Professional Documents
Culture Documents
2003
ABSTRACT
Hysteresis phenomena of four basic food compounds (amylose, amylopectin, casein, and cellulose) were studied after 9 days
equilibration in descicators at 28oC. Adsorption experiments started from 2% moisture content and desorption from wetted samples with
excessive moisture. In starch and protein, the hysteresis occurred in the middle range of the sorption isotherm in the range of 10 - 90% RH and
no hysteresis at the lowest and highest ranges of RH. While in cellulose hysteresis started at about 10% RH and was increasing to the
saturated RH.
Analyses of stratified bound water using sorption isotherm data revealed that from the four samples, the desorption monolayer and
secondary bound water fractions were higher than those of adsorption. However, the tertiary bound water fractions of desorption were lower
than those of adsorption, except from the cellulose sample.
PENDAHULUAN METODOLOGI
Kurva isotermi sorpsi dapat diperoleh dengan Bahan dan alat
cara adsorpsi (penyerapan uap air dari udara oleh bahan) Dalam penelitian ini digunakan 4 bahan
maupun secara desorpsi (pelepasan uap air oleh bahan ke percobaan dan 17 bahan untuk mengatur kelembaban
udara). Pada banyak kasus, kurva adsorpsi dan kurva relatif (RH) desikator. Bahan percobaan terdiri dari amilosa
desorpsi bahan pangan tidak berhimpit dan keadaaan (Starch Soluble, merk Merck Jerman), amilopektin
tersebut dikenal sebagai fenomena histeresis. Pada (Amylopectin from waxy corn, merk TCI, Jepang), kasein
keadaan ini, proses desorpsi memiliki kadar air yang lebih (Casein, merk Cica Kanto, Jepang), dan selulosa
tinggi dari pada yang diperoleh proses adsorpsi. (Microcrystalline Cellulose merk Avicell PH101, Amerika).
Menurut Labuza (1984), laju kerusakan pada Untuk mengatur RH desikator digunakan larutan garam
bahan desorpsi lebih besar. Selain itu histeresis juga jenuh (Tabel 1). Bahan-bahan tersebut diperoleh dari
menimbulkan masalah pada aplikasi prinsip-prinsip Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi IPB, dan toko bahan
termodinamika pada proses pengeringan dan penyimpanan kimia sekitar Bogor.
(Rizvi, 1995). Belum lengkapnya pemahaman tentang
histeresis, memerlukan penelitian lebih lanjut. Peralatan
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini
membandingkan histeresis pada amilosa, amilopektin, terdiri dari peralatan untuk membuat larutan garam jenuh
protein, dan selulosa dibantu model matematika isotermi berupa alat-alat gelas; peralatan untuk penentuan isotermi
sorpsi yang sesuai, sehingga dapat diperoleh data dasar sorpsi berupa desikator (Gambar 1), inkubator suhu 28oC,
mengenai histeresis dan parameter fisik keadaan air terikat oven bersuhu 70oC; dan alat untuk menentukan kadar air
pada bahan tersebut agar dapat diterapkan pada proses berupa oven suhu 105oC, neraca analitik, dan desikator
penggudangan dan penyimpanan. berisi gel silika.
Metode
Penelitian tahap pertama bertujuan untuk
menentukan kurva isotermi adsorpsi pada amilosa,
amilopektin, kasein, dan selulosa. Sebelumnya dilakukan
21
Hasil Penelitian Jurnal. Teknol. dan Industri Pangan, Vol. XIV, No. 1 Th. 2003
22
Hasil Penelitian Jurnal. Teknol. dan Industri Pangan, Vol. XIV, No. 1 Th. 2003
Gambar 2. Isotermi adsorpsi dan desorpsi amilosa, amilopektin, kasein, dan selulosa pada suhu 28 C
23
Hasil Penelitian Jurnal. Teknol. dan Industri Pangan, Vol. XIV, No. 1 Th. 2003
Bila dibandingkan dengan bahan pangan lain yang dimana m adalah kadar air (% bk), c adalah konstanta, dan
banyak mengandung pati terlihat perbedaan pada kisaran mo adalah kapasitas air terikat primer (% bk). Plot
histeresis karena pengaruh suhu percobaan (Wolf et al., persamaan BET yang merupakan persamaan garis lurus
1972), dan pada lop histeresis karena sifat granula pati dapat dilihat pada Gambar 3. Pada Tabel 2. disajikan hasil
yang berbeda akibat gelatinisasi. Lop histeresis yang kecil perhitungan nilai c dan mo keempat bahan dan aktivitas air
pada amilopektin yang belum tergelatinisasi dipengaruhi yang berkesetimbangan dengan mo (ao).
oleh sifat amilopektin yang tidak mengalami retrogradasi.
Air terikat sekunder
Isotermi sorpsi kasein Air terikat sekunder merupakan fraksi air terikat
Kurva histeresis kasein (Gambar 2C) berbentuk yang berada di atas lapisan air terikat primer, yang
sigmoid, dimana kurva desorpsi berada di atas kurva membentuk lapisan multilayer (Rockland, 1969). Untuk
adsorpsi. Lop histeresis relatif besar dengan kisaran menentukan kapasitas air terikat sekunder digunakan
histeresis yang lebar (0.05-0.9). Bila dibandingkan dengan model Analisis Logaritma yang dikemukakan oleh Soekarto
kurva isotermi sorpsi kasein (Aguilera dan Stanley, 1990), (1978), dengan persamaan :
terlihat bentuk yang mirip (bentuk sigmoid) namun kadar log (1-aw ) = a + b (m) .(2)
airnya berbeda karena metode percobaan yang berbeda. Dimana m adalah kadar air (g air/g bahan kering) pada
Bentuk kurva histeresis bahan pangan lain yang aktivitas air aw ; a adalah titik potong pada ordinat, dan b
mengandung protein tinggi seperti protein kedelai adalah faktor kemiringan. Menurut Soekarto (1978), plot
(Peterson dan Johnson, 1978), putih telur (FAO 1970; di data persamaan tersebut menghasilkan garis lurus yang
dalam Hunt dan Pixton, 1974), dan daging babi yang patah menjadi dua garis lurus. Plot persamaan tersebut
dikeringbekukan menunjukkan persamaan pada lop dapat dilihat pada Gambar 4. Garis lurus pertama mewakili
histeresis yang lebar dengan peningkatan kadar air yang air terikat sekunder dengan persamaan :
tinggi pada aw 0.9-1; dan perbedaan pada lop histeresis
log (1-aw ) = a1 + b1 (m) .(2a)
yang dipengaruhi interaksi air dengan protein yang sangat
Dan garis lurus kedua mewakili air terikat tersier dengan
beragam.
persamaan :
log (1-aw ) = a2 + b2 (m) .(2b)
Isotermi sorpsi selulosa
Kurva histeresis selulosa (Gambar 2D) berbentuk Dengan menentukan titik potong kedua persamaan
sigmoid, dimana kurva desorpsi berada di atas kurva tersebut menggunakan persamaan :
adsorpsi dengan ujung terpisah. Bentuk histeresis selulosa a1 + b1 (ms) = a2 + b2 (ms) .(3)
berbeda dengan bahan percobaan sebelumnya, dimana dapat diperoleh kapasitas air terikat sekunder (ms).
renggangan histeresis semakin besar dengan Pada Tabel 2. dapat dilihat hasil perhitungan
meningkatnya aw sehingga tidak terdapat lop (tidak dengan nilai ms keempat bahan dan aktivitas air yang
terdapat titik penutup histeresis). Bila dibandingkan berkesetimbangan dengannya (as). Nilai mp yang
dengan kurva isotermi selulosa menurut Cadden (1988), merupakan titik potong persamaan garis lurus pertama
terlihat bentuk kurva dan kandungan air yang relatif sama. dengan absis juga ditentukan.
Kurva histeresis selulosa percobaan mirip dengan kurva
histeresis viskos rayon (Zeronian dan Kim, 1989), yang Perbandingan histeresis
tidak memiliki lop histeresis. Dari nilai mo dan ms, serta kapasitas air terikat
tersier (mt) yang diketahui dengan melakukan ekstrapolasi
Air terikat primer pada kurva isotermi sorpsi saat nilai aw = 1, dapat dihitung
Air terikat primer menunjukkan fraksi air yang terikat fraksi air terikat sekunder (ms - m0) dan fraksi air terikat
sangat kuat, merupakan adsorpsi air yang bersifat satu tersier (mt - ms) seperti terlihat pada Tabel 2.
lapis molekul air atau monolayer (Van den Berg dan Bruin, Nilai mo terbesar dimiliki amilosa, sedangkan niai
1981). Air terikat primer dapat ditentukan dengan mo terkecil dimiliki selulosa. Walaupun molekul penyusun
menggunakan model matematika isotermi sorpsi BET, yang amilosa dan selulosa sama (yaitu glukosa), namun struktur
penerapannya hanya berlaku pada aw 0-0.05 (Rizvi,1995). selulosa yang kaku menyebabkan kemampuan mengikat
Persamaan BET (Labuza, 1984) : airnya lebih rendah.
aw 1 c 1 Nilai mp desorpsi selalu lebih besar daripada nilai m0
aw (1) adsorpsi. Pembandingan mp dengan mo tidak
(1 a w )m m o c m o c menunjukkan adanya korelasi antar kedua nilai tersebut.
24
Hasil Penelitian Jurnal. Teknol. dan Industri Pangan, Vol. XIV, No. 1 Th. 2003
Gambar 3. Plot isotermi sorpsi air menurut persamaan BET pada suhu 28 C
25
Hasil Penelitian Jurnal. Teknol. dan Industri Pangan, Vol. XIV, No. 1 Th. 2003
Tabel 2. Parameter isotermi sorpsi amilosa, amilopektin, kasein, dan selulosa secara adsorpsi dan desorpsi, pada suhu 28 C
26
Hasil Penelitian Jurnal. Teknol. dan Industri Pangan, Vol. XIV, No. 1 Th. 2003
Nilai ms desorpsi juga selalu lebih besar daripada ms Hunt, W.H. and Pixton, S.W. 1974. Moisture-Its
adsorpsi. Hal ini menunjukkan bahwa pada air terikat Significance, Behaviour, and Measurement. Dalam
sekunder juga terjadi perbedaan pengikatan air pada M. Christensen (Ed). Storage of Cereal Grains and
proses adsorpsi dan desorpsi. Nilai as pada semua bahan Their Products. Am. Assoc. Cereal Chem., St. Paul
sekitar aw 0.88. Nilai ms -mo bahan desorpsi juga selalu Minnesota.
lebih besar daripada ms -mo bahan adsorpsi.
Labuza, T.P. 1984. Moisture Sorption : Practical Aspects of
Nilai mt terbesar dimiliki amilosa sedangkan nilai mt
Isotherm Measurement and Use. Am. Assoc.
terkecil dimiliki selulosa. Nilai mt -ms bahan adsorpsi selalu
Cereal Chem., St. Paul Minnesota.
lebih besar daripada bahan desorpsi kecuali pada selulosa.
Hal ini menunjukkan bahwa bahan adsorpsi lebih banyak Peterson, M.S. and Johnson, A.H. 1978. Encyclopedia of
menyerap air saat pemenuhan kapiler bahan. Diduga Food Science. The AVI Publ. Co., Inc. Westport,
setelah terbentuk lapisan air terikat primer dan air terikat Connecticut.
sekunder, penyerapan air pada kapiler bahan menjadi lebih
Rizvi, S.S.H. 1995. Thermodynamic Properties of Food in
mudah.
Dehydration. Dalam M.A. Rao and Rizvi, S.S.H.
(Eds). Engineering Properties of Foods. Marcel
KESIMPULAN Dekker, New York.
Kurva histeresis amilosa, amilopektin, kasein dan Rockland, L.B. 1969. Water activity and storage stability.
selulosa berbentuk sigmoid, dengan kisaran histeresis yang Food Technol. 23 : 1241-1251.
lebar yang terjadi pada bagian tengah kurva (daerah
Soekarto, S.T. 1978. Pengukuran air ikatan dan
multilayer). Ukuran histeresis bervariasi tergantung
peranannya pada pengawetan pangan (Bound
karakteristik bahan tersebut. Nilai mo, ms, dan ms -mo
water determination and its significance to food
bahan desorpsi selalu lebih besar daripada bahan adsorpsi,
preservation). Bulletin Perhimpunan Ahli Teknologi
menunjukkan perbedaan pengikatan air pada daerah air
Pangan Indonesia. 4 : 4 - 18.
terikat primer dan air terikat sekunder. Nilai mt -ms bahan
adsorpsi lebih besar daripada bahan desorpsi, Syarief, R. dan Halid, H. 1991. Teknologi Penyimpanan
menunjukkan bahwa setelah air terikat sekunder penuh, Pangan. Arcan. Jakarta.
pengisian kapiler bahan lebih mudah terjadi.
Van den Berg, C. 1981. Vapour sorption equilibria and
other water-starch interactions; a physicochemical
DAFTAR PUSTAKA approach. Doctoral thesis, Agricultural University,
Wagenigen.
AOAC, 1995. Official Methods of Analysis of Association of
Official of Analytical Chemist, Washington D.C. Van den Berg, C. and Bruin, S. 1881. Water activity and
its estimation in food systems : theoretical aspects.
Aguilera, J.M. dan D.W. Stanley. 1990. Microstructural Dalam Water Activity : Influences in Food Quality.
Principles of Food Processing Engineering. Rockland, L.B. and Steward, G.F. (ed). Academic
Elsevier Applied Science, London, New York. Press. London.
Benado, A.L. and Rizvi. S.S.H. 1985. Thermodynamic Wolf, M., Walker, J.E. and Kapsalis, J.G. 1972. Water
properties of water on rice as calculated from vapor sorption hysteresis in dehydrated foods. J.
reversible and irreversible isotherms. J. Food. Sci. Agr. Food Chem. 20 : 1073.
50 : 101-105.
Zeronian, S.H. and Kim, M.S. 1989. Studies of water
Cadden, A.M. 1988. Moisture sorption characteristics of vapor sorption hysteresis in viscose rayon and
several food fiber. J. Food Sci. 53 : 1150-1155. Chemically modified viscose rayon. Dalam C.
Hall, C.W. 1980. Drying and Storage of Agricultural Crops. Schuerch (Ed). Cellulose and Wood, Chemistry and
The AVI Publ. Co., Inc., Westport, Connecticut. Technology. J. Wiley and Sons, Inc. New York.
27
Hasil Penelitian Jurnal. Teknol. dan Industri Pangan, Vol. XIV, No. 1 Th.
2003
DAFTAR SIMBOL
28