You are on page 1of 61

0

UNIVERSITAS INDONESIA

STUDI KASUS KONSEKUENSI UANG PANAI


TERHADAP USIA PERNIKAHAN SUKU BUGIS
DI JAKARTA TAHUN 2017

Disusun Oleh:
Citra Br Aritonang (1606944375)
Mina Septiani (1606945094)
Noralisa (1606945150)
Rika Fianti (1506786895)
Rini Kurniawati (1606945333)
Sischa Andriani (1506786970)

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS INDONESIA
2017

Universitas Indonesia
1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman suku, adat,
budaya dan agama. Keberagaman suku bangsa tersebut berpengaruh terhadap
sistem perkawinan dalam masyarakat. Pelaksanaan perkawinan di Indonesia diatur
dalam Undang-Undang RI No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Undang-undang
tidak mampu mencakup seluruh proses perkawinan yang berbeda-beda dan
beragam dari setiap masing-masing daerah. Aturan teknis perkawinan diserahkan
kepada masyarakat untuk melaksankannya sesuai dengan hukum adat yang
berlaku di daerah tersebut.
Dalam UU Perkawinan 1974, batas minimal usia nikah bagi perempuan
16 tahun dan bagi laki-laki 19 tahun. Sedangkan menurut Program Pendewasaan
Usia Kawin BKKBN, usia minimal untuk melakukan suatu pernikahan adalah 20
tahun bagi wanita dan 25 tahun bagi pria. Kenyataannya, menikah pada usia
belasan tahun masih terjadi pada zaman modern saat ini. Di Indonesia, prevalensi
perkawinan usia anak telah mengalami penurunan lebih dari dua kali lipat dalam
tiga dekade terakhir, tetapi masih merupakan salah satu yang tertinggi di kawasan
Asia Timur dan Pasifik (UNCF, 2014 dalam BPS, 2016).
Menurut United Nations Development Economic and Social Affairs
(UNDESA, 2010), Indonesia termasuk Negara ke 37 dengan persentase
pernikahan usia muda yang tinggi dan merupakan tertinggi kedua di ASEAN
setelah Kamboja. Pada tahun 2010 terdapat 158 negara dengan usia legal minimal
perempuan menikah adalah 18 tahun keatas, namun di Indonesia batas usia
minimal untuk perempuan adalah 16 tahun.
Hasil penelitian UNICEF di Indonesia (2002), menemukan angka kejadian
pernikahan anak berusia 15 tahun berkisar 11%, sedangkan yang menikah di saat
usia tepat 18 tahun sekitar 35%.8 Praktek pernikahan usia dini paling banyak
terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Di Asia Tenggara didapatkan data bahwa
sekitar 10 juta anak usia di bawah 18 tahun telah menikah, sedangkan di Afrika
diperkirakan 42% dari populasi anak, menikah sebelum mereka berusia 18 tahun.

Universitas Indonesia
2

Di Amerika Latin dan Karibia, 29% wanita muda menikah saat mereka berusia 18
tahun. Prevalensi tinggi kasus pernikahan usia dini tercatat di Nigeria (79%),
Kongo (74%), Afganistan (54%), dan Bangladesh (51%). Secara umum,
pernikahan anak lebih sering terjadi pada anak perempuan dibandingkan anak
laki-laki, sekitar 5% anak laki-laki menikah sebelum mereka berusia 19 tahun.
Selain itu didapatkan pula bahwa perempuan tiga kali lebih banyak menikah dini
dibandingkan laki-laki (UNFPA, 2016).
Pada tahun 2012 di Indonesia, angka perempuan menikah usia 10-14
sebesar 4,2 persen, sementara perempuan menikah usia 15-19 tahun sebesar 41,8
persen (survei BKKBN dalam Profil Kesehatan 2013). Pada tahun 2013 terjadi
peningkatan rasio pernikahan muda pada daerah perkotaan, dibandingkan dengan
daerah pedesaan. Adapun jumlah rasio kenaikan tersebut pada daerah perkotaan
pada tahun 2012 adalah 26 dari 1.000 perkawinan, rasio itu naik pada tahun 2013
menjadi 32 per 1.000 pernikahan. Sedangkan pada daerah pedesaan yang
menurun dari 72 per 1000 pernikahan menjadi 67 per 1000 pernikahan pada
tahun 2013 (Sutriyanto, 2014). Meskipun terjadi peningkatan jumlah rasio
pernikahan di perkotaan, tetapi rasio angka pernikahan dini di daerah pedesaan
masih lebih tinggi daripada perkotaan.
Permasalahan kesehatan reproduksi dimulai dengan adanya pernikahan
dini yang hasilnya yaitu pada perempuan usia 10-54 tahun terdapat 2,6 persen
menikah pada usia kurang dari 15 tahun kemudian 23,9 persen menikah pada
usia 15-19 tahun (RISKESDAS, 2013). Di Sulawesi Utara, usia menikah kurang
dari 14 tahun adalah 0,5 persen, sedangkan usia menikah antara 15 tahun sampai
19 tahun adalah 33,5 persen (Survei BKKBN dalam Profil Kesehatan, 2013).
Banyaknya kejadian pernikahan pada usia muda yaitu usia di bawah 19 tahun
yang merupakan salah satu permasalahan yang berkaitan dengan sistem
reproduksi pada remaja yang sangat memerlukan perhatian khusus.
Suatu studi literasi UNICEF menemukan bahwa interaksi berbagai faktor
menyebabkan anak berisiko menghadapi pernikahan di usia dini. Diketahui secara
luas bahwa pernikahan anak berkaitan dengan tradisi dan budaya, sehingga sulit
untuk mengubah (Eddy Fadlyana dan Shinta Larasaty, 2009).

Universitas Indonesia
3

Menurut Tang (2009), Pernikahan pada masyarakat Bugis sangat


menarik, khas dan kompleks, mempunyai rangkaian prosesi yang cukup panjang
serta syarat-syarat tertentu. Bagi masyarakat Bugis hubungan intim antara laki-
laki dan perempuan tanpa didahului oleh penyelenggaraan pesta pernikahan
adalah merupakan perbuatan yang sangat memalukan (mappakasiri). Perbuatan
memalukan dalam konteks ini bagi orang Bugis bukan hanya dirasakan sebagai
beban moral keluarga inti yang bersangkutan, tetapi juga merupakan aib (siri)
yang ditanggung oleh seluruh anggota kerabat dekat yang termasuk dalam
kelompok siassirikeng siapppessei (satu kelompok harga diri dan solidaritas
bersama).
Dalam budaya pernikahan masyarakat Bugis, dikenal adanya uang
panai. Sejarah awal mulanya uang panai ini yaitu pada masa Kerajaan Bone dan
Gowa-Tallo, dimana jika seorang lelaki yang ingin meminang keluarga dari
kerajaan atau keturunan raja, maka dia harus membawa sesajian yang menunjukan
kemampuan mereka untuk memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi istri
dan anaknya kelak. Isi sesajian itu berupa sompa/ sunrang doe menre/ doe
panai dan leko tau alu/ kalu atau erang-erang/ tiwitiwi, menjadi syarat yang
wajib dan mutlak untuk dipenuhi oleh pihak laki-laki. Doe menre/ doepanai
inilah yang kita kenal dengan uang panai. Pada saat ini dari Uang panai
digunakan untuk keperluan mengadakan pesta pernikahan dan belanja pernikahan
lainnya
Jumlah uang panai' bergantung pada tingkat strata sosial dan pendidikan
calon mempelai wanita serta dilihat dari sisi peran keluarga calon mempelai
wanita. Wade, C. dan Travis, C. (2007) menjelaskan bahwa peran merupakan
kedudukan sosial yang diatur oleh seperangkat norma yang kemudian
menunjukan perilaku yang pantas. Hal ini menunjukan bahwa secara sadar atau
tidak sadar, mau tidak mau, masyarakat yang berada dimanapun memang dibagi
berdasarkan beberapa tingkatan sosial. Dengan peran yang dimiliki keluarga calon
mempelai wanita yang semakin tinggi, maka nilai uang panai' yang juga semakin
tinggi adalah perilaku yang dianggap pantas untuk kedudukan tersebut. Strata
sosial ini akan mempengaruhi sudut pandang dan cara hidup masyarakat.

Universitas Indonesia
4

Makna uang panai sebenarnya merupakan bentuk penghormatan kepada


wanita. Tetapi jika melihat realitas yang ada, arti uang panai ini sudah bergeser
dari maksud sebenarnya. Uang panai sudah menjadi ajang gengsi untuk
memperlihatkan kemampuan ekonomi secara berlebihan. Tidak jarang untuk
memenuhi permintaan uang panai calon mempelai pria harus rela berutang,
karena apabila prasyarat tersebut tidak terpenuhi akan dianggap sebagai malu atau
siri . Terkadang, permintaan uang panai dianggap sebagai senjata penolakan
pihak perempuan bagi pihak laki-laki yang datang meminang, jika pihak laki-laki
tersebut tidak direstui oleh orang tua pihak perempuan. Tingginya uang panai
membuat pihak laki-laki tidak sanggup memenuhinya.
Perubahan yang terjadi dalam masyarakat Bugis merupakan salah satu
dampak dari berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat,
sebagai gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat.
Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu
ingin mengadakan perubahan.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian dari latar belakang permasalahan tersebut dan untuk
membatasi pembahasan maka rumusan masalahan penelitiannya adalah,
bagaimana konsekuensi uang panai terhadap usia pernikahan pada masyarakat
Bugis?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan memahami budaya pernikahan Suku Bugis dan
konsekuensinya dengan usia menikah.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk menggali budaya uang panai dalam pernikahan Suku Bugis
2. Untuk menggali dampak uang panai terhadap usia pernikahan pada Suku
Bugis

Universitas Indonesia
5

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1. Manfaat Praktis
Sebagai bahan referensi dalam meneliti pengaruh budaya uang panai suku bugis
terhadap usia menikah.
1.4.2. Manfaat bagi Akademik/Ilmiah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya perkembangan ilmu kesehatan
masyarakat, tentang budaya penikahan dan konsekuensinya terhadap usia
pernikahan.
1.4.3. Manfaat bagi Masyarakat
Melalui penelitian ini diharapkan masyarakat mendapatkan gambaran terhadap
budaya uang panai dan konsekuensinya terhadap usia pernikahan.
1.4.4. Manfaat bagi Hasil Pengembangan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan penelitian untuk
mengetahui konsekuensi budaya uang panai pada suku bugis terhadap usia
pernikahan.

Universitas Indonesia
6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Hukum Perkawinan di Indonesia


1.1.1. Pengertian Perkawinan
Menurut Undang-undang RI No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan,
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan menurut
Kompilasi Hukum Islam No. 2, perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.
1.1.2. Syarat Perkawinan
Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, ada dua macam syarat-syarat
perkawinan yaitu syarat materiil dan syarat formal. Syarat materiil adalah syarat
yang melekat pada diri masing-masing pihak disebut juga syarat subjektif,
sedangkan syarat formal adalah mengenai tata cara atau prosedur melangsungkan
perkawinan menurut hukum agama dan undang-undang, yang disebut juga syarat
objektif (Abdulkadir, 2000).
1. Syarat materiil diatur dalam pasal 6 sampai dengan pasal 12, adalah sebagai
berikut:
a. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
(Pasal 6 ayat 1)
b. Pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita
sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun (Pasal 7 ayat 1)
c. Harus mendapat izin masing-masing dari kedua orang tua, kecuali dalam
hal-hal tertentu dan calon pengantin telah berusia 21 tahun atau lebih, atau
mendapat dispensasi dari Pengadilan Agama apabila umur para calon
kurang dari 19 dan 16 tahun (Pasal 6 ayat 2 dan Pasal 7 ayat 2)
d. Tidak melanggar larangan perkawinan sebagaimana yang diatur dalam
pasal 8 yaitu perkawinan antara dua orang yang :

Universitas Indonesia
7

1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke


atas.
2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang
dengan saudara neneknya
3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/
bapak tiri.
4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara
susuan dan bibi/ paman susuan
5) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan
dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang
6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku, dilarang kawin.
e. Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak
dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam pasal 3 ayat (2)
dan pasal 4 undang-undang ini (Pasal 9)
f. Suami isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai
lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh
dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agama
dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain
(Pasal 10)
g. Seorang wanita yang perkawinannya terputus untuk kawin lagi telah
lampau tenggang waktu tunggu. (Pasal 11)
2. Syarat formal dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan Pasal
3 ayat (1) yang berbunyi: Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan
memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat
perkawinan akan dilangsungkan.
1.1.3. Syarat Sah Perkawinan
Sah artinya sesuatu yang memenuhi segala rukun dan syaratnya, di
samping tidak adanya halangan. Bila sebaliknya, maka dihukumi sebagai fasad
atau batal. Suatu perbuatan hukum yang sah memilki implikasi hukum berupa hak

Universitas Indonesia
8

dan kewajiban. Demikian pula halnya dengan perbuatan hukum perkawinan. Dari
perkawinan yang sah timbul hak untuk bergaul sebagai suami istri, hak saling
mewarisi, kewajiban menafkahi anak dan istri, dan lain-lain.
Syarat sahnya perkawinan menurut undang-undang perkawinan terdapat
dalam pasal 2 ayat (1) dan (2) yaitu :
1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya itu.
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Berdasarkan ketentuan pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 disebutkan bahwa dengan mengindahkan tata cara perkawinan
menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan
dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi
Maka perkawinan dianggap sah apabila dilaksanakan menurut hukum agama dan
kepercayaannya masing-masing. Maksud dari ketentuan agama dan kepercayaan
masing-masing itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku dalam
agamanya dan kepercayaannya sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan
lain dalam undang-undang ini. Suatu perkawinan yang dilaksanakan bertentangan
dengan ketentuan agama dengan sendirinya menurut undang-undang perkawinan
dianggap tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan
(Hadikusuma, 1990).

1.2. Pernikahan Usia Muda


Pernikahan dini (early mariage) atau pernikahan usia muda merupakan
suatu pernikahan formal atau tidak formal yang dilakukan di bawah usia 18 tahun
(UNICEF, 2014). Suatu ikatan yang dilakukan oleh seseorang yang masih dalam
usia muda atau pubertas disebut pula pernikahan dini (Sarwono, 2007).
Sedangkan (Al-Gifari, 2002) berpendapat bahwa pernikahan muda adalah
pernikahan yang dilaksanakan di usia remaja. Dalam hal ini, yang dimaksud
dengan remaja adalah antara usia 10 19 tahun dan belum kawin.
Undang-undang RI No 35 tahun 2014 menyebutkan bahwa anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam

Universitas Indonesia
9

kandungan. Pernikahan anak didefinisikan sebagai pernikahan yang terjadi


sebelum anak mencapai usia 18 tahun, sebelum anak matang secara fisik,
fisiologis, dan psikologis untuk bertanggung jawab terhadap pernikahan dan anak
yang dihasilkan dari pernikahan tersebut (Pasal 54, 2014).
Syarat-syarat perkawinan menurut UU RI No 1 tahun 1974 pasal 7
menerangkan bahwa perkawinan hanya diizinkan bila pria mencapai umur 19
tahun dan pihak perempuan sudah mencapai usia 16 tahun, dengan ketentuan di
pasal 6 ayat 2 untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai
umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua. Sedangkan menurut Program
Pendewasaan Usia Kawin BKKBN, usia minimal untuk melakukan suatu
pernikahan adalah 20 tahun bagi wanita dan 25 tahun bagi pria.
Beberapa permasalahan dalam pernikahan anak meliputi faktor yang
mendorong maraknya penikahan anak, pengaruhnya terhadap pernikahan,
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, dampak terhadap kesehatan reproduksi,
anak yang dilahirkan dan kesehatan psikologis anak.
1.2.1. Faktor yang mendorong maraknya pernikahan anak
Di berbagai penjuru dunia, pernikahan anak merupakan masalah sosial
dan ekonomi, yang diperumit dengan tra disi dan budaya dalam kelompok
masyarakat. Stigma sosial mengenai pernikahan setelah melewati masa pubertas
yang dianggap aib pada kalangan tertentu, meningkatkan pula angka kejadian
pernikahan anak
Motif ekonomi, harapan tercapainya keamanansosial dan finansial
setelah menikah menyebabkan banyak orangtua menyetujui pernikahan usia dini.
Alasan orangtua menyetujui pernikahan anak ini seringkali dilandasi pula oleh
ketakutan akan terjadinya kehamilan di luar nikah akibat pergaulan bebas atau
untuk mempererat tali kekeluargaan.
Secara umum, pernikahan anak lebih sering dijumpai di kalangan
keluarga miskin, meskipun terjadi pula di kalangan keluarga ekonomi atas. Di
banyak negara, pernikahan anak seringkali terkait dengan kemiskinan. Negara
dengan kasus pernikahan anak, pada umumnya mempunyai produk domestik
bruto yang rendah. Pernikahan anak membuat keluarga, masyarakat, bahkan
negara mengalami kesulitan untuk melepaskan diri dari jerat kemiskinan dan hal

Universitas Indonesia
10

ini tentunya menyebabkan kualitas kesehatan dan kesejahteraan yang rendah baik
anak maupun keluarga dan lingkungannya.
1.2.2. Pernikahan anak dan derajat pendidikan,
Semakin muda usia menikah, maka semakin rendah tingkat pendidikan
yang dicapai oleh sang anak. Pernikahan anak seringkali menyebabkan anak tidak
lagi bersekolah, karena kini ia mempunyai tanggungjawab baru, yaitu sebagai istri
dan calon ibu, atau kepala keluarga dan calon ayah, yang diharapkan berperan
lebih banyak mengurus rumah tangga maupun menjadi tulang punggung keluarga
dan keharusan mencari nafkah. Pola lainnya yaitu karena biaya pendidikan yang
tak terjangkau, anak berhenti sekolah dan kemudian dinikahkan untuk
mengalihkan beban tanggungjawab orangtua menghidupi anak tersebut kepada
pasangannya.
Dari berbagai penelitian didapatkan bahwa terdapat korelasi antara
tingkat pendidikan dan usia saat menikah, semakin tinggi usia anak saat menikah
maka pendidikan anak relatif lebih tinggi dan demikian pula sebaliknya.
Pernikahan di usia dini menurut penelitian UNICEF tahun 2006 tampaknya
berhubungan pula dengan derajat pendidikan yang rendah. Menunda usia
pernikahan merupakan salah satu cara agar anak dapat mengenyam pendidikan
lebih tinggi.
1.2.3. Masalah domestik dalam pernikahan usia dini
Ketidaksetaraan gender merupakan konsekuensi dalam pernikahan anak.
Mempelai anak memiliki kapasitas yang terbatas untuk menyuarakan pendapat,
menegosiasikan keinginan berhubungan seksual, memakai alat kontrasepsi, dan
mengandung anak. Demikian pula dengan aspek domestic lainnya. Dominasi
pasangan seringkali menyebabkan anak rentan terhadap kekerasan dalam rumah
tangga. Perempuan yang menikah di usia yang lebih muda seringkali mengalami
kekerasan. Anak yang menghadapi kekerasan dalam rumah tangga cenderung
tidak melakukan perlawanan, sebagai akibatnya merekapun tidak mendapat
pemenuhan rasa aman baik di bidang social maupun finansial. Selain itu,
pernikahan dengan pasangan terpaut jauh usianya meningkatkan risiko keluarga
menjadi tidak lengkap akibat perceraian, atau menjanda karena pasangan
meninggal dunia.

Universitas Indonesia
11

1.2.4. Kesehatan reproduksi dan pernikahan usia muda


Penting untuk diketahui bahwa kehamilan pada usia kurang dari 17 tahun
meningkatkan risiko komplikasi medis, baik pada ibu maupun pada anak.
Kehamilan di usia yang sangat muda ini ternyata berkorelasi dengan angka
kematian dan kesakitan ibu. Disebutkan bahwa anak perempuan berusia 10-14
tahun berisiko lima kali lipat meninggal saat hamil maupun bersalin dibandingkan
kelompok usia 20-24 tahun, sementara risiko ini meningkat dua kali lipat pada
kelompok usia 15-19 tahun. Angka kematian ibu usia di bawah 16 tahun di
Kamerun, Etiopia, dan Nigeria, bahkan lebih tinggi hingga enam kali lipat.
Anatomi tubuh anak belum siap untuk proses mengandung maupun melahirkan,
sehingga dapat terjadi komplikasi berupa obstructed labour serta obstetric fistula .
Data dari UNPFA tahun 2003, memperlihatkan 15%-30% di antara persalinan di
usia dini disertai dengan komplikasi kronik, yaitu obstetric fistula. Fistula
merupakan kerusakan pada organ kewanitaan yang menyebabkan kebocoran urin
atau feses ke dalam vagina. Wanita berusia kurang dari 20 tahun sangat rentan
mengalami obstetric fistula. Obstetric fistula ini dapat terjadi pula akibat
hubungan seksual di usia dini. Pernikahan anak berhubungan erat dengan
fertilitas yang tinggi, kehamilan dengan jarak yang singkat, juga terjadinya
kehamilan yang tidak diinginkan (UNICEF, 2011).
Mudanya usia saat melakukan hubungan seksual pertamakali juga
meningkatkan risiko penyakit menular seksual dan penularan infeksi HIV.
Banyak remaja yang menikah dini berhenti sekolah saat mereka terikat dalam
lembaga pernikahan, mereka seringkali tidak memahami dasar kesehatan
reproduksi, termasuk di dalamnya risiko terkena infeksi HIV. Infeksi HIV terbesar
didapatkan sebagai penularan langsung dari partner seks yang telah terinfeksi
sebelumnya. Lebih jauh lagi, perbedaan usia yang terlampau jauh menyebabkan
anak hampir tidak mungkin meminta hubungan seks yang aman akibat dominasi
pasangan. Pernikahan usia muda juga merupakan faktor risiko untuk terjadinya
carsinoma cervix. Keterbatasan gerak sebagai istri dan kurangnya dukungan
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan karena terbentur kondisi ijin suami,
keterbatasan ekonomi, maka penghalang ini tentunya berkontribusi terhadap
meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas pada remaja yang hamil.

Universitas Indonesia
12

1.2.5. Anak yang dilahirkan dari pernikahan usia muda


Saat anak yang masih bertumbuh mengalami proses kehamilan, terjadi
persaingan nutrisi dengan janin yang dikandungnya, sehingga berat badan ibu
hamil seringkali sulit naik, dapat disertai dengan anemia karena defisiensi nutrisi,
serta berisiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah. Didapatkan bahwa
sekitar 14% bayi yang lahir dari ibu berusia remaja di bawah 17 tahun adalah
prematur. Anatomi panggul yang masih dalam pertumbuhan berisiko untuk
terjadinya persalinan lama sehingga meningkatkan angka kematian bayi dan
kematian neonatus. Depresi pada saat berlangsungnya kehamilan berisiko
terhadap kejadian keguguran, berat badan lahir rendah dan lainnya. Depresi juga
berhubungan dengan peningkatan tekanan darah, sehingga meningkatkan risiko
terjadinya eklampsi yang membahayakan janin maupun ibu yang
mengandungnya.
Asuhan antenatal yang baik sebenarnya dapat mengurangi terjadinya
komplikasi kehamilan dan persalinan. Namun sayangnya karena keterbatasan
finansial, keterbatasan mobilitas dan berpendapat, maka para istri berusia muda
ini seringkali tidak mendapatkan layanan kesehatan yang dibutuhkannya, sehingga
meningkatkan risiko komplikasi maternal dan mortalitas.
Menjadi orangtua di usia dini disertai keterampilan yang kurang untuk
mengasuh anak sebagaimana yang dimiliki orang dewasa dapat menempatkan
anak yang dilahirkan berisiko mengalami perlakuan salah dan atau penelantaran.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak yang dilahirkan dari pernikahan
usia dini berisiko mengalami keterlambatan perkembangan, kesulitan belajar,
gangguan perilaku, dan cenderung menjadi orangtua pula di usia dini.
1.2.6. Komplikasi psikososial akibat pernikahan dan kehamilan di usia dini
Komplikasi psikososial akibat pernikahan dan kehamilan di usia dini
didukung oleh suatu penelitian yang menunjukkan bahwa keluaran negatif sosial
jangka panjang yang tak terhindarkan, ibu yang mengandung di usia dini akan
mengalami trauma berkepanjangan, selain juga mengalami krisis percaya diri.
Anak juga secara psikologis belum siap untuk bertanggungjawab dan berperan
sebagai istri, partner seks, ibu, sehingga jelas bahwa pernikahan anak

Universitas Indonesia
13

menyebabkan imbas negatif terhadap kesejahteraan psikologis serta


perkembangan kepribadian mereka.
1.2.7. Permasalahan Kesehatan pada Perempuan yang menikah di usia
lanjut
Tidak semua orang bisa menikah sesuai dengan batasan umur yang
dianjurkan, baik oleh aturan perundang-undangan, agama atau adat istiadat yang
ada di lingkungannya. Pernikahan bisa terjadi di usia dini dan bisa pula terjadi di
usia lanjut. Bagi pria tidak terlalu bermasalah dalam menjalani usia pernikahannya
yang bisa dikatakan sudah berumur, namun lain halnya dengan wanita. Usia
pernikahan seorang wanita sering dikaitkan dengan usia saat hamil pertama kali,
dalam kehamilan ada batasan umur yang termasuk golongan berisiko tinggi, yaitu
35 tahun.
Saat ini usia merupakan salah satu fenomena yang menarik, dimana
banyak terjadi kehamilan pada wanita diatas umur 35 tahun karena menikah di
usia lanjut. Dari segi medis hal ini tergolong wajar, karena selama seorang wanita
belum mencapai masa menopouse, maka kehamilan mungkin saja masih terjadi.
Faktor kesuburan saat hamil saat di atas usia 35 tahun sangat
mempengaruhi kondisi fisik dan kondisi rahim serta kualitas dari sel telur yang
dimiliki oleh wanita pada usia diatas 35 tahun, jelas berbeda dibandingkan dengan
kualitas fisik dan juga sel telur yang dimiliki oleh wanita pada usia 25 tahun.
Biasanya ada banyak hal yang dapat mempengaruhi, mengapa seorang wanita
masih hamil pada usia 35 tahun. Hamil diatas usia 35 tahun pada dasarnya
memiliki beberapa resiko, diantaranya meningkatnya kemungkinan keguguran,
bayi lahir pada kondisi prematur,berat badan bayi kurang, bayi mengalami cacat
dan kelainan kromosom, gangguan kesehatan pada ibu dan diabetes gestasional.
(Anonim, 2015)

1.3. Perkawinan Adat Suku Bugis


1.3.1. Hukum Perkawinan Adat Suku Bugis
Aturan-aturan hukum adat perkawinan setiap daerah di Indonesia
berbeda-beda dikarenakan sifat kemasyarakatan, adat istiadat, agama dan
kepercayaan masyarakat Indonesia yang berbeda-beda. Seiring adanya kemajuan

Universitas Indonesia
14

dan perkembangan jaman yang berdampak pada pergeseran nilai, sering terjadi
perkawinan campuran antar suku bangsa, antar adat, antar orang-orang yang
berbeda agama, bahkan perkawinan antar bangsa.
Sementara hukum perkawinan adat Suku Bugis dituangkan dalam bentuk
perkawinan JUJUR, yaitu bentuk perkawinan yang dilakukan dengan pembayaran
jujur, dimana pembayaran tersebut diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak
perempuan. Dengan diterimanya uang atau barang jujur oleh pihak perempuan,
berarti pihak perempuan akan mengalihkan kedudukannya ke dalam kekerabatan
suami selama ia mengikatkan dirinya dalam perkawinan itu. (Elvira R, 2014).
1.3.2. Proses Perkawinan Suku Bugis
Perkawinan Suku Bugis dipandang sebagai suatu hal yang sakral, relijius
dan sangat dihargai. Oleh sebab itu lembaga adat yang telah lama ada,
mengetahuinya dengan cermat. Sesuai dengan kenyataan dalam masyarakat Suku
Bugis yang menganut agama Islam, sehingga pernikahan bukan saja berarti ikatan
lahir batin antar seorang pria sebagai seorang suami dengan seorang wanita
sebagai calon istri, tetapi juga lebih dari itu.
Tata cara pernikahan Suku Bugis diatur sesuai dengan adat dan agama
sehingga merupakan rangkaian acara yang menarik. Penuh tatakrama dan sopan
santun serta saling menghargai. Pengaturan atau tata cara diatur mulai dari
pakaian atau busana yang digunakan sampai kepada tahapan-tahapan pelaksanaan
adat perkawinan. Adapun tahapan perkawinannya adalah:
1. Tahap peminangan
a. Mappese-pese/mappuce-puce
Prosesi sebuah acara perkawinan mulai dari fase pendahuluan yang
dikenal dengan mappuce-puce. Pada fase ini dilakukan apabila seorang
laki-laki telah menaruh hati pada seorang perempuan, atau keduanya
telah sepakat untuk membangun sebuah rumah tangga. Keluarga laki-laki
akan mengirim utusan untuk mengetahui dari dekat, secara rahasia
tentang kelakuan dan perangai perempuan yang akan dilamar. Selain itu
pula untuk mengetahui tentang keadaan secara keseluruhan. Kegiatan
tersebut biasanya dilakukan oleh perempuan atau ibu dari laki-laki yang
akan menikah atau nenek atau keluarga dekat lainnya yang dipercayai.

Universitas Indonesia
15

Mulai penyelidikan ini akan diperhatikan segala gerak gerik perempuan


yang akan dilamar, baik hubungannya dengan orang tua, tamu maupun
dengan yang lainnya. Hasilnya akan dijadikan dasar untuk menentukan
apakah akan dilakukan pelamaran atau tidak. Bila mana disimpulkan
bahwa perempuan tersebut memiliki tingkah laku yang dianggap baik,
mempunyai keturunan yang jelas, berasal dari keluarga baik-baik maka
akan dilanjutkan. Jika hasil yang diperoleh tidak memenui kriteria yang
baik, maka lamaran akan diurungkan. Mappuce-puce bukanlah satu-
satunya dasar yang dipakai oleh pihak laki-laki untuk memutuskan
keinginannya, tetapi masih ada faktor lain yang ikut menentukan,
diantaranya adanya kesepakatan dari kerabat.
b. Mammanumanu
Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengetahui status perempuan yang akan
dilamar, apakah sudah dilamar atau belum. Kegiatan ini dilakukan oleh
utusan orang tua pihak laki-laki yang dipercayai, bila ternyata belum ada
yang melamar, maka akan dilakukan maduta.
c. Maduta
Perkawinan dilihat bagaimana cara perkawinan itu dilaksanakan, dapat
dibedakan menjadi: perkawinan pinang, perkawinan lari bersama dan
perkawinan bawa lari. Meminang kadang disebut dengan istilah
melamar, yang dalam bahasa bugis disebut maduta yaitu pertemuan
yang pertama kalinya untuk membicarakan kehendak mengadakan
perkawinan. Kegiatan ini adalah melamar atau meminang dari pihak laki-
laki atau pihak yang dipercayai menyampaikan secara resmi maksud
kedatangannya untuk sepakat mengadakan perkawinan di antara kedua
belah pihak. Pembicaraan itu dilakukan secara rahasia. Biasanya
pertemuan pertama ini belum mendapatkan keputusan yang pasti atas
lamaran itu diterima atau ditolak. Keputusan akan diberikan pada
kesempatan berikutnya pada hari yang telah disepakati bersama. Atas
dasar lamaran itu orang tua pihak perempuan akan menghubungkan
pihak kerabat yang dianggap berhak dalam mengambil keputusan.
Mereka adalah paman, nenek atau kakek bahkan kadang-kadang kerabat

Universitas Indonesia
16

dari kedua belah pihak ibu dan bapak dari laki-laki yang akan menikah.
Pemberitahuan orang tua perempuan yang akan dilamar kepada kerabat
mempunyai arti sangat besar dan merupakan penghormatan kepada
mereka. Penolakan atas lamaran biasanya dilakukan secara halus agar
tidak menyinggung perasaan pihak yang melamar, beberapa cara yang
bisa ditempuh untuk menolak suatu lamaran, misalnya selalu menunda
jawaban suatu lamaran tersebut dengan alasan belum menghubungi
keluarganya atau ada alasan lain yang dianggap sopan dan tepat, jika
lamaran diterima, maka dilanjutkan dengan tahap berikutnya.
d. Mappanessa
Tahap ini merupakan tahap pengukuhan atas pembicaraan yang telah
dilakukan dan disepakati bersama. Biasanya upacara ini dihadiri segenap
keluarga dari kedua belah pihak. Kedatangan pihak laki-laki ke rumah
pihak perempuan membawa leko caddi. Bersamaan dengan leko caddi
pihak laki-laki ini membawa sesaji dan uang belanja yang telah
disepakati sebelumnya, kue-kue tradisional, kain tiga lembar yang
masing-masing diletakkan di atas bosarak (baik kecil berkaki terbuat dari
kuningan dan diberi tutup kain berwarna merah kuning/hitam/biru tua
yang terbuat dari beludru yang dihias degan payet). Cincin emas sebagai
pengikat (passio). Upacara dilakukan secara formal, salah satu diantara
kerabat dari pihak laki-laki menyampaikan maksud dan tujuan dari
kedatangan dan sekaligus menyerahkan satu persatu sesaji yang
dibawanya. Penyerahan uang belanja dan lainnya itu diterima oleh pihak
perempuan dan selannjutnya uang pada saat itu juga dihitung dengan
disaksikan oleh mereka yang hadir untuk dicocokkan dengan jumlah
yang telah disepakati sebelumnya.
2. Tahap melangsungkan perkawinan
a. Mapacci/ tudang penni
Upacara ini secara simbolik menggunakan daun pacci atau daun paccar
ini kalau di tumbuk akan berwarna merah, dipakai sebagai sesaji dalam
pemberian doa-doa dari para sesepuh masyarakat kepada calon
mempelai. Upacara ini diselenggarakan pada malam hari, baik dirumah

Universitas Indonesia
17

mempelai laki-laki maupun dirumah mempelai perempuan. Kedua


mempelai mengenakan pakaian pengantin. Upacara seperti ini
didominasi oleh kaum bangsawan dan dilakukan serentak satu malam
bersamaan dengan acara-acara lainnya. Namun saat ini, upacara
mappaci atau korontigi sudah menjadi umum dan selalu diadakan pada
setiap perkawinan.

Para orangtua yang diserahi tugas untuk memberikan doa dalam acara
ini adalah terdiri dari tokoh masyarakat yang dipandang memiliki
kelebihan baik dalam ilmu maupun derajat sosial. Daun pacar yang
dipakai sebagai sesaji dalam pemberian doa kepada calon mempelai,
sebelumnya diantar ke rumah orang yang dituakan untuk dimintakan
doa. Setelah semuanya sudah siap, maka gendang mulai dibunyikan
dan bersamaan dengan itu pula salah seorang wakil tuan rumah
mempersilahkan seorang demi seorang untuk memberikan doa kepada
calon mempelai. Calon pengantin duduk dengan tenang sambil
meletakkan kedua buah tangannya di atas bantal yang ada
dihadapannya sambil menunggu doa-doa yang diberikan oaleh masing-
masing kerabat. Pada waktu kerabat memberikan doa lilin harus
menyala dan kemenyan harus dibakar. Seraya memberikan doa kepada
calon mempelai. Maksudnya kelak dalam kehidupannya selalu diwarnai
dengan kesucian. Anggota badan yang dioles dengan warna merah
yang berarti suci, melambangkan pikiran hati dan tangan sebagai
lambang perbuatan yang hendaknya selalu didasari dengan kesudian.
b. Mappaenre botting
Upacara ini mengantarkan calon mempelai laki-laki ke rumah calon
mempelai perempuan oleh segenap kerabat untuk melangsungkan akad
nikah. Pada upacara ini pihak mempelai laki-laki membawa leko lompo
yang terdiri atas berbagai macam buah-buahan seperti pisang, kelapa,
buah tala (siwalan), nanas, nangka, dan buah- buahan lainnya yang
ditempatkan dalam wala suji (sebuah kotak persegi yang terbuat dari
bambu yang diikat membentuk segi empat). Kue tradisional yang

Universitas Indonesia
18

biasanya 12 macam ditempatkan dalam bossarak (baki kecil berkaki


terbuat dari kuningan atau tembaga dan diberi tutup kain dari bahan
beludru berwarna merah), barang antaran untuk mempelai perempuan
mulai dari ujung kaki sampai pada ujung rambut. Selain itu adapula
kampu yang dibungkus dengan kain putih dan digendong oleh seorang
laki-laki yang berpakaian adat. Isi kampu ini disebut Loro Sunrang,
terdiri atas segenggam beras, kunyit, jahe, pala, kenari, kayu manis,
buah pinang, dan sepasang orang-orangan yang terbuat dari daun buah
tala.
c. Akad Nikah
Pada tahap ini dilakukan ijab kabul yaitu penegasan kehendak
mengikatan diri dalam bentuk perkawinan yang dilakukan oleh calon
mempelai laki-laki ditujukan kepada calon mempelai perempuan. Pada
upacara akad nikah ini disebutkan mahar atau sompa/ sunrang yang
telah disepakati oleh kedua belah pihak sebelumnya, dan akan diberikan
oleh calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuan.
d. Tudang
Selepas acara akad nikah diadakan perayaan dalam bentuk resepsi. Pada
upacara resepsi ini mempelai perempuan dan mempelai laki-laki duduk
bersanding dihadiri oleh pihak kerabat kedua belah pihak. Pesta resepsi
ini biasanya diadakan terlebih dahulu di rumah mempelai perempuan
pada siang atau malam hari, setelah itu barulah di rumah mempelai laki-
laki.
e. Mapparola
Upacara ini adalah kebalikan dari acara mappenre botting/
simorong. Kalau pada upacara ini mengantar calon mempelai laki-
laki ketempat calon mempelai perempuan untuk melakukan akad
nikah, maka pada mapparola/ nilekka adalah sebaliknya. Pada hari
yang telah disepakati ( biasanya sehari setelah acara resepsi)
datanglah utusan dari pihak laki-laki untuk menjemput mempelai
perempuan ketempat mempelai laki-laki. Setibanya di tempat
mempelai laki-laki, sebelum memasuki halaman/ rumah, mempelai

Universitas Indonesia
19

perempuan akan menerima sesuatu dari mertua. Prosesi dalam


perkawinan tersebut di atas hingga saat ini masih dilaksankan di
kalangan masyarakat Bugis, baik yang bertempat tinggal di kota
maupun di desa. Hal yang tidak lazim dalam adat perkawinan
Suku Bugis adalah pada saat akad nikah calon mempelai laki-laki
duduk berdampingan. Calon mempelai perempuan berada dalam
kamar ditemani oleh sanak keluarganya dan indo botting (Elvira R,
2014).

1.4. Hukum Adat, Unsur Hukum Adat dan Masyarakat Hukum Adat
Hukum adalah seperangkat norma dan aturan adat atau kebiasaan
yang berlaku di suatu wilayah. Istilah kebiasaan adalah terjemahan dari
bahasa Belanda gewoonte, sedangkan istilah adat berasal dari istilah
Arab yaitu adah yang berarti juga kebiasaan. Jadi istilah kebiasaan dan
istilah adat mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan. Menurut ilmu
hukum, kebiasaan dan adat itu dapat dibedakan pengertiannya. Perbedaan itu
dapat dilihat dari segi pemakaiannya sebagai perilaku atau tingkah laku
manusia atau dilihat dari segi sejarah pemakaian istilahnya dalam hukum
di Indonesia. Sejarah perundang-undangan di Indonesia membedakan
pemakaian istilah kebiasaan dan adat, yaitu adat kebiasaan di luar
perundangan dan adat kebiasaan yang diakui oleh perundangan. Sehingga
menyebabkan munculnya istilah hukum kebiasaan / adat yang merupakan
hukum tidak tertulis dan hukum yang tertulis. Istilah hukum adat sendiri
berasal dari istilah Arab Hukm dan Adah. Kata hukm (jamak: ahakam)
mengandung arti perintah atau suruhan, sedangkan kata adah berarti
kebiasaan. Jadi hukum adat adalah aturan kebiasaan.
Hukum a dat adalah wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas
nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan-aturan yang satu dengan
lainnya berkaitan menjadi suatu sistem dan memiliki sanksi riil yang sangat
kuat. Contohnya sejak jaman dulu, Suku Sasak di Pulau Lombok dikenal
dengan konsep Gumi Paer atau Paer. Paer adalah satu kesatuan sistem
teritorial hukum, politik, ekonomi, sosial budaya, kemanan dan kepemilikan

Universitas Indonesia
20

yang melekat kuat dalam masyarakat.


1.4.1. Istilah-istilah dalam pemahaman adat didasarkan atas level-level
antara lain:
1. Adat adalah hukum dan aturan yang berlaku di masyarakat dibuat
atas dasar kesepakatan.
2. Adat yang diadatkan yaitu komunitas yang mempunyai ketentuan-
ketentuan hukum telah ditetapkan.
3. Adat yang teradat yaitu jika produk hukum itu sudah menjadi adat
kebiasaan masih tetap diberlakukan di tengah masyarakatnya.
4. Adat istiadat yaitu kebiasaan-kebiasaan secara turun temurun yang
didasarkan pada kebiasaan-kebiasaan leluhur (lebih pada ketentuan-
ketentuan tata cara ritual) yang kini perlu mengalami perubahan untuk
disesuaikan (transformasi) pada era masa kini.
1.4.2. Dalam perkembangannya, hukum adat mengandung dua arti yaitu :
1. Hukum kebiasaan yang bersifat tradisional disebut juga hukum adat
adalah hukum yang dipertahankan dan berlaku di lingkungan
masyarakat hukum adat tertentu. Contoh: hukum adat Batak, hukum
adat Jawa, dll.
2. Hukum kebiasaan adalah hukum yang berlaku dalam kehidupan
masyarakat, dalam hubungan pergaulan antara yang satu dan yang
lain, dalam lembaga-lembaga masyarakat dan dalam lembaga- lembaga
kenegaraan, kesemuanya yang tidak tertulis dalam bentuk
perundangan. Ciri-ciri hukum adat adalah:
a. Tidak tertulis dalam bentuk perundangan dan tidak dikodifikasi.
b. Tidak tersusun secara sistematis.
c. Tidak dihimpun dalam bentuk kitab perundangan.
d. Tidak tertatur.
e. Keputusannya tidak memakai konsideran (pertimbangan).
f. Pasal-pasal aturannya tidak sistematis dan tidak mempunyai penjelasan.
1.4.3. Tiga dimensi hukum adat yang mengatur gerak hidup manusia dimuka
bumi ini yaitu:

Universitas Indonesia
21

1. Dimensi Adat Tapsila (Akhlakul Qarimah) yaitu dimensi yang mengatur


norma-norma dan etika hubungannya dengan lingkungan sosial budaya,
pergaulan alam dan keamanan lahir batin.
2. Dimensi Adat Krama yaitu dimensi yang mengatur hukum dalam hubungan
perluasan keluarga (perkawinan) yang sarat dengan aturan-aturan hukum
adat yang berlaku di masyarakat.
3. Dimensi Adat Pati / Gama yaitu dimensi yang mengatur tata cara dan
pelaksanaan upacara ritual kematian dan keagamaan sehingga dimensi
adat Pati kerap disebut sebagai dimensi adat Gama (disesuaikan dengan
ajaran agama masing-masing) (Elvira R, 2014).

1.5. Makna siri na pacce di Masyarakat Bugis


Dalam budaya Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar, Mandar dan Tana
Toraja) ada sebuah istilah atau semacam jargon yang mencerminkan
identititas serta watak orang Sulawesi Selatan, yaitu Siri Na Pacce.
Secara lafdzhiyah Siri berarti: Rasa Malu (harga diri), sedangkan Pacce atau
dalam bahasa Bugis disebut Pesse yang berarti : Pedih/Pedas (Keras, Kokoh
pendirian). Jadi Pacce berarti semacam kecerdasan emosional untuk turut
merasakan kepedihan atau kesusahan individu lain dalam komunitas
(solidaritas dan empati).
Struktur Siri dalam Budaya Bugis mempunyai empat kategori,
yaitu (1) Siri Ripakasiri, (2) Siri Mappakasirisiri, (3) Teddeng Siri, dan
(4) Siri Mate Siri.
Kemudian, guna melengkapi keempat struktur Siri tersebut maka Pacce
atau Pesse menduduki satu tempat, sehingga membentuk suatu budaya
(karakter) yang dikenal dengan sebutan Siri Na Pacce.
1.5.1. Siri Ripakasiri
Siri yang berhubungan dengan harga diri pribadi, serta harga diri atau
harkat dan martabat keluarga. Siri jenis ini adalah sesuatu yang tabu dan
pantang untuk dilanggar karena taruhannya adalah nyawa. Sebagai contoh
dalam hal ini adalah membawa lari seorang gadis (kawin lari). Maka, pelaku
kawin lari, baik laki-laki maupun perempuan, harus dibunuh, terutama oleh

Universitas Indonesia
22

pihak keluarga perempuan (gadis yang dibawa lari) karena telah membuat
malu keluarga.
1.5.2. Siri Mappakasirisiri
Siri jenis ini berhubungan dengan etos kerja. Dalam falsafah Bugis
disebutkan, Narekko degaga sirimu, inrengko siri. Artinya, kalau Anda
tidak punya malu maka pinjamlah kepada orang yang masih memiliki rasa
malu (Siri). Hal yang terkait dengan Siri Mappakasirisiri serta
hubungannya dengan etos kerja yang tinggi adalah cerita-cerita tentang
keberhasilan orang-orang Bugis di perantauan.
1.5.3. Siri Teddeng Siri
Artinya rasa malu seseorang itu hilang terusik karena sesuatu
hal. Misalnya ketika seseorang memiliki utang dan telah berjanji untuk
membayarnya maka si pihak yang berutang berusaha sekuat tenaga untuk
menepati janjinya atau membayar utangnya sebagaimana waktu yang telah
ditentukan (disepakati). Ketika sampai waktu yang telah ditentukan, jika si
berutang ternyata tidak menepati janjinya, itu artinya dia telah
mempermalukan dirinya sendiri.
1.5.4. Siri Mate Siri
Siri yang satu berhubungan dengan iman. Dalam pandangan orang
Bugis, orang yang mate siri-nya adalah orang yang di dalam dirinya sudah
tidak ada rasa malu (iman) sedikit pun.
1.5.5. Pacce (Bugis: Pesse)
Pacce atau Pesse adalah suatu tata nilai yang lahir dan dianut
oleh masyarakat Bugis. Passe lahir dan dimotivasi oleh nilai budaya Siri
(malu). Contoh, apabila seorang anak durhaka kepada orang tuanya (membuat
malu keluarga) maka si anak yang telah membuat malu (siri) tersebut
dibuang dan dicoret dalam daftar keluarga. Namun jika suatu saat, manakala
orangtuanya mendengar, apalagi melihat anaknya menderita dan hidup
terlunta-lunta, si anak pun diambilnya kembali. Malu dan tidak tega melihat
anaknya menderita.
Antara siri dan pacce saling terjalin dalam hubungan
kehidupannya, saling mengisi, dan tidak dapat dipisahkan yang satu dari

Universitas Indonesia
23

lainnya. Dengan memahami makna dari siri dan pacce, ada hal positif
yang dapat diambil sebagai konsep pembentukan hukum nasional, di mana
dalam falsafah ini betapa dijunjungnya nilai-nilai kemanusiaan berlaku adil
pada diri sendiri dan terhadap sesama bagaimana hidup dengan tetap
memperhatikan kepentingan orang lain.
Membandingkan konsep siri dan pacce ini dengan pandangan
keadilan Plato (428-348 SM) yang mengamati bahwa justice is but the
interest of the stronger (keadilan hanya merupakan kepentingan yang lebih
kuat). Nilai adalah hal yang sangat dibutuhkan dalam setiap aspek kehidupan
dan dalam konteks hukum, nilai ini merupakan sesuatu yang menjadi
landasan atau acuan dalam penegakan hukum, nilai ini hidup dalam suatu
masyarakat dan menjadi falsafah hidup dalam masyarakat tertentu.
Masyarkat Bugis mempunyai falsafah hidup yang sangat
dijunjungnya yaitu siri na pacce. Siri na pacce dalam masyarakat Bugis
sangat dijunjung tinggi sebagai falsafah dalam segala aspek kehidupan,
dan hal ini juga berlaku dalam aspek ketaatan masyakarat terhadap
aturan tertentu (hukum), dengan pemahaman terhadap nilai (siri na pacce)
ini sangat mempengaruhi masyakarat dalam kehidupan hukumnya. Siri yang
merupakan konsep kesadaran hukum dan falsafah masyarakat Bugis adalah
sesuatu yang dianggap sakral. Begitu sakralnya kata itu, sehingga apabila
seseorang kehilangan Sirinya atau Deni gaga Sirina, maka tak ada lagi
artinya dia menempuh kehidupan sebagai manusia. Budaya Siri ini banyak
mempengaruhi sendi-sendi kehidupan sosial di Sulawesi-selatan bahkan
secara hirarki telah membentuk karakter serta mental masyarakat Sulawesi-
selatan itu sendiri, begitu pula pada sistem perkawinan Bugis sangat kental
dengan budaya Siri karena perjamuan perkawinan dianggap momen yang
tepat bagi rumpun keluarga untuk memperlihatkan harkat dan martabat
mereka.

1.6. Uang Panai Dalam Perkawinan Suku Bugis


Uang panai atau uang belanja merupakan sejumlah uang yang wajib
dibayarkan oleh calon mempelai laki-laki dimana jumlah atau nominalnya

Universitas Indonesia
24

sangat bervariasi tergantung pada kasta dan tingkat strata sosial seorang
wanita. Pemberian uang panai terlebih dahulu melalui kesepakatan antara
kedua belah pihak, dimana uang panai yang terbilang wajib dibayarkan dapat
dilakukan dua kali yaitu pada saat leko lompo dan sisanya dapat dibayarkan
pada saat akad nikah akan dilakukan.
Dalam setiap peristiwa perkawinan yang terjadi di berbagai suku
bangsa, hampir selalu ada pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak
perempuan, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, Koentjaraningrat
menyebutnya sebagai syarat untuk melaksanakan perkawinan. Pemberian itu
dimana-mana mempunyai corak setempat, yang disebutkan perbedaan
susunan jujur, pengaruh bedanya kelas, cara mengumpulkan dan membagi-
bagi jujur itu dan perbedaan dalam banyak keadaan-keadaan lain lagi.
pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan dalam perkawinan
suku Bugis, disamping bentuk dan sifatnya yang berbeda-beda juga
mempunyai istilah yang berlainan. Adapun istilah-istilah tersebut adalah
mahar/ mas kawin (sompa), uang belanja (doi balanca), hadiah atau erang-
erang yang terdiri atas leko cadi dan leko lompo, dan lain-lain.
Berbagai pendapat yang diberikan mengenai arti dasar dari mas
kawin atau istilah lain yang memiliki arti yang sama dengan mas kawin. Ada
pendapat yang mengatakan bahwa mas kawin adalah pengganti kerugian.
Mas kawin ialah sejumlah uang atau milik yang dibawa sang gadis pada
waktu menikah. Mahar ini diberikan oleh keluarganya, tetapi kepada siapa
hal diberikan berbeda-beda dari kebudayaan dengan yang lain. Berbeda
dengan pendapat yang diberikan oleh Daeng (2000) mengutip pendapat dari
Wilken bahwa mas kawin adalah keseluruhan prosedur penyerahan barang
yang oleh adat telah ditentukan untuk diserahkan oleh pihak laki-laki
kepada pihak perempuan sesuai dengan lapisan dan kedudukan sosialnya
masing-masing sebelum seorang laki-laki secara resmi mengambil
perempuan sebagai istri. Mas kawin atau bride-price adalah sejumlah harta
yang diberikan oleh pemuda kepada gadis dan kaum kerabat gadis. Arti
dasar dari mas kawin adalah mula-mula mungkin mengganti kerugian.
Dalam suatu kelompok manusia, terutama suatu kelompok yang

Universitas Indonesia
25

kecil, tiap warga di dalamnya merupakan tenaga potensi yang amat penting
bagi kehidupan kelompok itu. Dengan demikian bila seorang gadis dalam
kelompok tersebut kawin, maka kelompok secara keseluruhan akan
menderita kerugian dengan hilangnya salah satu tenaga kerja. Olehnya
mas kawin sebagai penggantinya. Menurut Muchtar, bahwa dizaman Arab
Jahiliyah dikenal perkataan shadaq dan mahar. Shadaq ialah pemberian
yang diberikan oleh suami kepada istrinya pada waktu pertama kali ke rumah
istrinya, sedang mahar ialah pemberian yang diberikan oleh calon suami
kepada orang tua calon istrinya. Pengertian shadaq ini hampir sama dengan
pemberian calon suami kepada calon istrinya dalam masa awal pertunangan
yang sekarang sering diwujudkan dalam bentuk cincin. Shadaq atau mahar
mempunyai arti yang sama, ialah pemberian dari calon suami kepada calon
isterinya sebagai tanda bahwa suami dengan pemberian tersebut
menyatakan persetujuannya dan kerelaannya lahir dan batin untuk hidup
dalam suatu keluarga sebagai suami dan istri. Begitu pula istri dengan
diterimanya mas kawin itu, berarti telah menyatakan persetujuan dan
kesiapannya untuk hidup dalam suatu rumah tangga yang baru. Dengan
demikian mahar tidak dapat dikatakan sebagai ganti rugi melainkan sebagai
syarat sahnya suatu perkawinan menurut Hukum Islam. Mahar dalam
hukum perkawinan Islam merupakan satu rukun perkawinan, perkawinan
tidak sah bila laki-laki (calon suami) tidak memberi mahar atau mas kawin.

1.7. Ketentuan dan Tahapan Pemberian Uang Panai dalam Perkawinan


Suku Bugis
Ketentuan nominal atau nilai Uang Panai atau Doi Balanca pada
perkawinan suku Bugis pada dasarnya tidak mengikuti aturan mahar secara
islam melainkan jumlah Uang Panai sangat dipengaruhi oleh strata sosial
dimana strata sosial tersebut meliputi derajat si mempelai wanitanya, misalnya
semakin tinggi tingkat pendidikannya maka semakin tinggi pula permintaan
Uang Panai yang akan menjadi prasyarat kepada calon mempelai prianya. Tidak
jarang akan semakin tinggi pula permintaan Uang Panai apabila si calon
mempelai wanita merupakan keturunan darah biru atau bangsawan, Sedangkan

Universitas Indonesia
26

tahapan pemberian dimulai diputuskan pada saat Mange Assuro dimana pada
tahapan ini delegasi bertanya atau meminta untuk menentukan waktu, yaitu untuk
appanassa (menentukan sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan
perkawinan nanti). Pada waktu appanassa ini, yang menjadi bahan pembicaraan,
ialah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan perkawinan antara lain:
1. Sunrang
2. Doe balanja/ongkos perkawinan
3. Penentuan hari perkawianan serta penentuan hari pemberian uang
belanja atau Uang panai tersebut.
Sedangkan tahapan pemberiannya yaitu pada saat Appanai leko
caddi (hari dimana keluarga mempelai pria mengantarkan Uang Belanja
atau Uang Panai beserta seluruh assesoris perkawinan). Penyerahan Uang
Panai pun ada beberapa tahapan, ada yang dibayarkan dengan 1 kali, ada
pula yang dibayarkan dengan 2 kali pembayaran misalnya setengah pada saat
appanai Leko caddi dan setengahnya lagi dibayarkan pada saat appanai
leko lompo (hari dimana mempelai pria diantar ke kediaman mempelai
wanita untuk melangsungkan akad nikah).

Universitas Indonesia
27

BAB III
KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN DEFINISI
OPERASIONAL

3.1 Kerangka Teori


Berdasarkan tujuan penelitian dan tinjauan pustaka, kerangka teori
penelitian ini berdasarkan teori perilaku ABCs Model, adalah sebagai berikut.

Bagan 3.1
Kerangka Teori

Perilaku -
Pengetahuan

Budaya
Usia
Pernikahan
Ekonomi

Sosial

Pendidikan

fisiologis

Psikologis

KDRT

Kesehatan
Reproduksi

Universitas Indonesia
28

3.2 Kerangka Konsep


Berdasarkan tujuan penelitian, tinjauan pustaka, dan kerangka teori, kerangka
konsep penelitian ini adalah sebagai berikut.
Bagan 3.2
Kerangka Konsep

Pengetahuan
Usia
Pernikahan
Budaya

3.3 Definisi Operasional


Tabel 3.1. Definisi Operasional

No. Variabel Definisi Operasional


1
Tingkat pengetahuan suku Pengetahuan responden tentang uang panai
Bugis tentang uang panai
Hasil tahu terhadap uang panai dan
konsekuensinya terhadap usia menikah

2.
Tingkat Pengetahuan Pengetahuan responden tentang batasan usia
tentang pernikahan di usia perkawinan di usia muda dan resikonya
muda dan resikonya

3.
Tingkat pengetahuan Pengetahuan responden tentang batasan usia
tentang pernikahan di usia perkawinan dan resiko menikah di usia tua
tua dan resikonya

4
Pernikahan usia muda Pernikahan usia muda yaitu pernikahan yang
dilakukan oleh perempuan yang belum mencapai
usia 20 tahun. (Program Pendewasaan Usia Kawin

Universitas Indonesia
29

No. Variabel Definisi Operasional

BKKBN)

5
Pernikahan usia tua Pernikahan usia tua yaitu pernikahan yang
dilakukan oleh perempuan menikah di atas usia 35
tahun. (usia resiko tinggi untuk hamil dan
melahirkan)

6
Budaya Uang Panai sejumlah uang yang wajib dibayarkan oleh calon
mempelai laki-laki dimana jumlah atau
nominalnya sangat bervariasi tergantung pada
kasta dan tingkat strata sosial seorang wanita.

Universitas Indonesia
30

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian


Penelitian ini adalah studi kasus kualitatif, dengan melakukan wawancara
mendalam (indepth interview), observasi dan Focus Discussion Group (FGD)
kepada informan. Validasi data dilakukan melalui triangulasi sumber, dan
triangulasi metode.

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan terhadap Suku Bugis yang tinggal di di
Kelurahan Ancol Kecamatan Pademangan Jakarta Utara. Waktu penelitian ini
akan dimulai pada bulan April sampai dengan bulan Mei tahun 2017.

4.3. Data dan Sumber Data


Pemilihan informan dilakukan dengan mengikuti asas kesesuaian dan
kecukupan. Asas kesesuaian (appropriateness) yaitu sampel dipilih berdasarkan
kesesuaian dengan topik penelitian, sedangkan asas kecukupan (adequacy) yaitu
jumlah informan dianggap cukup jika data yang didapat telah menggambarkan
seluruh fenomena yang berkaitan dengan topik penelitian. Kecukupan informan
diperoleh dengan metode snowballing.
Informan dalam penelitian ini adalah Suku Bugis yang tinggal di di
Kelurahan Ancol Kecamatan Pademangan Jakarta Utara. Sebagai informan kunci
adalah tokoh masyarakat (ulama, tetua adat), dan ibu-ibu suku Bugis yang sudah
menikah.

4.4. Metode Pengumpulan Data


Pengumpulan data dilakukan dengan pengumpulan data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dengan menggunakan metode wawancara
mendalam (indepth interview) yaitu temu muka berulang antara peneliti dengan
subjek penelitian dalam rangka memahami pandangan subjek penelitian mengenai
hidupnya, pengalamannya ataupun situasi sosial sebagaimana diungkapkan dalam

Universitas Indonesia
31

bahasanya sendiri (Taylor danBogdan, 1984). Selain itu juga menggunakan


metode observasi, yaitu melakukan pengamatan pada saat proses pernikahan suku
Bugis, serta FGD pada kelompok ibu-ibu suku Bugis yang sudah menikah. Ibu-
ibu suku Bugis yang sudah menikah tersebut terdiri dari 2 kategori yaitu kategori
ibu menikah usia muda (< 21 tahun) dan kategori ibu menikah usia tua > 35
tahun). Masing-masing kategori terdiri dari 2 kelompok, sehingga didapatkan 4
kelompok FGD.
Data sekunder diperoleh dari laporan-laporan yang berkaitan dengan
masalah yang diteliti.

4.5. Instrumen Penelitian


Peneliti menggunakan panduan wawancara mendalam, panduan
observasi serta panduan FGD, yang berisi daftar pertanyaan yang berkaitan
dengan topik yang akan diteliti. Selama jalannya wawancara direkam dengan alat
bantu tape recorder agar tidak ada informasi yang terlewatkan.

4.6. Analisis Data


1. Mengumpulkan data dari informasi yang didapat baik dari catatan maupun
hasil rekaman pada saat wawancara mendalam.
2. Membuat transkrip catatan dan rekaman hasil wawancara, yaitu dengan cara
memindahkan data tersebut ke dalam bentuk tulisan.
3. Melakukan klasifikasi data dengan mengkategorikan data yang mempunyai
karakteristik yang sama dengan mengelompokkan untuk memudahkan
interpretasi data.

Universitas Indonesia
32

BAB 5
HASIL PENELITIAN

5.1. Gambaran Wilayah Penelitian


Kecamatan Pademangan adalah salah satu kecamatan dari 6 kecamatan
yang berada di Kota Administrasi Jakarta Utara. Wilayah penelitian ini berada di
Keluarahan Ancol yang merupakan sebuah kelurahan di Kecamatan Pademangan,
Jakarta Utara. Kelurahan Ancol memiliki penduduk sebesar 30.649 jiwa dan luas
3,77 km2 (BPS Jakarta Utara, 2015). Adapun batasan wilayah Kelurahan Ancol
ini adalah sebagai berikut :
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa
b. Sebelah Timur berbatasan dengan Pantai Laut Jawa
c. Sebelah Barat berbatasan dengan Pelabuhan Sunda Kelapa
d. Sebelah Selatan berbatasan dengan Sungai Tiram
Di Kelurahan Ancol banyak penduduk yang bersuku bugis, selain suku jawa,
sunda, batak, dan lain-lain.

5.2. Karakteristik Informan


Pada penelitian ini data informan adalah informan yang usia menikah di
bawah 20 tahun dan informan yang menikah di atas usia 35 tahun. Pada
karakteristik informan yang usia menikah di bawah 20 tahun dilakukan FGD
dengan jumlah informan sebanyak 13 orang dibagi 2 kelompok. Sedangkan pada
karakteristik informan usia menikah di atas 35 tahun dilakukan FGD dengan
jumlah informan sebanyak 12 orang yang dibagi 2 kelompok. Untuk validitas data
dilakukan triangulasi sumber dengan melakukan wawancara mendalam kepada
tokoh adat bugis yang mengerti tentang sejarah budaya suku bugis sebanyak 2
orang yaitu tokoh adat laki-laki dan tokoh adat perempuan. Selain itu dilakukan
wawancara mendalam juga bagi seorang wanita bugis yang tidak menggunakan
uang panai dan kawin lari atau menikah tidak secara adat bugis. Karakteristik
secara rinci dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Universitas Indonesia
33

Tabel 5.1
Karakteristik Informan FGD 1
Wanita Bugis yang Menikah di Bawah 20 Tahun
di Kelurahan Ancol Kecamatan Pademangan
No Informan Umur Umur Pekerjaan Pendidikan Jumlah Metode
menika terakhir anak
h
1 Ny. SS 34 tahun 19 tahun IRT SMA 2 FGD
2 Ny. SW 30 tahun 17 tahun IRT SMA 2 FGD
3 Ny. HM 27 tahun 17 tahun IRT SMA 3 FGD
4 Ny. Zuma 40 tahun 20 tahun IRT SMP 5 FGD
5 Ny. HS 32 tahun 18 tahun IRT SMA 3 FGD
6 Ny. RT 35 tahun 18 tahun IRT SMA 1 FGD

Karakteristik informan FGD kelompok 1 untuk wanita bugis yang


menikah di bawah usia 20 tahun berjumlah 6 orang dengan usia termuda adalah
27 tahun dan yang tertua berusia 40 tahun, rata rata pendidikan informan tamatan
SMA dan satu orang tamatan SMP. Semua informan bekerja sebagai ibu rumah
tangga. Jumlah anak yang paling banyak sebanyak 5 orang dan yang paling sedikit
berjumlah 1 orang.
Tabel 5.2
Karakteristik Informan FGD 2
Wanita Bugis yang Menikah di Bawah 20 Tahun
Di kelurahan Ancol Kecamatan Pademangan
No Informan Umur Umur Pekerjaan Pendidikan Jumlah Metode
menika terakhir anak
h
1 Ny. Hj. 40 tahun 19 tahun IRT SMA 3 FGD
HD
2 Ny. DW 37 tahun 19 tahun IRT SMA 2 FGD
3 Ny. AN 36 tahun 17 tahun IRT SMA 2 FGD
4 Ny. 43 tahun 20 tahun IRT SMP 2 FGD
Hj.AN
5 Ny. AT 36 tahun 18 tahun IRT SMA 3 FGD
6 Ny. FT 25 tahun 19 tahun IRT SMA 1 FGD
7 Ny. SM 34 tahun 19 IRT SMA 1 FGD
Karakteristik informan FGD kelompok 2 untuk wanita bugis yang
menikah di bawah usia 20 tahun berjumlah 7 orang dengan usia termuda adalah
25 tahun dan yang tertua berusia 40 tahun. Rata-rata pendidikan informan tamatan
SMA dan satu orang tamatan SMP. Semua informan bekerja sebagai ibu rumah

Universitas Indonesia
34

tangga. Jumlah anak yang paling banyak sebanyak 3 orang dan yang paling kecil
sebanyak 1 orang.
Tabel 5.3
Karakteristik Informan FGD 3
Wanita Bugis yang Menikah di Atas 35 Tahun
di Kelurahan Ancol Kecamatan Pademangan
No Informan Umur Umur Pekerjaan Pendidikan Jumlah Metode
menika terakhir anak
h
1 Ny. NV 39 tahun 35 tahun IRT SMA 1 FGD
2 Ny. AI 40 tahun 37 tahun IRT SMP - FGD
3 Ny. DW 42 tahun 35 tahun IRT SMA 1 FGD
4 Ny. LM 46 tahun 39 tahun IRT SD - FGD
5 Ny. RM 48 tahun 36 tahun IRT SD - FGD
6 Ny. RN 44 tahun 35 tahun IRT SMP 1 FGD

Karakteristik informan FGD kelompok 3 untuk wanita bugis yang


menikah di atas usia 35 tahun berjumlah 6 orang dengan usia termuda adalah 39
tahun dan yang tertua berusia 48 tahun, pendidikan informan tamatan SMA
sebanyak 2 orang, tamatan SMP sebanyak 2 orang dan tamatan SD sebanyak 2
orang. Semua informan bekerja sebagai ibu rumah tangga. Sebagian informan
tidak memiliki anak dan sebagaian hanya memiliki anak 1 orang.
Tabel 5.4
Karakteristik Informan FGD 4
Wanita Bugis Yang Menikah di Atas 35 Tahun
Di Kelurahan Ancol Kecamatan Pademangan
No Informan Umur Umur Pekerjaan Pendidikan Jumlah Metode
menika terakhir anak
h
1 Ny. NN 42 tahun 37 tahun IRT SMP - FGD
2 Ny.IN 41 tahun 37 tahun IRT SD - FGD
3 Ny. WN 42 tahun 35 tahun IRT SMP 1 FGD
4 Ny. MR 43 tahun 38 tahun IRT SD - FGD
5 Ny. LW 48 tahun 36 tahun IRT SD - FGD
6 Ny. WT 40 tahun 35 tahun IRT SMP 1 FGD

Karakteristik informan FGD kelompok 4 untuk wanita bugis yang


menikah di atas usia 35 tahun berjumlah 6 orang dengan usia termuda adalah 40
tahun dan yang tertua berusia 48 tahun, semua informan berpendidikan rendah
yaitu pendidikan informan tamatan SMP sebanyak 3 orang dan tamatan SD
sebanyak 3 orang. Semua informan bekerja sebagai ibu rumah tangga. Sebagian

Universitas Indonesia
35

besar informan tidak memiliki anak yaitu berjumlah 4 informan dan 2 informan
lainnya hanya memiliki anak 1 orang.
Tabel 5.5
Karakteristik Informan
Kelompok Wawancara Mendalam Budaya Uang Panai
di Kelurahan Ancol Kecamatan Pademangan
No Informan Umur Pekerjaan Pendidikan Jumlah
terakhir anak
1 Tn. Andi N 70 tahun Ketua RT SMA 3
2 Ny. Nur 60 tahun IRT SD 4

Karakteristik informan untuk wawancara mendalam adalah orang tua yang dikenal
sebagai tokoh adat dalam suku bugis. Salah satu informan untuk wawanacara
mendalam adalah seorang laki-laki yang bekerja sebagai ketua RT dan juga orang
yang dikenal sebagai orang tua yang sangat mengerti adat istiadat suku bugis,
informan ini juga dikenal sebagai tokoh adat dalam suku bugis dengan latar
belakang pendidikan tamatan SMA dan jumlah anak sebanyak 3 orang.
Sedangkan informan lainnya adalah seorang wanita suku bugis yang juga ibu
rumah tangga dan dikenal sebagai tokoh adat dalam suku bugis dengan latar
belakang pendidikan tamatan SD.

Universitas Indonesia
36

5.3. Paparan Hasil


5.3.1. Pengetahuan
1. Pendapat tentang usia pernikahan pada wanita
Dari hasil FGD tentang usia ideal menikah pada wanita yaitu informan
yang menikah di bawah usia 20 tahun berpendapat bahwa usia ideal untuk
menikah adalah antara 20 sampai 25 tahun, maksimal 27 tahun dan bisa juga
usia 30 tahun. Sedangkan pada informan yang menikah pada usia di atas 35
tahun berpendapat bahwa usia ideal untuk menikah adalah antara 23 sampai
25 tahun dan bisa juga pada usia 20 tahun.
Sedangkan dari hasil wawancara terhadap informan A, usia ideal
menikah adalah usia 25 tahun, karena perempuan haid sekitar usia 12 tahun,
sejak terjadi proses haid akan muncul keinginan duniawi dan seksual,
kemudian saat umur 17 tahun wanita mulai bergejolak, di usia ini butuh
pengawasan orang tua. Setelah usia 20 25 tahun wanita sudah matang dalam
proses berfikirnya serta memiliki rasa tanggung jawab dan kepercayaan diri
serta dapat memikirkan efek dari tindakannya.
Informan B mengatakan bahwa usia yang pantas untuk menikah yaitu
saat usia 20 tahun, namun tergantung dari sifat manusianya. Yang penting
jangan di bawah 20 tahun karena masih tergolong sangat muda, masih
cengeng gitu, sementara di umur 20 dari pandangan orang tua sudah cukup
dewasa.

2. Dampak usia menikah terhadap kesehatan


Berdasarkan hasil FGD, menurut informan yang menikah di bawah usia
20 tahun dan yang menikah di atas 30 tahun, berpendapat hampir sama bahwa
jika terlalu muda saat menikah menyebabkan sulit untuk hamil dan dapat
mengganggu kesehatan, bisa tumbuh kista jika terjadi kehamilan, sulit
melahirkan atau hamil di luar kandungan, dan kondisi psikologis belum stabil.
kalau menurut saya belum stabil, mereka belum... belum stabil , adapun,
kalaupun itu ada karena mungkin masih proses pembelajaran, ee , sembari
belajar jadi sebenarnya memang sudah dinikahkan

Kalau dari kesehatan itu... kayaknya mau ngeden itu agak susah

Universitas Indonesia
37

Kalau saya ya... mungkin bahaya ya, karena kebanyakan katanya umur
masih kecil itu bibit anaknya belum numbuh, setelah dia menikah , tapi
sebelum numbuh rahim dia udah punya anak itu bahaya

Sebagian juga berpendapat bahwa tidak ada masalah menikah pada usia
muda.
Karena kalau usia 20 tahun itu masa subur, kalau disentuh langsung jadi....

Kalau masih muda kan langsung jadi, kalau misalkan udah tua itu agak
susah, kalau menurut saya karena, saya yang 29 aja itu kosong 7 bulan

Sedangkan pendapat informan tersebut jika usia menikah di atas 30


tahun, rata-rata mengatakan akan susah untuk hamil, susah ketika akan
melahirkan sehingga banyak yang melahirkan melalui operasi Caesar dan akan
mengalami penyakit darah tinggi sehingga menyebabkan pendarahan.
iya... karena kalau sudah diatas 30 tahun kan, menurut saya ya karena
pengalamankan, saya menikah di usia 29 , itu misalkan diatas 30, kalau
menurut saya nanti begitu dia mau punya anak, itu kayaknya agak susah tuh,
karena kan kalau dilihat dari usia, makin tua makin susah punya anak.. ya
betul ya bu ya...

Sudah lewat dari usia subur ya....

Pada saat bersalin agak susah

Pada informan dengan usia menikah di atas 35 tahun, berpendapat sama


yaitu usia menikah yang terlalu tua akan sulit untuk mendapatkan keturunan
dan sulit juga pada saat melahirkan.
Kalo terlalu tua, susah lahirannya
susah mendapatkan keturunan
bisa jadi susah punya anak, karena kecapean. Tapi bisa juga karena
memang belum dipercaya sama Allah untuk punya anak.

Hasil wawancara mendalam yang dilakukan kepada informan A,


menyatakan bahwa menikah di usia muda akan memiliki dampak yang besar,
karena masih anak-anak, sehingga memerlukan bimbingan, serta berdampak
juga terhadap alat reproduksi.
akan berdampak besar, karena wanita yang menikah di usia muda masihlah
seorang anak-anak yang seharusnya memerlukan bimbingan dan masih harus
belajar, jika mereka menikah belum mampu mengurus keluarga dengan baik,

Universitas Indonesia
38

apalagi jika harus hamil dan melahirkan. Selain itu juga akan berdampak
tidak baik terhadap alat-alat reproduksinya.
Sedangkan wawancara yang dilakukan pada informan B, bahwa usia 20
tahun masih memerlukan bimbingan dari orang tua. Tetapi tidak bermasalah
terhadap alat reproduksi, proses kehamilan dan persalinan.
Menurut ibu ummi jika wanita menikah di bawah 20 tahun itu bekum matang
dan masih perlua di ajar oleh orang tua, contoh nya Saya menikah di bawah
umur 20 tahun, yaitu 15 tahun menikah, segala urusan semua orang tua yang
kerjakan termasuk urusan makan suami saya. Tetapi jika di hubungkan
dengan alat reproduksi mah biasa-biasa aja, tidak ada masalah saat hamil
dan melahirkan.

Wawancara terhadap 2 informan, mengenai usia pernikahan di atas 35


tahun keduanya menjawab sama, yaitu bahwa usia 35 tahun bagi wanita
sudah masuk dalam kriteria tua, sulit untuk hamil dan tidak mampu
melahirkan.

Usia 35 tahun bagi wanita sudah termasuk tua. Daya produksi dan nafsu
birahinya sudah mulai berkurang, perempuan di atas 35 tahun usia ini sudah
tidak mampu melahirkan dan harus bertarung nyawa saat melahirkan anak.
Jika menikah di atas 35 tahun wanita akan susah hamil.

3. Usia ibu yang baik untuk kehamilan


Informan berpendapat bahwa rata-rata usia ibu yang baik untuk
terjadinya kehamilan adalah pada rentang usia 20-25 tahun, dan ada juga yang
berpendapat sampai maksimal usia 30 tahun adalah usia ibu yang baik untuk
terjadinya kehamilan.
Dari hasil wawancara mendalam, informan A menjawab bahwa usia yang
baik untuk kehamilan sebaiknya pada usia 24 atau 25 tahun, karena kondisi
fisik ataupun psikisnya sudah baik.
Sebaiknya pada usia 24 atau 25 tahun, karena secara pikiran dan
kemampuan reproduksi sudah sangat baik.

5.3.2. Budaya Uang Panai


1. Pendapat tentang uang panai
Berdasarkan hasil FGD, semua kelompok informan berpendapat bahwa
uang panai harus ada dalam pernikahan suku bugis, yang diserahkan kepada
wanita untuk biaya pesta pernikahan, sebagai bentuk penghormatan terhadap

Universitas Indonesia
39

wanita. Uang panai bukan mahar dan merupakan kesepakatan kedua belah
pihak.
uang panai itu uang yang diserahkan untuk pesta/ modal. Semua suku Bugis
pake uang panai

iya, semua suku Bugis pakai uang panai. Besarnya tergantung kedua belah
pihak.

jadi uang panai itu beda ya sama mahar. Panai itu untuk bantuin pesta
nikahan

Buat uang ini, melamar, pihak cowok tuh ngebawa duit kerumah cewek
buat beli perempuannya, eh bukan untuk ngebeli katanya, tapi adat nya
sanggup atau tidak

Menurut saya itu harus ada, karena itu sebuah penghargaan dari di pinang
dan minta doa restu kalau saya ya, minta doa restu dari pihak laki-laki dan
perempuan, artinya dengan adanya WP itu ada restu nikahnya, jadi
seserahannya harus ada WP

Kalau orang bugis itu tidak ada seserahan WP itu tidak bisa... kalau tidak
ada WP nya pasti ada masalah, dari pihak perempuan bisa tidak jadi gara-
gara WP ini. Walaupun itu hanya kurang sedikit, jadikan persetujuan waktu
melamar kan WP nya sekian, tapi ada kurang, pasti dari pihak perempuan
tidak akan menerima, harus sesuai dengan awal dari pembicaraan

Ada seorang informan yang berpendapat bahwa dalam penentuan uang


panai ada semacam tawar menawar besaran uang tersebut.
WP itu ada tawar menawarlah...
Berdasarkan hasil wawancara, informan menyatakan bahwa uang panai
dalam suku bugis hukumnya wajib, semakin tinggi kedudukan (kasta) wanita,
maka semakin tinggi juga uang panai yang harus diberikan.
Dalam suku bugis uang panai wajib hukumnya ada dalam suatu
pernikahan dan sangat tergantung pada kasta sesorang wanita yang akan di
nikahi, semakin tinggi kebangsawanan seorang wanita maka semakin tinggi
juga uang panai yang harus di berikan.

Uang panai dalam suku bugis merupakan kewajiban yang harus di penuhi
seorang laki-laki jika ingin melamar wanita bugis mempelai wanita saat
melaksanakan proses pernikahan. Jadi tidak bisa di hilangkan karena bentuk
hormat kepada wanita, buka bermaksud untuk menjual orang.

Universitas Indonesia
40

2. Sejarah uang panai


Hasil wawancara mendalam tentang sejarah uang panai bahwa uang
panaiadalah tradisi dan adat dalam pernikahan suku bugis, sebagai bentuk
penghormatan dan penghargaan pihak laki-laki terhadap pihak wanita. Pada
dasarnya uang panai adalah sejumlah uang belanja dari pihak laki-laki ke
pihak wanita untuk membantu acara pernikahan.
Uang panai dalam suku bugis memang sudah menjadi tradisi dan sebagai
bentuk penghormatan dan penghargaan seorang laki-laki kepada wanita
karena pada dasarnya uang panai itu adalah sejumlah uang belanja yang
harus diserahkan oleh pihal laki-laki ke pihak perempuan untuk menunjang
acara pernikahan.

Uang panai sudah menjadi tradisi dan adat dalam pernikahan suku bugis,
jadi setiap laki-laki yang ingin melamar wanita bugis harus membawa uang
panai.

3. Tahapan dalam proses pernikahan dengan uang panai


Berdasarkan hasil wawancara tentang proses pernikahan dengan uang
panai adalah melalui beberapa tahapan, yaitu perkenalan, lamaran,
penyerahan uang panai, dan pernikahan.
Awal pernikahan di mulai dengan tahap mappece-pece atau perkenalan,
pada tahap ini pihak keluarga melakukan pertemuan dan membicarakan
rencana pernikahan kedua anak mereka, setelah itu mengatur kembali jadwal
kedatangan untuk melamar secara resmi kepada pihak perempuan, pada
acara lamaran di bicarakan mengenai besaran uang panai, sompa dan
cincin pengikat (passeo). Setelah acara lamaran, pihak laki-laki kemudian
datang lagi kerumah pihak wanita untuk menyerahkan uang panai yang
biasa di sebut dalam bahasa bugis mappaendre doi dihari yang sudah
ditentukan. Selanjutnya mulai ketahap pesiapan pernikahan mappacci dan
lain-lain.

Jika ingin melamar seorang wanita bugis itu memerlukan proses panjang,
kalau jaman dahulu di mulai dengan bertanya-tanya tentang status wanita
yang akan di lamar itu biasa di sebut mammanu-manu, setelah itu barulah
pihak laki-laki mengutus keluarganya untuk melamar, di dalam proses
melamar nanti akan disebutkan jumlah uang panai yang telah menjadi
persetujuan kedua belah pihak, setelah setuju dengan uang panai maka akan
ada waktu untuk menghantarkan uang panai tersebut, biasa di sebut dengan
mapate balanca.

Universitas Indonesia
41

Hasil observasi yang dilakukan terhadap proses pemberian uang panai,


yaitu uang panai diserahkan dalam suatu bungkusan berukuran 30 x 40 cm
dibungkus rapi dengan kain putih, yang berisi beras, jarum benang, sirih,
pinang, kayumanis dll, serta sejumlah uang. Uang tersebut dihitung bersama-
sama oleh pihak laki-laki dan perempuan yang hadir dalam acara tersebut.

4. Pentingnya uang panai


Semua informan berpendapat bahwa uang panai sangat penting dalam
pernikahan suku bugis, karena uang panai merupakan adat suku bugis sejak
dulu.
penting banget tapi harus ada kesepakatan kedua belah pihak, jangan
dikurangi
.penting banget, setujuan dari pihak cewek-cowok misalnya segini, udah
adat kita sih dari dulu.
5. Dampak uang panai terhadap usia pernikahan wanita suku bugis
Berdasarkan pendapat informan yang menikah pada usia di bawah 20
tahun, banyak wanita bugis yang dinikahkan oleh orang tuanya pada usia
muda karena melihat uang panai yang tinggi.
ada golongan orang tertentu, karena melihat uang panai, anaknya masih
kecil udah buru-buru dijodohkan disuruh nikah, biar orang tua lepas
tanggung jawab, dan dapet uang panai yang lumayan besar.
Ada juga yang berpendapat bahwa wanita bugis yang berpendidikan
tinggi atau yang memiliki gengsi tinggi, mengharapkan mendapatkan laki-laki
dengan uang panai yang lebih tinggi sehingga mereka terlambat menikah.
kalo mereka yang punya pendidikan atau pekerjaan yang baik, rata-rata
mereka punya gengsi yang tinggi, dan pengen dapet laki-laki dengan uang
panai yang lumayan besar.
Sedangkan pada informan yang menikah pada usia di atas 35 tahun,
bahwa tingginya uang panai berdasarkan indikator seperti pendidikan yang
tinggi, maka uang panainya juga akan tinggi. Ada juga yang berpendapat
bahwa rata-rata orang tua menikahkan atau menjodohkan anaknya dari kecil,
sehingga saat tamat SMA langsung di nikahkan, apalagi jika uang panai
tinggi.

Universitas Indonesia
42

semakin tinggi pendidikannya, semakin tinggi juga uang panai. Ada yang
lulusan sma, panainya 30 juta, kalo sarjana 50 juta.

yang sampai 100 juta juga ada

karna uang panai ini, ada juga orang tua yang buru-buru nikahkan
anaknya. Lulus sma langsung dijodohkan, biar ngurangi biaya hidup gitu

iya, apalagi kalo melihat uang panai nya tinggi, pasti orang tua cepet-cepet
menyetujui anaknya nikah
Dari hasil wawancara mendalam, informan menyatakan bahwa dulu
orang tua akan menikahkan anaknya meskipun masih kecil dan uang panai nya
tinggi. Di jaman sekarang, orang tua menikahkan anaknya dengan anggapan
bahwa semakin tinggi uang panai nya akan semakin tinggi harga dirinya.
Terkadang orang tua tidak memikirkan kesiapan anaknya, hanya melihat
kemampuan pihak laki-laki memberikan uang panai dalam jumlah yang dinilai
cukup, maka anaknya akan dinikahkan, karena akan sangat membantu
keluarga.
Di jaman dulu, jika yang menikah terutama bangsawan, maka tetap
dilangsungkan pernikahan meskipun anak perempuan itu masih kecil dan jika
uang panai nya tinggi. Tetapi di jaman sekarang saya perhatikan juga banyak
orang tua yang menikahkan anaknya karena urusan duniawi, semakin tinggi
uang panai maka semakin tinggi harga dirnya.

Kadang-kadang memang orang tua tidak pernah memikirkan apakah anak-


anak mereka masih kecil atau sudah dewasa, karena banyak yang menikah
kan anak mereka saat usia yang sangat dini, asalakan laki-laki yang datang
itu dapat memberikan uang panai lebih tinggi maka anaknya tetap akan di
nikahkan. Karena sangat membantu keluarga.

6. Budaya uang panai saat ini


Pendapat informan mengenai bagaimana uang panai saat ini hampir
sama, bahwa uang panai sekarang masih tetap ada, hanya saja pada saat
menyerahkan uang panai dilakukan secara tertutup, tidak dibuka atau
ditunjukkan di depan umum. Tetapi, masih ada pada suku bugis yang masih
memegang teguh adat dan budayanya, prosesi penentuan uang panai
dilakukan secara terbuka, atau diperlihatkan kepada seluruh tamu undangan
yang menghadiri prosesi penyerahan uang panai tersebut.
tapi sekarang sih udah beda ya, di sini udah ada privacyuang panai udah
nggak dibeberkan di umum. Hanya keluarga saja yang tau, nggak disiarkan

Universitas Indonesia
43

ke orang luar. Udah ngerti, udah ada pelajaran agama. Kalo kayak gitu
jadinya ria. Jadi ya tertutup aja untuk besarnya uang panai.

beda sama yang masih di Sulawesi sana, di kampung namanya uang


panai beneran dilihatin ke semua orang, pegang dan ngitung besarnya
berapa.

antar keluarga aja yang tau, dan itu pun tidak dibuka pada saat
memberikan uang panai

7. Uang panai yang tidak terpenuhi


Informan dengan usia nikah di bawah 20 tahun berpendapat bahwa
pernikahan tidak akan terjadi jika uang panai tidak terpenuhi, karena secara
status sosial mereka akan merasa malu. Menunggu sampai uana panai
terpenuhi sehingga pernikahan bisa di tunda.
tidak jadi, jadi kita menunda, bukan tidak jadi, menunda sampai dia
sanggup untuk memenuhi uang panai
tidak jadi, tapi kadang dari pihak cewek juga diundur karena gara-gara
uang panai nya tidak ini, terpenuhi, ada yang seperti itu.
tidak jadi, bila kurang ada rundingannya nanti.
tidak jadi, walaupun tadinya sudah pacaran, tapi orang tuanya tidak mau.
tikak jadi, bisa dihapus dalam arti kata tidak jadi menikah
Sebagian besar wanita bugis patuh terhadap orang tuanya, sehingga
segala urusan pernikahan atau jumlah uang panai, hanya orang tua yang tau
dan rata-rata mereka menikah karena dijodohkan.
hanya orang tua saja, jadi si mempelai tidak tau, saya juga tidak tau berapa
uang panai saya, saudara-saudara juga tidak tau, jadi antar orang tua aja
yang meminang yang punya urusan
hanya orang tua yang tau
kalau menanyakan uang panai itu kadang berbeda ya, ada yang dibuka
secara umum, ada yang ditutupi karena udahlah biar sesama orang tua aja
yang tau, yang penting diterima gitu, karena kebanyakan keluarga juga,
apasih, dijodohi sesama, di pinang sesama keluarga juga

Namun ada juga yang kawin lari jika tidak sanggup memenuhi uang
panai. Jika wanita bugis kawin lari memiliki dampak yang sangat buruk yaitu
kedua keluarga bisa putus hubungan.

Universitas Indonesia
44

wah pengaruh sekali, bikin aduh.... pengaruh sekali, sangat buruk


dampaknya terutama pada keluarga ya, bisa jadi akan putus hubungan
keluarga kalau dia mengambil tindakan sendiri seperti itu, pada akhirnya kan
yang kawin lari itu menyesali dan kembali lagi ke keluarga
Kalau kawin lari itu ya memang uang panai nya ngak ada, ada juga kan
pihak sicowok melamar tapi ditolak juga sama pihak sicewek, mungkin
karena latar belakang, dia mau jodohin anaknya sama orang lain, tapi dia
sudah ngelamar, diapun udah nyanggupin berapa aja yang diminta, tapi dari
pihak cewek, neneknya,kakeknya tidak ma
Sedangkan pada informan yang menikah pada usia di atas 35 tahun,
mereka berpendapat bahwa pihak laki-laki yang lamarannya ditolak karena
uang panai dianggap kurang sesuai maka laki-laki tersebut akan berusaha
sebisa mungkin untuk memenuhi uang panai tersebut.
orang Bugis kebanyakan setia. Jadi kalau misalkan ditolak, biasanya laki-
laki akan berusaha sebisa mungkin buat memenuhi uang panai nya.

Pada umumnya yang sering menaikkan uang panai adalah golongan


bangsawan, karena ingin mendapatkan jodoh yang sejajar, sehingga uang
panai nya harus tinggi.
biasanya yang sering menaikkan panai adalah orang bangsawan, karena
ingin mendapatkan jodoh yang sejajar sama dia

uang panai dinaikkan biar nggak jadi

orang bangsawan masih meninggikan uang panai, karena ingin dihargai

sebenarnya kesepakatan aja, walau bedanya Cuma 1 rupiah bisa saja tidak
jadi. Kebanyakan dari kaum bangsawan yang masih meninggikan uang
panai.
Pasangan lebih memilih kawin lari dan akan kembali ke orang tuanya
jika sudah memiliki anak, tetapi prosesi pernikahan tetap diulang dan uang
panai juga ditentukan kembali.
banyak kejadian memilih kawin lari, nanti kembali lagi iasanya setelah
punya anak. Mau nggak mau, orang tua akan menerima. Dan akhirnya
proses pernikahan diulangi lagi, ada penentuan uang panai lagi.
Hasil wawancara mendalam hampir sama, yaitu tanpa uang panai,
pernikahan tidak akan terjadi, tau lebih baik melakukan kawin lari.
Wah itu tidak akan terjadi, karena pihak keluarga tidak akan mengijinkan
pernikahan terjadi tanpa adanya uang panai, kalaupun terjadi pernikahan
itu karen anak perempuan ini dibawa lari oleh si laki-laki tersebut, namun ini
adalah hak berat, karena nyawa adalah taruhannya.

Universitas Indonesia
45

Biasanya pasangan yang ingin menikah namun tidak memiliki uang panai,
akan melaukan kawin lari.

Universitas Indonesia
46

DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya


Bakti, 2000
Al-Gifari, A. (2002). Pernikahan Dini Dilema Generasi Ekstravaganza. Bandung:
Mujahid Pres.
Anonim. (2015). 7 Resiko Hamil diatas usia 35 tahun. Diambil 23 April 2017,
dari http://hamil.co.id/kehamilan/resiko-hamil-diatas-usia-35-tahun
Desiyanti, I.W. (2015). Faktor-Faktor yang Berhubungan terhadap Pernikahan
Dini Pada Pasangan Usia Subur di Kecamatan Mapanget Kota Manado.
JIKMU, 5(3). Diambil 23 April 2017, dari
https://ejoural.unsrat.ac.it/index.php/jiku/article/view/7443
Elvira R. 2014. Ingkar Janji Atas Kesepakatan Uang Belanja (Uang Panai) Dalam
Perkawinan Suku Bugis. Skripsi BAgian Hukum Perdata Universitas
Hasanuddin Makassar.
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan
Hukum Adat Hukum Agama, Mandar Maju , Bandung, 1990
Kompilasi Hukum Islam
Repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/12824/Skripsi/
%20PDF.pdf;sequence=1, di Unduh Tanggal 24 Maret, 2017 Pukul
06.40 WIB.
Riskesdas. (2013). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian
RI tahun 2013. Diambil 23 April 2017, dari
http://www.depkes.go.id/resource/2013.pdf
Sarwono, S. (2007). Psikologis Remaja. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada
Sutriyanto, E. (2014). Pernikahan Dini Kembali Jadi Trend Remaja Perkotaan
Tribunnews.com.diambil 23 April 2017, dari
http://www.tribunnews.com/kesehatan/2014/01/27/pernikahan-dini-kembali-
jadi-trend-remaja-perkotaan
Undang Undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Universitas Indonesia
47

UNFPA. (2016). Ending Child Marriage. Diambil 23 April 2017, dari


https://www.unicef.org/evaluation/files/UNFPA_UNICEF_CM_Fact_Sheet
_10_March_2016.pdf
UNICEF. (2011). The Situation of Children and Woman in Indonesia 2000-2010
WORKING TOWARDS PROGRESS WITH EQUITY UNDER
DECENTRALISATION. Diambil 23 April 2017, dari
https://www.unicef.org/sitan/files/Indonesia_SitAn_2010.pdf
Kemenkes RI. (2013). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013 Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta:Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia

Universitas Indonesia
48

Lampiran 1 Panduan Diskusi Kelompok Terarah

STUDI KASUS KONSEKUENSI UANG PANAI TERHADAP USIA


PERNIKAHAN SUKU BUGIS DI JAKARTA TAHUN 2017

PANDUAN DISKUSI KELOMPOK TERARAH (FGD)


PEREMPUAN YANG MENIKAH DIBAWAH UMUR DENGAN
MENGGUNAKAN BUDAYA UANG PANAI

TUJUAN UTAMA FGD

1 Memberikan gambaran tingkat pengetahuan ibu tentang Usia Pernikahan


2 Memberikan gambaran tingkat pengetahuan ibu tentang uang Panai

A. PENGETAHUAN (kelompok ibu yang menikah dibawah 16 tahun)

1 Usia berapa yang paling ideal untuk menikah menurut ibu?


probing :Usia ideal untuk menikah.
2 Pengaruhnya apa saja yang terjadi jika menikah pada usia tersebut?
Probing: dampak menikah di usia Muda
3 Usia berapa yang paling baik menurut ibu/kakak untuk hamil dan
melahirkan?
Probing : usia yang paling baik untuk hamil dan melahirkan
4 Apa yang anda ketahui tentang uang panai?
Probing : Uang panai merupakan budaya pernikahan suku bugis
5 Seberapa pentingkah uang panai dalam pernikahan ibu?
Probing: uang panai adalah harga diri perempuan suku bugis
6 Apa yang terjadi apabila uang panai tidak dapat terpenuhi?
Probing: pernikahan dengan kawin lari
7. menurut ibu apa dampak uang panai terhadap kehidupan pernikahan ibu
sampai saat ini?

Universitas Indonesia
49

B. PENGETAHUAN (kelompok ibu yang menikah diatas atau sama dengan


16 tahun)
1 Menurut ibu, umur berapa yang ideal untuk perempuan menikah?
Probing : umur yang ideal untuk menikah
2 Menurut ibu, Apa dampak terhadap kesehatan menikah di bawah umur
tersebut?
Probing : dampak pernikahan di usia muda
3 Menurut ibu, umur berapa seorang perempuan siap untuk hamil?
Probing : usia yang ideal untuk hamil
4 Tolong ceritakan, apa yang ibu ketahui tentang uang panai?
Probing : uang panai adalah budaya pernikahan suku bugis
5 Bagaimana pendapat ibu tentang uang panai pada jaman sekarang?
Probing : uang panai dijaman sekarang
6 Menurut ibu apa dampak uang panai terhadap umur pernikahan perempuan
suku bugis?
Probing: dampak uang panai terhadap umur pernikahan perempuan suku
bugis
7 Ceritakan pengalaman ibu yang terjadi jika uang panai tidak dapat terpenuhi?
Probing: solusi yang di tempuh jika uang panai tidak terpenuhi.

Universitas Indonesia
50

INFORMED CONSENT
PERSETUJUAN UNTUK MENJADI RESPONDEN FGD

Perkenalkan nama saya ______________________ dari Fakultas


Kesehatan Masyarakat Peminatan S2 Promosi Kesehatan Universitas
Indonesia, saya sedang melakukan penelitian tentang Studi Kasus Konsekuensi
Uang Panai terhadap Usia Penikahan Suku Bugis di Jakarta Tahun 2017.
Tujuan dari studi ini adalah untuk mengetahui dan memahami budaya
pernikahan Suku Bugis dan konsekuensinya dengan usia menikah.
Kami meminta kesediaan ibu secara sukarela untuk menjadi informan
dalam studi ini. Hasil studi ini sangat tergantung pada informasi yang didapat dari
ibu sebagai informan. Diharapkan ibu dapat berpartisipasi dengan mengemukakan
pendapat, pikiran dan perasaannya dengan sejujurnya dan apa adanya. Jawaban
yang ibu berikan sangat penting untuk penelitian ini. Tidak ada penilaian benar
atau salah terhadap jawaban yang diberikan. Jawaban yang ibu berikan juga tidak
akan mempengaruhi penilaian dalam kehidupan ibu sehari-hari. Ibu berhak untuk
menolak menjawab pertanyaan atau tidak bersedia sebagai informan, apabila tidak
menginginkannya.
Diskusi Ini akan berlangsung kurang lebih 1-2 Jam. Informasi ibu hanya
akan digunakan dalam penelitian ini saja. Ibu tidak akan mendapatkan keuntungan
langsung dari penelitian ini, namun informasi ibu akan sangat berguna untuk
melihat konsekuensi uang panai terhadap usia pernikahan suku Bugis. Kami akan
memberikan sedikit kompensasi untuk waktu yang sudah ibu berikan serta sebagai
bentuk ucapan terimakasih atas partisipasi dalam penelitian ini.
Mohon ibu menandatangani form di bagian bawah ini bila ibu setuju
sebagai informan atau sumber informasi.
Jakarta, April 2017
Peneliti Informan

(_______________)

Universitas Indonesia
51

Lampiran 2 Panduan Wawancara Mendalam


PANDUAN WAWANCARA MENDALAM (WD)
TOKOH MASYARAKAT (ULAMA, TETUA ADAT)

Wawancara Mendalam

1. Berapa usia pernikahan yang ideal menurut ibu/ bapak/ saudara?


Probing : umur pernikahan yang ideal
2. Pengaruhnya apa saja yang terjadi jika menikah pada usia tersebut?
Probing: dampak menikah di usia Muda
3. Usia berapa yang paling baik menurut ibu/kakak untuk hamil dan
melahirkan?
Probing : usia yang paling baik untuk hamil dan melahirkan
4. Apa yang ibu/ Bapak/saudara ketahui tentang uang panai?
Probing : uang panai adalah budaya pernikahan pada suku bugis
5. Apa pendapat ibu/ bapak/ saudara tentang budaya uang panai?
Probing: budaya uang panai mencerminkan harga diri seorang perempuan
6. Seberapa pentingkah uang panai ini bagi ibu/ Bapak/saudara?
Probing: uang panai untuk mengangkat derajat perempuan
7. Bagaimana dampak uang panai terhadap usia pernikahan menurut
bapak/ibu/saudara?
Probing : risiko pernikahan di usia muda
8. Menurut ibu/ Bapak/ saudara jika uang panai tidak terpenuhi , apa yang
dilakukan oleh mereka (orang yang tidak dapat memenuhi uang panai)?
Probing: tindakan/jalan keluar yang dilakukan agar tetap menikah

Universitas Indonesia
52

INFORMED CONSENT
PERSETUJUAN UNTUK MENJADI RESPONDEN WAWANCARA
MENDALAM

Perkenalkan nama saya ______________________ dari Fakultas


Kesehatan Masyarakat Peminatan S2 Promosi Kesehatan Universitas
Indonesia, saya sedang melakukan penelitian tentang Studi Kasus Konsekuensi
Uang Panai terhadap Usia Penikahan Suku Bugis di Jakarta Tahun 2017.
Tujuan dari studi ini adalah Untuk mengetahui dan memahami budaya
pernikahan Suku Bugis dan konsekuensinya dengan usia menikah. Kami meminta
kesediaan Ibu/Bapak secara sukarela untuk menjadi informan dalam studi ini.
Hasil studi ini sangat tergantung pada informasi yang didapat dari Ibu/Bapak
sebagai informan. Diharapkan Ibu/Bapak dapat berpartisipasi dengan
mengemukakan pendapat, pikiran dan perasaannya dengan sejujurnya dan apa
adanya. Jawaban yang Ibu/Bapak berikan sangat penting untuk penelitian ini.
Tidak ada penilaian benar atau salah terhadap jawaban yang diberikan. Jawaban
yang Ibu/Bapak berikan juga tidak akan mempengaruhi penilaian dalam
kehidupan Ibu/Bapak sehari-hari. Ibu/Bapak berhak untuk menolak menjawab
pertanyaan atau tidak bersedia sebagai informan, apabila tidak menginginkannya.
Wawancara ini akan berlangsung kurang lebih 1-2 Jam. Informasi
Ibu/Bapak hanya akan digunakan dalam penelitian ini saja. Ibu/Bapak tidak akan
mendapatkan keuntungan langsung dari penelitian ini, namun informasi ibu akan
sangat berguna untuk melihat konsekuensi uang panai terhadap usia pernikahan
suku Bugis. Kami akan memberikan sedikit kompensasi untuk waktu yang sudah
ibu berikan serta sebagai bentuk ucapan terimakasih atas partisipasi dalam
penelitian ini.
Mohon ibu menandatangani form di bagian bawah ini bila ibu setuju
sebagai informan atau sumber informasi.
Jakarta, April 2017
Peneliti Informan
(_______________)

Universitas Indonesia
53

Pernyataan Persetujuan Berpartisipasi Dalam Diskusi

Saya, yang bertandatangan di bawah ini menyatakan telah menerima dan


memahami informasi mengenai STUDI KASUS KONSEKUENSI UANG
PANAI TERHADAP USIA PERNIKAHAN PADA SUKU BUGIS DI JAKARTA
TAHUN 2017 yang dilaksanakan oleh mahasiswa FKM-UI. Saya sudah
mendapat informasi tentang hak saya dalam studi ini dan saya secara sukarela
bersedia berpartisipasi dalam studi ini. Saya juga bersedia untuk memberikan
informasi informasi tambahan jika dibutuhkan walaupun studi ini sudah selesai.

Demikianlah pernyataan saya tanpa paksaan dari pihak siapapun.

Nama : __________________________________________
Instansi : __________________________________________
Jabatan : __________________________________________
Nomor kontak : __________________________________________
, ..2017

___________________________________

Universitas Indonesia
54

Lampiran 3 Panduan Observasi

OBSERVASI
Kegiatan prosesi budaya Uang Panai
Tempat :
Tanggal :

No Aspek yang diamati Dilakukan Tidak


1. Tahap 1
Memutuskan kata (Mappettu ada)
a. Pihak wanita mempersiapkan kedatangan pihak laki-laki

b. Rombongan Utusan Pihak laki-laki tiba di kediaman pihak


C wanita, kedatangan disambut baik.

c. Pihak laki-laki menyampaikan maksud kedatangan rombongan

d. Pihak laki-laki menanyakan kepada pihak wanita jumlah uang


e panai yang di inginkan.
e. Pihak wanita mengajukan permintaan jumlah uang panai
F
f. Proses Tawar menawar uang panai (Doi mendre)

g. Terjadi Kesepakatan uang panai

h. Kesepakatan Penentuan hari (Tandra esso) pernikahan

i. Menentukan Mas kawin (Sompa)

j. Menentukan waktu pengantaran uang panai

2 Tahap 2
Pengukuhan (mappanessa)
a. Kedatangan pihak laki-laki ke rumah pihak perempuan
membawa sesaji dan uang belanja yang telah disepakati
sebelumnya, kue-kue tradisional, kain tiga lembar yang masing-

Universitas Indonesia
55

masing diletakkan di atas bosarak (baik kecil berkaki terbuat dari


kuningan dan diberi tutup kain berwarna merah
kuning/hitam/biru tua yang terbuat dari beludru yang dihias
degan payet). Cincin emas sebagai pengikat (passio).
b. Salah satu kerabat dari pihak laki-laki menyampaikan maksud
dan tujuan dari kedatangan dan sekaligus menyerahkan satu
persatu sesaji yang dibawanya
c. Penyerahan uang panai dan lainnya diterima oleh pihak
perempuan
d. Uang panai dihitung dan disaksikan oleh mereka yang hadir

untuk dicocokkan dengan jumlah yang telah disepakati

sebelumnya.

Universitas Indonesia
56

DAFTAR ISI

Halaman Judul.................................................................................................. i
Daftar Isi ........................................................................................................ ii
Daftar Bagan..................................................................................................... iii
Daftar Tabel...................................................................................................... iv
Daftar Lampiran................................................................................................ v
BAB I PENDAHULUAN......................................................................... 1
1.1........................................................................................................Latar
Belakang........................................................................................ 1
1.2........................................................................................................Rum
usan Masalah.................................................................................. 4
1.3........................................................................................................Tujua
n Penelitian.................................................................................... 4
1.4........................................................................................................Manf
aat Penelitian.................................................................................. 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................. 6


2.1. .......................................................................................................
Hukum Perkawinan di Indonesia................................................................ 6
2.2........................................................................................................Perni
kahan Usia Muda........................................................................... 8
2.3........................................................................................................Perka
winan Adat Suku Bugis.................................................................. 13
2.4........................................................................................................Huku
m Adat, Unsur Hukum dan Masyarakat Hukum Adat................... 19
2.5........................................................................................................Makn
a Siri na Pacce di Masyarakat Bugis............................................. 21
2.6........................................................................................................Uang
Panai dalam Perkawinan Suku Bugis........................................... 23
2.7........................................................................................................Kete
ntuan dan Tahapan Pemberian Uang Panai dalam

Universitas Indonesia
57

Perkawinan Suku Bugis................................................................. 25

BAB III KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN


DEFINISI OPERASIONAL.......................................................... 27
3.1........................................................................................................Kera
ngka Teori...................................................................................... 27
3.2........................................................................................................Kera
ngka Konsep.................................................................................. 28
3.3........................................................................................................Defin
isi Operasional............................................................................... 29

BAB IV METODE PENELITIAN............................................................... 30


4.1........................................................................................................Desai
n Penelitian.................................................................................... 30
4.2........................................................................................................Temp
at dan Waktu Penelitian.................................................................. 30
4.3........................................................................................................Data
dan Sumber Data............................................................................ 30
4.4........................................................................................................Meto
de Pengumpulan Data.................................................................... 30
4.5........................................................................................................Instru
men Penelitian................................................................................ 31
4.6........................................................................................................Anali
sis Data .......................................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Lampiran 1 Panduan Diskusi Kelompok Terarah
Lampiran 2 Panduan Wawancara Mendalam
Lampiran 3 Panduan Observasi

Universitas Indonesia
58

Universitas Indonesia
59

DAFTAR BAGAN

Bagan 3.1 Kerangka Teori............................................................................... 27


Bagan 3.2 Kerangka Konsep........................................................................... 28

Universitas Indonesia
60

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Definisi Operasional...................................................................... 29

Universitas Indonesia

You might also like