahan seminar maupun
pengalaman pribadi adalah sebagai bahan rujukan/referensi dalam menyusun
Standar Pelayanan Medis.

Standar Pelayanan Medis di rumah sakit pada umumnya dapat diadopsi dari
Pedoman/Standar Pelayanan Medis yang telah dibuat oleh organisasi profesi
masing masing, tinggal dicocokkan dan disesuaikan dengan kondisi sarana dan
kompetensi yang ada di rumah sakit. Bila Pedoman/Standar Pelayanan Medis
yang telah dibuat oleh organisasi profesi tersebut sesuai dengan kondisi
rumah sakit – maka tinggal disepakati oleh anggota profesi (SMF) terkait dan
disahkan penggunaannya di rumah sakit oleh direktur rumah sakit tersebut.

Namun bila Pedoman/Standar Pelayanan Medis yang telah dibuat oleh


organisasi profesi tersebut belum ada atau tidak sesuai dengan kondisi rumah
sakit atau dalam Pedoman/Standar Pelayanan Medis dari profesi belum
mencantumkan jenis penyakit yang sesuai dengan keadaan epidemiologi
penyakit di daerah/rumah sakit tersebut – maka profesi di rumah sakit
tersebut wajib membuat Standar Pelayanan Medis untuk rumah sakit
tersebut dan disahkan penggunaannya di rumah sakit oleh direktur rumah
sakit.

Dalam menyusun Standar Pelayanan Medis untuk rumah sakit - profesi medis
memberikan pelayanan keprofesiannya secara efektif (clinical effectiveness)
dalam hal menegakkan diagnosis dan memberikan terapi berdasarkan
pendekatan evidence-based medicine. Secara ringkasnya langkah tersebut
sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 7 berikut.

11
Gambar 7. Langkah umum dalam kajian literatur melalui pendekatan evidence-
based, tingkat evidens dan rekomendasi dalam bentuk standar pelayanan
medis dan atau standar prosedur operasional.23-24

12
Format Pedoman/Standar Pelayanan Medis

Nomor : .............................................................
SMF : ............................................................
Rumah Sakit : ...........................................................

1. Judul/topik : ……………………………………………………

2. Tanggal/Nomor/Update: ………………../………………../……………….

3. Ruang Lingkup pengguna: dokter umum/spesialis/konsultan*

4. Sumber informasi/literatur/bahan acuan:


i. ……………………………..
ii. ……………………………..
iii. ……………………………..
iv. ……………………………..
v. ……………………………..

5. Nama Reviewer/Penelaah kritis:


i. ………………………...
ii. ………………………...
iii. …………………………

6. Tingkat eviden: ………

7. Hasil Telaah/Rekomendasi:
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………….dst

8. Tingkat Rekomendasi: ………….

9. Indikator klinis : …………………………………………………………………

13
Proses selanjutnya setelah menyusun Standar Pelayanan Medis Rumah
Sakit adalah membuat Clinical Pathways sebagai salah satu komponen dari
Sistem Casemix (INA DRG) yang saat ini dipergunakan untuk Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan (Jamkesmas) di rumah sakit sebagaimana dalam
Gambar 6 di atas.

Jadi bila dihubungkan antara mutu (quality) dan efisiensi pembiayaan layanan
kesehatan rumah sakit – dari segi hal mencegah pemborosan dari hal yang
mubazir secara elimating waste, efisiensi disini adalah sebagai komponen
mutu; dan mutu bila ditinjau dari segi azas manfaat (net benefit) akan
menjadi salah satu bagian dari efisiensi disamping bagian lainnya yaitu biaya
sumber atau inputs (resource costs) – maka secara ringkas sebagai suatu
formula:
Efisiensi layanan kesehatan = azas manfaat (net benefit)
biaya sumber (resource costs)

Untuk tingkat direksi dan manajer rumah sakit untuk segi azas manfaat (net
benefit) di atas dapat dicapai dalam hal menentukan pengadaan sarana (obat,
alat kesehatan penunjang diagnostik dan terapeutik/operasi, ruangan, laundri,
makanan pasien dan sebagainya) berdasarkan pendekatan :
a. Efisiensi dan produktivitas:
i. Efisiensi = episode perawatan / biaya
ii. Efisiensi = Jumlah episode perawatan / Jumlah tenaga profesi
iii. Efisiensi = Jumlah intervensi yang bermanfaat (more good
than harm) / biaya
iv. Efisiensi = Jumlah intervensi terbukti efektif / biaya
b. Efisiensi berdasarkan hasil (outcomes)
i. Efisiensi = pasien keluar hidup / biaya
ii. Efisiensi = pasien keluar hidup – kejadian tidak diharapkan /
biaya
→ QALY (Quality Adjusted Life years)

Sedangkan untuk profesi medis dapat melalui pendekatan mekanisme


pengambilan keputusan klinis evidence-based medicine (EBM) dan Health
Technology Assessment dalam bentuk standar pelayanan medis dan clinical

14
pathways yang diimplementasikan secara konsisten, tidak mengulang (not
repetitive) dan tidak duplikasi.23

Untuk memudahkan pihak manajerial dalam menentukan pemilihan dan


pengadaan berbagai alat penunjang diagnostik (dengan menggunakan kaidah
evidence based-healthcare dan health technology assessment) serta profesi
medis dalam memilih penunjang pemeriksaan diagnostik dalam penanganan
pasien di rumah sakit (dengan menggunakan kaidah evidence based-medicine
dan health technology assessment) – manfaatkan dan pergunakan hubungan
sensitifitas, spesifisitas dan rasio kemungkinan positif (positive likelihood
ratio) dapat digunakan Gambar 8 berikut.24

23
Kenagy JW, Berwick DM, Shore MF. Service quality in healthcare. JAMA 1999:281(7):
661-5.
24
Firmanda D. Pedoman Penilaian Teknologi Kesehatan (Health Technology
Assessment/HTA) di rumah sakit. Disampaikan pada Pertemuan Finalisasi Pedoman dan Draft
Rekomendasi Hasil HTA 2008, diselenggarakan oleh Direktorat Bina Pelayanan Medik
Spesialistik, Dirjen Bina Pelayanan Medik Depkes RI di Hotel dan Apartemen Majesty,
Bandung 27 – 30 Agustus 2008.

15
Gambar 8. Hubungan sensitifitas, spesifisitas dan penghitungan rasio
kemungkinan positif (positive likelihood ratio) LR (+) - sebaiknya dipilih alat
penunjang yang mempunyai LR(+) > 5.

Sedangkan untuk obat obatan dilihat dari nilai NNT dan NNH (numbers
needed to treatment/harm), disamping adanya kebijakan (policy) yang
mengahruskan/mengutamakan produk dalam negeri atau PMDN atau PMA
yang membuka pabrik perusahaannya di tanah air – sehingga sirkulasi
keuangan dan konsumsinya terjadi di dalam negeri termasuk nilai tambah
(value added) seperti fiskal, pajak dan membuka/menambah lapangan kerja –
sehingga leading economic index kita meningkat dan daya beli masyarakat
(purchasing power parity) bertambah serta ekonomi negara rebound keluar
dari krisis keuangan global ( down-ward spiral effects ).

16
Clinical Pathways dapat digunakan sebagai alat (entry point) untuk melakukan
audit medis dan manajemen baik untuk tingkat pertama maupun kedua (1st
nd
Party and 2 Party Audits) dalam rangka menjaga dan meningkatkan mutu
pelayanan.25,26, 27,28,29

Clinical Pathways dapat digunakan juga sebagai salah satu alat mekanisme
evaluasi penilaian risiko untuk mendeteksi kesalahan aktif (active errors) dan
laten (latent/system errors) maupun nyaris terjadi (near miss) dalam
Manajemen Risiko Klinis (Clinical Risk Management) dalam rangka menjaga
30,31
dan meningkatkan keamanan dan keselamatan pasien (patient safety).

Sebagai ilustrasi contoh kasus adalah sebagai berikut: selama ujicoba


penerapan Clinical Pathways di SMF Kesehatan Anak pada bulan Desember
2005 lalu dalam Sistem SMF Kesehatan Anak sebagaimana dalam Gambar 9
berikut.

25
Firmanda D. Pedoman Audit Medis. Komite Medis RS Fatmawati Jakarta 2003.
26
Firmanda D. Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit. Disampaikan di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya
2003.
27
Firmanda D. Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit. Disampaikan dalam rangka Penyusunan dan
Penyempurnaan Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit. Depkes RI, Jakarta 2004.
28
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 496/Menkes/SK/IV/2005 tentang Pedoman Audit Medis di
Rumah Sakit.
29
Firmanda D. Key to success of quality care programs: empowering medical professional. Global
Health Journal 2000; 1(1) http://www.interloq.com/a26.htm
30
Firmanda D. Pedoman dan Instrumen Manajemen Risiko Klinis dan Keamnan Pasien (Clinical Risks
Management and Patients Safety ). Pleno Komite Medik RS Fatmawati 21 Juni 2005.
31
Firmanda D. Instrumen Manajemen Risiko Klinis dan Keamanan Pasien (Clinical Risks Management and
Patients Safety). Disampaikan dalam rangka penyusunan dan penyempurnaan Instrumen Manajemen
Risiko Klinis dan Keamanan Pasien (Clinical Risks Management and Patients Safety) dan uji coba di 4
propinsi di Depkes RI Jakarta 2005.

17
Gambar 9. Contoh ujicoba format Clinical Pathways sebelum revisi

Terjadi ‘delayed’ pemulangan pasien selama 1 hari, setelah dilakukan 1st Party
Managerial Audit - yang mengakibatkan terjadi stagnasi pasien masuk di Unit
Emergensi yang melampaui batas waktu yang ditentukan. Kasus tersebut
dilakukan variance tracking dengan cara 1st Party Managerial Audit sesuai
dengan Pedoman Audit Medis Komite Medik RS Fatmawati – ditemukan
adanya keterlambatan dalam proses administrasi billing keuangan yang

18
memakan waktu cukup lama. Maka Ketua Komite Medik memberikan masukan
usul kepada:
1. Direktur Keuangan untuk membenahi sistem billing rumah sakit.
2. Direktur Pelayanan Medik dan Keperawatan mendesain sistem
triage di Unit Emergensi yang lebih baik sebagaimana dapat dilihat
dalam Gambar 10 di bawah.
3. Kepala Instalasi Rawat Inap untuk menyediakan ruangan khusus
semacam transisi selama pengurusan administrasi pulang dan tidak
tetap di ruang inap.
4. Ketua SMF dan Kepala Instalasi Gawat Darurat untuk membuat
Clinical Pathways kasus kasus di Unit Emergensi sebagaimana
Format dalam Gambar 11 di bawah.

Gambar 10. Usul Ketua Komite Medik tentang stagnasi di Unit Emergensi

19
Gambar 11. Contoh format Clinical Pathways untuk Unit Emergensi.

20
Ilustrasi contoh dimana Clinical Pathways dapat mengubah/revisi Standar
Pelayanan Medis (SPM)/Standar Prosedur Operasional (SPO) dalam
penatalaksanaan pasien di ruangan berdasarkan kaidah Evidence-based
Medicine (EBM) yakni tentang pemberian vitamin K1 kepada bayi baru lahir32
sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 12 berikut.

Gambar 12. Contoh Clinical Pathway Bayi Baru Lahir di SMF Kesehatan Anak
RS Fatmawati.

32
American Academy of Pediatrics. Policy Statement – Controversies concerning Vitamin K and the
newborn. Pediatrics 2003;112(1):191-2.

21
Sesuai dengan rencana skema Komite Medik RSUP Fatmawati sebagaimana
dalam Gambar 6 di atas. Titik penting (crucial point) adalah pada clinical
pathways sebagai entry point dalam melaksanakan kegiatan praktik profesi
kedokteran sehari hari di rumah sakit – baik untuk tingkat sistem maupun
individu – dalam rangka kendali mutu dan kendali biaya sebagaimana
diamanatkan dalam Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran dengan tujuan memberikan perlindungan kepada
pasien/masyarakat (patient safety), profesi kedokteran sendiri dan
meningkatkan mutu pelayanan serta mutu kompetensi profesi.

Gambar 13. Hubungan Clinical Pathways dengan Clinical Risks Management/


Patient Safety dan kegiatan Health/High Impact Interventions (HII) di
RSUP Fatmawati.

22
Gambar 14. Hubungan Clinical Pathways dengan jasa dokter dan kinerja
individu.

Gambar 15. Hubungan Clinical Pathways dengan penggunaan obat rasional.

23
Gambar 16. Hubungan Clinical Pathways dengan audit medis dan surveilans
infeksi nosokomial

Gambar 17. Hubungan Clinical Pathways dengan sistem pembiayaan DRG


Casemix dan mutu pelayanan.

24
Dengan mempergunakan Clinical Pathways secara micro-system: untuk
individu pasien/keluarga, penyandang dana (asuransi) sebagai purchasers dan
external customers, dan profesi (dokter, apoteker, perawat, penata, akuntasi
dan rekam medik) serta penyelenggara rumah sakit sebagai provider dan
internal customer menjadi jelas, eksplisit dan akauntabel dari segi mutu
layanan maupun biaya yang dikeluarkan (value for money) .

Secara macro-system – dalam hal ini pemerintah mudah untuk


mengalokasikan biaya kesehatan yang diperlukan untuk masyarakat dan dapat
menilai benchmarking efisiensi biaya dan mutu layanan setiap penyelenggara
kesehatan sehingga mempertajam skala prioritas pembangunan kesehatan
dalam menyusun national health accounts dan universal coverage system
asuransi nasional.

25

You might also like