You are on page 1of 4

Estetika Balai Kota Surabaya Sebagai Cerminan

Sejarah Bangunan Kolonial Di Surabaya


A. Latar
Belakang

Sejarah mengenai bangunan-bangunan peninggalan masa pemerintahan kolonial telah meninggalkan banyak
cerita, banyak rekam jejak peristiwa yang tersimpan di dalamnya. Sebagaimana sejarah bangsa Indonesia yang
tidak terlepas dari keberadaan orang-orang Eropa. Begitu pun Surabaya, yang masih sangat kental dengan jejak-
jejak para pendatang dari Belanda, yang begitu banyak pula meninggalkan banyak bangunan bersejarah.
Semenjak ditetapkan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai gementee (pemerintah kota) pada 1906, membuat
Surabaya menjadi panggung kekuasaan wilayah di Jawa Timur. Surabaya menjadi pusat pemerintahan Jawa
Timur telah mendorong berbagai kegiatan pemerintahan serta pemenuhan sarana dan prasarana yang lengkap
terpusat di dalamnya. Berbagai kantor pemerintah dan bangunan-bangunan yang ditujukan untuk kepentingan
pemerintahan melengkapi kota Surabaya, termasuk pula Balai Kota Surabaya.

Balai Kota Surabaya pertama kali didirikan pada 1916 dan dipergunakan sebagai gedung Dewan Perwakilan
Daerah pada masa itu. Keberadaan Balai Kota sendiri merupakan salah satu wujud peninggalan bangsa Eropa di
Indonesia. Yang mana, tidak lain dalam proses pembangunannya adalah menggunakan jasa arsitek dari Belanda.
Selain itu, pada awalnya juga bangunan tersebut diperuntukkan atas kepentingan-kepentingan Belanda. Namun,
seiring dengan berjalannya waktu, setelah kemerdekaan Indonesia berhasil diperoleh, maka semua bangunan
bekas pemerintahan kolonial jatuh kepada pemerintah Indonesia. Pada dasarnya terdapat banyak bangunan
bersejarah di Surabaya, akan tetapi tidak semua bangunan diketahui sejarahnya. Sehingga dari sini penulis
mencoba mengungkap sejarah dibalik bangunan Balai Kota dengan menggunakan sudut pandang estetika dalam
menerjemahkannya.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah sejarah (singkat) bangunan Balai Kota Surabaya?


2. Bagaimanakah nilai estetika dalam filosofi bangunan Balai Kota Surabaya?

1. C. Tujuan
2. Untuk mengetahui sejarah bangunan Balai Kota Surabaya
3. Untuk mengetahui nilai estetika dalam ruang dan filosofi Balai Kota Surabaya

PEMBAHASAN

A. Sejarah (singkat) Bangunan Balai Kota Surabaya


Surabaya sebagai Resort Gemeente (Haminte) secara resmi mulai berdiri pada tanggal 1 april 1906. Sebelumnya
Surabaya merupakan bagian dari karesdenan pemerintah Gemeente yang dijalankan oleh Dewan gemeente dan
diketahui oleh asisten residen sebagai kepala daerah. Tahun 1916 diangkatlah walikota pertama, A. Meyroos yang
bertugas hingga tahun 1921. Rencana pembangunan gedung Balai Kota baru terwujudkan pada pemerintahan
walikota yang kedua yaitu G. J. Dijkermann . Gedung utama Balai Kota di Taman Surya di daerah Ketabang
mulai dibangun pada tahun 1923 dan mulai ditempati pada tahun 1927. Arsiteknya adlaah C. Citroen dan
pelaksanaannya H. V. Hollandsche Beton Mij. Biaya seluruhnya termasuk perlengkapan dan lain-lainnya
menghabiskan dana sekitar 1000 gulden.[1]

Gedung Balai Kota Surabaya

Sumber: google.co.id

Balai kota yang dulunya digunakan sebagai Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ini terletak di Jalan
Taman Surya no.1. Pada masa kini, Pemerintah Indonesia telah resmi mengembangkan Balai Kota Surabaya
dengan arsitektur yang lebih modern, dan pada perkembangannya gedung ini sekarang sudah menjadi pusat
pemerintahan Kota Surabaya. Bangunan tersebut dilengkapi dengan bunker bawah tanah yang disiapkan sebagai
tempat perlindungan menghadapi Perang Dunia II tahun 1939-1945 dan konon merupakan salah satu dari 257
bunker yang dibuat pada gedung-gedung di Surabaya yang dibangun sebelum 1942-an.[2]

B. Nilai Estetika dalam Filosofi Bangunan Balai Kota Surabaya

Estetika memiliki pengertian yang sangat kompleks dan terus berubah-ubah dari masa ke masa sejalan
perubahan zaman. Pengertian yang umum digunakan adalah, hasil pencerapan, komunikasi, dan kontak rasa
(indah dan seni) yang dapat merangsang serta membangkitkan pengalaman atau kenikmatan yang bersifat
kontemplatif dan transendental (Dibia, 2006). Namun, estetika juga dapat dimaknai sebagai sebuah keindahan
terhadap nilai makna dalam segala hal. Tidak hanya yang nampak, melainkan juga yang memiliki maksud
tersendiri dibalik apa yang ditampakkannya itu.

Sementara itu, estetika kota tidak lain adalah estetika tentang (per)kota(an), termasuk yang dibentuk oleh
keindahan arsitektural bangunan bersejarahnya. Sementara estetika bangunan bersejarah dari sebuah kota
adalah bagian dari kota yang dilestarikan karena mewakili prestasi khusus dalam suatu gaya tertentu. Tolok
ukurnya dikaitkan dengan nilai estetis dan arsitektonis/arsitektural yang tinggi dalam bentuk antara lain
struktur, tata ruang, dan ornamennya.[3] Sebagaimana yang terepresentasikan pada bangunan Balai Kota
Surabaya, yang merupakan salah satu warisan bersejarah dari pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Balai Kota Surabaya mempunyai dua menara pendek simetris pada kedua sisi pintu masuk yang merupakan
salah satu ciri khas gaya arsitektur vernacular Belanda. Arsitektur vernacular adalah sebuah istilah yang
digunakan untuk mengelompokkan cara konstruksi yang menggunakan tradisi dan sumberdaya lokal yang
tersediauntuk menyesuaikan dengan kebutuhan dan situasi lokal. Untuk menyesuaikan dengan kondisi iklim
yang tropis, makak atap gedung Balai Kota dibuat bertumpuk untuk menyediakan cela ventilasi guna
mengalirkan udara ke dalam ruangan. Sehingga membuat ruangan di dalam gedung menjadi lebih sejuk pada
siang dan malam hari.[4] Adapun ciri bangunan Balai Kota Surabaya yang bentuknya mirip arsitektur kubistis di
Eropa adalah merupakan berbagai paduan dengan kebudayaan lokal Indonesia (Jawa).[5] Dengan adanya pola-
pola seperti itu, secara gamblang dapat diketahui akan kemegahan dan keindahan bangunan yang penuh dengan
perlengkapan tata ruang yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan (Surabaya). Dari sini terlihatlah nilai
estetika dari gedung Balai Kota, yang tidak hanya memprioritaskan keindahan segi fisik (seni) pembangunannya,
melainkan juga nilai guna dari gedung itu sendiri. Yang memang benar-benar dalam pembangunannya
dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan pemerintahan yang berlangsung pada waktu itu, yang juga hingga
saat ini masih dapat dipertahankan. Di samping itu, meskipun arsiteknya berasal dari Belanda, namun dalam
pembangunannya, masih mengindahkan corak/ciri kebudayaan Jawa. Sebagaimana yang nampak pada atap
gedung, yaitu menggunakan genting bata seperti bangunan-bangunan khas Jawa.

Bahkan nama arsitek Balai Kota, Dijkermann, pernah diabadikan menjadi nama jalan yaitu Dijkemannstraat
(sekarang adalah Jalan Yos Sudarso, sebuah ruas jalan menuju Balai Kota Surabaya).[6] Hal ini menunjukkan
begitu besar pengaruhnya dalam kehidupan di Surabaya. Dengan pengabadian nama tersebut ke dalam salah
satu nama jalan dapat dikatakan bahwa sejarah terkait sesuatu hal apapun itu sangatlah penting untuk diketahui.
Bukan masalah orang Belanda atau pribumi yang membangunnya, akan tetapi mencoba melihat lebih pada
keestetisan maksud dalam pembangunannya. Tidak lain dibangunnya Balai Kota Surabaya adalah untuk
memberikan prasana dalam pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, yang pada awalnya adalah sebagai gedung
Dewan Perwakilan Rakyat, dan berlanjut pada pemerintahan masa kini yaitu sebagai pusat pemerintahan kota
Surabaya.

Adapun pembangunan Balai Kota oleh C. Citroen itu sendiri terdorong berbagai alasan sehingga ia harus
membuat sebuah rancangan ulang pada 1920 dan akhirnya dapat terselesaikan pada tahun 1926. Pembangunan
gedung Balai Kota tidaklah sekedar mengagumkan, melainkan juga merupakan sebuah bangunan hibrida. Yang
mana, bagian-bagiannya menggabungkan pendekatan arsitektur modern (Art Deco) dan tradisional.[7] Bentuk
mupun fitur elemen bangunan Belanda menunjukkan dengan jelas adanya pengaruh pertukaran budaya dengan
berbagai tradisi arsitektural yang telah ada di Indonesia, terkhusus Jawa.[8] Dengan bertemunya dua jenis
kebudayaan yang berbeda tersebut dapat menambah warna maupun corak kebudayaan setempat. Sehingga
dengan adanya akulturasi dalam bentuk arsitektur Balai Kota Surabaya ini setidaknya mampu menjadi salah satu
bentuk pengembangan kebudayaan lokal serta mampu menambah estetika kebudayaan di Indonesia.

PENUTUP

1. A. Simpulan

Sebagai pusat pemerintahan di Jawa Timur menjadikan Surabaya sebagai kota yang penuh dengan perlengkapan
pemerintahan. Segala infrastruktur dan bangunan kantor-kantor pemerintahan terpusat di dalamnya, salah
satunya adalah gedung Balai Kota Surabaya, yang mana pada mulanya merupakan gedung Dewan Perwakilan
Daerah. Namun, kini berubah menjadi gedung pusat pemerintah kota Surabaya. Pada dasarnya Balai Kota
Surabaya sendiri merupakan salah satu bangunan bersejarah yang menyimpan banyak rekaman jejak peristiwa
sejarah. Bangunan yang diidrikan pada tahun 1916 ini telah menjadi bukti akan pengaruh bangsa Eropa di
Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Agus Sachari, Budaya Visual Indonesia, (Bandung: Penerbit Erlangga, 2007)

Dhahana Adi, Surabaya Punya Cerita: Vol.1, (Jogjakarta: Indie Book Corner, 2014)

Dibia I Wayan, 2006, Bahan Kuliah Estetika Program S3 Kajian Budaya Universitas Udayana, Denpasar: -

Peter J.M. Nas, Masa Lalu Dalam Masa Kini: Arsitektur Di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2009)

Internet

Asmyta Surbakti, Penghancuran Estetika Kota: Bangunan Bersejarah di Kota Medan, Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara, hlm. 5, diunduh di
file:///E:/PRODI%20ILMU%20SEJARAH%20UA/Semester%204/Etika/bahan%20makalah/2_Asmyta.pdf ,
pada 27/06/2015

http://news.detik.com/surabaya/read/2013/01/26/105023/2152741/466/bunker-di-balaikota-surabaya-diduga-
adalah-basement
8

You might also like